Anda di halaman 1dari 20

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Penelitian Terdahulu

Resistensi di bidang pertanian juga telah pernah memproleh perhatian


khusus dari para akademisi maupun intelektual diantaranya: Oetami Dewi (2007)
dalam karyanya yang berjudul “Resistensi Petani: Suatu Tinjauan Teoritis”. Ia
menekankan bahwa akan pentingnya tinjauan teoritis mengenai resistensi petani,
agar menyadarkan petani akan marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah
ataupun kaum kapitalis. Marjinalisasi telah terjadi sebelum Indonesia merdeka
hingga saat ini. Kaum petani tergolong kelas rendah melakukan perlawanan yang
disebut dengan resistensi. Resistensi ada yang sifatnya aktif dan pasif. Bentuk-
bentuk resistensi sangatlah variatif tergantung situasi, kondisi, dan budaya
masyarakat.

Khusus pada kajian resistensi petani dalam perspektif antropologi ekonomi


pernah dibahas oleh Akhmad Zaini Abar (2016) dalam “Petani dalam Perspektif
Antropologi Ekonomi” bahwa konsep pilihan rasional dan moral keduanya
merupakan tipe ideal dalam ilmu sosial. Ini hanya digunakan untuk melakukan
analisis sosial (social analysis) dan bukan untuk rekayasa sosial (social
engineering). Kaum tani Indonesia yang dianggap rasional tidak menunjukkan
pilihan rasional sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Samuel L. Popkin,
sebaliknya mereka berada dalam pilihan moral yang telah dikemukakan oleh
James C. Scott. Komersialisasi petani dan sektor pertanian tidak mencerminkan
gerakan petani rasional. Apa yang terjadi di Indonesia, komersialisasi petani
adalah efek dari proyek negara era kolonial dan Orde Baru, ini bukan
pengejewantahan dari petani rasional.

Studi historis mengenai resistensi juga pernah dilakukan oleh Desi Illa
Mufliha dkk. (2021) dalam “Perlawanan Petani Garam Madura Terhadap
Monopoli Dagang Kolonial Belanda: Tinjauan Historis”. Kajian ini meliputi

2
3

pertama, latar belakang sejarah masuknya Belanda ke Sumenep; kedua, proses


resistensi para petani garam Madura terhadap model bisnis monopoli Belanda;
ketiga, Dampak yang ditimbulkan oleh pemonopolian terhadap petani garam di
Madura. Para petani melakukan perlawanan mengingat fakta bahwa sistem model
bisnis yang dipaksakan oleh kolonial Belanda merugikan para peternak garam,
baik sebagai pemilik tanah maupun buruh di ladang garam.

Sementara itu, Suliadi (2015) dalam “Dinamika Resistensi Petani


Terhadap Ekspansi Kapitalisme di Jawa (Studi atas Perlawanan Petani Terhadap
Pertambangan Pasir Besi di Karangwuni Kulon Progo)” tujuan dari studi ini
Tujuan dari kajiannya ini adalah untuk menganalisis perlawanan petani terhadap
penambangan pasir besi yang terjadi di Kulon Progo. Studi ini didasarkan
perubahan sikap politik di kalangan petani yang semula menentang berubah
menjadi menyetujui penambangan pasir besi. Menggunakan pendekatan James C.
Scott tentang “ekonomi moral peasant” dan Samuel L. Popkin “ekonomi politik”,
penelitian ini memberikan gambaran analisis tentang bagaimana perubahan sikap
politik petani ini akhirnya terjadi. Studi ini menunjukkan bahwa perubahan sikap
politik dari petani dalam menanggapi ekspansi kapitalisme pertambangan
bukanlah hanya sekadar karena alasan kompromi politik saja, atau karena alasan
ingin melestarikan kehidupan yang subsisten. Petani dalam pengambilan
keputusanya petani sangat berkaitan dengan kalkulasi rasionalitas petani itu
sendiri. Di pengertian ini, penentuan keputusan petani selalu mempertimbangkan
hal yang dapat diperolehnya dari hasil keputusan tersebut.

La Ode Tpo Jers (2016) dalam “Resistensi Kelompok Masyarakat Lokal


atas Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Kabupaten Muna”. Penelitian
memperlihatkan perlawanan (resistensi) yang dilakukan oleh kelompok
masyarakat terhadap pemerintah dalam pengelolaan SDA hutan yang ada di
Kabupaten Muna. Hal ini dipicu karena menurut penilaian masyarakat
pengelolaan sumberdaya hutan dianggap sentralistik, tidak demokratis, dan
merugikan masyarakat. Atas dasar ketidakadilan itulah masyarakat melakukan
resistance.
4

Arif Zaeni Arrosyif (2016) dalam “Resistensi Petani Terhadap Penjualan


dan Persewaan Sawah kepada Warga Luar Desa (Studi Kasus di Desa Trasan
Kecamatan Bandongan Kabupaten Magelang Jawa Tengah)”. Hasil penelitian
tersebut memperlihatkan resistensi yang diterapkan warga dalam dua cara, yakni
terbuka dan tertutup. Resistensi terbuka diantaranya melalui rembuk warga dan
secara lantang menyatakan ketidaksetujuan, usaha ini jarang dilakukan. Resistensi
tertutup atau sembunyi-sembunyi yang banyak ditempuh, dan diperbuat dalam
keseharian. Meski begitu pada resistensi ini, warga mengukur diri agar
dampaknya tidak merugikan diri, karena sadar berada dalam posisi yang lemah
secara ekonomi, sementara perjuangan untuk tetap hidup dan sebisa mungkin
meningkatkan kesejahteraan harus tetap ditempuh. Usaha itu sebagian besar
berhasil dilakukan dan hanya sebagian kecil yang berhasil dikuasai dan disewa
warga luar desa.

Yuni Prihadi Utomo (2007) dalam “Mekanisme Pasar, Demokrasi


Perwakilan dan Krisis Ekonomi” menguraikan bahwa negara tidak boleh terlalu
berharap sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Adakala pemerintah mesti
melakukan intervensi terhadap mekanisme pasar bila terjadi krisis untuk
menghindari masalah menjadi lebih luas.

Indonesia yang merupakan negara mayoritas muslim tidak lengkap rasa


jika tidak turut menyinggung sedikit perspektif islam terhadap konsep-konsep
tertentu dalam penelitian ini. Untuk itu kita dapat merujuk pada karya Ain Rahmi
(2015) “Mekanisme Pasar dalam Islam” dan Abd. Ghafur (2019) “Mekanisme
Pasar dalam Perspektif Islam”. Kedua studi menjelaskan bahwa tentu yang
dimaksud dengan mekanisme pasar dalam islam adalah mekanisme yang menjadi
nilai-nilai dan norma agama islam sebagai landasannya. Mekanisme pasar adalah
bahwa adanya kebebasan pasar dalam menentukan harga. Harga bergantung pada
pasar. Walaupun demikian, Islam tidak menganut harga berdasarkan pasar secara
bebas. Islam akan melakukan intervensi ketika terjadi monopoli harga di pasar.
mekanisme pasar dalam perspektif Islam tidak hanya berdimensi sosial, tetapi
5

juga ada unsur teologis bahwa pasar dikendalikan dan diawasi oleh syariat
mekanisme pasar dalam Islam meliputi aspek teologis sampai kultural.

Dari studi-studi di atas memberikan banyak bahan bagi penulis untuk


mengembangkan ide-ide dalam menyusun karya ini. Terlebih lagi tema resistensi
petani terhadap mekanisme pasar belum mendapat perhatian khusus dari
penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, dengan
adanya penulisan ini, walau nampak agak ambisius, diharapkan mampu menjadi
pembuka untuk perbincangan-perbincangan ilmiah mengenai resistensi petani
kontemporer.

B. Kerangka Konseptual

1. Realitas Petani di Indonesia: Farmer atau Peasant?

Hampir 2/3 wilayah Indonesia merupakan perairan. Meski begitu


masyarakatnya lebih berorientasi agraria dibandingkan maritim. Ini berarti
sektor pertanian juga turut menyerat angkatan kerja dan besar pengaruhnya
dalam mengurangi masalah penggangguran. Maka tidak mengherankan jika
kiranya angka jumlah petani di Indonesia sangatlah tinggi, walau dari tahun ke
tahun mengalami penurunan. Agar lebih detilnya perhatikan grafik berikut ini.

Gambar 1. Jumlah Petani di Indonesia (Sumber: alinea.id)


6

Salah satu yang menjadi masalah serius petani di Indonesia saat ini
ialah menurunnya minat generasi muda untuk jadi petani. BPS mencatat per
2019 jumlah petani mencapai 33,4 juta orang. Dari junmlah tersebut petani
muda yang berusia antara 20-39 tahun hanya 2,7 juta orang atau 8%. Mirisnya
lagi petani yang berusia di atas dari 40 tahun mencapai 30,4 juta atau 90%,
yang mayoritasnya mendekati usia 50-60 tahun. Masih dalam data yang sama,
rentang antara 2017-2018 penurunan jumlah petani muda mencapai 415.789
orang. Jika permasalahan ini tidak segera diatasi maka satu atau mungkin dua
dekade lagi Indonesia akan mengalami “krisis petani”.

Telah dibahas sekilas pada bagian latar belakang mengenai “petani”


dan jenis-jenisnya. Pada segmen ini kita akan mengeksplorasi konsep ini lebih
jauh dan membaca dalam konteks kekinian. Petani adalah orang yang
menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian sebagai mata pencaharian
utamanya. Secara garis besar terdapat tiga jenis petani, yaitu petani pemilik
lahan, petani pemilik yang sekaligus juga menggarap lahan, dan buruh tani.
Dari segi struktur petani dibagi menjadi dua yaitu farmer dan peasant. Farmer
ialah jenis petani yang memiliki kekuasaan atas produksi secara memadai,
tanah pertanian yang relatif luas, serta memadai, serta mampu mengakumulasi
surplus usaha taninya. Orang-orang yang termasuk kategori ini dianggap
sebagai kelompok petani lapisan atas yang mengadopsi kebudayaan dominan
dalam struktur negara, yang oleh Radfield dan Singer (1971, dalam Dewi,
2007) disebut Great Tradition.

Peasant adalah juga jenis petani, tapi berada di bawah struktur farmer.
Petani yang termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang menguasai hanya
sedikit lahan. Jenis petani yang termasuk dalam kategori ini misalnya petani
gurem dan buruh tani. Dalam kehidupannya mereka mengembang budaya
kecil, atau budaya marginal yang tentu saja berbeda dengan budaya dengan
orang-orang di lapisan penguasa dan petani farmer.

Menurut Bambang Tri Cahyono (1983, dalam Afandi 2018: 13-14)


bahwa setidaknya ada tiga arti berbeda yang melekat pada istilah "peasant".
7

Gagasan pertama didasarkan pada sudut pandang Gillian Hart, Robert Hefner,
dan Paul Alexander, yang menegaskan bahwa istilah "peasant" mengacu pada
semua penduduk pedesaan, terlepas dari profesi mereka. Gagasan kedua
didasarkan pada sudut pandang James C. Scott dan Wan Hashim, yang
menegaskan bahwa petani tidak mencakup seluruh pedesaan tetapi terbatas
pada petani dan penduduk pedesaan saja. Gagasan ketiga dan terakhir berasal
dari perspektif Eric Wolf, yang diikuti oleh Frank Ellis, yang mengatakan
bahwa istilah "peasant" dimaksudkan hanya mengacu pada petani yang
memiliki lahan pertanian dan mengolah lahan sendiri untuk mendapatkan hasil
yang lebih baik digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan tidak
untuk dijual.

Ada kesalahan persepsi saat ini dalam mengidentifikasi petani


komersial di Indonesia sebagai farmer (petani sukses) merupakan sikap yang
terlalu terburu-buru dalam menyimpulkan. Hal ini karena komersialisasi
terjadi atas paksaan dari luar dan bukan tumbuh karena suatu proses sosiologis
dan ekonomis dalam internal petani (Adar, 2016). Dalam kenyataannya, petani
komersial di Indonesia selain memiliki lahan yang sempit, berpenghasilan
rendah, dan juga masih bergantung pada subsisdi yang diberikan oleh negara.
Atas dasar itulah maka umumnya petani komersial di Indonesia masih
terkategori sebagai peasant. Mengapa ini penting? Karena pembangunan
petani peasant tidak akan berhasil jika menggunakan model pembangunan
yanag diperuntukkan untuk petani farmer.

2. Resistensi dan Bentuk-Bentuknya

Karakteristik ekonomi petani tradisonal1 ditandai oleh bentuk usaha


taninya yang bersifat subsisten, berorientasi pada pemenuhan kebutuhan
keluarga dan bukan kebutuhan pasar. Barulah jika kebutuhan telah terpenuhi
dan hasil panen masih terisisa maka boleh dikomersialkan. Keberlangsungan
sekuritas kebutuhan keluarga dalam jangka panjang lebih bermakna dari pada
1
Petani tradisional berbeda dengan peasant. Jika petani tradisional identik dengan motif ekonomi
yang subsisten. Sementara, peasant adalah istilah yang merujuk kepada kelas bawah dari struktur
petani.
8

keuntungan besar jangka pendek, namun beresiko bagi kejatuhan ekonomi


rumah tangganya. Mereka yang berpikiran seperti ini tergolong petani
tradisional dan berusaha keras mempertahankan pola-pola lama yang
memberikan jaminan keamanan subsisten rumah tangganya. Dalam keluarga
petani subsisten cenderung menanam tanaman pangan seperti beras dan umbi-
umbian.

Kebijakan pertanian yang mengarah pada modernisasi sebagai bentuk


dari penetrasi kapitalisme mendapatkan tatapan sinis dari para petani.
Pasalnya segala bentuk perubahan dianggap mengancam pola hidup mereka
yang subsisten. Cara hidup yang baru akan mengacaukan keseimbangan.
Sehingga mereka memilih untuk terus melekat pada tradisi-tradisi leluhurnya.
Pada saat yang bersamaan juga mereka akan tetap mempertahan pola-pola
hubungan tradisional, dan mengeluarkan dana-dana seremonial yang
dibutuhkan untuk melestarikan hubungan itu. Dewi (2006) berpendapat bahwa
selama hubungan-hubungan itu dapat dipertahankan maka tekanan-tekanan
dan penetrasi dari luar dapat ditolak. Sementara anggota-anggota yang lebih
beruntung dipaksa untuk membagi sebagian dari hasil kerja dan barang-barang
mereka dengan tetangga-tetangga mereka yang kurang beruntung (Wolf,
2015). Hasil studi Geertz (1983) memperlihatkan harmoni sosial budaya
dalam kehidupan petani Jawa. Meskipun dalam keadaan terjajah dan pelik
tidak menyuburkan munculnya pertentangan kelas sosial akibat memburuknya
hubungan kepemilikan tanah. Bahkan mereka tetap berbagi dalam keadaan
yang penuh dengan kemiskinan (shared poverty).2

James C. Scott (2000) dalam bukunya Senjatanya Orang-Orang yang


Kalah mengupas bagaimana masyarakat petani yang lemah menentang
kelakuan semena-mena dan eksploitatif dari kelompok ekonomi yang lebih
kuat, baik berasal dari dalam masyarakatnya sendiri atau pun dari luar.
Masyarakat petani yang lemah ini pada dasarnya tidak pernah berhenti
melakukan perlawanan. Karena begitu lemahnya perlawanan yang diberikan
2
Clifford Geertz, 1983, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, Jakarta:
Bhratara Karya Aksara, hal. 102.
9

sampai-sampai sulit untuk diidentifikasi. Hal ini memberikan keuntungan


tersendiri karena gerakan resistensi yang tidak terlacak akan menghindarkan
mereka dari intimidasi yang di lakukan oleh lapisan di atasnya.

Oleh karena itu, bagi saya terasa penting untuk memahami apa yang dapat
kita namakan ‘bentuk perlawanan sehari-hari petani’ – sebuah pertarungan
jangka panjang yang prosaik, antara petani dan pihak yang menyerobot
pekerjaan, makanan, sewa, dan bunga dari mereka. Kebanyakan bentuk
pertarungan ini hampir saja menimbulkan tantangan koletif langsung. Di
sini yang pikirkan ialah senjata-senjata biasa milik kelas yang relatif tak
berdaya dan selalu kalah, seperti memperlambat pekerjaan, bersifat pura-
pura, pelarian diri, pura-pura memenuhi permohonan, pencurian, pura-
pura tidak tahu, menjatuhkan nama baik orang, pembakaran, penyabotan,
dan sebagainya (Scott, 2000: xxiii).

Resistensi terkadang dikategorikan sebagai paradigma konflik. Namun


hal itu tidak sepenuh dapat diterima karena konflik dan resistensi mempunyai
titik berangkat yang berbeda. Konflik berangkat dari frame teoritis dalam
memandang realitas, maka resistensi menekankan pada aspek empiris dan
melakukan dialog kreatif dengan realitas sosial-budaya. Resistensi sebenarnya
berada ditengah-tengah dinamika yang terjadi antara teori konflik marxian dan
non-marxian. Karena titik berangkat dari konflik itulah yang membuat melihat
fenomena secara generalisasi. Atas dasar itulah resistensi lebih cocok dengan
gaya etnografi yang berangkat dari studi-studi empiris. Bahkan Geertz sendiri
pernah mengatakan bahwa antropolog mestinya berada di tengah-tengah,
karena posisinya yang tidak melulu teoritis, melainkan juga lapangan empiris
yang diperoleh secara langsung dari masyarakat yang nyata.3
Untuk lebih mengenali apa itu resistensi silahkan lihat beberapa bentuk
resistensi yang dikemukakan oleh Scott:4
a) Resistensi tertutup (simbolis dan ideologis) yaitu gosip, fitnah, kurang
menghormati penguasa, dan sebagainya.
b) Resistensi semi-terbuka seperti melakukan demonstrasi.
3
Panca, T., 2011, Resistensi Pedagang Pasar Sumber Arta Bekasi Barat, (Skripsi, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarja, 2011), hal. 30.
4
Ibid, hal. 33.
10

c) Resistensi terbuka merupakan bentuk perlawanan yang terorganisasi,


sistematis, dan memiliki prinsip. Pengejewantahan dari resistensi jenis
ini adalah adanya kekerasan (violent).
3. Mekanisme Pasar: Ekspansi Kapitalisme

Manusia selain merupakan mahluk spiritual juga merupakan mahluk


materi, sehingga dalam upaya untuk mengabadikan eksistensinya ia terikat
oleh kebutuhan-kebutuhan materi juga. Namun, dalam rangka pemenuhan
kebutuhan itu kita tak dapat melakukannya sendiri disebabkan karena kita
adalah social animal. Maka dari itu maka dibentuklah suatu tata kehidupan
bersama dimana melalui pemanfaatan tenaga, sumber daya alam, uang, waktu,
dan sebagainya, kita saling melengkapi kebutuhan masing-masing, yang
disebut dengan nama ekonomi.

Roda ekonomi di dunia saat ini berbaromateter pada ekonomi kapitalis


dan sosialis, di samping ada ekonomi islam dan faham ekonomi lainnya. Kita
mesti berhati-hati dalam mengklasifikasi suatu negara termasuk kategori
ekonomi yang mana, hal ini karena tidak satu pun negara yang mengadopsi
faham ekonomi murni. Tidak ada negara yang dalam praktek ekonominya
100% kapitalis, atau pun sosialis. Namun yang dapat kita saksikan dari segi
praktek yang banyak dijumpai adalah cenderung ke jenis ekonomi kapitalis.

Menurut Radlyah Hasan Jan (2010), jika menelaah ekonomi Indonesia


yang “dipraktikkan” saat ini maka yang nampak adalah ekonomi kapitalis. Hal
ini dapat dilihat dalam beberapa indikator: pertama, subsidi-subsidi dari
pemerintah dihapuskan walau secara bertahap dan penetapan harga diserahkan
pada mekanisme pasar. Kedua, kurs rupiah juga berlandaskan mekanisme
pasar, itu berarti tidak boleh dipatok dengan kurs tetap (fix rate). Ketiga,
privatisasi Perusahaan Negara (BUMN).

Ekonomi kapitalis menghendaki pasar bebas (free market) untuk


menyelesaikan permasalahan ekonomi, mulai dari produksi, distribusi hingga
konsumsi. Hal ini sejalan dengan semboyannya yang berbunyi lassez faire et
11

laissez le monde va de lui meme (biarkan ia berbuat dan biarkan ia berjalan,


dunia akan mengurus dirinya sendiri). Artinya, biarkan saja ekonomi berjalan
oleh mekanisme pasar bebas tanpa intervensi dari siapa pun termasuk
pemerintah, karena akan ada suatu invisible hands (tangan tak terlihat) yang
mengiring pereknomian ke kondisi equilibrium. Jika mekanisme pasar
mendapatkan campur tangan dari pemerintah maka akan menyebabkan
ketidakadilan, ketidakefisienan, dan ketidakseimbangan.

Naik-turunnya harga yang terjadi dalam mekanisme pasar ditentukan


oleh hukum Supply and Demand (Penawaran dan Permintaan). Harga suatu
barang sangat bergantung kepada dialektis antara stok ketersediaan barang dan
permintaan konsemen. Maksudnya, jika stok barang barang melimpah namun
permintaan kurang maka harga akan turun. Sebaliknya, jika pemintaan banyak
sedangkan barang kurang atau langka maka harga akan naik.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam realitasnya mekanisme pasar


tidak berjalan sesuai dengan rumus-rumus yang pasti. Seringkali ada praktek
monopoli yang dilakukan oleh produsen dan distributor. Karena alasan itulah
pemerintah memiliki dasar untuk melakukan intervensi. Tapi, setelah keadaan
kembali normal maka pemerintah tidak boleh tidak, harus lepas tangan dan
membiarkan pasar berjalan apa adanya. Karena campur tangan pemerintah
yang terlalu jauh justru akan mengundang masalah baru. Meski begitu,
kenaikan-penurunan harga secara ekstrim tidak mesti selalu diakibatkan oleh
tangan-tangan kotor pihak tertentu.

Hakikatnya, prinsip penetapan suatu harga barang tidaklah diketahui


secara mutlak. Namun berdasarkan hukum supply and demand kita dapat
mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya. Hukum
permintaan setidaknya dipengaruhi oleh harga barang yang bersangkutan,
pendapatan konsumen, harga barang lain yang terkait, selera konsumen,
ekspektasi (pengharapan), maslahah (tujuan dalam mengonsumsi barang).
Sedangkan faktor yang mempengaruhi untuk hukum penawaran itu sendiri
12

yakni laba yang diperoleh yang di dalam bergantung pada harga barang dan
biaya produksi.

Penulis merasa penting untuk mengutarakan bagian ini karena


bagaimanapun juga petani ada di dalam sistem besar ini. Mau tidak mau ia
harus patuh pada aturan mainnya. Maka dari itu, produksi pertanian sangat
ditentukan oleh hukum-hukum ekonomi pasar bebas. Besar kecil komoditas
yang diproduksi sangat bergantung pada permintaan (demand) pasar.
Sehingga untuk memenuhi permintaan tersebut petani menempuh berbagai
alternatif diantara revolusi hijau. Namun yang menjadi perdebatan adalah
mengenai motif petani melakukan alternatif tersebut, apakah atas dasar
“keterpaksaan” atau “pilihan rasioanal”.

Kapitalisme hadir dalam kehidupan petani memiliki dapat positif


seperti misalnya modernisasi saprodi pertanian. Namun kehadirannya juga
memerlukan akumulasi manusia yang menderita. Kapitalisme membuat petani
menjadi apa yang disebut oleh Karl Marx “teralienasi”. Ia bekerja tidak
berdasarkan kreatifitas dan kebebasan. Namun berkerja dalam kerangka sistem
kapitalisme yang mengikat.

Alienasi manusia dari proses-proses produksi yang sebelumnya telah


menjamin eksistensinya; alienasi mereka dari produk kerja mereka yang
disembunyikan ke dalam pasar hanya untuk mengembalikan (kepada)
mereka dalam bentuk uang; alienasi mereka dari mereka sendiri dengan
kekuasaanya dimana mereka sekarang melihat kemampuan mereka sendiri
sebagai komoditi-komoditi yang menguntungkan; alienasi mereka dari
teman-teman dekatnya yang menjadi pesaing sebenarnya atau potensial di
pasar: ini bukan hanya konsep-konsep filosofis; itu semua
menggambarkan tendensi nyata dalam pertumbuhan dan perluasan
kapitalisme (Wolf, 2015: 346; kata yang dalam kurung merupakan
tambahan dari penulis).

C. Kerangka Teoritik
13

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan holistik dan komparatif.


Pendekatan ini digunakan untuk melihat secara mendalam petani sebagai suatu
kelas sosial yang sering kali mendapat perlakukan monopoli dari lapisan yang ada
di atasnya. Pertanian dan mekanisme pasar akan dilihat secara bersama-sama.
Dalam antropologi, petani peasant sering kali dipandang sebagai masyarakat
transisi antara zaman pemburu-peramu dan industri, kendatipun mata pencaharian
ini masih eksis saat ini.

Konsep budaya yang dipakai dalam kajian ini menggunakan definisi yang
omnibus. Budaya dimaknai sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan
hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang digunakan untuk
kepentingan manusia, serta diperoleh dengan cara belajar. Hal ini berarti bahwa
hampir segala aktivitas manusia adalah kebudayaan, karena hanya sedikit
tindakan yang tidak membutuhkan belajar, misalnya gerak refleks, tindakan
naluri, dan proses fisiologi5. Meski di samping itu adanya juga pendefinisian
kebudayaan yang beraliran behaviorisme dan kognitivisme, demi penyatuan
pandangan dan konsistensi penggunaan konsep maka bagian ini penting untuk
ditegaskan.

Dalam rangka memudahkan dan memberi arah penulisan yang tidak kabur
maka dibutuhkan suatu teori sebagai alat analisis. Dalam penelitian ini
menggunakan dua teori yang telah populer dalam antropologi ekonomi yakni teori
ekonomi moral (atau mungkin bisa disebut resistensi petani), James C. Scott6 dan
Teori Ekonomi Rasional, Samuel L. Popkin.7

Menurut James Scott mekanisme sosial bagi komunitas petani untuk


melindungi diri dari kondisi yang membuat mereka rentan secara ekonomi
terhadap kekurangan pangan adalah semangat kolektif yang memanifestasikan
dirinya dalam gotong royong dan pemeriksaan isu-isu kepentingan bersama yang
berarti mendistribusikan sumber daya secara merata. Para petani menganut prinsip
5
Koentjaraningrat, 2015, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta: Jakarta, hal. 144-145.
6
Baca karya James C. Scott: “Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara”
dan “Senjatanya Orang-Orang yang Kalah: Bentuk-Bentuk Perlawanan Sehari-Hari Kaum Tani”.
7
Baca Karya Samuel L. Popkin: “Petani Rasional”. Buku tersebut ditulis sebagai respon terhadap
pemikiran Scott tentang moral ekonomi petani.
14

keadilan yang terletak di desa dan didasarkan pada keyakinan bahwa petani
memiliki hak moral untuk kehidupan yang layak. Sebagai bukti bahwa petani
kaya membagi surplus ekonomi desa di antara masyarakat petani, ada mekanisme
berbagi antara petani kaya dan miskin melalui berbagai hubungan ekonomi dan
sosial. Petani yang menganut ekonomi moral yang menempatkan keselamatan di
atas maksimalisasi keuntungan. Petani yang hidup relatif nyaman dan berada di
ambang kemiskinan, mengutamakan keselamatan dalam jangka panjang dan tidak
tertarik pada kemungkinan menghasilkan keuntungan dalam jangka pendek,
meskipun ada risiko keruntuhan ekonomi mereka.

Keamanan ini adalah kunci untuk memahami resistensi petani. Moralitas


ekonomi diutamakan. Petani diketahui menolak perubahan pola hubungan
ekonomi dan sosial yang sudah berlangsung lama karena ini dilihat sebagai
jaminan atas kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Petani dapat menggunakan kekuatan moral dari prinsip safety-first untuk melawan
perubahan dan realitas sosial yang tidak menawarkan pilihan lain.

Prinsip “safety-first” alias dahulukan selamat inilah yang melatarbelakangi


banyak sekali pengaturan teknis sosial dan moral dalam satu tatanan
agraris prakapitalis… Selain itu, tekanan-tekanan sosial di dalam desa
prakapitalis mempunyai efek redistributif tertentu; para petani kaya
diharapkan menjadi dermawan, mensponsori perayaan-perayaan yang
lebih mewah, menolong kerabat dan tetangga yang sedang kesukaran,
banyak bersedekah ke tempat-tempat suci dan tempat ibadah seperti yang
telah dikemukakan oleh Michael Lipton, “banyak kebiasaan di desa yang
secara sepintas kelihatan ganjil, mempunyai makna sebagai bentuk-bentuk
asuransi yang terselubung” (Scott, 2019: 8).

Samul L. Popkin menantang perspektif ekonomi moral. Popkin berteori


bahwa perlawanan petani berfungsi sebagai kerasionalan atas berbagai pilihan
yang tersedia. Premis Popkin adalah bahwa perilaku manusia selalu dimotivasi
oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan yang semaksimal mungkin.
Premis dasar Popkin adalah bahwa setiap orang bebas memilih perilaku yang
15

paling menguntungkan baginya. Popkin melihat hubungan sosial sebagai


perjuangan untuk mencapai kepentingan ekonominya diri sendiri, dan tidak
didasarkan pada penilaian moral kolektif.

Saya ajukan suatu pandangan tentang petani sebagai seorang pemecah


masalah yang rasional, dengan pengertian untuk kepentingan-kepentingan
pribadi maupun keperluan dalam tawar-menawar dengan orang-orang
lainnya untuk mencapai hasil-hasil yang bisa diterima bersama. Saya
berharap tidak meninggalkan pembaca dengan rasa kasihan pada para
petani atau dengan suatu kerinduan untuk menangkap kembali praduga
kesucian dan kesederhanaan mereka, tapi dengan rasa hormat atas segala
intelegensia yang mereka punyai untuk mengembangkan pemecahan-
pemecahan praktis atas masalah-masalah kompleks dalam pengalokasian
sumberdaya, kekuasaan (authority), dan penyelesaian perselisihan yang
dihadapi oleh tiap masyarakat (Popkin, 1983: vi)

Dalam komunitas pertanian, setiap petani pada dasarnya termotivasi untuk


menuntut keuntungan dari tindakan kolektif dengan partisipasi sekecil mungkin.
Popkin percaya bahwa semua bentuk perlawanan petani tidak menentang Revolusi
Hijau atau perubahan; melainkan melawan kekuatan petani kaya dan elit desa atas
nama komunitas petani, tetapi tujuannya adalah untuk memperkuat institusi yang
menguntungkan. Gerakan perlawanan petani terjadi ketika mayoritas orang
merasa dirugikan, bukan sebagai reaksi defensif guna mempertahankan tradisi dan
institusi tradisional.
Kedua teori di atas akan digunakan sebagai kerangka berpikir dalam
menganalisis masalah penelitian. Meskipun asumsi dasar dari keduanya tampak
kontradiksi bukan berarti tidak dapat digunakan untuk membaca suatu objek
materil yang sama. Selain itu, mekanisme pasar yang ada di lokasi penelitian
akan menjadi barometer untuk menentukan bentuk-bentuk resistensi di lapangan.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menguraikan bentuk-bentuk resistensi petani dalam
merespon mekanisme pasar bebas. Penelitian ini secara umum menggunakan
pendekatan deskriktif-kualitatif. Alasan digunakannya pendekatan ini tidak lain
untuk mempermudah dalam menggali informasi lebih dalam dan komprehensif,
yang meminimalkan jarak antara peniliti dan informan.
Data yang diperoleh melalui penelitian tidak disajikan secara kasar begitu
saja. Namun juga, data diolah dan diintepretasikan sedemikian rupa. Data di
lapangan menjadi sangat penting karena digunakan sebagai bahan untuk mengkaji
secara holitik permasalahan penelitian.
Pendekatan deskriftif-kualitatif pada ini dilakukan untuk menghasilkan
penggambaran parsial kebudayaan yang ada dalam masyarakat menggunakan
gaya etnografi. Alat analisisnya menggunakan konsep-konsep dan teori yang telah
diuraikan pada bab sebelumnya. Setelah tahap pengelolaan data yang diperoleh di
lapangan selesai, maka hasilnya digunakan untuk membangun sebuah konsep-
konsep baru yang akan menjelaskan gejala sosio-kultural di lingkungan penelitian.

B. Lokasi Penelitian
Penelitian lapangan dilakukan di Alesipitto yang merupakan salah satu
desa yang masuk wilayah Kecamatan Ma’rang, Kabupaten Pangkep. Alasan
memilih Desa Alesipitto sebagai lokasi penelitian berkaitan dengan latar belakang
masalah dan tujuan untuk pembahasan skripsi. Dengan demikian lokasi penelitian
berkharakteristik: pedesaan, mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani
padi, petani padinya memiliki kemandirian yang cukup dalam memenuhi
kebutuhan pangan pokoknya (beras), dan letaknya relatif jauh dari pusat
pemerintahan dan ekonomi kabupaten/kota. Kriteria-kriteria ini dapat kita temui
di Alesipitto.

16
17

C. Teknik Pemilihan Informan


Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat petani yang
membudidayakan tanaman padi di Desa Alesipitto, Kecamatan Ma’rang,
Kabupaten Pangkep. Dari populasi tersebut kemudian diambil beberapa sampel.
Sampel diambil menggunakan teknik purposive sampling. Teknik purposive
sampling merupakan teknik pemilihan informan berdasarkan kriteria yang telah
ditentukan sebelumnya untuk mendapatkan data yang diinginkan. Teknik ini
dipilih agar memudahkan penelitian di lapangan dan menghindari bias data.
Informan-informan yang akan dipilih untuk memperoleh data yaitu petani padi,
ketua kelompok tani, pedagang/penjual saprodi, pihak pemerintah desa, dan pihak
dinas pertanian kecamatan Ma’rang, Kabupaten Pangkep.

D. Teknik Pengumpulan Data


Penelitian dilkukan dengan mengumpulkan data-data yang didapat secara
primer dan sekunder. Data-data tersebut diperoleh dengan melakukan beberapa
teknik pengumpulan data seperti observasi (participation observation),
wawancara mendalam (indepth interview), dan studi kepustakaan.

1. Observasi
Obervasi (observation) atau pengamatan dilakukan untuk mendapatkan
gambaran yang jelas mengenai lokasi penelitian, serta keadaan dan
suasananya. Jenis observasi yang dilakukan adalah observasi partisipasi
(participation obervation). Observasi partisipasi merupakan salah satu teknik
pengumpulan data kualitatif yang dilakukan secara langsung dan dekat dengan
objek penelitian dan kulturnya, dimana peneliti melibatkan diri secara intensif
dalam jangka waktu yang relatif lama guna untuk memperoleh pemhaman
yang mendalam. Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi jarak antara penulis
sebagai peneliti dan para petani dan pedagang.

2. Wawancara
18

Wawancara dilakukan untuk memperoleh data primer, yaitu data yang


didapatkan secara langsung dari informan. Untuk wawancara yang bernuansa
etnografi menggunakan wawancara mendalam (in-depth interview).
Wawancara mendalam dilakukan dengan mengajukan pertanyaan secara
langsung kepada informan dan pihak-pihak yang berkompeten tentang
masalah yang diangkat. Selain itu, pedoman wawancara digunakan dalam
wawancara mendalam, memuat pertanyaan-pertanyaan relevan mengenai
informasi yang dibutuhkan.
Wawancara awal yang dilakukan adalah wawancara bersifat bebas dan
tak berstruktur. Di sela-sela wawancara diselingi dengan obrolan santai dan
ringan guna menciptakan kesan informan yang baik. Penulis berbaur dengan
masyarakat sampai keasingannya berkurang sehingga informasi yang ingin
didapatkan dari informan menjadi lebih mudah. Di sisi lain, penulis dalam
kapasitasnya sebagai peneliti tetap menempatkan diri sebagai pihak yang
netral agar informasi yang diperoleh tidak bias.

Walaupun setiap orang dapat menjadi informan, namun tidak setiap orang
dapat menjadi informan yang baik. Hubungan antara etnografer dan
informan penuh dengan kesulitan. Salah satu tantangan dalam melakukan
etnografi adalah memulai, mengembangkan, dan mempertahankan
hubungan dengan informan yang produktif. Perencanaan yang cermat dan
sensitivitas terhadap informan akan mengantarkan Anda pada suasana
wawancara yang sangat berat. Bagaimanapun, wawancara yang berhasil
tergantung pada banyak hal yang tidak mungkin untuk direncanakan atau
dikontrol sama sekali. Untuk satu hal, wawancara dipengaruhi oleh
identitas kedua pihak (Spradley, 2006: 65).

Untuk selanjutnya, menggunakan wawancara mendalam yang


terstruktur berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat sebelumnya.
Pedoman wawancara diperlukan untuk menjadi acuan agar pertanyaan yang
dijaukan tidak melebar kemana-mana. Hal ini tidak berarti pertanyaan terbatas
19

pada pedoman wawancara tersebut. Bisa jadi, jika ditemukan informasi yang
menarik pertanyaan dapat dikembang keluar dari pedoman wawancara.

D. Teknik Analisis Data


Analisis data dimulai dengan mengakumulasi semua data yang tersedia
dari berbagai sumber, baik itu dari wawancara mendalam, obervasi, dokumentasi,
dokumen-dokumen, dan studi kepustakaan. Setelah itu dilakukan kategorisasi
data, yaitu data primer dan sekunder. Tahap berikutnya, memilah-milah setiap
data yang menunjang tujuan penelitian. Sedangkan data yang dianggap kurang
relevan disisihkan (tidak dibuang), hal ini untuk mengantisipasi karena dapat saja
data tersebut tetiba dibutuhkan seiring dengan berjalannya penyusunan hasil
penelitian. Tidak luput juga untuk mencocokkan kembali hasil rekaman dan/atau
catatan hasil wawancara dengan data yang sajikan oleh penulis. Mencermati data-
data mesti dilakukan setiap saat untuk menghindari kesalahan interpretasi
mengenai fenomena di lapangan. Terakhir, karena penelitian ini menggunakan
pendekatan etnografi maka berlaku triangulasi metode/data untuk menemukan
validitas data. Dalam proses ini dilakukan pencocokan data dari informan yang
satu dengan informan lain atau dari data yang diperoleh dari hasil obervasi dan
studi kepustakaan.
20

Anda mungkin juga menyukai