Anda di halaman 1dari 12

TARIAN MA’ATENU DI PULAU HARUKU

KABUPATEN MALUKU TENGAH

Dance of Ma’atenu in Haruku Island


District, Central Maluku Regency

La Sakka

Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar


Jl. AP. Pettarani No. 72 Makassar
Email: sakkamuskin@yahoo.com

Naskah diterima tanggal 28 Juli 2015. Naskah direvisi tanggal 10 Agustus 2015. Naskah disetujui tanggal 03 November 2015.

Abstrak

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berusaha mendeskripsikan proses pelaksanaan
Tarian Ma’atenu di Desa Pelauw ditinjau dari Aqidah Islam. Dalam penelitian ini, menggunakan metode
yang lazim digunakan dalam penelian kualitatif yaitu observasi dan wawancara. Hasil penelitian
mengungkapkan bahwa Ma’atenu atau disebut juga cakalele adat adalah ritual perang khas masyarakat
Hatuhaha di pulau Haruku Maluku Tengah. Pelaksanaan Upacara tarian Ma’atenu dilaksanakan satu
kali dalam tiga tahun, dan makna yang terkandung dalam upacara ini adalah makna Agama, makna adat
dan makna sosial. Tarian Ma’atenu perlu dilestarikan dan dipertahankan keutuhannya sebagai tradisi
kesenian yang bernuansa Islam dan perlu diwarisi kepada generasi berikutnya.

Kata kunci: tarian, Ma’atenu, upacara

Abstract

This study used qualitatively descriptive approach to investigate the implementation process of Ma’atenu
dance viewed from the Islamic Aqeedah (pilar foundation of Islam) in Pelauw village. The study conducted
observation and interview. The findings revealed that Ma’atenu also called cakalele tradition is the ritual
war dance of Hatuhaha people in the Haruku island in central Maluku. Ma’atenu dance ceremony is held
once in three years, and its meanings are religion, tradition and social. This dance needs to be preserved
and maintained its integrity as a nuanced artistic traditions of Islam and needs to be inherited to the next
generations.

Keywords: Dance , Ma’atenu , ceremony

PENDAHULUAN Dari akal budi, manusia dituntut untuk mampu

M
menciptakan pondasi kehidupannya. Salah satunya
anusia sebagai khalifah Allah yang adalah budaya sebagai hasil akal budi manusia.
diciptakan di muka bumi, untuk dapat Dengan karunia Allah dan akal budi serta cipta rasa
berintraksi, manusia mempunyai dan karsa itulah, manusia mampu menghasilkan
kebaikan dibandingkan dengan makhluk lain, salah berbagai karya dalam bentuk kebudayaan.
satu yang dikaruniai Allah adalah akal budi. Dengan Interpretasi seni budaya ketika direfleksikan
akal budi manusia mampu memikirkan konsep- dalam karya masyarakat pada gilirannya akan
konsep maupun menyusun prinsip-prinsip hukum menjadi bagian dari adat istiadat dan agama.
yang diikhtiarkan dari berbagai pengamatan dan Karena itu, penggalian nilai-nilai seni budaya
percobaan. dapat mengungkap berbagai segi kearifan lokal,

Tarian Ma’atenu di Desa Pelauw Kecamatan Pulau Haruku Kabupaten Maluku Tengah - La Sakka |291
seperti kerukunan umat beragama, persaudaraan, sering disebut sistem sosial, terdiri dari aktivitas
perdamaian dan kasih sayang. (Abu Muslim, manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan
2013: 232). Seni budaya sebagai kearifan lokal serta bergaul satu dengan yang lain, selalu mengikuti
juga merupakan sarana pembangunan bidang pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata
agama yang sejalan dengan Rencana Program kelakuan.
Jangka Panjang dan Menengah Nasional (RPJMN) Adapun penelitian budaya keagamaan
Kementerian Agama 2010-2014, khususnya yang pernah dilakukan oleh Litbang Agama
perwujudan kehidupan sosial yang harmonis, Makassar adalah: Nilai Keagamaan dalam petuah
rukun, dan damai di kalangan umat beragama (Atho bijak di Kawasan Timur Indonesia. Penelitian ini
Mudzhar, 2009: 11-12). Seni meliputi semua bentuk mengungkap berbagai jenis petuah bijak berupa
kegiatan tentang aktivitas fisik dan nonfisik yang pribahasa, pantun, puisi, lagu-lagu Daerah dan
tertuang dalam kegiatan berekspresi, bereksplorasi, karya sastra lainnya. Seperti nilai keagamaan
berkreasi dan berapresiasi melalui bahasa rupa, yang terungkap dalam tevai ntotua (ungkapan
bunyi, gerak dan peran (Rohidi 2000:7). Menurut yang mengandung pesan yang arif dan bijaksana
Joann Kealinohomoku (dalam Sedyawati 1981:26) dari leluhur orang Kaili di Palu Sulawesi Tengah).
tari adalah suatu ekspresi yang tak dapat dipegang, Nabelomo saito kana nabelopa randua, nabelomo
yang disajikan dalam bentuk dan gaya tertentu randua nalebipa belona nadea. Artinya bila merasa
oleh tubuh manusia yang bergerak dalam ruang, bagus kalau sendiri sesungguhnya lebih bagus jika
berirama, dan mempunyai tujuan tertentu. berdua, sudah bagus berdua akan tetapi lebih bagus
Soedarsono (1992:4) menjelaskan bahwa tari lagi kalau banyak orang. Ungkapan ini merupakan
sebagai ekspresi jiwa manusia dapat dilihat melalui sajak persaudaraan yang disampaikan secara turun-
gerakgerak yang indah. temurun oleh masyarakat Kaili. Mereka menekankan
Seni tari merupakan salah satu seni yang betapa pentingnya kebersamaan, kerjasama dan
menggunakan tubuh manusia sebagai media saling tolong menolong dalam menganrungi
ungkap. Unsur tari adalah ekspresi gerak dan kehidupan dunia. Hal ini sangat sejalan dengan
ekspresi sikap. Lewat unsur-unsur ini tari terbentuk pesan agama yang senantiasa menganjurkan
sebagai penyampaian pesan dari pencipta baik persaudaraan dan persatuan (Muhammad Sadli
secara individu maupun kelompok yang dilakukan Mustafa, 2013: 351-352).
oleh sang penari. Upacara pelaksanaan Tarian Ma’atenu
Pendapat lain tentang tari menurut Judith mempunyai latar belakang yang cukup panjang
(dalam Sulistyowati 1989:11) yakni perilaku karena upacara ini sudah berusia ratusan tahun
manusia yang terdiri atas urutan gerak tubuh dan yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Pelauw
anggota badan yang nonverbal yang dipolakan secara adat.
secara berirama dan bertujuan sebagai ekspresi Acara adat Ma’atenu berlangsung satu hari
yang penuh makna melalui manipulasi gerak secara penuh setiap tiga tahun sekali. Acara adat Tarian
artistik. Ma’atenu ini berawal dari turunnya masyarakat
Pembangunan budaya merupakan pilar kunci Amarima Lounusa dari Ama Hatua (Negeri asal
dalam upaya membangun karakter masyarakat. di Pegunungan), dimana menggambarkan sejarah
Pembangunan yang tidak dilandasi dengan perjuangan rakyat Amarima Lounusa melawan
pemahaman budaya masyarakat akan sulit mencapai penjajah yang dikenal dengan perang Ataka, yang
keberhasilan. Karena kebudayaan itu sendiri dalam pelaksananya melibatkan seluruh masyarakat
adalah aspek nilai yang hidup dan tumbuh dalam Pelauw yang tergolong dalam empat belas unit
masyarakat yang menjadi landasan berpikir dan kelompok solidaritas.
bertingkah laku. Begitu pentingnya pembangunan Hal ini menandai adanya suatu hubungan
budaya yang sekaligus menunjukkan keberagaman atau ikatan kekerabatan yang paling kuat diantara
sebagai bangsa yang kaya dan penuh potensi (Dinas mereka, baik sesama kelompok kerabat maupun
Kebudyaan dan Kepariwisataan Provinsi Sul-Sel, dengan kerabat yang lain di dalam masyarakat.
2012: 1). Selain hubungan kekerabatan, tapi mempunyai
Adat merupakan wujud ideal kebudayaan yang nilai mistik karena tarian ini biasanya dilakukan
sebagai tata kelakuan. Wujud kebudayaan sebagai dengan memakai senjata tajam berupa parang atau
kompleks aktifitas kelakuan berpola dari manusia semacamnya. Dan pada tubuh masing-masing
dalam masyarakat. Wujud dari kebudayaan yang biasanya dibekali dengan kekebalan yang didahului

292 | Jurnal “Al-Qalam” Volume 21 Nomor 2 Desember 2015


dengan bacaan-bacaan doa atau ayat-ayat dari kecamatan. Kecamatan Pulau Haruku merupakan
Alquran yang diyakini adalah masing-masing satu kecamatan tua di Kabupaten Maluku Tengah.
anggota (Wawancara A. Aziz Tuasikal). Kecamatan Pulau Haruku terletak pada 1280,42º –
Berdasarkan pada latar belakang di atas, 1280,36º Lintang Selatan dan 30,28º – 30,42º Bujur
maka yang menjadi permasalahan pokok dalam Timur, dengan batas wilayah kecamatan sebagai
penelitian ini adalah: Bagaimna tinjauan aqidah berikut: sebelah Utara berbatasan dengan Laut
Islam terhadap Tarian Ma’atenu di Desa Pelauw, Seram, sebelah Selatan berbatasan dengan Laut
selanjutnya dirumuskan beberapa submasalah yakni: Banda, sebelah Timur berbatasan dengan Selat
Bagaimana proses pelaksanaan Tarian Ma’atenu di Sirsawoni dan sebelah Barat berbatasan dengan
Desa Pelauw? serta bagaimana pelaksanaan Tarian Selat Haruku (Kantor Kecamatan Pulau Haruku,
Ma’atenu ditinjau dari Aqidah Islam? 2014)
Pulau Haruku terletak tengada (berhadapan
METODE PENELITIAN dalam posisi yang lurus) laut Banda. Bepergian ke
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif Pulau Haruku dapat menggunakan jasa trasportasi
kualitatif yang berusaha menginventarisasi seni laut (speedboat) yang tersedia setiap hari dari pagi
keagamaan, serta mendeskripsikan berbagai hal jam 07.00 sampai sore jam 18.00, atau menggunakan
berkaitan dengannya sebagai informasi berharga kapal Fery tiga kali seminggu via Tulehu, satu
untuk pengkajian atau pemanfaatan lebih lanjut. kampung di bagian timur selatan Pulau Ambon.
Penelitian ini memilih lokasi di Kabupaten Maluku Penyebaran dari pulau Ambon ke Pulau Haruku
Tengah Propinsi Maluku. dapat di tempuh dalam waktu yang relatif singkat
Dalam penelitian ini, digunakan metode (25 s/d 45 menit).
yang lazim digunakan dalam penelian kualitatif Melihat posisi Pulau Haruku (Kecamatan
yaitu observasi dan wawancara. Wawancara dengan Pulau Haruku) seperti disebut di atas, tidak
informan yang relevan, memiliki informasi berharga mengherangkan bila sejak kemerdekaan Republik
tentang penelitian. Informan berasal dari keluarga Indonesia Kecamatan ini banyak menyuplai sumber
atau kerabat (sasaran penelitian), tokoh masyarakat, daya manusia (SDM) bagi pembangunan bangsa
dan anggota masyarakat lainnya. Indonesia, terutama di Maluku. Gubernur pertama
Provinsi Maluku, Mr. Yohanes Latuharhary dan
PEMBAHASAN sejumlah pejabat birokrat serta dua gubernur lain di
Setting Penelitian belakang, Drs. M. Saleh Latuconsina, Drs. M. Akib
Kabupaten Maluku Tengah adalah salah Latuconsia berasal dari Kecamatan Pulau Haruku.
satu kabupaten dari sebelas kabupaten/kota yang Saat ini SDM asal Kecamatan Pulau Haruku tersebar
ada dalam Propinsi Maluku. Mengingat luasnya hampir pada seluruh wilayah di Maluku dalam tugas
propinsi tersebut maka dipilih salah satu kabupaten selaku birokrasi atau pegawai negeri sipil (PNS),
diantaranya Maluku Tengah. Terkait dengan politisi, praktisi, dan pengusaha.
masalah penelitian yang akan dibahas yaitu Tarian Jumlah penduduk Kecamatan Pulau Haruku
Ma’atenu di Desa Pelauw Kecamatan Pulau Haruku sampai tahun 2013 adalah sebanyak 30.519 jiwa,
Kabupaten Maluku Tengah, untuk lebih terpokus terdiri dari laki-laki15.324 jiwa, dan perempuan
membahas penelitian ini maka terlebih dahulu 15.195 jiwa, dengan jumlah KK 5.999 KK.
digambarkan wilayah sasaran penelitiannya yaitu di
Pulau Haruku. Kehidupan Sosial, Budaya dan Keagamaan
Di antara Pulau Ambon, Pulau Seram, dan Masyarakat
Pulau Saparua terdapat satu pulau kecil bernama Kemajuan suatu daerah, antara lain
Pulau Haruku, dengan luas daratannya adalah ditentukan oleh kemajuan di bidang pendidikan.
150,00 Km2. Pulau Haruku ini adalah salah satu Kemajuan dalam bidang pendidikan di Kecamatan
kecamatan dari Kabupaten Maluku Tengah. dan di Pulau Haruku semakin terasa di dalam masyarakat
pulau ini terdapat 11 negeri adat, masing-masing: dengan meningkatnya sarana dan prasarana
Pelauw, Kailolo, Kabauw, Rohomoni, Samet, pendidikan yang dibina oleh pemerintah dan swasta,
Haruku, Oma, Wassu, Aboru, Hulaliu dan Kairu. seperti pembangunan gedung-gedung sekolah,
Sejak kemerdekaan Republik Indonesia penambahan ruangan kelas, pengangkatan guru,
tahun 1945, negeri-negeri di Pulau Haruku dan perhatian masyarakat terhadap pentingnya
dijadikan satu wilayah administratif, berupa pendidikan.

Tarian Ma’atenu di Desa Pelauw Kecamatan Pulau Haruku Kabupaten Maluku Tengah - La Sakka |293
Pada tahun 2013, di Kecamatan Pulau Haruku keluarga inti atau keluarga semarga mengalami
terdapat 10 buah Taman kanak-kanak dengan perluasan melampaui keluarga dan merga sendiri.
jumlah murid 275 orang, dan dibina oleh 12 orang Orang Haruku tidak mengenal adanya
guru. Jumlah sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah sistem pelapisan sosial resmi, seperti pada suku
sebanyak 28 buah, dengan jumlah murid 3.618 bangsa Ternate. Pada mulanya masyarakat Haruku
orang dan dibina oleh 296 orang guru. Jumlah masih sederhana, serta hubungan kekeluargaan
SMP/MTs. Sebanyak 10 buah, dengan jumlah murid antara warga dalam satu negeri sangat erat. Pada
2.735 orang, dan dibina oleh 95 orang guru. Jumlah umumnya satu negeri didiami oleh warga yang
SMA/SMK/MA sebanyak 5 buah, dengan jumlah masih mempunyai hubungan geneologis. Oleh
murid sebanyak 1126 orang, dan dibina oleh 91 karena itu, mereka tidak merasakan adanya lapisan-
orang guru (BPS, 2013). lapisan sosial. Walaupun demikian, dengan adanya
Di bidang kesehatan, dilaksanakan perbaikan golongan aparat pemerintahan dan warga negeri,
dan peningkatan berbagai sarana dan prasarana maka masyarakat dapat digolongkan dalam dua
kesehatan sesuai kebutuhan. Pada tahun 2013, golongan, yaitu golongan pemerintah dan warga
di Kecamatan Pulau Haruku, walaupun belum negeri.
memiliki Rumah sakit tetapi sudah memiliki 1 buah Karena jabatannya, pejabat pemerintah
Puskesmas dan 7 buah Peskesmas Pembantu dan 17 dianggap mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
buah pos Yandu. Pelayanan kesehatan masyarakat dan dihormati. Selain itu, yang dianggap menempati
dilakukan oleh petugas kesehatan terdiri dokter lapisan teratas adalah guru dan tokoh agama.
umum 1 orang, dokter gigi 1 orang apoteker 1orang, Sedangkan warga dianggap sebagai lapisan soaial
perawat 4 orang dan tenaga kesehatan 7 orang. yang kedua. Walaupun demikian, tidak terdapat
Sistem kekerabatan di Pulau Haruku perbedaan yang mencolok antara kedua golongan
menunjuk pada hubungan kekeluargaan, yakni tersebut, misalnya dalam bentuk-bentuk rumah
hubungan sosial yang terjadi antara seseorang dan atribut-atribut lainnya. Mereka mempunyai
dengan saudara-saudaranya atau keluarganya, baik hak dan kewajiban yang sama dalam masyarakat.
dari jalur ayahnya maupun ibunya. Masyarakat Hanya karena jabatannya, para pejabat pemerintah
Pelauw mengaanut sistem kekeluagaan dari garis mendapat penghormatan dengan berbagai
keturunan ayah atau orang laki-laki, sehingga garis panggilan. Pendidikan, kekayaan, keturunan, atau
keturunan bapak menjadi dominan, tetapi mereka kesenioritasan seseorang tidak merupakan kriteria
sangat menghormati keturunan dari garis ibu atau pembentukan pelapisan sosial pada suku Haruku.
orang perempuan. A.Tuasical (2014) menyebutkan Golongan pejabat pemerintahan dan rakyat biasa
bahwa; anak cucu dari garis keturunan perempuan merupakan pelapisan sosial yang tidak membawa
mendapat perlakuan khusus dari keluarga garis pengaruh dalam hubungan pergaulan kedua
keturunan ayah. Dalam satu acara yang dihadiri gulongan tersebut. Tidak ada larangan tertentu
banyak orang misalnya, keturunan dari saudara untuk kedua golongan, misalnya bergaul atau
perempuan yang kawin dengan marga lain diundang melakukan perkawinan dan upacara adat lainnya
dan diberi penghargaan khusus dalam sapaan- (Massoweang, 2009:29).
sapaan. Mereka juga dilayani secara khusus dalam Pelaksanaan kegiatan dan aktivitas keagamaan
acara jamuan makan. Sedangkan dalam kehidupan umat beragama pada umumnya berpusat di rumah-
sehari-hari, bila anak-anak atau keturunan dari rumah ibadah yang telah didirikan oleh pengaut
orang perempuan dalam marga tertentu datang dan organisasi keagamaan. Berdasarkan data BPS
ke matarumah marga ibu atau neneknya, mereka Maluku Tengah, jumlah penduduk kabupaten
disambut dengan gembira dan dilayani permintaan Maluku Tengah pada tahun 2012 sebanyak 375.393
atau keperluannya dengan baik. Pola kekeluargaan jiwa terdiri dari laki-laki 189.442 jiwa, perempuan
yang memosisikan garis keturunan ayah dan ibu 185.951 jiwa. Dari jumlah tersebut penganut
secara imbang memengaruhi sistem kekerabatan Agama Islam sebanyak 62,19 % , Protestan 36,73
di negeri Pelauw. Sama seperti negeri-negeri lain %, katolik 0,34 % , dan lainnya 0,74 %. Karena
di Maluku Tengah, penanda kekerabatan di Pelauw Penduduk di Kabupaten Maluku Tengah mayoritas
adalah marga. Satu marga biasanya memiliki asal- beragama Islam, praktis jumlah rumah peribadatan
usul sama dari satu garis keturunan, yang dikenal pun terhitung paling banyak ketimbang agama-
sebagai moyang bersama. Melalui perkawinan agama lain, hal ini dilihat dengan masjid 275 buah,
silang, kekerabatan yang semula terbatas pada Gereja Protestan 192 buah, Gereja Katolik 16 buah,

294 | Jurnal “Al-Qalam” Volume 21 Nomor 2 Desember 2015


sedangkan Pura terdapat 3 buah dan Vihara tidak 1. Perlu adanya mobilisasi kekuatan pertahanan
ada. dan keamanan dengan menggerakkan semua
potensi masyarakat Pelauw
Latar Belakang Sejarah Tarian Ma’atenu 2. Perlu adanya persiapan kekuatan ekonomi
Pada tahun 1637, pihak Pemeritah Belanda masyarakat dengan mobilisasi seluruh potensi
dipimpin oleh seorang Petur (penguasa) yang masyarakat Pelauw.
bernama Kombers. Dalam pertemuan yang dihadiri Ma’atenu atau disebut juga cakalele adat adalah
oleh Pemerintah Belanda bersama Raja Hatuhaha ritual perang khas masyarakat Hatuhaha di pulau
itu, terjadilah dialog yang cukup panjang, sehingga Haruku Maluku Tengah. Ritual ini dilaksanakan
ruang pertemuan (Baileo Matasiri) yang tadinya tiga tahun sekali, dan sudah 100 tahun lebih ritual
hening menjadi tidak tenang. Di tengah pertemuan ini dilakukan di negeri Pelauw.
itu muncul seorang yang bernama Imam Haturesi Ma’atenu berasal dari bahasa Pelauw atau
Rua menyampaikan sanggahannya dalam sebuah Hatuhaha Ma’atenu’o; terdiri dari dua suku kata
syair lagu “Tuan Peture Visi Komberisasi, Tuan yaitu kata ma’a artinya mari, dan kata tenu’o artinya
Muhammad jadi orang Pelauw”. Syair lagu ini mencoba atau menguji. Ma’atenu secara harfiah
kalau diterjemahkan dari segi terminologi bahasa dapat diartikan sebagai undangan untuk menguji.
Indonesia mengandung makna bahwa Tuan Pengertian ini menunjuk pada tingkatan aktif
Petur Van Kombers adalah orang Belanda yang dan keberadaan peserta Ma’atenu yang menguji
mempunyai agama lain, sedangkan Pelauw pada kekebalan dan keperkasaan mereka di depan publik
prinsipnya beragama Islam. dengan cara memotong, mengiris dan menikam
Terlepas dari sanggahan di atas, Tuan Petur anggota tubuh mereka dengan parang atau kelewang
menyampaikan permintaan Pemerintah Belanda, dan benda-benda tajam lainnya.
antara lain: Menguji dalam konteks historis Ma’atenu
1. Negeri-Negeri Hatuhaha seperti Pelauw, Kailolo, memiliki pengertian yang lebih luas, yaitu
menegaskan eksistensi Islam diantara kelompok-
Kabauw, dan Rohomoni segera menyesuaikan
kelompok lain. Ma’atenu sebagai simbol pasukan
diri dengan masyarakat Hulaliu yang sudah
yang dimobilasi bertujuan memperlihatkan baik
memeluk agama Kristen.
kekuatan fisik maupun moral sebagai seorang
2. Apabila permintaan pada butir 1 (satu) di
muslim tulen atau benar-benar Islam (Rumahuru,
atas tidak diindahkan, maka seluruh pohon Yance Zadrak, 2012: 100).
cengkeh yang ada di kawasan Hatuhaha akan Syarat utama yang patuh dipenuhi sebagai
dimusnahkan. peserta Ma’atenu adalah mendapat restu atau
3. Hubungan ekonoi antara Negeri Hatuhaha persetujuan dari keluarga. Bagi yang belum
dengan semua negeri Tetangga, terutama yang menikah, perlu mendapat restu atau ijin dari
ada di Seram Selatan akan diblokade (pemutusan kedua orang tuanya dan yang telah menikah perlu
hubungan ekonomi). mendapat restu dari istrinya. Persyaratan lain adalah
Mendengar penjelasan yang sifatnya memaksa sebagai berikut (1) memiliki fisik dan mental baik,
ini, maka Raja Hatuhaha menyampaikan sebuah (2) patuh kepada orang yang memimpin, (3) rambut
permintaan kepada Tuan Petur bahwa masyarakat dicukur bersih dari kepala, (4) mengenakan busana
Hatuhaha dalam tempo waktu yang relatif singkat putih seperti baju koko tanpa pengalas kaki, (5)
akan memenuhi kehendak Pemerintah Belanda, menyiapkan pedang khusus yang diasa tajam, dan
asalkan diberi waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak (6) menjaga perkataan dan sikap terhadap sesama.
pertemuan itu. Dari beberapa hal yang disyaratkan di atas, tampak
Setelah Tuan Petur Van Kombers kembali bahwa aspek moral, loyalitas dan disiplin patut
melaporkan hasil misinya, maka Raja Hatuhaha dimiliki oleh seseorang peserta Ma’atenu, karena
segera memanggil tokoh-tokoh adat dan pihak-pihak mereka dianalogikan sebagai pasukan perang atau
yang dianggap berpengaruh untuk melaksanakan prajurit Hatuhaha.
suatu pertemuan. Di bagian awal telah disebut bahwa ritual
Pertemuan rahasia itu di laksanakan di tengah Ma’atenu adalah ritual perang, hal ini karena
hutan di Gunung Alaka, yang oleh masyarakat beberapa alasan sebagai berikut: Pertama, Ma’atenu
dipanggil “Matasiri Lounusa”. Dalam pertemuan itu, dikaitkan langsung dengan perjuangan orang tua-
tua Hatuhaha mempertahankan Islam. Kedua,
ada beberapa hal yang dibahas, antara lain:
peserta ma’atenu dijadikan simbol dari pasukan

Tarian Ma’atenu di Desa Pelauw Kecamatan Pulau Haruku Kabupaten Maluku Tengah - La Sakka |295
perang hatuhaha. Ketiga, peralatan ritual, yaitu Pelauw mempunyai hak yang sama dengan warga
parang atau pedang adalah peralatan perang masyarakat pelauw yang lainnya. Hal ini terbatas
tradisional yang digunakan untuk bertempur pada segi keturunan, jadi yang merasa mepunyai
zaman dulu. Parang sebagai peralatan ritual yang hubungan darah baik dari keturunan secara vertikal
juga digunakan untuk berjuang membangun hidup maupun horizontal, semuanya mempunyai kapasitas
dengan membabat hutan dan melakukan aktivitas yang sama terhadap pelaksanaan Tarian Ma’atenu.
pertanian serta perkebunan secara tradisional Acara pelaksanannya diatur secara adat sesuai
sebagai basis utama sumber pendapatan kebanyakan fungsi masing-masing perangkat adat dan peserta
orang pelauw. Keempat, atraksi yang ditampilkan itu sendiri, yang semuanya saling berhubungan erat.
dalam Ma’atenu seperti memotong, menikam dan Secara kolektif yang bertanggung jawab
mengiris tubuh sesungguhnya menunjuk pada terhadap pelaksanaan Tarian Ma’atenu adalah
cara-cara menaklukkan musuh. Kelima, roh kapitan raja Hatuhaha yang dalam struktur pemerintahan
atau leluhur yang hadir dalam diri peserta Ma’atenu merangkap sebagai kepala desa. Namun untuk
sehingga mereka ka’a atau mengalami kondisi trans kelancaran pelaksanaannya, dilaksanakan
dan memiliki kekebalan terhadap benda tajam pendelegasian wewenang sesuai fungsi dan peraanan
ini adalah roh pemimpin kelompok perang dari setiap warga.
masing-masing soa, yang dapat disamakan dengan Walaupun penanggung jawab kolektif atau
komandan kelompok, bahkan panglima perang keseluruhan rangkaian adalah kepala adat dalam
sekarang. hal ini raja, namun untuk kelancaran dari rangkaian
Ritual Ma’atenu yang menggunakan simbol- acara ini terdapat pembagian tugas sesuai fungsi dan
simbol perang seperti penggunaan parang atau peranan masing-masing soa (marga). Penanggung
pedang sebagai alat perang tradisional, kekebalan jawab sebagai berikut:
terhadap benda tajam yang agak mistik, bahkan 1. Kepala adat (raja) sebagai penanggung jawab
peserta Ma’atenu yang diposisikan sebagai “prajurit
kolektif mempunyai batas wewenang sebagai
Hatuhaha menjaga eksistensi Islam menunjuk pada
berikut:
konteks perang orang tua-tua Hatuhaha empat abad
• Mengumumkan waktu pelaksanaan sesuai
silam (Rumarhuru,Yance Zadrak, 2012: 107-108).
keputusan Saniri Negeri (Lembaga Tertinggi
Negeri).
Pelaksanaan Ritual Tarian Ma’atenu di Desa
• Memberikan mandat kepada setiap
Pelauw
Ma’atenu yang secara kolektif adalah milik kepala marga untuk mengkonsolidasikan
bersama seluruh warga masyarakat Desa pelauw marganya.
dimana saja berada. Ma’atenu yang sacral ini 2. Kepala rumah atau sebagai seorang yang
senantiasa dikenal oleh setiap anggota warga dituakan pada suatu marga mempunyai batas
masyaralat Pelauw yang secara sugestif dan refleksi wewenang sebagai berikut:
duduk mengenang atau menghitung kapan datang • Mengadakan rapat konsolidasi antara
hari pelaksanaannya, dan bila harinya semakin seluruh warga rumah tua tentang
mendekat maka warga masyarakatpun spontanitas pelaksanaan Tarian Ma’atenu.
pulang ke kampung untuk berpartisipasi untuk • Menentukan personil untuk memimpin
melaksanakan tarian tersebut. Baik mereka yang warganya yang akan ikut upacara dan yang
berdomisili di Desa pelauw sendiri maupun berada akan bergabung dalam 2 (dua) kelompok
diluar daerahnya. Tarian Ma’atenu yang akan besar yaitu kelompok lima yang disebut
melibatkan fisik dan mental spiritual memerlukan Latu Rima atau 5 (lima) Raja dan kelompok
persiapan yang matang, untuk itu mereka diwajibkan Urisyiwa atau kepala 9 (sembilan) kelompok,
mencukur rambut dengan maksud membersihkan masing-masing sub kelompok Waelurui dan
diri, kemudian menggosok atau mengasah parang sub kelompok Waelapia. Untuk kelengkapan
untuk melawan jihat dan memakai pakaian putih upacara ini setiap kelompok membawakan
yang melambangkan mesucian dan kemurnian jiwa makanan yang dikumpulkan dirumah adat
peserta Ma’atenu, hal ini merupakan persyaratan yang disebut Asari (Baileo), kemudian
mutlak harus laki-laki yang memenuhi kriteria. secara bersama-sama pula mereka membuat
Pengertian warga masyarakat ini bukan
bahwa para pendatang yang berdomisili di desa

296 | Jurnal “Al-Qalam” Volume 21 Nomor 2 Desember 2015


tempat makanan pula.
Para peserta Ma’atenu tempat pelaksanaannya yang berpisah sesuai dengan rute perjalanan masing-
masing peserta. Secara umum dapat kita ikuti dalam tabel 1.

Tabel 1: Pembagian Masing-Masing Peserta Sesuai Dengan Rute Perjalanan


No Peserta Sektor Timur Sektor Selatan Sektor Barat
1 Latuconsina - - Sektor Barat
2 Latupona - - Sektor Barat
3 Latuamury - - Sektor Barat
4 Sahubawa - - Sektor Barat
5 Talaohu - - Sektor Barat
6 Salampessy - Sektor Selatan -
7 Angkotasan - Sektor Selatan -
8 Tuankotta - Sektor Selatan -
9 Tuakia - Sektor Selatan -
10 Tualepe - Sektor Selatan -
11 Tuni Sektor Timur - -
12 Tualeka Sektor Timur - -
13 Tuahenka Sektor Timur - -
14 Tuasikal Sektor Timur - -

Untuk membedakan masing-masing sektor, berkumpul dihalaman sebuah Baileo yang bernama
maka setiap sektor mempunyai nama sebagai Matasiri yaitu Balairung asal Uli Hatuhaha Lou
berikut: Nusa Amarima. Lokasi bekas pemukiman lama
yang terdapat rumah adat model daerah-daerah
Sektor Barat disebut Latu Rima yang terpelihara dengan baik itu, para peserta
Peserta sektor ini terdiri dari 5 marga. membersihkan dan beristirahat sejenak setelah itu
Disebut Latu Rima karena sebagian besar yang yang mereka makan siang bersama. Kemudian dilakukan
mengikuti sektor ini bermarga Latu (Latuconsina, upacara selamatan dengan mohon doa restu dan
Latupono, Latuamury), peserta soa Talouhu mohon kekuatan lahir dan bathin kehadirat Allah
berkumpul di Rumanai Lesirohi bersama peserta swt untuk mengalahkan semua kekuatan bathil.
soa Sahubawa. Peserta yang berkumpul di rumah Ela Disini sang Kapitan atau Ma’ahala Lahat telah
atau Rumanai Latuconsina segra bergabung dengan memperoleh kekuatan yang tersimpan dalam kain
peserta Soa Tolaohu dan peserta Soa Sahubawa di lahat yang merupakan kekuatan untuk seluruh
Rumanai Lesirohi milik Soa Sahubawa. Setelah dua kelompok Latu Rima yang dipimpinnya. Setelah itu
grup ini berkumpul, maka tiba pada menjeput atau mereka mandi di sungai untuk membersihkan diri,
melamai kapitang oleh 2 (dua) petugas dari Soa setelah mandi bersih, satu persatu dimandikan oleh
Tuelepe (Rumanai Pau). Ma’ahala Lahat untuk selanjutnya diuji kekebalan
Kapitan yang akan memimpin Laturima fisiknya oleh Ma’ateru Ame dengan pedang tajam
(Patasiwa) ini, sebelum berangkat terlebih dahulu dan selanjutnya pulang menuju Pekarangan Masjid
harus mohon restu sekaligus laporan kepada Juru (Taeamen).
Pusaka Salampessy dengan menjabat tangan Upu
Sisyi Rumanai Sampale yang saat itu duduk bersila Sektor Selatan disebut Urato Roho Rhima
ditempatnya. Disebut Urato Roho Rhima, karena pesertanya
Kemudian sang Kapitan Pau Tualepe dikawal terdiri dari 5 marga yang medan sektirnya terdiri
kedua penjemput menuju Rumanau Lesirohi, dari daerah yang bergunung. Sektor ini sering
disana telah berkonsentrasi Laturima atau Matasiri disebut Waelurui, karena terminal akhir dari
menunggu kedatangan sang Kapitan. Saat itu sektor ini berpusat di hulu sungai Wae Marikee.
berkumpul pada pukul 09.00 WIT dan dilakukan Sebelum berangkat ke terminal sektor, mereka
upacara doa selamatan dipimpin oleh Sesepu atau (peserta Ma’atenu) berkumpul di rumah clan
Juru Pusaka dari Sahubawa, untuk memberikan Tualepe. Para peserta Waelurui berkumpul pada
ketenangan dan percaya diri bagi para peserta pukul 09.00 WIT dan kemudian dilakukan upacara
Ma’atenu untuk menuju makam keramat Matasiri. doa selamatan yang dipimpin oleh sesepuh rumah
Di lokasi makam keramat Matasiri, mereka

Tarian Ma’atenu di Desa Pelauw Kecamatan Pulau Haruku Kabupaten Maluku Tengah - La Sakka |297
adat klan Tualepe, sedangkan Kepala Adat (Raja) Di rumah clan Tualeka, kelompok Tuni
memberikan minuman berupa air kepada para Mahua Waelapia menunggu kedatangan Ma’ahala
peserta setelah dibacakan doa dan shalawat Nabi Lahat dan Ma’ateru Ame yang akan memimpin
untuk memberikan ketenangan dan percaya diri bagi kelompok menuju makam keramat Tuni Mahua
para peserta Ma’atenu. Di rumah adat clan Tualepe Waelapia. Petugas protokol dari clan Tualepe segera
sudah ada Ma’ahala Lahat dan Ma’ataru Amen yang menuju rumah adat clan Tualepe untuk menjemput
akan memimpin kelompok yang menuju Waelurui, Ma’ahala lahat. Ma’ahala berarti menggendong atau
petugas protokol dari Soa Tualepe dan Ma’ahala memikul, sedangkan Lahat berarti liang kubur, juga
Lahat telah siap mengendong kain merah atau berarti kandungan ibu yang suci dan penuh rahasia
kainnya dan ditutup tudung yang berarti kain lahat dari sang pencipta alam semesta.
tersebut belum terisi penuh dengan kekuatan magis, Di lokasi keramat Waelapia, mereka berkumpul
ma;ahala berarti menggendong atau memikul di halaman sebuah keramat yang terletak di kaki Air
sedangkan Lahat berarti liang kubur, juga berarti Waelapia dan membersihkan daerah sekitarnya,
kandungan ibu yang suci dan penuh rahasia gaib kemudian dilaksanakan upacara selamatan dengan
dan zat pencipta alam semesta. memohon kekuatan lahir dan batin kehadirat Allah
Di lokasi keramat Waelurui, mereka untuk mengalahkan semua kekuatan yang bathil.
berkumpul di halaman sebuah keramat yang disebut Disinilah ma’ahala lahat memperoleh kekuatan
Te’put di hulu sungai Air Marakee dan mereka yang tersimpan dalam kain lahat yang merupakan
membersihkan daerah sekitarnya, kemudian kekuatan untuk seluruh kelompok Tuni Mahua
dilakukan upacara selamatan yang dipimpin oleh Waelapia yang dipimpinnya. Setelah itu mereka
Ma’ahala Lahat yang diawali dengan pembakaran makan siang, kemudian mandi di sungai Waelapia
damar. Pembakaran damar menyebarkan aroma untuk membersihkan diri. Sewaktu mandi, satu
kemenyan ke alam bebas menambah kenikmatan persatu dimandikan oleh Ma’ahala Lahat selanjutnya
udara segar dan membangkitkan tenaga dan daya diuji kekebalan fisiknya oleh Ma’ataru Ame dengan
menjelajah hutan belantara, bertujuan untuk pedang tajam, dan selanjutnya pulang menuju
memohon doa dan kekuatan lahir batin dari Allah pekarangan Masjid (Tauwamen).
swt untuk melawan semua kekuatan yang bathil. Usai shalat Ashar, peserta mulai memasuki
Disini Ma’ahala Lahat memperoleh kekuatan medan laga di depan Masjid, disitu peserta (dibagi
yang tersimpan dalam kain lahat yang merupakan 3 kelompok) unjuk kebolehan secara bergantian.
kekuatan untuk seluruh kelompok Waelurui yang Selagi berlaga itu, mereka di dampingi oleh Ma’ateru
dipimpinnya. Setelah itu mereka makan siang Ame atau pembimbing.
bersama dengan sistem patita, kemudian mandi Selain acara pembuka, beduk Masjid di
bersih satu persatu dimandikan oleh Ma’ahala tabuh dilanjutkan dengan pemukulan rebana, tiba
Lahat, untuk selanjutnya diuji kekebalan fisiknya dan toto buang setelah itu atraksi baku potong di
oleh Ma’ataru Ame dengan pedang tajam, dan laksanakan, kelawang, parang, golok yang rata-rata
selanjutnya pulang menuju pekarangan Masjid sepanjang 30-75 cm berkelebatan memotong leher,
dipimpin oleh Ma’ahala Lahat dan Ma’ataru Ame. mengiris lidah atau memotong tubuh. Benda tajam
itu diiriskan pada tubuh sendiri dan ketubuh adik,
Sektor Timur disebut Tuni Mahua Waelapia ponakan atau kerabat.
Peserta sektor ini terdiri dari 4 (empat) marga. Ma’atenu berhenti laga, mereka disambut
Sektor ini disebut Tuni Mahua Waelapia karena sekitar 30 ibu-ibu, yang mengenakan kebaya warna
terjadinya perpaduan unsur Tuni Mahua sedangkan biru dan bersarung batik di pintu Baileo (Balai
Waelapia diambil dari terminal akhir yang terletak Desa). Kain salele merah yang dipegang dikalungkan
di dusun Waelapia. satu persatu ke leher peserta “Pengalungan itu
Sebelum berangkat, sektor ini berkumpul di ibarat menyambut kedatangan para pahlawan yang
rumah adat clan Tualeka, para peserta berkumpul menang di medan perang”.
tepat pukul 09.00 WBTI, kemudian dilakukan Pelaksanaan Tarian Ma’atenu sebagaimana
upacara selamatan yang dipimpin oleh Sesepuh penulis uraikan pada bagian terdahulu bahwa
rumah adat clan Tualeka, sedangkan Kepada Adat sangat erat dengan misi kristenisasi yang dibawah
(Raja) memberikan minuman berupa air kepada Pemerintahan Belanda. Team atau ekspedisi
para peserta setelah dibacakan doa dan shalawat kristenisasi tersebut di pimpin oleh Tuan Peter
Nabi untuk memberikan kekuatan dan percaya diri van Kombers, yang tiba di Desa Pelauw pada
bagi peserta Ma’atenu.

298 | Jurnal “Al-Qalam” Volume 21 Nomor 2 Desember 2015


bulan Rabiul Awal tahun 1637 Masehi. Kemudian baileu dan disambut oleh sejumlah ibu-ibu yang
Tuan Peter Van Kombers datang untuk menagih mengalungkan kain pada leher peserta.
kesepakatan bersama yang diambil di pertemuan Malam hari sebelum diadakan ritual,
Baileo Matasiri. Kedatangan Tuan Peter Van umumnya peserta sudah berkumpul pada rumah
Kombers terjadi pada bulan Jumaidil Awal. soa kecil masing-masing. Tujuan berkumpul adalah:
Dan kedatangan ini oleh masyarakat 1. Untuk mendapat penjelasan tentang hakekat
setempat dengan upacara Ma’atenu yang biasanya Ma’atenu dan hal-hal yang patut diperhatikan
dilaksanakan pada hari kamis tiga tahun sekali. dalam pelaksanaan Ma’atenu, oleh seorang yang
Tuan Peter van Kombers tiba di Pelauw pada dituakan di soa, dan
hari rabu pukul 16.00 WIT, dan sesuai rencana 2. Untuk bersama-sama dengan anggota marga
mengkristenkan masyarakat secara serempak atau soa yang lain keesokan harinya menjadi
dan spontanitas, loyalitas dan partisipasi satu kelompok menuju rumah tua atau rumah
mengkonsolidasikan berbagai kekuatan untuk soa besar dari soa bersangkutan.
potensi keamanan dan kemampuan masyarakat Semu peserta yang tidur di rumah soa kecil
Pelauw dari segi pertahanan (Ma’atenu) maupun pagi-pagi harus bangun untuk sarapan, mandi,
petahanan ekonomi kepada ekspedisi Peter dengan mengenakan pakaian putih, dan bersiap-siap
sendirinya akan mengalami kegagalan total untuk menuju ke rumah tua. Ada juga sebahagian peserta
mengkristenkan masyarakat Pelauw. Permintaan tidur di rumahnya sendiri, tetapi jam 06.00 sampai
pemerintah Belanda mengalami kegagalan itu 06.30 sudah bergabung di rumah soa kecil, untuk
dimeriahkan oleh masyarakat Pelauw dalam bentuk sama-sama menuju ke rumah soa besar. Mereka
Tarian Ma’atenu (Azis Tuasikal, wawancara, senin yang tidur di rumah sendiri adalah warga soa yang
16 juni 2014). sudah pernah mengikuti Ma’atenu, sedangkan bagi
peserta baru wajib tidur di rumah soa kecil.
Tahapan-Tahapan Pelaksanaan Ma’atenu Jam 07.00 peserta dari masing-masing rumah
Terdapat pentahapan ritual yang patut dilihat soa kecil telah menuju rumah soa besar, waktu
dalam perspektif bahwa antara satu tahap ke tahap peserta Ma’atenu keluar dari rumah soa kecil menuju
lain memiliki hubungan yang membentuk satu rumah soa besar atau rumah tua, peserta sudah
keutuhan. Tahap-tahap dalam ritual Ma’atenu mulai menari-nari dengan kalewang atau parang
adalah sebagai berikut: yang dibawahnya, sambil menunjukkan atraksi-
1. peserta berkumpul di rumah soa kecil atau anak atraksi singkat, mengiris badan atau menikam
soa. dan memotong diri sendiri dengan benda-benda
tajam yang dibawahnya. Aksi ini bagi orang yang
2. Peserta ke rumah soa besar atau soa induk,
belum biasa menyaksikannya cukup mengerikan,
3. Peserta beberapa soa digabung di salah satu
karena peralatan yang digunakan semuanya diasa
rumah soa membentuk satu kelompok atau
tajam, dan mereka memotong atau menikam diri
sektor sesuai arah mata angin (Timur, Barat dan
sendiri secara sungguh-sungguh tetapi tidak luka
Selatan) dan keramat yang dituju
dan tidak mengeluarkan darah. Bila ternyata ada
4. Peserta ke keramat atau jazirah makam leluhur
diantara mereka yang luka atau berdarah maka
5. Peserta ke tempat mandi atau pembersihan dan dianggap bahwa orang itu tidak bersih. Tidak bersih
tempat istirahat menunggu waktu kembali ke mengandung pengertian bahwa yang bersangkutan
kampung, masih memiliki kesalahan tertentu, dan belum
6. Peserta ke arena atraksi di halaman masjid dan menyelesaikannya saat hendak mengikuti ma’atena.
baileu, dan Luka atau berdarah saat mengikuti Ma’atenu juga
7. Peserta masuk ke baileu. bisa disebabkan karena yang bersangkutan tidak
Umumnya halaman masjid dan baileu mendapat restu dari orang tua atau istri bagi yang
disebut sebagai tempat acara Ma’atenu, tetapi sudah menikah.
kiranya menjadi jelas setelah melihat tempat dan Di rumah tua atau rumah soa besar,
pentahapan ritual tersebut diatas. Halaman masjid para peserta diterima oleh beberapa orang tua,
dan baileu merupakan arena terakhir bagi peserta dipersilahkan masuk satu persatu dan duduk
Ma’atenu melakukan atraksi memotong, mengiris membentuk lingkaran memenuhi ruangan yang
dan menikam anggota tubuhnya. Ritual Ma’atenu tersedia untuk menghadap kepada soa. Menurut
diakhiri dengan masing-masing peserta masuk ke Bapak Taher Angkotasan, bahwa setiap peserta ritual

Tarian Ma’atenu di Desa Pelauw Kecamatan Pulau Haruku Kabupaten Maluku Tengah - La Sakka |299
yang masuk ke rumah soa sudah diliputi semangat kemudian bergabung pada satu tempat sebelum
dan kesiapan mental layaknya seorang prajurit sejati ke keramat. Marga latuconsina, Latupono dan
yang siap memasuki medan perang (Wawancara latuamury berkumpul di rumah Ela atau rumah
Taher Angkotasan, 63 tahun, 17 Juni 2014). nai Latuconsia sedangkan marga Sahubawa dan
Selain kepala soa, hadir juga beberapa Talaohu berkumpul di rumah nai Lasirohi, milik soa
orang tua-tua dari soa tersebut. Di tengah-tengah Sahubawa. Marga atau sao Latuconsia, Latupono dan
lingkarang peserta dan orang tua-tua, terdapat satu Latuamury kemudian bergabung dengan Sahubawa
mangkuk putih berisi air yang dialas dengan piring dan Talaohu di rumah nai Lasirohi. Kelompok
putih. Setelah semua peserta berkumpul, seorang atau sektor timur terdiri dari marga: Tualeka, Tuni,
tua memberi pengarahan singkat dalam bahasa Tuahena dan Tuasikal. Seluruh peserta kelompok
Pelauw, memimpin doa dan bacaan Salawat Nabi, ini berkumpul pada rumah adat marga Tualeka.
diikuti oleh seluruh peserta. Pembacaan Salawat Kelompok Timur dan Barat mengambil Ma’ahala
Nabi dimaksudkan untuk memberikan ketenangan Lahat dan Ma’ataru Ame dari marga Tualepe untuk
dan kekuatan tersendiri bagi para peserta. Setelah memimpin mereka.
membaca salawat Nabi, air dalam mangkuk dipercik Sekitar jam 12 siang, peserta Ma’atenu sudah
di kepala semua peserta dalam ruangan tersebut. tiba di keramat. Di keramat mereka membersihkan
Pembacaan Salawat Nabi (doa) dan lokasi keramat dan melakukan doa bersama. Doa
pemercikkan air oleh seorang tua di rumah soa diawali dengan membakar damar di keramat dan
besar kepada para peserta Ma’atenu dapat disebut dipimpin oleh Ma’ahala Lahat. Walau tidak ada
sebagai praktik simbolis dari ajaran adat dan sesaji seperti pada sejumlah ritual-ritual lainnya,
agama yang menggambarkan bahwa dialektika atau tetapi pembakaran damar dapat dimengerti sebagai
kontekstualisasi adat dan agama sudah lama terjadi bentuk pemujaan kepada kuasa paling besar atau
di pelauw. Dalam hal ini ajaran islam dan adat kuasa tertinggi dan penghormatan kepada leluhur
atau budaya lokal tidak sekedar saling mengambil yang telah menjaga dan melindungi mereka. Setelah
atau mengadopsi dan menolak atau melakukan doa selamatan, peserta menyantap makanan
pemurnian satu terhadap yang lain, tetapi ada proses yang telah disediakan oleh sejumlah ibu-ibu.
adaptasi secara imbang dengan melihat hakekat dari Sehabis makan bersama di keramat, para peserta
setiap ajaran dan nilai yang diperaktekkan untuk menuju kali dekat dengan keramat untuk mendi
menemukan otensitas beragama dalam budaya. dan selanjutnya beristirahat di sana sampai waktu
Dari rumah soa besar peserta Ma’atenu yang yang telah ditentukan untuk kembali ke kampung.
telah dibagi menjadi tiga sektor atau bagian tersebut Peserta Ma’atenu mandi di kali setelah mereka
berkumpul bersama dalam satu rumah soa, sebelum kembali dari keramat dan akan menuju ke kampung
menuju ke keramat. Berkumpul secara bersama ini dapat dipahami sebagai proses pembersihan diri
dimaksudkan untuk mengkonsulidasi kekuatan dan dan kesiapan mengemban tugas sebagai “prajurit
menunggu datangnya Ma’ahala Lahat dan Ma’ataru Hatuhaha”.
Ame dari marga Tualepe. Kecuali sektor Timur, Dalam perjalanan kembali ke kampung dan
yang di dalamnya anak-anak dan keturunan soa masuk arena atraksi di halaman masjid dan bailen,
Tualepe juga ikut, disana sudah ada Ma’ahala Lahat semua peserta mengalami kemasukan roh kapitan
dan Ma’ataru Ame. atau leluhur yang disebut ka’a, yakni kondisi trans
Setelah gabungan soa-soa berkumpul bersama dan peserta tampak memiliki kekebalan terhadap
sekitar jam 09.30, masing-masing kelompok benda-benda tajam. Beliau juga mengatakan
diberangkatkan ke keramat, berjalan setengah bahwa anggota keluarga yang mengantar anak atau
berlari sambil menunjukkan atraksinya. Kelompok saudara atau suami mereka mengikuti Ma’atenu,
yang diberangkatkan pertama adalah kelompok menemukan bahwa terdapat kebanggaan tersendiri
Latu Rima disusul oleh kelompok Waelurui atau bagi mereka mengikuti Ma’atenu, bila melihat
Urato Robo Rhima dan kelompok Tuni Mahua mereka ka’a, yang berarti bahwa mereka berhasil
Waelapia. Jumlah anggota masing-masing kelompok mendapat perhatian dari para leluhur atau kapitan
bervariasi, berkisar 250-300 orang perkelompok. mereka. Relasi dengan leluhur begitu penting karena
Kelompok atau sektor Barat terdiri dari marga: leluhur dianggap dapat memedaiasi mereka dengan
Latuconsina, Latupono, Latuamury, Sahubawa dan kuasa yang paling besar atau dapat disebut Sang
Talaohu. Kelompok tidak berkumpul sekaligus pada pencipta. Apabila para pengantar melihat saudara
satu tempat, tetapi pada dua tempat yang berbeda mereka yang menjadi peserta Ma’atenu belum ka’a,
segera dipancing dengan cara bersuara keras atau

300 | Jurnal “Al-Qalam” Volume 21 Nomor 2 Desember 2015


menar-nari mencari perhatian mereka. Beberapa mempertunjukkan kekebalan masing-masing
informan yang terlibat dalam ritual dengan Ma’atenu terhadap benda-benda tajam. Atraksi memotong,
menuturkan bahwa bila mereka berjumpa anggota mengiris, menikam badan. dan anggota tubuh
keluarganya, secara serentak mereka mengalami dengan parang, pisau dan benda-benda tajam
kemasukan roh atau ka’a. Apabila kalau mereka lainnya berlangsung di halaman masjid dan baileu
melihat ibu atau saudara-saudara perempuan atau sekitar 1 jam s.d 1,5 jam.
istri berada di sekitar mereka. Mengahiri acara Ma’atenu, semua peserta
teratur satu demi satu masuk ke baileu. Tedapat
• Kelompok tifa dan rebana 30 ibu-ibu setengah baya dengan busana kain
Pelaksanaan Ma’atenu diramaikan oleh satu dan kebaya berdiridi pintu masuk baileu bagian
grup musik tersendiri terdiri dari beberapa orang Timur menyambut setiap peserta Ma’atenu dan
lak-laki dan perempuan, mereka memainkan tifa mengalunkan kain ke leher mereka. Pengalungan
dan rebana sambil menyanyikan syair-syair atau kain tersebut kepada peserta Ma’atenu, sekaligus
lani (bahasa Pelauw) untuk memberikan semangat menandai berakhirnya ritual ini adalah suatu
kepada para peserta ritual. Ada dua lani (syair) yang akta simbolik, bermakna pemulihan dan syukur.
dinyanyikan berulang-ulang; Peran seorang ibu atau seorang istri sudah tampak
Lani 01. sejak persiapan peserta. Sebagaimana disebut
Tita heu-heu e Tita heu-heu e sebelumnya bahwa laki-laki yang mengikuti
Tura Lani rua Ma’atenu perlu mendapat restu dari ibu atau istri
Mantura lanai irua mereka. Sama seperti pada awal hendak mengikuti
Ma’atenu membutuhkan restu ibu atau istri maka
Lani 02. dalam mengakhiri ritual ini sejumlah ibu-ibu yang
Upu tua poe yasela hadir di baileu merupakan representasi semua oang
Isi ana hutu telu perempuan di Pelauw yang menerima kedatangan
Bonbonua ma’atita urat prajurit Hatuhaha yang tidak lain adalah anak-
Lani-lani ini sesungguhnya merupakan anak dan suami mereka dengan ungkapan syukur,
pujian kepada pasukan perang Hatuhaha, yang karena telah menunaikan tugasnya dengan baik dan
disimbolkan dengan memberi semangat kepada dilindungi oleh Allah Taalah.
Upu Rihia (Kepala Kapitan Hatuhaha) dan Upu Mengingat peserta Ma’atenu selama kurang
Matawoku (Wakil Kapitan Hatuhaha). lebih 10 jam sejak pukul 06.00 s.d 15.30 waktu
Lani-lani ini waktu dinyanyikan ibu-ibu dan setempat telah mengalami satu proses pengujian
para pengantar juga turut bernyanyi dengan suara diri melalui pelaksanaan Ma’atenu dan mereka
keras atau agak berteriak. Pada waktu lani-lani diliputi oleh kekuatan roh leluhur yang berarti
tersebut dinyanyikan keras, para peserta Ma’atenu bahwa mereka tidak menyadari secara penuh apa
pun tampak semakin bersemangat, histeris dan yang terjadi pada diri mereka sama seperti kondisi
setiap peserta mendapat kemasukan roh leluhur normal, maka kondisi mereka perlu dipulihkan.
mereka atau ka’a. Lani-lani di atas memiliki makna Pengalungan kain oleh ibu-ibu adalah untuk
mengingatkan para peserta Ma’atenu kepada memulihkan kondisi para peserta dari kemasukan
kegagahan leluhur mereka mempertahankan oleh leluhur menjadi normal kembali. Hal ini
identitas agama dan menyiarkan agama Islam, serta mengandung pengertian bahwa perempuan menjadi
bertempur melawan musuh-musuh mereka. Dalam sumber harmoni. Fenomena ini menunjukkan
perspektif ini terlihat bahwa kelompok musik (tifa bahwa perempuan menjadi sumber energi yang
dan rebana) berperan memberi dukungan mental ampuh bagi laki-laki Hatuhaha, yang berarti juga
dan semangat perjuangan kepada para peserta bahwa pengabaian terhadap perempuan berdampak
Ma’atenu. pada konflik atau kehancuran (Rumahuru, Yance
Zadrak, 2012: 116-117).
• Peran Perempuan
Ritual Ma’atenu sudah harus berakhir sebelum Makna Ritual Ma’atenu
jam 16.00 wit, jadi seluruh peserta sudah masuk Ritual Ma’atenu di Pelauw memiliki makna
di halaman masjid dan baileu sebelum waktu ini. yang penting bagi kehidupan komunitas setempat.
Untuk itu sekalipun menempuh perjalanan panjang Mengingat ritual ini dikonstruksi dalam kelompok-
(sekitar 10 s.d 15 Km PP) dan melelahkan tetapi kelompok masyarakat yang telah memeluk agama
sesuai waktu yang ditentukan, semua pasukan Islam, maka makna ritual Ma’atenu dapat dipahami
sudah berada di halaman masjid dan baileu untuk dengan melihat hubungan antara agama (Islam) dan

Tarian Ma’atenu di Desa Pelauw Kecamatan Pulau Haruku Kabupaten Maluku Tengah - La Sakka |301
adat yang membentuk manusia Hatuhaha, secara lokal yang berkembang di masyarakat khususnya
khusus di negeri Pelauw. tarian. Salah satu tarian tersebut adalah Tarian
Memperhatikan konteks kemunculan ritual Ma’atenu di Desa Pelauw Kecamatan Pulau Haruku
Ma’atenu dan pelaksanaannya saat ini dengan Kabupaten Maluku Tengah. Terimakasi kepada
simbol-simbol yang dimiliki, maka beberapa makna seluruh informan peneliti yang telah memberikan
ritual dapat disebut sebagai berikut: informasi dan data terkait tarian ini. Kepada Tim
1. Makna Religius, yakni ketaatan dan Jurnal Al Qalam terimakasi penulis haturkan atas
penyembahan kepada kuasa terting(Allah terbitnya tulisan ini.
Taala), yang berarti pula menjaga eksistensi
agama yang telah dianut; DAFTAR PUSTAKA
2. Makna Adatis, yakni penghormatan kepada Abu Muslim, 2013. Artikulasi Religi sajak-sajak
leluhur, sekaligus menjaga relasi baik dengan Basudara di Maluku. Jurnal Al Qalam.
leluhur atau satu sama lain yang disebut dengan Volume 19 Nomor 2 November 2013.
maningkamu. Implementasi dari penghormatan Atho Mudzhar, 2009. Pengembangan Jaringan Riset
kepada leluhur adalah melaksanakan tuntutan dalam rangka penguatan peran Agama dalam
adat secara baik; Pembangunan Nasional. Departemen Agama
3. Makna sosial, yakni membangun solidaritas Badan Litbang dan Diklat.
kelompok atau yang dikenal dengan istilah lokal BPS. Kabupaten Maluku Tengah dalam Angka 2013
setempat ikatan maningkamu, yakni ikatan Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Provinsi
hubungan persaudaraan. Solidaritas kelompok Sulawesi Selatan, 2012. Mozaik Kepurbakalaan
tampak melalui saling tolong menolong, saling Sulawesi Selatan. Makassar: Culture and
menghormati dan kerja sama. Makna ritual dan Tourism Office of South Sulawesi.
nilai-nilai yang disebut ini merupakan kekuatan Massoweang, Abd. Kadir dkk, 2009, Inventarisasi,
yang menjadi modal sosial bagi semua orang Pemetaan, dan Digitalisasi Naskah Klasik.
Hatuhaha Saat ini untuk membangun hidup Laporan Penelitian Balai Litbang Agama
dan mengalami perubahan. Makassar: Makassar
Mustafa, Muhammad Sadli, 2013, Lectures In
PENUTUP Harmony: Potret Khazanah Islam Nusantara.
Awal timbulnya Tarian Ma’atenu adalah Bunga Rampai Penelitian Lektur, Makassar:
karena adanya paksaan dari pihak Belanda untuk Lephas.
mengkristenkan masyarakat Pelauw, serta berfungsi Ralahalu, Karel Albert, 2012, Berlayar Dalam
sebagai persiapan strategi perjuangan masyarakat Ombak, Berkarya Bagi Negeri, Pemikiran
untuk melawan Belanda. Pelaksanaan Upacara Anak Negeri Untuk Maluku, Ralahalu Institut,
tarian Ma’atenu dilaksanakan satu kali dalam tiga Ambon-Maluku.
tahun, dan makna yang terkandung dalam upacara Rohidi, T.R., 2000. Kesenian dalam Pendekatan
ini adalah makna Agama, makna adat dan makna Kebudayaan, Bandung:STSI Bandung.
sosial. Rumahuru, Y. Zadrak. 2012, Islam Syariah dan
Dengan melihat berbagai permasalahan Islam Adat: Konstruksi Identitas Keagamaan
yang terjadi di dalam penelitian lapangan, maka dan Perubahan Sosial di Kalangan Komunitas
diharapkan: Kepada masyarakat dihimbau Muslim Hatuhaha di Negeri Pelauw: Cetakan
agar Tarian Ma’atenu perlu dilestarikan dan Pertama-Desember, Kementerian Agama RI
dipertahankan keutuhannya. Kepada generasi tua Sedyawati, E.1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan.
dihimbau agar segala sesuatu yang bertalian dengan Jakarta: Sinar Harapan.
Tarian Ma’atenu perlu diwarisi kepada generasi Soedarsono, R.M. 1992. Pengantar Apresisi Seni.
berikutnya. Kepada pihak Pemerintah, tokoh adat, Jakarta: Balai Pustaka
dan tokoh Agama dapat menghimbau masyarakat Sulistyowati, B. 1989. Fungsi Bedhaya Anglir
untuk melakukan tradisi kesenian yang bernuansa Mendung Sebagai Legitimasi Kekuasaan
Islam untuk dilestarikan dan dilaksanakan kepada
di Mangkunegaran. Skripsi untuk Gelar
generasi berikutnya.
Sarjana Antropologi. Jakarta: Universitas
UCAPAN TERIMA KASIH Indonesia.
Terima kasih penulis haturkan kepada
pemerhati budaya yang telah eksis dalam
mengembangkan dan melestarikan budaya-budaya

302 | Jurnal “Al-Qalam” Volume 21 Nomor 2 Desember 2015

Anda mungkin juga menyukai