Anda di halaman 1dari 2

*LATIHAN MENULIS CERPEN HARI KE-9*

Apa yang akan terjadi dengan manusia di pengujung usia dunia? Ya, kondisi apa yang akan dialami
manusia di planet Bumi ini jika dihancurkan, yakni kiamat. Bercerita imajinatif terhadap ramalan masa
depan bisalah kita sebut sebagai fiksi futuristik. Menarik, penuh tantangan, dan terpenting bisa
menghadirkan fakta fiksi yang tersampaikan dengan baik.
Hmmm...apa yang terjadi dengan 2000 manusia terakhir di penghambisan usia Bumi? Seperti dalam
cerpen "Dua Ribu Manusia Terakhir" karya Ken Hanggara (Tribun Jabar, 10 Februari 2019).

Silakan dilanjutkan paragraf pembuka cerpen berikut di KOMENTAR)

============================

SEBUAH kota berdiri di tengah gurun. Kota gurun berisi orang-orang mati yang telah dihidupkan
kembali sebagai manusia biasa dan bukan monster atau hantu atau siluman sehingga konon mereka
tak menginjak surga atau neraka begitu saja. Mereka hidup paling lama di dunia. Ketika bumi kelak
hancur, seisi kota gurun menciptakan sebuah pesawat yang dapat mengantar manusia-manusia biasa
ke planet lain. Namun, tentu saja, terjadi seleksi alam. Hanya orang-orang terpilih yang bisa
melanjutkan hidup di planet lain ketika bumi tak lagi bisa dihuni. Orang terpilih memilki ilmu
pengetahuan tinggi. Mereka yang memilki potensi untuk menghidupkan bumi di planet lain. Mereka
yang bodoh dan miskin harus tertinggal di kota mati ini dipenuhi manusia biasa yang dihidupkan lagi
itu katanya. Manusia biasa seperti kita rupanya, tapi hidup mereka lebih abadi, lebih rakus, dan lebih
bringas. Jiwa kanibalismenya menggunung akibat virus mematikan yang bermutasi karena kondisi
ekstrim bumi yang sudah rusak. Mereka adalah Alpha. Aku dan adikku tidak bisa berlama-lama
dengan manusia itu. Kami harus ke stasiun pusat pemberangkatan yang orang-orang terpilih tadi akan
pergi. Kami bukan orang dengan ilmu pengetahuan tinggi, tapi kami adalah pejuang yang
menangandalan ilmu survivor dan bertarung untuk selamat mengalahkan manusia-manusia itu. Fyler
diterbangkan keseluruh penjuru kota mengisyaratkan bahwa keberangkatan pesawat di stasiun
dilakukan besok pagi.“Kita harus berangkat besok pagi sebelum Alpha muncul.” Sambil aku
memasukkan ke dalam carrier usang dengan perlengkapan, seperti makanan, obat, peta, tali tambang,
semua yang masih mungkin masih bermanfaat. Adikku terus memeluk teddy bear lusuh dengan mata
hanya satu. “Kak, kenapa kita gak disini aja?” “Bahaya.” Singkatku menjawab pertanyaan adikku.
Fajar di ufuk langit menyapaku yang sudah bangun. Aku hanya tidur 3 jam. Mataku masih tertatih,
tapi kupaksakan sambil membangunkan adikku. “Hei! Ayo kita berangkat sekarang!” ku genggam
tangan adikku sambil ku sakukan pistol jenis revolver dan parang besar milik ayahku. Langkah kaki
kami perlahan memasuki jalana raya yang sudah seramai umumnya. Sebagian jalan terselimuti pasir.
Ilalang tumbuh terlalu tinggi sampai harus ku sapu dengan parangku. Mataku awas ke kiri, kanan,
hingga belakang jika Alpha datang. “Ayo jalan terus! 100 m lagi kita sampai. Stasiun pusat memang
tak terlalu jauh dari tempat kami berteduh tadi. “KREKK! DUK!” sangat keras terdengar sampai
hingga kami tersentak. Jantungku berdegup dengan irama tak beraturan. Jemari adikku mengencang
kuat dengan tanganku. “Kak! Suara apa itu?” suara lirih adikku semakin membuat aku semakin
wapada. Mataku mencari-cari arah suara berasal. Badanku menghadap arah belakang sambil ku seret
adikku untuk tetap berada dibalik punggungku. Bayangan postur tubuh tak wajar sedikit miring,
rambut kering seperti akar jagung, baju bolong-bolong berantakkan, kulit kuning kehijauan dengan
sebagian wajah menghitam, mata kuning pucat dengan urat ungu terlalu jelas, merah darah menyebar
di sekitar baju-baju dan wajahnya. Wajah itu juga menyerengitkan gigi dan mengendus-enduskan
hidung hingga dia mengeluarkan suara “ARGHHHHHWWW!” tanda memanggil pasukannya untuk
menyerang kami. “LARI!!”. Aku dan adikku terbirit-birit menjauhi. Ku genggam adikku sekeras
apapun energiku terkuras untuk berlari.
Gedung seperti bekas gudang menjadi satu-satu tempat yang bisa menolong kami. “Ambil besi
disana!” kutahan besi itu di gagang pintu. “Kak…” aku melihat adikku yang terus bergetar, matanya
berkedip-kedip, pelukan ke teddy bear-nya begitu kuat. Kita terjebak! Sepertinya Alpha tahu
keberadaan gudang ini dan mengepung kami. Itu terdengar dari suara pintu yang tergedor-gedor.
Mereka mendorong pintu terus menerus memaksa masuk ntah kapan besi panjang itu akan menahan
pintu. Kami harus segera ke stasiun pusat kalau terlambat kami tidak bisa naik pesawat itu. Aku terus
berfikir sambil meperhatikan adikku. Dia masih kecil masa depannya masih cerah. Aku teringat
mandat Ayah untuk selalu menjaga adikku. Baiklah. Keputusanku bulat. Satu-satunya cara adalah
memancing mereka masuk ke gedung dan membiarkan adikku keluar melalui jendela kanan yang
kemungkinan aman dari Alpha. “Hei! Dengar kakak mau bicara! Setelah kamu keluar dari sini kamu
ikuti saja jalan raya ke arah barat.” Aku memegang pundak adikku mataku menatap wajahnya, “kamu
duduk di pojok dekat tong-tong sana sampai kakak pergi kebelakang bawa masuk Alpha, kalau sudah
sepi kamu loncat dari jendela lalu lari. Jangan pernah menoleh kebelakang! Jangan kembali cari
kakak. Nanti kakak menyusul,” aku terpaksa berbohong supaya adikku percaya. “Ini ambil parang
milik Ayah buat jaga diri.” Adikku mengambil parangku, “Kak! Kakak janji ya menyusul!” Aku
hanya memberikan anggukkan kecil.
Revolver ku siapkan menodong ke arah depan. Aku ambil besi dari gagang pintu. “Hei!! Kemari
kalian!” aku pancing sekitar sepuluh Alpha masuk berbondong ke arahku. Ku tembakkan mereka ke
kepalanya. Adikku berhasil lari di waktu yang tepat. Satu persatu Alpha aku tumbangkan. Sial.
Peluruku habis. Masih tersisa lima Alpha yang siap menyerangku. Aku lari masuk jauh ke dalam
gedung. Hingga aku menemukan kamar kosong. Kukunci pintu berslop itu “KLIK”. Terengah-engah
aku memungguhi pintu yang juga aku tahan. Aku mataku berkeliling ke setiap sudut kamar mencari
celah. Tidak ada. Kamar itu kedap tak ada ventilasi bahkan lubang. Kali ini aku benar-benar terjebak.
Aku hanya duduk bersandarkan pintu yang terus didorong paksa oleh Alpha. Suara deru mesin sangat
keras seperti suara pewasat dari arah luar terdengar olehku. Tiba-tiba dibalik pintu menjadi hening.
Sepertinya para Alpha suah pergi. Aku terlambat ke stasiun pusat. Aku terpaksa tinggal di bumi rusak
ini. Air mataku luruh tak terbendung. Ini akhir hidupku. Aku siap menghampiri Ibu dan Ayahku.
Setidaknya, aku melihat adikku berhasil keluar. Dia sepertinya sudah pergi dengan pewasat tadi.

Anda mungkin juga menyukai