Anda di halaman 1dari 24

KARAWITAN MURYORARAS;

SEBAGAI REPRESENTASI KONSEP SPRIRITUAL KEJAWEN


KARAWITAN MURYORARAS;
AS REPRESENTATION OF KEJAWEN SPIRITUAL CONCEPT

FITRIANTO
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Darussalam Cilacap
Pekuncen RT005/001 Karangkemojing
Gumelar, Banyumas, Jawa Tengah.
Email: antokpring@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini menjelaskan mengenai penyajian karawitan Muryoraras dalam konteks
budaya dan sistem kepercayaan masyarakatnya. Selain itu penelitian ini juga menjelaskan
tentang sistem kerja konsep penyajian Muryoraras sebagai seni ritual.Analisis data
didasarkan pada dua teori yaitu estetika mitis Jacob Soemardjo dan teori pengkondisian Ivan
Petrovich Pavlov. Bedasarkan estetika mitis, hubungan antara objek seni dengan budaya dan
sistem kepercayaan masyarakatnya dapat dijelaskan dengan sistematis. Sementara analisis
sistem kerja konsep penyajian Muryoraras didasarkan pada teori pengkondisian yang
mencakup proses pemberian stimulus dan respon perilaku. Penulis menggunakan metode
penelitian kualitatif dengan pendekatan etnomusikologis guna menelusuri lebih dalam
hubungan antara karawitan Muryoraras dengan budaya serta sistem kepercayaan
masyarakatnya. Pengumpulan data dilakukan dengan langkah-langkah yang terukur di
antaranya: observasi, wawancara, dokumentasi, dan bahan audio visual. Kemudian
dianalisis dengan beberapa tahap seperti mengorganisasikan data, membuat memo,
pembentukan kode, menafsirkan data, menyajikan, dan memvisualisasikan data, sehingga
data yang diteliti dapat dibuktikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara konseptual
penyajian karawitan Muryoraras merupakan media representasi berbagai nilai budaya Jawa
dan ajaran Kejawen sebagai sistem kepercayaan masyaraktnya. Selanjutnya, kerangka
konseptual penyajian tersebut diaplikasikan dengan sistem kerja pengkondisian yang terbagi
dalam dua tahapan yaitu tahapan pembentukan dan penguatan melalui berbagai macam
tatacara penyajiannya.

Kata Kunci: Muryoraras, Representasi, Kejawen

ABSTRACT
This research describes the presentation of Karawitan Muryoraras in the context of
culture and the belief system of the society. Besides that this research describes the system of
the presentation concept Muryoraras as ritual art. The data analysis is based on two theories
namely the mythical aesthetic by Jacob Soemardjo and the theory of conditioning by Ivan
Petrovich Pavlov. Based on the mythical aesthetic the relationship between the object art
with culture and the belief system of society will be explained systematically. At this moment
the analysis of the working system of the Muryoraras presentation concept is based on the
conditioning theory that includes the process of stimulation and behavioral response. The
Author uses qualitative research methods with ethnomusicological approach to trace deeper
relationship between Karawitan Muryoraras and culture as well as belief system of the
society. The data collection is done by measurable steps like: observation, interviews,
documentation, and audio-visual materials. Then analyzed by several stages such as
organizing them the data being examined can be verified. The results show that conceptually
the presentation of Karawitan Muryoraras is a representative media of various cultural
values of Java and the teaching of Kejawen as belief system of the society. Furthermore, the
conceptual framework of hepresentation is applied to the working system of conditioning
which is devided into two stages namely the stages of formation and reinforcement through
various presenting rules.

Keywords: Muryoraras, Representation, Kejawen.

A. PENDAHULUAN
Salah satu yang menarik ketika berbicara mengenai kesenian tradisional adalah
keberadaannya yang tidak pernah lepas dari masyarakat dimana kesenian itu berada.
Kesenian tradisional sebagai produk budaya hampir tidak pernah lepas dari berbagai konteks
budaya yang melingkupinya.Kehadiran dan perkembangannya selalu berkaitan dengan
konteks ruang, waktu, sosial, politik, ekonomi, dan teknologi dimana kesenian itu berada.
Kesenian tradisional juga dapat dipahami sebagai sebuah sistem simbol yang memuat nilai-
nilai atau norma-norma budaya masyarakatnya. Senada dengan hal tersebut Jacob Sumardjo
mengatakan bahwa “benda seni adalah produk sebuah budaya yang menjadi sistem nilai suatu
masyarakat..”(Soemardjo, 2000:325). Oleh karena itu pemaknaan atas nilai-nilai yang
terkandung dalam suatu kesenian haruslah didasarkan pada konsep budaya dan atau
kepercayaan masyarakatnya.
Sebuah kesenian tradisional diciptakan bukan tanpa nilai, akan tetapi diciptakan
dengan tujuan mengekspresikan nilai-nilai tertentu. Sebagian besar kesenian tradisional di
Indonesia berhubungan erat dengan sistem kepercayaan tertentu ataupun mengandung unsur
spiritual. Spiritual yang dimaksud adalah suatu yang berhubungan dengan atau bersifat
kejiwaan, rohani atau batin (Poerwadarminta,2007:1143). Beberapa masih banyak dijumpai
di Jawa yang memang sebagian besar masyarakatnya masih berpegang pada adat dan
tradisinya.Salah satu bentuk kesenian tradisional Jawa yang dimaksud adalah karawitan
Muryoraras yang sampai saat ini masih dapat dijumpai di wilayah Jawa Tengah dan
Yogyakarta.
Muryoraras merupakan bentuk penyajian karawitan yang erat hubungannya dengan
praktek spiritual. Penyajian karawitan ini dilakukan sebagai sarana dalam bermeditasi. Secara
etimologi, istilah Muryoraras berasal dari kata muryo yang berarti ngetingal atau
memperlihatkan dan kata raras yang berarti indah, asri, dan rasa.Selain itu, Muryoraras juga
merupakan media untuk mengekspresikan emosi seni melalui ketrampilan masing-masing
pemainnya (Saptono, 1998:164).
Berbeda dengan penyajian karawitan pada umumnya, karawitan Muryoraras disajikan
dengan tatacara tertentu.Penyajian karawitan ini dilakukan pada tengah malam dan tanpa
menggunakan alat penerangan atau dalam keadaan sunyi dan gelap.Selain itu, penyajian
karawitan Muryoraras ini hanya dilakukan pada hari-hari tertentu seperti misalnya malam
Jum’at Kliwon, Selasa Legi, dan lainnya.Penyajian karawitan Muryoraras biasanya dimulai
setelah pukul 24.00 dengan hanya memainkan satu gending saja. Gending yang sering
dimainkan dalam sajian Muryoraras ini adalah gending dengan laras slendro patet
sangaseperti misalnya gending Gambirsawit, Rondhon, dan lainnya. Gending dalam sajian
Muryoraras ini disajikan dalam format instrumentalia. Selama memainkan gending tersebut,
para penabuh gamelan akan memejamkan matanya. Sajian karawitan ini juga tidak
menggunakan gamelan lengkap, akantetapi hanya beberapa instrumen saja seperti gender,
gambang, kendang, rebab, slenthem,kethuk kenong, dan gong.Penataan gamelan dan posisi
para penabuh gamelan dalam Muryoraras ini juga harus menghadap ke arah timur. Selain
gamelan, kelengkapan lain yang harus ada dalam sajian Muryoraras ini adalah sesaji berupa
beberapa bunga yang diletakkan dalam wadah berisi air dan dupa atau kemenyan.Selama
berjalannya sajian Muryoraras tersebut, semua orang yang terlibat baik penabuh maupun
masyarakat yang datang untuk menyaksikan dihimbau untuk bersikap tenang, tidak makan
dan minum, merokok, dan bersuara.Tatacara penyajian Muryoraras di atas dapat dikatakan
sebagai keunikan yang dengan itu menjadi pembeda dengan penyajian karawitan pada
umumnya.
Penyajian karawitan Muryoraras seperti yang telah disampaikan di atas tentunya
bukan tanpa makna.Ungkapan bahwa ‘bentuk’ mengikuti ‘fungsi’ kiranya dapat menjadi
rujukan untuk menjelaskan fenomena karawitan Muryoraras ini. Seperti telah disampaikan
sebelumnya bahwa terlepas dari seperti apa penerimaan pelaku dan penikmatnya,
Muryoraras disajikan bukan sebagai hiburan melainkan sebagai sebuah aktivitas yang
berhubungan dengan spiritual (wawacara Saptono, 2016).
Masyarakat pendukung karawitan Muryoraras mengklaim sebagai penganut Kejawen
(Wawancara Saptono, 2016). Hal ini menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut terkait sejauh
mana hubungan karawitan Muryoraras dengan Kejawen yang dimaksud. Untuk dapat
mendapatkan pemahaman mengenai hubungan keduanya, tentunya diperlukan pemahaman
terlebih dahulu mengenai Kejawent ersebut. Kejawèn merupakan sebuah kepercayaan,
pandangan hidup, ataupun filsafat yang dianut oleh sebagian masyarakat Jawa. Akan tetapi,
walaupun Kejawèn merupakan sebuah ajaran kepercayaan ataupun pandangan hidup, tidak
jarang yang menyebut Kejawèn dengan sebutan Agami Jawi (Agama Jawa). Selain itu,
Kejawe juga dapat dianggap sebagai cara pandang masyarakat Jawa terkait dengan
keagamaan, kepercayaan, dan juga tradisi (Hakiki, 2014). Sebagai suatu ajaran kepercayaan,
Kejawèn selalu melekat berdampingan dengan agama yang dianut pada zamannya misalkan
dengan agama Islam (Islam Kejawèn), Hindu (Hindu Kejawèn), dan lainnya. Kejawèn
sebagai pandangan hidup dalam bingkai tradisi, praktik-praktik Kejawèn banyak ditempuh
orang-orang Jawa dalam agama yang mereka anut.
Konsep dasar Kejawèn adalah keyakinan terhadap ke-esa-an Sang Pencipta dan nilai-
nilai keseimbangan hidup serta keluhuran budi yang menjadi dasar dan tujuan dari ajaran
tersebut.Salah satu ajaran Kejawèn terkait dengan Sang Pencipta adalah manunggaling
kawula lan Gusti (bersatunya manusia dengan Tuhan). Dalam mengaktualisasikan ajaran
tersebut penganut Kejawèn menjalani praktik spiritual yang sering disebut sebagai laku.
Adapun beberapa contoh antara lain dengan tapa (semedi) dan pasa (puasa). Penganut laku
dalam Kejawèn antara Kejawèn menyakini pengetahuan mengenai seluruh aspek kehidupan
sebenarnya dapat dicapai melalui semedi dengan membangun hubungan langsung dengan
Tuhan (Woodwark,1999:53). Kejawen pada dasarnya merupakan bagian dari kebudayaan
Jawa yang terkait dengan tatacara ritual penghormatan serta tatacara mengekspresikan
bagaimana ngugemi kepada Gusti Kang Murbeng Dumadi serta tatacara mengenai hubungan
manusia dengan Tuhan maupun manusia dengan alam (Jati, 2013).
Fokus dari penelitian ini adalah mengungkap hubungan kesenian yang dalam hal ini
karawitan Muryoraras dengan sistem kepercayaan masyarakatnya yaitu Kejawèn. Selain itu,
peneliian ini juga akan menjelaskan secara teknis mengenai pengaplikasian konsep penyajian
Muryoraras sebagai sebuah aktivitas ritual. Berdasarkan pemaparan di atas dapat diambil
beberapa pertanyaan yang akan dibahas antra lain bagaimana Muryoraras merepresentasikan
konsep spiritual Kejawèn dan bagaimana sistem kerja konseptual karawitan Muryoraras
dalam penyajianya. Melalui pemahaman beberapa permasalahan yang telah dirumuskan,
diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat baik bagi penulis sendiri dan
masyarakat kaitannya dengan pengetahuan tentang karawitan Muryoraras. Karena masih
kurangnya informasi tentang karawitan Muryoraras, diharapkan penelitian ini dapat
memberikan sumbangan informasi lebih tentang karawitan Muryoraras. Selain itu, hasil
penelitian ini diharapkan dapat memperluas khazanah ilmu pengetahuan guna memahami
fenomena budaya terutama di bidang musik Nusantara. Tentunya, juga dapat berkontribusi
dan memperkaya studi etnomusikologi dalam kajian musik untuk melihat fenomena di dalam
suatu sistem kebudayaan di masyarakat.

B. KAJIAN LITERATUR
Kajian Pustaka
Tinjauan dari beberapa literatur yang memuat kajian-kajian mengenai topik diatas
sangat diperlukan baik sebagai bahan referensi, komparasi, maupun untuk memperkuat daya
analisis terhadap topik yang akan diangkat dalam tulisan ini. Beberapa literatur yang
didapatkan adalah berupa jurnal dan buku yang diterbitkan beberapa tahun terakhir.

1. Marc Benamou, RASA: Affect and Intuition In Javanese Musical Aesthetics (USA: Oxford
University Press, 2010). Buku ini berisi beberapa artikel yang membahas mengenai karawitan
terutama tentang konsep rasa dan estetika.Dalam buku ini, Benamou mengibaratkan rasa
sebagai sebuah sensasi.Selain itu Benamou juga memahami rasa sebagai sebuah gagasan
yang mengacu pada kombinasi dari berbagai kualitas yang antara lain perasaan, suasana hati,
akal, makna batin, intuisi, dan pemahaman yang mendalam. Salah satu bab dari buku ini juga
membahas mengenai beberapa faktor dalam karawitan yang memberikan kontribusi terhadap
rasa sebuah gending. Berbeda dengan artikel ini, penelitian mengenai Muryorarasini akan
membahas mengenai rasa gending yang terbentuk dari pengkondisian garap gending maupun
tata cara sajian.
2. Susan Pratt Walton, Aesthetic and Spiritual Correlations in Javanese Gamelan Music (The
Journal of Aesthetics and Art Criticism, vol 65 tahun 2007). Artikel ini membahas mengenai
korelasi antara estetika dan spiritual dalam musik gamelan Jawa.Walton beranggapan bahwa
ada kesamaan dan koneksi menarikantara tradisi musik gamelandi Jawa dan tradisi mistik
Jawa. Walton berpendapat bahwa musik gamelan memanifestasikan sistem pusat pemikiran,
pengalaman, dan keyakinan budaya Jawa: mistisisme. Meskipun dalam beberapa dekade
terakhir tampak memudar, mistisisme telah lama menjadi titik fokus dalam budaya Jawa,
sehingga tidak mengherankan bahwa sistem musik Jawa diatur, setidaknya sebagian, untuk
mendukung manifest dan mengungkapkan sistem itu.Artikel ini tidak memerikan gambaran
yang jelas mengenai bagaimana karawitan memanifestasikan keyakinan Jawa terutama terkait
dengan mistisisme. Berbeda dengan artikel ini, penelitian tentang
Muryorarasiniakanmenjelaskan manifestasi sistem keyakinan Jawa dalam karawitan dengan
lebih jelas.
3. Ben Brinner, Cognitive And Interpersonal Dimensions of Listening In Javanese Gamelan
Performance (Berlin: The World Of Music, Vol 41 tahun 1999). Artikel ini membahas
mengenai bagaimana musisi mendengarkan kinerja musik gamelan dengan penekanan pada
sifat yang sangat tergantung pada konteks sosial dari proses kognitif yang tampaknya
individu. Dimulai dengan kondisi kinerja musik gamelan dan beberapa konvensi lebih luas
dalam kinerja gamelan Jawa, diskusi berubah menjadi aural (berhubungan dengan
pendengaran) penyaringan dan pengalaman berbeda yang tergantung pada bagian-bagian
yang dimainkan.Artikel ini tentunya dapat menjadi referensi terkait dengan efek yang
diterima seseorang ketika mendengarkan gamelan. Penelitian karawitan Muryoraras ini akan
mengkaji lebih dalam mengenai efek atau pengaruh yang dihasilkan dari mendengarkan
gamelan terkait dengan dimensi spiritual yang akan dicapai.
4. Susan Pratt Walton, Collaboration, Feeling and the partnership of the Spiritual and
Musical In Javanese Gamelan Music(USA: Michigan University, 2001). Dalam tulisan ini
Walton berpendapat bahwa musisi harus berkolaborasi dalam jaringan yang sangat ketat, para
pemain harus bersama-sama menciptakan rasa atau perasaan dari musik.Dalam tulisan ini,
Walton berpendapat bahwa konsep rasa adalah elemen penting dari kolaborasi dalam musik
gamelan.Rasa sangat berhubungan dengan dimensi spiritual dan estetika.Artikel ini memang
tidak secara mendalam membahas mengenai kesamaan rasa yang terbangun terutama terkait
masalah teknis pelaksanaannya.
5. Jacob Sumardjo, FILSAFAT SENI (Bandung: Penerbit ITB, 2000). Buku ini sangat
membantu dalam memahami secara mendasar gejala yang disebuat seni.Selain itu buku ini
juga membahas mengenai hubungan antara nilai sani pada benda dan nilai masyarakat di
tempat benda seni tersebut diciptakan.Pada bagian 10 dari buku ini dibahas mengenai
persoalan seni di Indonesia dengan latar belakang masyarakat mitis.Bagian ini menjelaskan
secara terstruktur mengenai bagaimana kesenian tradisional hadir sebagai representasi dari
sistem budaya masyarakat penciptanya.
6. Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, terjemahan dari buku
The Religion of Java (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1981). Buku merupakan hasil studi
komprehensif mengenai suatu kehidupan keagamaan orang jawa.Lebih mendalam buku ini
memaparkan bagaimana seluk-beluk kehidupan spiritual Jawa dengan segenap
permasalahannya yang bersangkutan dengan masyarakat Indonesia pada umumnya baik dari
segi politik maupun sosial.Kekurangan dari buku ini adalah masih terbatasnya pemaparan
mengenai bagaimana konsep spiritual orang Jawa diaktualisasikan.
7. Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, terjemahan Francisco Budi Hardiman
(Yogyakarta: Kanisius, 1992). Dalam buku ini Clifford Geertz mendefinisikan kebudayaan
sebagai pola makna yang terjalin secara secara menyeluruh dalam simbol-simbol dan
ditransmisikan secara historis. Terkait dengan penelitian ini, Karawitan Muryoraras
merupakan produk kebudayaan yang memuat simbol-simbol sebagai manivestasi konsep
budaya Jawa. Buku ini tentunya dapat menjadi referensi terkait dengan pengetahuan teoritis
mengenai sistem manivestasi nilai kultural dalam sebuah produk budaya yang salah satunya
adalah kesenian.
8. M. Soehadha, Orang Jawa Memaknai Agama (Yogakarta: Kreasi Wacana, 2008). Buku ini
menjelaskan bagaimana mistisisme yang dikembangkan oleh berbagi aliran yang sering
disebut dengan kejawen memberikan tawaran cara keagamaan yang lebih bermakna bagi
kepuasan “rasa” religius di kalangan umat beragama. Buku ini mencoba menjelaskan secara
mendalam mengenai historis dan teologis kejawenserta berbagai konsep spiritual dalam
ajaran kejawen.
9. Sri Hastanto, Konsep Pathet Dalam Karawitan Jawa (Surakarta: ISI Press Surakarta).
Buku ini menjelaskan beberapa permasalahan mengenai pathetterkait dengan cara kerja,
klasifikasi, dan analisis pathetdalam karawitan Jawa. Buku ini menjadi referensi penting
dalam menjelaskan persoalan pathet terkait hubungannya dengan karakter gending yang
dihasilkan.Tentunya dalam analisis mengenai gending yang dimainkan dalam karawitan
Muryoraras, buku ini dapat menjadi referensi maupun komparasi terutama mengenai pathet
dan hubungannya dengan rasa yang dihasilkan.
10. Saptono, tesis berjudul Mloyowidodo Sebagai Sumber Sejarah Lisan Sebuah Biografi,
(Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 1998). Dalam salah satu bab
tesis ini memaparkan tentang sejarah dan perkembangan sajian Karawitan Muryoraras. Tesis
ini sangat membantu dalam upaya mengetahui konsep sajian Muryoraras secara teknis dari
setiap periodenya.
Landasan Teori
1. Estetika Mitis (Jakob Sumardjo)
Konsep dasar budaya mitis adalah keselarasan kosmologi (makrokosmos dan
mikrokosmos), kesatuan yang imanen dan transenden, kesatuan dunia manusia dengan dunia
roh. Konsep kesatuan kosmos ini hanya dapat diperoleh lewat sistem kepercayaan, oleh
karena itu sumber pengetahuan manusia sekarang untuk memahami estetika seni budaya
mitis adalah pengetahuan tentang sistem kepercayaannya.
Pada budaya mitis, manusia justru bersikap menyatu dengan alam di luar dirinya.
Manusia menyatukan dirinya dengan objek diluar dirinya dan dari sana menemukan jati
dirinya. Karena prinsip hidup budaya mitis adalah harmoni dengan kosmosnya, maka
pengetahuan tentang kosmologi kepercayaannya menjadi sangat penting.
Benda seni tradisional bukanlah sesuatu yang bebas nilai, melainkan dihadirkan
dengan maksud mengekspresikan nilai-nilai tertentu yang bersifat budaya mitis. Bagi
masyarakat dengan budaya mitis, sebuah kesenian bukan sekedar kenyataan keindahan,
bukan sekedar persoalan estetika, tetapi terutama persoalan jalan keselarasan dengan kosmos.
Pengalaman estetik sekaligus merupakan pengalaman religius. Target kesenian adalah
mencapai pengalaman religius ini. pengalaman estetik adalah suatu ekstase dengan kosmos.
Peleburan diri dalam seni adalah peleburan diri dalam pengalaman mistik.
Estetika budaya mitis, dengan demikian berbeda dengan estetika budaya ontologis.
Dalam budaya ontologis, pengalaman estetik bukanlah pengalaman religius. Tapi
pengalaman estetik dapat membantu mencapai pengalaman religius. Pengalaman religius
dapat dicapai setelah proses pengalaman estetiknya selesai.

2. Teori Pengkondisian klasik (Ivan Petrovich Pavlov)


Pengkondisian klasik (classical conditioning) adalah sebuah prosedur penciptaan
refleks atau respon baru dengan memberikan stimulus sebelum refleks tersebut. 1 Sebuah
Stimulus akan menimbulkan respon tertetu ketika diberikan secara berulang-ulang.
Pengkondisian klasik sering digunakan dalam dunia pendidikan untuk proses belajar.
Menurut Hergenhahn dan Olson, pengkondisian dipakai untuk memodifikasi perilaku, situasi
tampak menyerupai brainwashing dari pada pendidikan (Hergenhahn & Olson,2008:210).
Pemberian stimulus bertujuan untuk membentuk dan merespon perilaku baru. Pengkondisian
menjadi dasar dari timbulnya respon emosional dan fisiologis.
Terdapat empat komponen dasar yang membangun teori pengkondisian klasik Ivan
Pavlov, yaitu sebagai berikut
1. Unconditioned Stimulus (US) atau stimulus yang tidak dikondisikan yaitu stimulus asli
yang langsung dapat merangsang respon.
2. Unconditioned Respons (UR) atau respon yang tidak dkondisikan yaitu perilaku responden
yang muncul dengan hadirnya US.

1
http://googleweblight.com/?lite_url=http://www.karyaku.web.id/2014/12/teori-pengkondisian-klasik-
dari-ivan. Diakses pada tanggal 25 Mei 2017
3. Conditioning Stimulus (CS) atau stimulus yang dikondisikan yaitu stimulus yang tidak
dapat langsung menimbulkan respon. CS perlu dipasangkan dengan US agar dapat
menimbulkan respon.
4. Conditoning Respons (CR) atau respon yang dikondisikan yaitu respon yang muncul
dengan hadirnya CS.

responde
US UR
n

US + responde
CS n CR
Gambar 1: Skema dasar sistem kerja pengkondisian klasik

Dalam pengkondisan klasik, sebuah respon baru akan timbul jika sebuah stimulus
berasosiasi dengan stimulus lain. Kedua stimulus tersebut adalah stimulus tidak dikondisikan
(unconditional stimulus – US) dan stimulus dikondisikan (conditioned stimulus - CS).
Sebagai contoh ketika seorang anak kecil diberikan seekor tikus (stimulus asli / US) dan pada
saat yang sama dibunyikan gong dengan keras (stimulus terkondisi / CS) secara berulang-
ulang sampai kemudian hanya tikus saja yang diberikan. Anak yang tadinya tidak takut
kepada tikus kemudian menjadi takut (CR) karena mendengar bunyi yang menakutkan.
Bahkan ketika hanya mendengar bunyi gong tersebut (CS) dan tidak melihat tikus (US), anak
tersebut akan ketakutan (CR). Dalam hal ini, bunyi gong merupakan stimulus yang
menguatkan timbulnya respon. Dengan demikian anak kecil tersebut telah dikondisikan untuk
takut terhadap stimulus yang tadinya tidak menimbulkan takut.
Selain sering diterapkan dalam proses belajar, pengkondisian sering terjadi pada
aktivitas yang berhubungan dengan ritual. Dalam konteks ritual pada penyajian karawitan
Muryoraras, sikap dan pikiran para penghayatnya juga dikondisikan oleh beberapa aspek
yang terkait dengan tatacara penyajianya. Himbauan dan petunjuk terkait tatacara yang
diberikan oleh pemimpin ritual merupakan sebuah stimulus dasar (US), sementara bunyi
gamelan merupakan stimulus penguat (CS).

C. METODE
Penelitian ini bersifat kualitatif dengan pendekatan etnomusikologi. Penelitian
kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur
statistik atau bentuk hitungan lainnya (Strauss & Corbin,2003:4). Alasan peneliti
menggunakan metode penelitian kualitatif karena jenis penelitian tersebut lebih mencari
kedalaman suatu permasalahan daripada jawaban yang bisa digeneralisir secara umum.
1. Teknik Pengumpulan Data
1. Studi Pustaka
Studi pustaka adalah proses mencari informasi atau data yang memiliki kaitan dengan
objek penelitian yang akan diangkat dalam tulisan. Untuk mendapatkan data yang terkait
dengan objek, dalam hal ini peneliti mencari beberapa artikel jurnal melalui media online di
indeks artikel jurnal Perpusnas.
2. Observasi
Penulis melakukan observasi terhadap karawitan Muryoraras terutama yang diadakan
di Makam Haji dan di Keraton Surakarta. Selanjutnya membuat catatan, melakukan
dokumentasi dengan menggunakan camera foto dan video. Observasi dilakukan untuk
mereduksi segala informasi yang telah diperoleh agar dapat memfokuskan pada masalah
tertentu seperti menyortir data dengan caramemilih data yang menarik, penting, berguna, dan
baru. Setelah data tersebut dipertimbangkan, maka data-data tersebut dapat difokuskan untuk
diteli
3. Wawancara
Selain studi pustaka dan observasi, wawancara juga merupakan proses yang sangat
penting terkait dengan upaya pengumpuan data. Dalam proses wawancara, peneliti dapat
bertanya langsung mengenai objek kepada nara sumber yang tentunya masih terkait dengan
objek yang diteliti.
2. Analisa Data
Analisis data dimulai dengan menyiapkan dan mengorganisasikan data yang
didapatkan dari beragam sumber. Langkah ini merupakan proses menganalisis data dengan
menyusun secara sistematis dari data yang telah diorganisasikan. Setelah melakukan
beberapa tahap dalam menganalisis data, maka data yang telah tersusun agar dapat mudah di
interprestasikan.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN


Karawitan Muryoraras adalah salah satu bentuk sajian karawitan Jawa dengan
beberapa aturan tertentu yang berhubungan dengan aktivitas spiritual. Penyajian karawitan ini
dilakukan sebagai sarana dalam bermeditasi.Muryoraras dapat juga dikatakan sebagai sarana
dalam menjalin hubungan dengan Tuhan (Wawancara Hardiyo,2017). Senada dengan hal
tersebut Suroyo juga mengatakan bahwa Muryoraras adalah wujud manembah dumateng
Gusti (menyembah kepada Tuhan) dengan sarana gamelan atau mendengarkan bunyi
gamelan (Wawancara Suroyo, 2017). Dalam Muryoraras para penghayatnya bermeditasi dan
memohon petunjuk pada Sang Pencipta. Secara etimologi, istilah Muryoraras berasal dari
kata muryo yang berarti ngetingal atau memperlihatkan dan kata raras yang berarti indah,
asri, dan rasa.
1. Perbedaan Penyajian Karawitan Muryoraras
Karawitan Muryoraras merupakan bentuk sajian karawitan yang berbeda dengan
karawitan pada umumnya. Muryoraras memiliki beberapa perbedaan antara lain dalam hal
tatacara penyajian, garap, dan waktu penyajiannya. Berikut adalah beberapa aspek dalam
karawitan Muryoraras yang mejadi pembeda dengan sajian karawitan yang lain;
a. Tatacara Penyajian
Karawitan Muryoraras merupakan sebuah bentuk sajian karawitan yang bukan
disajikan sebagai hiburan melainkan sebagai sebuah aktivitas spiritual. Oleh karenanya,
karawitan Muryoraras memiliki tatacara tesendiri dalam penyajiannya. Sebagai sebuah
aktvitas spiritual, Muryoraras memiliki serangkaian prosesi dalam setiap penyajiannya.
Sebagaimana diketahui bahwa setiap benda yang menjadi syarat maupun kelengkapan sebuah
upacara ritual merupakan simbol-simbol yang sarat akan makna dan pesan-pesan budi pekerti
luhur sebagai penuntun kehidupan manusia (Rahayu, 2014).
Prosesi pertama adalah menyiapkan sesaji, mengatur posisi, dan mematikan lampu.
Seorang yang dianggap pemimpin dalam Muryoraras ini akan berdo’a dan masrahke sajen
(dipahami sebagai menghaturkan sesaji kepada Tuhan dan para leluhurnya). Beberapa sesaji
yang ada dalam Muryoraras antara lain beberapa macam bunga, lilin, dan kemenyan atau
dupa. Akan tetapi ada juga yang menggunakan sesaji lainnya yang tentunya disesuaikan
dengan penyelenggaranya. Seperti contoh misalnya menggunakan pisang, bubur merah-putih,
dan lainnya.
Menurut Hardiyo, sesaji yang dihadirkan dalam Muryoraras bukanlah tanpa makna
melainkan sarat akan makna dan tujuan. Adapun makna dari sesaji berupa bunga atau
kembang adalah sebagai wewangian yang menyimbolkan sebuah “keharuman” dari para
leluhur. Keharuman yang dimaksud di sini adalah berkah atau safa’at yang berlimpah dari
para leluhur yang diharapkan dapat mengalir kepada anak keturunannya. Selain itu bunga
yang digunakan adalah bunga mawar putih yang bermakna kesucian dan ketulusan.
Sedangkan dupa menjadi simbol hubungan antara manusia dan Tuhannya. Posisi dupa yang
vertikal merupakan simbol bahwa manusia harus senantiasa ingat pada Sang Pencipta. Selain
itu lilin bermakna sebagai sumber cahaya yang diharapkan dapat menerangi hidup manusia.
Artinya bahwa cahaya yang dimaksud adalah hidayah ataupun berkah yang dapat
memberikan pencerahan bagi manusia (Wawancara Hardiyo, 2017). Selain itu jumlah dari
bunga dan dupa masing-masing adalah enam yang bermakna jinem(dari kata siji dan enem
atau satu dan enam) yang dapat diartikan sebagai tentrem (ketentraman).
Selain sesaji, tempat untuk meletakkan sesaji berupa meja bundar berkaki tiga juga
memilki maksud tersendiri. Kaki meja yang berjumlah tiga bermakna bahwa dunia ini terbagi
menjadi 3 yaitu dunia tempat kita hidup sekarang, dunia ambang (ghaib), dan dunianya
Tuhan. Sedangkan alas meja berbentuk bundar melambangkan dunia tempat manusia hidup
(Wawancara Saptono, 2017). Selain perihal sesaji yang telah disampaikan di atas, selanjutnya
yang harus dilakukan adalah mengatur posisi. Posisi yang dimaksud meliputi posisi duduk
dan arah hadap. Semua yang terlibat dalam Muryoraras dihimbau untuk duduk bersila
dengan menghadap ke timur. Timur merupakan arah yang sakral bagi masyarakat
Muryoraras. Mereka beranggapan bahwa semua sumber kehidupan berasal dari timur, seperti
halnya matahari dan bulan yang muncul dari timur. Oleh karenanya dalam memohon kepada
Sang Pencipta disarankan agar menghadap ke timur karena datangnya segala penceraan,
keberkahan, dan lainnya berasal dari timur (Wawancara Santoso,2017).
Tatacara selanjutnya adalah mematikan lampu. Satu-satunya penerangan dalam
Muryorarasini adalah satu buah lilin yang dinyalakan di meja sesaji. Kondisi penerangan
dalam Muryorarasdapat dikatakan remang-remang dan bahkan gelap. Dalam beberapa
kesempatan bahkan tanpa penerangan atau lighting sama sekali. Kondisi gelap seperti ini
bertujuan agar dalam bermeditasi atau semedi dapat lebih fokus dan tidak terpengaruh oleh
kondisi sekitar.
b. Waktu Penyajian
Berbeda dengan penyajian karawitan pada umumnya yang berfungsi sebagai hiburan
(karawitan Sukarena ataupun Uyon-uyon), penyajian Muryorarashanya diadakan pada
waktu-waktu tertentu. Hari yang dipilih untuk melaksanakan Muryorarasbiasanya merupakan
hari-hariyang dianggap sakral. Selain itu, pemilihan hari biasanya juga dengan cara
menyesuaikan hari kelahiran orang yang menyelenggarakan Muryoraras. Perlu diketahui
bahwa hari kelahiran dan kematian merupakan hari yang dianggap sakral bagi sebagian
masyarakat Jawa. Seperti misalnya karawitan Muryoraras di Keraton Surakarta yang
diadakan setiap malam Selasa legi yang merupakan hari kelahiran G.K.R. Wandansari Koes
Murtiyah selaku penyelenggara.
Selain hari peyelenggaraan yang tertentu, Muryoraras juga hanya disajikan pada
malam hari saja atau lebih tepatnya tengah malam sekitar jam 24.00. Berbeda dengan
penyajian karawitan pada umumnya (karawitan Sukarena ataupun Uyon-uyon) yang dapat
dilaksanakan kapan saja. Terkait dengan waktu penyajian, masyarakat Muryorarasmeyakini
bahwa wahyu atau yang disebut dengan wangsittidak akan diperoleh sebelum tengah malam.
Oleh karenanya waktu tengah malam dirasa sebagai waktu yang tepat untuk memohon
petunjuk kepada Sang Pencipta.
c. Perangkat gamelan dan gending yang disajikan
Gamelan yang sering digunakan dalam karawitan Muryoraras adalah seperangkat
gamelan gadhon yang terdiri dari kendhang ageng, gender barung, gender penerus, slenthem,
rebab, gong, suling, dan gambang. Penggunaan gamelan gadhon pada Muryoraras berkaitan
dengan suasana yang ingin dibangun dan garap gending yang akan disajikan. Garap gending
yang alus(halus / lembut) akan lebih sesuai dengan menggunakan beberapa instrument saja
terutama instrument yang tergolong instrument ngajeng (depan) seperti telah disebutkan di
atas.
Sama halnya dengan gamelan, mengenai gending yang akan disajikan juga tidak ada
aturan yang baku. Walaupun lebih sering berdasarkan kesepakatan bersama, akan tetapi
dalam memilih sebuah gending tetaplah mempertimbangkan karakter gendingnya. Karakter
sebuah gending biasanya dipengaruhi oleh larasdan pathetnya. Seperti misalnya gending
dengan laras slendro pathet sanga ataupun pelog pathet lima akan lebih terkesan agung,
wibawa, dan bahkan sedih. Walaupun semua itu juga berkaitan juga dengan garap
tabuhannya. Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa gending dengan karakter prenes
(lincah) juga dapat dirasakan agung jika ditabuh dengan garap alusan.
Gending yang sering disajikan dalam Muryoraras adalah gending dengan laras
Slendro pathet sanga seperti misalnya gending Gambirsawit, Menyan Kobar, Rondhon.
Adapun pertimbangan mengunakan gending dengan laras slendro pathet sanga berkaitan
dengan suasana yang ingin dibangun dalam upaya membantu proses meditasi atau semedi.
Beberapa sumber mengatakan bahwa gending dengan laras slendro pathet sanga memiliki
karakter agung, tenang dan bahkan sedih. Menurut Saptono interval pada laras slendro yang
relativ sama cenderung menimbulkan kesan bunyi yang tenang, berbeda dengan laras pelog
yang interval nadanya sangat variatif sehingga lebih menimbulkan kesan bunyi yang ceria
dan dinamis. Tentunya bahwa kesan tenang pada sajian Muryoraras tidak hanya dipengaruhi
oleh laras gending yang digunakan, melainkan juga aspek garap pada gending yang
disajikan.
Sedangkan pathet sanga dipilih berdasarkan beberapa hal. Pertama berkaitan dengan
konsep waktu seperti dalam penyajian wayang kulit (diawali dengan pathetnem, sanga, dan
manyura). Waktu tengah malam dianggap telah memasuki waktu sanga. Selain itu dalam
terminologi Jawa, sanga juga memiliki arti nawa atau dewa (dapat dimaknai juga sebagai
Tuhan Sang Pencipta). Sudah semestinya bahwa manusia hendaklah memohon kepada Tuhan
jika sedang menghadapi permasalahan. Sebagai contoh, dalam penyajian wayang kulit ketika
memainkan gending Tlutur (sedih) maka akan kembali lagi menggunakan pathet sanga
walaupun sudah sampai pada wilayah pathet manyura. Hal ini menggambarkan bahwa ketika
manusia merasa sedih atau kesusahan hendaklah kembali ke jalan Tuhan atau memohon
petunjuk Tuhan.
Sebenarnya tidak ada aturan baku dalam pemilihan gending. Bahkan gending yang
sudah direncanakan terkadang dapat berubah sewaktu akan memulai Muryoraras. Menurut
Teguh pernah suatu ketika Muryorarasdiadakan di pantai Parangkusumo, beberapa waktu
sebelumnya para penabuh sudah sepakat untuk menabuh gending Rondhon, akan tetapi
Teguh merasa mendapat “bisikan” (ghaib) bahwa gending yang harus disajikan adalah
gending MenyanKobar. Akhirnya Muryorarastersebut tidak jadi memainkan gending
Rondhon melainkan gending MenyanKobar yang kemudian dilanjutkan dengan gending
GadungMelati
B. Analisis Data
Karawitan Muryoraras merupakan sebuah aktivitas berkesenian dalam bingkai
spiritual atau dapat juga disebut sebagai seni ritual. Ritual dapat dipahami sebagai sebuah
akivitas yang dilakukan oleh individu maupun kelompok dengan tujuan yang bersifat sakral
dan berhubungan dengan sistem kosmologi (Heriyawati, 2008:18). Ritual merupakan bagian
dari cara menciptakan harmoni, menuju pada kedamaian, kesejahteraan, dan kebahagian
dalam kehidupan. Selain itu ritual juga selalu berhubungan dengan sesuatu di luar diri
manusia atau dapat juga disebut dengan sesuatu yang transenden. Dalam ritual, sesuatu yang
transenden tesebut dihadirkan dalam dunia manusia dan dipercaya sebagai realitas melalui
berbagai simbol.
Karawitan Muryoraras sebagai sebuah kesenian ritual merupakan produk masyarakat
pra-modern yang sering disebut oleh Jacob \Soemardjo sebagai masyarakat dengan budaya
mitis. Konsep budaya mitis adalah kesatuan mikrokosmos dan makrokosmos, kesatuan yang
imanen dengan yang transenden. Karawitan Muryoraras bukan hanya sebagai bentuk
tetabuhan gamelan, akan tetapi sebagai wujud upaya menjaga hormoni dengan Sang pencipta
beserta segala ciptaannya ntuk menemukan jati diri. Senada dengan hal tersebut, Jacob
Soemardjo (2000:325) mengatakan bahwa sebuah kesenian bagi masyarakat budaya mitis
bukan sekedar kenyataan keindahan, bukan sekedar persoalan esteika, akan tetapi persoalan
jalan keselarasan dengan kosmos. Pengalaman estetik sekaligus merupakan pengalaman
religius. Sementara itu, konsep kesatuan kosmos ini hanya dapat diperoleh lewat sistem
kepercayaannya. Prinsip hidup manusia zaman mitis adalah hidup harmoni dengan
kosmosnya, maka pengetahuan akan kosmologi kepercayaan mereka menjadi utama
(Soemardjo, 2000:323).
Masyarakat pendukung karawitan Muryoraras mengklaim sebagai penganut Kejawen.
Kejawèn merupakan sebuah kepercayaan, pandangan hidup, ataupun filsafat yang dianut oleh
sebagian masyarakat Jawa. Sebagaimana konsep budaya mitis, Kejawen juga menempatkan
keselarasan kosmologi sebagai dasar spiritualitasnya. Konsep dasar Kejawèn adalah
keyakinan terhadap ke-esa-an Sang Pencipta dan nilai-nilai keseimbangan hidup serta
keluhuran budi yang menjadi dasar dan tujuan dari ajaran tersebut. Selain kepercayaan akan
Tuhan Sang Pencipta, penganut Kejawen juga percaya akan adanya kekuatan-kekuatan lain di
luar diri manusia sepeti misalnya roh leluhur atau nenek moyang. Salah satu ajaran Kejawèn
terkait dengan Sang Pencipta adalah manunggaling kawula lan Gusti (bersatunya manusia
dengan Tuhan). Konsep Manunggaling Kawulo Gusti tidak hanya dipahami sebagai
hubungan antara manusia (kawula) dengan Sang Pencipta (gusti), akan tetapi sering kali
dipahami sebagai hubungan rakyat dengan rajanya ataupun pemimpinya karena pada masa
kerajaan dahulu rakyat menganggap bahwa kerajaaan merupakan representasi dari kekuasaan
yang lebih tinggi yaitu kerajaan Sang Pencipta. Dalam mengaktualisasikan ajaran tersebut
penganut Kejawèn menjalani praktik spiritual yang sering disebut sebagai laku. Penganut
laku dalam Kejawen menyakini pengetahuan mengenai seluruh aspek kehidupan sebenarnya
dapat dicapai melalui semedi dengan membangun hubungan langsung dengan Tuhan
(Woodwark, 1999;53).
Dalam semedi, hal-hal yang transenden menyatu dengan yang imanen. Semedi
menjadi sebuah upaya untuk membangun hubungan transendental dengan Tuhan maupun roh
leluhur. Beberapa penganut kebatinan menggunakan media tententu sebagai sarana dalam
bermeditasi atau semedi, salah satuya dengan media musik (karawitan). Seperti misalnya para
Sufi yang menggunakan musik sebagai media dalam bertasawuf. Terkait hal tersebut, Hazrat
Inayat Khan (2002:73-74) menjelaskan bahwa para sufi menjadikan dirinya sebagai media
resonansi musik dan oleh sebab itu musik menyentuh kedalaman diri mereka sehingga akan
mewujudkan ekstase dalam bentuk air mata, keluh kesah, dan lainnya.
Beberapa aspek dalam Muryoraras yang disampaikan di atas menunjukan bahwa
Muryoraras merupakan wujud dari berbagai macam konsep mengenai sikap spiritualitas
masyarakat Jawa khususnya penganut Kejawen. Upaya membangun hubungan dengan hal-hal
yang bersifat transenden secara tidak langsung memberi gambaran bahwa hubungan manusia
Jawa dengan Sang Pencipta maupun leluhurnya dapat dilakukan dengan beberapa cara
tertentu.
Tujuan dari Muryoraras tersebut, dengan demikian juga sejalan dengan salah satu
konsep ajaran Kejawen lainnya yaitu Memayu Hayuning Bawana. Konsep spiritual tersebut
dapat dipahami sebagai laku menuju keselamatan dan kebahagiaan hidup dengan cara
menjaga keselarasan dengan alam semesta (bawana) (Endraswara,2013:16). Seperti misalnya
penyajian Muryoraras yang diadakan di Keraton Surakarta yang bertujuan untuk memohon
keselamatan, kedamaian, dan ketentraman bagi keraton dan semua yang menjadi bagiannya
di tengah bermacam konflik yang sedang dihadapi. Hal ini dilakukan karena masyarakat Jawa
(penganut Kejawen) beranggapan bahwa kedamaian hidup, keselamatan, kebahagiaan,
danketentraman hanya dapat dicapai dengan menjaga keselarasan dengan kosmosnya (Tuhan
dan alam semesta).
Pemanfaatan karawitan sebagai sebuah media dalam bermeditasi atau semedi dapat
dilihat pada penyajian karawitan Muryoraras. Berbagai hal terkait tatacara, waktu,
perlengkapan, dan sikap haruslah dikondisikan sesuai dengan tujuannya. Pengkondisian ini
menjadi penting untuk dilakukan karena akan mempengaruhi sikap para penghayatnya.
Upaya pengkondisian ini menjadi kunci dasar terlaksananya Muryoraras ini. Pegkondisian
dilakukan dengan cara memberikan stimulus atau rangsangan dengan tujuan membentuk
respon sikap atau emosi baru. Pengkondisian dalam Muryoraras ini terbagi dalam dua
tahapan yaitu pemberian stimulus (Unconditioned Stimulus / US) dan penguatan stimulus
(Conditioning Stimulus / CS). Tahapan pemberian terjadi ketika pada awal sebelum acara
dimulai seorang yang diangap sebagai tetua atau pemimpin upacara memberikan wejangan
ataupun himbauan terkait dengan sikap yang harus dilaksanakan. Dalam tahapan ini kultus
dari seorang pemimpin upacara akan sangat berpengaruh dalam membentuk sikap
penghayatnya. Selain itu tahapan ini juga mencakup berbagai persiapan seperti menyiapkan
sesaji, posisi duduk, dan lainnya. Dalam kondisi ini kita dipastikan dalam kondisi yang siap
untuk memulai upacara. Selanjutnya, tahapan penguatan adalah ketika gamelan dimainkan.
Dalam kondisi ini, bunyi gamelan akan membantu kita memusatkan pikiran (fokus)
sepanjang upacara (Contiditoning Respons / CR). Berikut adalah berbagai macam
pengkondisian dalam penyajian karawitan Muryoraras.
.Pertama adalah pengkondisian waktu dimana Muryoraras baru akan dimulai pada
tengah malam. Tengah malam adalah waktu dimana suasana terasa hening dan bagi sebagian
orang Jawa meyakini bahwa waktu antara pukul 24.00-01.00 merupakan waktu terbaik untuk
berdoa karena mereka percaya bahwa tidak ada wahyu yang turun sebelum saat itu. Sangat
tepat jika aktivitas meditasi atau semedi dilakukan pada waktu tersebut. Keyakinan akan
konsep waktu tersebut secara tidak langsung berpengaruh pada kemantapan sikap dalam
menjalankan ritual.
Kedua, pengkondisian sikap dimana semua yang mengikuti Muryoraras disarankan
untuk memejamkan mata, menundukan kepala, dan tidak melakukan aktivitas seperti makan,
minum, dan lainnya. Menurut Endraswara (2003:34), biasanya para penganut Kejawen akan
melakukan “keheningan” secara khusyuk. Dalam hal ini penganut Kejawen yang melakukan
semedi akan menjalankan laku ening (diam untuk mencapai ketenangan batin untuk
mendapat kejernihan pengetahuan yang dalam), nung (merenung) dan nong atau winong
(mengetahui isyarat-isyarat gaib). Dalam pengkondisian ini, kultus seorang pemimpin
upacara sangat berpengaruh. Bagi para penghayatnya segala yang disampaikan oleh
pemimpin upacara merupakan sebuah wahyu yang mereka yakini dan harus dilaksanakan.
Seperti misalnya dalam Muryoraras yang diadakan di Klaten dimana sosok Hardiyo sebagai
pemimpin Muryoraras sekaligus orang yang dituakan sangatlah dihormati dan dipercaya
sebagai oang yang diberikan kemampuan lebih dalam menangkap sebuah wangsit atau
wahyu. Oleh karenanya apapun yang diucapkan oleh Hardiyo dalam Muryoraras menjadi
sebuah pedoman yang harus dilaksanakan.
Ketiga, pengkondisian suasana yang dalam hal ini berhubungan dengan karawitan dan
gending yang disajikan. Karawitan Muryoraras menggunakan gamelan gadhon dan lebih
sering menyajikan gending dengan laras slendro pathet sanga dengan garap khusus.
Pengkondisian ini sebagai tahapan penguatan di mana para penghayat yang sudah dalam
kondisi mengheningkan cipta akan lebih fokus dalam memusatkan pikiran dengan bantuan
bunyi gamelan. Seperti dalam ritual hindu di Bali dimana bunyi gamelan menjadi sarana
untuk membantu para pelaku ritual lebih tenang dan fokus. Terkait hal tersebut Donder dalam
bukunya mengatakan bahwa bunyi gamelan yang selalu mengiringi ritual Hindu mempunyai
pengarh psikologis terhadap umat Hindu yang hadi dalam ritual tesebut, yaitu dapat
menurunkan frekuensi gelmbang otak (pikiran) yang tegang karena lelah, penat, dan
sebagainya. Proses penurunan frekuensi tersebut terjadi karena frekuensi gelombang bunyi
gamelan dapat mensuperposisi frekuensi gelombang-gelombang yang dipancarkan oleh otak
manusia. Jika pikiran manusia sedang tegang atau kalut maka frekuensi gelombang
pikirannya cenderung berada pada posisi level frekuensi betta (β) yang besarnya 14-30 Hz.
Dalam level ang demikian seseorang akan mudah marah, untuk itu para peserta upacara dapat
menurukan level frekuensi pikirannya dengan cara mengalihkan pikirannya pada bunyi
gamelan. Selanjunya frekuensi gelombang bunyi dan gelombang pikiran akan saling
bersuperposisi dan kemudian perlahan frekuensi gelombang pikiran tersebut akan turun ke
frekuensi alpha (α) (Donder, 2005: 160).
Sementara menurut Djohan (2009:280) dalam bukunya Psikologi Musik mengatakan
bahwa musik juga dapat membawa seseorang dari kondisi Beta2 (terjaga) kepada kondisi
Alpha (meditatif) sementara yang bersangkutan tetap sadar dan terjaga. Berdasarkan dua
pernyataan di atas dapat diambil pemahaman bahwa bunyi gamelan dalam Muryoraras
sangat berpengaruh dalam proses ritual atau semedi terutama untuk membantu konsentrasi
atau memusatkan pikiran.

C. Pembahasan
Karawitan Muryoraras merupakan produk budaya yang lahir sebagai ekspresi estetis
dalam upaya memanivestasikan konsep budaya masyarakatnya. Terkait hal tersebut Jacob
Soemardjo mengatakan bahwa sebuah benda seni (kesenian) adalah produk budaya yang
menjadi sistem nilai suatu masyarakatnya, maka pemaknaan dan estetikanya harus
berdasarkan konsep budaya masyarakat tersebut. Dengan mengetahui sistem kepercayaannya,
maka terbukalah sistem pemaknaan dari semua hasil budayanya termasuk kesenian
(Soemardjo,2000:325). Oleh karenanya pemahaman akan dasar konseptual penyajian
karawitan Muryoraras harus didasarkan pada konsep budaya dan sistem kepercayaanya.
Telah disampaikan sebelumnya bahwa karawitan Muryoraras merupakan bentuk seni
ritual. Sebagai seni ritual, Muryoraras menjadi media representasi berbagai konsep spiritual
dari sistem kepercayaan masyarakatnya. Melalui Muryoraras masyarakat pendukungnya
mencoba merepresentasikan berbagai konsep ajaran kepercaaannya yang terwujud dalam
serangkaian tatacara penyajiannya. Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa yang
menjadi dasar konseptual penyajian Muryoraras adalah konsep spiritual Kejawen.
Untuk memahami bagaimana konsep spiritual Kejawen mejadi dasar konseptual
penyajian Muryoraras hendaklah kita mulai terlebih dahulu dengan memahami tujuan dari
penyajiannya terlebih dahulu. Karawitan Muryoraras dihadirkan dengan tujuan sebagai
media dalam menjalin hubungan dengan Tuhan. Tujuan Muryoraras ini merupakan

2
Dalam Djohan, Psikolog Musik disebutkan bahwa kondisi otak Beta (terjaga) gelombangnya adalah
14 - 20 gelombang perdetik sementara kondisi Alpha (Meditatif) 8 – 13 gelombang perdetik.
representasi dari konsep ajaran Kejawen yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Kata manunggal
biasanya diartikan sebagai bersatu atau menjadi satu. Pengertian menyatu atau menjadi satu
dipahami tidak secara verbal (nyata) melainkan lebih dipahami sebagai terjalinnya sebuah
hubungan (spiritual). Upaya menjalin hubungan dengan Tuhan dilakukan dengan cara
bersemedi atau bermeditasi. Aktivitas meditasi dilakukan dengan cara mengheningkan cipta
dan memusatkan pikiran dengan mendengarkan bunyi gamelan. Bunyi gamelan menjadi
faktor penting dalam membangun konsentrasi dalam bermeditasi. Sementara, ketika kita
dapat melalui proses Manunggaling Kawula Gusti maka bukanlah kesadaran kita lagi yang
memainkan gamelan (karawitan), melainkan suatu hal yang transendental yang justru akan
membantu dalam proses meditatif bermain gamelan (Prasetyo, 2012).
Masyarakat Muryoraras mencoba membangun hubungan dengan Tuhan melalui
meditasi dengan tujuan agar mendapatkan petunjuk dalam menjalani hidupnya. Hal ini
dilakukan karena masyarakat Jawa (penganut Kejawen) beranggapan bahwa kedamaian
hidup, keselamatan, kebahagiaan, dan ketentraman hanya dapat dicapai dengan menjaga
keselarasan dengan kosmosnya (Tuhan dan alam semesta). Selain itu, masyarakat Jawa
percaya bahwa laku spiritual dapat menjadi faktor pendukung dalam menguatkan karakter
dan kepribadian bangsa (Endaswara, 2006). Konsep keselarasan kosmos ini sejalan dengan
konsep spiritual Kejawen yaitu Memayu Hayuning Bawana.
Memayu Hayuning Bawana dapat dipahami sebagai laku menuju keselamatan dan
kebahagiaan hidup. Dapat dikatakan bahwa tujuan dari penyajian Muryoraras adalah
membangun hubungan dengan Tuhan dalam rangka agar dapat Memayu Hayuning Bawana.
Oleh karenanya, tidak berlebihan jika penyajian karawitan Muryoraras dikatakan sebagai
representasi dari konsep spiritual Kejawen ditinjau dari tujuan dan tatacara penyajiannya.
Selanjutnya adalah mengenai sistem kerja konseptual Muryoraras dalam
penyajiannya. Sistem kerja konseptual yang dilakukan dalam konteks penyajian Muryoraras
sebagai aktivitas ritual adalah sisem pengkondisan. Pengkondisian disini dipahami sebagai
upaya mengarahkan atau mengkondisikan sesuatu agar sesuai dengan tujuannya. Sistem kerja
pengkondisian ini sangat penting dalam sebuah aktivitas ritual karena dalam ritual semuanya
serba khusus. Dalam sebuah ritual, pengkondisian dilakukan agar semua berjalan sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai dalam ritual tersebut.
Dalam penyajian Muryoraras ada beberapa hal yang perlu dikondisikan seperti
suasana, sikap, tatacara, waktu, dan lainnya. Semua hal tersebut perlu untuk dikondisikan
agar konsep penyajian Muryoraras dapat terlaksana sesuai tujuannya. Selain itu,
pengkondisian juga sangat mempengaruhi bagaimana sikap seseorang dalam menjalani
aktivitas sebuah ritual. Pengkondisian dalam sebuah ritual dapat berupa sebuah aturan yang
disampaikan langsung maupun berupa kesan yang dapat mempengaruhi sikap.
Pengkondisian dalam penyajian karawitan Muryoraras terbagi menjadi dua tahapan
yaitu tahapan pemberian dan tahapan penguatan. Tahapan pemberian stimulus dalam
Muryoraras yaitu tahapan dimana pelaku ritual diarahkan pada kondisi siap untuk melakukan
ritual. Dalam tahapan ini pengkondisian dilakukan dengan cara memberikan petunjuk terkait
bagaimana tatacara ritual dan pelaksanaannya. Beberapa hal dalam Muryoraras yang
termasuk dalam tahapan pengkondisian ini adalah terkait waktu pelaksanaan, prosesi sebelum
acara, posisi duduk, dan kondisi ruang.
Pada tahapan pertama dalam proses pengkondisian ini, kultus seorang pemimpin
ritual sangatlah penting. Artinya bahwa respon sikap dari para penghayat atas pengkondisian
ini lebih dipengaruhi oleh kultus seorang pemimpin ritual dengan segala keistimewaannya.
Hal ini disebabkan karena para penghayat menyakini bahwa pemimpin ritual mempunyai
kemampuan lebih (dalam hal kebatinan) sehingga apa yang dikatakan dianggap sebagai
sebuiah wahyu atau petunjuk yang diberikan Tuhan. Seperti misalnya ketika pemimpin ritual
memberi arahan mengenai posisi duduk atau kelengkapan ritual (sesaji) apa saja yang harus
disediakan.
Tahapan berikutnya adalah penguatan dimana pengkondisian dilakukan dengan tujuan
agar dapat membantu pelaku ritual dalam menghayati proses ritualnya. Tahapan ini biasanya
dilakukan dengan cara pengkondisian suasana. Dalam penyajian Muryoraras tahapan
pengkondisian ini dilakukan dengan cara memainkan gamelan. Alunan gending yang
dimainkan bertujuan untuk membantu pelaku ritual agar dapat lebih fokus atau konsentrasi.
Dalam penyajian Muryoraras, kunci terpenting dalam tahapa pengkondisian ini adalah garap
gending. Garap gending dalam karawitan Muryoraras dibedakan dengan garap gending pada
sajian karawitan pada umumnya. Gending yang disajikan dalam Muryoraras digarap lebih
sederhana dan dengan tempo yang lebih lambat. Selain itu juga disajikan dengan tanpa vokal
atau biasa disebut instrumentalia. Garap gending seperti itu bertujuan agar gending yang
disajikan dapat memberikan kesan alus dan tenang sehingga dapat lebih membantu pelaku
ritual untuk memusatkan pikiran dalam proses meditasi.
Kesan gending yang dihasilkan dari tata garap karawitan di atas adalah elemen yang
sangat penting dalam proses pengkondisian ini. Hal ini dikarenakan tidak semua yang hadir
dalam Muryoraras paham akan gending yang dimainkan, sehingga yang diterima oleh
mereka hanyalah kesan atau suasana tabuhan. Kesan itulah yang kemudian mereka
manfaatkan sebagai media memusatkan pikiran atau berkonsentrasi dalam bermeditasi.
Seperti yang dikatakan Suroyo bahwa dirinya tidak mengerti mengenai gending apa yang
disajikan, baginya tetabuhan gamelan yang halus dan tenang dapat membantu dirinya lebih
fokus dalam bermeditasi atau semedi. Pernyataan Suroyo tersebut memberi gambaran bahwa
sebenarnya bagi sebagian penghayat (yang tidak paham gending) yang terpenting adalah
kesan atau suasana yang dihasilkan oleh tetabuhan gamelan. Artinya bahwa dalam penyajian
Muryoraras ini sebenarnya tidak menutup kemungkinan untuk memainkan gending selain
yang berlaras slendro pathet sanga karena yang terpenting adalah garap gendingnya dan
bukan laras atau pathetnya. Hal ini dibenarkan oleh Susanto yang mengatakan bahwa tidak
ada aturan baku dalam pemilihan gending dalam Muryoraras, walaupun lebih sering
memainkan gending dengan laras Slendro pathet sanga akan tetapi pernah juga memainkan
gending dengan laras dan pathet lainnya.
Kedua tahapan pengkondisian di atas merupakan aspek penting dalam penyajian
karawitan Muryoraras sebagai sebuah aktivitas ritual. Pengkondisian pikiran tersebut
merupakan dasar sitsem kerja ritual Muryoraras. Dalam beberapa praktik ritual lainnya,
pengkondisian pikiran juga dilakukan dengan cara berbeda seperti misalnya melafalkan doa
atau mantra secara berulang-ulang.

E. PENUTUP
E.1. Kesimpulan
Sebuah kesenian tradisonal merupakan produk budaya yang tidak hanya sebagai
wujud ekspresi estetis masyarakatnya melainkan juga sebagai media representasi nilai-nilai
tertentu. Seperti halnya karawitan Muryoraras yang menjadi media representasi nilai-nilai
budaya dan sistem kepercayan masyarakatnya. Bagi masyarakatnya, Muryoraras bukan
sekedar aktivitas menabuh gamelan, melainkan lebih pada upaya mengamalkan konsep
budaya dan ajaran kepercayaannya.
Konsepsi mengenai menjalin hubungan dengan Tuhan merupakan dasar bagi
pelaksanaan karawitan Muryoraras. Konsep Manunggaling Kawula Gusti yang merupakan
konsep dasar ajaran Kejawen menjadi dasar konstruksi konseptual penyajian Muryoraras.
Selanjutnya, tujuan dari penyajian Muryoraras ini adalah dalam rangka mewujudkan konsep
Memayu Hayuning Bawana yang dalam ajaran Kejawen merupakan tujuan dari segala
aktivitas Laku yang dilakukan. Melalui kerangka konseptual penyajian Muryoraras, nilai-
nilai spiritual Kejawen direpresentasikan dalam wujud tatacara dengan segala simbolisasiya.
Selanjutnya dalam upaya mencapai tujuannya, karawitan Muryoraras menerapkan
berbagai aturan (tatacara) sebagai upaya pengkondisian bagi para penghayatnya.
Pengkondisian di sini dimaksudkan agar pikiran dan sikap penghayatnya terkondisi untuk
fokus dalam menjalankan ritual. Beberapa hal dalam Muryoraras yang termasuk dalam
elemen pengkondisian antara lain meliputi tatacara (waktu, posisi duduk, perlengkapan,
kondisi tempat) dan karawitan (gamelan dan garap gending). Elemen-elemen terbebut sangat
berperan dalam membentuk sikap dan pikiran para penghayatnya.
Pengkondisian yang terjadi dalam penyajian karawitan Muryoraras juga sangat
dipengaruhi oleh kultus seorang pemimpin ritual. Seorang pemimpin ritual dianggap sebagai
manusia yang dimempunyai kemampuan lebih dalam hal kebatinan (ghaib), oleh karena itu
apapun yang disampaikan seorang pemimpin ritual dianggap seperti halnya wahyu atau
petunjuk dari Tuhan. Artinya bahwa seorang pemimpin ritual sebagai perantara dalam
menyampaikan wahyu dari Tuhan. Kultus dari seorang pemimpin ritual tersebut secara tidak
langsung menjadi elemen penting dalam proses pengkondisian karena kemampuannya dalam
mempengaruhi sikap para penghayat.
E.2. Saran
Karawitan Muryoraras sebagai representasi dari sistem budaya dan religi
masyarakatnya perlu untuk tetap ada terkait dengan upaya pembentukan jati diri. Oleh karena
itu upaya regenerasi menjadi sangat penting dalam menjaga keberlangsungannya. Sebagai
contoh, kultus seorang pemimpin ritual sangatlah berpengaruh kepada sikap penghayat dalam
menjalankan Muryoraras. Sehingga secara tidak langsung membentuk sikap ketergantungan
kepada sosok pemimpin ritual tersebut dalam setiap pengambilan kebijakan dalam
Muyoraras. Perlu kiranya untuk membayangkan bagaimana jika sosok pemimpin ritual
tersebut sudah tidak ada atau meninggal. Sehingga upaya regenerasi menjadi penting untuk
dilaksanakan.
Selanjutnya, karena masih kurangnya perbendaharaan literatur mengenai karawitan
Muryoraras, diharapkan agar selanjutnya nanti akan lebih banyak penelitian yang lebih
mendalam mengenai Muryoraras sehingga dapat memperkaya pengetahuan tentang dunia
karawitan dan khasanah musik Nusantara pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Benamou, Marc. (2010), RASA: Affect and Intuition In Javanese Musical Aesthetics, Oxford
University Press, USA.
Brinner, Ben. (1999), Cognitive And Interpersonal Dimensions Of Listening In Javanese
Gamelan Performance, The World Of Music, Vol 41. Berlin.
Carey, Stephen S. (2015), Kaidah-Kaidah metode ilmiah, Nusa Media, Bandung
Djohan. (2009), Psikologi Musik, Penerbit best Publisher, Yogyakarta.
Donder, I Ketut. (2005), Esensi Bunyi Gamelan Dalam Prosesi Ritual Hindu, Paramita,
Surabaya.
Endraswara, Suwardi. (2013) Memayu Hayuning Bawana, Narasi, Yogyakarta.
Endraswara, Suwardi. (2006) Kejawen, Jurnal Kebudayaan Jawa, Vol.1, nomor 2.
Geertz,Clifford. (1981), Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, terjemahan dari
buku The Religion of Java, PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.
Geertz, Clifford(1992), Kebudayaan dan Agama, terjemahan Francisco Budi Hardiman ,
Kanisius. Yogyakarta.
Hakiki, Kiki Muhammad, (2014) Politik Identitas Agama Lokal (Studi kasus aliran
Kebatinan). Jurnal Studi Keislaman vol.11, nomor 1.
Hastanto, Sri. (2002), Konsep Pathet Dalam Karawitan Jawa. ISI Press, Surakarta
Hendarto,Sri. (2011) Organologi dan Akustika, Lubuk Agung, Bandung
Hergenhan, B.R., dan Olson, Matthew H. (2008), Theories Of Learning (Teori Belajar),
Kencana, Jakarta.
Jati, Frans Wisnu Prabowo, (2013) Kejawen Sebagai Dasar Pandangan Hidup Masyarakat
Jawa, Jurnal Museum Spiritual Kejawen Vol. 12 nomor 8.
Khan, Hazrat Inayat. (2002), Dimensi Mistik Musik dan Bunyi, Pustaka Sufi, Yogyakarta.
Nawawi, H. Hadiri. (1991), Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
M. Soehadha, (2008), Orang Jawa Memaknai Agama, Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Poerwadarminta,W.J.S. (2007), Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Prasetyo, Panji (2012) Skripsi berjudul Seni Gamelan Jawa Sebagai Representasi Dari
Tradisi Kehidupan Manusia Jawa, Fakultas Pengetahuan Budaya, Universitas
Indonesia.
Rahayu, Nuryanti Tri, (2014), Model Pewarisan Nilai Budaya Jawa Melalui Pemanfaatan
Upacara Ritual, Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 12, Nomor 1, Sukoharjo.
Saptono, (1998), tesis berjudul Mloyowidodo Sebagai Sumber Sejarah Lisan Sebuah
Biografi, Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta
Strauss, Anselm dan Corbin, Juliet. (2003), .Dasar-dasar Penelitian Kualitatif,
Terj. Muhammad Shodiq dan Imam Muttaqien. Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Sumardjo, Jacob. (2000), FILSAFAT SENI, Penerbit ITB, Bandung.
Supanggah, Rahayu. (2005), Garap: Salah Satu Konsep Pendekatan / Kajian Musik
Nusantara, dalam Waridi, Menimbang Pendekatan, STSI Press, Surakarta.
Suryabrata, Sumardi, 1988, Metode Penelitian, CV Rajawali, Jakarta
Turner, Victor. (1967), The Forest Of Symbols: Aspecs of Ndembu Ritual, Cornell University,
London.
Walton, Susan Pratt. (2007), Aesthetic and Spiritual Correlations in Javanese Gamelan
Music (The Journal of Aesthetics and Art Criticism, vol 65)
Walton, Susan Pratt. (2001), Collaboration, Feeling and the partnership of the Spiritual and
Musical In Javanese Gamelan Music(USA: Michigan University.
Woodwark, Mark R. 1999, ISLAM JAWA; Kesalehan Normatif versus Kebatinan /
terjemahan Islam In Java : Normative Piety and Mysticism, LKiS Yogyakarta,
Yogyakarta.
NARASUMBER
Saptono (62 th.), Abdi Dalem dan Pengrawit, wawancara tanggal 10 November 2016, 15
Maret 2017, dan 16 Mei 2017 di Rumahnya Makam Haji Kartasura.
Hardiyo (80 th.), Pensiunan Lurah, wawancara tanggal 18 Mei 2017 di rumahnya di Pesu,
Wedi, Klaten.
Teguh (55 th.), Dosen Karawitan (PNS), wawancara tanggal 17 Mei 2017 di Jurusan
Karawitan ISI Yogyakarta.
Winarno (65 th.), Pensiunan PNS, wawancara tanggal 16 Mei 2017 di rumah Saptono
Suroyo (55 th.), Pembuat Gamelan, wawancara tanggal 16 Mei 2017 di rumah Saptono
Susanto (58 th.), Pengrawit dan Abdi Dhalem, wawancara tanggal 16 Mei 2017 di rumah
Saptono

Anda mungkin juga menyukai