Anda di halaman 1dari 78

WANGSIT DARI GHIMBO LANGHANGAN

Janne Hillary

Belum genap pukul enam pagi, Adam sudah siap di depan rumahku.
Kami akan jelajah Ghimbo Langhangan, hutan di Desa Rumbio yang
masih belum terjajah, seperti yang sudah direncanakan seminggu
sebelumnya. Namun teman sekantor, yang pecinta alam itu tidak
membawa kendaraan apa pun. Dan tepat seperti asumsiku, kami
akan pulang pergi dengan angkot. Sebagian jalan yang tidak dapat
dilalui angkot, akan dilalui dengan jalan kaki.

Setelah dua jam perjalanan dengan angkot dan sejam berjalan kaki,
akhirnya kami sampai di pintu masuk Ghimbo Langhangan Rumbio.
Aku melihat sekelilingku, kemudian mengucap doa dalam hati.
Kuutarakan kata permisi, walau sebelumnya kami sudah memohon
izin resmi kepada Ninik mamak1.

Di tengah perjalanan, seekor monyet tiba-tiba menyambar botol


minum yang ku pegang. Tak diduga, monyet itu mencakar tangan
kananku. “Auw…,” aku kaget sekaligus takut. Dari samping
terdengar Adam berkata sesuatu, tetapi terdengar samar.
Perhatianku hanya terarah pada monyet yang mencakarku. Dia
berdiri tegap di depanku, seolah melarangku melanjutkan
perjalanan. Tanpa sadar kuulurkan tanganku padanya. Dia
membalas uluran tanganku. Sekejap aku seperti mendapat
penglihatan aneh, di tempat lain yang tidak kukenal.

Makhluk apa itu? Aku tak mengerti. Matanya, hidungnya,


mulutnya, perawakannya, sepintas mirip dengan bangsaku. Namun
mereka lebih tinggi dan tidak telanjang. Aku berputar-putar mencari
tahu perbedaan lainnya. Ah iya… yang paling mencolok mereka
tidak memiliki ekor seperti kami. Mereka juga berbicara dengan
bahasa yang sangat berbeda. Aku sangat tak paham. Aku lalu berlari
mencari mama untuk melaporkan penemuanku. Aku kaget ketika
mama bilang ada makhluk lain selain kami di dunia ini. Mereka
dinamakan manusia, ciptaan Penguasa Semesta yang paling
sempurna.

“Manusia dengan segenap akal budinya diturunkan ke dunia sebagai


penyeimbang alam. Mereka dengan kepintarannya akan membantu
bangsa kita yang kurang sempurna untuk mendapatkan kehidupan
yang lebih baik. Alam akan terjaga dengan keberadaan manusia dan
kelebihan-kelebihan ajaibnya. Berkat mereka, kita tidak akan pernah
kelaparan dan akan hidup tenang berselimutkan udara segar.”

Esoknya mereka datang dengan jumlah yang lebih banyak dan


membawa alat besar berwarna kuning. Perasaanku girang tidak
terbendung. Aku berlari cepat ke arah mereka. Aku dan mereka kini
hanya terpisah beberapa jengkal. Lalu aku memberi salam dan
mencoba mengajak bicara, tapi mereka tidak menggubrisku sama
sekali.
Mereka terlalu sibuk dengan urusannya sendiri, yang aku tidak tahu.
Mereka bermain-main dengan alat yang mereka bawa. Krek krek
krek… brokk… Satu dua tiga pohon di sekitarku mendadak roboh.
Aku melompat-lompat menghindar.

Aku sungguh tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Mengapa


rumah-rumahku tumbang begitu saja? Aku mendekat mencari tahu.
Yang kulihat, manusia itu mengarahkan alat-alatnya ke bagian
bawah rumahku. Kemudian…. oh manusia itu yang
menghancurkannya. Mengapa mereka melakukan itu? Aku
melompat ke tangan salah satu manusia dan menggigitnya. Setelah
berteriak kesakitan, dia menarik tanganku dan melemparkanku
dengan kasar. Aku kemudian dipukulnya berkali-kali.

Aku jatuh terpuruk, tapi aku tak mau kalah. Perlahan-lahan aku
bangkit, berlari pelan menemui keluargaku. Mungkin papa, mama,
kakak bisa melakukan sesuatu untuk menyelamatkan rumahku.
Namun, apa dayaku... sesampainya aku di pohon tempat kami
biasanya bercengkerama, aku melihat keluargaku sedang
melakukan perlawanan terhadap kejahatan manusia. Terlihat begitu
sengit. Hanya saja kami, makhluk yang tak sempurna ini kalah
dengan mereka. Kedua orang tua dan kakakku mati. Tepat di depan
mataku!!

Aku meraung... air mataku tumpah tiada henti. Tega sekali mereka.
Makhluk yang selama ini kami anggap dewa penolong, ternyata tak
ada bedanya dengan iblis. Napasku tersengal-sengal. Aku lalu tak
sadarkan diri.
Saat aku bangun, aku melihat kondisi rumahku sungguh
mengenaskan. Tidak hanya hancur, tapi juga hangus terbakar. Asap
di mana-mana. Jasad mama, papa, dan kakak juga terlihat
menghitam. Aku kembali menangis sejadi-jadinya. Tenagaku lantas
semakin menipis.

“Eh sorry Dam... Aku tadi kayak dapat penglihatan gitu. Ini aneh sih.
Nanti aku ceritakan kalau udah di rumah Bu Parmi. Sepertinya
beliau tahu banyak soal kejadian yang aku lihat.”

Adam terbengong sesaat. Dia seperti tidak percaya aku


mendapatkan penglihatan. Namun dengan segera dia mengangguk,
mengiyakan mauku. Kami kembali melanjutkan perjalanan. Tak ada
halangan yang berarti. Hanya dalam satu setengah jam saja kami
telah sampai ujung hutan. Rumah Bu Parmi, warga sekitar yang
rumahnya pernah diinapi Adam, sudah terlihat sangat dekat.
Setelah beberapa puluh meter, kami sampai di rumahnya dan lantas
menumpang istirahat di rumah Bu Parmi.

***

Bu Parmi hanya tinggal seorang diri. Suaminya sudah meninggal dan


anaknya mencari peruntungan di tanah Betawi. Saat ini Bu Parmi
hidup dengan mengandalkan hasil bercocok tanam di belakang
rumahnya. Hanya itu saja. Bahan yang dimasak dan uang yang
didapat, semuanya dari pekarangan rumahnya. Dari alam kembali
ke alam, katanya.

Aku kemudian memberanikan diri bertanya soal monyet yang tadi


mencakarku. “Bu, saya tadi di tengah hutan dicakar monyet. Lalu
saya seperti mendapat penglihatan kejadian yang pernah dialamin
monyet itu. Apa ibu tahu cerita penebangan hutan yang
menewaskan kawanan monyet?”

“Hem…” Bu Parmi menggumam. Kemudian beliau menarik napas


dan melanjutkan berbicara, “Sekitar tiga minggu yang lalu ada yang
menebang dan membakar hutan warga yang letaknya di sebelah
utara desa, buat buka lahan tanaman industri. Semua yang
menghalangi mereka buka lahan, mereka singkirkan. Termasuk
monyet yang menghuni hutan. Waktu kami datang ke hutan, kami
melihat ada banyak monyet mati terbakar.” Sejenak Bu Parmi
menghentikan ceritanya, lalu menyeruput teh hangat. “Ninik
mamak1 bilang para pengrusak hutan itu pasti akan dapat karma.
Ndak ado sala ndak batimbang2. Ditunggu saja.”

***

Pagi-pagi sekali kami sudah pamit pulang. Perjalanan pulang


memakan waktu dua kali lebih lama daripada saat berangkat,
karena kami banyak berhenti dan mengambil foto. Ketika sampai di
rumah, mama papa kompak berada di ruang santai keluarga. Aku
yang sudah capek lebih memilih langsung masuk kamar. Namun
langkahku tertahan karena papa memintaku duduk memperhatikan
sebentar breaking news.

“Saat ini sudah terdapat enam warga Riau yang terinfeksi virus
monkeypox atau yang biasa disebut dengan cacar monyet. Setelah
ditelusuri, virus ini pertama kali diderita oleh seorang pekerja PT
Indah Sejahtera Plantation, yang pernah melakukan kunjungan
lapangan ke hutan di Desa Rumbio beberapa minggu yang lalu.
Diduga, saat kunjungan lapangan, pekerja tersebut mengalami
kontak langsung dengan monyet yang terinfeksi cacar. Selanjutnya
virus itu menular ke rekan-rekan kerjanya yang ikut ke hutan
bersama dengan penderita. “

“Monkeypox Pa?” aku terkejut mendengar munculnya penyakit baru


itu.

“Iya Ratna... virus itu awalnya menginfeksi monyet. Karena bersifat


zoonosis, cacar monyet dapat menular dari monyet ke manusia.
Kalau nggak dikendalikan bisa meluas antarmanusia. Gejalanya ya
mirip dengan cacar air, tapi bisa menginfeksi saluran napas.”

Aku terperanjat. Badanku yang sudah amat letih memaksaku tidak


berdiskusi lebih lanjut dengan papa. Aku memilih segera masuk
kamar. Kasur yang lebih kubutuhkan. Namun, pikiranku tak pernah
lepas dari kejadian kemarin dan berita barusan.

“Ehm… apa ini ya yang dimaksud karma sama Bu Parmi?”

Aku mencoba memejamkan mata, tapi monyet itu terus berputar-


putar di kepala. Dia seperti ingin menyampaikan sesuatu padaku.

“Ya... Murkanya alam adalah caranya untuk mencari


keseimbangan.” Tiba-tiba muncul suara asing seiring bayangan
monyet yang menghilang.

Keterangan:

1. Ninik mamak: seorang pria yang dituakan dan dihormati dalam


masyarakat adat. Ninik mamak yang diberikan kepercayaan untuk
memutuskan berbagai kebijakan adat.
2. Ndak ado sala indak batimbang: Tidak ada salah yang tidak
ditimbang. Maksudnya, setiap kesalahan pasti mendapat hukuman
yang setimpal.
KENANGAN, LELAKI TUA, DAN LANGGAR

Oktaviana Maya Dewi

Pagi itu, ramadhan 3 tahun lalu. Jam dinding menunjukkan masih


pukul 03.30. Di sudut langgar pinggiran kampungku, tampak
seorang renta yang sudah sibuk menimba air demi mengisi padasan.
Mbah Karso Kromo dia biasa dipanggil, usianya tak lagi muda tahun
ini menurut KTP sudah menginjak 75 tahun, aslinya mungkin lebih,
mengingat orang zaman dulu hanya mengingat wetonnya saja.
Tubuhnya renta tapi tidak menghapus jejak betapa gagahnya beliau
di masa mudanya. Tinggal tak jauh dari langgar sehingga selalu sibuk
mengurusi segala macam tetek bengek yang berhubungan dengan
langgar.

Seperti pagi sebelumnya, sebelum kumandang azan subuh Mbah


Karso sudah sibuk dengan ember dan timba. Setelah 20 ember
timba dinaikkan, penuhlah padasan yang cukup besar itu sehingga
untuk seharian ini orang-orang yang berjamaah di masjid dapat
berwudu tanpa kesusahan.

Sambil mendendangkan puji-pujian kepada Ilahi, Mbah Karso mulai


menimba. Dengan ditemani dingin yang menyentuh kulit, rengeng-
rengeng Mbah Karso menyentuh kalbu...syahdu.

Sholatullah salamullah...

“Mbah, piyambakan?” sapaku berbasa-basi sambil mendekat ke


arahnya.

“Woh..iya, Le. Lha arep karo sapa meneh mbahe ki. Nek saiki merga
ana awakmu dadi mbahe ra dewe,” jawabnya sambil memasukkan
air timba ke padasan. Entah sudah berapa ember kali ini.
“Kula gentosi nggih, Mbah,” kataku sambil meminta timba yang
beliau genggam erat.

“Uwis, orasah. Gek kono sholat qobliyah disik, mau tahajud ora Le?”

Sambil nyengir dan garuk-garuk kepala aku menggeleng.

“Mumpung isih ono wektu gek kono, nyenyuwun karo Gusti


Pangeran. Awake dewe isih diparingi kesehatan, rezeki karo umur ki
jik kurang kanggo mbales kasih sayange Gusti Pangeran. Gage!”
perintahnya yang mau tidak mau aku segera mengambil air wudu
dan beranjak menuju langgar.

Sungguh, hatiku merasa tersentil dengan ucapan Mbah Karso Kromo


barusan. Allah sangat menyayangi hamba-hamba-Nya, tapi sebagai
hamba-Nya untuk beribadah saja harus menunggu diingatkan dulu.

Dalam sujud panjangku, doa-doa kupanjatkan untuk Mbah Karso


dengan ikhlas hidupnya hanya untuk beribadah kepada-Nya.
Semoga keihklasannya mampu membangunkan orang-orang
kampung yang masih belum sadar akan keberadaan langgar di
kampungku ini. Mereka masih acuh dengan panggilan yang
berkumandang dari langgar.

Ah... rindu rasanya pada lelaki renta yang menimba sambil


mendendangkan pujian kepada Sang Khalik, apa kabarnya beliau.
Sudah 2 kali lebaran ini aku tak pulang ke kampungku. Apa mbah
Karso masih sanggup memenuhi padasan dengan 20 ember timba?
Apa langgar masih seperti dahulu? Ataukah warga kampung sudah
mulai memenuhi langgar ketika seruan untuk berjamaah
berkumandang?

Mbah... aku rindu rengeng-rengengmu...

Sholatullah salamullah...
Lebaran tahun lalu aku tak berlebaran di kampung karena ada
proyek yang harus kukerjakan di luar pulau. Sebagai pekerja aku
harus mengikuti aturan yang dibuat oleh atasan. Sedangkan lebaran
tahun ini, sebagai warga negara yang baik aku juga harus mengikuti
anjuran pemerintah yang melarang mudik.

Ya, mudik tahun ini ditiadakan karena adanya wabah yang melanda
seluruh dunia. Dunia diselimuti ketakutan, kepanikan dan
ketegangan dalam menghadapi musuh yang tak terlihat. Bagaimana
dengan aku sendiri yang hidup di ibu kota? Aku masih beraktivitas
seperti biasa, tapi dengan mengikuti anjuran dari para pemimpin.
Beraktivitas di rumah. Beribadah di rumah. Menerapkan perilaku
hidup bersih dan sehat. Takut? Tentu saja, siapa yang tidak takut
mati? Sedangkan bekal pun juga belum siap.

Betapa rindunya pada suasana di kampung, seandainya aku tak


merantau pasti aku akan selalu berjamaah dengan Mbah Karso
Kromo di langgar, masih melihat anak-anak yang dengan riang
jeguran di kali. Mencari belut di sawah. Ahh... sudah berapa andai
yang kurajut dalam semalam. Semuanya takkan terwujud, karena di
sinilah aku. Di pojok rumah kontrakan yang kusewa untuk melepas
penat setelah seharian bergelut mengais rupiah.

Masih teringat pitutur bijak lelaki renta yang entah sejak kapan
dekat denganku itu.

“Le, cah lanang kui nek iso golek pengalaman sing okeh. Ngumbara
golek ngelmu, golek pengalaman, golek konco lan sedulur sak okeh-
okehe. Nanging ojo kok lalekno leluhurmu sing ono ndeso iki. Ojo
kacang ninggalno lanjaran. Ojo dadi bocah sing lali asal usulmu.
Mulo yo ngger, sak adoh-adohe lehmu ngumbara tetep eling karo
wong tuwa. Ning ndi wae panggonmu elingo marang sing agawe
urip. Marang Gusti Pengeran. Palilahe wong tuwa kui mujudake
palilahe Gusti Pengeran.”
Dadio wong sing lembah manah, ora adigang adigung adiguna.

Tapi wejangan Mbah Karso Kromo hanya aku yang mendengar, di


tengah krisis seperti ini ada saja yang malah memanfaatkan situasi.
Tempat-tempat ibadah sepi karena diwajibkan untuk beribadah di
rumah saja. Napi asimilasi dibebaskan, ujung-ujungnya maling mulai
hilir mudik sampai ke pelosok desa. Walaupun belum tentu
pelakunya mantan napi, banyak penjahat baru yang terlahir dari
krisis ini.

Banyak manusia yang tidak dapat memanusiakan manusia lainnya.


Hilang sudah sila kedua dari Pancasila, kemanusiaan yang adil dan
beradab. Mulai egois memikirkan diri sendiri, hilang empati.
Membeli barang-barang secara membabi buta. Yang berkuasa
merasa semua dapat dibeli dengan uang. Tapi semua itu tidak ada
harganya di mata Allah. Maut tak memandang kaya miskin.

Kun fayakun, nek Gusti Pengeran berkehendak, le..gampang banget


ngerubah uripe wong. Dadi welingku ojo adoh seko Gusti Pengeran.
Ojo nganti teteging imanmu goyah, eling lan tansah dieling-eling.
Gusti Pengeran mboten sare. Yakin, nek pecoban seko Gusti kui
enek hikmahe. Ojo nganti pedhot nggonmu ndonga.

Dan pada senja ini, sambil memandang got yang berair keruh aku
sampaikan banyak pengharapan tentang kehidupan. Seperti halnya
Lelaki tua yang mencintai langgar seperti mencintai Rabbnya.

21 Ramadhan 1441 H.
GADIS FLUTE

Pranasanthi

Suasana taman di musim semi memang sangat indah. Bunga-bunga


bermekaran ditemani anak-anak berlarian mengejar satu sama lain.
Angin hangat berembus menerpa wajahku dengan lembut,
menyebarkan kehangatan di sekujur tubuhku. Namun, bukan hal itu
yang merebut perhatianku saat ini.

Aku melihat gadis itu lagi. Gadis dengan flute yang selalu bermain di
tengah taman. Orang-orang berkumpul di sekitarnya untuk
menikmati alunan flute yang dimainkannya. Seukir senyuman manis
menempel pada wajahnya. Ia tampak sangat bahagia memainkan
flute miliknya sambil menggerakkan tubuhnya perlahan. Aku mulai
menyadari kerumunan orang di sekitarnya mulai menari mengikuti
alunan musik.

Ia menolehkan kepalanya dan menyadari keberadaanku yang


sedang memperhatikannya. Dengan cepat aku mengalihkan
pandangan dan pergi dari tempat itu. Aku melangkah mendekati
danau dan duduk di kursi panjang. Pikiranku melayang menuju
beberapa saat yang lalu, saat aku masih berada dalam gedung
auditorium. Saat ini seharusnya aku sedang berada di dalam gedung
auditorium, di atas panggung memainkan biolaku untuk
pertunjukkan musik sekolah yang akan diselenggarakan besok. Akan
tetapi, tampil dihadapan banyak orang bukanlah keahlianku.
Semuanya baik-baik saja hingga namaku dipanggil untuk naik ke
atas panggung. Meski ini hanya latihan, tetap saja aku terserang
demam panggung. Aku melangkah naik ke atas panggung dengan
hampir seluruh tubuhku gemetaran. Dari kejauhan, aku dapat
mendengar anak anak lain sedang membisikkan sesuatu seperti
“Lihat, dia seperti anak kambing yang ketakutan” lalu menunjuk ke
arahku. Saat sedang membungkuk memberi salam, aku baru
teringat dengan partiturku yang kutinggalkan di belakang panggung.
Dengan canggung, aku berbalik dan berlari menggambil partiturku
dan segera kembali ke atas panggung dengan sangat malu. Kulihat
para penonton mulai menatapku dengan tatapan keheranan dan
anak-anak lain mulai cekikian.

Aku berusaha mengacuhkan mereka dan melanjutkan


penampilanku, partitur yang kini berada dalam genggamanku
kuletakkan pada music stand. Kutarik napas dalam-dalam dan
mengangkat dagu dengan berani, sekarang aku merasakan aliran
keberanian mulai mengalir dalam tubuhku. Dengan percaya diri,
kutegapkan bahu dan mengangkat bow, bersiap untuk memainkan
biolaku.

Namun sepertinya hari ini, hari yang sial untukku. Tangan yang
kuangkat dengan percaya diri justru menabrak music stand hingga
terjatuh. Suara nyaring dari besi yang berkelontangan cukup untuk
membuatku menjadi pusat perhatian. Penonton tampak terkejut
dan anak-anak lain menutup wajah untuk menyembunyikan tawa.
Sambil menahan rasa malu, kuangkat music stand dan
mengumpulkan lembar partitur yang berserakan. Kali ini aku
berusaha untuk tidak terlihat berlebihan, tetapi tubuhku sepertinya
sedang tidak ingin bekerja sama. Tangaku bergetar dengan hebat
sehingga aku tidak bisa memegang bow dengan benar. Saat mulai
memainkan nada pertama, jari-jari kiriku terpeleset di atas
fingerboard dan tangan kananku menekan bow dengan sangat kuat
sehingga menghasilkan kombinasi suara yang benar-benar
terdengar seperti anak kambing ketakutan.

Anak-anak tidak lagi menyembunyikan wajah mereka dan tertawa


sambil menunjuk ke arahku. Kulihat para penonton menatapku
dengan keheranan. Habis sudah harga diriku. Dengan wajah
memerah, aku menundukkan kepala dan berlari ke belakang
panggung. Kudengar orang orang mulai meneriakkan namaku dari
kejauhan, namun aku tetap berlari menjauh. Akhirnya kuputuskan
untuk berdiam di taman untuk menenangkan diri.

Lamunan itu seketika terhenti saat seseorang tiba-tiba menepuk


bahuku dengan cukup keras, “Aira, sedang apa kau di sini?
Bukannya hari ini kau seharusnya menghadiri gladi pertunjukkan?”
tanya orang itu. Aku menoleh dan mendapati gadis dengan flute itu
sudah berdiri di sampingku.

“Apa yang terjadi?” tanyanya. Aku menundukkan kepalaku dengan


lesu, “Aku mengacaukan segalanya,” jawabku lirih. Gadis itu terdiam
sejenak mendengar jawabanku lalu berjalan mendekati kursi kosong
di sebelahku, “Well, aku tidak tau apa yang kaulakukan di dalam
sana, dan aku tidak dapat membaca pikiranmu, jadi maukah kau
membaginya?” ucapnya sembari duduk di sampingku. Aku berpikir
sejenak, tidak ada gunanya menyimpan rahasia pada gadis itu, ia
sudah mengenalku selama bertahun-tahun, aku yakin cepat atau
lambat ia tentu akan mendengar cerita ini pada akhirnya. “Aku
menjatuhkan music stand dan semua orang menertawakanku,”
ucapku padanya. Gadis itu menoleh padaku dengan cepat, “Kau-
apa?” tanyanya dengan nada mengejek lalu mulai tertawa
terpingkal pingkal.

“Right, tertawalah sepuasmu, aku memang pantas ditertawakan,


untuk apa pula aku menceritakan semua itu padamu!” teriakku
sambil berdiri menenteng tas biolaku. Aku sudah hendak berjalan
pergi ketika gadis itu menarik tangaku dengan cukup keras hingga
badanku terhempas. Kini ia sudah berada di hadapanku, tatapannya
mengarah tepat pada mataku. “Dengar, aku tahu kau sangat pemalu
dan benci dijadikan pusat perhatian, tetapi kau tidak boleh bersikap
seperti ini terus. Kau hanya menjatuhkan music sheet, bukannya
menjatuhkan seluruh gedung auditorium. Jika kau menjadi penakut
seperti ini, bagaimana kau akan memperdengarkan musikmu pada
orang lain? Apa kau benar benar ingin menjadi musisi? ” bentaknya
tegas. Aku terperangah “Tentu saja, menjadi musisi adalah
impianku!” jawabku dengan suara yang sedikit bergetar. “Kalau
begitu, buktikan” ia meninggikan suaranya padaku, “Buktikan kau
memang ingin menjadi musisi. Musik diciptakan untuk
mengekspresikan perasaan bukan? Bagaimana kau akan
mengekspresikan perasaanmu pada dunia jika kau tidak berani
menunjukkan dirimu seperti ini?!” bentaknya padaku. Aku
mengalihkan pandangan dan menundukkan kepalaku, tetapi gadis
itu mengangkat daguku dan kembali menatapku dengan tajam.
“Beranikan dirimu,” ucapnya dengan tegas. Aku memalingkan
wajahku dan kembali menundukkan kepalaku.

Gadis itu mengembuskan napasnya, “Ikutlah denganku,” ucapnya


sambil menarik tanganku dan berlari. “Tunggu, tidak perlu
menarikku seperti ini, aku bisa berjalan sendiri,” teriakku sambil
berlari, tetapi gadis itu tidak mendengarkan ucapanku dan tetap
berlari menarikku bersamanya.
Dasar gadis gila. Ia membawaku berlari menyusuri dari danau,
melewati taman, hingga menjauh dari kota. “Hei, aku ingin pulang”
teriakku sambil terengah-engah, tetapi tetap saja ia tidak
mendengarkan. Tubuh di depanku ini tiba-tiba berhenti tanpa
peringatan dan membuatku menabrak punggungnya cukup keras
hingga kami terjatuh. “Sialan, kau membuat pakaianku kotor
dengan tanah.” Ia merengut sambil berusaha membersihkan rok
putihnya yang kotor, “Hei, kau yang tiba-tiba berhenti, jangan
salahkan aku bila kau tertabrak,” balasku tidak terima. Aku berdiri
dengan susah payah dan mendapati hamparan rumput terbentang
luas di sekitarku. Mataku terbuka lebar melihat bunga berbagai
warna bermekaran di seluruh tempat ini. Rumput menari-nari
terembus angin di bawah pijakanku dan cahaya matahari
menyentuh kulitku dengan lembut. Sungguh suasana yang
menyenangkan.

“Di mana kita?” tanyaku pada gadis itu. Aku menunggu jawabannya
tetapi ia hanya mengabaikanku dan melangkah lebih jauh menuju
hamparan rumput. “Hei!” Aku berteriak dengan keras, cukup untuk
membuatnya berhenti dan menoleh kearahku.

“Kemarilah,” panggilnya. Di tengah hamparan rumput, Ia


mengangkat flutenya dan mulai memainkan alunan musik. Nada
demi nada berayun dari flute miliknya dan membuatku terhanyut.
Musik ini sangat indah, seperti kilauan flute miliknya yang bersinar
di bawah sinar matahari. Gadis ini benar-benar seorang flutist
profesional. Ia memainkan tiap nada dengan sempurna. Namun
segera kusadari, bukan hal itu yang membuat musik ini terdengar
indah, tetapi gadis itu. Ia mencurahkan seluruh isi hatinya dalam
musik ini, seakan akan memanggil alam semesta dan meminta
perhatiannya.

Perlahan aku mengambil biolaku dan berjalan mendekatinya.


Kurasakan musik ini berhasil memanggilku untuk ikut bermain
bersamanya. Kuangkat biolaku dan mulai memainkan nada-nada
lembut yang berpadu dengan alunan flute miliknya. Musik mulai
memenuhi kepalaku, mengalirkan perasaan hangat dan
menyenangkan. Ranting serta tangkai bunga yang bergerak tertiup
angin hangat seakan menari mengikuti alunan musik kami.
Perlahan, suara flute milik gadis itu memelan hingga akhirnya ia
berhenti bermain.

Ia menurunkan flutenya dengan perlahan, tatapannya menuju


padaku. Akhirnya aku mengerti maksud ucapannya. Musik memang
diciptakan untuk mengekspresikan perasaan, dan jika kau ingin
dunia mendengarkanmu maka kau harus memperdengarkannya
pada dunia. Dan untuk melakukannya, kau hanya perlu sedikit
percikan keberanian.

Aku mengangkat dagu dan membalas tatapannya. Ia tersenyum


puas, “Ayo kembali, akan kuantar kau ke gedung auditorium,”
ucapnya. Aku mengangguk dan tersenyum, “Tentu,” jawabku, kali
ini dengan penuh percaya diri.
NAMAKU, SRI

Sofia Ulfa

Namaku Sri, aku dan saudara-saudaraku adalah kaum Oriza Sativa.


Kata para manusia kami adalah titisan Dewi Sri. Hingga aku bangga
dipanggil Sri.

“Subhanallah, pagi ini begitu dingin tapi sawah-Mu begitu segar…,”


syukurku tak terkira, mengingat kesempatan untuk menghirup
napas pagi hari ini.

Tiba-tiba saja... Kakiku yang menginjak tanah dipangkas. Tubuhku


digoyang-goyang, digoncang-goncang. Sejenak kemudian, dunia
menjadi gelap dalam mataku.

Aku tersadar, tiba-tiba tubuhku menjadi kecil-bahkan sangat mungil.


Diriku berubah sangat berbeda dari sebelumnya.

“Oh Tuhan, apa yang terjadi denganku??? Ya Muhyi, tubuhku


tinggal kepala, batang tubuhku, akar serabut dan daun tanganku,
hilang tak membekas… tapi aku bersyukur masih Engkau anugerahi
hidup.”

Dengan tampah, wadah tempayan dari bambu, aku diputar-putar


oleh tangan kuat milik pak tani. Ah, pusing... tujuh keliling.

''Pergilah kau kaplak,'' kata petani sambil mengibas-ngibas


kepalaku. Kaplak adalah kepalaku yang tidak ada isinya alias kosong-
melompong. Hal ini bisa diketahui dengan memijat gundul-ku. Jika
keras berarti berisi, dan jika empuk aku kosong. Para petani sangat
membenci kami yang minus isi. Mereka tak memberi toleransi
sedikit pun. Mereka menyingkirkan dan membuang kami. Padahal
kami bersaudara tapi nasib kami berbeda.
Dulu bentuk tubuhku tak begini, kawan! Aku dulu punya kepala,
tubuh dan kaki. Tubuhku dulu jangkung semampai. Hijau lancip
daunku. Di sela daunku ada buahku. Satu batang tubuhku bisa
berbuah sampai 20-30 biji. Semakin berisi buahku maka semakin
merunduk. Sehingga banyak orang menganggap buahku mirip
kepalaku. Kepalaku mulai berubah warna, dari warna hijau muda
berubah menjadi hijau tua. Lama-kelamaan berubah menguning
dan cokelat muda setelah sekitar 4 bulan atau 120 hari. Kemudian
diikuti tubuh dan kakiku. Aku menua. Pada saat itulah, pak tani
merasa senang dan gembira karena sebentar lagi mereka bisa
memanenku.

Dari sinilah penderitaanku dimulai. Seperti pada waktu pagi itu.


Banyak temanku yang terpisah. Aku tercerabut dari akarku.
Berpisah dari ibu yang telah melahirkanku. Tapi aku percaya pada
pak tani yang sudah kuanggap sebagai ayah sekaligus bapakku.
Semua itu demi masa depanku. Agar aku lebih berguna demi
keberlangsungan kehidupan manusia. Berguna menjadi beras,
menjadi nasi, nasi pecel, nasi kuning, nasi padang, dan masih banyak
macamnya.

***

Malam semakin larut saat seseorang tiba-tiba mencidukku dan


teman-temanku, kami ditimbang dengan alat yang besar. Setelah
mantab lima kilogram, kami dipindah dalam kemasan plastik bening
dengan di lem erat. Kata Gogo temanku, kami akan dijual di pasar
atau supermarket.

Namun seperti apa pun tempatnya, harapanku aku dapat


bermanfaat. Aku ingat pesan ibuku bahwa beruntunglah kau jika
menjadi nasi, kebanggan tersendiri bisa menjadi bagian sumber
energi bagi manusia. Karena sebaik-baiknya kehidupan adalah yang
bermanfaat untuk semesta, harapanku aku menjadi bagian itu.
Tibalah aku di suatu rumah yang tampak megah, penuh dengan
taman dan bunga. Kuingat Pak tua yang dari tadi mengamati
kemasanku saat di supermarket, ternyata membeliku dan
membawa pulang. Aku senang, rasanya tidak sabar untuk menjadi
bagian dari sumber makanan manusia.

“Jangan lupa, besok pagi semua makanan harus ready semua, pukul
8 acara ulang tahun Caesar akan dimulai,” kata Nyonya pemilik
rumah itu mengagetkan laki-laki tua yang mengangkat tubuhku.

“Iya nyonya, kami siapkan,” kata laki-laki tua itu sedikit takut. Dia
segera membawaku ke suatu ruangan yang banyak sekali bahan
makanan berserakan.

Pagi menjelang, aku sudah di sini bersama segala masakan yang


tertata rapi. Capjay, bakso, pecel, lontong balap, es krim, kue-kue
cokelat dengan aneka aksesoris yang menghiasi. Beberapa ibu
datang, mereka berkumpul dan memperbincangkan apa saja. Diikuti
hingar bingar anak-anak mereka. Berlarian sepanjang ruangan.

Saatnya yang di tunggu tiba, setelah pemotongan kue tart.


Para undangan menyerbu ruang makan. Beberapa orang tua
mengambil pecel, lontong balap khas Jawa. Anak-anak menyantap
bakso dan es krim dengan wajah riang. Aku pun menyiapkan diri,
dengan segala keistimewaanku. Nasi pecel dengan warna sayuran
hijau yang menyegarkan. Berpadu dengan sambal kacang, peyek,
potongan telur dadar dilengkapi dengan hiasan hijau daun pisang.
Berharap bisa dinikmati setiap orang dengan hati senang.

Semakin siang aku mulai resah, tiada yang menciduk nasiku, nasi
pecel yang sengaja dimasak Mak Siyah ternyata masih sepi peminat.
Mie ayam, bakso, capjay hampir semuanya ludes.

Aku duduk termangu. Menunggu seseorang yang mau


memindahkanku ke piringnya. Berharap aku memberi manfaat
untuk di santap sebagai penambah energi manusia. Seseorang yang
kutunggu, ternyata datang juga. Seseorang yang akan menggenapi
cita-citaku, sebagai bahan pokok. Seseorang yang bisa menggenapi
fitrah kami, menjadi sumber energi untuk manusia.

Anak itu terus mengunyah teman-temanku dengan lahap. Tinggal


sedikit lagi sendok itu meraihku. Tiba- tiba,

“Caesar, ayo Nak… Tante Amanda sudah menunggumu. Jangan lupa


bilang terima kasih ya untuk kadonya,” kata Nyonya besar
membisikkan sesuatu pada anak yang sedang asyik makan ini. Buru-
buru dia meletakkan piring dan menghambur pergi. Menyisakan aku
yang dari tadi menunggu. Aku terdiam dalam piring yang membisu.
Kami nasi pecel dalam piring biru cantik hanya saling memandang
berharap ada yang melanjutkan menyantap nasi ini.

Satu jam, dua jam, hingga beberapa orang berpamitan. Mereka


saling berpelukan dan tertawa ceria melambaikan tangan. Aku
hanya bisa membesarkan hati, berharap ada seseorang yang mau
meluangkan waktu menyantap sisa makanan ini.

Dua orang datang, merapikan meja, mengemasi piring-piring dan


mengangkatku pergi. Pelayan itu menyendok tubuhku,
menjatuhkanku pada sebuah benda seperti bak hitam besar. Dia
memiringkan piring, mendorong sendok menyapu bersih isi piring.
Sendok itu mendorong tubuhku dan teman-temanku. Kami jatuh ke
dalam bak dengan teriakan dan tangisan yang tak terdengarkan,

“Tidakk…jangan buang aku, kumohon…,” pintaku.

“Aku adalah sumber energi besar untukmu, sego atau nasi


dihasilkan dari tubuhku, dengan penuh perjuangan aku menjadi
seperti ini, tapi semua seakan tak pedulikan penderitaanku...”

“Astagfirullah, kenapa aku mengeluh? Gampang menyerah? Ya


Tuhan ampunilah dosa-dosaku.”
Aku jatuh, tergeletak. Antara sadar dan tidak, berharap dalam
ketidakpastian. Kau pastinya tahu berapa lama aku dan teman-
temanku berpayah-payah. Kau tahu proses kami kan? Bagaimana
gabah menjadi beras dan dimasak menjadi nasi pecel.

Kau tahu kawan, itulah keadaanku kini. Berhari-hari kami dalam


kresek hitam, penuh bau. Kami menangis dan berpelukan bersama-
sama, menangisi takdir, ternyata kami harus berakhir seperti ini.
Sesak napasku, tapi mungkin ini sudah jalan-Nya. Gagal cita-citaku
menjadi sumber energi, aku harus terhempas dan basi.

Kau tahu kawan, itulah keadaanku kini. Ternyata nasibku berakhir


seperti ini. Berhari-hari kami dalam kresek hitam, penuh bau. Kami
menangis dan berpelukan bersama-sama, menangisi takdir,
ternyata kami harus berakhir seperti ini. Sesak napasku, tapi
mungkin ini sudah jalan-Nya. Gagal cita-citaku menjadi sumber
energi, aku harus terhempas dan basi.

Kawan, itulah proses kehidupanku. Penuh suka dan duka. Setelah


mengenalku dan tahu riwayatku, maukah kau berteman denganku?
Marilah kita bersahabat kawan. Kau tahu kan bagaimana
perjuanganku untuk menjadi sebutir nasi. Perjuangan yang sangat
lama dan penuh pengorbanan. Aku harap engkau menghargai arti
persahabatan. Janganlah membuang nasi walau hanya sebutir.
Cintailah aku seperti engkau mencintai kehidupan. Seperti cintanya
petani kala menanamku, merawatku dan memanenku. Pada
akhirnya, mereka ikhlas melepaskanku berproses menemukan
nasibku.

Kalau kau merasa kelebihan nasi berikanlah ke orang lain. Tolong,


jangan menghambur-hamburkanku. Karena di belahan bumi lain
masih banyak teman kita yang kesulitan untuk makan. Apalagi untuk
memakan nasi. Aku harap kau dengar suaraku.

*****
Namaku Sri, aku dan saudara-saudaraku adalah kaum Oriza sativa.
Kata para manusia kami adalah titisan Dewi Sri. Hingga aku bangga
dipanggil Sri. Mungkin kau menyimpulkan bahwa aku lebay, namun
inilah aku dan kisahku. Bukan untuk membuatmu mengasihiku.
Hanya ingin memberi tahu bahwa ada jeritan semesta yang sering
tak kau dengar dan sadari. Bukalah mata hatimu… kau akan
menemukan suara bumi, air, dan udara memanggil jiwa.
BAHKAN TANPA PERASAAN, KITA BISA BERSAMA

Prillyafifah

When I loved you

Everything was beautiful

Every hour spent together

Lives within my heart

And when I was sad

You was there to dry her tears

And when I was happy so was You

When I loved You ~

When She Loved Me, lagu dari Sarah McLachlan, mengingatkan


memoriku tentang dia. Dia yang pernah menyanyikan lagu itu
untukku dan beberapa liriknya dia ganti.

Mas Yogurt, begitu aku akrab memanggilnya. Pertemuanku


dengannya berawal saat aku bekerja di salah satu mal di Kota
Semarang. Hubungan kita semakin akrab karena sering salat bareng.
9 Desember 2019 – Aku resign. Sebelumnya aku nggak bilang sama
Mas Yogurt, dia hanya tahu dari Mbak Desi, rekan kerjaku.

Minggu malam dia ngajak aku ke Hypermart, bilangnya sih mau


beliin aku es krim.

“Besok sore kamu free?” tanya Mas Yogurt saat di perjalanan.

“Kayaknya, kenapa Mas?”

“Temenin makan malam ya.”

“Hmm. Boleh.”

“Oke. Besok aku jemput di rumahmu,” katanya sambil nyubit pipiku.

Ah. Sial!

Rindu ini sudah mulai hadir. Senyumannya. Tatapannya. Dan semua


tentang dia. Meskipun kita masih bisa bertemu di luar jam kerja,
tapi entah, itu yang aku rasa. Aku sudah mulai merindukannya.

Selepas salat magrib Mas Yogurt menjemputku di rumah. Hari itu,


bisa kuingat hari pertama kalinya aku naik motor dengan Mas
Yogurt dan memeluknya. Aku tidak tau kata-kata apa yang tepat
untuk mengungkapkan rasa senangku.

Kita makan malam di tempat Mas Yogurt, bersama Papanya,


Mamanya sedang dinas di luar kota. Jadi kita hanya makan malam
bertiga.
Setelah selesai makan Mas Yogurt bercerita tentang hidupnya. Dia
juga bercerita tentang cintanya, bahkan suatu hal yang awalnya
hanya Papa dan sepupu laki-lakinya saja yang mengetahui, dia
bersedia berbagi cerita denganku.

Betapa terkejutnya aku, speechless, setelah mendengar cerita dari


dia. Dia yang aku lihat selama ini baik-baik saja ternyata hidup dan
cintanya tidak sedang baik-baik saja. Selama ini dia hanya berpura-
pura tidak terjadi apa-apa.

“Prillo, terima kasih,” ucapnya sambil memelukku. “Terima kasih.


Setiap di dekatmu aku selalu merasa nyaman, aku selalu merasa
tenang kembali.”

Aku bisa merasakan betapa rapuhnya Mas Yogurt saat memeluk.


Wajar jika dia sering putus asa dan menyerah atas segala beban
yang dia tanggung sendiri selama ini hingga menyiksa batinnya.

Setauku Mas Yogurt bukan tipe orang yang mudah bercerita dengan
orang lain. Mas Yogurt juga bukan tipe orang yang mudah
mengutarakan apa yang dia rasakan. Tapi aku bersyukur, meski kita
baru akrab, ternyata hadirku bisa membuatnya nyaman, tenang,
dan dia percaya untuk berbagi cerita denganku.

Mas Yogurt juga meminta bantuanku untuk memperbaiki


kehidupannya. Tentu, aku akan berusaha membantu dia
memperbaiki hidupnya. Berusaha membuat dia menikmati hidup,
agar dia bisa merasakan bahagia tanpa harus berpura-pura. Dan aku
akan berusaha untuk selalu ada buat dia.
“Prillo,” panggil Mas Yogurt di atas motor saat menuju jalan pulang.

“Iya Mas.”

“Kamu selalu terlihat cantik. Meski tanpa make up. Hehhe”

Astaga. Aku kaget. Serius, hampir tak percaya dia akan mengatakan
itu.

Aku tidak menjawab, hanya menggelitik perut samping dia. Gemas.


Mas Yogurt ketawa.

Belum pernah aku mendengar Mas Yogurt mengatakan cinta


padaku. Tapi apa yang dia lakukan selalu bisa membuat aku terjebak
pada suatu keadaan yang lebih dari sekadar rasa senang.

Jumat Malam.

Kami berkeliling Kota Semarang berdua. Senang rasanya bersama


orang yang aku rindukan bisa berdua denganku.

Motor melaju pelan di jalan Sompok. Mas Yogurt menunjukkan aku


tempat yang dulu digunakan berkumpul saat bolos sekolah waktu
SMA. Dia bukan pelajar baik-baik yang selalu taat aturan, tapi nilai
pelajaran dia tidak pernah ada yang buruk.
Kami berhenti di Bukit Tabanas. Bukit yang berada di daerah
Gombel. Menyajikan indahnya pemandangan Kota Semarang dari
ketinggian. Kerlip lampu beserta bintang yang bertaburan di langit
membuat suasana lebih indah.

Aku merasa sangat aman saat Mas Yogurt menggenggam erat


tanganku.

“Prillo, kamu itu kayak Mama.”

“Ha? Kok bisa?” tanyaku penasaran.

“Iya. Mama selalu ngingetin aku buat salat, bawel kalau aku belum
salat. Sama kayak kamu.”

“Cuma Mama dan kamu, wanita yang selalu ngingetin aku buat
salat,” sambungnya.

“Serius? Yang lain?”

“Nggak ada. Makanya setiap dekat dengan kamu aku selalu merasa
nyaman, tenang,” katanya memandangku dengan senyuman.

“Bantuin aku biar bisa bikin kamu lebih baik. Bantuin aku biar kamu
selalu bahagia. Bantuin aku biar aku bisa membuatmu selalu tenang
dan nyaman.”

“Jangan berkorban demi aku lebih yang kamu bisa. Sama-sama


saling bantu ya. Bantu aku juga biar bisa bahagiain kamu.”

“Siap komandan. Hehehe..," kataku sambil hormat. "Aku yakin kamu


pasti bisa lebih baik. Pelan-pelan saja, jika lelah dengan prosesnya
istirahat sebentar. Asal jangan berhenti, atau putar balik.”
“Aamiin. Makasih Prillo,” ucapnya sambil memelukku.

Ada perasaan yang tidak aku mengerti saat ini. Aku tidak bisa
mengatakan bahwa saat ini aku sudah mencintainya, tapi kupikir
aku sedang menuju ke sana.

Selagi itu, aku berpikir seperti aku sudah pacaran dengan Mas
Yogurt.

Apakah dia juga merasakan hal yang sama? Aku nggak tahu. Kalau
memang sudah pacaran, sejak kapan mulainya? Kalau belum, ya, itu
tadi, kenapa aku merasa sudah?

Ah. Entahlah.

Mas Yogurt, yang dulu sering tiba-tiba datang ke tempat kerjaku


untuk mengajak salat bareng.

Mas Yogurt, yang sering beliin aku es krim.

Mas Yogurt yang memberikan jaketnya untukku, untuk menemani


saat aku merindukannya.
Mas Yogurt, yang selalu menemuiku setiap aku bilang, "Mas, Prilly
pengen nangis" tak peduli jam berapa pun. Dia pasti akan datang
menemuiku, memelukku. Membuat aku tenang, nyaman, dan
aman.

Mas Yogurt mungkin tidak paham dengan teori bagaimana harus


memperlakukan wanita, tapi apa yang dia lakukan selalu
membuatku merasa menjadi wanita yang istimewa.

Mas Yogurt mungkin bukan lelaki baik, tapi dia tidak jahat. Dia
memang tidak bisa bersikap lembut, tapi dia tidak kasar. Dia selalu
membuatku tersenyum.

Hari-hari berikutnya ada yang lain dari Mas Yogurt. Aku merasa Mas
Yogurt berubah. Dia terasa menjauh. Tak lagi ada hal yang dia
lakukan untukku, sebagaimana yang selalu kudapatkan sebelumnya.

Dia tak pernah ingin menemuiku. Dia jarang balas chatku, dan dia
selalu menghindar saat aku ingin menemuinya.

Ada gerimis di luar. Aku di dalam kamar, bersama hatiku yang


berkata, “Mas Yogurt, kamu di mana? Kapan kamu ada waktu
untukku. Aku ingin bertemu denganmu”.
Pagi ini, aku terbangun sebelum subuh, terduduk di atas kasur, dan
merasa sendiri. Rasanya sangat sunyi, rasanya sangat hampa,
rasanya seperti orang yang baru kehilangan sesuatu yang paling
berharga dalam hidup.

Kupeluk diriku untuk bisa memeluk jaketnya Mas Yogurt yang


sedang kupakai. Aku merasa sangat merindukannya.

“Assalamu’alaikum,” terdengar salam dengan suara lelaki di depan


pintu.

“Wa’alaikumsalam. Iya sebentar,” jawabku sembari menuju pintu.

Aku kaget saat membuka pintu, ternyata Mas Yogurt. Aku langsung
memeluknya. Itu terjadi begitu saja, seperti ada kekuatan yang tidak
bisa ku tahan untuk menyuruhku memeluknya.

Mas Yogurt melingkarkan kedua tangannya di punggungku.


Membuatku merasa damai. Dan di kedua mataku, air meleleh di
pipiku yang aku tak tahu mengapa itu bisa muncul.

Ketika kulepas pelukannya. Mas Yogurt menatapku sambil


memegang kedua bahuku. Tanpa berkata dan hanya tersenyum.

Kuseka mataku setelah kulepas pelukannya.


Setelah itu aku menyuruh Mas Yogurt untuk masuk dan duduk.

Mas Yogurt menggenggam tanganku setelah beberapa saat suasana


menghening.

“Prillo, kamu sebenarnya orang yang tepat untuk aku, hanya saat
kamu datang waktunya kurang tepat. Karena kondisiku masih kayak
gini. Aku terus melakukan hal-hal yang menyebalkan, dan kemudian
aku merasa buruk tentang diriku, dan entah bagaimana masih
berpikir bahwa itu akan membuatnya baik-baik saja, tetapi ternyata
tidak. Aku gagal untuk orang-orang di sekitaku, aku gagal untuk
diriku sendiri. Jujur, aku menyerah. Aku bahkan tidak ingin merasa
bahagia lagi. Terima kasih kamu sudah berusaha sebisa, sekuat
kamu untuk bantuin aku. Di saat semua orang menjauh, kamu tetap
bertahan, nggak pernah bosan ngasih semangat dan motivasi ke aku
yang udah gamau berharap apa-apa lagi. Tapi aku gamau nyakitin
kamu. Aku merasa belum siap buat kamu. Maaf aku pernah
memintamu untuk membantuku memperbaiki diri. Maaf aku
menyeretmu dalam hidupku yang rusak. Aku terlalu bermasalah
untuk kamu. Kamu pantas mendapatkan seseorang yang lebih baik
dariku.”

“Terima kasih. Untuk waktumu, untuk cintamu, untuk kasih


sayangmu. Karena untuk waktu yang singkat, kamu bisa membuatku
merasa aman, nyaman, tenang, membuatku merasa seperti aku
tahu bahwa aku tidak akan dibohongi yang mengatasnamakan cinta.
Terima kasih Prillo untuk semua kenangan indahnya,” katanya
tersenyum.
Aku tidak marah, dan aku tidak ingin menangis. Aku menghela
napas panjang. Bersikap tetap tenang dan memahami segala
penjelasan dari Mas Yogurt.

“Baiklah. Jika itu maumu. Aku pun tak bisa memaksamu untuk tetap
tinggal denganku. Tapi, kita masih bisa menjadi teman baik kan?”
ucapku menggenggam tangannya.

“Tentu. Kamu akan selalu menjadi sahabat terbaikku.”

“Dan jatah es krim Prilly ndak ikut pergi kan, Mas?”

“Hehhe. Enggak-enggak. Janji,” kata Mas Yogurt menyodorkan


kelingking tangannya.

Aku membalas menyodorkan kelingking tanganku dan melingkarkan


di kelingkingnya.

Mas Yogurt gelitikin perut sampingku. Tentu saja aku membalasnya.

Kami tertawa bersama.

Namun sesaat kemudian, ada sedikit lelehan air mata di pipiku.

Tidak ada yang bertahan selamanya

Dan pada akhirnya kita akan mengucap selamat tinggal

Bahkan terhadap hal-hal yang berusaha keras kita pertahankan


Itulah kenyataannya

Setidaknya kita masih bisa dekat dan saling menjaga

Setidaknya kita masih bisa saling berdampingan

Sebagai sahabat

Terima kasih Mas Yogurt

Terima kasih sudah mau bersamaku dan masih tetap bersamaku

Bahkan tanpa perasaan, kita masih bisa bersama


AGONIA
Qurrotu A'yun

Rasanya belum kering bunga melati dan mawar sumbangan


tetangga yang ditaburkan pada tanah merah yang menggunduk di
gang sebelah rumah. Ya, baru lima bulan yang lalu suamiku, Mas
Kamil pergi meninggalkanku untuk selamanya. Usia renta dan
beberapa penyakit yang kerap datang seakan sudah tidak mau lagi
dihalangi untuk mempertemukannya dengan kehidupannya saat ini.

Kelima anak, menantu, cucu-cucuku entah di mana mereka. Secara


fisik anak keduaku, Narti dan suaminya memang bersamaku di
rumah kecil nan pengap yang kami tempati. Pun, anak keempatku
yang sudah bercerai dengan istrinya, saat ini ia bersamaku. Kembali
ke pangkuan ibu adalah muara atas setiap lara. Karena istri dan dua
anaknya sudah tidak lagi menghormatinya sejak putraku sudah tidak
bisa lagi bekerja. Bukan ia tidak ingin bekerja, kehidupan sedang
bermain-main dengannya. Ia di depak tanpa ampun agar keluar dari
rumah yang ia bangun dari buliran keringatnya sejak lina tahun
silam. Narti dan saudaranya yang lain seakan tidak peduli
bagaimana nasib saudaranya itu. Usia tuaku juga tidak bisa banyak
membantu. Pergulatan rasa telah menyerangnya, di bawah titik nol.
Namun ia semakin jauh dari Tuhan. Rasa cinta kepada istri yang
dihempaskan begitu saja menjadikannya hatinya buta akan makna
hakikat Cinta yang sebenarnya. Manusia, habis manis sepah
dibuang. Kini, bermain dan berkumpul dengan pecinta burung dara
menjadi hiburan dan keluarga barunya. Tangisku tak lagi digubris,
omelanku hanya dianggap sebagai dagelan. Entah, aku tidak bisa
berbagi kepada sesiapa atas gelombang rasa yang menggulung-
gulung hati. Pagi buta ia sudah menghilang dari pandangan, bahkan
sedikitpun ia tak mau menyeruput secangkir kopi yang selalu
kusediakan di atas nakas yang sudah pudar warna catnya. Ia akan
datang dengan kelelahan, wajah kusam, rambut berantakan, dan
bau tak sedap yang memenuhi rumah kecil kami, sesaat aku mulai
menggelar sajadahku untuk mengarsir sepertiga malam.

Malam ini putraku tidak pulang, setelah paginya berpamitan pergi


ke Puskesmas. Pukul 02.00 dini hari gelapnya langit Surabaya seakan
memahami sesaknya dada. Kutatap langit dalam-dalam, ia
menumpahkan airnya, cukup deras, rupanya ia ingin membasahi
hatiku yang meranggas. Mondar-mandir aku di depan rumah tak
berteras dan membiarkan tubuhku kuyup oleh siraman hujan, "Di
mana Nardi, putraku Tuhan?" Semalam suntuk rasa kantuk tak juga
menyapaku. Tubuhku menggigil, demam mulai menguasai.
Eranganku tak sedikit pun terdengar oleh Narti. Entah ke mana juga
dia. Sehat pun dia tak peduli, apalagi jika aku sakit dan harus
merepotkannya. Aku bangkit tertatih saat ada ketukan pintu
terdengar dan kubuka perlahan. Terperangah saat melihat orang-
orang yang di depan pintu, tak satu pun aku mengenalnya. Mereka
bertiga berpakaian tidak biasa, entah pakaian apa namanya. Serba
putih dan bermasker. Wajah mereka tak terlihat hanya dua bola
matanya yang melihat iba terhadapku. Aku hanya tahu baju kebaya,
jarik, baju koko milik suamiku dan kaos putih oblong milik putraku,
Nardi. Sudut sudut kecil rumahku disemproti oleh mereka, aku dan
seluruh penghuni rumah tak boleh ke mana-mana, harus di dalam
rumah saja. Kami ODP, mereka bilang. Aku tak paham dengan yang
mereka katakan. Kebutuhan perut penghuni rumah kecilku dua
pekan ke depan akan dipenuhi. Sejuta tanya memenuhi kepala
tuaku. Otakku tak mampu mencerna setiap yang kulihat di depan
mata. Sebelum mereka meninggalkan rumah, mereka bilang jika
Nardi terbaring di Rumah Sakit rujukan. Covid 19 telah positif
dideritanya saat ini. Aku tidak boleh menjenguknya apalagi
menungguinya. Meski aku tidak mengerti dengan yang mereka
katakan, dunia rasanya gelap. Tubuhku melimbung seakan diterpa
angin puting beliung. Berbagi rasa kepada siapa aku juga tak tahu.
Bahkan iparku yang di sebelah rumah hanya memandangiku, lalu
menutup pintu rumahnya dengan rapat-rapat. Entah ke mana aku
harus meratap. Stigma negatif tentang Covid-19 seakan telah
membunuh empati, ia bagai momok dan aib. "Duh Nardi, jangan kau
susul Bapakmu dulu Le, sembuhlah, temani Ibu dalam memeluk hari
tua. Izinkan guratan senja di wajah Ibu yang tak lagi merona
membersamaimu mendekat kepada Sang Penguasa semesta."

Surabaya, 12052020
MENGUKIR SENYUM DI WAJAH SAUDARAKU

Fera Astuti

"Assalamu'alaikum. Aku bingung. 1200 ayamku siap untuk dipanen,


namun karena pandemi ini mereka semua tertahan. Bisa kau bantu
aku?"

Sebuah pesan WhatsApp dari salah satu temanku, bukan teman


dekat, hanya kenal saja. Entah dari mana dia mendapatkan
nomorku. Mungkin dari grup seangkatan kuliah, atau dari teman
dekatku, atau mungkin dari Facebook-ku. Ah, itu tak penting.
Kuputar otakku, bagaimana caraku membantu dia? Aku hanya
seorang guru honorer, yang juga harus memutar otak untuk bisa
tetap bertahan di tengah pandemi ini.

"Edisi bantu teman. Ada 1200 ayam pejantan yang siap dipanen,
karena corona ini sehingga cukup susah penjualannya. Monggo,
25.000 per ekor saja. Minat wapri.”

Bismillah, setelah semalaman tak bisa tidur karena ikut memikirkan


nasib temanku, akhirnya pagi ini usai menyiapkan sahur untuk
suamiku, kubuat status di WhatsApp-ku. Tak hanya itu, kukirim di
semua grup yang kupunya juga, tak lupa kusertakan suamiku dalam
misi ini. Dijadikannya status WhatsApp, dan dikirimnya pula ke
semua grup yang ada di HP suamiku, tentunya dengan menyertakan
foto si ayam yang siap dipinang.

Beragam komentar datang.

"Wah sekarang alih profesi jadi pedagang ya?"


"Ambil di mana itu ayamnya? Beneran itu harganya segitu? Jangan-
jangan itu ayam mati? Ehm, maksudnya, ayam mati terus dijual
murah!"

"Kok murah sih, jeng? Mau dong, aku ambil 60 ekor ya buat kujual
lagi."

"Itu beneran ayam pejantan Mbak? Pejantan tangguh bukan?"

Seperti irama lagu, kadang tertawa sendiri ketika membaca


komentar yang menggelitik perut. Agak kesal juga menanggapi
pertanyaan yang tak kunjung usai, yang pada akhirnya juga hanya
bertanya tanpa jadi membeli, dan hari itu ditutup dengan
tersenyum puas karena order ayam mencapai 290 ekor.
MasyaAllah, padahal belum ada 24 jam, tapi Allah menjawab
langsung kegelisahanku.

Kukabarkan kepada temanku, pesanan hari itu 290 ekor. Dia senang
bukan main. Aku ikut senang, walau aku tak mengambil untung
sepeser pun, karena niatku memang hanya membantu, bukan
berdagang.

Esoknya, kawanku mengabari bahwa ayam akan dikirim siang hari,


kemungkinan sampai rumahku setelah asar. Ya, jarak antara
rumahku dengan peternakan temanku cukup jauh, antarkota,
mungkin kurang lebih 35 km. Jarak sejauh itu tak menjadi soal,
mengingat ayam- ayam yang harus segera dipanen.

"Assalamualaikum, Ra, apa kabar? Ya Allah, lama sekali ya kita tidak


berjumpa, sampai pangling aku hehe."
"Waalaikumussalam. Alhamdulillah baik. Halah, bisa saja kamu,
wong saya pakai masker, ya semua jadi terlihat sama, haha. Kamu
sendiri apa kabar?"

Corona memang membawa petaka bagi sebagian orang, tapi juga


ada hikmah yang besar jika kita mau merenunginya. Buktinya,
karena corona ini silaturahim kami menjadi tersambung, bahkan
kami yang dulunya tak terlalu akrab, sekarang menjadi dekat karena
misi pembebasan ayam ini. Tak lama kami bercakap-cakap,
mengingat ayam yang harus segera didistribusikan kepada si empu
yang sudah meminangnya.

Kuserahkan uang sebanyak 7.250.000 rupiah kepada temanku.


Kulihat senyum mengembang di bibir temanku, aku terharu
melihatnya. Eits, tapi jangan kira uang sebanyak itu milikku ya!
Ketika aku begitu bersemangat mendapat pesanan 290 ekor ayam,
sesaat setelah itu baru terpikir olehku, mau dibayar pakai apa?
Haha. Harus memutar otak lagi, dengan mengucap bismillah lagi,
kuberanikan diri meminjam uang kas pengajian ibu-ibu di kampung.
Malu? Ya ada sih, tapi ketika mengingat temanku segera kutepis
rasa itu, lagipula aku pinjamnya tidak akan lama, segera akan
kubayarkan setelah ayam-ayam itu dibayar oleh para pemesan.

Kulirik jam dinding, waktu menunjukkan pukul 14.40. Segera


kukabarkan bahwa ayam siap diambil di rumahku. Apakah semua
berjalan mudah? Sayangnya tidak. Aku harus membeli kantong
plastik untuk membungkus ayam-ayam itu. Aku juga harus
menunggu cukup lama, pukul 15.30 baru ayam-ayam itu diambil
oleh para pemesan. Seketika rumahku menjadi pasar dadakan.
Banyak dari mereka yang harus antre demi mematuhi protokol
kesehatan yang disampaikan pemerintah, belum lagi jika aku harus
mencari uang kembalian mereka. Untungnya semua sudah
kusiapkan, beberapa lembar uang lima ribuan.
Aku dan suami terlarut dalam kegiatan ini, hingga tak terasa waktu
menunjukkan pukul lima sore.

"Waduh, Pak, sudah jam lima sore ini. Kok cepet banget ya, padahal
ibuk belum masak ki, gimana ini Pak?"

"Ya sudah, ibuk mandi dulu aja. Biar Bapak yang bersihin lantainya,
mesti dipel ini soalnya bau amis banget, Buk. Soal buka nanti
gampanglah Buk, kita masak mie instan saja ndak papa, waktunya
mepet buk, yang penting ada teh panas ya, Buk."

"Iya Pak. Ya Allah, maaf ya Pak, gara-gara Ibuk kemarin maksa


nolongin temen Ibuk, akhirnya Bapak ikut kerepotan, mana harus
ngepel lagi. Untung enggak, repot iya."

"Hush, jangan bilang gitu, Buk. Niat ibuk udah bener, mau nolongin
temen ibuk. Udah, gitu aja, jangan mikir aneh-aneh, soal untung,
cukup Allah yang akan cukupkan kebutuhan kita. Udah sana mandi,
udah bau amis tuh ibuk kayak ayam. Hehe."

Aku merasa puas hari itu. Walau aku tak mendapat keuntungan
berupa rupiah, tapi aku merasa menang. Walau aku tak sepenuhnya
menyelesaikan masalah temanku, tapi sedikit langkah kecil ini
mampu mengukir senyum di bibirnya.

Aku baru selesai mandi, dan suamiku baru selesai mengepel, tiba-
tiba ada seorang kurir datang, memberikan sebuah kantong plastik.
Kupastikan apakah benar bapak itu tidak salah alamat, karena aku
tak memesan apa pun sore itu. Kulihat nama di atas boks itu, benar,
tertulis nama dan alamatku. Tak salah. Kubuka boks itu, dan kami
dibuat terkejut. Sebuah kardus berisi empal daging sapi, dan satu
kardus lagi berisi roti keju kesukaan anakku. "MasyaAllah, kejutan
apa ini?"

"Buk, tahu ndak? Kemarin di masjid Bapak habis bercanda sama Pak
Anton."

"Bercanda gimana Pak?"

"Ya kemarin kan Pak Anton curhat, masak lauknya tahu tempe
terus, padahal sedang puasa masak tidak ada menu istimewa. Ya
sama kan buk dengan keluarga kita. Ya bapak trus bilang, 'Awas
nanti nanti kalau dikasih empal sapi, tahu rasa kamu!' hehe Bapak
bilang gitu buk sama Pak Anton."

"Ya Ampun ada-ada saja Bapak ini. Kalau ibuk sih tadi siang
membanyangkan semangkok bakso Pak. Kayaknya enak nih,
dimakan panas-panas terus dikasih sambel. Heemmmm, mantap
pastinya."

"Hihii, ibuk ki. Bersyukur to, ini sudah dapat kiriman dari Pak Budi
empal sapi. Jangan ngarep yang lain."

"Iya Pak. Ibuk kan juga cuma cerita saja. Alhamdulillah banget ya
Pak. Pas ibuk belum masak, pas dapat kiriman lauk dari Pak Budi.
Baik banget ya Pak Budi itu. Sudah kaya, dermawan lagi."

Tok tok tok. Terdengar pintu diketuk. Suamiku segera bergegas


keluar membuka pintu, tak ingin membuat tamu terlalu lama
menunggu karena aku masih mengenakan seragam dinasku, daster
sobek sebelah yang membuat sejuk semriwing. Hehe.

"Buk, nih, tanggung jawab kamu, gara-gara kamu mbatin bakso to,
sekarang ada yang mengirimkan bakso. Nih, gak tanggung-
tanggung, 1 bungkus, ini bisa untuk beberapa hari hlo, dan ibuk
tahu? Pengirimnya misterius, katanya ini buat kita dan tidak ada
nama terang pengirimnya," kata suamiku sambil tersenyum
berkaca-kaca.

"MasyaAllah, apalagi ini Pak? Ya Allah."

Hari itu penuh kejutan. Bermula dari niat kecil kami membuat
kawan kami tersenyum, tapi Allah balas dengan senyum
kebahagiaan berjuta kali lipat. Benar janji Allah, bahwa siapa yang
membantu saudaranya, maka Allah akan membantu dan
mencukupkan kebutuhannya, dan ini, tak butuh waktu lama, hanya
dalam hitungan jam saja Allah menjawab kebutuhan kami. Allahu
Akbar.
SCIZOFRENIA DAN HUJAN

Aulia Mumtaza

Januari 2013,

Hujan deras mengguyur Kota Solo siang ini, langit pun dihiasi
dengan kilatan petir yang menyambar. Suasana Jalan Slamet Riyadi,
salah satu jalan protokol di Kota Solo, masih tetap ramai dengan lalu
lalang berbagai macam kendaraan yang nekat menerobos derasnya
hujan. Mau gimana lagi? Hujan tetaplah hujan, urusan kerjaan
tetaplah mesti diselesaikan, mungkin itulah yang ada dalam pikiran
orang-orang itu, terlebih jasa delivery order makanan cepat saji,
laris sekali mereka di kala hujan seperti ini, beberapa bahkan berani
mengusung semboyan tiga puluh menit sampai atau kami gratiskan,
wuihh.

Entahlah sudah berapa banyak lalu lalang kendaraan delivery order


berlalu di depanku, aku tak memeperdulikannya, aku lebih memilih
duduk santai menikmati hujan dari balik kaca resto Jepang di salah
satu sudut Jalan Slamet Riyadi ini. Karena urusan hujan ini pulalah
rencana perjalananku di Kota Solo siang ini agak tertunda. Untung
saja klienku mau memahami kondisi ini dan mau menjadwal ulang
pertemuan yang seharusnya siang ini. Bagiku kota ini memiliki
sebuah kesan tersendiri, ini bukan perjalanan pertamaku ke kota ini.
Namun sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu ketika aku terakhir
berkunjung ke kota ini. Cukup banyak perubahan yang aku temukan
di kota terbesar kedua di Jawa Tengah ini.
Sambil menunggu pesenan makananku tiba, aku kembali fokus
menyelesaikan beberapa pekerjaan kantor di depan laptopku.
Sejumlah file-file laporan keuangan beberapa perusahaan swasta
dan BUMN menumpuk untuk diaudit segera. Pekerajaan sebagai
auditor salah satu lembaga audit asing kenamaan memang menjadi
prestige tersendiri buatku, walaupun kadang terasa memebosankan
namun akau sadar di sinilah jiwaku. Berkutat dengan berbagai
macam angka, statistik, neraca keuangan sudah menjadi makananku
sejak lama.

Sejenak aku mengalihkan perhatianku pada suasana restoran ini,


cukup cozy dan menyenangkan menghabiskan waktu di sini.
Ornamen khas Jepang berada di setiap penjuru ruangan, belum lagi
ditambah arsitektur interior gaya Asia Timur menjadikan suasana
benar-benar hidup. Meskipun begitu pengunjung di sini bisa
dibilang sepi siang ini. Cuma ada aku dan satu pengunjung lagi
terpaut lima meja denganku, seorang pria paruh baya dengan
kemeja hijau tengah asyik menikmati hidangan teriyaki yang ada di
depannya. Aku kembali fokus pada laptop di depanku.

"Permisi, Pak… ini pesenan bapak." Seorang pelayan muda


mengagetkanku.

"Oh iya makasih, Mbak..," kataku.

"Ada yang mau dipesan lagi, Pak?" pelayan itu berkata dengan
senyum manis.

"Oh cukup Mbak, makasih..."

"Kalau begitu saya permisi dulu, kalau ada tambahan bisa


mengubungi kami disebelah sana Pak..," katanya sambil
menunjukkan salah satu bagian restoran itu, bagian pemesanan
sekaligus kasir.

"Okey..," kataku pelan sambil melempar senyum pada pelayan itu.

Hidangan Sushi di depanku itu sudah menggodaku, ah...


kutinggalkan sejenak pekerjaan di laptopku. Baru berniat
menyantap sushi itu, sebuah Pesan SMS masuk ke smartphone-ku,
terpaksa kutunda keinginanku, kubuka dulu SMS itu, siapa tahu SMS
Penting, tuh bener kan SMS dari Manajerku,

From: Bos Rio

Adi buka email-mu segera ada job kamu yang mesti direvisi, dah
kukirim barusan catetan perbaikannya, deadline malam ini, besok
pagi mau dibawa ke klien kita. Nggak pake terlambat ya!!!

Fiuhh..!! kerjaan lagi.. nafsu makanku sejenak hilang.

"Nggak tahu apa di sini juga banyak kerjaan... yang ngirim ke Solo
siapa… yang nambahin kerjaan siapa," aku ngedumel sendiri.

Aku meminum jus sirsak yang ada di depanku, lumayanlah


meredakan emosiku.

Aku mengalihkan perhatianku pada pelayan yang mengantarkan


pesananku tadi, ia mengobrol di depan meja kasir bersama salah
seorang rekannya. Sesaat kemudian Ia menoleh padaku dan
melempar senyum. Ah… bodoh kenapa malah melakukan tindakan
nggak jelas kayak gini.

Aku menarik napas pelan, bukan pelayan itu yang menarik


perhatianku melainkan seseorang yang lain, wajah pelayan itu
mengingatkanku pada sesosok perempuan yang kutemui di bandara
tadi pagi. Sama-sama memiliki gurat wajah oriental, mereka agak
mirip, walaupun kubilang masih lebih cantik perempuan yang
kutemui di bandara tadi. Sayang tadi aku tidak sempat berkenalan,
hanya sesaat berjumpa ketika sama-sama mengambil koper, namun
senyum itu bener-benar kuingat, ah andai saja bisa bertemu lagi
dengan perempuan itu.

Aku tertawa sendiri, "Ngarep dan ngayal tingkat tinggi nih"

Aku pun menikmati sushi di depanku. Tak perduli dengan segudang


beban pekerjaan yang mesti kuselesaikan, sekarang adalah saatnya
bersantai.

Terdengar bunyi gemericing tanda pintu masuk dibuka,


menandakan ada pengunjung datang, entah karyawan ataupun
beneran pengunjung aku tak peduli. Namun aku benar-benar
terkejut,

"Oh My God..." aku tersentak kaget

Wajah itu… mantel hitam yang dikenakannya... tidak salah lagi itu
Perempuan yang kulihat di bandara tadi. Aku mengamati
Perempuan itu, ia berjalan menuju meja pelayan dan tampak
memesan makanan. Kulihat ia masih terdiam di depan sana. Pelayan
yang mempersilahkan duduk duluan tidak digubrisnya, mungkin dia
menunggu pesenannnya langsung. Tak lama kemudian setelah
pesenannya jadi Ia pun berjalan menuju salah satu meja.
Perempuan itu berjalan mendekat ke arahku, akhirnya ia mengambil
tempat duduk tak jauh dari tempatku. Hanya terpaut satu meja. Aku
benar-benar tak percaya dengan apa yang kulihat, dia beneran
perempuan yang tadi, aku tak mungkin salah. Aku mengamati serius
tajam ke arahnya. Dia berbalik menatapku dan tersenyum padaku,

"Anjriit... senyumnya bikin lupa urusan di sini."

Aku beralih lagi pada hidangan di depanku. Grogi, Nervous apa pun
istilahnya, sekarang inilah yang kurasakan. Aku hanya mencuri-curi
pandang.

Kulihat perempuan itu menghentikan aktivitas makannya dan


beralih menuliskan sesuatu di buku agendanya. Tak lama, ia pun
meneruskan aktivitas makannya kembali.

“Ayo Di, sampai kapan kau mau diam gini terus... sapa terus ajak
ngobrol... jangan bengong aja kayak di bandara tadi." Aku
memotivasi diri sendiri.

Sebuah dering telepon terdengar, kulihat perempuan itu tergesa-


gesa mengambil HP yang ada di tasnya, kakinya menendang meja
makannya, ia meringis kesakitan, pulpen hitam yang ada di mejanya
jatuh ke lantai, menggelinding tepat di bawah kakiku.

"Ah… awalan yang bagus untuk memulai obrolan," pikirku.


Aku memungut pulpen itu, kuamati merknya, Montblank, sebuah
pulpen mahal dan eksklusif, dari situ aku mengerti kelas sosialnya,
"Okey...it's fine..," kataku.

Aku berjalan mendekat ketika dia sudah selesai dengan obrolan di


telepon.

"Maaf Mbak.. ini pulpennya jatuh tadi.."

"Oh iya mas makasih... tadi buru-buru sih ngangkat telepon sampai
nendang meja ini segala."

"Ehhmm... boleh saya duduk di sini?" ucapku basa-basi.

"Silakan..."

Ahaa... awalan yang bagus.

"Sendirian aja ke sini..?"

"Kelihatannya..."

"Oh... betul juga pertanyaan bodoh ya... hehehe."

Aku terdiam sejenak, jangan sampai salah bicara lagi.

"Adi…" Aku mengenalkan diri sambil mengajaknya bersalaman.

Lagi-lagi dia melemparkan senyum manisnya,

"Viska…" dia membalas.

"Nama yang bagus..," komentarku singkat.

Dia hanya tersenyum saja.

"Perasaan kita pernah bertemu tapi di mana ya mas..," Ia berusaha


mengingat-ingat sesuatu
"Saya juga berpikir begitu mbak... Bandara Adi Sumarmo tadi
pagi..?" Aku berusaha memancing, nggak enak jika harus to the
point.

Kulihat dia melongo kaget,

"Ah...iya..ya, saat ngambil koper kan... pantes."

Aku tertawa kecil,

"Kok ketawa mas..? Ada yang lucu?" tanya dia.

"Enggak... cuma kurasa ini bukan kebetulan, tapi.."

"Tapi apa mas..?"

"Tapi takdir..!"

Kami berdua pun kompak tertawa. Kulihat dia meminum softdrink


yang dipesannya, ia agak tersedak. Kami terdiam sejenak.

"Mbak Viska asli sini..?" aku melanjutkan obrolan.

"Panggil aja Viska.. . biar lebih akrab, sepertinya kita seusia. Iya aku
asli sini, rumahku di daerah Laweyan... sejak SD sampai SMA aku di
Solo, lanjut kuliah di Nanyang dan sekarang kerja di Jakarta..."

"Nanyang… Singapura? Wah keren..!"

Ia hanya mengangguk.

"Kamu asli Solo juga? " Ia balas bertanya.

"Enggak… aku dari kecil di Jakarta, ayahku dari Padang, ibu dari
Jogja, tapi aku punya paman di Solo, cuma sudah lama aku nggak ke
sini... sudah banyak yang berubah..."
"Betul banget... aku juga ngerasa begitu... terlebih setelah punya
wali kota seperti Pak Jokowi Kota Solo banyak sekali
perubahannya... sayang dia sekarang sudah pindah, milih ngurusin
Jakarta, yang aku tahu sendiri masalahnya sudah kompleks… belum
yakin akan beres meski dipimpin sama Jokowi sekalipun... ah..!
Sudahlah... nggak usah dipikirin urusan politik macam itu..," ia
berkata panjang lebar

"Viska di Jakarta kerja di mana..?" aku masih berusaha menggali info


lebih dalam lagi. Modus..

"Di sebuah perusahaan Kurator, kantorku di Sudirman…"

"Wah sama dong kantorku juga di sekitaran Sudirman..."

Kulihat dia sekali lagi terkejut.

Aku tersenyum puas, sementara kulihat Viska hanya geleng-geleng


kepala.

"Kubilang juga apa... ini bukan kebetulan tapi takdir... sebentar aku
ambil kartu namaku dulu..."

Aku mengambil kartu nama di dompetku. Ah mana kartu namaku.


Kok nggak ketemu... biasanya juga mudah dicari… hampir setengah
menit aku mencari... ah ini dia.

Saat akan kuserahkan pada Viska, aku kaget ketika seorang pelayan
menegurku,

"Maaf Pak, Bapak ngobrol dengan siapa..?" katanya

"Mbak gimana sih...nggak tahu apa saya lagi ngobrol sama


perempuan di depan..?" jawabku dengan emosi.

Wajah pelayan itu keheranan,


"Mohon maaf Pak... dari tadi meja di depan bapak itu kosong...
karena dari kejauhan kulihat bapak ngobrol sendiri makanya saya
datang ke sini… mungkin ada masalah."

"Enak aja saya dibilang ngobrol sendiri..., nih makanan masih ada di
atas meja, Viska yang saya ajak bicara juga masih ada kalau mbak
mau ngobrol, kalau masih nggak percaya, coba tanya sama bapak
itu... Masak saya dibilang ngobrol sendirian sih.. emangnya saya
gila!"

Pelayan itu masih menggeleng-gelengkan kepala sambil


memandang ke arah pria paruh baya yang kumaksud.

Bapak itu mendekat pada kami,

"Dek…dari tadi saya juga merhatiin kamu itu sendirian… pengunjung


resto ini dari tadi cuma kita berdua… nggak ada yang lain, saya juga
aneh ngelihat tingkahmu dari tadi... kayak orang linglung," kata
Bapak itu.

Brakk!!! Aku mengebrak meja di depanku.

"Kalian jangan sembarangan kalau ngomong ya… lihat Viska masih


ada di depan..!" kataku sambil menunjuk pada Viska.

Kulihat Viska tersenyum dan kemudian berdiri, dari wajahnya


kulihat diat tidak suka dengan keributan ini. Ia pun berlalu pergi
meninggalkan kami. Aku berusaha mengejar, tapi pelayan itu
menahanku.
"Maaf bapak... Resto ini dilengkapi CCTV kalau nggak percaya mari
kita lihat rekamannya..," kata pelayan itu, "Kami juga tidak melayani
pesanan setelah bapak tadi…"

"Adek sakit ya..?" tanya bapak itu.

"Terserah kalian mau bilang apa...!!!"

Aku kalap mengeluarkan lima lembar seratus ribuan.

"Nih... aku bayar makanan pesananku tadi sekalian punya Viska…


lihat dia sudah pergi duluan... kulihat dia belum bayar juga tadi…
ambil saja kembaliannya," kataku dengan Ketus.

Aku pun kembali kemejaku memberesi semua barang-barangku dan


berniat mengejar perempuan bernama Viska tadi. Pundakku terasa
sakit ketika Bapak paruh baya itu menggengam erat pundakku.
Pandangannya tajam padaku. Aku berusaha melawan, namun
sebuah pukulan mendarat di ulu hatiku menyebabkanku lemas dan
tertunduk dikursi.

Samar-samar kudengar suara bapak itu.

"Mbak tolong telepon ambulans segera..."

Pandanganku kabur seketika...

****************************************

Skizofrenia adalah gangguan kejiwaan dan kondisi medis yag


memengaruhi fungsi otak manusia, memengaruhi fungsi normal
kognitif, emosional, dan tingkah laku. Ia adalah gangguan jiwa
psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif, sering
kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi
(persepsi tanpa ada rangsang pancaindra).
MENGUNJUNGI MASA LALU

Yoe Irawan

Setiap orang selalu menyukai masa lalunya, sepahit atau


sesial apa pun masa lalu itu. Tak ada yang tak indah diceritakan
segala sesuatu yang telah lampau. Seperti orang-orang tua yang
senang membanggakan masa mudanya di hadapan anak-anaknya.
Banyak anak-anak yang tak menyukai cerita seperti itu. Tetapi tidak
bagi Vito.

“Tak ada air mata dan sangat indah,” ujar Vito pada Zen
sahabatnya.

Vito tak berasal dari masa lalu. Kalau kata Zen, Vito anak
kemarin sore. Tetapi orang-orang menyebutnya generasi Z. Lebih
muda ketimbang generasi milenial. Zen dan teman-teman lainnya
merasa kalau Vito tak seperti anak akhir zaman. Vito seorang yang
sangat menyukai segala sesuatu yang berbau kuno. Sesuatu yang
tak banyak dijumpai lagi di masa kini kecuali sesuatu itu berada di
musium atau cagar budaya. Atau pada benda-benda antik yang
masih diburu dan disimpan oleh para kolektor.

“Masa Indonesia paling enak untuk ditinggali,” kata Vito


ketika ia memperlihatkan foto-foto lama Jakarta di tahun 60-an
kepada Zen.

Poto Jakarta yang masih lengang di antara empang dan


rawa. Masih banyak tanah kosong hijau dan rumah yang belum
saling himpit. Jalan rayanya tak ramai karena kendaraan masih
minimalis. Jalanan didominasi becak dan sepeda pancal. Gedung-
gedung belumlah mencakar langit. Udara tampak masih segar.
Langitnya bersih dari asap polusi.

Foto dan video lama, bagi Vito, adalah sarana terbaik untuk
mengetahui puluhan tahun segala benda dan peristiwa yang pernah
singgah menjadi perjalanan bangsanya. Tak sulit mendapatkan foto
atau video dari masa lampau. Semua bertebaran di internet. Di
akun-akun media sosial. Maka Vito menjadi tampak aneh. Seleranya
aneh. Cara berpakaiannya aneh. Kemeja dan celana yang
dikenakannya aneh. Vito menjadi tampak lebih tua ketimbang
usianya.

Karena penampilannya yang aneh itu pula, selepas SMA Vito


tak bisa langsung mendapat pekerjaan. Sedang melanjutkan kuliah
tak mungkin. Ayahnya hanyalah seorang buruh pabrik dan ibunya
terlalu sibuk mengurusi ke empat adik Vito. Untuk mempekerjakan
Vito di perusahaannya, seorang kepala personalia akan berpikir
seratus kali. Vito memang gagal meyakinkan siapa pun.

Karena alasan itu barangkali yang membuat Vito kian


membenci zamannya. Bagi hari demi hari Vito, Indonesia adalah
sebuah wilayah yang semrawut dan tak berkeadilan. Ketidakadilan
yang menumbuhkan keputusasaan. Ketidakadilan yang
menyuburkan sikap egois dan brutal. Orang-orang dengan mudah
menjadi pencoleng bagi orang lain. Yang kuat akan selalu mampu
mengalahkan yang lemah.

Tubuh Vito memang kerempeng dan tampak begitu ringkih.


Ia seperti pemuda kurang gizi. Rambutnya yang sedikit panjang dan
tampak jarang-jarang mempertegas hal itu.

“Jakarta tidak asyik lagi!” maki Vito selepas Zen


mengabarinya kalau ia telah diterima di sebuah perusahaan besar
milik investor Tiongkok.
“Mungkin belum rezeki kamu, Vit. Teruslah berusaha…”
hibur Zen pada sahabat anehnya yang tak juga mendapat pekerjaan
itu.

Zen ingin agar Vito tak menyerah membuat surat lamaran


kerja. Atau jika tidak, Zen meminta Vito untuk berdagang saja.
Barangkali di situ letak keberuntungannya.

“Jakarta itu seperti hutan buas, Zen. Semua saling terkam,”


rutuk Vito masgul.

Zen menyerah. Ia tak bisa membujuk Vito yang merajuk.


Dan jika sudah begitu, Vito akan menarik diri. Ia akan larut dengan
dunianya sendiri. Dunia masa lalu yang hidup di diri Vito.

“Tapi kamu tak mengenal masa lalu, Vit.”

“Aku mengenalnya melebihi siapa pun! Aku mengenalnya


melebihi gubernur, presiden, dan para menterinya!”

Aneh memang. Jelas-jelas Vito terlahir di Kota Jakarta jauh


setelah perang dingin usai. Jauh dari peristiwa ketika Soekarno dan
Hatta memproklamirkan kemerdekaan. Jauh dari kedatangan
belanda yang hendak menjajah Indonesia lagi dengan membonceng
tentara Nica. Jauh dari peristiwa ketika Indonesia menjadi negara
serikat. Jauh dari peristiwa silih bergantinya kabinet di masa
demokrasi liberal. Jauh dari peristiwa menguatnya kekuatan
komunis yang berseberangan dengan militer. Jauh dari peristiwa
Lubang Buaya yang mengenaskan. Bahkan jauh dari orde baru
dengan kekuasaannya yang panjang.

Tetapi Vito kadung jatuh cinta pada masa lalu yang tak
kejam di matanya. Jakarta adalah sebuah kota yang baru merdeka
dan nampak ramah bagi penduduknya. Ketika Ciliwung masih jernih
dan ibu-ibu masih mencuci pakaian dan mandi di tepiannya. Ketika
anak-anak belum dikuasai jajanan dalam kemasan plastik dan
permainan mereka bukanlah telepon genggam.

“Kalau aku boleh memilih, aku akan memilih hidup di tahun


enam puluhan.”

Kepada siapa pun Vito selalu bercerita tentang nyamannya


menjadi warga negara di tahun-tahun itu. Menurutnya Jakarta di
tahun-tahun itu adalah sebuah kampung yang ramah yang ditinggali
oleh orang-orang yang ramah. Tentu sangat menyenangkan jika bisa
menjadi bagian dari masa-masa itu. Vito tak terlalu menyukai istilah
di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.

“Zaman ini menolakku. Bagaimana aku akan menjunjung


langitnya?” ujar Vito ketus.

Vito merasa ia terlahir di zaman yang salah. Zen dan teman-


temannya juga menganggap demikian. Tetapi mereka berusaha
untuk memahami Vito. Kemiskinan dan ketersisihannya barangkali
yang membuat Vito merasa tak bisa mencintai zamannya.

******

Vito tertawa keras ketika ia tahu ia telah berada di


Lapangan Banteng tahun 1966. Ia merentangkan tangannya dan
menghirup udara kuat-kuat. Udara Jakarta tahun enam puluhan
yang sangat ia rindukan. Dan benar, segar sekali rasanya.

“Aku datang Jakarta!” teriak Vito dengan kedua tangan


terentang ke langit.

Ia berdiri di sebuah lapangan berumput liar. Di seberangnya


berdiri kokoh Patung Pembebasan Irian Barat. Sedang di
belakangnya, cukup terlihat kuncup Tugu Monas.

Betapa girangnya Vito saat belum lama ini seseorang


memberitahunya bahwa ia adalah seorang esper yang memiliki
kemampuan bilokasi. Vito sendiri tak yakin dengan kabar itu. Ia tak
terlalu mengerti teori dan keyakinan seperti itu. Bagaimana
mungkin ia bisa berada di tempat yang sama dalam waktu yang
berbeda, bahkan di zaman yang berbeda pula. Apakah ia telah
dianugerahi ilmu kage bunshin no jutsu? Ilmu menggandakan diri
ala Naruto?

Atau bisa jadi ia tengah mengalami de javu? Tapi tak


mungkinlah. Ia belum lahir di tahun enam puluhan. Ia tak pernah
berdiri di Lapangan Banteng pada puluhan tahun yang lalu seperti
yang ia lakukan hari ini. Apalagi jelas-jelas arloji di tangannya
menunjukkan jika hari ini adalah salah satu hari dan bulan di tahun
1966.

Mungkin semua ini sekadar mimpi. Mimpi yang tampak


nyata. Apa pun itu, Vito ingin benar-benar meresapi kehadirannya.
Jika ini mimpi, ia ingin mimpi ini menjadi mimpi yang nyaris nyata. Ia
ingin melihat detil segala sesuatunya dengan mata yang sebenar-
benar mata. Bukan mata yang ada dalam pikiran. Bukan bayangan-
bayangan.

Vito lalu menyentuh dan merasakan sungguh-sungguh


rumput yang tumbuh di situ. Terasa benar rumput itu di telapak
tangannya. Terasa lembut dan kasar permukaan daun-daunnya.
Bahkan aromanya pun terhirup sempurna. Betapa segarnya!

Vito memandang awan yang berarak di atas tangan patung


Pembebasan Irian Barat itu. Ia amati betul. Ia ingin segalanya tak
samar. Ia ingin secara sadar telah benar-benar mengunjungi masa
lalu. Dan benar, awan itu berarak di atas kepala dan di antara rantai
putus yang memisahkan belenggu pada kedua tangan patung
pembebasan itu.

Beberapa mobil kuno nampak melintas dengan kecepatan


sedang. Pemilik sedan-sedan itu pastilah orang kaya. Mungkin
pejabat atau kaum juragan. Ada Volkswagen, Morris Minor,
Peugeot, dan tentu saja Mercedes Benz. Mereka melenggang bak
raja jalanan. Sementara satu dua oplet melaju di antara sedan-
sedan itu. Namun jalanan masih didominasi oleh becak dan sepeda
tentu saja.

“Terserahlah mau mengatakan jika sejarah tak bisa


dipercaya!”

Girang hati Vito. Ia melenggang di jalanan Jakarta.


Merasakan aura masa lalu yang nikmat.

Zen pernah mengatakan, sejarah bangsa selalu ditulis oleh


penguasa. Dan setiap kali penguasa menuliskan sejarah, itu sama
saja dengan seorang penculik yang mencerabut seorang anak dari
garis keturunan dan hak-hak masa depannya.

“Sok tahu!” Vito mendengus.

Tepatnya Vito tak mau tahu tentang itu semua. Ia tak


mengerti tentang perdebatan sejarah. Penulisan sejarah tentu saja
tak sesuram yang Zen gambarkan. Itu berlebihan. Namun apa pun
itu, baginya yang paling penting adalah ia bisa menjenguk masa lalu
Jakarta. Masa lalu yang sangat diidamkannya. Luas wilayahnya
mungkin sama, tapi tak menghimpit warganya. Tak berdesak-
desakan, tumpang tindih. Dan yang paling penting, tak saling
mengalahkan.

Hal pertama yang Vito lakukan adalah duduk-duduk di


warung kayu di dekat Sungai Ciliwung. Ia memesan kopi hitam. Kopi
disajikan dalam cangkir kaleng bermotif blurik. Ia ingat, kakeknya
dulu pernah punya gelas seperti itu. Dan benar, Ciliwung itu tak
hitam airnya. Masih bersih tanpa sampah. Warnanya kecokelatan
yang tak pekat. Mendekati jernih malah. Dua buah getek melintas di
atasnya.
“Nikmatnya…” Vito menyeruput kopi panas itu. lalu
mengambil sepotong pisang goreng yang juga masih panas.

Pedagangnya seorang perempuan berkebaya. Usianya


belumlah terlalu tua. Vito berusaha menikmati pisangnya
sedemikian rupa. Ia tak mau kehilangan kenikmatan masa lalu dari
setiap gigitannya.

“Enak ya, Bang?” tanya perempuan penjual kopi kepada


Vito., … “Habis jalan jauh?”

Sepertinya perempuan itu takjub melihat cara Vito


menyantap pisang goreng dan menyeruput kopinya. Seolah itu
adalah gigitan dan seruputan terakhir sebelum ia tak akan menggigit
dan menyeruput lagi. Kepala Vito sampai tergeleng-geleng.
Beberapa lelaki yang ada di dekatnya tertawa. Vito menghitung ada
lima lelaki di sana. Mungkin mereka pedagang yang mampir
beristirahat setelah lelah berkeliling.

“Ini pisang terlezat yang pernah saya makan, Mpok…,” ujar


Vito yang membuat perempuan penjual kopi itu tersipu senang.

“Bisa saja si Abang…”

Ah, Jakarta masa lalu. Jakarta yang asyik. Ingin ia mengajak


Zen atau teman lainnya yang selalu menyinyiri dirinya. Ia ingin
mereka melihat bahwa Jakarta di tahun ini sangatlah indah untuk
ditinggali. Aroma perjuangannya masih kental. Setelah lepas dari
Jepang dan Belanda. Dan setahun lalu telah terjadi penumpasan
besar-besaran orang-orang komunis.

Harusnya menyeruput kopi di warung ini akan lebih nikmat


jika ditemani lagu-lagu Koes Bersaudara atau Mashabi. Bisa juga
mendengarkan Dara Puspita yang tengah naik daun. Atau bolehlah
langgam keroncong yang mendayu-dayu. Tapi tak apalah. Suara
angin Jakarta saja sudah cukup. Ditambah sesekali ditingkahi suara
klakson oplet dan dering bel sepeda onthel.

“Abang orang baru, ya?” tanya seorang lelaki yang paling


sudut. Ia seorang pedagang perabot dapur. Ada handuk tersangkut
di pundaknya.

“Saya orang sini juga, Bang.”

Vito bersyukur ia tengah mengenakan pakaian model lama.


Dan itu memang kegemarannya. Tak terbayang jika ia
berpenampilan seperti Zen. Tentu mereka akan memandanginya
dengan keheranan.

Akhirnya Vito terlibat percakapan yang seru dengan


mereka. percakapan yang hangat penuh tawa. Vito senang. Sangat
senang malah. Ia kini tak lagi berandai-andai dengan masa lalu. Ia
kini telah menjadi bagian dari masa lalu.

“Masih bersyukur kita, Bang. Masih bisa ngopi-ngopi. Ini


zaman susah. Semua serba susah,” ujar seseorang lelaki yang lain.

“Betul itu. Kita syukuri saja semua. Minyak tanah mahalnya


luar biasa,” timpal perempuan penjual kopi.

“Masih untung pisang ini digoreng. Kalau tidak, makan


pisang bakarlah kita,” timpal yang lain dan meledaklah tawa
mereka.

Hmm, Jakarta yang ramah, pikir Vito. Berbicara dan tertawa


dengan orang asing begitu mudahnya. Seperti acara kumpul
keluarga saja. Membicarakan kesusahan dengan senda-gurau. Meski
perempuan pemilik warung itu bercerita tentang sulitnya mencari
minyak tanah. Di mana-mana tak ada. Kalau pun ada, harus
mengantri dan harganya nyaris membuatnya putus asa.
Vito mengerti tahun 1966 adalah masa akhir kekuasaan
Soekarno dan awal kekuasaan Soeharto. Banyak peristiwa politik
dengan suhu tinggi yang terjadi. Dan itu menjadi petaka bagi banyak
orang. Terutama rakyat kecil. Kaum proletar dan jelata.

“Tangkap!”

“Maling! Itu maling!!”

“Tangkap maling itu!”

Vito, perempuan pemilik warung kopi dan para lelaki yang


tengah asyik mengobrol dikejutkan oleh serombongan orang yang
berlari mengejar seorang pemuda yang juga berlari lintang pukang.
Mereka muncul dari seberang jalan dan berhamburan ke arah
Ciliwung.

“Sebentar, Mpok!” seru Vito kepada perempuan penjual


kopi saat dirinya memutuskan untuk ikut mengejar.

Ini saat yang tepat untuk segera pergi karena ia tiba-tiba


teringat sesuatu. Ia tak membawa uang lama. Bagaimana ia akan
membayar kopi? Kalau toh di saku celananya masih tersisa uang,
pastilah itu uang yang berbeda. Tadi ia tak sempat berpikir begitu
dan langsung memesan kopi dan melahap beberapa potong pisang
goreng.

Sekuat tenaga Vito berusaha menyusul. Beruntunglah ia


memang kencang jika berlari. Zen saja angkat tangan kalau harus
beradu lari dengannya. Maka tak lama Vito berhasil mengejar
orang-orang yang sedang mengejar pemuda itu. Bahkan Vito
berhasil menyusul mereka semua. Ia kini berada paling depan dan
tinggal beberapa langkah lagi akan bisa ia tangkap pemuda itu.

Vito selalu geram dengan para maling. Ia memang miskin. Ia


lelaki apes. Tapi tak pernah ia menjadi maling. Baginya percuma
memaki koruptor jika dirinya juga seorang maling. Tak ada bedanya.
Tak ada alasan. Termasuk jika ketidakadilan menjadi alasan
seseorang menjadi maling. Kalau barusan ia tak membayar kopi, itu
persoalan darurat. Nanti saja ia pikirkan hal itu belakangan.

Rupanya pemuda itu larinya sekencang dirinya. Badannya


yang kurus juga lincah. Orang-orang yang mengejar sudah tertinggal
jauh. Kini hanya dirinya dan pemuda itu beradu cepat.

“Ini tidak adil! Aku membenci zaman ini!”

Pemuda yang dikejarnya tiba-tiba berteriak kencang dalam


larinya. Tentu saja Vito terkejut dibuatnya. Ia terkejut bukan saja
karena pemuda itu mendadak berteriak kencang, tetapi ia begitu
mengenali suara pemuda kerempeng itu.

“Zaman ini menolakku! Aku tak suka di sini!”

Mungkin karena sambil berteriak, lari pemuda itu sedikit


melemah. Vito pun mengambil kesempatan. Ia melompat dan
menubrukkan badannya ke tubuh pemuda itu. Mereka berdua jatuh
bergulingan di tepi Ciliwung.

Di saat itulah Vito melihat jelas wajah pemuda yang


berteriak memaki zaman itu. Ya, Vito mengenal betul karena ia
melihat wajahnya sendiri. Ya, ya, ia telah menangkap dirinya sendiri
di zaman yang berbeda dari zamannya.

Sukabumi, 23 April 2020


Cinta: Perlahan seperti Kentang Goreng

Firdhaussi

Sudah tengah malam, tapi jalanan masih juga belum sepi. Angkutan
masih berlalu lalang, supir-supir juga masih berebut penumpang.
Ekonomi memang tidak pernah mengizinkan manusia untuk tidur.
Kamu bilang kamu lapar, jadi malam ini kita putuskan untuk makan
saja di Restoran Mc Dougall (nama samaran).

Kamu memesan makanan dengan bersemangat, tidak lupa


minuman bersoda khas restoran cepat saji. Aku sendiri, cuma
makan es krim rasa stroberi. Dingin saja sudah cukup untuk
perasaanku saat ini.

“Ngga lapar?” Kamu bertanya.

Melihatmu makan dengan lahap seperti ini saja, aku sudah kenyang.
Tapi jawaban itu kusimpan saja dalam hati.

“Tadi kan sudah makan. Ini aja udah enak banget,” kujawab
pertanyaanmu dengan mulut penuh es krim.

Di piringmu tinggal tersisa potongan ayam terakhir, kamu masih saja


lahap. Saus sambal pun masih banyak. Aku suka sekali wajamu kalau
sedang makan seperti ini. Seperti anak kecil yang tidak diberi makan
ibunya tiga hari.
“Masih lapar ya?” Kuputuskan untuk bertanya demi tidak tahan
melihatmu masih lahap.

Kamu mendongkakkan wajah. Lucu sekali, wajah ingin merengek


tapi gengsi. Lalu dengan wajah sok polos itu kamu bertanya, “Kamu
nggak pengen beli kentang?” Hahahahaa. Dasar, kamu.

Aku beli kentang goreng ukuran kecil dan kutaruh di meja. Lalu, kita
makan dengan lahapnya. Sampai akhirnya kita diam dan menyadari
sesuatu. Kentang goreng di meja sudah hampir habis. Kita cepat
sekali makan kentang goreng.

Kamu menyeletuk, “Eh coba yuk, makan kentang gorengya dikit-


dikit. Satu kentang, tiga gigitan terus cuma boleh dikunyah pakai gigi
depan.”

Lalu kita lanjutkan acara makan kentang goreng itu dengan


tantangan yang kamu tawarkan. Awalnya aneh dan nggak sabar,
tapi lama-lama nikmat juga ya. Kentangnya juga jadi terasa banyak.

“Tuh kan, kalau makannya begini kentangnya jadi kerasa banyak. Ini
namanya, menikmati makanan.” Kamu masih saja semangat
berteori.
“Iya ya, aku kunyahnya juga 32 kali satu gigitan kentang. Sekalian
latihan jadi orang kurus hehehe.”

Sambil makan kentang dengan teknik yang kamu ajarkan tadi, kamu
tiba-tiba bertanya lagi “Eh, sadar ngga kalau kita minum pakai
sedotan itu lebih cepet kenyang dibanding ngga pakai. Tahu nggak
kenapa?”

Aku mengangguk dan berdehem. Mengiyakan pernyataannya


barusan. Lalu cepat-cepat menggeleng menandakan ketidaktahuan
atas pertanyaannya berikutnya.

“Kalau kita minum pakai sedotan itu lebih cepat kenyang karena kita
minumnya dikit-dikit. Lebih menikmati minumannya. Kalau
minumnya langsung, mau seberapa banyak juga susah kenyangnya.
Sama kaya kentang tadi,” teorimu keluar lagi.

Untuk kesekian kalinya aku setuju pada pernyataanmu. Sekaligus,


membuatku teringat dengan kalimat Dewi Lestari Jatuh cintalah
perlahan-lahan. Jangan sekaligus. Mungkin Dee benar, dan kamu
pun juga benar. Jangan pernah jatuh cinta dengan sekaligus, tapi
perlahan-lahan. Seperti kita menikmati minuman dan kentang
goreng, maka kita akan lebih bisa menikmati cinta kita sendiri. Cinta
yang datangnya pelan-pelan juga tidak akan cepat habis dan akan
bertahan lebih lama.
“Pulang sekarang yuk,” suaramu memaksaku keluar dari lamunan
dengan tiba-tiba. Kita pun berjalan keluar restoran. Kamu berjalan
di depan seperti biasanya. Dari balik punggung tegapmu, aku
tersenyum. Pelan-pelan, aku mencintaimu.

AKHIR-AWAL

Dwi Oktaviyanti

09.30 p.m.

“Sibuk?” kirim. Singkat, padat, dan tidak jelas. Cukup berani, pikirku.
1 menit, 2 menit, 3 menit. Tidak ada balasan. Suara jangkrik beradu
malam ini, suara tokek dan katak juga tak mau kalah. Malam ini,
malam yang benar-benar kupikirkan secara matang. Kupikirkan dari
awal hingga akhir. Kupikirkan tentang kata, frasa, hingga kalimat
yang akan terlontarkan. Aku mendesah. Kali ini aku akan menyerah
dan memilih hari lain. Tapi kapan lagi?

Aku akan benar-benar menyerah di pukul 10.00 apabila tidak ada


jawaban. Mataku sayup hampir terpejam saat suara notifikasi pesan
masuk. “Tidak, kenapa Bu?”

Dadaku bergemuruh, otakku membeku, napasku cepat hingga


tersenggal. Tanganku bergetar. “Aku takut,” lirihku kembali. “Tidak,
kamu tidak mungkin memikirkan hari lain bukan?” Tanganku
bergetar mengetikkan pesan. “Gapapa, hanya ingin ngobrol,” kirim.

Mataku terpejam, jantungku tidak bisa diajak berkompromi. Suara


notifikasi pesan masuk, kembali kudengar. “Mau ngobrol apa?” Aku
bangun dari posisi tidurku. Napas panjangku ambil untuk kesekian
kalinya. Satu, dua, tiga, empat. Sepuluh... aku siap. Aku mengambil
ponselku yang tergeletak di dekat bantalku. Aku membaca pesan
terakhirnya, namun tak kubalas. Aku memencet nomor yang tertera
di sana +628…18. layarku berganti warna biru dan terpampang dua
manusia dengan senyum terbaiknya sedang bergaya, di bawahnya
tertulis ‘memanggil..’

“Hallo...”

“Rasa penyesalan itu terlalu besar, Ra,” ucapnya sambil menulis


suratnya.

“Aku sudah mempertaruhkan banyak hal untuk hubungan ini,


pertemanan, persahabatan, hingga harga diriku sendiri,” ucapnya.
Tangannya tak berhenti menulis. Aku juga tak berhenti memainkan
kakiku sendiri.

“Kenapa kamu masih di sisiku Ra, bahkan ketika aku sudah menarik
diri? Kenapa kau masih di sini Ra, menemaniku bahkan ketika aku
sudah melarikan diri? Kenapa kamu masih bertahan Ra ketika
semua orang menganggap aku adalah orang jahat?” Kakiku
berhenti. Aku terdiam. Termagu bergitu lama. Suara gemercik air
kolam terdengar jelas di keheningan aku dan dia. “Karena aku tidak
pernah menganggapmu sebagai orang lain,” ucapku sambil melihat
wajahnya. “Aku sudah melakukan banyak kesalahan Ra, aku bukan
orang baik.” Kali ini ia berhenti menulis dan menatapku. “Percayalah
aku bukan orang baik. Kenapa kamu masih menemaniku?”

“Karena kamu sahabat aku,” jawabku singkat. “Itu terlalu klise, Ra.”
sanggahya. “Tidak, bagiku itu nyata. Karena kamu sahabatku, dan
aku selalu berharap aku ada di saat susahmu, walaupun akhirnya
kau malah menarik diri saat itu. Maaf ya, aku tidak selalu ada dan
tidak mengerti keadaanmu,” ucapku. Aku menunduk sesaat,
mencoba bernapas dengan normal. “Aku yang menarik diri Ra, aku
yang salah. Mereka hanya ingin aku tahu itu. Aku salah. Mau seperti
apa pun aku meperlakukan orang lain aku tetap salah. Aku bukan
orang baik. Kamu pantas mendapatkan sahabat lebih baik dari aku”
Ucapnya. “Tidak ada orang yang menganggap dirinya bukan orang
baik tapi mau mengakui kesalahannya dan tidak ada orang yang
menganggap dirinya bukan orang baik tapi mengusahakan menjadi
baik dan memperbaiki keadaan.” Mataku menerawang jauh di
perbukitan yang bercahaya malam itu. “Aku selalu percaya pada
intuisiku, dan bagiku orang baik tidak akan pernah mengatakan
bahwa dirinya baik. Manusia punya hak berlaku salah dan sahabatku
juga manusia yang bisa berlaku salah. Dan manusia punya hak untuk
memperbaiki diri dan bertanggung jawab untuk menyelesaikan
setiap masalahnya. Dan begitu juga sahabatku. Tidak ada alasan lain
yang mengharuskan aku meninggalkanmu.” Aku terdiam setelah
jawaban itu. “Kamu percaya aku orang baik, Ra?”

“Aku selalu percaya kamu baik.” Senyumku mengembang lebar.

***

“Ra?” tanyanya. “Ya..,” jawabku.

“Jika di dunia ini hanya ada aku dan satu orang laki-laki baik, kamu
ingin menikah dengan siapa?”

“Kenapa tiba-tiba bertanya?” ucapku. “Jawab saja.”

“Kalau bisa dua kenapa harus satu,” candaku. Dia memelankan laju
motornya. “Ra, perempuan itu hanya satu pilihannya, laki-laki yang
boleh empat.” Aku manyun mendengar jawabannya. “Yasudah tidak
usah memilih,” jawabku enteng. Kepalanya menoleh ke belakang
sejenak dan kuteol pelan. “Lihat depan!” aku tidak mau mati konyol
hari ini. “Jawab yang benar.” “Yasudah kamu,” jawabku.
“Alasannya? Aku bukan orang baik, Ra.” Lagi-lagi dia menggunakan
alasan itu.

“Aku bisa membayangkan kehidupanku ke depannya kalau sama


kamu, sederhana. Karena aku mengenal kamu.”
“Serius?” tanyanya. “Iya, kalau kamu. Pilih mana?”

“Kan laki-laki boleh empat, Ra.” Jawabnya enteng. Aku teol lagi
kepanya pelan. “Baiklah, kuganti pertanyaan. Kamu lebih memilih
istri yang bekerja atau hanya di rumah? Dan jika istrimu punya
teman, boleh berteman dengan siapa saja?”

“Kalau kamu mau bekerja aku akan menghargai itu kalaupun kamu
hanya di rumah aku juga menghargai itu. Tapi aku akan lebih
bahagia kamu bekerja dan mencapai cita-citamu juga. Kita tidak
akan tahu aku akan hidup dan menemani sampai tua, kalau ternyata
ada apa-apa bagaimana? Aku juga tidak membatasi istriku
berteman degan siapa saja. Mau itu laki-laki atau perempuan. Dunia
kamu bukan hanya aku.” Dahiku mengeryit mendengar dia selalu
menggunakan kata ‘kamu’. “Aku kan belum tentu istrimu.”

“Ya kalau ternyata kamu?”

Hening. “Jadi semua perhatian ini apa artinya, Bu? Perhatian? Kasih
sayang? Atau cinta?”

Aku terdiam cukup lama. Aku tidak mungkin mengatakannya hari


ini. “Kamu bisa dapat yang lebih baik dari aku. Kamu orang baik,
hebat bermain bola. Pintar dalam perkuliahan,” ucapku lirih.

“Mana ada, aku bukan orang sebaik itu. Aku sering gagal
memasukkan bola. Kamu yang baik, bisa menyanyi, menari, tertawa
dan bakat bakat lainmu. Aku yang sepertinya tidak pantas untuk
kamu,” ucapnya lagi. “Jangan merendah. aku hanya orang biasa
tidak bisa memasak, tidak pandai berdandan, hanya suka mendebat,
dibandingkan perempuan-perempuan di luar sana yang
mengagumimu yang bahkan mereka mendekati sempurna,” ucapku.
“Jika aku cukup dengan orang seperti kamu, bagaimana?”

Hening.
***

Dua minggu, tiga minggu, satu bulan berlalu. Kalimat-kalimat itu


semuanya terngiang, terasa nyata, dan benarkah fakta. Selama itu
pula Yan timbul tenggelam di pesan masuk ponselku. Kehidupan
yang serba hambar di masa karantina, belum lagi tugas-tugas koas
yang juga menyita waktu. Aku sering merenung dan sering
menanyakan malam tentang hidupku, dan tentang dirinya. Kusadari
atau tidak, aku telah terseret terlalu jauh. Aku telah membawanya
masuk dan menjadi bagian dari kehidupanku. Tanpa ada status yang
pasti tanpa ada pernyataan yang resmi. Mataku memerah. Aku
menangis lagi. Merutuki nasib. Benarkah semuanya sesuai dengan
perasaanku atau hanya imajiku.

“Git, aku tidak mau kehilangan sahabatku karena perasaan konyol


ini,” ucapku.

“Apakah kamu yakin kamu akan kehilangan dia? Aku merasa kamu
cukup dewasa begitu pun dia. Ketika kamu memilih untuk mencari
jawaban itu dan ternyata dia memilih melepaskan dirimu,
jawabannya sederhana Ra. Tugas dia sudah selesai untuk
membuatmu belajar. Yang aku yakini selama ini. Setiap manusia
akan selalu membawa misi untuk orang sekitarnya, dan hanya
Tuhan dan peristiwa yang menjawab misi apa yang dibawa. Begitu
pun dia. Dan bagiku dia orang yang cukup dewasa untuk berpikir
harus mengorbankan sahabatnya pergi. Jika pun dia yang pergi, dia
yang harusnya bersedih kehilangan orang yang benar mencintainya.
Lakukan, Ra. Cepat atau lambat. Kamu yang menentukan dan kamu
yang memilih momenmu. Take your time to set you’re ready.”
Jawaban Gita cukup membuatku tenang. Aku menarik napas
panjang dan mengatur ulang semua kata-kata yang ada di dalam
kepalaku.

***
“Ra…” Yan kembali menyadarkanku.

“Aku ingin menepati janjiku,” ucapku.

“Kamu janji apa, Ra?” tanya Yan.

“Aku pernah berjanji untuk menjawab semua pertanyaanmu ketika


kamu sudah sembuh. Sekarang kupikir waktunya. Maafkan aku jika
ini nantinya akan mengubah semua cara pandangmu padaku.”

“Take your time, Ra.” Aku menarik napas panjang, menyusun semua
kata dari memori yang pernah kubuat, meyakinkan diriku bahwa
aku siap atas segala risiko dan konsekuensi, dan menerima
kekalahan yang mungkin ada di depanku.

“Jika dulu kamu bertanya bagaimana perasaanku untukmu,


menanyakan segala perhatianku untukmu, jawabanku mungkin
hanya dua. Satu, aku menyukaimu sebagai teman dan dua aku
menyayangimu sebagai sahabatku. Namun, jika kamu kamu
bertanya bagaimana perasaanku kali ini untukmu, jawabanku sudah
berubah. Tidak lagi dua namun tiga. Satu, aku menyukaimu sebagai
teman, dua aku menyayangimu sebagai sahabatku, dan tiga aku
mencintaimu sebagai perempuan yang mencintai laki-laki. Semua
cerita yang terjadi, kehadiranmu, dari susah hingga senangnya
kamu. Aku menikmati semuanya, aku menikmati setiap perjalanan,
setiap momen, setiap kebersamaan, dan setiap canda tentang kita.”

“Aku tidak memaksamu jika kamu tidak memiliki perasaan


tentangku dan aku tidak memaksamu untuk ada di pihakku selalu.
Jika memang tidak ada perasaan itu untuk aku. Jika memang
semuanya hanya aku yang merasakan dan kau tidak benar-benar
serius. Aku tidak mengapa. Biarkan aku mengubah tiga jawaban itu
kembali ke dua jawaban. Tapi, berikan aku jawaban. Hingga aku
tahu aku harus berjalan ke mana.” Cukup, aku mengucapkan
dengan pelan dan penuh penekanan. Aku menyandarkan
punggungku ke dinding kamar. Mataku panas. Aku tidak bisa
membendung. Pipiku basah. Sedang di ujung sana, senyap. Sepi.
Hanya embus napas berat.“Ra..” “Ya..”

“Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku belum berakhir dengan
kesalahan masa laluku.”

***

Awal tidak selamanya benar-benar awal. Akhir tidak selalu menjadi


akhir, awal dan akhir hanya menjadi paradigma kata yang saling
bersinggungan. Awal dan akhir hanya menjadi kata. Manusia yang
menentukan, ingin menjadikannya awal atau akhir. Seperti aku yang
merelakanmu menjadi awal patah hatiku dan akhir dari kisah
cintaku.
BIODATA

Perempuan kelahiran 22 Januari yang kerap dipanggil Riri, tak


berhenti menjalankan hobi travelingnya dengan tetap
memperhatikan lingkungan. Total sudah lima belas negara
yang dikunjungi. Pengalaman perjalanannya beberapa telah
ditulis di blog www.mbakpetualang.top

Penulis adalah Oktaviana Maya Dewi, SIP. Lahir di Wonogiri,


pada tanggal 21 Oktober 1989. Memulai pendidikan dari TK
hingga SMA di Wonogiri dan lulus dari UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta dengan menyandang status Sarjana Ilmu
Perpustakaan. Mulai menjadi guru pustakawan sejak tahun
2012-2019. Kemudian Februari 2019 mengikuti sang suami,
Cecep Abdurrahman Fikri tinggal di Tasikmalaya Jawa Barat
dan menjadi pustakawan di UPT Perpustakaan STIKes
Respati. Penulis dapat dihubungi pada
oktavianamayadewi89@gmail.com

Ni Made Ayu Pranasanthi Dewi lahir di Denpasar pada


tanggal 12 Juni 2004. Masih belajar menulis karya dan baru
pertama kali mengirimkan karya.

Sofia Ulfa, Pengajar Bahasa Arab di MTsN 5 Nganjuk dan MI


Al Mubarok. Tertarik dengan literasi dan moderasi agama.
Sekarang aktif mengelola Taman Baca Masyarakat Iqra
Nganjuk Jawa Timur. Bisa dihubungi di email
sofiaabidin23@gmail.com

Apriliani Nur Afifatu Lutfah. Perempuan yang lahir dari rahim


seorang Ibu bernama Jumiatun dengan didampingi seorang
Ayah bernama Budi Hartono, pada tanggal 8 April 1996 di
Semarang. Jejak bisa ditemukan di akun instagram
@prillyafifah. Dalam hidup kamu boleh jatuh, menangis, dan
putus asa. Namun, setelahnya kamu harus bangkit lagi. Karena
kamu adalah pemenang dalam hidupmu.

Qurrotu A'yun lahir di Pasuruan, Tanggal 02 Oktober 1979.


Mencintai dunia anak dan belajar menulis puisi serta
membacakannya pada teater kehidupan sering dilakoni.
Baginya kuliah kehidupan akan mengajarkan banyak hal yang
pasti kekayaan rasa. Ingin memiliki Rumah Alqur'an adalah cita
cita yang terus ia langitkan dan dilesatkan menuju panah
'ArsyNya. Bisa dihubungi melalui e-mail :
Qurrotuayun210@gmail.com

Fera Astuti lahir di Sukoharjo, tanggal 24 Agustus 1993.


Bekerja di SMP Ahmad Dahlan Sukoharjo (2016 sampai
sekarang) sebagai guru IPA. Walau memiliki latar belakang
eksak, namun tertarik dengan dunia tulis menulis, dan sedang
belajar untuk menulis. Beberapa karya telah diunggah di blog
pribadinya, maupun diunggah di sosial media maupun grup
atau komunitas bisa menulis. Bisa dihubungi melalui email
astutifera@gmail.com
Aulia Mumtaza adalah nama pena dari Dwi Putro, penulis muda dan
Citizen Journalist, aktivitasnya sehari hari banyak dihabiskan dalam
kegiatan edukasi, pemberdayaan masyarakat dan menjalankan
perusahaan IT. Saat ini penulis terlibat sebagai pengajar di beberapa
program dan komunitas, seperti Google Gapura Digital dan Gerakan
1000 startup. Penulis dapat dihubungi di akun twitter
@aulia_mumtaza, IG :@auliamumtaza atau alamat
email: aulia.mumtaza@gmail.com   
Yoe Irawan lahir di Kendal, Jawa Tengah, pada 26 Juni.
Menetap di Kota Sukabumi, Jawa Barat. Karya puisinya
tergabung dalam banyak antologi, di antaranya: Antologi Puisi
Indonesia 1997 (Komunitas Sastra Indonesia & Penerbit
Angkasa, Bandung, 1997), Jakarta Dalam Puisi Mutakhir (Dinas
Kebudayaan Jakarta dan Masyarakat Sastra Jakarta, 2000),
142 Penyair Menuju Bulan (Kelompok Studi Sastra Banjarbaru
& Kalalatu Press, Kalimantan Selatan, 2006, Negeri Pesisiran,
Dari Negeri Poci 9 (kumpulan puisi, Komunitas Radja Ketjil
2019), When The Days Were Raining (kumpulan puisi,
Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival 2019), Antologi
Gambang Semarangan (2020), Perjalanan Merdeka –
Independent Journey (Antologi Puisi Internasional Dua Bahasa,
Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia, 2020), Corona (Antologi
puisi, Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia 2020), dan lain-lain.
Sedang karya cerpennya termuat dalam majalah Ummi dan
Annida, juga dimuat dalam antologi cerpen Anak Mimpi
(Kumpulan Cerpen Anak, Fam Publishing, 2015). Pernah
memenangi lomba menulis cerita pendek islami LMCPI I
Majalah UMMI tahun 2000 dengan judul Urip Pergi Lagi,
Cerpen Guru Untuk Ra menjadi cerpen terpilih dalam lomba
cerpen Kagama Virtual 2 tahun 2017, serta Cerpen Sepotong
Sayap Di Bulan Mei menjadi cerpen terbaik dalam Lomba
Cerpen yang diadakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
DKI Jakarta bersama Yayasan Hari Puisi tahun 2019 (Kota
Kata Kita, Disparbud DKI dan YHP 2019). Penulis dapat
dihubungi melalui email: masyayun2@gmail.com

Bagi Firdhaussi, menulis dan berkebun adalah keseharian


yang tak bisa dilepaskan. Keduanya adalah wujud bekerja
berkelanjutan. Gadis yang berumur tiga tahun saat krisis
moneter 1998 ini mempublikasikan karyanya melalui
firdhaussi.com

Dwi Oktaviyanti, gadis yang lahir pada tanggal 1 Oktober


1997. Suka menulis puisi, cerpen dan menggambar. Karya-
karyanya dimuat di laman pribadi Facebook nya, dan ini adalah
debut pertamanya

Anda mungkin juga menyukai