Anda di halaman 1dari 2

Demi Sebuah Janji

Oleh Panezeno

“Kapan kau tiba sobat..?”


“Harus berapa lama lagi aku menunggu mu di sini..?”
“Di tempat yang tidak pernah kau datangi sebelumnya..?”
Pesan yang cukup panjang ini ku layangkan setelah kau tak nampak sesuai waktu yang
kau janjikan, waktu yang bagi ku sangat berarti itu, waktu yang memang sudah tak bisa ditawar-
tawar lagi.
Rasa jemu ini datang di saat yang tak tepat. Dan seharusnya tak pernah datang, mungkin
aku salah mengartikannya sebagai “jemu” karena ini adalah rasa yang sangat merindu, ridu untuk
kembali melihar senyum manis dari bibir mu.
Denting bel kereta jurusan merak-jakarta bunyi beberapa kali, berselang antara 10
sampai 15 menit sekali, namun tetap saja yang ku nanti tak kunjung tiba di sini, di tempat yang
sudah kau janjikan. Stasiun pondok tanji kau bilang, tempat di mana aku harus menunggu mu
datang. Ya betul stasiun pondok ranji.
“Jam barapa kau tiba..?”
“10.30 pagi..?”
“Kau janji..!?”
“Ya, aku pasti datang tepat waktu. Karena aku tak mau mengecewakan mu..!”
“Di stasiun mana..?”
“Pondok ranji..!”
Tiga sms jawaban dari mu sudah cukup yakinkan aku akan kedatangan mu yang sudah
pasti akan tepat waktu. Olehnya 30 menit sebelum waktu yang kau janjikan itu aku sudah
menunggumu. Stasiun pondok ranji.
Sepuluh menit lewat dari batas waktu yang seharusnya kau telah tiba di sini, tuk aku
dapat melepaskan rindu ku kepada mu, rindu yang tak mungkin ku tahan lagi walau hanya
semenit saja, namun di mana kau tak kunjung tiba, sedangkan kerumunan orang sudah mulai sepi
di stasiun pondok ranji ini.
Ku buka kembali isi inbox di handphon ku, ku pastikan bahwa aku yang telah salah
membaca isi pesan yang tertulis di situ. Ternyata memang “10.30 pagi” bukan yang lainya.
Itulah waktu yang kau janjikan, waktu kau harusnya tiba di sini, stasiun pondok ranji. Rasanya
jemu ini semakin memuncak saja di hati, ku lihat jam di tangan ku telah menunjukkan pukul
10.50. Dua puluh menit berlalu dari waktu yang seharusnya. Semakin membuatku tak kuasa
menahan diri tuk lebih sabar lagi menanti.
Akhirnya ku langkahkan kaki ku menuju loket pembelian karcis, karena ku yakin
petugas yang ada di balik kaca itu tahu lebih banyak dari ku ihwal waktu tiba kereta jurusan
merak-jakarta.
“Permisi, pak..?”
“Jam berapa seharusnya kereta jurusan merak-jakarta tiba..?”
“Oh.. Jam 10.30 mas..!”
“Lalu, kenapa ada ketelatan..?”
“Yah maklum saja namanya juga kereta tua..!”
“Maksudnya bapak, ini hal yang biasa terjadi..?!”
“Betul mas, kereta jurusan itu biasa telat 20-30 menitan..!”
Mendengar penjelasannya aku menjadi tenang, karena ku pikir hanya sepuluh menit lagi
waktu yang menjemukan ini harus ku lalui demi menunggu kedatanganmu.
***
Jam 11.25 pagi, benar-benar memuakan. Ternyata sudah tiga puluh lima menit kau telat
dari janji mu, teknis kereta yang telat atau memang kau yang sengaja tak menepati janji mu, tuk
kembali..? Sekali lagi ku temui bapak penjaga loket, karena dia mungkin lagi-lagi lebih
mengetahui ihwal ketelatan kereta itu.
“Pak, sudah hampir 40 menit kereta tak tiba dari waktu seharusnya..!”
“Yah, sabar aja mas..!”
Geram aku karena jawabannya, ini luar biasa di luar profesionalisme, sesuatu yang
seharus tak boleh terjadi saat ini, saat semuanya sudah membuncah di kepala ku, kesal, jemu,
penasaran dan rindu yang campur aduk menjadi satu. Itu semua karena janji mu.
Andai saja kau bilang di sms itu sekitar 10.30 atau lebih mungkin aku masih bias
mentolelir-nya, tapi bukan itu, 10.30 tepat kau bilang, dan itu waktu yang sakral bagiku, karena
aku tak mau menunda terlalu lama pertemuan ini, pertemuan yang seharusnya menjadi awal tuk
kita bisa bersama kembali, awal tuk kita memulai kembali apa yang hampir-hampir tak mungkin
di perbaiki.
Ku kirim ulang sms yang sama kepada mu tuk kesekian kalinya karena memang sama
sekali kau belum membalas sms itu.
“Kapan kau tiba sobat..?”
“Harus berapa lama lagi aku menunggu mu di sini..?”
Hampir satu jam sudah aku menunggu mu di sini sobat. Wajar jika aku jemu, wajar jika
aku kesal karena sudah hampir lima tahun kita tak bercengkrama, semenjak kau tinggalkan aku,
sejak kau memilih untuk merantau ke kepulauan riau itu.
“Senang rasanya bisa kembali sobat..!”
“Aku bahagia dapat melihat mu..!”
“Kecamasan mu adalah tanda kau masih menerima ku”
Barisan kata itu begitu saja lalu di telinga ku, hembusan anginnya seakan kau ada di sisi
ku, sentak aku terjerambat, tersungkur di lantai stasiun pondok ranji, aku pun tak sadarkan diri.
Setelah ku mendengar pengumumuman yang menggema dari speaker prihal kecelakaan kereta
jurusan merak-jakarta, sedangkan nama mu disebutkan sebagai salah satu korbannya.
Maafkan aku sobat, seandainya saja tak ku paksakan agar kau mau kembali, mungkin
hal ini tak pernah terjadi, lalu sebaiknya ku ikhlaskan saja pilihan mu tuk tak pergi, namun bukan
ini, bukan pilihan tuk tak berjumpa lagi, dan kau pun tahu aku tak akan pernah kuasa melepas
mu pergi tuk selamanya dariku dan harusnya kaupun tahu tanpa kembali pun aku telah
memaafkan semua kesalahan mu, dan aku pasti akan selalu menerimamu.

Suara Merdeka, 4 Oktober 2009

Anda mungkin juga menyukai