Anda di halaman 1dari 5

Penyemangat Belajarku

Cinta Butuh Waktu


Karya : Seno Wicaksono

Senyumnya adalah bagian yang paling kuhapal.Setiap hari kunikmati senyum itu sebagai salah
satu penyemangat belajarku. Kali ini pun tetap sama, ketika kupandangi ia yang sedang menulis
sesuatu di kertasnya. Matanya sesekali mengarah padaku, ia menyimpulkan senyum itu lagi.
Aku yang sedang melihat wajahnya, memerhatikan setiap lekuk pahatan tangan Tuhan.
Detail wajahnya tak kulewati seinci pun. Hidungnya yang tak terlalu mancung, pipi dan rahang
yang tegas, dan bentuk bibirnya yang mencuri perhatian siapapun saat menatap lengkungan
senyum itu.Aku penggemarnya, seseorang yang mencintainya tanpa banyak ucap, namun dengan
tindakan yang nyata.
Secara terang-terangan, aku tak pernah bilang cinta, namun selalu kutunjukkan
rasa.Entah lewat sentuhan, perhatian, dan caraku membangun percakapan.Aku
mencintainya.Terlalu mencintainya.Sampai-sampai aku tak sadar bahwa kedekatan kita semakin
tak terkendalikan, meskipun semua singkat, tapi rasanya cinta begitu terburu-buru mengetuk
pintu hatiku.
Di sebuah taman, tempat kami biasa bertemu, tempat kami biasa melakukan hal
sederhana yang begitu kami cintai. Ia menulis tentangku dan menggambar sosoknya.Setelah
karya kami sama-sama selesai, kami saling menukar hasil jemari kami.
Tulisannya yang indah dan gambarku yang sederhana sama-sama menyumbangkan
senyum di bibirku dan bibirnya. Betapa cara sederhana yang bisa membuat aku dan dia merasa
tak butuh apa-apa lagi, selain kebersamaan dan takut akan rasa kehilangan.
“Kamu pernah takut dengan rasa kehilangan?” ucapnya lirih di sela-sela gerakan
jemarinya yang masih menulis sesuatu di kertas.
“Pernah dan aku tak akan mau lagi merasakan perasaan itu.” jawabku secepat mungkin,
jemariku masih memperbaiki gambarku yang hampir selesai.Kuperhatikan lagi bentuk wajahnya,
rahang dan jambang rambutnya yang begitu kusukai.Seandainya aku punya keberanian untuk
menyentuh wajah itu, selancang ketika aku menyentuh batang pensil saatku menggambar.
“Kalau kau sudah berusaha begitu kuat, namun kau tetap bertemu pada rasa kehilangan,
apa yang akan kau lakukan?”
Kubiarkan pertanyaannya menggantung di udara sesaat. Kuberi jeda waktu agar ia masih
bertanya-tanya pada rasa penasaran dalam hatinya. Semilir angin dan goresan pensilku di kertas
lebih terdengar jelas dalam keheningan kami berdua.
“Apa yang akan aku lakukan?” aku mengulang pertanyaan darinya, semakin membangun
rasa penasarannya yang membesar.
Kening pria itu mengkerut ketika pertanyaannya kuulang, “Iya, apa yang akan
kaulakukan jika rasa kehilangan tiba-tiba menyergapmu meskipun kamu sudah berusaha keras
untuk menggenggam?”
Helaan napasku terdengar santai, “Aku akan selalu bertanya pada diriku sendiri, mengapa
aku harus merasakan kehilangan. Setelah aku tahu jawabannya, demi apapun, aku tak akan
mengulang kesalahanku lagi. Dan, aku akan semakin memaknai pertemuan sebagai hal yang tak
boleh disia-siakan.”
Jawabanku membuat ia semakin tajam menatap wajahku, aku yang menunduk dan masih
menggambar, jadi salah tingkah ditatap dengan tatapan seperti itu. Ia arahkan jemarinya ke atas
kepalaku dan membelai rambutku. Aku tak tahu maksud dari sentuhan itu, entah mengapa
seketika tubuhku tak bisa memberi banyak tanggapan atas sentuhannya.Aku belum bisa
merasakan adanya cinta dalam setiap sentuhannya.
Ia kembali menulis, kuintip sedikit ternyata kertas tempat ia menulis sudah hampir penuh.
Dengan matanya yang indah, ia kembali meminta perhatianku, “Aku merindukan dia.”
“Wanita itu lagi?” tanggapku dengan cepat.
Ada sesuatu yang bergerak dalam dadaku ketika ia mengucap kalimat singkat itu.
Terdengar singkat memang, tapi entah mengapa rasanya aku harus butuh waktu lama agar tak
merasa sakit dengan pernyataan yang seperti itu.Kali ini, aku merasa dianggap tak ada.
“Aku selalu bilang padamu, setiap hari, berkali-kali, tak perlu lagi kamu merindukan
seseorang yang bahkan tak pernah menghargai perasaanmu!”
Senyumnya terlihat getir ketika aku berbicara dengan nada tinggi.
“Apakah bagimu, ada kehilangan yang tak menyakitkan?”
“Semua kehilangan pasti menyakitkan, kita sebagai manusia hanya bisa mengobati setiap
luka, sendirian atau bersama seseorang yang baru.Itu semua pilihan yang kita tentukan sendiri.”
Tanpa menatap wajahku, ia kembali mengajakku bicara, “Apakah obat pengering dari
luka basah bernama kehilangan?”
Aku berhenti menggambar.Kuketuk-ketukkan pensilku di atas kertas dan berpikir dengan
serius, “Luka pasti kering, tapi bekasnya akan selalu ada.Keikhlasan dan kepasrahanlah yang
membuat bekas luka tak lagi perih.”
“Lantas, apa lagi?”
“Membuka hati untuk seseorang yang baru!” seruku dengan nada bersemangat, dengan
senyum singkat.
“Ah, tapi bukankah semua butuh waktu?Termasuk juga soal cinta.”
“Cinta butuh waktu untuk bisa kita rasakan?” aku mengangguk setuju, “Tapi, sampai
kapan kau butuh waktu?Sampai orang yang mencintaimu pada akhirnya memilih pergi, karena
tak terlalu kuat diabaikan berkali-kali?”
Aku tertawa dalam hati menertawai diri sendiri.
“Lihatlah, kamu melucu!” ia ikut tertawa sambil terus melanjutkan tulisannya, “Cinta
memang butuh waktu dan waktu yang dibutuhkan cinta adalah teka-teki yang sulit diprediksi.”
“Ah.... kamu ini, semua hanya soal kesiapan hati.” bibirku meringis, mencoba menutupi
hatiku yang mulai nyeri, “Jangan pernah takut dengan orang baru yang datang ke dalam hatimu,
karena ia tak ingin banyak hal, selain membahagiakanmu.”
“Aku juga berpikir begitu, tapi aku takut jika luka yang masih kubawa akan menjadi luka
baru di hati orang yang mencoba masuk ke dalam hatiku.”
“Bagi orang yang ingin membahagiakanmu, tak akan pernah ada luka, meskipun cinta
yang ia tunjukkan begitu lambat kaurasakan.”
“Tak akan pernah ada luka?” tanyanya dengan wajah tak percaya, ia menatapku sekali
lagi, dengan tatapan sangat serius, kali ini.
“Ketika tulus mencintai seseorang, ia melakukan banyak hal karena ia mencintaimu,
bukan karena ia memikirkan apa yang akan ia dapatkan ketika ia mencintaimu.”
“Begitu manisnya cinta....”
“Lebih manis lagi jika tak hanya satu orang yang berjuang untuk membahagiakan, harus
saling membahagiakan.”
Kalimatku membuat ia tersenyum lebar. Ia membubuhi tanda tangan untuk mengakhiri
karya tulisnya di kertas. Aku menulis namaku dan tanggal pembuatan gambar ketika aku selesai
menggoreskan goresan terakhir.
Setelah karya tulisnya selesai dan karya gambarku selesai.Kebiasaan itu terulang, kami
saling menutup mata sebelum dia melihat gambarku dan aku membaca tulisannya.Ketika
karyanya ada di tanganku dan karyaku ada di tangannya, kami pada akhirnya membuka mata.
Ia menikmati gambarku dengan senyum mempesona, senyum yang paling kucintai dan
kukagumi. Gambarku adalah sosoknya yang kujadikan sketsa di kertas A4. Aku tak melewatkan
detail wajahnya yang indah. Hidungnya kugambar semirip mungkin, rahangnya yang tegas juga
jambangnya yang menggemaskan, juga kugambar dengan goresan yang tegas.Ia mengucap
terima kasih. Aku bisa menebak wajahnya yang terharu ketika karya itu kuberi judul Masa
Depan.
Giliran aku yang membaca karya tulisnya. Awalnya, kukira ia menulis tentangku, tapi
ternyata aku salah. Ia menulis tentang seseorang yang bukan aku, seseorang yang hidup dalam
masa lalu dan kenangannya. Hatiku teriris membaca setiap paragraf dalam tulisannya; tak ada
aku di sana. Aku hanya membaca tentang sosok lain, sosok yang dulu ia ceritakan dengan wajah
sedih, sosok yang begitu kubenci karena menyia-nyiakan pria yang kucintai saat ini. Karya tulis
itu ia beri judul Masa Lalu.
Aku mengulum bibirku.Usahaku masih terlalu dangkal baginya.Cinta yang kutunjukkan
ternyata belum cukup menyentuh hatinya.Ia masih terpaut pada masa lalu ketika aku sudah
menganggap sosoknya sebagai masa depan. Ia masih belum melupakan masa lalunya, ketika aku
secara perlahan-lahan berusaha menyembuhkan lukanya yang perih.
Aku belum berhasil seutuhnya.
Ah, mungkin aku masih harus terus berjalan dan berjuang lebih dalam. Aku akan terus
berjuang, sampai ia juga menganggapku masa depan seperti aku selalu menganggap dia sebagai
bagian masa depanku.
Cinta butuh waktu. Butuh waktu untuk membuat ia segera melupakan masa lalunya
kemudian mencintaiku. Butuh waktu untuk membuat ia memahami, ada cinta yang lebih masuk
akal untuk ia percayai.
Cinta memang butuh waktu.

Anda mungkin juga menyukai