Janne Hillary
Belum genap pukul enam pagi, Adam sudah siap di depan rumahku.
Kami akan jelajah Ghimbo Langhangan, hutan di Desa Rumbio yang
masih belum terjajah, seperti yang sudah direncanakan seminggu
sebelumnya. Namun teman sekantor, yang pecinta alam itu tidak
membawa kendaraan apa pun. Dan tepat seperti asumsiku, kami
akan pulang pergi dengan angkot. Sebagian jalan yang tidak dapat
dilalui angkot, akan dilalui dengan jalan kaki.
Setelah dua jam perjalanan dengan angkot dan sejam berjalan kaki,
akhirnya kami sampai di pintu masuk Ghimbo Langhangan Rumbio.
Aku melihat sekelilingku, kemudian mengucap doa dalam hati.
Kuutarakan kata permisi, walau sebelumnya kami sudah memohon
izin resmi kepada Ninik mamak1.
Aku jatuh terpuruk, tapi aku tak mau kalah. Perlahan-lahan aku
bangkit, berlari pelan menemui keluargaku. Mungkin papa, mama,
kakak bisa melakukan sesuatu untuk menyelamatkan rumahku.
Namun, apa dayaku... sesampainya aku di pohon tempat kami
biasanya bercengkerama, aku melihat keluargaku sedang
melakukan perlawanan terhadap kejahatan manusia. Terlihat begitu
sengit. Hanya saja kami, makhluk yang tak sempurna ini kalah
dengan mereka. Kedua orang tua dan kakakku mati. Tepat di depan
mataku!!
Aku meraung... air mataku tumpah tiada henti. Tega sekali mereka.
Makhluk yang selama ini kami anggap dewa penolong, ternyata tak
ada bedanya dengan iblis. Napasku tersengal-sengal. Aku lalu tak
sadarkan diri.
Saat aku bangun, aku melihat kondisi rumahku sungguh
mengenaskan. Tidak hanya hancur, tapi juga hangus terbakar. Asap
di mana-mana. Jasad mama, papa, dan kakak juga terlihat
menghitam. Aku kembali menangis sejadi-jadinya. Tenagaku lantas
semakin menipis.
“Eh sorry Dam... Aku tadi kayak dapat penglihatan gitu. Ini aneh sih.
Nanti aku ceritakan kalau udah di rumah Bu Parmi. Sepertinya
beliau tahu banyak soal kejadian yang aku lihat.”
***
***
“Saat ini sudah terdapat enam warga Riau yang terinfeksi virus
monkeypox atau yang biasa disebut dengan cacar monyet. Setelah
ditelusuri, virus ini pertama kali diderita oleh seorang pekerja PT
Indah Sejahtera Plantation, yang pernah melakukan kunjungan
lapangan ke hutan di Desa Rumbio beberapa minggu yang lalu.
Diduga, saat kunjungan lapangan, pekerja tersebut mengalami
kontak langsung dengan monyet yang terinfeksi cacar. Selanjutnya
virus itu menular ke rekan-rekan kerjanya yang ikut ke hutan
bersama dengan penderita. “
Keterangan:
Sholatullah salamullah...
“Woh..iya, Le. Lha arep karo sapa meneh mbahe ki. Nek saiki merga
ana awakmu dadi mbahe ra dewe,” jawabnya sambil memasukkan
air timba ke padasan. Entah sudah berapa ember kali ini.
“Kula gentosi nggih, Mbah,” kataku sambil meminta timba yang
beliau genggam erat.
“Uwis, orasah. Gek kono sholat qobliyah disik, mau tahajud ora Le?”
Sholatullah salamullah...
Lebaran tahun lalu aku tak berlebaran di kampung karena ada
proyek yang harus kukerjakan di luar pulau. Sebagai pekerja aku
harus mengikuti aturan yang dibuat oleh atasan. Sedangkan lebaran
tahun ini, sebagai warga negara yang baik aku juga harus mengikuti
anjuran pemerintah yang melarang mudik.
Ya, mudik tahun ini ditiadakan karena adanya wabah yang melanda
seluruh dunia. Dunia diselimuti ketakutan, kepanikan dan
ketegangan dalam menghadapi musuh yang tak terlihat. Bagaimana
dengan aku sendiri yang hidup di ibu kota? Aku masih beraktivitas
seperti biasa, tapi dengan mengikuti anjuran dari para pemimpin.
Beraktivitas di rumah. Beribadah di rumah. Menerapkan perilaku
hidup bersih dan sehat. Takut? Tentu saja, siapa yang tidak takut
mati? Sedangkan bekal pun juga belum siap.
Masih teringat pitutur bijak lelaki renta yang entah sejak kapan
dekat denganku itu.
“Le, cah lanang kui nek iso golek pengalaman sing okeh. Ngumbara
golek ngelmu, golek pengalaman, golek konco lan sedulur sak okeh-
okehe. Nanging ojo kok lalekno leluhurmu sing ono ndeso iki. Ojo
kacang ninggalno lanjaran. Ojo dadi bocah sing lali asal usulmu.
Mulo yo ngger, sak adoh-adohe lehmu ngumbara tetep eling karo
wong tuwa. Ning ndi wae panggonmu elingo marang sing agawe
urip. Marang Gusti Pengeran. Palilahe wong tuwa kui mujudake
palilahe Gusti Pengeran.”
Dadio wong sing lembah manah, ora adigang adigung adiguna.
Dan pada senja ini, sambil memandang got yang berair keruh aku
sampaikan banyak pengharapan tentang kehidupan. Seperti halnya
Lelaki tua yang mencintai langgar seperti mencintai Rabbnya.
21 Ramadhan 1441 H.
GADIS FLUTE
Pranasanthi
Aku melihat gadis itu lagi. Gadis dengan flute yang selalu bermain di
tengah taman. Orang-orang berkumpul di sekitarnya untuk
menikmati alunan flute yang dimainkannya. Seukir senyuman manis
menempel pada wajahnya. Ia tampak sangat bahagia memainkan
flute miliknya sambil menggerakkan tubuhnya perlahan. Aku mulai
menyadari kerumunan orang di sekitarnya mulai menari mengikuti
alunan musik.
Namun sepertinya hari ini, hari yang sial untukku. Tangan yang
kuangkat dengan percaya diri justru menabrak music stand hingga
terjatuh. Suara nyaring dari besi yang berkelontangan cukup untuk
membuatku menjadi pusat perhatian. Penonton tampak terkejut
dan anak-anak lain menutup wajah untuk menyembunyikan tawa.
Sambil menahan rasa malu, kuangkat music stand dan
mengumpulkan lembar partitur yang berserakan. Kali ini aku
berusaha untuk tidak terlihat berlebihan, tetapi tubuhku sepertinya
sedang tidak ingin bekerja sama. Tangaku bergetar dengan hebat
sehingga aku tidak bisa memegang bow dengan benar. Saat mulai
memainkan nada pertama, jari-jari kiriku terpeleset di atas
fingerboard dan tangan kananku menekan bow dengan sangat kuat
sehingga menghasilkan kombinasi suara yang benar-benar
terdengar seperti anak kambing ketakutan.
“Di mana kita?” tanyaku pada gadis itu. Aku menunggu jawabannya
tetapi ia hanya mengabaikanku dan melangkah lebih jauh menuju
hamparan rumput. “Hei!” Aku berteriak dengan keras, cukup untuk
membuatnya berhenti dan menoleh kearahku.
Sofia Ulfa
***
“Jangan lupa, besok pagi semua makanan harus ready semua, pukul
8 acara ulang tahun Caesar akan dimulai,” kata Nyonya pemilik
rumah itu mengagetkan laki-laki tua yang mengangkat tubuhku.
“Iya nyonya, kami siapkan,” kata laki-laki tua itu sedikit takut. Dia
segera membawaku ke suatu ruangan yang banyak sekali bahan
makanan berserakan.
Semakin siang aku mulai resah, tiada yang menciduk nasiku, nasi
pecel yang sengaja dimasak Mak Siyah ternyata masih sepi peminat.
Mie ayam, bakso, capjay hampir semuanya ludes.
*****
Namaku Sri, aku dan saudara-saudaraku adalah kaum Oriza sativa.
Kata para manusia kami adalah titisan Dewi Sri. Hingga aku bangga
dipanggil Sri. Mungkin kau menyimpulkan bahwa aku lebay, namun
inilah aku dan kisahku. Bukan untuk membuatmu mengasihiku.
Hanya ingin memberi tahu bahwa ada jeritan semesta yang sering
tak kau dengar dan sadari. Bukalah mata hatimu… kau akan
menemukan suara bumi, air, dan udara memanggil jiwa.
BAHKAN TANPA PERASAAN, KITA BISA BERSAMA
Prillyafifah
“Hmm. Boleh.”
Ah. Sial!
Setauku Mas Yogurt bukan tipe orang yang mudah bercerita dengan
orang lain. Mas Yogurt juga bukan tipe orang yang mudah
mengutarakan apa yang dia rasakan. Tapi aku bersyukur, meski kita
baru akrab, ternyata hadirku bisa membuatnya nyaman, tenang,
dan dia percaya untuk berbagi cerita denganku.
“Iya Mas.”
Astaga. Aku kaget. Serius, hampir tak percaya dia akan mengatakan
itu.
Jumat Malam.
“Iya. Mama selalu ngingetin aku buat salat, bawel kalau aku belum
salat. Sama kayak kamu.”
“Cuma Mama dan kamu, wanita yang selalu ngingetin aku buat
salat,” sambungnya.
“Nggak ada. Makanya setiap dekat dengan kamu aku selalu merasa
nyaman, tenang,” katanya memandangku dengan senyuman.
“Bantuin aku biar bisa bikin kamu lebih baik. Bantuin aku biar kamu
selalu bahagia. Bantuin aku biar aku bisa membuatmu selalu tenang
dan nyaman.”
Ada perasaan yang tidak aku mengerti saat ini. Aku tidak bisa
mengatakan bahwa saat ini aku sudah mencintainya, tapi kupikir
aku sedang menuju ke sana.
Selagi itu, aku berpikir seperti aku sudah pacaran dengan Mas
Yogurt.
Apakah dia juga merasakan hal yang sama? Aku nggak tahu. Kalau
memang sudah pacaran, sejak kapan mulainya? Kalau belum, ya, itu
tadi, kenapa aku merasa sudah?
Ah. Entahlah.
Mas Yogurt mungkin bukan lelaki baik, tapi dia tidak jahat. Dia
memang tidak bisa bersikap lembut, tapi dia tidak kasar. Dia selalu
membuatku tersenyum.
Hari-hari berikutnya ada yang lain dari Mas Yogurt. Aku merasa Mas
Yogurt berubah. Dia terasa menjauh. Tak lagi ada hal yang dia
lakukan untukku, sebagaimana yang selalu kudapatkan sebelumnya.
Dia tak pernah ingin menemuiku. Dia jarang balas chatku, dan dia
selalu menghindar saat aku ingin menemuinya.
Aku kaget saat membuka pintu, ternyata Mas Yogurt. Aku langsung
memeluknya. Itu terjadi begitu saja, seperti ada kekuatan yang tidak
bisa ku tahan untuk menyuruhku memeluknya.
“Prillo, kamu sebenarnya orang yang tepat untuk aku, hanya saat
kamu datang waktunya kurang tepat. Karena kondisiku masih kayak
gini. Aku terus melakukan hal-hal yang menyebalkan, dan kemudian
aku merasa buruk tentang diriku, dan entah bagaimana masih
berpikir bahwa itu akan membuatnya baik-baik saja, tetapi ternyata
tidak. Aku gagal untuk orang-orang di sekitaku, aku gagal untuk
diriku sendiri. Jujur, aku menyerah. Aku bahkan tidak ingin merasa
bahagia lagi. Terima kasih kamu sudah berusaha sebisa, sekuat
kamu untuk bantuin aku. Di saat semua orang menjauh, kamu tetap
bertahan, nggak pernah bosan ngasih semangat dan motivasi ke aku
yang udah gamau berharap apa-apa lagi. Tapi aku gamau nyakitin
kamu. Aku merasa belum siap buat kamu. Maaf aku pernah
memintamu untuk membantuku memperbaiki diri. Maaf aku
menyeretmu dalam hidupku yang rusak. Aku terlalu bermasalah
untuk kamu. Kamu pantas mendapatkan seseorang yang lebih baik
dariku.”
“Baiklah. Jika itu maumu. Aku pun tak bisa memaksamu untuk tetap
tinggal denganku. Tapi, kita masih bisa menjadi teman baik kan?”
ucapku menggenggam tangannya.
Sebagai sahabat
Surabaya, 12052020
MENGUKIR SENYUM DI WAJAH SAUDARAKU
Fera Astuti
"Edisi bantu teman. Ada 1200 ayam pejantan yang siap dipanen,
karena corona ini sehingga cukup susah penjualannya. Monggo,
25.000 per ekor saja. Minat wapri.”
"Kok murah sih, jeng? Mau dong, aku ambil 60 ekor ya buat kujual
lagi."
Kukabarkan kepada temanku, pesanan hari itu 290 ekor. Dia senang
bukan main. Aku ikut senang, walau aku tak mengambil untung
sepeser pun, karena niatku memang hanya membantu, bukan
berdagang.
"Waduh, Pak, sudah jam lima sore ini. Kok cepet banget ya, padahal
ibuk belum masak ki, gimana ini Pak?"
"Ya sudah, ibuk mandi dulu aja. Biar Bapak yang bersihin lantainya,
mesti dipel ini soalnya bau amis banget, Buk. Soal buka nanti
gampanglah Buk, kita masak mie instan saja ndak papa, waktunya
mepet buk, yang penting ada teh panas ya, Buk."
"Hush, jangan bilang gitu, Buk. Niat ibuk udah bener, mau nolongin
temen ibuk. Udah, gitu aja, jangan mikir aneh-aneh, soal untung,
cukup Allah yang akan cukupkan kebutuhan kita. Udah sana mandi,
udah bau amis tuh ibuk kayak ayam. Hehe."
Aku merasa puas hari itu. Walau aku tak mendapat keuntungan
berupa rupiah, tapi aku merasa menang. Walau aku tak sepenuhnya
menyelesaikan masalah temanku, tapi sedikit langkah kecil ini
mampu mengukir senyum di bibirnya.
Aku baru selesai mandi, dan suamiku baru selesai mengepel, tiba-
tiba ada seorang kurir datang, memberikan sebuah kantong plastik.
Kupastikan apakah benar bapak itu tidak salah alamat, karena aku
tak memesan apa pun sore itu. Kulihat nama di atas boks itu, benar,
tertulis nama dan alamatku. Tak salah. Kubuka boks itu, dan kami
dibuat terkejut. Sebuah kardus berisi empal daging sapi, dan satu
kardus lagi berisi roti keju kesukaan anakku. "MasyaAllah, kejutan
apa ini?"
"Buk, tahu ndak? Kemarin di masjid Bapak habis bercanda sama Pak
Anton."
"Ya kemarin kan Pak Anton curhat, masak lauknya tahu tempe
terus, padahal sedang puasa masak tidak ada menu istimewa. Ya
sama kan buk dengan keluarga kita. Ya bapak trus bilang, 'Awas
nanti nanti kalau dikasih empal sapi, tahu rasa kamu!' hehe Bapak
bilang gitu buk sama Pak Anton."
"Ya Ampun ada-ada saja Bapak ini. Kalau ibuk sih tadi siang
membanyangkan semangkok bakso Pak. Kayaknya enak nih,
dimakan panas-panas terus dikasih sambel. Heemmmm, mantap
pastinya."
"Hihii, ibuk ki. Bersyukur to, ini sudah dapat kiriman dari Pak Budi
empal sapi. Jangan ngarep yang lain."
"Iya Pak. Ibuk kan juga cuma cerita saja. Alhamdulillah banget ya
Pak. Pas ibuk belum masak, pas dapat kiriman lauk dari Pak Budi.
Baik banget ya Pak Budi itu. Sudah kaya, dermawan lagi."
"Buk, nih, tanggung jawab kamu, gara-gara kamu mbatin bakso to,
sekarang ada yang mengirimkan bakso. Nih, gak tanggung-
tanggung, 1 bungkus, ini bisa untuk beberapa hari hlo, dan ibuk
tahu? Pengirimnya misterius, katanya ini buat kita dan tidak ada
nama terang pengirimnya," kata suamiku sambil tersenyum
berkaca-kaca.
Hari itu penuh kejutan. Bermula dari niat kecil kami membuat
kawan kami tersenyum, tapi Allah balas dengan senyum
kebahagiaan berjuta kali lipat. Benar janji Allah, bahwa siapa yang
membantu saudaranya, maka Allah akan membantu dan
mencukupkan kebutuhannya, dan ini, tak butuh waktu lama, hanya
dalam hitungan jam saja Allah menjawab kebutuhan kami. Allahu
Akbar.
SCIZOFRENIA DAN HUJAN
Aulia Mumtaza
Januari 2013,
Hujan deras mengguyur Kota Solo siang ini, langit pun dihiasi
dengan kilatan petir yang menyambar. Suasana Jalan Slamet Riyadi,
salah satu jalan protokol di Kota Solo, masih tetap ramai dengan lalu
lalang berbagai macam kendaraan yang nekat menerobos derasnya
hujan. Mau gimana lagi? Hujan tetaplah hujan, urusan kerjaan
tetaplah mesti diselesaikan, mungkin itulah yang ada dalam pikiran
orang-orang itu, terlebih jasa delivery order makanan cepat saji,
laris sekali mereka di kala hujan seperti ini, beberapa bahkan berani
mengusung semboyan tiga puluh menit sampai atau kami gratiskan,
wuihh.
"Ada yang mau dipesan lagi, Pak?" pelayan itu berkata dengan
senyum manis.
Adi buka email-mu segera ada job kamu yang mesti direvisi, dah
kukirim barusan catetan perbaikannya, deadline malam ini, besok
pagi mau dibawa ke klien kita. Nggak pake terlambat ya!!!
"Nggak tahu apa di sini juga banyak kerjaan... yang ngirim ke Solo
siapa… yang nambahin kerjaan siapa," aku ngedumel sendiri.
Wajah itu… mantel hitam yang dikenakannya... tidak salah lagi itu
Perempuan yang kulihat di bandara tadi. Aku mengamati
Perempuan itu, ia berjalan menuju meja pelayan dan tampak
memesan makanan. Kulihat ia masih terdiam di depan sana. Pelayan
yang mempersilahkan duduk duluan tidak digubrisnya, mungkin dia
menunggu pesenannnya langsung. Tak lama kemudian setelah
pesenannya jadi Ia pun berjalan menuju salah satu meja.
Perempuan itu berjalan mendekat ke arahku, akhirnya ia mengambil
tempat duduk tak jauh dari tempatku. Hanya terpaut satu meja. Aku
benar-benar tak percaya dengan apa yang kulihat, dia beneran
perempuan yang tadi, aku tak mungkin salah. Aku mengamati serius
tajam ke arahnya. Dia berbalik menatapku dan tersenyum padaku,
Aku beralih lagi pada hidangan di depanku. Grogi, Nervous apa pun
istilahnya, sekarang inilah yang kurasakan. Aku hanya mencuri-curi
pandang.
“Ayo Di, sampai kapan kau mau diam gini terus... sapa terus ajak
ngobrol... jangan bengong aja kayak di bandara tadi." Aku
memotivasi diri sendiri.
"Oh iya mas makasih... tadi buru-buru sih ngangkat telepon sampai
nendang meja ini segala."
"Silakan..."
"Kelihatannya..."
"Tapi takdir..!"
"Panggil aja Viska.. . biar lebih akrab, sepertinya kita seusia. Iya aku
asli sini, rumahku di daerah Laweyan... sejak SD sampai SMA aku di
Solo, lanjut kuliah di Nanyang dan sekarang kerja di Jakarta..."
Ia hanya mengangguk.
"Enggak… aku dari kecil di Jakarta, ayahku dari Padang, ibu dari
Jogja, tapi aku punya paman di Solo, cuma sudah lama aku nggak ke
sini... sudah banyak yang berubah..."
"Betul banget... aku juga ngerasa begitu... terlebih setelah punya
wali kota seperti Pak Jokowi Kota Solo banyak sekali
perubahannya... sayang dia sekarang sudah pindah, milih ngurusin
Jakarta, yang aku tahu sendiri masalahnya sudah kompleks… belum
yakin akan beres meski dipimpin sama Jokowi sekalipun... ah..!
Sudahlah... nggak usah dipikirin urusan politik macam itu..," ia
berkata panjang lebar
"Kubilang juga apa... ini bukan kebetulan tapi takdir... sebentar aku
ambil kartu namaku dulu..."
Saat akan kuserahkan pada Viska, aku kaget ketika seorang pelayan
menegurku,
"Enak aja saya dibilang ngobrol sendiri..., nih makanan masih ada di
atas meja, Viska yang saya ajak bicara juga masih ada kalau mbak
mau ngobrol, kalau masih nggak percaya, coba tanya sama bapak
itu... Masak saya dibilang ngobrol sendirian sih.. emangnya saya
gila!"
****************************************
Yoe Irawan
“Tak ada air mata dan sangat indah,” ujar Vito pada Zen
sahabatnya.
Vito tak berasal dari masa lalu. Kalau kata Zen, Vito anak
kemarin sore. Tetapi orang-orang menyebutnya generasi Z. Lebih
muda ketimbang generasi milenial. Zen dan teman-teman lainnya
merasa kalau Vito tak seperti anak akhir zaman. Vito seorang yang
sangat menyukai segala sesuatu yang berbau kuno. Sesuatu yang
tak banyak dijumpai lagi di masa kini kecuali sesuatu itu berada di
musium atau cagar budaya. Atau pada benda-benda antik yang
masih diburu dan disimpan oleh para kolektor.
Foto dan video lama, bagi Vito, adalah sarana terbaik untuk
mengetahui puluhan tahun segala benda dan peristiwa yang pernah
singgah menjadi perjalanan bangsanya. Tak sulit mendapatkan foto
atau video dari masa lampau. Semua bertebaran di internet. Di
akun-akun media sosial. Maka Vito menjadi tampak aneh. Seleranya
aneh. Cara berpakaiannya aneh. Kemeja dan celana yang
dikenakannya aneh. Vito menjadi tampak lebih tua ketimbang
usianya.
Tetapi Vito kadung jatuh cinta pada masa lalu yang tak
kejam di matanya. Jakarta adalah sebuah kota yang baru merdeka
dan nampak ramah bagi penduduknya. Ketika Ciliwung masih jernih
dan ibu-ibu masih mencuci pakaian dan mandi di tepiannya. Ketika
anak-anak belum dikuasai jajanan dalam kemasan plastik dan
permainan mereka bukanlah telepon genggam.
******
“Tangkap!”
Firdhaussi
Sudah tengah malam, tapi jalanan masih juga belum sepi. Angkutan
masih berlalu lalang, supir-supir juga masih berebut penumpang.
Ekonomi memang tidak pernah mengizinkan manusia untuk tidur.
Kamu bilang kamu lapar, jadi malam ini kita putuskan untuk makan
saja di Restoran Mc Dougall (nama samaran).
Melihatmu makan dengan lahap seperti ini saja, aku sudah kenyang.
Tapi jawaban itu kusimpan saja dalam hati.
“Tadi kan sudah makan. Ini aja udah enak banget,” kujawab
pertanyaanmu dengan mulut penuh es krim.
Aku beli kentang goreng ukuran kecil dan kutaruh di meja. Lalu, kita
makan dengan lahapnya. Sampai akhirnya kita diam dan menyadari
sesuatu. Kentang goreng di meja sudah hampir habis. Kita cepat
sekali makan kentang goreng.
“Tuh kan, kalau makannya begini kentangnya jadi kerasa banyak. Ini
namanya, menikmati makanan.” Kamu masih saja semangat
berteori.
“Iya ya, aku kunyahnya juga 32 kali satu gigitan kentang. Sekalian
latihan jadi orang kurus hehehe.”
Sambil makan kentang dengan teknik yang kamu ajarkan tadi, kamu
tiba-tiba bertanya lagi “Eh, sadar ngga kalau kita minum pakai
sedotan itu lebih cepet kenyang dibanding ngga pakai. Tahu nggak
kenapa?”
“Kalau kita minum pakai sedotan itu lebih cepat kenyang karena kita
minumnya dikit-dikit. Lebih menikmati minumannya. Kalau
minumnya langsung, mau seberapa banyak juga susah kenyangnya.
Sama kaya kentang tadi,” teorimu keluar lagi.
AKHIR-AWAL
Dwi Oktaviyanti
09.30 p.m.
“Sibuk?” kirim. Singkat, padat, dan tidak jelas. Cukup berani, pikirku.
1 menit, 2 menit, 3 menit. Tidak ada balasan. Suara jangkrik beradu
malam ini, suara tokek dan katak juga tak mau kalah. Malam ini,
malam yang benar-benar kupikirkan secara matang. Kupikirkan dari
awal hingga akhir. Kupikirkan tentang kata, frasa, hingga kalimat
yang akan terlontarkan. Aku mendesah. Kali ini aku akan menyerah
dan memilih hari lain. Tapi kapan lagi?
“Hallo...”
“Kenapa kamu masih di sisiku Ra, bahkan ketika aku sudah menarik
diri? Kenapa kau masih di sini Ra, menemaniku bahkan ketika aku
sudah melarikan diri? Kenapa kamu masih bertahan Ra ketika
semua orang menganggap aku adalah orang jahat?” Kakiku
berhenti. Aku terdiam. Termagu bergitu lama. Suara gemercik air
kolam terdengar jelas di keheningan aku dan dia. “Karena aku tidak
pernah menganggapmu sebagai orang lain,” ucapku sambil melihat
wajahnya. “Aku sudah melakukan banyak kesalahan Ra, aku bukan
orang baik.” Kali ini ia berhenti menulis dan menatapku. “Percayalah
aku bukan orang baik. Kenapa kamu masih menemaniku?”
“Karena kamu sahabat aku,” jawabku singkat. “Itu terlalu klise, Ra.”
sanggahya. “Tidak, bagiku itu nyata. Karena kamu sahabatku, dan
aku selalu berharap aku ada di saat susahmu, walaupun akhirnya
kau malah menarik diri saat itu. Maaf ya, aku tidak selalu ada dan
tidak mengerti keadaanmu,” ucapku. Aku menunduk sesaat,
mencoba bernapas dengan normal. “Aku yang menarik diri Ra, aku
yang salah. Mereka hanya ingin aku tahu itu. Aku salah. Mau seperti
apa pun aku meperlakukan orang lain aku tetap salah. Aku bukan
orang baik. Kamu pantas mendapatkan sahabat lebih baik dari aku”
Ucapnya. “Tidak ada orang yang menganggap dirinya bukan orang
baik tapi mau mengakui kesalahannya dan tidak ada orang yang
menganggap dirinya bukan orang baik tapi mengusahakan menjadi
baik dan memperbaiki keadaan.” Mataku menerawang jauh di
perbukitan yang bercahaya malam itu. “Aku selalu percaya pada
intuisiku, dan bagiku orang baik tidak akan pernah mengatakan
bahwa dirinya baik. Manusia punya hak berlaku salah dan sahabatku
juga manusia yang bisa berlaku salah. Dan manusia punya hak untuk
memperbaiki diri dan bertanggung jawab untuk menyelesaikan
setiap masalahnya. Dan begitu juga sahabatku. Tidak ada alasan lain
yang mengharuskan aku meninggalkanmu.” Aku terdiam setelah
jawaban itu. “Kamu percaya aku orang baik, Ra?”
***
“Jika di dunia ini hanya ada aku dan satu orang laki-laki baik, kamu
ingin menikah dengan siapa?”
“Kalau bisa dua kenapa harus satu,” candaku. Dia memelankan laju
motornya. “Ra, perempuan itu hanya satu pilihannya, laki-laki yang
boleh empat.” Aku manyun mendengar jawabannya. “Yasudah tidak
usah memilih,” jawabku enteng. Kepalanya menoleh ke belakang
sejenak dan kuteol pelan. “Lihat depan!” aku tidak mau mati konyol
hari ini. “Jawab yang benar.” “Yasudah kamu,” jawabku.
“Alasannya? Aku bukan orang baik, Ra.” Lagi-lagi dia menggunakan
alasan itu.
“Kan laki-laki boleh empat, Ra.” Jawabnya enteng. Aku teol lagi
kepanya pelan. “Baiklah, kuganti pertanyaan. Kamu lebih memilih
istri yang bekerja atau hanya di rumah? Dan jika istrimu punya
teman, boleh berteman dengan siapa saja?”
“Kalau kamu mau bekerja aku akan menghargai itu kalaupun kamu
hanya di rumah aku juga menghargai itu. Tapi aku akan lebih
bahagia kamu bekerja dan mencapai cita-citamu juga. Kita tidak
akan tahu aku akan hidup dan menemani sampai tua, kalau ternyata
ada apa-apa bagaimana? Aku juga tidak membatasi istriku
berteman degan siapa saja. Mau itu laki-laki atau perempuan. Dunia
kamu bukan hanya aku.” Dahiku mengeryit mendengar dia selalu
menggunakan kata ‘kamu’. “Aku kan belum tentu istrimu.”
Hening. “Jadi semua perhatian ini apa artinya, Bu? Perhatian? Kasih
sayang? Atau cinta?”
“Mana ada, aku bukan orang sebaik itu. Aku sering gagal
memasukkan bola. Kamu yang baik, bisa menyanyi, menari, tertawa
dan bakat bakat lainmu. Aku yang sepertinya tidak pantas untuk
kamu,” ucapnya lagi. “Jangan merendah. aku hanya orang biasa
tidak bisa memasak, tidak pandai berdandan, hanya suka mendebat,
dibandingkan perempuan-perempuan di luar sana yang
mengagumimu yang bahkan mereka mendekati sempurna,” ucapku.
“Jika aku cukup dengan orang seperti kamu, bagaimana?”
Hening.
***
“Apakah kamu yakin kamu akan kehilangan dia? Aku merasa kamu
cukup dewasa begitu pun dia. Ketika kamu memilih untuk mencari
jawaban itu dan ternyata dia memilih melepaskan dirimu,
jawabannya sederhana Ra. Tugas dia sudah selesai untuk
membuatmu belajar. Yang aku yakini selama ini. Setiap manusia
akan selalu membawa misi untuk orang sekitarnya, dan hanya
Tuhan dan peristiwa yang menjawab misi apa yang dibawa. Begitu
pun dia. Dan bagiku dia orang yang cukup dewasa untuk berpikir
harus mengorbankan sahabatnya pergi. Jika pun dia yang pergi, dia
yang harusnya bersedih kehilangan orang yang benar mencintainya.
Lakukan, Ra. Cepat atau lambat. Kamu yang menentukan dan kamu
yang memilih momenmu. Take your time to set you’re ready.”
Jawaban Gita cukup membuatku tenang. Aku menarik napas
panjang dan mengatur ulang semua kata-kata yang ada di dalam
kepalaku.
***
“Ra…” Yan kembali menyadarkanku.
“Take your time, Ra.” Aku menarik napas panjang, menyusun semua
kata dari memori yang pernah kubuat, meyakinkan diriku bahwa
aku siap atas segala risiko dan konsekuensi, dan menerima
kekalahan yang mungkin ada di depanku.
“Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku belum berakhir dengan
kesalahan masa laluku.”
***