Anda di halaman 1dari 10

BAB I

KARAKTERISTIK PERTANIAN DI INDONESIA

Pertanian memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi.

Pemanfaatansumberdaya yang efisien pada tahap-tahap awal proses pembangunan

menciptakan surplus ekonomi melalui sediaan tenagakerja dan formasi kapital yang

selanjutnya dapat digunakan untuk membangun sektor industri. Pertanian atau

usahatani hakekatnya merupakan proses produksi di mana input alamiah berupa lahan

dan unsur hara yang terkandung di dalamnya, sinar matahari serta faktor klimatologis

(suhu, kelembaban udara, curah hujan, topografi dsb) berinteraksi melalui proses

tumbuh kembang tanaman dan ternak untuk menghasilkan output primer yaitu bahan

pangan dan serat alam. Ada beberapa jenis pertanian berdasarkan perkembangannya

yaitu:

1. Pertanian ekstraktif, yaitu pertanian yang dilakukan dengan hanya mengambil

atau mengumpulkan hasil alam tanpa upaya reproduksi. Pertanian semacam ini

meliputi sektor perikanan dan ekstraksi hasil hutan.

2. Jenis pertanian kedua adalah pertanian generatif yaitu corak pertanian yang

memerlukan usaha pembibitan atau pembenihan, pengolahan, pemeliharaan dan

tindakan agronomis lainnya. Berdasarkan tahapan perkembangannya pertanian

generatif dibedakan menjadi dua kelompok yaitu:

a. Perladangan berpindah (shifting cultivation), merupakan salah satu corak

usahatani primitif di mana hutan ditebang-bakar kemudian ditanami tanpa

melalui proses pengolahan tanah. Corak usahatani ini umumnya muncul

wilayah-wilayah yang memiliki kawasan hutan cukup luas di daerah tropik.

1
Sistem perladangan berpindah dilakukan sebelum orang mengenal cara

mengolah tanah.

b. Pertanian menetap (settled agricultured) yaitu corak usahatani yang pada

awalnya dilakukan di kawasan yang memiliki kesuburan tanah cukup tinggi

sehingga dapat ditanami terus menerus dengan bera1 secara periodik.

Selanjutnya berdasarkan ciri ekonomis yang lekat pada masing-masing corak

pertanian dikenal dua kategori pertanian yakni pertanian subsisten dan pertanian

komersial. Pertanian subsisten ditandai oleh ketiadaan akses terhadap pasar. Dengan

kata lain produk pertanian yang dihasilkan hanya untuk memenuhi konsumsi

keluarga, tidak dijual. Pertanian komersial berada pada sisi dikotomis pertanian

subsisten. Umumnya pertanian komersial menjadi karakter perusahaan pertanian

(farm) di mana pengelola usahatani telah berorientasi pasar. Dengan demikian

seluruh output pertanian yang dihasilkan seluruhnya dijual dan tidak dikonsumsi

sendiri.

Pertanian di Indonesia adalah pertanian tropika, sebab sebagian besar wilayah

Indonesia terletak di daerah tropik yang dilalui oleh garis khatulistiwa. Selain

pengaruh ekuator atau garis khatulistiwa, ada dua faktor alamiah lain yang ikut

memberikan corak pertanian Indonesia. Pertama, Indonesia adalah negara kepulauan,

dan kedua, topografi di Indonesia bergunung-gunung. Dalam konteks negara

kepulauan, Indonesia terletak di antara dua samudra yaitu samudra Hindia dan

samudra Pasifik, serta di antara dua benua yaitu benua Asia dan Australia. Kedua

kondisi alamiah ini memberikan pengaruh yang signifikan terhadap iklim dan

2
perubahan arah angin sehingga memungkinkan adanya variasi suhu udara. Semakin

tinggi daerah pegunungan, pengaruh iklim tropik akan semakin berkurang dan

digantikan dengan iklim sub tropik.

Ditinjau dari kondisi oceanografisnya, perairan laut di Indonesia sangat

dipengaruhi oleh posisinya yang diapit oleh dua samudra dan dua benua, sementara

perairan darat didominasi oleh sungai, danau dan rawa-rawa. Sebagai daerah

kepulauan yang beriklim tropis, Indonesia memiliki curah hujan yang tinggi. Di

daerah-daerah yang curah hujannya sangat tinggi terdapat hutan-hutan tropis yang

sangat luas. Dari ilustrasi kondisi alamiah di atas dapat diketahui bahwa Indonesia

memiliki potensi yang sangat besar di sektor perikanan, pertanian dan kehutanan.

Perikanan merupakan mata pencaharian pokok para nelayan. Penangkapan ikan

sebagian besar masih dilakukan secara tradisional. Sementara itu walaupun pada

kenyataannya tanaman pertanian iklim sub tropik dan iklim sedang seperti teh,

kopi,kina, sayur-sayuran dan buah-buahan telah menjadi komoditi pertanian penting,

namun hasil pertanian Indonesia yang dominan adalah tanaman tropis seperti padi,

jagung, tembakau, tebu, karet dan kopra.

Adapun perkembangan jenis ternak di Indonesia selain sangat tergantung pada

curah hujan dan kesuburan tanah juga dipengaruhi oleh dua faktor klimatologi

lainnya yaitu kelembaban dan suhu udara. Di daerah super humid (iklim basah)

seperti Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya yang ditandai oleh adanya rawa-rawa

dan hutan lebat hanya terdapat sedikit persediaan hijauan pakan ternak yang tidak

diusahakan manusia. Hutan juga meningkatkan kelembaban udara dan memperendah

3
rata-rata suhu udara. Hal ini memberikan peluang yang cukup besar bagi

perkembangan penyakit hewan yang menular seperti scabies, fasciola hepatica,

botulisme dan sebagainya. Sebaliknya di daerah-daerah dengan suhu tinggi dan

kelembaban rendah sangat mudah berjangkit penyakit anthrax dan surra. Dengan

demikian populasi ternak di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya tidaklah sebanyak

pada daerah-daerah di wilayah Indonesia Timur yang memiliki curah hujan sedang

dan rendah. Wilayah ini ditandai oleh adanya hutan yang tidak lebat dan padang

sabana yang menyediakan cukup banyak hijauan pakan ternak terutama sapi, kerbau,

kuda, kambing dan domba.

PERMASALAHAN UTAMA PERTANIAN DI INDONESIA

Dalam mengelola suatu usahatani, petani lazimnya mengalami berbagai

masalah baik yang berkaitan dengan proses produksi dan pemasaran hasil pertanian

maupun masalah rutin berkenaan dengan kehidupan petani dalam kesehariannya.

Sementara itu, selain merupakan matapencaharian, bertani umumnya telah menjadi

bagian hidup dari petani dan keluarganya. Mereka yang telah terlibat pada usahatani

secara turun temurun bahkan menganggap bertani sebagai way of life (jalan hidup),

sehingga usahatani tidak hanya penting dari aspek ekonomi namun sekaligus

mencakup aspek sosial, budaya, tradisi serta ritual keagamaan. Salah satu masalah

penting yang selalu dialami oleh petani adalah lebarnya jarak waktu antara

pengeluaran biaya produksi dengan penerimaan pendapatan. Hal ini dikenal dengan

istilah gestation period (Mubyarto, 1979). Petani padi misalnya harus menunggu

lebih kurang 3-4 bulan untuk dapat menjual hasil panennya. Petani pekebun bahkan

4
harus menunggu lebih lama untuk dapat menikmati hasil panennya. Gestation period

juga dikenal di sektor peternakan dan perikanan darat, namun tidak berlaku pada

nelayan penangkap ikan dan petani ekstraktif lainnya.

Gestation period dalam pertanian mengimplikasikan satu kenyataan penting

yaitu bahwa pendapatan petani diperoleh hanya pada musim panen sementara

pengeluaran rutin petani harus dilakukan setiap hari. Belum lagi bila petani

menanggung pengeluaran yang sifatnya mendadak atau mendesak seperti bila ada

anggota keluarga yang sakit, anak harus membayar uang sekolah dan sebagainya.

Lebih jauh dampak gestation period dapat diamati pada perilaku petani. Salah satu

kecenderungan yang tampak nyata adalah kebiasaan petani untuk berbelanja produk-

produk non pertanian yang sifatnya konsumtif pada saat panen, seperti radio, televisi,

sepeda atau motor serta perhiasan emas yang kemudian pada saat paceklik atau ada

kebutuhan lain yang mendesak dijual kembali dengan harga murah. Selain itu

gestation period menyuburkan praktek ijon di kalangan petani. Petani gurem dengan

kepemilikan modal yang kecil tak mampu menutup biaya hidup dari hasil usahatani

yang masa panennya harus ditunggu cukup lama. Itulah sebabnya jika ada kebutuhan

yang sangat mendesak mereka terpaksa harus menjual tanaman yang diusahakannya

sebelum panen tiba dengan harga yang sangat murah kepada pengijon.

Sebagaimana telah dipaparkan di atas, dengan karakteristik skala usahatani

yang kecil, petani mengalami kendala yang cukup besar untuk memodali

usahataninya. Kendala ini muncul antara lain karena earning capacity sektor

pertanian yang rendah. Fluktuasi harga produk pertanian yang tajam: sangat rendah

5
pada saat panen raya dan sangat tinggi pada saat paceklik, menyebabkan rendahnya

pendapatan atau nilai tukar petani. Di sisi lain beban cost of living (biaya hidup) yang

harus ditanggung petani cukup besar. Dalam kondisi semacam ini karena ketiadaan

alternatif sumber modal atau kredit perbankan petani cenderung terjerat sistem ijon.

Hingga saat ini sistem perbankan yang ada di Indonesia dinilai kurang mampu

mengadopsi berbagai kepentingan petani. Hal ini terutama disebabkan oleh

penerapan sistem jaminan yang merupakan prasyarat bagi prosedur pengajuan kredit

di bank, sementara petani seringkali tidak memiliki aset yang dapat dijaminkan.

Dalam pengertian ekonomi, modal adalah barang atau uang yang bersama-

sama faktor produksi tanah dan tenaga kerja menghasilkan produk-produk baru. Oleh

karena modal dapat menghasilkan produk baru maka dapat dikatakan bahwa

permodalan merupakan salah satu upaya untuk mengakumulasikan pendapatan.

Sebagai pelaku ekonomi, petani tentulah memiliki orientasi produksi berbasis profit.

Hal ini merupakan pendorong tumbuhnya minat untuk membentuk modal atau

melakukan investasi dengan

menunda beberapa aktivitas konsumsi (capital formation). Biasanya petani

mengakumulasikan modal usahatani dengan menyisihkan kekayaan atau sebagian

hasil produksi untuk disimpan sementara waktu dan atau dialokasikan pada

pembelian barangbarang produktif seperti sapi yang dapat digunakan untuk

membajak sawah serta mesinmesin pertanian lainnya.

Peran formasi kapital dalam usahatani sangatlah penting, namun data empiric

menyatakan bahwa petani Indonesia yang lebih banyak beroperasi pada pertanian

6
rakyat berskala kecil semakin tidak mampu melakukan formasi kapital disebabkan

oleh tingginya biaya hidup. Pada kondisi semacam ini, formasi kapital kemudian

dikaitkan dengan lembaga-lembaga keuangan baik formal maupun non formal yang

menyediakan kredit usahatani.

Persoalan penduduk di Indonesia sebenarnya jauh lebih kompleks sehingga

solusi atas masalah ini menuntut rancangan kebijakan yang simultan. Surplus tenaga

kerja di sektor pertanian, ditengarai telah menjadi penyebab rendahnya produktivitas

di sector ini. Di lain pihak pemekaran kesempatan kerja di pedesaan yang berbasis

pada produksi pertanian masih sangat terbatas. Di masa orde baru kebijakan

industrialisasi Indonesia pada awalnya ditujukan untuk secara bertahap memindahkan

surplus tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri manufaktur, akan tetapi

formasi kapital yang intensif teknologi tinggi justru bersifat menghemat tenaga kerja.

Tanpa disertai dengan investasi sumberdaya manusia yang memadai pada akhirnya

kebijakan industrialisasi Indonesia justru menyebabkan meluasnya fenomena

informalitas, rendahnya kemampuan sector industri untuk menyerap kelebihan tenaga

kerja dari sektor pertanian dan urbanisasi.

Namun terlepas dari kegagalan kebijakan pembangunan mengatasi masalah

kependudukan di sektor pertanian, program pengendalian jumlah penduduk, investasi

di bidang kesehatan dan pendidikan, program transmigrasi serta migrasi internasional

tetap relevan sebagai katup pengaman masalah tersebut yang secara makro ditujukan

untuk meraih angka pertumbuhan ekonomi positif. Pembahasan khusus mengenai

aspek ketenagakerjaan dalam sektor pertanian mencakup dua kategori yaitu petani

7
sebagai manajer usahatani dan petani sebagai tenaga kerja pertanian. Sebagai manajer

usahatani aspek ketenagakerjaan yang berpengaruh adalah enterpreneurship atau jiwa

kewirausahaan. Petani sebagai manajer usahatani adalah pengambil keputusan bagi

unit produksi usahatani yang dikelolanya. Sebagai seorang wirausaha petani harus

memiliki sense of business dan ketrampilan mengelola resiko serta peluang usaha.

Di sisi lain petani adalah pekerja di sektor pertanian. Sudut pandang ini

menempatkan tenaga kerja sebagai input produksi. Dalam konteks ekonomi pertanian

Indonesia, tenaga kerja sebagai salah satu input produksi dikategorikan berdasarkan

skala usahatani di mana mereka dipekerjakan. Hal ini sangat penting sebab struktur

ketenagakerjaan pada perkebunan, kehutanan dan peternakan besar tentu sangat

berbeda dengan struktur ketenagakerjaan pada usahatani skala kecil yang pada

umumnya dikerjakan oleh tenaga kerja keluarga. Dari aspek produktivitas tenaga

kerja, berkembang hipotesis zero marginal productivity of labor. Hipotesis ini

dibangun berdasarkan teori yang menyatakan bahwa di sektor pertanian terjadi

surplus tenaga kerja sehingga man-land ratio sangat tinggi. Ketidakseimbangan

antara lahan dan tenaga kerja ini selanjutnya memunculkan bentukbentuk

pengangguran musiman dan pengangguran tidak kentara (disguised unemployment).

Dampak lain dari zero marginal productivity of labor adalah tertekannya tingkat upah

di sektor pertanian hingga level subsisten. Artinya, upah yang diterima tenaga kerja

pertanian sedemikian rendahnya hingga hanya dapat digunakan untuk bertahan hidup.

Rendahnya produktivitas dan upah tenaga kerja di sektor pertanian menjadi

sinyal adanya inefisiensi alokasi sumberdaya ekonomi, dalam hal ini sumberdaya

8
manusia. Salah satu solusi bagi masalah rendahnya produktivitas sektor pertanian

adalah realokasi sumberdaya manusia yang berlangsung melalui mekanisme migrasi.

Migrasi pada dasarnya mendorong perpindahan sumberdaya manusia berdasarkan

insentif ekonomi, sebab tingkat upah relatif di daerah tujuan biasanya lebih tinggi

dibandingkan tingkat upah relatif di daerah asal migran. Pokok kajian ini dapat

dipelajari lebih mendalam pada bab yang membahas berbagai dampak kebijakan

pemerintah dan perdagangan internasional terhadap efisiensi alokasi sumberdaya

pertanian.

Anda mungkin juga menyukai