Anda di halaman 1dari 35

1.

17 Agustus 2045
Barangkali kau masih belum tahu tentang kisah ini: Pagi itu, selepas mengibarkan
bendera merah putih pada tiang bambu yang dibuat sehari sebelumnya, ia duduk termangu
dengan berselonjor kaki di atas dingklik teras rumah. Menyulut rok*k kretek kesukaannya
lalu menyeruput kopi yang setiap pagi kubuat khusus untuknya.
Sebagai seorang istri, tentu aku harus selalu berusaha melayaninya: membuatkan
kopi hangat saat gigil pagi masih berkuasa, memberi kehangatan di setiap malam-malam
kami yang begitu berharga, juga berusaha mengerti setiap keinginannya, termasuk saat ia
bersikeras ingin mengibarkan bendera meski hal itu teramat beresiko untuknya.
Ya, sejauh yang kutahu, ia masih tetap memiliki semangat nasionalisme yang tinggi.
Sebab itu, tak jarang kutemui ia mendatangi para pemuda untuk kembali bersatu mengoarkan
satu suara seperti yang dilakukan para pahlawan seabad yang lalu. Namun seperti yang kau
tahu, tak semudah itu menyatukan para pemuda dengan egoisme yang berbeda-beda: ada
yang hanya mementingkan diri sendiri; ada yang sibuk menenteng gadget ke sana ke mari;
ada yang berjalan tak tentu arah dengan pakaian minim seolah mengumbar bir*hi. Tak ada
lagi perbedaan antara kota dan desa, semuanya sama; runyam dan berantakan. Bukankah
begitu dunia kita saat ini?
Aku menghampirinya yang hanya menghabiskan waktu dengan duduk termangu di
pagi itu. Ia mengernyitkan dahi seolah tengah memikirkan sesuatu sebelum tersenyum lalu
menoleh ke arahku. Bu, tolong ambilkan peralatan lukis bapak, ia berucap dengan senyum
yang terus mengembang seperti saat merayuku di awal-awal kami bertemu. Lalu aku
beranjak menuruti permintaannya dengan sesungging senyum, meski ada kekhawatiran yang
perlahan menjalar di hatiku.
Ia masih tetap gemar melukis seperti dulu, dan kau mungkin tak pernah tahu, betapa
di awal-awal pertemuan kami, ia seringkali melukiskan wajahku di antara berbagai macam
keindahan: cahaya rembulan, taburan gemintang, senja yang kemerah-merahan, serta
terkadang diantara binglala yang muncul setelah guyuran hujan. Lalu aku akan berlagak
manyun, cemberut, atau bahkan bermuka masam untuk mengganggunya melukis. Tapi seperti
yang sudah-sudah, ia hanya tersenyum lantas memperlihatkan hasil lukisannya padaku. Hal
itu mampu membuatku terperangah, tercekat oleh keindahannya.
Ia cenderung memiliki perangai yang sangat lembut dan sungguh luar biasa sebagai
seorang keturunan asli pulau garam. Tak seperti kebanyakan orang yang terkenal sangar
dengan parang dan celurit yang tergenggam erat di tangan. Ia juga tergolong lelaki yang
romantis. Tak jarang ia memberiku kejutan tak terduga yang makin membuatku tak ingin
kehilangannya.
1

Dulu, seringkali ia mengajakku bermain hujan. Dan ketika rintik hujan mulai reda
berganti gerimis, kami akan sama-sama mengingat satu hal; perihal awal pertemuan kami
yang tak disengaja saat kami berdemo di antara rintik hujan yang masih berlarik dari angkasa.
Memang saat kuliah, kami aktif di pergerakan mahasiswa yang sering terjun langsung untuk
memeperjuangkan suara yang selama ini tak didengarkan: tentang harga kebutuhan pokok
yang semakin mencekik, keutuhan negara yang makin keropos, serta ketidakadilan yang kian
meluber dimana-mana. Di saat-saat itulah kami seringkali bersitatap tak sengaja. Ia semakin
memperhatikanku yang pada akhirnya membuat kami semakin akrab lalu mengambil
keputusan besar; pernikahan.
Ah, sudahlah. Aku tak bisa melanjutkan ingatanku tentangnya. Aku belum mampu
menerima kenyataaan bahwa ia tak lagi di sampingku. Menutup segalanya. Aku hanya ingin
melanjutkan kisah yang memang dan sengaja akan kuceritakan padamu seutuhnya:
Di antara mentari yang mulai meninggi, tangannya yang lincah mulai memolesi
kanvas itu dengan warna beragam. Saat itu, aku sudah dapat menyangka ia akan kembali
melukiskan kesedihan. Ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah, fanatisme golongan, serta
terlalu longgarnya otonomi daerah yang menjadi awal segalanya berubah, membuatnya tak
lagi melukiskan berbagai macam keindahan seperti dulu.
Dan lihatlah, terkadang ia menangis di saat melukis. Tangisan panjang yang teramat
memilukan dengan isak tertahan. Ia tak ingin orang lain tahu bahwa ia sedang bersedih.
Sebab ia paham, kesedihan bukan hanya untuk diketahui, melainkan untuk diperhatikan dan
ditanggapi. Dan mungkin kau pun takkan tahu jika tak kuceritakan hal ini padamu. Tentu kau
hanya bisa menyaksikan gerakan tangannya yang gemulai memoles kanvas itu dengan warna
beragam. Berbeda denganku yang jauh lebih tahu dan mengerti keinginan, perasaan, juga
setiap hal yang ada padanya.
Ia tetap khusuk memoles kanvas itu di antara asap rok*k yang tak henti ia kepulkan.
Mentari makin meninggi, menebarkan nuansa begitu panas di musim kemarau ini. Tapi ia
tetap tak beranjak. Memang begitu. Ia tak pernah bergeming sebelum kanvas di depannya
menggambarkan sesuatu yang seolah nyata. Tanpa kenal lelah. Tak peduli pada apa pun.
Sedikit lagi, ia berucap lirih saat aku mengusap keringat yang telah bercampur air
matanya. Dan seperti biasa, ia selalu mencantumkan tempat, tanggal, bulan, tahun, serta
sepetik kalimat sebagai akhir lukisan. Setelah itu, ia baru akan tersenyum puas meski jauh di
kedalaman hatinya, ia menyimpan kesedihan yang luar biasa.
Baru saja lukisan itu selesai, tiba-tiba hal yang paling kutakutkan selama ini benarbenar terjadi. Asmoni bersama teman sejawatnya: Pukat, Muhala dan Bahri mendatangi
rumahku. Tak hanya itu, orang-orang yang sepaham dengan mereka mulai berdatangan
dengan celurit yang tergenggam di tangan.

Ada kekhawatiran yang perlahan hinggap di hatiku. Seolah mengisyaratkan sesuatu


yang jauh lebih dahsyat dari yang tak kuinginkan selama ini. Kutatap wajah suamiku, tampak
ia tenang saja seolah bisa membayangkan takkan pernah terjadi apa-apa. Ia hanya tersenyum
ke arahku lantas berucap, Bu, bawa lukisan ini ke dalam. Simpan di tempat yang aman.
Kembali ia tersenyum tenang seolah tengah merasakan sebuah kedamaian. Aku menuruti
perintahnya, beranjak ke dalam rumah dengan membawa serta lukisan itu. Tiba-tiba terdengar
sebuah suara terlontar keras. Dasar penghianat! Berani-beraninya kau mengibarkan bendera
taik kucing itu di sini. Sok jadi pahlawan kamu? Asmoni berucap geram. Kulitnya yang
hitam, perut buncit, serta jambang yang tumbuh lebat membuatnya pantas menjadi seorang
preman bajingan.
Aku terus beranjak ke dalam rumah untuk meletakkan lukisan itu di tempat yang
aman sembari merapalkan sebuah harapan; semoga tak terjadi apa-apa pada suamiku di luar.
Dari dalam rumah kudengar suara semakin gaduh diikuti teriak seseorang kemudian.
Ada detak kekhawatiran di hatiku. Aku segera beranjak keluar. Dari ambang pintu rumah
kulihat suamiku, orang yang amat kucintai sepenuhnya, diseret seperti binatang buruan yang
tak lagi berdaya. Tubuhku tiba-tiba lunglai. Ingin sekali aku menjerit, menangis, dan
menghampiri suamiku yang tak lagi berdaya itu. Tapi sayang aku tak bisa. Aku seperti tak
lagi memiliki tenaga.
Ada sebersit harapan muncul saat para pemuda yang sepaham dengan suamiku,
meredakan suasana dan berusaha menolongnya. Tapi sayang mereka kalah jumlah yang pada
akhirnya suamiku tetap diarak dan diperlakukan tak wajar, tanpa belas kasihan.
Maaf, aku tak bisa menceritakan kelanjutan kisah ini padamu, sebab saat itu
kepalaku pening, tubuhku semakin lunglai dan kemudian tak ingat apa-apa lagi.
Saat ini, setelah tiga bulan kurang seminggu dari peristiwa itu, aku hanya bisa
termangu di balik jendela. Menyaksikan hujan turun untuk kali pertama di bulan November
ini, sembari mengenang segala kisah yang pernah tercipta di antara kami.
Pagi ini, di saat harusnya perayaan hari pahlawan dilangsungkan, aku ingin
menyampaikan sebuah harapan yang terpendam padamu; suatu saat nanti, bila segalanya
telah bersatu kembali, aku ingin di depan rumahku, tempat suamiku diperlakukan layaknya
binatang buruan, dibuat sebuah tugu berbentuk tiang bendera dari bambu dengan bendera
merah putih yang berkibar setengah tiang. Sebagai sedikit penghargaan, juga kenangan bagi
mendiang suamiku yang begitu tulus memperjuangan negeri ini agar kembali bersatu.
Sementara itu, di samping tempat tidur, di atas bufet, terpampang sebuah lukisan
terakhir suamiku. Jika kau perhatikan dengan seksama lukisan itu, maka kau akan melihat
potret kenangan negeri kita yang sejatinya sangat kaya-raya namun dipenuhi kesedihan yang
luar biasa; jalanan dibiarkan berlubang, anak-anak kecil di bawah kolong jembatan yang
dibiarkan penuh borok dan kusta dengan seorang ibu yang pontang-panting demi memberi
3

sesuap nasi bagi anaknya. Kau juga akan temui guru-guru sekolah yang kebingungan sebab
atap sekolah yang bocor di setiap kali musim penghujan dengan disaksikan arwah-arwah para
pahlawan kemerdekaan yang menitikkan air mata. Lalu tengoklah pojok kiri bawah dari
lukisan itu, maka kau akan menemui sebuah tulisan:
Aku ingin negeri ini bersatu kembali, tanpa luka lagi. Republik Madura, 17 Agustus
2045 Potret kenangan negeri kami yang penuh luka, Indonesia
Amanat : kita harus mengenang dan melanjutkan perjuangan para
pahlawan terdahulu yang telah gugur dengan cara bersatu kembali dan
meningkatkan sikap nasionalismeterhadap tanah air Indonesia.

2. Indahnya Persahabatan
Betapa enak menjadi orang kaya. Semua serba ada. Segala keinginan terpenuhi.
Karena semua tersedia. Seperti Tyas. Ia anak konglomerat. Berangkat dan pulang sekolah
selalu diantar mobil mewah dengan supir pribadi.
Meskipun demikian ia tidaklah sombong. Juga sikap orang tuanya. Mereka sangat
ramah. Mereka tidak pilih-pilih dalam soal bergaul. Seperti pada kawan kawan Tyas yang
datang ke rumahnya. Mereka menyambut seolah keluarga. Sehingga kawan-kawan banyak
yang betah kalau main di rumah Tyas.
Tyas sebenarnya mempunyai sahabat setia. Namanya Dwi. Rumahnya masih satu
kelurahan dengan rumah Tyas. Hanya beda RT. Namun, sudah hampir dua minggu Dwi tidak
main ke rumah Tyas.
Ke mana, ya,Ma, Dwi. Lama tidak muncul. Biasanya tiap hari ia tidak pernah absen. Selalu
datang.
Mungkin sakit! jawab Mama.
Ih, iya, siapa tahu, ya, Ma? Kalau begitu nanti sore aku ingin menengoknya! katanya
bersemangat
Sudah tiga kali pintu rumah Dwi diketuk Tyas. Tapi lama tak ada yang membuka.
Kemudian Tyas menanyakan ke tetangga sebelah rumah Dwi. Ia mendapat keterangan bahwa
Dwi sudah dua minggu ikut orang tuanya pulang ke desa. Menurut kabar, bapak Dwi di-PHK
dari pekerjaannya. Rencananya mereka akan menjadi petani saja. Meskipun akhirnya
mengorbankan kepentingan Dwi. Terpaksa Dwi tidak bisa melanjutkan sekolah lagi.
Oh, kasihan Dwi, ucapnya dalam hati,
Di rumah, Tyas tampak melamun. Ia memikirkan nasib sahabatnya itu. Setiap pulang sekolah
ia selalu murung.
Ada apa, Yas? Kamu seperti tampak lesu. Tidak seperti biasa. Kalau pulang sekolah selalu
tegar dan ceria! Papa menegur
Dwi, Pa.
4

Memangnya kenapa dengan sahabatmu itu. Sakitkah ia? Tyas menggeleng.


Lantas! Papa penasaran ingin tahu.
Dwi sekarang sudah pindah rumah. Kata tetangganya ia ikut orang tuanya pulang ke desa.
Kabarnya bapaknya di-PHK. Mereka katanya ingin menjadi petani saja.
Papa menatap wajah Tyas tampak tertegun seperti kurang percaya dengan omongan Tyas.
Kalau Papa tidak percaya, Tanya, deh, ke Pak RT atau ke tetangga sebelah! ujarnya.
Lalu apa rencana kamu?
Aku harap Papa bisa menolong Dwi!
Maksudmu?
Saya ingin Dwi bisa berkumpul kembali dengan aku! Tyas memohon dengan agak
mendesak.
Baiklah kalau begitu. Tapi, kamu harus mencari alamat Dwi di desa itu! kata Papa.
Dua hari kemudian Tyas baru berhasil memperoleh alamat rumah Dwi di desa. Ia
merasa senang. Ini karena berkat pertolongan pemilik rumah yang pernah dikontrak keluarga
Dwi. Kemudian Tyas bersama Papa datang ke rumah Dwi. Namun lokasi rumahnya masih
masuk ke dalam. Bisa di tempuh dengan jalan kaki dua kilometer. Kedatangan kami disambut
orang tua Dwi dan Dwi sendiri. Betapa gembira hati Dwi ketika bertemu dengan Tyas.
Mereka berpelukan cukup lama untuk melepas rasa rindu. Semula Dwi agak kaget dengan
kedatangan Tyas secara mendadak. Soalnya ia tidak memberi tahu lebih dulu kalau Tyas ingin
berkunjung ke rumah Dwi di desa.
Sorry, ya, Yas. Aku tak sempat memberi tahu kamu!
Ah, tidak apa-apa. Yang penting aku merasa gembira. Karena kita bisa berjumpa kembali!
Setelah omong-omong cukup lama, Papa menjelaskan tujuan kedatangannya kepada
orang tua Dwi. Ternyata orang tua Dwi tidak keberatan, dan menyerahkan segala keputusan
kepada Dwi sendiri.
Begini, Wi, kedatangan kami kemari, ingin mengajak kamu agar mau ikut kami ke
Surabaya. Kami menganggap kamu itu sudah seperti keluarga kami sendiri. Gimana Wi,
apakah kamu mau? Tanya Papa.
Soal sekolah kamu, lanjut Papa, kamu tak usah khawatir. Segala biaya pendidikan kamu
saya yang akan menanggung.
Baiklah kalau memang Bapak dan Tyas menghendaki demikian, saya bersedia. Saya
mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan Bapak yang mau membantu saya.
Kemudian Tyas bangkit dari tempat duduk lalu mendekat memeluk Dwi. Tampak
mata Tyas berkaca-kaca. Karena merasa bahagia.Akhirnya mereka dapat berkumpul kembali.
Ternyata mereka adalah sahabat sejati yang tak terpisahkan. Kini Dwi tinggal di rumah Tyas.
Sementara orang tuanya tetap di desa. Selain mengerjakan sawah, mereka juga merawat
nenek Dwi yang sudah tua.
5

Amanat : Sebagai makluk tuhan kita harus saling tolong menolong Dan
Berbagi kepada sesama

3. `Bintang, Khayalan dan Air Mata


Malam ini tak berbintang lagi, bukan hanya hari ini tapi mungkin seterusnya, sepertinya
dia tak ingin menunjukan cahayanya lagi, karena dia telah menyadari kehadiran seseorang
yang sangat mengagumi dan mendambanya, namun ternyata bukan sosok yang dia harapkan.
Pertama kali aku melihatnya di dalam kerumunan yang sebelumnya tak pernah ku
hiraukan, ada sesuatu yang berbeda pada pandangan yang pertama itu, seketika ku terpaku
dan coba menyadari, dia bersinar mengelilingi aku dengan pantulan sinarnya, sorotan cahaya
yang indah itu masuk ke dalam relung hati, menerangi sisi hati yang gelap yang lama tak
berpenghuni. Dia berlalu dan aku tetap terdiam dalam lamunanku, namun bayangnya tak
serta merta pergi, mengikuti bahkan tertinggal dalam pikiran ku.
Malamku terganggu hingga aku tak lelap karena terbayang dirinya, tanpa
memandangnya pun terlihat jelas wajahnya di depan mata ku, sungguh rasanya aku bisa
bangkit dari keterpurukan dan tersenyum untuk nya.
Berkali kali aku bersamanya dalam ruang yang sama, berkali kali ku coba menatapnya
lebih lama, berkali kali ku ingin tersenyum menyapanya, banyak kesempatan tak bisa aku
gunakan, karena bibir ini seperti terkunci tak mampu berucap saat dekat dengannya.
Tak lelah aku berusaha mencari cara agar bisa mengenalnya, walau hanya mencari tau
namanya saja, aku berusaha bukan hanya jadi pengagum rahasia, aku ingin menunjukan pada
dia ada seseorang yang jatuh hatinya karena tatapan yang ia balaskan pada tatapan mata ku di
waktu itu.
Memang seringkali mata ku dan matanya bertemu tanpa sengaja, berharap dia bisa
membaca seolah aku berkata aku menyukai mu.
Berhari hari, berminggu minggu, hingga berbulan bulan aku memperhatikan geraknya,
memperhatikan wajahnya, sikapnya, bahkan jam jam dimana aku dan dia sering bertemu pun
selalu ku ingat.
Usaha ku setidaknya membuahkan hasil setelah sekian lama, entah bagaimana jelasnya
yang pasti ku dapati namanya, bahkan nama lengkapnya, aku pun mendapatkan foto fotonya
yang akhirnya bisa aku miliki dan ku pandangi terus menerus setiap saat.
Aku mencoba untuk bisa menjadi dekat, biarpun hanya sebagai teman, aku hanya
berdoa agar suatu saat waktu mengizinkan aku untuk mengatakan yang sebenarnya bahwa
aku mencintainya.
6

Kini aku bisa rasakan sorot matanya yang lebih lama, senyumnya yang bisa ku lihat
lebih berarti, waktu berdua dengannya yang selama ini hanya dalam mimpi pun bisa aku
rasakan secara nyata. Aku bahagia walaupun ku tau dia tak menganggapku benar benar ada.
Malam malam ku penuh bintang saat bersamanya, dan tentu saja bagiku dia bintang
yang paling terang, yang paling indah yang pernah ku lihat, lelah ku menjadi senyuman saat
dia berada di sampingku, cahayanya terus menyertaiku kemanapun aku melangkah, karena
dia tlah temukan celah dan tinggal di dalam benak ku.
Aku perbuat banyak hal dan segala cara untuk menunjukan perjuangan dan
pengorbananku untuk mendapat perhatiannya, aku tak lelah biarpun ku tau tak ada niat di
hatinya untuk menghargai semua itu, karena dia tak menganggapku lebih dari seorang
kenalan yang ia temui.
Aku bahagia tiap kali dia bicara dengan ku, tiap saat dia menghubungiku, tiap lekukan
manis bibirnya tersenyum mengarah kepadaku, tiap sorot matanya yang dulu selalu aku idam
kan untuk ku tatap lebih lama menatap padaku. Aku tak perduli rasa sakitnya mencintai
seseorang yang selalu merindukan kekasihnya itu. Aku cemburu namun tak mungkin aku
tunjukan, ku pendam sendiri kepedihan itu sambil menikmati cahaya yang masih tersisa
untukku.
Hingga akhirnya aku tak kuasa menahan lagi beban perasaan yang makin bergejolak,
ku ungkap sedikit demi sedikit tuk ku tunjukan padanya, walaupun tak secara langsung
namun sesuatu terjadi diluar dugaan ku.
Dia pergi mungkin setelah menyadari aku sangat menginginkan dia. Mungkin karena
risih ataupun ada hal lain yang membuatnya menjauh dari ku, aku seperti kehilangan sesuatu
yang tak pernah aku miliki, terasa aneh saat tak ada lagi senyuman itu, tak ada lagi cahaya
yang menerangi jalan ku.
Inikah jawaban setelah lama memendam rasa dan waktu pun tak mengizinkan aku
mengungkapnya secara langsung, dia terlanjur pergi dan terlambat ku cegah. Dia menghilang,
mengacuhkan aku, membuatku mencari namun tak ku temui jejaknya.
Hari hari ku menjadi lebih gelap, lebih pekat dari sebelumnya, tak ada lagi senyum, tak
ada lagi tawa yang menghiburku, terasa sepi, yang ada hanya tetes air mata, kepedihan,
kesedihan, dan luka yang mendalam seolah ingin merampas segala kebahagiaan ku.
Biarpun dari semula ku tau dia bukan untuk ku, tapi aku tak bisa menjaga hatiku untuk
tak membiarkan dia masuk lebih dalam, aku tak bisa membuatnya hilang dari ruang hati yang
telah ku sediakan untuknya.
Bagaimana bisa waktu yang aku pertaruhkan selama ini, segala perjuangan yang aku
lakukan untuk semua ini, berakhir hanya dengan beberapa malam bintang itu bersinar, lalu

lenyap begitu saja. Apa tak ada ketulusan yang dapat ia lihat menyelimuti perasaan ku, atau
memang dari awal tak ada arti yang dapat dihargai untuk itu.
Dia pergi, lalu bagaimana denganku. Apa aku harus mengejarnya dan membuktikan
kesungguhan ku, atau haruskah aku berdiam disini menanti dia datang setelah menyadari
kehadiranku, atau mungkin kah aku harus pergi mencari tujuan yang lain dengan arah yang
berbeda agar tak lagi mengingatnya? Aku tak mengerti. Tapi aku tak bisa berbohong, jiwaku
membutuhkan cahayanya, hatiku terus memanggilnya, pikiranku tak dapat lepas darinya.
Aku mengerti takkan mungkin bisa mendapatkannya, aku mengerti kesalahanku jatuh
cinta padanya, aku mengerti kenyataan yang tak mungkin menyatukan aku dengannya.
Namun aku ingin tetap menjadi si pengkhayal yang mengharapkannya.
Terus mencintainya sampai bintang itu redup dalam hatiku, bermimpi seolah dia tercipta
untukku, menikmati hari seakan dia bersama ku, karena adanya dia membuat ku bahagia,
melewati waktu lebih mudah, tak apa jika aku hanya bisa bermimpi, setidaknya aku bisa
mengenang waktu yang pernah jadi kenyataan terindah dalam kisah ku, saat cahayanya
menghiasi malam malam ku..
Kelak Bintang itu harus mendengar, aku tak pernah lelah memujanya, aku
menyayanginya dengan segenap hatiku, tak memaksanya untuk memahami, aku hanya ingin
dia tau yang sesungguhnya, kejujuran yang tak pernah terungkap dari mulut ku :)
Amanat : kita harus ikhlas apabila sesuatu yang kita inginkan tidak
bisa kita dapatkan

4. Ada Batas Yang Membuat Kita Mengerti


Ia masih memegang sapu, ketika ada seorang pria terengah-engah bersembunyi di balik
pagar tinggi rumahnya. Dari jauh terdengar teriakan maling maling terdengar kian
mendekat.
Tolong saya, mas kata orang yang bersembunyi dibalik pagar tersebut. Orang tersebut
memakai pakaian serba hitam dengan potongan rambut cepak.
Maling?
Tolong saya, mas. Mohon orang tersebut.
Ardi yang memegang sapu, meletakkan sapunya lalu kembali masuk ke dalam rumah.
Beberapa menit kemudian, ketika suasana jalanan sudah terdengar sepi, Ardi keluar.
Dilihatnya orang yang bersembunyi di balik pagar rumahnya masih tetap tak beranjak. Lalu
dipanggilnya orang tersebut oleh Ardi dan mempersilahkannya masuk ke dalam rumahnya.
Apa benar anda yang orang-orang tadi kejar? Tanya Ardi.
Sepertinya begitu, mas.
minum-lah dulu.
Si maling tersebut menenggak air yang disuguhkan Ardi.
Terima kasih, mas. Kata si maling.
8

Mengapa anda melakukan itu? Tanya Ardi.


Saya butuh uang, mas. Jelas si maling.
Untuk?
Si maling itu diam tertunduk.
Mengapa anda begitu baik pada saya? tanya si maling.
apakah yang saya lakukan merupakan suatu kebaikan?
bagi saya, ya.
sekarang yang benar-benar penjahat adalah saya. Jelas Ardi.
Saya berterima kasih pada anda. Kata si maling.
Apa yang anda harapkan? tanya Ardi.
Si maling tersebut kembali diam.
Jika anda saya laporkan pada polisi, apa yang akan anda lakukan pada saya? tanya Ardi
kembali.
Sebelum anda melaporkan saya, saya akan kabur terlebih dahulu. Jawab si maling.
Mengapa, disaat seperti ini anda tidak membunuh saya untuk mengamankan diri?
Saya hanya seorang maling. Bukan pembunuh.
Apa bedanya maling dengan pembunuh?
Anda tidak tahu?
Dan saya kira anda pun demikian.
Saya tahu.
jelaskan pada saya.
Boleh saya minum airnya lagi? Tanya si maling.
Ardi mempersilahkannya. Lalu pergi meninggalkan si maling itu sendiri di ruang tamu. Dari
balik tembok Ardi mengamati si maling. Dilihatnya, tak ada sedikitpun gerak-gerik
mencurigakan ataupun usaha untuk melarikan diri. Tak lama kemudian Ardi kembali.
Sebelum anda menjelaskan apa perbedaan maling dengan pembunuh, saya ingin bertanya
pada anda.
silahkan.
Mengapa anda tidak mencoba kabur ketika baru saja saya tinggalkan anda sendiri disini?
Tanya Ardi.
Karena saya maling.
Baiklah, sekarang jelaskan pada saya.
Bagi saya, maling adalah pencuri. Pencuri harta. Pembunuh pun sama, pencuri. Tapi yang
dicuri oleh pembunuh adalah nyawa.
Setelah mendengar penjelasan singkat dari si maling, Ardi diam mengamati dengan seksama
maling tersebut.
Siapa anda sebenarnya? Tanya Ardi.
Saya maling.
Baik, saya akan melaporkan anda pada polisi.
Saya akan kabur. Kata si maling.
Silahkan. Anda tidak tahu bagaimana keadaan di luar. Jika anda tertangkap warga, mungkin
anda akan mati. Kata Ardi. Jika anda tertangkap polisi, mungkin anda punya kesempatan
hidup. Tapi anda akan mendekam di dalam penjara.
saya akan mengambil keputusan yang terbaik. Kata si maling.
9

Terbaik bagi anda? Tanya Ardi.


Bagi saya dan juga anda.
Maksud anda?
Si maling membuka tas yang dibawanya, lalu menuangkan semua isinya ke atas meja.
Kita akan bagi hasil. Kata si maling.
Lebih baik anda bawa. Saya tidak butuh.
Mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Ardi, si maling terkejut. Ia berhenti
mengeluarkan isi yang ada di dalam tas yang ia bawa, kaku memandang ke luar jendela.
Boleh saya minta tolong untuk yang kedua kalinya? Tanya si maling.
Apa?
Saya titip ini semua. Kata si maling. Dua hari lagi saya akan kembali.
Anda akan pergi? Tanya Ardi.
Ya.
Baiklah.
Si maling pun pergi meninggalkan semua barang jarahannya.
Sehari kemudian
Sepeninggal si maling dari rumahnya, Ardi tidak menyentuh sedikit pun tas yang si maling
titipkan padanya. Hingga akhirnya ia penasaran dan ingin tau seberapa banyak isi dan siapa si
empunya tas tersebut. Akhirnya, dibukalah tas tersebut.
Ia mencari kartu identitas sang pemilik, tidak ia temukan. Yang ia temukan hanya sejumlah
uang dan beberapa perhiasan kecil. Diambilnya uang di dalam tas tersebut. Dihitungnya, ada
dua puluh lembar uang seratus ribuan.
Ketika Ardi akan mengembalikan uang yang baru saja ia keluarkan dari dalam dan
mengembalikannya ke dalam tas tersebut, telepon genggamnya berbunyi. Teman Ardi yang
bernama Eko menelpon.
Satu juta? Pekik Ardi.
Ya, aku butuh segitu.
Ardi menanyakan pada Eko untuk apa uang itu, Eko pun menjelaskannya.
Setelah mendengar penjelasan Eko, Ardi pun jadi iba. Eko membutuhkan pinjaman uang
untuk biaya berobat orangtuanya yang sedang sakit.
Setelah mempertimbangkannya, akhirnya Ardi meminjaminya uang dari dalam tas yang
dititipkan si maling sehari yang lalu.
Sore harinya, Eko ke rumah Ardi untuk mengambil uang tersebut. Dan Ia berjanji pada Ardi
akan mengembalikan uang tersebut secepatnya.
Sore berganti malam, dan Ardi terus memikirkan isi di dalam tas jarahan si maling. Apa yang
harus aku lakukan pada tas ini? Pikir Ardi. Mengapa aku membiarkan maling itu pergi begitu
saja dan bersedia menerima titipan barang haram ini? Lalu mengapa aku meminjamkan uang
haram ini pada Eko? Betapa bodohnya diriku. Aku berdosa, sangat berdosa.
Esok harinya, pagi-pagi benar Ardi mendatangi kantor polisi terdekat. Ia menjelaskan apa
yang sebenarnya terjadi.
Anda terlibat dalam permasalahan ini. Kata petugas interogasi. dan status anda kini adalah
10

tersangka.
Ya. Saya tidak menyangkal itu. Kata Ardi. Pasrah.
Berjam-jam Ia diintrogasi. Ardi mengatakan bahwa Ia tak mengetahui benar siapa si maling
tersebut. Dan mengakui pula bahwa sebagian uang di dalam tas tersebut telah dipinjamkan
pada temannya yang saat itu membutuhkan pinjaman uang. Eko.
Berdasar undang-undang yang berlaku, Ardi dikenai hukuman penjara 7 bulan ditambah
denda lima ratus ribu rupiah dan diminta untuk mengembalikan uang yang dipinjamkannya
pada Eko.
Eko yang namanya terbawa, aman. Dan Ardi meminta pertolongan pada Eko agar menjaga
rumahnya selama ia berada di dalam penjara.
Sore itu juga Eko menuju rumah Ardi. Sesampainya disana, Ia mendapati seseorang di
teras rumah ardi. Eko pun menanyainya. Setelah Eko tahu siapa sebenarnya orang tersebut,
Eko pun menjelaskan padanya bahwa Ardi sekarang mendekam di dalam penjara karena
ulahnya. Mendengar itu, si maling pun berkata, bukan salah saya jika dia mendekam
didalam penjara. Dia menyanggupi permintaan saya, saya pun percaya padanya. urusan dia
mendekam di dalam penjara, itu bukan urusan saya. Itu karena kebodohannya.
Saat Eko akan menangkapnya, si maling tersebut terlebih dahulu menghadiahi mulut Eko
dengan pukulan lalu melarikan diri. Eko pun merasa dirinya bodoh, terlebih bodoh ketimbang
si maling itu.
Esok harinya Eko pergi menemui Ardi yang berada di dalam penjara. Disana Eko
menceritakan pada Ardi kejadian sore kemarin dan meminta maaf pada Ardi karena tak bisa
menangkap maling tersebut.
Mendengar Eko mencaci-maki dirinya sendiri, Ardi tersenyum kecil. Lalu menenangkannya.
Kau tidak bodoh. Lihat diriku. Kata Ardi. Aku menyebut diriku lebih darI itu.
Maling itu cerdik. Kata Eko.
Tidak. Ia licik. Sudahlah, mungkin hanya sampai disini batas dari apa yang bisa kita
lakukan. Semuanya mempunyai batas. Entah itu kebebasan, kesenangan, apapun, tak
terkecuali belas kasih. Belas kasih yang aku beri pada maling itu sudah terlewat batas. Itu
yang membuat aku sadar, bahwa ini semuanya bukanlah mutlak sebuah kesalahan. Melainkan
pelajaran.
Amanat : jangan pernah memakai atau menggunakan barang haram
(curian)

5. Batik Buat Bunda


(Malam penyerahan hadiah Pekan Olah Raga Dan Seni (PORSENI) MI-MTs se-kota
Panjang Timur) tampak di atas panggung seorang anak kecil yang masih duduk di kelas 4
MI/SD, dengan kaki mungilnya ia berjalan perlahan mendekati mikrofon, sesekali ia melihat
ke sekitar panggung yang dipenuhi para peserta lomba dan para guru pendampingnya, ia
11

melihat banyak mata kamera yang berkilauan memotret kesana kemari menyilaukan matanya
sementara itu semua pandangan orang-orang juga tertuju dan terpusat padanya, hingga
membuat ia terlihat sedikit grogi, namun perlahan dan pasti langkahnya terus saja tertuju
pada mikrofon itu yang berdiri tegak di poros panggung. Dan ia pun sampai tepat di
hadapannya, dipegangnya dengan sedikit ragu-ragu gagang mikrofon itu yang sedikit lebih
tinggi dari badannya yang hanya tidak lebih dari 1,2 meter itu, diraihnya gagang mikrofon itu
dan, dengan mimik muka polosnya ia mulai berkata-kata:
terimakasih, ya Allah, terimakasih bapak dan ibu guru, pak Rohim, Bu Riska dan
seluruh bapak dan ibu guru andi, terimakasih juga buat ibu dan bapak andi, dan buat semua
teman-teman andi, hadiah ini andi berikan buat kalian semua, karena kalian semualah andi
bisa seperti ini, khususnya kepada bapak ibu guru yang telah mengajar andi, juga buat ibu
bapak andi yang selalu bekerja keras buat sekolah andi dan adik-adik andi, andi hanya bisa
memberikan ini buat ibu bapak, dan andi janji akan memberikan yang terbaik lagi buat ibu
dan bapak sejenak anak itu terdiam entah bingung atau apa, lalu ia pun kembali berkata
terima kasih. Penonton yang sempat terdiam sejenak, dengan keras memberikan selamat
dan tepuk tangan meriah untuk Muhammad Khoirul Affandi atau Andi sang Juara I
Olimpiade Mapel PPKN dan MIPA cabang perlombaan baru dalam Pekan Olah Raga dan
Seni (PORSENI) MI-MTs se-Kota Panjang Timur tahun 2000.
Sepulangnya dari alun-alun Kota tempat dimana acara serah terima hadiah digelar Andi,
begitu ia akrab disapa langsung mampir ke sebuah ruko Batik yang ada di sekeliling alunalun, ia bermaksud membelikan baju batik buat ibu serta sebuah sarung untuk bapaknya di
rumah. ya, selain trophy andi juga mendapatkan sedikit uang penggembira alias pesangon.
Sebenarnya sudah sejak lebaran itu ia ingin memberikan sesuatu untuk ibu bapaknya namun
baru kali ini ia dapat mewujudkannya, ya meskipun tidak seberapa dibanding dengan
perjuangan dan kerja keras mereka, paling tidak andi dapat memberikan sedikit kenangkenangan untuk mereka.
Sepulangnya di rumah andi langsung memberikan batik dan sarung itu kepada ibu-bapaknya.
Suasana haru dan bahagia menyambut kepulangan andi, Mereka sangat bangga dengan andi,
anak yang biasa-biasa saja, dari keluarga dan lingkungan yang biasa-biasa saja, dengan
perjuangan dan semangat belajar yang keras akhirnya dapat mempersembahkan sesuatu yang
luar biasa, dan membuat kedua orangtua serta orang-orang di sekitarnya bangga padanya.
Semangat Andi!
Beberapa waktu sebelum hari yang membahagiakan itu, Pagi yang cerah, kicau burung yang
riang ditambah suasana langit yang indah memberikan ketertarikan tersendiri pagi itu.
Seperti biasa di sebuah rumah kecil dengan enam orang penghuninya sedang asyik
mempersiapkan segala sesuatunya.
andi, tolong ambilkan kunci sepeda ibu nak, ibu lupa tadi tak taruh di atas lemari suara
seorang ibu memanggil anaknya, andi.
iya bu si andi menjawab
ini bu dengan kaki mungilnya andi berjalan mendekat sambil memberikan kunci kepada
12

ibunya.
o iya bu sekalian andi pamit berangkat sekolah tambahnya
iya hati-hati nak, sama siapa? ibu balik bertanya.
biasa, paling sama huda, Assalamualaikum
iya, waalaikum salam jawab ibu.
Andi adalah anak berusia 10 tahun, rajin, ulet tetapi kadang sedikit nakal seperti halnya anakanak, ia tinggal bersama Bapak dan ibunya beserta dua orang adiknya yang masih kecil-kecil,
keluarganya biasa-biasa saja, kedua orangtuanya hanya bekerja sebagai buruh, Bapaknya
seorang pegawai di sebuah pabrik Kerupuk dan ibunya seorang buruh jahit, meskipun begitu
andi tak pernah merasa kekurangan, ia memang anak yang penurut dan faham akan keadaan
orangtuanya.
Hidup dari keluarga yang sangat sederhana itu andi tumbuh menjadi seorang anak yang giat,
gigih dan sabar. Di sekolahpun ia dikenal sebagai pribadi yang baik di mata guru dan temantemannya, meskipun bukan termasuk anak yang pintar dan berangking di kelasnya tetapi ia
termasuk anak yang ulet dan telaten, ia juga termasuk anak yang aktif mengikuti kegiatan
ekstrakurikuler di sekolahnya, sebuah sekolah swasta yang ada di seberang desanya.
Setiap hari andi berangkat dan pulang sekolah dengan jalan kaki, hanya kadang-kadang saja
ia naik sepeda itu pun mebonceng temanya yang kebetulan lewat. Meskipun begitu ia tidak
pernah minta Bapak ataupun ibunya untuk mengantarnya tiap hari ke sekolah hanya kadangkadang ketika hujan mengguyur orangtuanya mengantarkan anak mbarepnya itu ke sekolah
itu pun kalau andi tidak menolak.
Pulang sekolah.
assalamualaikum, bu aku pulang si andi masuk dan menghampiri ibunya yang sedang
duduk di samping mesin jahit tuanya dan dikecupnya tangan ibunya itu.
waalaikum salam, iya nak. Lekas sholat dan makan siang, ibu sudah menyiapkan sayur asam
dan tempe goreng kesukaanmu. Suruh ibu pada andi.
iya bu jawab andi dengan senyuman khasnya.
bapak sudah kembali bu tanya andi sambil mengganti seragam sekolahnya.
sudah, baru saja bapak kembali jawab ibu.
kok cepet bu, baru juga jam satu kurang tanya andi lagi
iya, katanya terburu-buru lagi banyak pesenan jawab ibu
wah ternyata orang-orang di desa kita sangat doyan yang namanya krupuk ya bu, padahal
kalau dilihat gizinya tidak sebegitunya, hehe dasar orang kampung ya bu sahut andi
sambil nyengir
alah kamu itu kayak dokter saja sok ngomong gizi segala, padahal kamu sendiri juga doyan,
kemarin krupuk setoples kamu habisakan sendiri jawab ibu
hehe, ibu, bisa aja kemaren kan bareng adik-adik bu, yaa siapa tahu besok jadi dokter
beneran kan bisa bantu banyak orang bu, he, jawab andi nyengir.
kamu bisa aja, ra usah neko-neko uang darimana sekolah dokter wong sudah bisa sekolah
sampai sekarang saja sudah bersyukur tambah ibu yang sedang serius dengan mesin
13

jahitnya.
loh siapa tahu bu, rejeki kan tidak bisa diduga-duga lagian ibu juga pernah bilang katanya
aku disuruh sekolah setinggi-tingginya agar menjadi orang yang berguna, ingat kan bu ujar
andi ngeyel
iya, amin, kamu ini memang pintar kalau disuruh ngeles, ya ibu doakan semoga cita-citamu
itu dapat tercapai, sudah sana sholat dari tadi ngobrol melulu ibu menghentikan mesin
jahitnya sambil memandang ke arah andi.
anak siapa dulu dong bu, he, lagian kata pepatah buah tidak jatuh jauh dari pohonnya, aku
pun begitu bu. he ujarnya (maksudnya ia nyindir kalau ibunya dulu juga ngeyelan seperti
dia).
eee, malah ngeyel, sudah cepat sholat, ntar keburu ashar kata ibu sambil geleng-geleng
kepala.
hehe, iya-iya bu ni andi mau wudlu dulu, masak sholat gak wudlu ya gak sah dong tambah
andi lagi.
dasar anak-anak! ibu hanya tersenyum melihat sikap andi yang terkadang sedikit
menjengkelkan itu.
Andi pun bergegas mengambil air wudlu dan sholat dhuhur, setelah itu ia makan siang dan
membantu ibunya.
Ya, seperti biasanya setelah pulang sekolah andi tidak langsung bermain, ia memang sering
membantu ibunya sehabis pulang sekolah, biasanya ia membantu mengambil atau
mengembalikan bahan jahitan dan juga membelikan peralatan-peralatan menjahit seperti
benang, jarum, pita dan lain lain di toko dekat jalan raya.
Sekali lagi Andi tidak pernah mengeluh, malu ataupun gengsi, ia selalu menjalaninya dengan
senang hati. Ia sangat menghargai dan menghormati kedua orangtuanya, mereka ingin suatu
saat nanti andi dan adik-adiknya menjadi orang yang berpendidikan tinggi tidak seperti
mereka yang hanya lulus SR (sekolah Rakyat). Mereka selalu bilang pada andi dan adikadiknya yang lain nak dadio wong seng pinter, sekolah seng duwur sesuk ben dadi wong!
(nak jadilah orang yang pintar, sekolah yang tinggi agar besok jadi orang yang berguna).
Sampai suatu ketika tepatnya pada pertengahan ramadhan, suatu malam setelah pulang
tarawih seperti biasanya andi mengambil alquran untuk bertadarus di musholla samping
rumahnya, ketika berjalan keluar melewati kamar berpintukan kain yang sudah usam, tanpa
sengaja ia mendengar bisik-bisik kedua orangtuanya yang sedang berbincang bincang.
pak, bulan ramadhan sudah tanggal setengah, tapi kita belum bisa membelikan baju baru
buat anak-anak ujar ibu lirih
iya bu, bapak juga bingung dari beberapa minggu ini penghasilan krupuk di tempat bapak
juga tidak begitu banyak, gimana ya bu? jawab bapak lirih
apa kita jual saja beras sekarung yang dari kang udin kemarin pak? tanya ibu
jangan bu, jangan, nanti kita mau makan apa, lagipula kita kan harus fitrah juga bu, mending
buat fitrah dari pada kita jual yang hasilnya juga tidak seberapa jawab bapak sambil menatap
si ibu
terus bagaimana pak, sudah 2 kali lebaran kita tidak membelikan mereka baju baru, kita
14

hanya ngasih mereka baju persenan pemberian bos ibu, kasihan mereka, anak-anak lain bisa
merasakan kebahagiaan dengan baju barunya sementara andi dan adik-adiknya, saya tidak
tega pak jelas ibu lirih dengan mata berkaca-kaca,
iya bu, bapak juga sebenarnya tidak tega, ya sudah ibu jangan kuatir nanti bapak coba minta
pinjaman ke bos bapak, moga-moga dapet, sudah ndak usah terlalu dipikirkan! ujar bapak
dengan sedikit senyuman, memberikan harapan pada si ibu.
ya pak, jawab ibu yang mengahiri pembicaraannya sambil menuju ke luar pintu.
Andi pun bergegas pergi dari hadapan pintu, dengan mata yang berkaca-kaca ia langsung
pergi ke musholla, niat untuk berpamitan pada bapak ibu pun terurungkan.
Di musholla andi tidak langsung mengambil posisi bersama teman-temanya berjajar di
sebelah mikrofon, ia termenung sejenak di pojokan pintu masuk musholla, ia masih
memikirkan apa yang ia dengar tadi, dalam renungan itu ia sempat terbesit dalam hati,
Bapak, ibu maafkan andi yang belum bisa memberikan kebanggaan pada kalian, andi janji
akan belajar sungguh-sungguh agar suatu saat bisa mebuat kalian bangga rintihnya dalam
hati, sembari ia masuk ke musholla dan berjajar dengan teman-temanya yang telah lama
menunggu, biasanya mereka melakukan tadarus hingga tengah malam tepatnya jam 12
malam, setelah itu mereka pulang ke rumah mereka masing-masing tetapi ada juga yang
janjian tidur di musholla karena nanti akan keliling untuk membangunkan orang-orang sahur,
namun kerena besok akan sekolah andi pun langsung pulang ke rumah, dan lagi-lagi ia masih
teringat kejadian setelah tarawih tadi, dan lagi andi menyemangati dirinya sendiri,
andi semangat, semangat, semangat! ujarnya dalam hati.
Jam menunjukkan pukul 03.00 dini hari, sauuur, sauur! Dung dung dung, Saurrr saurrr! Dung
dung dung, itulah suara temen-temen andi yang sedang keliling membangunkan orang-orang
untuk makan sahur, dengan membawa seperangkat alat musik jedur dan alat-alat lain,
sembarang yang penting dapat mengeluarkan suara cukup keras sehingga bisa
membangunkan orang sahur.
andi, andi, bangun nak! Sudah jam tiga ayo sahur, sahut ibu sembari menarik kaki andi.
Andi pun terbangun, dengan mata yang berat ia segera ke kamar mandi untuk mengambil air
wudhu untuk sholat tahajud dan kemudian makan sahur. Ketika sedang berdoa adiknya
memanggil,
kak, ayo cepet sahur, ntar keburu imsak lo, panggil uyun, adik perempuan andi yang paling
besar
iya ndi, cepat, bentar lagi imsak sambung ibu.
iya, iya yun, bu ni udah selesai kok, eh uyun tumben ikut sahur, emang puasa pow? hehe
jawab andi sembari ngeledek adiknya.
ih kakak nyebelin, uyun kan puasa dari awal puasa, kalau ga percaya tanya aja ibu, iya kan
bu? ujar uyun sebel.
iya uyun puasa kok kak! balas ibu
tuh kan, denger apa kata ibu! sambung uyun sambil melihat ke arah kakanya yang berjalan
mendekati meja makan.
alah, puasa apanya wong Cuma sampai dhuhur, itu namanya bukan puasa, yang namanya
15

puasa itu nggak makan dan minum dari pagi sampai maghrib ejek andi lagi.
yeee, uyun kan lagi latihan kak, masak gak boleh! Boleh kan bu iya kan pak? ujar uyun
semakin sebel pada kakaknya.
Bapak dan ibu pun hanya tersenyum melihat mereka ngeyel-ngeyelan.
alah alesan ujar andi semakin mengejek adiknya.
sudah, sudah, jangan bertengkar terus, kalian ini, sudah cepet dihabiskan makananya, setelah
itu sisp-siap ke musholla nyusul Bapak kalian potong ibu, sambil membersihkan piring dan
gelas bekas si Bapak. Sementara itu si bapak, setelah selesai makan sahur, beliau langsung
menuju ke musholla di dekat rumahnya.
iya bu jawab andi sambil mengejek adiknya dengan nada lirih (uyun gak puasa, uyun gak
puasa wek)
ih sebel, awas ya kak jawab uyun lirih
Keduanya pun langsung merampungkan makan sahurnya adik kakak itu memang tidak
pernah rukun tapi buka berarti selalu bertengkar, mereka selalu ejek-ejekkan tetapi adiknya
yang baru duduk di kelas nol besar taman kanak-kanak itu selalu saja kalah dengan kakaknya,
bahkan sering nangis dibuatnya, meskipun demikian andi selalu perhatian pada uyun dan
adik-adiknya yang lain bahkan sering mengajak mereka bermain setelah itu keduanya
beranjak dari meja makan dan pergi ke kamar mandi dan kemudian mereka pergi ke musholla
meyusul Bapaknya yang telah lama berada disana lebih dulu.
Tanggal 25 Ramadhan
Tidak terasa ramadhan telah hampir selesai, 25 hari sudah terlewati, andi dan uyun
sudah tidak lagi berangkat sekolah tiap pagi karena sekolah-sekolah memang sudah mulai
libur, meskipun demikian andi tidak malas-malasan ia tetap beraktifitas seperti biasanya, dan
kali ini ia lebih banyak membantu pekerjaan ibunya di rumah, seringkali ibunya merasa iba
dan menyuruhnya istirahat, tapi memang dasar andi, ia masih tetap ngeyel meskipun sudah
disuruh istirahat, ibunya pun hanya geleng-geleng kepala. Sesekali andi bertanya pada ibunya
tentang ini itu.
ibu, kok nggak libur padahal banyak tetangga yang sudah santai-santai? tanya andi sambil
melipat kurung bantal kerjaan ibunya.
Namun Si ibu hanya tersenyum dan terdiam sejenak lalu meneruskan jahitannya. Ya
Meskipun sudah hampir lebaran si ibu masih tetap saja giat bekerja, padahal para tetangga
sudah banyak yang ngelibur, begitu juga Bapaknya. Mereka berdua memang giat bekerja
tanpa kenal lelah.
Tanggal 28 Ramadhan.
seperti biasanya andi membantu ibunya dari pagi sampai sore, sekitar jam 3 sore,
ibunya telah selesai, dan ia pun membantu ibunya merapikan kurung bantal dan seprei yang
sudah selesai dijahit ibunya, setelah selesai ia pun segera mandi dan mengambil air wudhu
untuk sholat jamaah di musholla dan kemudian langsung mengikuti pengajian sore yang biasa
ia ikuti sejak awal ramadhan itu, pengajian berjalan seperti biasanya, andi asik menyimak
pengajian pada sore itu, yang kebetulan sore itu di ampu oleh ustad hadi, ustadz muda lulusan
16

lirboyo jawa timur, ustadz muda yang banyak digandrungi masyarakat di daerah itu, terutama
ibu-ibu. Sifatnya yang humoris dan religius sering membuat para jamaah terkesima dengan
banyolan-banyolan khas ala pesantren yang ia terapkan saat memberikan penjelasan
penjelasan dari kitab kuning yang ia baca.
Kebetulan sore itu membahas tentang birrul walidain, beliau menjelaskan dengan
gamblang bahwa setiap manusia diwajibkan berbuat baik kepada orangtua mereka, baik itu
orangtua yang telah merawat mereka sejak kecil yakni orangtua kandung, orang tua yang
mengajari mereka ilmu pengetahuan yakni para guru/ustad/kyai maupun orangtua istri/suami
mereka kelak. kita semua wajib berbuat baik kepada ketiganya tanpa terkecuali, mendengar
pengajian itu andi pun teringat pada sosok Bapak dan ibunya yang sangat gigih bekerja untuk
biaya hidup dan juga pendidikan andi dan adik-adiknya tanpa kenal lelah. Ia berjanji pada
dirinya sendiri suatu saat nanti akan memberikan kebanggaan pada mereka, harus, katanya
dalam hati.
Pengajian sore itu pun berjalan dengan sempurna, semua hadlirin dan hadlirat sangat
khusyu mendengarkan ustadz muda itu hingga tanpa terasa waktu buka telah tiba, pengajian
berakhir di sambung dengan buka ringan dengan menu ala kadarnya; teh hangat, beberapa
biji kurma dan golong, kemudian mereka melakukan sholat jamaah maghrib. Dan Setelah itu
mereka pulang ke rumah masing-masing.
asssalamualaikum, pak, bu andi pulang suara andi sambil masuk ke rumahnya, dan ia
hanya menemukan Bapak dan adik-adiknya.
waalaikum salam, sudah buka nak? jawab Bapak
sudah pak, tadi lauknya spesial, ayam goreng pedas, hehe sahut andi dengan sumringah
di rumah juga gak kalah, itu ibumu sudah masak spesial gule ikan sambung Bapak
wah, yang bener pak..?! kalau belum penuh ni perut pasti nambah aku, hehe jawab andi
tersenyum
oya pak, ibu kemana kok ndak kelihatan? sambung andi bertanya pada sang Bapak
!?
Bapak sejenak terdiam, bingung mau jawab apa, ia tak ingin andi mengetahui kalau ibunya
pergi ikut berdagang baju lebaran bersama tetangganya di alun-alun kota, kebetulan malam
itu adalah H-2 menjelang lebaran dan pasti banyak orang yang membutuhkan pakaian baru
untuk berlebaran nanti. sang ibu pun terpaksa ikut tetangganya berdagang baju untuk mencari
tambahan membelikan andi dan adik adiknya baju baru untuk lebaran nanti, tadinya sang
Bapak melarang ibu untuk pergi sendirian ia tidak tega membiarkan sang ibu pergi sendiri,
namun pertimbangan anak-anak sendirian di rumah dan juga si ibu sudah janji dengan mba
nikmah tetangganya itu akhirnya sang Bapak pun mengizinkannya.
Setelah sejenak terdiam, dengan nada lirih sang Bapak menjawab:
ibumu sedang pergi ke rumah pak lek udin, ada sedikit urusan disana
sampai kapan pak, kok nggak ngajak-ngajak sih tanya andi lagi
paling setelah terawih jawab Bapak
padahal aku pengen banget main kesana pak, sudah lama ndak kesana, sekaligus aku mau
berterimakasih pada mbak rida yang tempo hari mbantu aku nyelesaiin tugas matematika
17

tambah andi
iya, ntar sama bapak saja besok kita kesana, atau nanti pas lebaran kita juga kan ngumpulngumpul bareng jawab Bapak
iya, pak! jawab andi
Tak lama adzan isya pun dikumandangkan, andi bergegas mengambil air wudlu untuk sholat
tarawih di musholla dekat rumahnya.
bapak taraweh? tanya andi kepada Bapaknya dengan wajah masih basah kuyup oleh air
wudlu
sepertinya tidak, nanti saja Bapak bersama ibumu, kasihan adik-adikmu kalau ditinggal
sendiri jawab Bapak
ya udah andi ke musholla dulu pak kata andi sambil menuju ke luar rumah
iya
Andi langsung menuju musholla, setibanya di sana ia langsung masuk ke sela-sela
shof yang msih kosong, dengan khidmatnya ia melakukan sholat 2 rokaat qobliyah isya dan
tak berapa lama iqomat pun dikumandangkan, sholat isya dimulai dan disambung dengan
sholat tarawih 2 rokaat 2 rokaat sebanyak 10 kali dan 3 rokaat sholat witir, kurang lebih
setengah jam, sholat pun selesai. Namun andi tak langsung pulang kebetulan malam itu ia
mendapat bagian sbagai qori dalam tadarusan rutinan di musholla. Hingga larut malam dan
akhirnya tidur disana.
Pukul 11.30 ibunya dan mba nikmah pun pulang, degangan mereka laku keras hanya
tersisa beberapa potong pakaian saja. Ibu pun langsung masuk ke rumah dan langsung
disuruh istirahat oleh sang Bapak.
Pagi hari ketika waktu sahur andi pulang, ia melihat ibu sudah di rumah sedang
mempersiapkan makanan untuk sahur, dengan mata yang masih ngantuk ia bertanya pada
ibunya,
ibu sudah pulang?
mana oleh-olehnya bu, pergi kok nggak ngajak-ngajak sih, tambahnya.
iya tadi malem ibu dari rumah mba nikmah, ada sedikit urusan ibu menjawab dan sontak
sang Bapak bingung, pasalnya jawaban ibu berbeda dengan jawaban yang Bapak katakan
pada andi tadi malam. Namun untungnya andi tidak ingat, ia hanya mengatakan oo iya
saking ngantuknya hingga yang tadinya ia sangat kritis menjadi tak berdaya oleh rasa
ngantuk yang membuyarkan ingatannya.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar laa ilaaha illalahuwallahu akbar Allahu
Akbar wa lillahilhamd, suara takbir terdengar menggema di setiap sudut kota, ya idul fitri
telah tiba, hari dimana dikatakan setiap manusia khusunya umat islam kembali ke fitri/suci
karena semua dosa-dosanya telah dilebur di bulan ramadhan memang benar tetapi ini tentu
bagi mereka yang menjalankan puasanya dengan tulus dan ikhlas (wallahu alam) andi dan
18

keluarga sibuk mempersiapkan zakat fitrah malam itu, namun tak seperti biasanya, tepat
sebelum isya andi dan adik-adiknya dikumpulkan menjadi satu di ruang tamu sederhananya,
tiba-tiba ibu membuka sebuah bungkusan kresek hitam yang ia keluarkan dari balik tempat
duduknya, dan
andi, uyun, ai! panggil ibu
ya bu mereka menjawab serentak kecuali ai (Ainun Najah nama lengkapnya) yang asyik
dengan mainannya jedur-jeduran kecil, maklum ia baru berumur 1,5 tahun, belum tahu apaapa.
ini ibu dan bapak ada kejutan buat kalian katanya sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam
kresek hitam itu.
apa bu, baju baru ya, asyiiikkk uyun punya baju baruuu, teriak uyun dengan senangnnya.
huuuu dasar uyun! si andi mengejek adiknya.
apa, biarin, baju baru, baju baruu! tambahnya sambil bersorak dan meraih baju baru yang
sedang dipegang ibunya.
dasar anak kecil! tambah andi
emang masih kecil, wek, iya kan bu, iya kan pak!? tambahnya sambil berteriak dan
menatap wajah kakaknya.
Bapaknya hanya tersenyum melihat mereka yang memang tak jarang seperti itu, ejek-ejekan.
sudah-sudah! jangan keras-keras, ndak enak kedengeran tetangga! kata ibu sambil
membagikan baju baru kepada ketiga orang anaknya itu.
ini buat andi dan ini buat ai
makasih banyak ya bu, makasih banyak ya pak balas andi dengan tersenyum
ayo ai bilang terimakasih sama bapak, sama ibu ajak andi pada adiknya yang paling kecil,
sementara uyun sudah keluar bermain dengan teman-temannya dengan memakai baju
barunya itu.
ayo ai bilang terimakasih ibu bapak,
teyimakatih pak, teyimakatih bu dengan senyuman manisnya si ai kecil menirukan
kakaknya, entah faham ataun tidak asal ia tirukan saja.
iya, sama-sama ai jawab ibu dan Bapaknya dengan tersenyum melihat ai yang lucu.
ya sudah, sekarang kalian siap-siap kita akan ke rumah mbah qomar untuk memberikan
fitrah mu tambah ibu kepada andi dan ai.
iya bu mereka mejawabnya dengan kompak
Setelah andi siap-siap ia ingin menghampiri ibu-bapaknya di kamar, namun terdengar mereka
sedang asyik mengobrolkan sesuatu, andi pun tak jadi masuk, seperti biasa menunggu di
depan pintu sampai mereka selesai ngobrol, namun karena kali ini suara mereka agak keras
sehingga terdengar hingga keluar kamar dan sampailah pada telinga andi,
bu itu tadi baju hasil ibu berdagang tempo hari itu? tanya bapak
iya pak, lumayan kan, oya ibu juga membelikan bapak baju baru kok tenang saja bapak
jangan iri singgung ibu
bukan masalah iri atau tidak bu bapak Cuma merasa kurang bisa memberikan yang lebih
buat kalian semua, coba kalau bapak ikut jualan kemarin kan ibu gak usah susah-susah
begitu sambung bapak
udah gak apa-apa, lagian kalau kemarin bapak ikut kan ntar siapa yang jaga anak-anak,
19

wong Cuma sekali itu saja kok pak, yang penting andi gak tau kan soal kemarin itu? jelas
ibu lagi
ya insyaallah gak tau, bapak kemarin bilang kalau ibu pergi ke rumah pak leknya dan dia
percaya tuh! tambah bapak sambil berjalan keluar pintu
syukurlah. Ibu gak mau Andi tau soal ini tambah ibu lega mendengar pernyataan bapak.
Krengkeeett, di bukalah pintu kamar yang sudah usang dimakan oleh rayap, Andi pun
segera menyingkir dari hadapan pintu, dengan mata yang berkaca-kaca ia berlari ke kamar
dan menuntaskan air matanya di pojokan pintu kamarnya, dan dalam hatinya ia berkata:
ibu,Bapak, maafkan Andi yang belum bisa apa-apa, Andi janji akan memberikan yang
terbaik buat kalian, dan Andi akan memberikan hadiah spesial buat kalian nanti, Andi janji bu
pak,
Tak lama kemudian ibu andi memanggil, mereka akan melakukan Fitrah ke mbah,
dukun bayi yang telah membantu proses kelahiran andi dan adik-adiknya.
Pagi harinya, seperti biasa mereka dikumpulkan dalam satu rumah kakek-nenek
bersama saudara-sudara dan paman-paman mereka, untuk kemudian melakukan sungkem
bersama. Dalam keadaan serius, Andi tetap saja andi ia memang kadang membandel, ia masih
sempat mengajak kakek neneknya bergurau, namun ia bukan orang yang suka mengingkari
janjinya, apalagi janji kepada Ibunya, bapaknya ia akan selalu ingat dan ia yakin suatu saat
hal itu pasti akan terwujud, dan akhirnya memang terwujud.
Amanat : semua orangtua sangat sayang kepada anak-anaknya oleh
karena itu berbaktilah kepada orang tua yang telah kerja keras untuk
membesarkanmu hingga sekarang

6. Dari Musuh Jadi Sahabat


Anak anak. Hari ini kita kedatangan murid baru. Bapak harap kalian senang atas
kedatangannya. Katty, mari masuk! Seru Pak Burhan, wali kelas kami.
Kulihat seorang anak perempuan berambut pirang masuk ke kelas dengan bertolak pinggang.
Wajahnya sangat cantik, gumamku.
Katty, silahkan memperkenalkan diri, kata Pak Burhan.
Ehm.. Hello! Namaku Katty. Aku berasal dari negeri kanguru, tepatnya Australia. Aku lahir
di Perth. Dan kuharap, kalian senang atas kedatanganku. Kata Katty memperkenalkan
dirinya. Aku tercengang. Dari Australia?
Baiklah, Katty, silahkan duduk di samping Pak Burhan berfikir lama.
Ah, itu. Di samping Amanda. Tepatnya di belakang Amy. Anak berambut coklat itu! Seru
Pak Burhan. Ya, anak berambut coklat adalah aku.
Ooh Yang itu Ia memasang wajah sinis padaku. Ia berjalan bagai model, dan duduk
tepat di belakangku.

20

Aku menyapanya,
Hai! Namaku Amy. Senang bisa mengenalmu Sapaku ramah dengan senyuman seraya
mengulurkan tanganku.
Iih Jijik! Udah, sana sana! Ucapnya kasar. Aku hanya bisa diam. Walaupun ada sedikit
kekecewaan di dalam hati. Hmm Biasanya anak baru memang begitu, gumamku seraya
mengalihkan pandangan ke papan tulis. Mungkin lain kali ia bisa menerimaku, gumamku
lagi.
Teng! Teng! Teenggg!!!
Bel tanda pulang sekolah berbunyi.
Baiklah anak anak. Silahkan berkemas kemas. Waktunya pulang. Kata Pak Burhan. Aku
pun pergi ke luar kelas.
Amy, tunggu! Teriak seseorang memanggil namaku. Aku menoleh ke belakang, mencari
cari asal suara.
Eh, Tara. Ada apa? Tanyaku.
Bagaimana rasanya duduk dekat dengan anak baru? Pasti enak dong! Apalagi dari
Australia. Tanya Tara, teman akrabku. Tidak juga, Ra Ia terlihat sangat sombong. Benar
benar sombong. Tapi aku yakin, suatu saat ia akan menerimaku Jawabku, dengan nada
rendah.
Tiba tiba
Awas, minggir! Aku mau lewat! Beri jalan!
BRUKK!
Aww, sakit Rintihku karena terjatuh. Aku terjatuh karena didorong oleh Katty, anak baru
itu.
Eh anak baru! Pakai mata dong kalau mau lewat! Teriak Tara.
Udahlah, Tar. Gak apa apa, kok. Namanya juga anak baru Kataku membela Katty.
Kenapa kamu bela belain dia? Dia kan jahat sama kamu Dia itu menganggapmu musuh.
Bukan teman. Perkataan Tara membuatku terdiam. Apa benar yang dikatakan Tara?
Kau benar, Tar Kataku seraya menganggukkan kepala. Aku terhasut omongan Tara
Hari ini, aku akan benar benar mengubah sikapku pada anak itu. Ia menganggapku musuh,
aku pun harus begitu. Aku takkan kalah darinya!
Saat di sekolah, aku berlari terburu buru masuk ke kelas. Meletakkan tas dan duduk di kursi.
Seperti biasa, Tara menyapaku,
Pagi. Sepertinya semangat nih, hari ini Sapanya.
Haha Aku mengenal sapaan itu sejak kelas 1 sd
Hmm Ya
Cukup lama kami berbincang bincang. Tiba tiba saja anak berambut pirang datang memasuki
kelas. Aku kenal rambut pirang itu. Katty!

21

Morning! Sapa Katty dengan sombongnya.


Huh Aku mendengus kesal. Amy, kita ke taman saja. Ajak Tara.
Iya, aku juga malas melihat wajah anak baru itu! Seruku mengiyakan.
Sesampainya di taman
Aduh, Ra Aku tinggal dulu ya Gak tahan nih Kataku.
Iya. Udah cepat sana Kata Tara.
Aku pergi ke toilet untuk buang air kecil.
Sesampainya di toilet, aku menutup pintu dan buang air kecil. Saat ingin keluar
Wah, gawat! Pintunya terkunci! Tolooongg! Tolooongg! Toloongg akuuu! Teriakku
meminta bantuan seraya mengetuk ngetuk pintu toilet
Sudah hampir 1 jam aku disini
Aku tak tahan lagi
Seketika semuanya gelap

Aku membuka mata perlahan. Pandanganku masih buram. Terlihat seorang anak perempuan
di hadapanku. Siapa dia?
Semakin lama penglihatanku semakin jelas. Dan ternyata anak yang kukira Tara ternyata
bukan! Melainkan Katty, Anak Australia itu.
Aku memperhatikan sekelilingku. Ini ruang UKS!
Ugh Katty?! Kau pasti yang telah mengunci pintu toiletnya kan?! Tolooong! Di sini
pelakunyaa!! Teriakku.
Shht Katty menutup mulutku.
Amy, Katty bukan pelakunya. Justru Kattylah yang telah menyelamatkanmu. Pintu toiletnya
tidak ada yang mengunci. Melainkan terkunci sendiri. Maklum, pintu toilet itu tidak pernah
diperbarui Jelas Pak Burhan yang ternyata mendengar teriakanku. Tunggu, Katty
menolongku?
Katty? Kataku tak percaya.
Pak Burhan mengangguk. Tak terasa, air mata jatuh dengan deras dari mataku.
Katty memelukku. Sangat hangat
Terima kasih Katty. Maaf, aku telah menuduhmu Aku mempererat pelukan.
Aku juga minta maaf karena bersikap sombong padamu. Aku tahu itu salah Air mata
Katty berjatuhan. Ia melepaskan pelukan dan mengacungkan jari kelingkingnya dan
mengatakan,
Sahabat? Tanyanya seraya menghapus air mata di wajahnya.
Aku mengangguk dan berkata, Ya, sahabat, seraya mengacungkan jari kelingkingku.
Kami kembali berpelukan. Pak Burhan yang menyaksikan persahabatan kami, hanya bisa
tersenyum melihatnya.
22

Amanat : Tak boleh bersikap sombong kepada teman ataupun orang lain,,
Jangan mudah terhasut dengan omongan orang lain, Jangan sembarangan
menuduh atau menfitnah orang

7. Burung di Senja Hari


Ketika itu hari sudah mulai senja seperti biasa yang kulakukan hanyalah keluar rumah
dan duduk di depan rumah karna disitu ada sebuah kursi yang sudah aggak tua dan lusuh
kursi itu aggak panjang sehingga aku sesekali membaringkan tubuh ku di atas kursi yang
lusuh itu, ku lihat hari yang mulai padam karena kehilanggan hawa panasnya berganti dengan
sejuk disertai tenggelamnya matahari dengan warna khas senja yaitu kuning ke oranyeoranyean. Disitu aku masih termenung memikirkan hal-hal apa yang akan aku lakukan
selanjutnya untuk menyokong serta menjadikan masa depanku lebih bermakna lagi, disitu
aku melihat sekawanan burung terbang dengan gembiranya mungkin mereka pulang ke
sarang dan berkumpul dengan keluargannya.
Seketika itu ayah ku datang menghampiriku duduk di sebelah ku dengan muka yang
terlihat seperti sudah kusam karena terlalu panjang pengalaman yang dilaluinya segelintir
pengalamannya yang diceritakannya dia bercerita waktu dia muda sebagai pekerja yang
sangat handal di bidangnya dia beberapa kali gonta ganti pekerjaan dikarnakan bukan karena
bosan atau mengharap gaji tinggi, tapi karena ayahku disuruh untuk berbohong, dia lebih baik
mengundurkan diri dan mencari pekerjaan lain walaupun gaji yang tak sepadan dengan
keadaan diri pada saat itu dengan keadaannya yang sangat sebar serta kejujuran adalah
motonya sekarang dia hidup dengan santainya menikmati hidupnya karena di masa
lampaunya dia adalah seorang pekerja keras seorang yang jujur serta tugasnya sekarang
adalah membagi kejujuran tersebut dengan ketiga anaknya termasuk aku.
Seraya dia ayah ku selesai dengan ceritanya yang aggak panjang tapi lumayam
menginspirasi ku, dia duduk termenung seolah apa yang ia ceritakan tadi semoga jadi
pelajaran untuk anaknya kelak dalam hal bekerja, berusaha dan betapa pentingnya kejujuran,
seraya dia menarik nafas sangat dalam dan meninggalkan aku sendirian di duduk termenung
melihat hari yang hanya menyisakan sedikit sisa cahaya dan kulihat burung terakhir terbang
membawa setangkai daun kering, dalam benakku berfikir mungkin si burung itu telah usai
membangun sarang untuk menghidupi burung betinanya serta anak-anaknya yang akan
tumbuh dewasa melewati betapa misterinya dunia yang akan dilewatinya tapi itu hanyalah
segelintir dari berbagai macam peristiwa dunia mungkin di luar sana masih banyak hal-hal
yang harus kita jadikan pelajaran.
Aku menggerakkan tubuhku yang kaku termenung tadi seraya menggangkat badan dan
berdiri tegak aku menarik nafas dengan penuh semangat, aku tersenyum sesaat dan ku
katakan kuniatkan dalam hati mari kita mulai.

23

Amanat : kita harus berperilaku jujur dimanapun kita berada

8. Aku Mencintaimu

Dera, gadis ini terus memperhatikan lekuk demi lekuk wajah laki laki di sampingnya ini
berharap ada sebuah keajaiban agar lelaki itu bisa mencintainya.. sungguh miriss aku
berharap suatu saat nanti kamu bakal mencintai aku, Za! walau suatu saat! aku tak yakin!
batin gadis ini, lalu menunduk melihat kakinya yang terbungkus sepatu mengayun ayun..
aku mencintai seseorang ucap lelaki ini yang tak lain Deza
Dengan senyum sumringah Dera mengangkat kepalanya siapa Za? senyum manis tak
lenyap dari bibir dera
eh.. bukan seseorang! 2 orang! ralat Deza, namun pandangan tak lepas dari wajahnya,
berharap Deza akan menjawab pertanyaannya barusan. aku mencintai gadis polos, lugu, lucu
yang dekat dengan ku.. aku ingin memberitahunya, namun aku takut ia menolakku! Deza
mengalihkan pandangannya lurus ke depan..
itu.. aku batin Dera, Dera pun melamunkan apa yang disampaikan Deza tadi, berharap
Deza takkan meralatnya. hm
yang ke dua, aku mencintai seorang yang telah melahirkan ku ke dunia ini! lanjut Deza.
Dera terdiam. ibumu?
Deza tersenyum dan mengangguk tapi.. yang satu lagi aku tidak dapat menebaknya..
bolehkah kau memberitahuku? ucap Dera dengan wajah memohon
gadis itu.. ada di depanku seketika Deza melirik Dera.
Mata Dera berhasil membulat sempurna, tidak Dera sangka harapannya terkabul.. mukjizat
apa ini tuhan? batinnya tak percaya..
aku mencintaimu! aku ingin kamu jadi milikku! aku ingin kamu mendampingi ku, di setiap
langkahku! maukah engkau menjadi kekasihku? Deza meraih tangan Dera dan
menggenggamnya ia pun menatap intens kedua bola mata Dera.
Dera tersenyum. sejak dahulu, ini yang aku inginkan! singkatnya.
- suatu saat nanti tuhan pasti mengabulkan apa yang kita inginkan, walaupun kita tak pernah
tau kapan saat itu datang.. tapi percayalah tuhan itu ada! dia di samping kita, dia
memperhatikan kita, percaya Amanat : kita harus selalu optimis terhadapa rencana tuhan dan percaya
bahwa tuhanakan mengabulkan doa kita.

9. Misteri Goa Bawah Tanah


24

Suatu hari tiga sekawan Vino, Ambar, dan Bimo berjalan-jalan di sebuah taman kota yang
letaknya tak jauh dari kompleks mereka tinggal. Mereka baru saja memulai liburan sekolah
yang menyenangkan.
Vin, kayaknya kalau begini terus nggak asik deh. Nggak ada tantangan serunya nih. ujar
Ambar.
Benar juga kamu Mbar. Kurang greget gitu rasanya. Bim, kamu kok kelihatannya nggak
mood gitu sih. Kamu dari tadi nggak ada semangat nya sama sekali balas Vino
Enggak aku lagi mikirin yang dikatain Nael kemarin. Katanya daerah kompleks Mawar ada
rumah kosong yang nggak berpenghuni dan di dekatnya ada sebuah goa yang kata orang
sekitar kompleks ada hantunya ujar Bimo.
Ah kamu, Bim. Kayak nggak tau aja ulah si Nael. Dia kan suka ngibuli siapa aja. celetuk
Ambar
Tapi kata temen-temen yang lain bener. Soalnya mereka sebagian besar sudah mengecek
kesana dan disana ada suara-suara nggak mengenakkan. Menyeramkan. balas Bimo
Sekarang daripada ribut mendingan kita ke sana dan membuktikan apakah omongan Nael
benar atau tidak. Vino menengahi
Ya udah siapa takut kata Ambar
Mereka kemudian menuju Kompleks Mawar yang dimaksud dan mencari rumah yang di
dekatnya ada goa berhantu. Dalam hati sebenarnya Ambar sangat takut tetapi karena tak ingin
dianggap pengecut oleh sahabatnya terpaksa ia menyetujui permintaan Vino. Sesampainya di
rumah kosong itu mereka tercengang karena rumah itu benar-benar menyeramkan. Sudah
lusuh dan tak terawat. Perlahan-lahan mereka mulai memasuki area rumah itu, karena goa
berhantu ada di area tak jauh dari rumah itu.
Wah serem juga ya ternyata rumah ini. Baru lihat depannya saja sudah bikin bulu kudukku
berdiri. Apalagi dalam goanya. Apa kita batalkan saja misi ini. ujar Ambar
Ah kamu ini, Mbar. Katanya tadi bilang nggak takut dan hanya tipuan Nael saja. Tapi kok
sekarang jadi kayak orang dikejar setan gitu sih. jawab Vino
Sudah ributnya. Kita segera masuk ke guanya. kata Bimo
Mereka memasuki Goa yang disebut-sebut berhantu itu. Di mulut goa mereka membaca
tulisan SIAPA BERANI MASUK IA TAKKAN BISA KELUAR LAGI. Namun Vino dan
Bimo tak pantang mundur hanya dengan tulisan seperti itu. Buktinya selama ini belum ada
berita tentang orang hilang di gua ini.
Tetapi tiba-tiba terdengar suara aneh. Terkesan berat dan menyedihkan. Seperti suara
mengusir siapa pun yang masuk.
Jangan pernah kemari atau kau akan mati disini. Pergi!!!
Guys, suara apa tuh? Ah kok ngeri banget sih. Kita keluar saja yuk. seru Ambar
Nggak, Mbar. Aku mau tetep menyelidiki tempat ini. Sepertinya aku kenal dengan suara
barusan. Ayo kita masuk lagi. ujar Vino
Iya ayo, Vin. kata Bimo
Dalam hati ada kekhawatiran dalam hati Ambar. Bisa-bisa mereka semua benar-benar tak bisa
keluar. Namun kedua sahabatnya terus melangkah masuk ke dalam goa. Ada sedikit cahaya
25

terang dari dalam goa. Mereka perlahan-lahan mengendap-endap masuk dalam goa. Mereka
melihat di sana banyak sekali mainan aneka ukuran dan ragam. Ada robot-robotan dan ada
juga aneka mobil-mobilan. Eits, mereka juga melihat sebuah foto dipajang di sisi goa. Astaga
foto Nael bersama seorang anak laki-laki yang kira-kira berusia 6 tahun. Di dekat foto itu ada
juga tape recorder beserta speaker. Mereka heran dan bergegas mendekatinya.
Vino mencoba untuk menyetel tape recorder tersebut. Betapa kagetnya mereka mendengar
suara rekaman yang sama persis dengan suara sewaktu mereka masuk ke goa itu.
Kayaknya aku tau ini suara siapa. Pasti ini suara Nael yang dibuat seram agar tak ada
satupun orang berani masuk ke goa ini. Tapi apa alasannya? kata Vino menerka-nerka.
Mereka bingung melihat ini semua. Bukan hantu yang mereka temukan. Lebih tepatnya
sebuah teka teki yang harus mereka pecahkan
Dari arah belakang mereka ada seseorang yang tak asing bagi mereka.
Sedang apa kalian di sini? tanya seseorang itu mengagetkan mereka bertiga.
Wuuuaaaa. Eh kamu, El. seru merek bertiga bersamaan.
Kok kalian berani masuk sih. Padahal kalau orang lain tak kan pernah berani masuk, yaahhh
tempat rahasiaku sudah ketahuan deh. kata Nael sedikit kecewa
Memangnya ini tempat apa sih, El? Kok kayaknya aneh gini. Ada tape recorder dengan
rekaman suaramu yang dibuat menyeramkan dan fotomu bersama anak laki-laki kecil itu.
kata Vino ingin tahu
Dulu rumah ini tempat tinggalku bersama keluargaku. Kami dulu sangat bahagia tinggal di
sini. Tapi semenjak adik laki-lakiku meninggal karena sakit kanker darah, kami merasa
sangat kehilangan dia. Semua tentang dia tak pernah bisa hilang dari ingatan kami sekeluarga.
Jadi kami memutuskan umtuk pindah. Tapi aku ingin tempat tinggalku yang baru tak jauh
dari rumah ini. Jadi keluagaku sepakat untuk pindah ke Kompleks Anggrek sekarang. Dan
tentang goa ini sengaja dibuat orang tuaku agar aku dan adikku bisa bermain bersama
sepanjang yang kami mau. Karena goa mainan ini permintaan terakhir mendiang adikku,
Rafa. Semua mainan ini sengaja aku kumpulkan disini agar aku tetap dekat dengan adikku.
Karena setiap aku tertidur di sini aku bermimpi bertemu adikku dan bermain bersama. Jadi
sengaja aku beri kesan seram agar tak ada orang yang masuk dan merusak semuanya.
Maafkan aku, ya. Aku sudah menakut-nakuti semua orang.
Kami bisa mengerti kalau kamu selama ini agak nakal dan berulah karena ada masalah
dengan hati dan perasaanmu. Masih ada kami yang berteman denganmu, tak usah sungkan,
berceritalah bila kau sedang ada masalah. Kami siap membantu. kata Vino bijak
Terima kasih teman-teman, kalian memang baik padaku. kata Nael terharu
Nah misteri sudah terpecahkan. Sekarang kita pulang dan makan siang bersama. Aku sudah
lapar ketakutan tadi. kata Ambar
Ah kamu ini, Mbar. Bisa saja. Ya sudah ayo pulang dan kita ke rumahku makan bersama.
kata Bimo
Setujuuuu kata mereka semua kompak
Bergegas mereka kaluar dari goa misteri itu dan pulang. Adik Nael, Rafa tersenyum di balik
mereka penuh ceria.
26

Kini misteri goa itu sudah berhasil mereka pecahkan. Liburan yang seru baru saja mereka
mulai. Kira-kira apa petualangan mereka selanjutnya?
Amanat : jangan suka menakut-nakuti seseorang, dan sebagai teman kita
dapat saling menolong dan memecahkan masalah bersama

10. Bersauh
Jadi, apa pedulimu dengan tempat ini, Nak? tangannya gemetar memegang pagar besi
setinggi perut di depannya. Matanya layu. Kutebak mata itu sebentar itu akan menutup.
Tetapi, jelas terlihat nasionalisme, patriotisme, bahkan sedikit chauvinisme di sana. Kulitnya
keriput di sana-sini. Bahkan retak, secara harfiah. Ditempa zaman, Nak. Orang-orang
berkulit sepertiku lah yang sejatinya memiliki kecintaan paling besar kepada negeri. Itu kata
dia saat aku bertanya tentang kulitnya yang retak lima tahun yang lalu. Ketika aku baru
menapakkan kaki di tanah ini. Tanah tanpa harapan.
Titik-titik air mulai turun. Satu tetes, dua tetes, tiga tetes mulai membahasi tanganku.
Lengket.
Janganlah kau terlalu sering terkena air hujan itu, Nak. Kakek tua itu menunjuk kulit
tangannya yang retak.
Oh, jadi itulah yang membuat kulitnya retak.
Sesekali tak apa lah, Kek. Aku suka hujan. aku membalas sambil melihat ke langit yang
mendung. Menengadahkan tangan untuk merasakan rezeki dari Tuhan. Walaupun sudah
dirusak.
Kandungan sulfur di dalamnya sudah berlebihan. Kau tahu, aku hanya butuh terkena hujan
ini sebanyak delapan kali untuk mendapatkan retakan ini. Si Kakek kembali menunjukkan
retakan di tangannya.
Dulu tanganku tak kasar. Halus. Berotot. Maskulin. Aku dulu seorang
Penjelajah. Ini kedelapan kalinya kau bercerita seperti itu, Kek. aku tertawa.
Kau menghitung? Kakek itu ikut tertawa.
Semua perkataan Kakek yang diulang, aku hitung.
Kek, kenapa namamu Dasa? Kau sudah menceritakan semua hal kecuali hal ini. Apakah
namanya terlalu keren untuk diceritakan? aku menepuk pundaknya. Bercanda.
Dasar, anak muda sekarang punya kadar sarkasme yang sangat tinggi. Namaku berubahubah setiap satu dasawarsa, Nak. Dulu, ketika umurku menjelang tujuh puluh tahun, namaku
27

Sapta. Ketika umurku beranjak ke delapan puluh tahun, namaku okta. Ketika umurku
menjelang sembilan puluh tahun, namaku Nona. Aku sering dihina pada sepuluh tahun itu.
Jelas, namaku seperti nama seorang wanita yang sangat feminim. Tapi, itu prinsipku. Namaku
berubah-ubah untuk mengingat umur, Nak. Selama apa pun kau berpijak di tanah, pada
akhirnya kau akan menyatu dengannya. Sekarang, umurku sudah sembilan puluh sembilan
tahun. Oleh karena itu namaku Dasa. Artinya sepuluh. Dan besok aku berulang tahun yang
keseratus! Entah nama apa yang aku pakai untuk besok lusa di usiaku yang sudah lebih dari
seratus. Dasa kembali tertawa.
Im ninety nine for a momment. Dying for just another momment and Im ah aku lupa
lanjutan lagunya. Dulu itu lagu kesukaanku. Five for Fighting, 100 Years. Selalu
mengingatkanku pada umur. Tubuhku sudah rusak, Nak. Bahkan, aku bisa berkata bahwa
seluruh organ tubuhku sudah memilki penyakit. Tak terhitung berapa kali aku harus,
seharusnya, minum obat dalam satu hari. Tapi, aku sadar, boy, pada akhirnya kita akan mati,
bukan? Untuk apa obat-obat itu?
Hei, Nak. Kau tahu cita-citaku? Mati pada umurku yang keseratus. Berarti itu besok! Tapi,
entahlah. Dengan kondisi tubuhku yang sepertinya masih kuat menopang segala jenis
penyakit. Kupikir, aku akan mati di umurku yang keseratus lima. Maksimal keseratus tujuh.
Dasa terkenal suka bercerita kemana-mana kalau sudah ditanya soal hidupnya. Entahlah,
mungkin sudah terlalu banyak pengalaman dan cita-cita yang ditimbun, membengkak dalam
otaknya. Jadi, mungkin dia harus membagikan pengalaman dan cita-cita itu kepada orang lain
sebelum mereka meledakkan otaknya sendiri.
Berarti kau lahir ketika Krisis Moneter melanda Indonesia. Krisis ekonomi untuk pertama
kalinya ya, Kek?
Ah! Iya, iya! Krisis Moneter! Itu bukan krisis ekonomi pertama untuk Indonesia, Nak. Krisis
ekonomi pertama terjadi ketika awal Indonesia merdeka. Ketika yang peduli pada bangsa
masih bisa ditemukan di seluruh pojok negeri. Krisis ekonomi itu terjadi karena Indonesia
tidak bisa membuat dua fokus antara kesejahteraan ekonomi dan mempertahankan
kemerdekaan Indonesia.
Ah, aku lupa. Dasa bahkan akan semakin berisik kalau sudah berbicara tentang negara ini.
Negara ini mulai korup, mulai rusak, ketika aku masih duduk di bangku SMP, Nak. Dulu
nama-nama seperti Gayus Tambunan, Anas Urbaningrum, Muhammad Nazaruddin, Andi
Mallarangeng, Si Menteri Pemuda danOlahraga, bahkan Akil Mochtar, seorang Ketua MK!
Proyek-proyek seperti pusat olahraga Hambalang, wisma atlet SEA Games ke-26, lalu pengimport-an daging sapi, bahkan kitab suci dijadikan celah untuk korupsi! Dari situlah, Nak,
dari para penjahat-penjahat itulah, muncul benih-benih baru yang mematikan. Muhammad
Nur Zulfiqar, Presiden ke-9 kita. Si Pembunuh. Kukira tidak ada yang bisa lebih korup

28

daripada dia, Nak. Lima puluh persen, bayangkan! Lima puluh persen dana APBN raib
olehnya!
Aku hanya mendengarkan ceramah Dasa dengan khidmat. Hujan turun makin deras. Badanku
terasa semakin lengket.
Ardi. Namamu Ardi, bukan? Kau tahu, Ardi, kukira negara ini sudah tidak bisa lebih hancur
setelah kasus Si Pembunuh itu, Nak. Ternyata, setelah puluhan tahun merantau kesana sini,
setelah tanah kelahiranku dibeli untuk dijadikan pabrik-pabrik besar, yang menyebabkan
hujan mematikan ini, aku sadar bahwa inti permasalahan ini bukanlah para penguasapenguasa korup itu. Inti hancurnya negara ini karena sudah terlalu banyak orang yang apatis,
Nak. Orang-orang inilah yang membawa.
Muka Dasa merah padam. Murka dengan orang-orang yang disebutkan dalam ceramahnya.
Termasuk kepada semua orang yang apatis terhadap nasib bangsa. Ini pertama kalinya aku
melihat Dasa sangat bergejolak ketika berbicara tentang negeri ini.
Entah kenapa, aku jadi sedikit khawatir dengan kesehatannya.
Globalisasi membawa degradasi moralitas kepada Indonesia. Beginilah jadinya negeri ini.
Seluruh aspek kehidupan mengalami keruntuhan. Jaminan kesehatan untuk rakyat tidak
mampu dicuri, lahan kosong, sawah, kebun, hutan, bahkan pedesaan di pelosok dijadikan
tempat bisnis bagi orang-orang korup, orang-orang serakah. Karena itulah bencana kelaparan
melanda negeri ini, khususnya bagi orang-orang yang tidak bisa membeli makanan. Seluruh
aspek kehidupan bagi orang-orang miskin tak bisa dipenuhi.
Tiba-tiba Dasa berhenti berbicara.
TAPI KENAPA JADI KITA YANG DISALAHKAN?! Kitalah yang sekarang dipenjara
dalam kota ini! Kota yang didesain pemerintah untuk menampung orang-orang tak mampu,
berpenyakit, kumuh, miskin, tak layak hidup! Sejak Muhammad Nur Zulfiqar diturunkan,
bencana penyakit terbesar dalam sejarah Indonesia menyerang. Apakah kau sudah lahir waktu
itu, Nak? SARS, HIV, flu burung, semua penyakit yang sudah pernah menjadi bencana untuk
negeri ini kembali menyerang dalam jumlah yang tidak terkira. Bersamaan pula! Orang-orang
miskin yang tak memiliki uang untuk melakukan pengobatan, digiring menuju sebuah kota,
bahkan bisa kubilang negara kecil yang dikelilingi tembok tinggi yang membutuhkan dana
triliunan rupiah, melewati empat masa jabatan presiden, dibuat untuk mencegah penyakit
yang kita bawa tidak menyebar kemana-mana. Aku sangat ingat hari itu, Nak.
Aku bersama jutaan orang lainnya digiring seperti hewan ternak ke dalam sini. Anak kecil,
remaja sepertimu, orang-orang paruh baya, hingga orang yang sudah tidak kuat untuk
mengangkat kakinya, kalau sudah terjangkit penyakit dan tak bisa bayar pengobatan, digiring
ke sini. Ini namanya genosida untuk orang-orang tak mampu! Aku masih ingat kata-kata
Almira Maulana, Presiden kesepuluh kita, Si Lugu, Si Bodoh. Mereka sudah tidak memiliki
29

harapan. Kami berusaha melakukan tindakan yang paling benar. katanya. Negeri ini lah yang
tidak memiliki harapan!
Mungkin kalau ada novel berjudul Indonesia Aftermath yang menceritakan kondisi
Indonesia sekarang, di titik klimaks kehancurannya, novel itu akan menjadi novel ber-genre
distopia terbaik di dunia, bahkan melangkahi Brave New World karangan Aldous Huxley.
Aku tidak tahu pengetahuanmu begitu luas, Kek. aku menepuk pelipis, kagum.
Kau pasti tidak percaya kalau aku dulu tidak lulus SD. Pengalaman adalah guru terbaik,
Nak. Aku sudah pernah mengunjungi seluruh sudut negeri ini. Bahkan, tanah tak terjamah di
kawasan Papua pun sudah aku taklukan, Ardi. sekarang Dasa yang menepuk pundakku.
Tiba-tiba muka Dasa terlihat sangat berat, matanya berkaca-kaca. Dasa memang orang yang
emosional. Namun, lima tahun aku mengenalnya, aku tidak pernah melihatnya seemosional
ini.
Kalau saja dahulu banyak anak muda sepertimu. Peduli dengan bangsa, bukan begitu? Dasa
menatapku dengan penuh harap agar aku menjawab seperti apa yang dia inginkan.
Kalau aku tidak cinta pada negeri ini, aku tidak mungkin bersauh ke dalam tembok tinggi
ini. aku berusaha menjawab dengan apa yang sepertinya Dasa harapkan. Namun, tidak pula
terlepas dengan fakta.
Kau seorang novelis sukses di luar sana, bukan?
Jurnalis, Kek. Bukan novelis. Aku tertawa.
Ah! Pemburu berita! Sangat banyak berita yang bisa kau buru di dalam tembok ini, Nak.
Bukan berita bahagia tentunya. Dasa menggeleng-gelengkan kepalanya. Kembali tertawa.
Namun, aku melihat air keluar dari matanya. Dasa cepat-cepat mengusapnya.
Kau sudah pernah berkata seperti itu ketika kita pertama kali bertemu, Kek. Aku ikut
tertawa kembali.
Sama seperti Kakek, aku juga sudah muak dengan semua hal di luar tembok ini. Ketika
orang-orang di luar sana menganggap bahwa di dalam tembok ini lah yang mereka sebut
dengan distopia, justru menurutku, di luar sanalah yang seharusnya disebut distopia. Negeri
yang tak pernah diinginkan oleh siapa pun. Lima tahun ada di dalam sini, kabur dari
kehidupan mewah di luar sana, aku tidak pernah melihat satu pun kejahatan di sini. Mungkin
satu, ketika Si Jabrig mencoba mencuri sendal jepitku.
Kita berdua kembali tertawa. Sangat menyenangkan ketika melihat Dasa tertawa.
Aku justru menemukan kedamaian di dalam tembok ini, Kek.
30

Walaupun kumuh dan bau?


Walaupun kumuh dan bau. Itu jawaban untuk pertanyaan kakek di awal pembicaraan.
Kau naif, Nak. Di sini tidak ada kejahatan karena taraf kehidupan semua orang sama saja!
Siapa yang mau mencuri barang orang yang sama miskinnya dengan dia? tawa Dasa makin
keras.
Tiba-tiba dia memberikan senyuman, bukan senyuman biasa, senyuman penuh harapan
kepadaku.
Ardi, orang-orang sepertimu adalah orang-orang yang diharapakan bangsa. Orang-orang
yang diharapkan dapat membawa kembali kedamaian yang kau bicarakan tadi ke seluruh
pelosok negeri.
Mengubah distopia ini menjadi utopia. Mata layunya berbinar, tangannya menggenggam
erat tanganku, walaupun gemetaran.
Bruk.
Kakek!
Keesokan harinya, tanggal 1 Januari 2098, tepat ketika umurnya seratus tahun, Dasa
meninggal karena kompilasi penyakit yang dideritanya. Mimpinya tercapai. Meninggal tepat
di umurnya yang keseratus. Namun, rasa cintanya terhadap negeri ini abadi. Mekar bersama
dengan rasa cinta jutaan orang lain yang masih memegang harapan kepada negara ini.
Di dalam sebuah distopia, pahlawan bukanlah seseorang yang mengangakat senjata melawan
penjajah. Bukan seseorang yang mendapat jabatan; bintang satu, dua, tiga, empat, lima, atau
bintang apa pun itu. Bukan pula orang-orang yang berteriak di depan orang banyak, berbicara
tentang moral.
Di dalam sebuah distopia, pahlawan adalah seseorang yang masih peduli untuk berbagi.
Walaupun hanya sekedar berbagi pengalaman
Amanat : sebagai pemuda bangsa harus peduli dengan nasib bangsa

11. Gadis Gama


Gama menatap sayu, pada genk cewek-cewek populer di sekolahnya. Gama sangat ingin
menjadi sepopuler mereka. Di SMU Pelita, Gama hanya dianggap sebagai orang luar, dan ia
sering mendapat perlakuan tak menyenangkan dari teman-temannya. Tak ada seorang pun
yang mengajak Gama ngobrol ketika jam istirahat. Tak ada seorang pun yang mengajak
31

Gama masuk dalam kelompok eksperimen. Hanya orang-orang yang dianggap orang luar saja
yang mau bergaul dengan Gama. Gama tak akan diperhatikan oleh cewek-cewek populer di
sekolahnya. Apapun yang Gama lakukan, itu tetap tidak bisa menarik simpati dari cewekcewek populer. Terutama Vania, ketua genk cewek populer yang sangat populer di sekolah.
Banyak cowok-cowok yang naksir Vania, dan semua orang bertekuk lutut di hadapan Vania.
Vania sangatlah membenci Gama. Baginya Gama hanyalah cewek cupu yang pengen populer
dan itu gak akan mungkin. Selama Vania tetap ada di genk cewek populer, Vania gak akan
mengijinkan Gama bergabung di genknya. Hanya siswa yang bereputasi tinggi dan anak
gedongan saja yang bisa bergabung dengan genk Vania.
Sudahlah Gama, ngapain kamu ngurusin genk yang gak jelas. Jadi Populer itu gak penting.
Ucap Chyntia. Chyntia adalah anak yang sangat sederhana dan ia sangat bersimpati kepada
Gama. Hanya Chyntia yang bersedia menjadi sahabat Gama. Chyntia memang beda dari anak
lain. Chyn Apa yang salah dari aku? Kenapa mereka mengganggapku hanyalah sampah.
Ucap Gama dengan lirih. Sudahlah gak usah kamu pikirkan, lebih baik sepulang sekolah
kita main basket aja Ucap Chyntia menghibur Gama. Gama pun setuju dan mereka berjanji
sepulang sekolah bertemu di lapangan basket.
Bel tanda pulang pun berbunyi. Gama menemui Chyntia di lapangan basket. Dan mereka pun
bermain basket bersama. Gama sangatlah ahli dalam bermain basket, ia sangat lincah dan
sangat pintar mengatur strategi. Aksi Gama dalam bermain basket memang sangatlah patut
diberi pujian. Tanpa disadari Bu Sytha pelatih tim basket putri sejak tadi berdiri di pinggir
lapangan mengamati permainan basket Gama. Bu Sytha terkejut karena Gama bisa begitu
hebat dalam permainan Basket. Bu Sytha berencana akan merekrut Gama bergabung dalam
tim basket putri SMU Pelita.
Gama, kemarilah nak! Ibu ingin bicara sebentar Ucap Bu Sytha seraya mendekati Gama.
Gama pun segera berlari ke arah Bu Sytha. Gama, Ibu ingin kamu bergabung dalam tim
basket putri SMU Pelita. Ibu harap kamu tidak akan menolak tawaran Ibu. Ujar Bu Sytha.
Tentu Bu, saya akan bergabung di tim basket putri Ucap Gama dengan semangat. Semenjak
itu Gama bergabung dalam tim basket putri di sekolahnya.
Setiap hari sepulang sekolah Gama berlatih dengan tim basket putri. Gama berlatih dengan
sangat semangat. Keahliannya terus meningkat dan kini dalam rangka menyosong kejuaran
basket putri sekota madya Gama ditunjuk oleh Bu Sytha sebagai kapten tim basket putri
SMU Pelita. Saat kejuaraan pun tiba, Gama bermain sangat baik untuk timnya. Dan berhasil
membawa tim basket putri SMU Pelita menjuarai kejuaraan basket putri sekota madya. Dan
Gama juga berhasil terpilih menjadi pemain basket putri terhebat sekota madya.
Sekarang hidup Gama berubah. Gama yang dulu dicemooh, sekarang dipuja. Vania sekarang
menerima Gama bergabung dengan genk cewek populer. Gama sangat senang, ia tak
menyangka akhirnya bisa bergabung dengan genk cewek populer dan menjadi cewek yang
populer di sekolahnya. Kepopuleran yang Gama dambakan kini telah Gama dapatkan. Tidak
hanya populer, tapi Vania menerima Gama.
32

Bel istirahat berbunyi. Gama memesan makanan di kantin, dan ingin memakannya sambil
duduk. Dilihatnya Chytia sahabatnya melambaikan tangan tepat di meja yang sering mereka
pakai. Namun, dari arah berlawanan dilihatnya Vania dan cewek populer duduk bersama dan
melambaikan tangan mengajak Gama duduk bersama mereka. Waktu seolah berhenti, Gama
bingung dia akan duduk dengan siapa. Gama inggin duduk bersama sahabatnya Chytia. Tapi
Gama tidak inggin ditinggal oleh genk populer. Kaki Gama seakan terasa sangat berat tuk
melangkah. Namun akhirnya dengan hati nuraninya, Gama melangkah mantap ke arah
sahabatnya Chyntia dan duduk di sampingnya. Dan sejak saat itu cewek-cewek populer sudah
tidak mengganggap Gama sebagai bagian dari mereka. Vania sudah tidak mau berteman
dengan Gama. Tapi kali ini Gama tidak sedih. Karena ia sadar bahwa kepopuleran tidaklah
abadi, suatu saat jika kemampuannya menurun, Cewek-cewek populer akan mendobrak
Gama keluar dari Genk cewek populer. Tapi sahabat sejatinya Chyntia mencintai Gama apa
adanya. Apapun yang terjadi pada Gama, Chyntia tetap akan selalu bersama Gama dalam
suka maupun duka karena itulah arti sahabat. Dan ia sekarang sadar betapa buruknya Genk
cewek populer, ketika Gama di atas Gama akan diperlakukan sebagai sahabat, tapi ketika
Gama di bawah, Gama akan ditendang jauh-jauh. Chyntia, Kaulah Sahabat Sejatiku Ucap
Gama seraya memeluk Chyntia.
Amanat : Pilihlah teman-teman sejati yang menyukai dirimu apa adanya, bukan temanteman populer yang menyukaimu karena apa yang kau punya.

12. Kado Terindah Untuk Ibu


Apa yang ku berikan untuk mama untuk mama tersayang tak ku miliki sesuatu berharga
untuk mama tercinta hanya ini ku nyanyi kan senandung dari hati ku untuk mama hanya
sebuah lagu sederhana lagu cinta ku untuk mama.
Ku nyanyikan lagu ini dengan sepenuh hati jari jemari ku sudah sangat ahli memainkannya, 2
hari lagi adalah hari yang aku tunggu selama ini yaitu lomba menyanyi sambil bermain piano,
sudah jauh-jauh hari aku mempersiapkannya mudah-mudahan di lomba ini aku bisa
membawa pulang piala dan ku persembahkan untuk ibu, amin
Fanny panggil wanita tua separuh baya yaitu ibu ku
Iya ibu ada apa? Sahut ku
Sejak dari tadi ibu perhatikan kau berlatih terus apa kau tidak lelah? Istirahat lah sebentar
nak ibu tidak mau kau sakit nasihat ibu kepadaku
Tidak ibu fanny tidak lelah fanny senang melakukan ini, fanny gak sabar deh bu menanti
hari dimana yang fanny tunggu-tunggu fanny ingin membawa pulang piala dan ku
persembahkan untuk ibu, doain fanny yah bu agar fanny bisa menang ucap ku meyakini ibu
dengan perasaan ceria
Ya sudahlah jika itu mau mu, ibu akan selalu mendoakan mu ucap ibu lalu langsung

33

memeluk tubuh mungil fanny


Fanny sayang ibu membalas pelukan sang ibu dan ibu hanya terdiam dan tersenyum tipis
Dan kenapa tiba-tiba penyakit ibu kambuh lagi ibu selalu saja batuk dan batuknya
mengeluarkan darah, sebenarnya ibu sudah lama mengidap penyankit kanker paru-paru tapi
ibu masih sangat kuat melawan penyakit ini aku tidak mau kedua kalinya harus kehilangan
seseorang yang aku sayangi setelah ayah, ayah pergi meninggalkan kami berdua saat aku
berumur 5 tahun ayah meninggal karena kecelakaan maka dari itu aku tidak mau kehilangan
ibu.
Ya allah ibu! Ibu tak apa? Apa ibu sudah minum obat? Tanya ku dengan perasaan cemas
Tidak ibu tak apa ibu sudah minum obat jawaban ibu cukup melegakan hatiku
Ya allah cabut lah penyakit ini dari ibu aku tidak kuat melihat kondisi ibu semakin lama
semakin lemah, aku sayang ibu ya allah aku gak mau kehilangan ibu ucap batin ku meminta
2 hari telah berlalu hari dimana yang aku tunggu telah datang ini saatnya aku unjuk ke
bolehan di depan mata orang banyak dan tak lupa ibu datang tuk mensupport ku ibu datang
bersama bi inah pembantu yang sudah kami anggap sebagai keluarga, semua peserta
berjumlah 50 dan aku mendapat urutan ke 19 nomor yang bagus sungguh sangat hebat dan
keren peserta-pesertanya tapi aku tidak boleh kalah dari mereka.
Kini waktunya giliran ku tuk maju, ku bernanyi dan bermain piano sungguh menjiwai seolaholah ini nyata ku persembah kan untuk ibu, dan tak kusangka semua orang kagum melihat ku
mereka semua bertepuk kepada ku aku pun senang senyum tipis ibu terlihat bangga
kepadaku. Di tengah acara ku lihat wajah ibu memucat makin lama pucat disertai batuk yang
tidak enak didengar aku tak tega melihat kondisi ibu sesekali ku tanya APA IBU TAK
APA? Ibu menjawab tak apa melegakan hati ku, tapi tak lama tiba-tiba tubuh ibu jatuh
pingsan tak berdaya cepat-cepat ku panggil ambulan. Tak lama ambulance datang ku
tinggalkan acara ini demi mengantarkan ibu ke rumah sakit, saat di perjalanan ibu sempat
sadar
F-a-n-n-y kenapa kau disini? Tanya ibu lemah diserati batuk
Aku ingin menemani ibu aku tidak peduli dengan lomba itu ucap ku tegas berderailah air
mata ku yang tak kuasa melihat kondisi ibu
Pergilah nak bawa pulang piala itu untuk ibu bukan kah kau sudah janji!
Perkataan ibu mengingatkan sesuatu aku teringat dengan ucapan ku aku harus membawa
pulang piala itu dan ku persembahkan untuk ibu IYA HARUS!
Aku menuruti perintah ibu aku turun dari ambulan dan berlari menuju perlombaan itu!, Tak
lama kini saatnya pembacaan pemenang lomba sungguh membuat ku tegang dan rasa
khawatir dengan kondisi ibu, dan tak ku sangka panitia perlombaan itu menyebut namaku
sebagai pemenang sungguh tak bisa dibayangkan persaan ku saat ini bersyukur kepada allah
tak henti-hentinya semua orang mengucapkan selamat kepada ku tapi aku teringat akan soal
kondisi ibu. Tanpa membuang-buang waktu aku berpamit kepada panitia untuk pulang lebih
awal dan panitia menizinkan secepat kilat aku menuju rumah sakit dan mencari keberadaan bi
34

inah, tak lama kudapati bi inah sedang duduk di ruang tunggu mungkin sedang menunggu
dokter keluar memeriksa ibu tapi dugaan ku salah bi inah menagis terisak-isak membuat ku
khawatir.
Bi ibu mana? Tanyaku pada bibi tapi bibi hanya terdiam dan menagis
Ibu mana bi? Desak ku
Bi inah memandang ku penuh berderaian air mata
Ibu non ucap bibi dengan air mata yang masih berjatuhan
Iya ibu mana? Tanya ku sekali lagi
Ibu Me-ning-gal!, dan sekarang ibu di ruang mayat
Sungguh tak percaya apa yang ku dengar ini gemetar tubuh ku tak terkendali, langsung ku
berlari ke ruang mayat sambil membawa piala. Sampai di sana ku buka kain kafan yang
menutupi seseorang mayat dan saat ku buka ternyata benar mayat ini mayat ibu.
Ibu!!! Ibu kenapa tinggalin fanny? Lihat ini fanny udah bawa pulang piala yang udah janjiin
ke ibu tapi ibu kenapa tinggalin fanny? Ibu bangun dong! Bangun ibu bangun!!! Ya allah
kenapa secepat ini kau ambil ibu ku? Aku tidak punya siapa-siapa lagi! Sekarang aku yatim
piatu, kenapa ya allah? Kenapa??
Air mata semakin deras berjatuhan disertai suara isakkan ku yang keras tak terkontrol aku
belum bisa menerima kenyataan ini.
Semua orang sudah pergi tinggal aku yang berada di kuburan ayah sama ibu, kuburan ayah
sama ibu bersampingan dan aku duduk di tengah
Ibu fanny taruh pialanya disini ya dekat nisan ibu, fanny kan udah janji piala itu untuk ibu,
fanny juga janji gak akan nangis lagi dan akan selalu doain ayah sama ibu mudah-mudahan
ayah sama ibu bahagia disana Ucap ku terbata-bata mencoba kuat dan menahan air mata ini
Ku lihat bayangan ayah sama ibu berpakaian serba putih dan cahaya yang sangat terang
sekali sampai silau mataku melihatnya mereka tersenyum kepadaku dan melambaikan tangan
Ayah ibu? Seru ku dan bayangan putih itu pergi entah kemana
Amanat : sayangilah kedua orangtuamu terutama ibu, karena surga di telapak ibu

35

Anda mungkin juga menyukai