Anda di halaman 1dari 29

SENI TABUH

DEWA YADNYA

1. GENDER WAYANG

Gender wayang oleh masyarakat (Hindu) di Bali digunakan dalam Yadnya antara lain: Dewa
Yadnya, Pitra Yadnya, dan Manusa Yadnya. Dewa Yadnya adalah upacara yang ditujukan kepada
Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) beserta manifestasinya. Upacara-upacara yang
tergolong dalam Dewa Yadnya di antaranya piodalan, memungkah (ngenteg linggih) di Pura-
pura dan atau di Sanggah (Mrajan). Upacara ini biasanya dilakukan bertepatan dengan bulan
purnama, dan tidak jarang pula dilaksanakan bertepatan hari-hari raya umat Hindu seperti
Saraswati, Pagerwesi, Galungan, Pamacekan, Kuningan dan lain sebagainya.

Gender wayang dalam Dewa Yadnya digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang lemah
yang diselenggarakan bertepatan dengan pendeta menghaturkan puja wali pada saat upacara
berlangsung. Pertunjukan wayang lemah wajib dilakukan pada upacara tingkatan tertentu,
misalnya memungkah atau ngenteg linggih. Hal ini diwajibkan karena pertunjukan wayang
lemah bersifat seni wali, yaitu kesenian berfungsi sebagai sarana dalam upacara. Tanpa ada seni
wali ini, maka upacara dianggap kurang lengkap, kurang sempurna. Oleh karena itu pertunjukan
wayang lemah selalu hadir dalam piodalan tingkat tertentu.

Selanjutnya, Pitra Yadnya dikonsepsikan sebagai upacara yang ditujukan kepada roh leluhur
yang belum disucikan. Dalam proses penyucian inilah diadakan upacara ngaben dan nyekah.
Upacara ngaben yang dikenal dengan sebutan cremation, merupakan upacara pensucian roh
leluhur pada tingkat awal (masih bersifat kasar), karena akan dilanjutkan dengan tingkatan yang
lebih halus yang dikenal dengan nyekah atau memukur.

Kegunaan karawitan gender wayang dalam Pitra Yadnya biasanya pada upacara ngaben pada
tingkat utama (besar-besaran). Seperti dimaklumi bahwa setiap pelaksanaan upacara di Bali
selalu menggunakan tingkatan. Tingkatan tersebut secara garis besarnya dapat dibagi tiga, yaitu,
(1) utama (besar/mewah), (2) madya (sedang) dan (3) nista (sederhana). Dikatakan secara garis
besar, karena tingkatan-tingkatan tersebut di atas dapat dibagi lagi menjadi misalnya yang
tingkat utama dapat dibagi lagi menjadi utaming utama, utaming madya dan utaming nista.
Begitu pula tingkatan madya dapat dibagi lagi menjadi madyaning utama, madyaning madya dan
madyaning nista dan seterusnya.

Pada upacara ngaben besar-besaran, biasanya menggunakan wadah/ bade sebagai tempat
jenazah yang di bawahnya (pangkal wadah yang berhubungan dengan rangkaian bambu (Bali:
sanan) sebagai penyangga atau sarana pengusung), diapit sepasang gender wayang lengkap
dengan penabuhnya. Karawitan gender wayang ini disajikan sepanjang rute (prosesi) dari rumah
duka menuju ke tempat pembakaran. Menyajikan gender wayang dalam acara ini menurut I
Nyoman Sukerna (1989: 12) disebut dengan Masalonding.

Kemudian Manusa Yadnya merupakan korban suci untuk memelihara dan membersihkan lahir-
bathin manusia, mulai dari terwujudnya jasmani dalam kandungan sampai akhir hidup manusia.
Upacara yang tergolong dalam manusa yadnya adalah pagedong-gedongan, merupakan upacara
bayi umur lima bulan Bali (enam bulan kalender) dalam kandungan. Selanjutnya upacara bayi
lahir (kelahiran), kepus (lepas) tali puser, nglepas aon (awon), upacara bayi umur 12 hari;
kambuhan yaitu upacara bayi berumur 42 hari (bulan pitung dina); upacara bayi umur tiga bulan
(nyambutin); upacara bayi satu oton (enam bulan Bali); upacara tumbuh gigi; upacara meketus
(tanggal gigi pertama); upacara menginjak dewasa (munggah deha/teruna; upacara potong gigi
(mesangih); upacara mewinten, dan yang terakhir upacara perkawitan (Team Penyusun, 2007:
200-237).

Dari sejumlah upacara dalam Manusa Yadnya yang disebutkan di depan, gender wayang selalu
digunakan dalam upacara mesangih. Mesangih berasal dari kata “sangih” yang artinya asah.
Mendapat awalan “me” menjadi mesangih yang artinya mengasah, dalam hal ini meratakan gigi
dengan kikir kecil yang sangat halus. I Wayan Griya dkk. (1984) menyatakan, bahwa selain
mesangih ada juga sebutan mepandes (di kalangan bangsawan) dan mepapar bagi golongan Bali
Age, yang kesemuanya berarti potong gigi.

Mengapa masyarakat (Hindu) Bali melaksanakan potong gigi? Dari konsep dualistik dalam
budaya Bali merupakan pandangan adanya dua kekuatan yang bertentangan namun tetap
dalam satu kesatuan. Dalam potong gigi konsepsi ini ditekankan pada sifat bersih (suci) dan
leteh (kotor). Bagi mereka yang belum potong gigi dianggap masih kotor, sehingga setelah
meninggal tidak bisa bertemu dengan Ibu Bapanya (Tuhan Yang Maha Esa). Hal ini diperkuat
dengan adanya Kala Tattwa (I Gusti Agung Gd Putra, n d: 6-7).

Konsepsi dualistik juga mengandung pengertian sifat kemanusiaan dan sifat kebinatangan;
kejahatan dan kebaikan. Maka tujuan dari potong gigi adalah untuk memersihkan yang kotor,
mengurangi perilaku yang menjurus kepada kejahatan, yang pada ajaran agama Hindu tercakup
dalam Sadripu (I Gusti Agung Gd Putra, n d: 18). Dengan mengasah (meratakan) enam buah gigi
(dua taring dan empat gigi seri) bagian atas, diharapkan anak yang diupacarai kelak mampu
mengendalikan Sadripu, (enam musuh utama dari kebaikan) yaitu, kama, kroda, lobha, moha,
mada, dan matsarya.

Di depan disebutkan, bahwa gamelan yang digunakan dalam mesangih selalu gender wayang,
bukan gamelan lain misalnya gong kebyar. Hal ini disebabkan gender wayang dianggap semi
angklung. Dalam konteks ini angklung lekat dengan fungsinya yaitu untuk acara kematian,
karena berpotensi sebagai pendukung suasana sedih. Gender wayang dalam potong gigi
sesungguhnya juga berfungsi pendukung suasana sedih, karena upacara ini dimaknai sebagai
“mematikan” Sadripu agar dapat dikendalikan. Maksudnya anak yang telah diupacarai kelak
dalam kehidupan sehari-harinya mampu mengelola Sadripu secara proporsional dan
profesional.

Dari pemaparan di depan dapat dikatakan, bahwa gender wayang memiliki peranan yang sangat
penting bagi masyarakat (Hindu) Bali dalam kaitannya dengan upacara adat maupun
keagamaan. Dengan demikian kehidupan gender wayang akan tetap lestari. Mungkin hanya
perubahan struktur masyarakat dan perubahan penghayatan ritus agama yang akan mampu
mengubah posisi dari gender wayang.

2. Gambelan Selonding

Gambelan Selonding adalah merupakan peninggalan historis dari kegiatan berkesenian nenek
moyang di masa silam. Gambelan Selonding merupakan salah satu contoh mengenai Local
Geniusdari lelhur, yang mampu mengantarkan kita kepada suatu jenjang puncak budaya,
sehingga keberadaannya masih eksis sampai saat ini. Peninggalan historis tersebut masih mampu
menjembatani suatu masa ribuan tahun yang lalu dengan masa kini.
Gambelan Selonding memang masih dapat bertahan dari terpaan gelombang peradaban manusia
dalam rentang waktu yang cukup lama, dan ini hanya dimungkinkan oleh adanya suatu vitalitas
nilai universal yang terkandung di dalamnya dan terjalin erat dengan masyarakat pendukungnya.

Pada dasarnya gambelan Selonding yang lahir dari hasil, cipta, rasa, dan karsa nenek moyang, itu
adalah sebagai perwujudan dari pengalaman estetis dikala keadaan jiwa sedang mengalami
kedamaian dan kesucian. Pendakian ini hanya mungkin dapat dicapai dengan penghayatan dan
pengalaman yang immanent dari ajaran agama hindu. Rupa-rupanya gambelan Selonding
tumbuh, hidup dan berkembang sebagai kultur religius, sehingga dapat dipahami bahwa
gambelan Selonding banyak terdapat dipusat-pusat keagamaan pada zaman Bali kuno yang
olehR. Goris disebut sebagai basis kebudayaan Bali Kuno. Dapat dimengerti, mengapa gambelan
Selonding yang pernah ada di Jawa Timur pada zaman Kediri kini sudah lenyap (Tusan, 2001 :
2).

Gambelan Selonding bukanlah segugusan instrumen primitif yang kosong tanpa makna.
Gambelan ini banyak tercatat dalam prasasti raja-raja Bali Kuno dari babakan pemerintah
Maharaja Sri Jaya Sakti sampai dengan awal pemerintahan Majapahit di Bali. Dan juga sejumlah
karya sastra para pujangga dari zaman Kediri sampai Babakan zaman Majapahit akhir. Seperti
Kekawin Bharata Yudha, Hari Wangsa, Gatot Kaca Sraya, Sumana Santaka, Wrttasancaya,
Wrttayana, dan Rama Parasu Wijaya, banyak merekam nuansa keindahan gambelan Selonding
yang masih dapat diwarisi sampai sekarang.

Istilah Selonding yang kemudian dikenal dengan nama Selonding di Bali, berdasarkan temuan
dalam sebuah lintar kuno yaitu Babad Usana Bali yang menyebutkan seorang raja besar di
zaman dahulu yang bergelar Sri Dalem Wira Kesari yang bertahta di lereng gunung
Tolangkir(Gunung Agung) (Tusan, 2001 : 12)

Bila dirunut asal muasal kosa kata Selonding itu berasal dari kata Salunding. H.N. der
Tuukdalam bukunya Kawi Balineesch-Nederlandsch-1984, menyebutkan bahwa Salunding itu
identik dengan gambelan gender.C.F. Winter SR menyebutkan Salunding adalah gambelan
Saron.Wayang Warna menyebutkan kosa kata Salunding adalah nama gambelan yang suci yang
ditabuh pada upacara tertentu.

Guru-guru Kokar pada waktu mengadakan penelitian di Tenganan (1971) mengemukakan bahwa
Selonding berasal dari kata Salon + Ning yang diartikan tempat suci. Karena gambelan
Selonding itu dikenal sebagai perangkat gambelan yang disucikan dan disakralkan oleh
masyarakat pendukungnya.

Gambelan Selonding adalah salah satu gambelan kuno yang masih dapat diwarisi sampai
sekarang di Bali. Gambelan ini semula dikenal pada masa pemerintahan Sri Jaya Bawa di Kediri
yang berlanjut sampai pada zaman Majapahit.

Di Bali gambelan Selonding telah dikenal pada pemerintahan Sri Maharaja Jaya Sakti (1052-
1071 C), merupakan suatu kesenian yang populer pada zamannya, mengingat kewajiban-
kewajiban berupa pajak yang dikenakan yang merupakan pajak tertinggi diantara kesenian
lainnya.

Pada zaman pemerintah Sri Maharaja Bhatara Guru Sri Adikutiketana pada tahun 1126 C,
kesenian Selonding ini akhirnya dibebaskan dari segala macam pajak, karena telah menjadi
kesenian untuk mengiringi upacara keagamaan sampai dewasa ini. Gambelan Selonding tersebut
masih sangat disakralkan sebagai sarana upacara keagamaan di Bali, seperti yang terdapat di
Tenganan, Bungaya, Asak, Timbrah, Bugbug, Ngis, Trunyan, Kedisan ,Batur, Bantang,
Manikliyu, dan Tigawas.

 Jumlah

Satuan Ciri-ciri Instrumen


8 tungguh berisi 4 buah bilah
6 tungguh masing-masing berisi 4 buah bilah
2 tungguh berisikan 8 buah bilah

 Karawitan Bali mencatat bahwa instrumentasi dari gambelan Selonding, yaitu :

Jumlah Satuan Instrumen


2 tungguh gong
2 tungguh kempul
1 tungguh peenem
1 tungguh petuduh
1 tungguh nyongnyong alit
1 tungguh nyongnyong ageng

3. Gambelan Saron
Ada bermacam-macam cabang yang menarik untuk diungkapkansalah satu diataranya
adalah seni karawitan, seni karawitan yang juga bisa disebut sebagai seni gambelan
memiliki bermacam-macam jenis seperti : gambelan solonding, gambelan gambang,
gambelan saron, gambelan angklung, dan lain-lainnya. Diantara barungan gambelan
tersebut penulis memilih gambelan saron yang ada di Banjar Bale Agung desa Cemagi
untuk diteliti. Gambelan saron adalah salah satu warisan dari nenek moyang yang tinggi
nilainya yang perlu dilestarikan.

Untuk mengetahui asal mula dari gambelan saron di desa cemagi secar tererinci penulis
mengalami banyak kesulitan. Kebanyakan masyarakat pendukung dari gambelan saron
tidak dapat mengungkapkan secara jelas kapan mulai adanya gambelan itu di desa
tersebut juga belum adanya data-data tertulis yang khusus menguraikan tentang seluk
beluk ditemukan gambeln saron tersebut menambah kesukaran penulis dalam menelusuri
asal mula gambelan saron di desa cemagi di desa tersebut diatas namun demikian perlu
penulis sampaikan bahwa akan berbahaya apabila ada anggota masyarakat yang bernai
melanggar peraturan-peraturan seperti memainkan atau memukul gambelan tanpa sesajen
dan meminjamkan gambelan saron ini kepada sekaa lain.

Mengenai asal mula gambelan saron ini, kelihan sekaa saron mengatakan bahwa ada
suatu cerita yang isinya seperti berikut diceritakan ada sekelompok orang yang sedang
mengerkjakan sepetak sawah didekat pantai batu ngaus. Musim panas pada waktu itu
membuat pekerja-pekerja sawah lelah dan kehausan ehingga mereka mencari tempat
berteduh. Pada saat itu mereka melihat seekor burung gagak putih yang terbang kesana
kemari.

Para pekerja sawah merasa tertarik dengan gerak gerik burung itu lalu mereka mengikuti
dari belakang. Sampailah burung itu di suatu tempat suci atau pura yang dinamakan pura
batu ngaus. Ditempat itulah mereka mendapat bentuk-bentuk instrument yaitu gambelan
saron. Kemudian gambelan tersebut dipindahkan ke desa cemagi di Pura Tangi-tangi.

Informan guru luh kama mengatakan bahwa gambelan saron telah diwarisi tiga generasi
diatasnya, guru luh kama sekarang berumur 65 tahun, jika jarak umur masing-masing
generasi adalah 30 tahun maka selisih anatara guru luh kama dengan leluhurnya yang
masih diingat adalah 90 tahun karena sekarang adalah tahun 1984 maka buyutnya yang
sudah ada pada tahun 1829.
Dengan demikian menurut informasi yang penulis peroleh adanya gambelan saron didesa
cemagi tidak diketahui secara pasti tahunnya sebab mereka sudah mendapatkan
keterangan secara sambung-menyambung, bahwa gambelan tersebut adalah merupakan
warisa turun-temurun dan tak seorang pun pernah mencatat atau menjelaskan tentang asal
usul yang pasti.

4. Gong Gede

Gamelan Gong ini dinamakan Gong Gede (besar) karena memakai sedikitnya 30 (tiga puluh)
macam instrumen berukuran relatif besar (ukuran bilah, kendang, gong dan cengceng kopyak
adalah barung gamelan yang terbesar yang melibatkan antara 40 (empat puluh) - 50 (lima
puluh) orang pemain, demikian dikutip dari artikel Arya Tangkas Kori Agung, Gong Gede.

Sebagai seni karawitan, dijelaskan dalam kutipan artikel ISI Denpasar, Gamelan Gong Gede
merupakan perpaduan unsur-unsur budaya lokal yang sudah terakumulasi dari masa ke masa.

Unsur budaya Bali tercermin pada penggunaan instrumen dari perangkat gamelan Bali dan
busana yang dipergunakan oleh para penabuh (jero gamel).

Budaya lokal tampak pada penggunaan tradisi-tradisi Bali seperti :

 Tabuh-tabuh yang memakai laras pelog dan sesaji


 Para penabuhnya didominasi dengan memakai kostum penabuh seperti ; ikat kepala
(udeng) dipakai warna hitam, bajunya dipakai warna putih disisinya memakai safari
hitam berisi simbol, memakai saput orange, dan ditambah dengan membawa keris atau
seselet. Istilah jero gamel tidak jauh berbeda dengan juru gamel.

Kalau dilihat dari fungsinya semuanya ini berarti tukang gamel, yang sudah melekat sebagai
bagian dari identitas diri seseorang. Instrumen Bentuk instrumen gamelan Gong Gede ada dua
jenis yakni :

1. Berbentuk bilah
2. Berbentuk (moncol). 

Menurut Brata, instrumen yang berbentuk bilah ada dua macam : bentuk bilah bulig, dan bilah
mausuk. Bentuk bilah bulig bisa disebut dengan : metundun klipes, metundun sambuk, setengah
penyalin.

Untuk instrumen yang berbilah seperti bilah metundun klipes, metundun sambuk, setengah
penyalin dan bulig terdapat dalam instrumen gangsa jongkok penunggal, jongkok pengangkem
ageng, dan jongkok pengangkep alit (curing).

Instrumen-instrumen ini bilahnya dipaku atau sering disebut dengan istilah gangsa mepacek.
Sedangkan bentuk bilah yang diistilahkan merai, meusuk, dan meakte terdapat pada instrumen
pengacah, jublag, dan jegogan. Instrumen-instrumen ini bilahnya digantung yaitu memakai tali
seperti jangat.

Instrumen yang bermoncol dapat dikelompokan menjadi dua yakni :

1. Moncol tegeh (tinggi)


2. Moncol endep (pendek). 

Contoh instrumen yang berpancon tinggi seperti; riyong ponggang, riyong, trompong barangan,
dan tropong ageng (gede). Sedangkan instrumen yang berpencon pendek (endep) antara lain
kempli, bende, kempul, dan gong.

Begitu juga halnya dengan bentuk reportoar gending Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur,
berbentuk lelambatan klasik yang merupakan rangkaian dari bagian-bagian gending yang
masing-masing mempunyai bentuk urutan sajian.

Adapun urutan dari bagian-bagian bentuk reportoar gending dari masing-masing bentuk
reportoar adalah sebagai berikut :

Gending gilak (gegilakan) terdiri dari bagian gending-gending kawitan dan pengawak. 

Gending tabuh pisan terdiri dari bagian gending kawitan, pengawak, ngisep ngiwang,
pengisep, dan pengecet. 

Gending tabuh telu, terdiri dari bagian gending kawitan dan pengawak. Bentuk reportoar
gending tabuh pat, tabuh nem, dan tabuh kutus mempunyai bagian gending yang sama
yaitu kawitan (pengawit), pengawak, pengisep (pengaras), dan pengecet.

Gending pengecet terdapat sub-sub bagian gending yang urutan sajiannya adalah
kawitan, pemalpal, ngembat trompong, pemalpal tabuh telu, pengawak tabuh telu.
Alternatif yang lain dari susunan sajian sub bagian gending dalam pengecet ini adalah
kawitan, pemalpal, ngembat trompong, dan gilak atau gegilakan. 

Bentuk reportoar gending Gong Gede dapat ditentukan oleh jumlah pukulan kempul
dalam satu gong, misalnya tabuh pat terdapat empat pukulan kempul dalam satu gongan
pada bagian gending pengawak dan pengisap. Demikian juga pada bentuk-bentuk
gending tabuh pisan (besik), tabuh telu, tabuh nem dan tabuh kutus. 
Disebutkan pada Pesta Kesenian Bali untuk pertama kali pada tahun 1979, Gamelan
Gong Gede mengiringi sendratari dipentaskan oleh SMKI dengan cerita Mahabrata yang
mengambil judul “Sayembara Dewi Ambara”, salah satu iringan musik atau gamelannya
memakai Gamelan Gong Gede.

5. GAMBELAN GAMBUH

Gamelan Gambuh (Tabuh Pagambuhan; Pegambuhan) merupakan jenis Instrumen musik 


yang biasanya di Bali dipergunakan untuk mengiringi tarian atau tari gambuh dan
dramatari gambuh seperti yang disebutkan dalam kutipan artikel blog Ida A. Laksmi,
gambuh juga memiliki peralatan gamelan yang terdiri dari :

 Rebab (satu buah), 


 Suling berukuran besar (dua atau tiga buah), 
 Kendang (sepasang), 
 Kajar, (satu buah), 
 Klenang (satu buah), 
 Ricik atau cengceng kecil (satu buah), 
 Kenyir (satu tungguh), 
 Gentorang atau ogar (satu atau dua buah), 
 gumanak (dua buah), Kangsi (sebuah). 
 Di antara alat-alat music di atas, gumanak dan kangsi sekarang sudah semakin jarang
dipergunakan. 

Gambelan gambuh juga termasuk golongan gambelan madya yang lebih muda dari gambang,
saron, selonding kayu, gong besi, gong luang, selonding besi, angklung klentangan, dan gender
wayang kulit. Tetapi Gambelan dramatari Gambuh lebih tua dari gambelan Arja, gong kebyar,
gambelan janger, angkung bilah 7, gambelan joged bumbung, gong suling.
6. Gong beri
Gong Beri termasuk barungan alit adalah gamelan langka dan sakral. Hingga kini Gong Beri
masih dipelihara dengan baik oleh warga masyarakat desa Renon, Sanur di Denpasar.

Gamelan ini biasanya dimainkan untuk mengiringi tari Baris Cina. Istilah Beri sering disebut-
sebut di dalam kakawin Bharatayuda yang berarti sebuah alat perang. Juga di dalam Prasasti
Blanjong, terdapat istilah Bheri yang juga berarti alat perang. Gong dibuat dari krawang dan
diduga merupakan peninggalan kebudayaan Dongson.

Gong yang ada dalam barungan ini mempunyai banyak persamaan dengan nekara bulan yang
terdapat di Pura Penataran Pejeng (Gianyar). Berbeda dengan instrumen gong lainnya, gong
pada gamelan Gong Beri tidak memakai pencon, seperti gong Cina.

Barungan Gong Bheri terdiri dari:

Jumlah Satuan Instrumen


2 buah gong (bor dan ber)
klenteng (sejenis gong namun lebih kecil dan nadanya
1 buah
lebih tinggi)
1 buah kendang bedug
1 buah sungu (kerang besar)
1 buah suling kecil
1 buah tawa-tawa (gong kecil berpencon)
1 buah gong besar (tak bermoncol)
1 pangkon cengceng
Gending-gending yang biasa dimainkan adalah:

 
Gending Pategak  
Gending Baris Ireng (baris hitam)  
Gending Baris Petak (baris putih)

BHUTA YADNYA
Baleganjur

Pengertian

BALEGANJUR salah satu jenis aliran gambelan di Bali. Baleganjur biasanya diterapkan pada
upacara keagamaan dan adat agama hindu di Bali. Baleganjur memiliki ciri khas pada
penggunaan "ceng-ceng", Istilah Baleganjur berasal dari kata Bala dan Ganjur. Bala berarti
pasukan atau barisan,Ganjur berarti berjalan.Jadi Balaganjur yang kemudian menjadi Baleganjur
yaitu suatu pasukan atau barisan yang sedang berjalan,yang kini pengertiannya lebih
berhubungan dengan sebuah barungan gamelan.

Sejarah Baleganjur

Gamelan Baleganjur pada awalnya difungsikan sebagai pengiring upacara ngaben atau pawai
adat dan agama.Tapi dalam perkembangannya,sekarang peranan gamelan ini makin melebar.Kini
gamelan baleganjur dipakai untuk mengiringi pawai kesenian,ikut dalam iringan pawai olah
raga,mengiringi lomba laying-layang,dan ada juga yang dilombakan.
Baleganjur adalah sebuah ensamble yang merupakan perkembangan dari gamelan bonang atau
bebonangan.Baik dari segi instrumentasinya maupun komposisi lagu-lagunya.
Bonang atau bebonangan adalah sebuah barungan yang terdiri dari berbagai instrument
pukul(percussive) yang memakai pencon seperti reong,trompong kajar,kempli,kempur,dan gong.
Gamelan bonang memakai dua buah kendang yang dimainkan memakai panggul cedugan.
Dalam lontar Prakempa disebutkan bahwa gamelan bonang dipakai untuk mengiringi upacara
ngaben.Sama kasusnya dengan gamelan baleganjur yang pada umumnya dipakai untuk
mengiringi upacara ngaben.

Instrumen Baleganjur

Instrumen dalam Baleganjur terdiri dari :


1 buah kendang lanang
1 buah kendang wadon
4 buah reong(Dong,Deng,Dung,Dang)
2 Ponggang(Dung,Dang)
8-10 buah cengceng
1 buah kajar
1 buah kempli
1 buah kempur
1 pasang gong(lanang’wadon)
1 buah bende

Pengelompokan

Baleganjur dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 2 jenis gending (alunan lagu) sesuai dengan
fungsinya secara umum.
A. Baleganjur Upacara
Merupakan baleganjur yang digunakan dalam upacara adat agama hindu. Baleganjur ini
memiliki gending dan tempo yang cenderung datar, karena bersifat "nuntun yadnya" sebagai
pelengkap dari suatu yadnya.
B. Baleganjur kreasi
Merupakan baleganjur yang digunakan untuk menghibur atau "balih-balihan" yang biasa sebagai
ajang menunjukan kemampuan dan tehnik tinggi dari penabuh (pemusik). Gendingnya pun lebih
rumit dan memiliki tehnik tinggi.

RSI YADNYA
GONG KEBYAR

Gamelan gong kebyar sebagai seni musik tradisional Bali dalam sejarahnya yang ditulis babad
bali, gong kebyar diperkirakan muncul di Singaraja pada tahun 1915.
Desa yang sebut-sebut sebagai asal pemunculan Gong Kebyar adalah Jagaraga (Buleleng)
yang juga memulai tradisi Tari Kebyar.
Ada juga informasi lain yang menyebutkan bahwa Gong Kebyar muncul pertama kali di desa
Bungkulan (Buleleng). Perkembangan seni Gong Kebyar ini mencapai salah satu puncaknya
pada tahun 1925 dengan datangnya seorang penari Jauk yang bernama I Ketut Mario dari
Tabanan yang menciptakan sebuah tari Kebyar Duduk atau Kebyar Trompong.

Perkembangan Gong Kebyar di Bali, seperti yang dikutip dalam catatan sukoco dalam blog
http://etno06.wordpress.com terdapat tiga Gamelan kebyar yang berkembang di Bali yaitu :

1. Gamelan kebyar yang bersumber dari Gong Gede, 


2. Bersumber dari gamelan palegongan.
3. Murni buatan baru. 

Yang pertama memiliki embat yang sesuai dengan embat gamelan gong gede yaitu agak rendah
seperti yang banyak terdapat di Bali Utara. kelompok kedua menggunakan embat sama dengan
embat gamelan palegongan (sumbernya) yaitu agak tinggi seperti yang sebagian besar terdapat di
Bali bagian selatan, Gamelan-gamelan kebyar yang murni buatan baru sebagian besar ber-embat
sedang seperti yang terdapat di berbagai daerah di Bali dan diluar Bali. Kenyataan ini
menunjukan bahwa belum ada standarisasi embat untuk Gamelan kebyar di Bali.

Juga Dinamakan gong kebyar, menurut kutipan catatan blog ekadarmaputra dalam ISI Denpasar,
Gong kebyar ditabuh untuk pertama kalinya menyebabkan terjadinya kekagetan yang luar biasa.
Masyarakat menjadi tercengang dan ternak sapi yang sedang diikatkan di ladang dan di
kandangnya terlepas dan lari tunggang langgang.
Disebutkan juga dalam catatan blog tersebut, gong kebyar merupakan tabuhan bersama dan
serentak yang diikuti oleh hampir semua tungguhan pada perangkatnya kecuali tungguhan
suling, kajar, rebab, kempul, bebende kemong, kajar dan terompong.

Bentuk kebyar merupakan salah satu bagian dari satu kesatuan gending yang letaknya bisa di
depan, di tengah atau di bagian akhir. Jenis tabuhan kebyar ini sering digunakan pada iringan
tarian maupun tabuh petegak (instrumental). Karena itu kebyar memiliki nuansa yang sangat
dinamis, keras dengan satu harapan bahwa dengan kebyar tersebut mampu membangkitkan
semangat.

Foto para penabuh gong kebyar 1928 dalam


northbali.org

Struktur Gong Kebyar


Gong Kebyar merupakan salah satu perangkat/barungan gambelan Bali yang terdiri dari lima
nada ( panca nada ) dengan laras pelog, tetapi tiap-tiap instrument terdiri sepuluh bilah.

Gong Kebyar bagi masyarakat Bali sudah tidak asing lagi, karena hampir seluruh desa maupun
banjar yang ada di Bali memiliki satu perangkat/ barungan Gong Kebyar.

Oleh karenanya gong kebyar menjadi satu barungan gambelan tergolong baru jika dibandingkan
dengan jenis-jenis gambelan yang ada saat ini seperti misalnya, gambelan Gambang, Gong Gde,
Slonding, Semara Pegulingan dan masih banyak yang lainnya.

Barungan gong kebyar terdiri dari :

 Dua buah (tungguh) pengugal/giying


 Empat buah (tungguh) pemade/gansa
 Empat buah (tungguh) kantilan
 Dua buah (tungguh) jublag
 Dua buah (tungguh) Penyacah
 Dua buah (tungguh) jegoggan
 Satu buah (tungguh) reong/riyong
 Satu buah (tungguh) terompong
 Satu pasang gong lanang wadon
 Satu buah kempur
 Satu buah kemong gantung
 Satu buah bebende
 Satu buah kempli
 Satu buah (pangkon) ceng-ceng ricik
 Satu pasang kendang lanang wadon
 Satu buah kajar

Di Bali ada dua macam bentuk perangkat dan gaya utama gambelan gong kebyar yaitu gambelan
gong kebyar Bali Utara dan gambelan gong kebyar Bali Selatan. Kedua gambelan gong kebyar
ini perbedaannya terletak pada :

 Tungguhan gangsa, Bali Utara bentuk bilah penjain dan dipacek sedangkan Bali Selatan
menggunakan bentuk bilah kalorusuk dan digantung.
 Gambelan Bali Utara kedengarannya lebih besar dari suara gambelan Bali Selatan,
meskipun dalam patutan yang sama.

Dalam perkembangannya gong kebyar munculah istilah gaya Bali Utara dan gaya
Bali Selatan, meskipun batasan istilah ini juga masih belum jelas. Sebagai
gambaran daerah atau kabupaten yang termasuk daerah Bali Utara hanyalah
Kabupaten Buleleng.

Sedangkan Kabupaten Badung, Tabanan, dan lain mengambil gaya Bali Selatan.
Disamping itu penggunaan tungguhan gong kebyar di masing-masing daerah
sebelumnya memang selalu berbeda karena disesuaikan dengan kebutuhan
maupun fungsinya.

Fungsi Gong Kebyar


Sebagaimana kita ketahui lewat literatur dan rekaman telah tampak bahwa Gong
Kebyar itu telah berfungsi sebagai pembaharu dan pelanjut tradisi. Sebagai
pembaharu maksudnya adalah lewat gong kebyar para seniman kita telah berhasil
menciptakan gending-geding baru yang lepas dari tradisi yang sudah ada.

Sedangkan sebagai pelanjut tradisi maksudnya adalah gong kebyar telah mampu
mempertahankan eksistensi reporter gambelan lainnya melalui transformasi dan
adaptasi.

Seperti apa yang telah diuraikan di atas bahwa gong kebyar memiliki fungsi untuk
mengiringi tari kekebyaran. Namun sesuai dengan perkembangannya bahwa gong
kebyar memiliki fungsi yang sangat banyak.
Hal ini dikarenakan gong kebyar memiliki keunikan yang tersendiri, sehingga ia
mampu berfungsi untuk mengiringi berbagai bentuk tarian maupun gending-
gending lelambatan, palegongan maupun jenis gending yang lainnya.

Disamping itu Gong Kebyar juga bisa dipergunakan sebagai salah satu penunjang
pelaksanaan upacara agama seperti misalnya mengiringi tari sakral, maupun jenis
tarian wali dan balih-balihan.

Karena gong kebyar memiliki multi fungsi maka gong kebyar menjadi sumber
inspirasi karya baru. Dengan demikian Gong Kebyar telah berfungsi sebagai
pembaharu dan pelanjut tradisi.

Sebagai pembaharu maksudnya adalah lewat Gong Kebyar para seniman kita
telah berhasil menciptakan gending-gending baru yang lepas dari tradisi yang
sudah ada.

Sedangkan sebagai pelanjut tradisi Gong Kebyar telah mampu mempertahankan


eksistensi reporter gambelan lainnya melalui transformasi dan adaptasi. Misalnya
dalam gending gong kebyar kita mengenai istilah gegambelan, gender wayang
dan gong luang.

Juga disebutkan dengan menggunakan iringan gamelan gong kebyar, dalam


sejarah drama klasik di Bali, maka drama tersebut berganti nama menjadi drama
gong.dan sejak itulah banyak muncul sekaa-sekaa drama gong baru lainnya.

PITRA YADNYA
1. Angklung
 Gamelan angklung adalah Gamelan khas bali yang sering digunakan dalam
prosesi/upacara kematian. Gamelan angklung menggunakan laras selendro dan
tergolong  barungan madya yang di bentuk oleh instrument berbilah dan berpencon dari
krawang, Di Bali Selatan Gamelan ini hanya menggunakan 4 (empat) nada sedangkan di
Bali Utara menggunakan 5 (lima) nada. Berdasarkan konteks penggunaan Gamelan ini
serta materi tabuh yang dibawakan angklung dapat dibedakan menjadi : 1.
  
 Angklung klasik : Di mainkan untuk mengiringi upacara (tanpa tari-tarian) 2.
  
 Angklung kebyar : Di mainkan untuk mengiringi pegelaran tari maupun drama Satu
barung Gamelan angklung biasa berperan sebagai keduanya, karena sering kali
menggunakan penabuh yang sama. Di kalangan masyarakat yang luas Gamelan ini di
kenal sebagai pengiring upacara Pitra Yadnya(ngaben). Di sekitaran Denpasar dan
beberapa tempat lainnya, penguburan mayat di iringi dengan Gamelan angklung yang
menggantikan fungsi Gamelan gong gede yang di pakai untuk mengiringi upacara Dewa
Yadnya (odalan) atau juga upacara lainnya. Gamelan Angklung yang terdapat di
Tempekan Kelod Banjar Tebuana Sukawati merupakan seperangkat Gamelan yang
sangat tua sekali keberadaanya dan merupakan salah satu  jenis Gamelan yang
termasuk kedalam golongan Gamelan tua. Menurut keterangan dari salah seorang
seniman yang berasal dari Banjar Tebuana, menceritakan bahwa; Gamelan Angklung
yang terdapat di Tempekan Kelod Banjar Tebuana ini dulunya merupakan Gamelan yang
dimiliki oleh seka demen-demen, yang anggotanya ada dari luar Banjar Tebuana. Dalam
pementasan Gamelan Angklung dulunya anggota tidak pernah
 mengadakan kegiatan latihan, dimana yang memegang peran penting yaitu” Tukang
Ugal “ yang
  berlatih terlebih dahulu di tempat orang yang dianggapnya biasa atau mengetahui
gending-

  
 gending angklung. Tetapi seiring berjalannya waktu banyak konflik yang menghampiri
seke tersebut, dan salah satu anggota seke yang bernama Ki Jeteg mengusulkan agar
Gamelan Angklung tersebut diserahkan ke pada Tempekan. Pada saat itulah Tempekan
Kelod Banjar Tebuana memiliki Gamelan angklung dan langsung membentuk seke
Angklung yang  beranggotakan dua puluh tiga orang dimana semua anggotanya berasal
dari Tempekan Kelod Banjar Tebuana. Gamelan Angklung ini konon pada waktu itu
hanya dipergunakan saat ada upacara Pitra yadnya. Tetapi karena adanya
perkembangan kesenian di Bali Gamelan angklung ini di usulkan agar dapat digunakan
dalam upacara Dewa Yadnya maupun Manusa Yadnya. Salah satu anggota seke
mengusulkan agar membelikan sepasang Gong, Kempul, Bende, Kempli kajar dan reong
pada tahun 1947 sehingga Gamelan Angklung ini dapat digunakan untuk menabuh
gending lelambatan maupun kekebyaran. Gamelan Angklung yang terdapat di
Temoekan Kelod Banjar Tebuana merupakan suatu Gamelan yang sangat tua umurnya
bahkan ganbelan ini di golongkan kedalam golongan gamelan Bali tua. Dan memiliki
karakteristik yang sangat unik dan menarik dan merupakan salah satu warisan budaya
yang didapat secara turun temurun. Hingga kini Gamelan Angklung masih dipelihara
dengan baik oleh masyarakat pemiliknya karena erat kaitannya dan selalu
dipertunjukkan dan dimainkan dalam upacara keagamaan. Melihat bentuknya Gamelan
Angklung merupakan gamelan yang terdiri dari beberapa aspek yang mewujudkan salah
satu bentuk kesempurnaan refertuarnya yaitu adalah sebagai berikut ,atau alat-alat
yang menjadi pelengkap dalam barungan Gamelan Angklung yang terdapat di Banjar
Tebuana Desa Sukawati :
 
  
 6-8 pasang alat yang terdiri dari sepasang jegogan, jublag, dan selebihnya pemade dan
kantilan
 
  
 3-4 pencon, reong angklung kebyar menggunakan 12 pencon
 
  
 2 buah kendang kecil klasik dan 2 buah kendang besar jika memainkan angklung kebyar
 
  
 1 buah tawa-tawa
 
  
 1 buah kempur kecuali angklung kebyar menggunakan gong
  
  Gangsa angklung adalah suatu instrument yang mempunyai 4(empat) bilah nada yang
terdiri dari (neng,ndung,ndang, nding) dengan gaya nada selendro. Salah satu gangsa
angklung biasanya  bisa langsung berfungsi sebagai pengugal atau pemimpin dalam
barungan angklung itu. Instrument gangsa ini biasanya menggunakan alat pukul panggul
atau juga panggul gender. Cara memainkannya adalah satu nada di pukul kemudian d
tutup sesuai dengan irama yang kita inginkan. Kantialan angklung adalah instrument
yang mempunyai 4(empat) bilah nada yang terdiri dari nada (ndeng, ndung,ndang,
nding)tetapi dengan nada lebih tinggi dengan gaya selendro. Kantilan ini berfungsi
sebagai pemanis dalam permainan atau gending angklung tersebut. Instrument ini  juga
menggunakan alat pukul panggul atau juga menggunakan panggul gender Jublag
angklung adalah instrument yang juga mempunyai 4(empat) bilah nada yang terdiri dari
nada(ndeng,ndung,ndang,nding) tetapi nadanya lebih rendah dengan gaya selendro.
Jublag ini  berfungsi sebagai penandan dalam gending angklung itu sendiri. Insterument
ini menggunakan alat pukul panggul tetapi ukurannya lebih besar dan d bawah panggul
itu menggunakan karet agar suara jublag terdengar lebih merdu Reong angklung adalah
instrument yang berpencon dengan gaya nada selendro dan dimainkan oleh 4(empat)
orang pemain atau penabuh. Instrument ini menggunakan alat pukul panggul tetapi
panggul itu di lilit dengan benang dengan tujuan agar suara reong tersebut bisa lebih
merdu Kendang angklung, biasanya kalau untuk mengiringi upacara kematian kendang
angklung yang digunakan adalah kendang yang berukuran kecil karena lagu yang
dimainkan adalah lagu ysng  bersifat sedih tetapi dalam angklung kebyar biasanya
menggunakan kendang yang ukurannya lebih besar karena bentuk lagunya lebih
bersemangat dan juga berbentuk kekebyaran. Instrument ini dimainkan oleh 2(dua)
orang penabuh. Kalau menggunakan kendang berukuran kecil cara memainkannya
hanya memukul bagian samping kanan yang diameternya lebih besar atau mukaknya
saja, tetapi kalau menggunakan kendang besar cara memainkannya menggunakan
2(dua) tangan dengan memukul bagian samping kendang dengan motif pukulan seperti
gegilak, dll Tawa-tawa angklung merupakan alat sebagai tempo yang membawa lagu itu
cepat atau pelan.

4. Gambang

Timbulnya Gambelan Gambang di Banjar Sembuwuk Desa Pejeng Kaja ini sudah ada sejak
dahulu, yang merupakan warisan leluhurnya (tetamian). Pada jaman kerajaan Tabanan, salah
seorang dari keluarga “Arya Simpangan” (sekaa gambang sekarang) tinggal di kerajaan
Tabanan. Setelah terjadi perebutan kekuasaan, maka kerajaan Tabanan dibagi menjadi dua. Atas
petunjuk Dalem Watu Renggong (Raja Gelgel, Gusti Ngurah Klating adik Gusti Ngurah
Tabanan diberi tugas oleh Dalem untuk membuat Gambelan Gambang yang gending-gendinya
diambil dari lontar pemberian “wong gamang” (orang halus).

Gambelan ini oleh petunjuk Dalem dipergunakan sebagai sarana perlengkapan di dalam upacara
Ngaben (Pitra Yadnya). Maka sejak saat itu atau petunjuk I Gusti Ngurah Klating, mulailah
orang-orang mempergunakan Gambelan Gambang didalam pelaksanaan upacara Ngaben.

Salah seorang keluarga Arya Simpangan, merasa tertarik untuk ikut membuat Gambelan
Gambang tersebut, kemudian pulang ke Sembuwuk memberitahukan keluarganya tentang
adanya gembelan tersebut dan sepakat untuk membuatnya.
Maka sejak saat itu mulailah di Banjar Sembuwuk ada gambelan Gambang yang pada mulanya
hanya dipergunakan untuk upacara Ngaben (Rundah, wawancara, tanggal 5-11-1986, dalam
Saptanaya, I Nyoman, 1986:13).

Keterangan ini diperkuat oleh Cokorda Agung Suyasa dari Puri Saren Ubud, yang menyimpan
sebuah lontar tentang sejarah gambelan Gambang. Cokorda Agung Suyasa menerangkan sebagai
berikut: Disebutkan pada jaman kerajaan Dalem Watu Renggong (1460 – 1550) di Tabanan ada
sebuah kerajaan. Pada waktu itu raja mempunyai dua orang putra yaitu I Gusti Ngurah Tabanan
dan adiknya I Gusti Ngurah Klating. Karena beliau sudah tua, maka kedudukan beliau diberikan
kepada putranya yang pertama yaitu I Gusti Ngurah Tabanan. Oleh adiknya I Gusti Ngurah
Klating hal itu tidak mau diterima, karena beliau juga menginginkan kedudukan tersebut. Maka
terjadilah perang antara kakak dan adik dalam memperebutkan kedudukan sebagai raja. Kejadian
itu lalu didengar oleh Dalem Watu Renggong, dan Gusti Ngurah Klating dipanggil untuk diminta
keterangannya. Dalam keterangan itu Gusti Ngurah Klating mengakui bahwa dirinya memang
menginginkan kedudukan itu, sehingga terjadilah perang.

Oleh Dalem permintaan Gusti Ngurah Klating bisa dipenuhi, dengan syarat Gusti Ngurah
Klating harus menyelesaikan dulu tugas yang akan diberikan kepadanya. Kemudian Gusti
Ngurah Klating diberi tugas oleh Dalem untuk mencari lontar milik wong gamang, yaitu lontar
“tanpa sastra“ (tanpa tulisan) dan hanya diberi waktu selama tujuh hari. Kalau tidak berhasil
maka Gusti Ngurah Klating akan dikenakan hukuman mati, dan seandainya berhasil nantinya
akan diberi kedudukan sebagai raja. Dalem berkeyakinan bahwa tugas itu sudah pasti tidak dapat
dipenuhi, karena hal itu hanya merupakan hukuman saja.

Dengan perasaan ragu-ragu Gusti Ngurah Klating berangkat mememnuhi permintaan Dalem.
Gusti Ngurah Klating juga berkeyakinan bahwa hal itu tidak mungkin untuk dipenuhi. Segala
tempat yang keramat dikunjunginya, tetapi dari sekian tempat yang sudah dikunjungi satupun
tidak ada menunjukan tanda bahwa itu ada lontar yang dimaksud oleh Dalem.

                Pada hari terakhir (hari ketujuh) siang hari saat matahari dengan teriknya
memancarkan sinar, Gusti Ngurah Klating merasa kepanasan, sehingga timbul niatnya untuk
mencoba berteduh yang kebetulah pada waktu itu menjumpaui pohon kepuh yang sangat besar
terletak disebuah kuburan. Kemudian sambil merebahkan diri, Gusti Ngurah Klating mencoba
untuk tidur. Pada saat itu entah dari mana datanglah burung gagak yang jumlahnya sangat
banyak mengitari pohon kepuh tersebut sambil mengibas-ngibaskan sayapnya. Gusti Ngurah
Klating kemudian terbangun dan melihat burung gagak yang sangat banyak itu. Dari kerumunan
burung gagak itu kemudian jatuh sebuah lontar tepat dihadapan Gusti Ngurah Klating. Lontar
tersebut lalu diambil dan setelah digenggam, kembali Gusti Ngurah Klating mencari-cari dimana
burung gagak tersebut berada, tetapi ternyata sudah hilang.

                Dengan didapatnya lontar tersebut, Gusti Ngurah Klating kembali ke Gelgel untuk
menghadap Dalem tanpa memeriksa apa isinya. Di Gelgel Dalem menyambut kedatangan Gusti
Ngurah Klating dengan dugaan bahwa tugas itu sudah pasti tidak dapat dipenuhi. Gusti Ngurah
Klating menghadap dan menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya, serta menghaturkan
lontar yang telah didapatnya.
                Dalem kemudian memeriksa isi lontar tersebut, dan betapa terkejutnya karena lontar
lontar tersebutlah yang sebenarnya diminta oleh Dalem. Karena janjinya untuk menobatkan
Gusti Ngurah Klating sebagai raja, maka kerajaan kaka Gusti Ngurah Klating (I Gusti Ngurah
Tabanan) lalu dibagi menjadi dua. Sebelum dinobatkan menjadi raja, Gusti Ngurah Klating
disuruh oleh Dalem untuk membuat seperangkat gambelsn yang gending-gendinya diambil dari
lontar tersebut.

                Karena gending-gending tersebut diambil dari lontar milik wong gamang, maka
barungan gambelan tersebut oleh Dalem diberi nama gambelan gambang yang dipergunakan
untuk mengiringi jalannya upacara.

Sebelum dimainkan gambelan tersebut diberikan sesajen dengan tujuan untuk dihaturkan kepada
wong gamang agar tidak menggagu jalannya upacara. Maka sejak saat itulah di Bali berkembang
Gambelan Gambang yang dipergunakan sebagai sarana pelengkap di dalam melakukan upacara
atau yadnya.
MANUSA YADNYA

SEMARA PEGULINGAN

Gamelan yang dalam lontar Catur  Murni disebut dengan gambelan Semara Aturu ini adalah
barungan madya,yang bersuara merdu sehingga banyak dipakai untuk menghibur raja-raja pada
zaman dahulu.Karena kemerduan suaranya,gambelan Semar Pagulingan (Semar =
samara,Pagulingan = tidur) konon biasa dimainkan pada malam hari ketika raja-raja akan
keperaduan (tidur).Kini gambelan ini bias dimainkan sebagai sajian tabuh instrumental dan atau
untuk mengiringi tari-tarian maupun teater.

Masyarakat Bali mengenal dua macam Semar Pegulingan di Bali : yang berlaras pelog 7 (tujuh)
nada dan belaras 5 (lima) nada.Kedua jenis Semar Pegulingan secara fisik lebih kecil dari pada
Gong Kebyar terlihat dari ukuran instrumennya gangsa dan teromponga yang lebih kecil dari
pada yang ada di Gong Kebyar.

Instrumentasi gambelan Semar Pegulingan (milik STSI Denpasar) meliputi :1 bua terompong
(12 buah pencon) ; 2 buah gender rambat (berbilah 14); 2 buah gangsa barungan (berbilah 14);
4 tungguh gangsa gantungan pemade; 4 tungguh gangsa gantungan kantil; 2 tungguh jegogan;
2 tungguh jublag (masing-masing berbilah 7); 2 buah kendang kecil; 1 buah kajar; 1 buah
klenang; 1 buah kempur (gong kecil); 1 pangkon ricik; 1 buah gentorag; 1-2 rebab dan 1-2
buah suling,dan memiliki fungsi sebagai :

1. 2 tungguh Gender Rambat, yaitu alat musik wilahan yang terbuat dari bahan perunggu
yang diletakkan di atas tungguh kayu dengan resonator bamboo. Fungsinya sebagai
pembawa lagu menggantikan terompong. Panjang wilahannya lbh kurang 13 -15 cm,
lebarnya lebih kurang 3 – 4,5 cm, tipisnya lbh kurang 2 – 3 mm.

1. 1 tungguh Trompong, 14 pencon, yaitu instrument musik menyerupai gong yang terdiri
dari 14 buah yang diletakkan di atas rak.  Diameternya beragam mulai dari ukuran yang
paling kecil hingga terbesar, yaitu  mulai dari 12 – 20 cm, dengan tinggi permukaannya
lbh kurang 10 cm.
1. 4 tungguh gangsa Pemadih atau Pemade, 7 bilah, istrumen wilahan yang diletakkan di
sebuah rak kayu dari bahan kayu nangka, dengan resonator yang terbuat dari bamboo.
Panjang wilahannya lebih kurang 15 – 25 cm, lebar 3 – 4,5 cm dengan ketebalan 2 – 3
mili meter.

1. 4 tungguh gangsa Kantil, 7 bilah, yaitu alat musik wilahan yang terbuat dari bahan
perunggu yang terdiri dari tujuh wilahan yang diletakkan di atas rak yang terbuat dari
bahan kayu, dengan resonator dari bambu. Panjang wilahannya adalah beragam dari yang
kecil hingga yang besar, yaitu sekitar  panjang 15 – 25 cm, lebar lebih kurang 4 – 5 cm,
dan ketebalan lbh kurang 2 – 3 mili meter. Alat ini dimainkan dengan menggunakan
sebuah alat pemukul (stik) dengan tangan kanan dan tangan kiri berfungsi sebagai
damper, untuk memute suaranya.

1. 2 buah Juglag, 7 wilahan, yaitu alat musik wilahan yang terbuat dari bahan perunggu
yang diletakkan di atas rak atau tungguhan yang terbuat dari bahan kayu dengan tinggi
lebih lkurang 40 – 45 cm. Panjang wilahannya lebih kurang antara 40 – 45 cm, lebar 4 –
6 cm dan ketebalannya lebih kurang 3 – 4 cm,  dan diletakkan di atas resonator bambu.

1. 2 tungguh Penyelah , 7 bilah yaitu alat musik wilahan yg lebih kecil dari Juglag, yaitu
wilahan yang terbuat dari bahan perunggu yang diletakkan di atas rak atau tungguhan
yang terbuat dari bahan kayu dengan tinggi lebih lkurang 30 – 40 cm. Panjang
wilahannya lebih kurang antara 30 – 35 cm, lebar 4 – 5 cm, dan ketebalan 2 – 3 mili
meter. Wilahan tersebut diletakkan di atas resonator bamboo. Dimainkan dengan dua
buah stik (tangan kiri dan kanan);

1. 2 tungguh Jegogan, 7 bilah, yaitu isntrumen wilahan yang terbuat dari bahan perunggu
yang diletakkan dalam sebuah rak yang terbuat dari bahan kayu dan didalamnya terdapat
resonator dari bamboo dengan tinggi lebih kurang 40 – 45 cm. Panjang wilahannya lebih
kurang 25 – 30 cm, dengan lebar 3 – 4 cm dan ketebalan lebih kurang 2 – 3 mm.

1. 1 gong Gayor  yaitu gong yang diletakkan di rak yang terbuat dari bahan perunggu
dengan diameter 45 – 55 cm, dengan tinggi permukaan 5 – 7 cm. Alat ini biasanya
biasanya berpasangan dengan kenong dan Kempur, namun dalam Semar Pagulingan alat
musik kempur tidak dipergunakan.

1. 2 buah Kendang Krumpungan, yaitu kendang lanang dan kendang wadon, yaitu gendang
dua sisi. Kedua gendang ini pada prinsipnya ukurannya sama, hanya fungsinya dalam
ensambel musik yang dibedakan serta pelarasannya. Panjangnya lebih kurang 60 cm,
dengan diameter sisi kiri 20 cm, dan sisi kanan 24 cm. Gendang ini terbuat dari bahan
kayu nangka dan membrannya terbuat dari kulit sapi. Gendang ini dipukul dengan
menggunakan satu buah alat pemukul (stik) untuk tangan kanan, dan tamparan tangan
untuk tangan kiri.

1. 1 kendang Bebarongan, gendang kecil, ukurannya lbh kurang 55 cm, diameter


membrannya lbh kurang 20 cm sebelah kiri dan 24  cm sebalah kanan.
1. 1 buah Ceng-Ceng Rucik, ceng-ceng yg lbh kecil dari biasanya, yaitu sejenis simbal
dengan diameter lebih kurang 8 – 9 cm, dengan ketebalan lebih kurang 1 – 2 mm.

1. 1 buah Gentorak, sejenis genta yang terdiri dari beberapa buah genta kecil. Cara
memainkannya dengan menggoyangkannya, sehingga suaranya gemerincing. biasa
dipakai dlm upacara, terbuat dari perunggu. Diameter gentanya lebih kurang 2 – 4 cm,
dengan tinggi permukaannya sekitar 3 – 4 cm, dan ketebalannya lebih kurang 1 mili
meter.

1. 1 buah Kajar, yaitu sejenis gong kecil yang berpencu yang berfungsi sebagai tempo.
Biasa juga disebut kethuk. Diammeternya lebih kurang 15 cm, dengan tinggi
permukaannya lbih kurang 10 cm, dan ketebalan lbh kurang 1 – 2 mili meter.

1. 1 buah Kenong, merupakan gong kecil yang diletakkan di atas rak yang terbuat dari
bahan perunggu, dengan ukuran diameter lebih kurang 15 – 17 cm, dan tinggi 8 – 10 cm
dengan ketebalan lebih kurang 1 – 2 mm;

1. 1 buah Klenang, adalah juga sejenis gong kecil  yang terdiri dari satu buah terbuat dari
bahan perunggu berfungsi sbg pemanis tempo atau penyela. Bentuknya hampir sama
dengan Kajar, demikian juga ukurannya.

1. 2 tungguh Kempyung, terdiri dari dua nada, yaitu sejenis gong kecil dgn diameter 15 cm
dan tingginya lbh krg 10 cm dan ketebalannya lebih kurang 1 – 2 mm;

1. 1 buah Rebab, yaitu alat musik gesek bersenar dua, dengan panjang lebih kurang 70 –
100 cm. Terbuat dari bahan kayu nangka, dengan senar dari bahan metal, dan membrane
dari kulit, dan terdiri dari alat penggesek (bow).

1. 4 buah Suling, yaitu end blown flute, yaitu suling yang terbuat dari bahan bambu dengan
panjang lebih kurang 25 – 30 cm, dengan diameter 1 – 1,5 cm.

Intrumen yang memiliki peran penting dalam barungan ini adalah terompong yang merupakan
pemangku melodi.Terompong adalah instrument bermoncol (masuk keluarga gong ),yang
ditempatkan berjejermulai nada rendah hingga yang tertinggi.dalam satu pangkon terdiri dari 14-
16 moncol dengan setiap moncol satu nada.Terompong mengganti peran suling dalam
Penggambuhan dalam hal memainkan melodi dengan dibantu rebab,suling,gender rambat,dan
gangsa barangan.Sebagai pengisi irama adalah jublag dan jegogan yang masing-masing
pemangku lagu,semntara kendang merupakan instrument yang memimpin perubahan dinamika
tabuh.Gending-gending Semar Pegulingan banyak mengambil gending-gending Pagambuhan.
Beberapa desa yang hingga masih aktif memainkan gambelan Semar Pegulingan adalah;Sumerta
( Denpasar ),Kamasan ( Klungkung ),Teges dan Pliatan ( Gianyar ).

Kesamaan unsur-unsur gambelan Pegambuhan dengan Semar Pegulingan yang paling menonjol
adalah kesamaan dari sebagian besar repertoar lagunya.Kesamaan ini otomatis menyangkut
sebagian besar unsur musical terutama struktur lagu,pola melodi dan ritme,dinamika,juga pola
permainan instrumen-instrumen pengatur matra dan instrument-instrumen ritmis.Kesamaan yang
lain adalah pengguanaan sebagian besar instrument ritmis dan pengatur matra.Beda penggunaan
instrumen dalam gembelan Semar Pegulingan dengn gambelan Pegambuhan hanya terletak pada
instrument-instrumen melodisnya.Kalau gambelan Pegambuhan menggunakan suling
besar,sedangkan gambelan Semar Pegulingan menggunakan terompong dan keluarga gangsa
( saron yang di gantung ) sebagai instrument melodis.Rebab yang dalam Pegambuhan sebagai
pemegang melodi pokok bersama-sama suling,dalam gambelan Semar Pegulingan hanya untuk
memperkaya dan memperpanjang durasi melodi.Pola dalam permainan rebab dan suling dalam
Semar Pegulingan telah mempunyai pola tersendiri dalam merealisasi melodi-melodi pokok yang
dimainkan oleh terompong.

Bentuk instrumen rebab dalam gambelan Pegambuhan dan rebab dalam gambelan Semar
Pegulingan pada prinsipnya sama,sedangkan suling dalam gambelan Semar Pegulingan
digunakan suling menengah dan suling titir.

Terompong dan gangsa sebagai intrumen melodis dalam gambelan Semar Pegulingan dpat
digunakan untuk memainkan hamper semua reperator pegambuhan berikut dengan ragam
patetnya.Instrumen-instrumen keluarga gangsa mulai yang bernada terendah seperti
jegogan,jublag.gangsa,pemade,dan gangsa kantilan,dalam satu pangkon hanya terdiri tujuh
bilah nada.

Intrumen-instrumen pengtur matra dalam gambelan Pegambuhan dan gambelan Semar


Pegulingan pada umumnya sama yaitu kempul,kajar,klenang,dan gumanak  hanya saja
instrument gumanak belakangan ini jarang digunakan dalm gambelan Semar Pagulingan.Bentuk
serta ukuran instrument-instrumen tersebut baik dalm gambelan Pegambuhan maupun dalam
gambelan Semar Pegulingan tidak menunjukan perbedaan prinsip.Demikian hanya denagn
instrument-instrumen ritmis,bentuk,ukuran,dan penggunaannya baik dalam gambelan
Pegambuhan  maupun dalam gambelan Semar Pegulingan adalh sama yaitu kendang
krumpungan,ricik,kangsi,dan genta orag.Terhadap masing-masing perangkatnya,semua
intrumen-instrumen tersebut baik pengatur matra maupun instrument ritmis memiliki pola
permainan yang sama.Demikian juga hubungan pola permainan antara instrument yang satu
dengan yang lainnya.

Kesamaan jenis fisik,bentuk fisik,uukuran instrument dan fungsi terhadap perangkatnya secara
langsung menyebabkan cara memainkanya juga sama.Lain halnya dengan instrumen melodis
pada gambelan Semar Pegulingan sangat berbeda dengan instrumen melodis pada gambelan
Pegambuhan,yang ini tentu menyebabkan cara prmainan instrument yang berbeda pula.Kalau
dalam gambelan Pegambuhan instrumen melodis pokok dimainkan dengan cara ditiup,dalam
gambelan Semar Pegulingan instrument melodis pokok (terompong) dimainkan dengan cara
dipukul dengan sepasang panggul (alat pukul).

Terompong dipukul dengan dua panggulyang terbuat dari batang kayu,setengah sebagai tempat
memegang dan setengahnya lagi dililit dengan benang merupakan bagian dari yang
dipukulkan.Gangsa dan kantil dipukul dengan panggul yang berbentuk hammer,juga terbuat dari
kayu .Jublag juga dipukul dengan panggul yang berbentuk hammer,hanya saja karena diperlukan
durasi sura yang agak panjang,pada bagian yang dipukulkan diisi dengan karet agar lebih lembek
dan lentur.Sedangkan pangggul jegogan mrip dengan panggul gong dan kempur,hanya saja
tangkainya dibuat lebih panjang agar dapat ,menjangkau bilah nada yang cukup besar dan
panjang.

Kesamaan bentuk musikal terutama repertoar lagu dan hubungan kait denggan antara gambelan
Semar Pegulingan dengan gambelan Pegambuhan juga perkuat oleh deskripsi yang terdapat
dalam lontar Prakempa dan Aji Gurnita sebagai berikut ; “Nyata gegambelan Semar Pegulingan
naran samara aturu,gendingan Pegambuhan maka gegambelan,barong singa”(Dan itu
gambelan Semar Pegulingan artinya atau bernama Semara Aturu,lagunya Pegambuhan untuk
mengiringi tari Barong Singa).Penulis masih belum memahami apa yang dimaksud gambelan
Semar Pegulingan sebagai iringan barong singa,sebab dewasa ini Semar Pegulingan di Bali
bakanlah gambelan khusus iringan tari tertentu.Gambelan Semar Pegulingan biasanya
dimainkan sebagai musik protokoler pada upacara-upacara adat dan keagamaan.Selain itu tari
Barong Singa hingga saat ini belum prnah telihat keberadaanya di Bali,yang ada adalah Barong
Macan .Kendatipun dewasa ini dalam gambelan  Semar Pegulingan sering digunakan untuk
mengiringi dramatari Gambuh belumlah dianggap sebagai tradisi,karena hal itu dilakukan
dengan alas an fleksibelitas dan salah satu penambahan fungsi gambelan Semar Pegulingan.

  Adanya kesamaan hamper semua repertoar lagu Pegambuhan dengan gambelan Semar
Pegulingan bukan berarti gambelan Semar Pegulingan tidak memiliki ciri musikal.Perbedaan
jenis,bentuk,bahan dan teknik permainan instrument-instrumen melodis Semar Pegulingan
menyebabkan lagu-lagu  Pegambuhan menyesuaikan diri dengan medianya yang baru.Melodi-
melodi yang sebelumnya dimainkan lewat media suling dan rebab,di transfer ke dalam
instrument bermoncol dan berbilah yang tentunya di ikuti teknik dn pola permainannya,akan
mengasilkan warna musikal yang berbeda pula.Dari segi pola  permainan instrument,melodi-
melodi yang dalam gambelan Pegambuhan  di ungkapkan dengan sederhana mengalir lewat
media suling,dalam gambelan Semar Pegulingan di tambah dengan pola permainan kotekan
(interlocking) lewat media gansa dan kantil.

Gambelan Pegambuhan dan Semar Pegulingan sama-sam menagnut sistam pelarasan pelog
tujuh nada.Apabila gambelan Pegambuhan mampu menurunkan lima macam  tetekep (
patet ),gambelan Semar Pegulingan juga mampu menurunkann lima patutan ( patet ).Kelima
patutan tersebut memilki nama yang sama dengan tetekep yang ada pada gambelan gambelan
Pegamabuhan ,yaitu patutan selisir,patutan tembung,patutan sundaren,patutan baro,dan
patutan lebeng.Prinsip patet kedua gambelan pada dasarnya sama ,yaitu nada yang jumlahnya
tujuh terbagi   menjadi dua yaitu lima nada pokok dan dua buah nada pemero.Karakter masing –
masing patet dalam gambelan Semar Pegulingan kendatipun telah berbeda warna musikalnya
dengan gambelan Pegambuhan ternyata juga dapat menampilkan kesan yang serupa.Seperti
misalnya patutan selisir berkarakter halus,patet tembung berkarakter keras,dan patet sudaren
berkarakter antara halus dan keras.

Banyaknya unsur kesamaan antara gambelan Semar Pegulingan dengan gambelan Pegambuhan
menyebabkn gambelan Semar Pegulingan belakangan inijuga sering digunakan untuk
mengiringi dramatari Gambuh.Menurut keterangan I Wayan Dibia ( seorang pakar tari
Bali ),menarikan dramatari Gambuh dengan iringan Semar Pegulingan tidak mengalami
kesulitan yang berarti.Hal yang membedakan hanya dari segi suasana ( mood ),sebab Semar
Pegulingan selain warna suaranya berbeda dengan Pegambuhan,juga lebih ramai dan keras.
Kesamaan unsur-unsur gamelan  Pegambuhan dengan gamelan Semar Pagulingan yang paling
menonjol adalah kesamaan ini secara otomatis  menyangkut sebagian besar unsur musikal
terutama unsur lagu , pola melodi dan ritme,dinamika juga pola permainan instrumen-instrumen
pengatur matra dan instrumen-instrumen ritmis Kesamaan yang lain adalah penggunaan sebagian
besar instrumen ritmis  dan pengatur matra.  Beda penggunaan instrumen dalam gamelan smar
pagulingan dengan gamelan pengambuhan hanya terletak pada instrumen-instrumen melodisnya.
Kalau gamelan pengambuhan menggunakan suling besar,gamelan smar pagulingan
menggunakan trompong dan keluarga gangs ( saron yang digantung) sebagai instrumen melodis.
Rebab yang dalam gamelan pengambuhan  sebagai pemegang melodi pokok bersama-sama
suling , dalam gamelan smar pagulingan hanya untuk memperkaya dan memperpanjang durasi
melodi.pola permainan rebab dan suling dalam gamelan smar pagulingan telah mempunyai pola
tersendiri dalam merealisasi melodi-melodi pokok yang dimainkan oleh trompong.bentuk
instrumen rebab dalam gamelan pengambuhan dan rebab dalam gamelan smar pagulingan pada
prinsipnya sama,sedangkan suling dalam gamelan smar pagulingan digunakan suling menengah
dan suling titir.trompong dan gangsa sebagai instrumen melodis dalam gamelan smar pagulingan
dapat digunakan untuk memainkan hampir semua repertoar pengambuhan berikut dengan ragam
patetnya.trompong adalah instrumen bermoncol (masuk keluarga gong) ,yang ditempatkan
berjejer mulai dari yang bernada  rendah hingga yang tertinggi. Dalam satu pangkon terdiri dari 
14-16 moncol satu nada. Gamelan semar pagulingan juga memiliki sistem pelarasan pelog tujuh
nada ( saih pitu),ini berarti ada dua oktaf (gemyangan) nada dalam instrumen trompong
tersebut.instrumen –instrumen keluarga gangsa mulai yang bernada terendah seperti
jegogan,jublag,gangsa pemade,dan gangsa kantilan dalam satu pangkon hanya terdiri dari tujuh
bila nada.

Instrumen -instrumen pengatur matra dalam gamelan pengambuhan dan gamelan smar
pagulingan pada umumnya sama yaitu kempul,kajar,klenang,dan gumanak hanya saja instrumen
gumanak belakangan ini jarang digunakan dalam gamelan smar pagulingan. Bentuk  serta ukuran
instrumen-instrumen tersebut baik dalam gamelan pengambuhan maupun dalam gamelan smar
pagulingan tidak menunjukan perbedaan prinsipil. Demikian halnya dengan instrumen-
instrumen  ritmis,bentuk,ukuran,dan penggunaannya baik dalam gamelan Pengambuhan maupun
Smar pagulingan adalah sama yaitu kendang krumpungan,ricik,kangsi,dan genta orag. Terhadap
masing-masing perangkatnya,semua instrumen-instrumen tersebut baik pengatur matra maupun
instrumen ritmis memiliki pola permainan yang sama. Demikian juga hubungan pola permainan
antara instrumen yang satu dengan lainnya.Kesamaan jenis,bentuk fisik,ukuran instrumen dan
fungsi terhadap perangkatnya secara langsung menyebabkan cara memainkannya juga sama.

Kesamaan bentuk musikal terutama repertuar lagu dan hubungkait antara gamelan semar
pegulingan dngan gambelan pegambuhan juga diperkuat oleh deskripsi yang terdapat dalam
lontar Prakempa dan Aji Gurnita sebagai berikut:’’nyata gegambelan semar pegulingan ngaran
semara aturu,gendingnya pegambuhan maka gegambelan barong singa’’(Dan itu gamelan semar
pegulingan artingya atau bernama semara aturu,lagunya pegambuhan untuk mengiringi tari
barong singa). Penulis masih belum memahami apa yang dimaksud dengan gambelan semar
pegulingan sebagai iringan barong singa,sebab dewasa ini gamelan semar pegulingan di Bali
bukanlah gamelan khusus iringan tari tertentu. Gamelan semar pegulingan biasanya dimainkan
sebagai musik protokoler pada upacara-upacara adat dan keagamaan selain itu tari barong singa
hingga saat ini belum pernah penulis lihat keberadaannya di Bali,yang ada adalah barong macan.
Kendatipun dewasa ini gamelan semar pegulingan sering digunakan untuk mengiringi drama tari
gambuh belumlah dianggap sebagai tradisi,karena hal itu dilakukan dengan alasan fleksibelitas
dan salah satu penembahan fungsi gamelan semar pegulingan.

Adanya kesamaan hampir semua repertuar lagu pegambuhan dengan gamelan semar pegulingan
bukan berarti gamelan semar pegulingan tidak memiliki ciri musikal. Perbedaaan jenis,
bentuk,bahan,dan tekhnik permainan instrumen-instrumen melodi semar pegulingan
menyebabkan lagu-lagu pegambuhan menyesuaikan diri dengan medianya yang baru. Melodi-
melodi yang sebelumnya dimainkan lewat media suling dan rebab,ditransfer kedalam instrumen
bermoncol dan berbilah yang tentunya diikuti tekhnik dan pola permainnannya,akan
menghasilkan warna musikal yang berbeda pula. Dari segi pola pemainan instrumen,melodi-
melodi yang dalam gamelan pegambuhan diungkapkan dengan sederhana mengalir lewat media
suling,dalam gamelan semar pegulingan ditambah dengan pola permainan kotekan (interlocking)
lewat media gangsa dan kantil.

Gamelan pegambuhan dan semar pegulingan sama-sama menganut sistem pelarasan pelog tujuh
nada. Apabila gamelan pegambuhan mampu menurunkan lima macam patutan (patet). Kelima
patet tersebut memiliki nama yang sama dengan tetekep yang ada pada gamelan pegambuhan
yaitu patet slisir,tembung,sundaren,baro,dan patet lebeng. Prinsip patet kedua gamelan pada
dasarnya sama,yaitu pada nada yang jumlahnya tujuh terbagi menjadi dua macam yaitu lima
nada pokok dan dua nada pemero. Karakter masing-masing patet dalam gamelan semar
pegulingan kendatipun telah berbeda warna musikalnya dengan pegambuhan ternyata juga dapat
menampilkan kesan yang serupa. Seperti misalnya patet slisir berkarakter halus,tembung
berkarakter keras,dan patet sundaren berkarakter antara halus dan keras.

Semar Pegulingan
Gamelan yang dalam lontar Catur Muni-muni disebut dengan gamelan semara aturu ini adalah
barungan madya, yang bersuara merdu sehingga banyak dipakai untuk menghibur raja-raja pada
zaman dahulu. Karena kemerduan suaranya, gamelan Semar Pagulingan (semar=semara,
pagulingan=peraduan) konon biasa dimainkan pada malam hari ketika raja-raja akan ke peraduan
(tidur). Kini gamelan ini bisa dimainkan sebagai sajian tabuh instrumental maupun mengiringi
tari-tarian/ teater.

Masyarakat Bali mengenal dua macam Semar Pagulingan:


1 Semar Pagulingan yang berlaras pelog 7 nada
2 Semar Pagulingan yang berlaras pelog 5 nada
Kedua jenis Semar Pagulingan secara fisik lebih kecil dari barungan Gong Kebyar terlihat dari
ukuran instrumennya. Gangsa dan trompongnya yang lebih kecil dari pada yang ada dalam Gong
Kebyar.

Instrumentasi gamelan Semar Pagulingan (milik STSI Denpasar) meliputi:


Jumlah Satuan Instrumen
1 buah trompong dengan 12 pencon
2 buah gender rambat berbilah 14
2 buah gangsa barungan berbilah 14
2 tungguh gangsa gantungan pemade
2 tungguh gangsa gantungan kantil
2 tungguh jegogan
2 tungguh jublag, masing-masing berbilah 7
2 buah kendang kecil
2 buah kajar
2 buah kleneng
1 buah kempur (gong kecil)
1 pangkon ricik
1 buah gentorag
1-2 buah rebab
1-2 buah suling
Instrumen yang memegang peranan penting dalam barungan ini adalah trompong yang
merupakan pemangku melodi. trompong mengganti peran suling dalam Panggambuhan, dalam
hal memainkan melodi dengan dibantu oleh rebab, suling, gender rambat dan gangsa barangan.
Sebagai pengisi irama adalahJublag dan jegogan masing-masing sebagai pemangku lagu,
sementara kendang merupakan instrumen yang memimpin perubahan dinamika tabuh.

Anda mungkin juga menyukai