Anda di halaman 1dari 5

Menuju Krisis di Kepala Dua

Tak ku sadari, sudah berapa lama waktu yang terbuang hanya untuk
menerungi akan kehidupan ini. Aku adalah seorang gadis pengacara alias
pengangguran banyak acara. Seorang gadis yang telah menyelesaikan
pendidikannya di jenjang SMA dan memasuki fase dimana aku menjadi seorang
dewasa yang tidak mempunyai arah kemana aku pergi setinggi-tingginya. Impian
sejatiku adalah setelah lulus SMA aku melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
Namun apa daya diriku yang hanya siswi biasa-biasa saja, yang besar dari
keluarga yang bukan apa-apa di dunia ini, impian simpel itupun akhirnya tertunda
untuk beberapa waktu, atau mungki selamanya pikirku.

***

Hari ini, adalah hari dimana aku memasuki usia yang ke dua puluh aku
hidup. Hari ini juga hari dimana tepat dua tahun aku menjalani kehidupan sebagai
seorang gadis pengacara. Aku menyebutnya pengacara karena tidak sebegitu
penganggurannya diriku. Bisa dibilang aku suka membuat berbagai macam acara.
Acara tentang bagaimana aku akan membuat makanan yang menyenangkan perut,
acara tentang pose tidur model apa lagi yang harus ku coba, ataupun acara ajang
komedi tentang kehidupan pagiku yang selalu dipenuhi dengan paduan suara dari
ibuku tercinta.

Sudah sejak sore ini aku duduk termenung di teras rumah. Melihat langit
senja yang indah dipandang, diiringi tarian burung berterbangan kian-kemari
secara berkelompok hendak kembali ke rumah ternyamannya di pohon. Aku
memejamkan mataku. Ku renungi akan perjalanan hidupku selama dua puluh
tahun ini. Apa saja yang ku lakukan? Mengapa pada akhirnya aku bisa berada di
titik ini, tepat di hari ini, sebagai gadis pengacara?

Aku mengingat tentang secuil kisahku di usia dua belas tahun. Usia
dimana aku memasuki fase pubertas. Usia dimana aku mulai mencari jati diri,
tentang siapakah aku, apa kesukaanku, dan lain sebagainya. Kala itu, aku masih
duduk di bangku SMP. Aku mengingat dengan jelas, saat itu aku di tunjuk oleh
guruku di sekolah untuk mengikuti lomba matematika. Aku dipilih karena secara
rata-rata ulangan nilaiku selalu stabil dan bahkan meningkat. Tapi, apa yang
terjadi? “Maaf bu, saya tidak bisa mengikuti lomba ini, saya tidak sanggup,”
tolakku mentah-mentah saat di tawarkan untuk mengikuti lomba. “Kenapa
Raisa?” tanya guruku. Aku memutar otak ku dengan cepat untuk mencari alasan
yang bisa dipercaya. “Anu bu.... Saya hari itu ada pergi keluar kota bersama
keluarga, sangat mendesak karena ada acara keluarga yang tidak bisa tidak hadir,”
jelasku meyakinkan guru. Guruku terdiam sejenak, lalu mengangguk seolah
mengerti alasan buatanku yang ia yakini benar adanya. Aku tersenyum lega waktu
itu. Namun tidak dengan sekarang.

Jujur aku sangat menyesal. Dari satu peluang yang ku tolak, lama-lama
penolakan itu terus berlanjut. Saat aku berada di puncaknya masa sekolah
menengah pertama, aku kembali ditawarkan tentang lomba story telling bahasa
inggris. Tawaran itu aku tolak dengan alasan yang hampir sama. Berbedanya
hanyalah di alasan aku keluar kota kala itu karena ikut pekerjaan ayahku. Memang
saat itu ayahku mempunyai pekerjaan yang berpindah-pindah tempat. Guru-guru
ku mengiyakan saja tanpa menelusuri lebih dalam apakah alasanku nyata atau
hanya tipuan.

Begitu seterusnya sampai aku di jenjang SMA. Beberapa lomba yang


diadakan sekolah selalu aku abaikan, atau jika ditawarkan aku menolak dengan
berbagai macam alasan yang selalu terlintas di benakku. Sungguh memang malas
aku.

Aku tidak menyukai berpikir terlalu keras, aku tidak menyukai harus
belajar terus-menerus sampai bergadang. Yang pasti adalah aku tidak suka
merepotkan diriku untuk berjuang. Dan kini buahnya aku panen sekarang. Yap.
Dengan nilai yang seadanya, prestasi yang tidak aku punyai satupun, bahkan nilai
tambahan dari hal apapun juga aku tidak memiliki. Dengan modal diriku yang
seperti itu, sudah jelas aku tidak bisa menggapai mimpi untuk berkuliah. Di
tambah lagi dengan ekonomi keluarga yang tidak seberapa. Berkali-kali aku gagal
dalam ujian masuk. Sampai frustasi rasanya.
“Kenapa kamu tidak coba bekerja saja nak?” ucap ibu waktu itu setelah
melihat aku terlihat lelah berjuang ujian masuk universitas namun akhirnya gagal.
Aku hanya memandangi ibu dengan sayu dan menghela nafas. “Ibu tahu sendiri
bukan? Anak lulusan SMA bisa apa bu? Siapa yang mau menerima karyawan
seperti aku....”

“ Tidakkah kau mau mencoba dulu? Siapa tahu jika itu memang rejekimu
cah ayu,” ibu mengatakan hal itu sambil memijat pundakku menyemangati aku.
Diriku yang pecinta rebahan malas mendengar perkataan ibu. “Ya bu biar ku
coba,” Meskipun aku sudah menjawab ibu seperti itu, tetap saja tidak aku lakukan.
Setiap aku mencoba mencari lowongan pekerjaan, selalu saja ada hal yang tidak
aku sukai. Entah itu gaji yang terlalu kecil, pekerjaan yang satu hari penuh,
pekerjaan yang terlalu biasa-biasa saja, ada saja yang membuat pada akhirnya aku
enggan melamar pekerjaan itu. Padahal aku hanyalah anak lulusan SMA, tapi
inginku setara dengan anak yang bergelar sarjana haha.

***

Mata yang kupejamkan kubuka kembali. Aku tersenyum pasrah. Baru saja
masuk di kepala dua aku sudah terjebak dengan masa depan yang abu-abu. Aku
merasa semuanya sudah terlambat. “Jika saja sejak dini aku mau berjuang, aku
mau belajar, aku mau berusaha, mungkin di usia sekarang ini aku bisa saja jadi
miliader hahaha,” ucapku membual menghibur diri sendiri yang sejak siang terus
merenungi kesalahanku selama dua puluh tahun hidup.

Ibu yang melihatku tertawa sendiri sambil duduk di teras rumah


menghampiriku. Ibu duduk di sampingku. Ibu mengelus rambutku dan bertanya,
“Ada hal yang menyenangkan sayang? Kamu tertawa sendiri,”

Aku melihat ibu yang memandangiku dengan tulus. Tak kuasa aku
menahan penyesalanku. Aku menangis di pelukannya. Ibu yang begitu sabar
memelukku dan menenangkanku. “Perjalananmu masih panjang nak. Masih
belum terlambat,” ucap ibu. “Tapi bu, aku sudah dua puluh tahun. Aku bingung
kedepan aku mau melakukan apa, rasanya masa depanku tidak ada bu,”
Ibu menonyol jidatku pelan. “Makanya, kalau ibu beritahu jangan di tolak
mulu. Dari kecil ibu kan selalu mengarahkan kamu untuk menekuni apa yang bisa
kamu tekuni. Tapi selalu saja kamu tolak karena kemalasanmu dan ogah-
ogahanmu,”

Aku terdiam mendengarkan ibu berbicara. Aku yang sudah berusia dua
puluh tahun ini, yang sudah bisa berpikir dengan logika dan akal sehat yang
jernih, hanya mampu mengangguk dan menyesal.

Setelah ibu menenangkanku dan menghiburku, ibu kembali masuk ke


rumah hendak menyiapkan makan malam keluarga. Aku masih duduk di teras
rumah dan kembali memandangi langit yang semakin gelap. “Yah.... sejatinya jika
begini yang namanya quarter life crisis bisa terjadi karena kemalasanku sendiri
dong hahaha,” batinku tertawa dengan pasrah.
Nama : Debora Angelica Ardi Nugraha

Nama Rekening : DEBORA ANGELICA ARDI NUGRAHA

Nomor Rekening : 1540575939 (BCA)

No Whatsapp : 085292036075

E-mail : deboraangelica4088@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai