Anda di halaman 1dari 5

Aku dan Secuil Empati

Aku berbaring beralaskan rotan yang disusun menjadi sebuah tikar dengan
sebagian tubuh di atas kasur menatap langit yang tenang seperti aliran sungai yang
terus mengalir pelan tanpa gangguan. Aku merasa hampa tapi tak bisa ku jelaskan
penyebabnya, hingga tersadarlah aku jika hari berlalu begitu cepat dan aku hanya
melakukan sesuatu yang berulang tiap hari ke harinya dan aku tahu betul yang
kurasakan ini hanyalah bosan. Lamunanku hilang seketika saat suara yang cukup
tinggi mengejutkanku.
“Dek, hari ini Ibu ada penyuluhan PMK lagi jangan lupa cuci piringnya dan
setrika baju untuk besok ya!!” seru Ibuku sambil lalu dengan suara yang melengking.
Membosankan, aku berniat keluar sebentar sebelum menegerjakan semua
yang harus kulakukan di rumah. Makanan ringan seperti croissant yang dibentuk
seperti waffel dan dibalut dengan lelehan caramel mungkin akan cocok dengan paket
santai akhir pekan yang ku jalani hari ini.
Tapi saat aku mengenakan training dan mengambil jaket, pintu kamarku lagi
lagi terbuka.
“apa mau ikut Ibu ? hitung-hitung sekalian jalan sambil liat banjir di bawah.”
Kali ini Ibu diam sambil menunggu jawaban dariku.
Untuk apa aku melihat banjir, seperti kurang kerjaan saja. Tapi aku sedikit
penasaran seperti apa perkerjaan yang ibuku lakukan sampai merelakan hari liburnya
hanya untuk menyampaikan beberapa informasi padahal di zaman teknologi canggih
seperti sekarang ini harusnya bisa lewat zoom saja.
Akhirnya tanpa pikir panjang lagi aku menyetujui saran ibuku tercinta ini
dengan harapan bisa sambil beli makanan ringan di pinggir jalan toh manusia satu ini
memang tidak ada kerjaan selain pekerjaan rumah yang itu-itu saja.

Lima menit kemudian dengan kaos abu-abu dilapisi jaket bomber hitam dan
celana jeans standar biru tua aku dan ibu berangkat menuju rumah dokter Risma dan
Pak Mulyani yang nantinya mereka akan ikut juga bersama kami dalam penyuluhan
PMK, Dokter Risma adalah dokter hewan yang bekerja di Dinas peternakan sama
seperti Pak Mulyani.
Dokter Risma tinggal tak jauh dari rumah ku berbeda dengan Pak Mulyani
beliau tinggal di kampung baru. Rumahnya juga kebanjiran namun tidak separah
lingkungan yang lain karena tersusun seperti rumah panggung berkayu. Mereka
terlihat bersahabat dan senang melihat ibu membawaku ikut bersama mereka, pikirku
mungkin karena jarang melihat ada anak seumuranku yang mau ikut orang tuanya
bekerja.
“Mbak Elly kita bisa mulai di sekitar wilayah sini aja dulu, saya tau tempat
yang memelihara ternak sapi” ujar Pak Mulyani sambil sibuk menyalakan motor antik
nan tua bergiginya dengan dorongan kaki kanannya.

Dalam perjalanan yang dipandu oleh Pak Mulyani tak lupa aku
mendokumentasikannya lewat handphone miliku, tapi sungguh disayangkan tempat
yang kami tuju ternyata sudah disinggahi oleh banjir setinggi lutut. Kami berempat
pun terpaksa putar balik dan mencari tempat yang sekiranya bisa kami lewati.

Sialnya kunjungan kali ini membuatku kesal. Banjir ini menyebalkan. Kalau
tau begini aku tidak perlu memakai sepatu jalan tetapi memakai sepatu bot saja
mungkin cocok. Ibu juga tidak memberitahuku bahwa akan melewati banjir setinggi
ini. Bagian bawahku basah semua dan membuatku sangat terganggu selama
perjalanan. Sempat terpikir olehku kenapa tidak di rumah saja daripada harus
melakukan hal yang sangat melelahkan seperti ini. Aku marah,kesal,dan tidak tahu
lagi harus bagaimana, mau minta pulang pun tidak mungkin rasanya dan selama
perjalanan tadi juga aku terus mengomel pada ibuku hingga kami berdebat tanpa
ujung saling menentang satu sama lain. Ibu mengatakan memang seperti inilah
pekerjaannya mau bagaimana lagi, dan aku pun tak kalah menyanggah aku menjawab
mengapa tidak via zoom saja pasti akan lebih mudah.
“ Tidak semua hal bisa diandalkan lewat teknologi seperti itu dek! Bagaimana
yang di daerah pedesaan dan yang memiliki pemahaman kurang dengan teknologi?
Belum lagi disana pasti ada kendala jaringan, sangat mustahil kalau dipaksakan,
kasian mereka.” Perdebatan ini diakhiri dengan balasan tegas dari ibuku.
Aku menyesal ikut Ibu bekerja bahkan di hari yang seharusnya aku menikmati
sisa liburan, meski membosankan sekalipun lebih baik mati kutu di rumah dari pada
ikut dia bekerja.

Tempat yang kami kunjungi ini hanya datang ke rumah pemilik ternak saja
tanpa melihat ternak mereka karena sudah di pindahkan ke tempat yang tidak terkena
banjir. Aku tetap diam menahan emosi serapat mungkin sembari berdiri di ujung
mobil pemilik ternak. Tempat ini seperti bengkel mobil tua dengan tiap ujung tembok
terdapat beberapa kandang kolam kecil dan di sisi lainnya berhamburan ayam jantan
maupun betina. Hingga mataku tertuju pada salah satu kandang kolam yang
dilindungi kurungan besi berair yang sangat tenang sakali dan bewarna sehijau daun
tua.
Sungguh terkejutnya aku melihat ujung mulut yang bertengger di sekat
kurungan besi itu, seekor buaya muara dengan ukuran yang untungnya tidak begitu
besar. Tidak sedetikpun pandanganku teralihkan pada kandang itu sampai ketika
Bapak Mulyani perlahan menghampiriku.
“Dek, buaya itu adalah buaya yang hidup di muara. Perlu diperhatikan bahwa
air yang tenang tidak selamanya aman ya karena di air yang tenang biasanya ada
buaya hehehehe.” ujarnya sambil ikut mengamati kandang tersebut.

“Buaya ini biasanya menunggu mangsanya mendekat dan ia sanggup diam


tanpa gerakan mengawasi mangsanya lalu menerkamnya dan perlu diingat bahwa
buaya akan selalu menerkam bagian kepala lalu membawa mangsanya ke dalam air
dan memutar-mutar tubuh mangsanya hingga lemas dan tak bernyawa lagi,
selanjutnya dia akan makan beberapa bagian tubuh mangsa atau bahkan semua bagian
tubuh mangsanya.” Lanjutnya sambil menceritakan beberapa fungsi tubuh dari buaya
yang kulihat tepat didepan pandanganku dan cara menghindari wilayah yang
berpotensi menjadi wilayahnya untuk berburu.
Aku bergantian menatap buaya itu dan mendengarkan penjelasan Pak
Mulyani, mengagumkan pikirku.
Sudah beberapa tempat yang kami kunjungi setelahnya, kandang sapi daerah
Madurejo, lahan luas khusus ternak sapi, bahkan kandang kambing juga tidak luput
dari penyuluhan kami. Aku dan Ibu tetap diam selama perjalanan hingga sampai pada
kunjungan penutup yang wilayahnya jauh dari keberadaan banjir yang membuatku
muak.

Kunjungan terakhir kami melewati jalanan tanpa aspal beralaskan tanah


semerah batu bata dengan taburan batu kerikil yang lumayan membuat Ibu kewalahan
dan memelankan tempo kendaraan kami. Ibu berulang kali mencoba mengajakku
berbicara namun selalu kubalas dengan jawaban singkat karena aku masih kesal
dengannya, perjalanan ini sungguh melelahkan. Tetapi pikiranku teralihkan ketika
melewati jalanan menanjak ini, pandangan utamaku tertuju saat dikelilingin banyak
sekali pohon karet dan sawit sehingga terasa sekali bau khas sekitar pepohonan saat
kulepas masker putih yang selalu tergantung di wajahku. Sesaat kubayangkan
mungkin akan menyenangkan bila menggelar sebuah tikar kecil di bawah pohon karet
itu sambil membawa beberapa makanan ringan dan buku bacaan seri “Bumi” karya
hayalan Tere Liye untuk menemaniku menghabiskan waktu dan tentunya dengan
kehadiran keluarga kecilku pasti akan lebih dari menyenangkan.
Pikiran di kepala ku bagaikan pasir waktu yang terus berjatuhan pelan
memikirkan setiap inci bayangan betapa serunya menikmati liburan piknik sederhana.
Butiran-butiran pasir tersebut terhenti bersamaan dengan berhentinya motor kami di
salah satu rumah Daerah Tatas Kelurahan Baru, tempat inilah yang akan kami
kunjungi untuk penyuluhan berikutnya.
“Permisi Bapak Ibu kami dari fasilitator PMK ingin memberitahukan beberapa
informasi yang sekiranya akan berguna untuk mencegah penyakit yang dialami
ternak-ternak terutama sapi dan kambing yang Bapak Ibu miliki” ucap Dokter Risma
setelah pemilik rumah membuka pintu.
“Oalahh, inggih Bu silahkan masuk dulu” ajak Bapak tersebut yang bisa
kuperkirakan berumur di atas 50 tahun dengan aksen Jawa yang masih melekat.

Selama perbincangan itu aku tetap diam. Aku sedikit kagum ah tidak bukan
lagi sedikit tapi sangat terpukau dengan cara Ibuku memberikan edukasi pentingnya
mencegah dan mengetahui gejala awal ternak yang menderita penyakit mata dan kuku
ini karena sebelumnya yang memberi penyuluhan hanya Bapak Mulyani dan Dokter
Risma tapi kali ini berbeda, Ibu yang berbicara. Terlepas dari sisi menyebalkannya
aku tersihir oleh caranya menyampaikan informasi penting bagi pemilik ternak ini.
Cara dia berbicara. Cara dia memposisikan gerakkannya agar bapak dan ibu ini
nyaman mendengarkan. Cara dia menyelipkan candaan dalam penyampaian yang dia
berikan. Cara dia memvisualisasikan contoh penyakit ini yang mudah dipahami oleh
bapak ibu pemilik ternak. Sungguh, sungguh baru kusadari beliau wanita yang luar
biasa, kemana saja aku selama ini? Sangat rugi sekali bila aku melewatkan hal
sepenting ini. Dia tidak sempurna tapi selalu berusaha yang terbaik tanpa melupakan
kewajibannya sebagai Ibu di rumah, dia juga sukses melakukan hal yang luar biasa
pada perkerjaan yang ia lakukan di luar.
Aku kagum padanya sekaligus menangis dalam hati menyesali perbuatan yang
kulakukan padanya, menyesali perkataan pahit dan menyakitkan yang ku lontarkan
untuknya, tak kusadari selama ini durhakalah aku pada kasih sayang murni yang ia
berikan padaku selama ini. Tuhan ampunilah dosa ku ini. Sungguh tak tahu diri aku
ini. Pasti begitu menyakitkan bagi Ibuku mendengar kalimat-kalimat yang kukatakan
saat diperjalanan tadi.
Aku sangat menyesal, kali ini aku mengamati wajah indahnya. Garis kecil
yang menandakan bertambah usianya di dunia ini semakin terlihat. Ada sedikit
kerutan di tiap sisi senyum menawannya. Mata sendunya yang selalu jeli menemukan
setap barang kini terlihat lelah namun ia tahan seolah masih tetap kuat untuk menatap
dunia. Berutunglah aku masih diberi harapan dan kesempatan oleh Tuhan untuk
melihatnya sampai sekarang ini. Aku tidak sanggup kehilangannya hanya karena tidak
ada manusia satu pun yang bisa hidup selamanya. Aku menyayanginya. Aku
mencintainya. Tapi aku jugalah yang menyakitinya berulang kali. Hanya karena ego
dan hormon perkembangan masa mudaku yang tidak bisa kubendung ini aku dengan
mudahnya menyakiti persaaannya.

Dalam perjalanan kembali pulang, aku memeluknya dan menyenderkan ujung


dagu pada bahu yang selama ini masih bertahan dan sanggup berdiri tegap. Aku
ceritakan semua padanya apa yang ada di pikiranku mulai dari emosi yang tidak bisa
kutahan hingga kekagumanku padanya dan penyesalan dari perkataanku yang setajam
belati padanya yang menusuk inti hati di dalam memorinya. Ia diam, setia
mendengarkan setiap potongan kalimat yang kuucapkan sampai di potongan terakhir
kalimat. Pada saat menceritakan apa yang ada di dalam benakku tersadar aku ketika
tetesan air pertama mengalir karena sudah melewati batas bendungan mata yang
seharusnya.

Aku menangis. Menangis karena penyesalan. Menangisi perbuatan yang


kulakukan. Semakin erat aku memeluknya meminta maaf padanya untuk setiap
perbuatan yang menyakitinya. Memohon ampunan pada Tuhan dalam jeritan hati
terdalam yang ada pada diriku.
“Sayang Ibu, maafin Ibu juga ya. Terimakasih sudah terbuka sama Ibu. Habis
ini kita beli jajan sambil tungguin motornya dicuci ya” jawabnya yang bisa kurasakan
ada senyuman ikhlas di wajah indahnya.

Secuil empati yang kurasakan berkembang menjadi sebuah tindakan besar


yang sebelumya tak pernah kuucapkan. Secuil empati inilah yang menghindarkan
diriku melihat penyesalan mendatang. Secuil empati ini juga yang mencegah bila
nanti roda kematian terhenti padaku atau pun pada orang yang kusayangi tenggelam
pada penyesalan terdalam yang tak pernah terungkapkan hanya untuk diberi
kesempatan meminta maaf. Setidaknya tidak akan ada penyesalan yang ada di dalam
diriku untuknya disaat-saat terakhir hukum alam menarik paksa untuk memisahkan
kami.

Karya, JASMINE JULIA AZ ZAHRA

Anda mungkin juga menyukai