Anda di halaman 1dari 3

Cintaku Jauh di Komodo

oleh Seno Gumira Ajidarma

dimuat di Harian Kompas edisi 17 Agustus 2003


dimasukkan ke dalam buku berjudul Linguae terbitan Gramedia Pustaka Utama

HANYA laut. Hanya kekosongan. Dunia hanyalah laut dan langit yang dibatasi garis tipis
melingkar, membentuk garis lingkaran yang tiada pernah berubah jaraknya, meski perahuku
melaju menembus angin yang bergaram. Bibirku terasa asin dan rambutku menyerap garam, tapi
kutahu cintaku belum akan berkarat bila tiba di pulau itu. Bagaimana cinta akan berkarat hanya
karena sebuah jarak dari Labuan Bajo ke Komodo, jika cinta ini belum juga berkarat setelah
mengarungi berabad-abad jarak, dari suatu masa ketika cinta pertama kali ada? Lagi pula
bagaimana cinta akan berkarat karena angin yang bergaram jika cinta memang bukan besi? Aku
dan kekasihku diciptakan dari sepasang bayang-bayang di tembok yang tubuhnya sudah mati,
dan semenjak saat itu kami menjadi semacam takdir ketika tiada sesuatu pun di dunia ini yang
bisa memutuskan hubungan cinta kami. Barangkali itulah yang disebut dengan cinta abadi.

AKU mengatakannya semacam takdir, karena kami memang tidak terpisahkan, tapi aku
hanya berani mengatakannya semacam takdir, dan bukan takdir itu sendiri, karena
sesungguhnyalah aku tidak akan bisa tahu apakah benar cinta kami yang barangkali abadi itu
adalah takdir. Kami seperti tiba-tiba saja ada dan saling mencintai sepenuh hati, tapi sungguh
mati memang hanya seperti dan sekali lagi hanya seperti, karena sesungguhnyalah hubungan
cinta kami yang barangkali abadi itu adalah sesuatu yang diperjuangkan. Cinta yang abadi kukira
bukanlah sesuatu yang ditakdirkan, cinta yang abadi adalah sesuatu yang diperjuangkan terus-
menerus sehingga cinta itu tetap ada, tetap bertahan, tetap membara, tetap penuh pesona, tetap
menggelisahkan, tetap misterius, dan tetap terus-menerus menimbulkan tanda tanya: Cintakah
kau padaku? Cintakah kau padaku?

Setiap kali kami mati dan dilahirkan kembali, kami selalu bisa saling mengenali dan
mengusahakan segalanya untuk menyatu kembali. Kami memang diciptakan dari sepasang
bayang-bayang, dan bayang-bayang bisa berkelebat menembus segala tabir,
namun kami tidak pernah lahir kembali sebagai sepasang bayang-bayang yang bisa berkelebat
seenak udelnya. Kami sering dilahirkan kembali sebagai manusia, dan sebagai manusia kami
tidak bisa berkelebat seenak udel kami, begitu juga bayang-bayang kami yang selalu mengikuti,
menempel seperti ketan, lengket bagai benalu, barangkali menunggu kami mati dan menjadi
pasangan baru. Apabila kami berbeda kulit, kemudian berbeda kelas sosial, lantas berbeda agama
pula-betapa beratnya usaha kami menyatukan diri. Walaupun kami terbukti saling mencintai,
terlalu banyak manusia merasa berhak untuk tidak setuju dan melarang hubungan kami. Apalagi
jika kami lahir kembali masing-masing sebagai pasangan resmi orang lain, nah, tiada seorang
pun yang akan mengizinkan dirinya untuk memahami, bahkan kami pun bisa bingung sendiri.

Demikianlah cinta kami selalu diuji, benarkah begitu kuat usaha kami untuk menyatu kembali,
ataukah cinta kami ini hanya cinta begitu-begitu saja yang terlalu mudah menyerah karena
berbagai macam halangan yang sebenarnya bisa saja diatasi. Memang begitu banyak godaan
kepada kesetiaan cinta kami: bisa berwujud harta kekayaan, bisa berupa kursi kekuasaan, tapi
yang paling berbahaya adalah pesona cinta itu sendiri. Hmm. Cinta diuji oleh cinta. Sering kali
ini sangat membingungkan-tetapi selalu bisa kami atasi. Cinta yang sejati, kukira, hanyalah
menjadi sejati jika tahan uji terhadap cinta yang sama hebohnya, yakni cinta yang dahsyat itu,
dengan segenap petir dan halilintarnya yang tanpa kecuali menggetarkan dan mendebarkan hati.
Kesetiaan kami masing-masing telah membuat kami selalu bertemu kembali, begitulah, meski
terkadang penuh dengan luka-luka cinta di sana-sini karena ketergodaan yang terlalu menarik
untuk tidak dilayani.

Apabila kami bertemu dari kelahiran satu ke kelahiran lain, kami akan saling mengenali, meski
perbedaan duniawi yang membungkus kami bisa mengakibatkan masalah berarti. Itulah yang
terjadi misalnya ketika aku lahir sebagai pendeta dan kekasihku lahir sebagai putri raja. Lain kali
aku lahir kembali sebagai perempuan dan kekasihku lahir kembali tetap sebagai perempuan.
Suatu kali bahkan ketika lahir kembali sebagai bayi, kekasihku sudah lahir berpuluh tahun
sebelumnya dan hampir mati. Tetapi, tidakkah cinta itu tiada memandang wujud, dan tiada pula
memandang usia? Jika cinta memang mempersatukan jiwa, maka kesenjangan tubuh macam
apakah yang akan bisa menghalanginya? Justru itulah masalahnya sekarang: apakah aku, sebagai
manusia biasa, masih bisa mencintai kekasihku, jika kekasihku itu telah menjadi komodo?

Hanya laut. Hanya kekosongan. Laut dan langit bagai bertaut, tapi mereka sebetulnya tidak
bersentuhan sama sekali. Apakah aku akan bisa bertemu dengan kekasihku kali ini? Tanda-tanda
alam memberi isyarat kepadaku, kekasihku telah dilahirkan kembali dalam wujud seekor
komodo, yang sekarang berada di Pulau Komodo. Sebagai seekor komodo, kekasihku
menimbulkan masalah besar, karena telah memakan seorang anak gadis yang sedang mandi di
sungai. Perburuan liar telah mengurangi jumlah kijang yang biasa dimakan komodo, sehingga
kekasihku dengan kelaparannya yang amat sangat telah menerkam dan menelan seorang anak
gadis berusia 12 tahun. Karena undang-undang melindungi komodo, maka kekasihku tidak
dibunuh, melainkan dibuang ke suatu wilayah di Pulau Flores yang juga dihuni komodo. Namun,
di tempat yang baru itu, kekasihku dianggap sebagai komodo asing yang dimusuhi oleh komodo-
komodo lain. Akibatnya, kekasihku berenang dan menyeberangi laut untuk kembali ke Pulau
Komodo-dan kini aku datang ke pulau itu untuk mencarinya.

Dalam sejarah percintaan kami dari abad ke abad, belum pernah kami lahir kembali dengan
berbeda spesies seperti ini. Karena kami selalu berperilaku baik, kami selalu lahir kembali
sebagai manusia-kesalahan apakah yang telah dilakukan kekasihku, dan aku tidak
mengetahuinya, sehingga lahir kembali sebagai komodo?
Apakah ia masih akan mengenaliku dengan pancaindra dan otaknya sebagai seekor komodo?
Kalaulah aku masih mempunyai kepekaan untuk mengenalinya, bagaimanakah caranya ia akan
mengenaliku-dan apa yang akan kami lakukan? Aku tidak mungkin mengawini dan
membawanya sebagai seekor komodo ke dalam apartemenku di Jakarta.
Pasti Supermie tidak akan pula mengenyangkannya. Atas nama cinta, apakah yang masih bisa
kulakukan untukmu kekasihku?

KETIKA akhirnya kami berjumpa di sebuah kubangan pada sungai kering berbatu-batu, hatiku
terasa kosong. Setelah menjelajahi pulau itu selama dua hari dan bertemu dengan sejumlah
komodo, akhirnya aku bertemu dengan seekor komodo yang kuyakini sebagai kekasihku.
Rupanya kekasihku menjadi seekor komodo jantan.
Karena aku turun di kampung Komodo dan bukan di Loh Liang, tempat para petugas Taman
Nasional biasa memandu wisatawan, aku menjelajahi pulau itu siang malam tanpa pengawal.
Bersenjatakan tongkat bercabang, aku berhasil menyelamatkan diri dari serangan sejumlah
komodo, sampai kutemukan komodo jantan yang pernah memakan anak gadis itu.

Kami bertemu pada suatu siang yang panas dan aku sedang mendaki ketika kulihat ia merayap
ke arahku di bawah kerimbunan semak-semak. Apakah yang masih bisa kukenal dari kekasihku
yang cantik jelita pada komodo jantan ini? Tadinya masih kuharapkan pandangan mata yang
penuh dengan cinta, tapi hanya kulihat sebuah pandangan mata yang kosong. Sudah jelas ia
tampak kelaparan, dan kukira ia tidak mengenaliku lagi-apakah masih sahih jika aku berusaha
tetap mempertahankan cinta? Dalam keadaan seperti ini, aku menjadi ragu, apakah cinta yang
abadi itu sebenarnya memang ada, ataukah hanya seolah-olah ada dan dipercaya begitu rupa
sehingga mengelabui para peminatnya? Mungkin cinta ternyata mengenal wujud-meskipun
komodo jantan itu memang penjelmaan kekasihku, dan aku sangat mencintainya, aku bertanya-
tanya apakah aku bisa mencintainya seperti aku mencintai kekasihku….

Aku terpeleset dari tebing, dan meluncur masuk ke kubangan, tepat di hadapan mulutnya yang
menganga. Semuanya sudah terlambat, kaki kiriku sudah masuk ke mulutnya, langsung patah
beberapa bagian. Aku tidak sempat memanfaatkan tongkat bercabang itu-apakah aku akan lebih
bahagia jika menyerahkan jiwa sebagai pengorbanan cinta? Kurasa seluruh tubuhku tersedot
masuk ke dalam tubuh komodo itu sekarang. Di dalam tubuh itu hanya kurasakan kegelapan-dan
perasaan menyatu.
Kalau aku tidak keliru.

Labuan Bajo, Juli 2003

Anda mungkin juga menyukai