Anda di halaman 1dari 2

*LATIHAN MENULIS CERPEN HARI KE-3*

Seorang penulis punya kepekaan yang sering menghadirkan kisah dari suatu yang biasa. Terkadang luput
dari pengamatan orang kebanyakan. Kali ini kita latihan menulis tentang sebuah kejadian, si aku (penulis)
melihat seorang lelaki duduk kalut di ruang tunggu rumah sakit, dan itu justru membawanya kepada
sesuatu yang menyentak kesadarannya.

Cerpen menarik gaya realis (cerita nyata kesehatian) berjudul "Kali Pertama Aku Menangis" karya Dicky
Qulyubi Aji (Suara Merdeka, 10 Maret 2019) yang apik dan menggugah.
============================

Jam yang aku genggam menunjukkan pukul 23.45. Lelaki itu masih berdiam diri. Tubuhnya seperti
membatu di kursi ruang tunggu. Dia duduk sendirian dengan kedua tangan menopang dagu. Wajahnya
kuyu. Sorot matanya sendu. Sesekali bibirnya bergemetar seakan sedang mendremimilkan sesuatu.

…….

(silakan dilanjutkan ceritanya)


Belenggu Lelaki di Ruang Tunggu

Jam yang aku genggam menunjukkan pukul 23.45. Lelaki itu masih berdiam diri. Tubuhnya seperti
membatu di kursi ruang tunggu. Dia duduk sendirian dengan kedua tangan menopang dagu. Wajahnya
kuyu. Sorot matanya sendu. Sesekali bibirnya bergemetar seakan sedang mendremimilkan sesuatu. “Om,
sudah pulang saja. Sekarang sudah jam segini gentian biar aku yang jaga Nenek,” suara lembut
kulontarkan untuk menenangkan hatinya yang terlanjur berguncang. “Gak Son, gak apa-apa. Om masih
mau disini jaga Ibu,” mata bergetar sedikit berlinang menatap ke arahku penuh keyakinan “kamu yang
pulang aja, kasian di rumah Ateu Wina sendirian di rumah.” Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi kalau sudah
begini. Siapa sih yang sanggup tidur pulas kalau tahu Ibu tercinta sakit? Apalagi ini kecelakaan jatuh di
kamar mandi yang meghantam kepala Nenek dan sekarang beliau koma. “Ya udah Om Soni pulang, tapi
nanti Soni balik lagi bawa baju ganti ya?” “Gak usah, kamu kirim pake ojek online saja.” Aku
mengangguk dan menegadah tanganku untuk minta salim. Aku pergi sambil merasakan kegelisahannya
saat tangan dingin bergetar terasa di jemariku saat salim tadi.

“Soni, itu Si Surya teu hoyong wansul heula? Geus opat poe di sana teh. “ rayu suara lembut Ateu Wina
yang khawatir adiknya tak pulang karena masih menunggu Ibunya. “Iya nanti coba Soni bujuk Om Surya,
“ aku sih tidak yakin akan berhasil hanya sekerdar basa-basi meyakinkan Ateu Wina. “Ari disana teh
tileum dimana? Aya ruangan khusus gitu?” “Di ruang tunggu, Teu. Itu teh lurusan sama kamarnya Nini.”
Ateu Wina menghela nafas pendek sambil menggeleng kepala, “Si Surya teh pasea heula sama Ibu terus
indit ka imah baturna sebelum Ibu tikosewad teh, jadi mereunan ngarasa bersalah kitu ya makanya jadi
nungguan lami disana teh.” Ini pertama kalinya aku tahu alasan Om Surya gak beranjak dari ruang tunggu
rumah sakit bahkan bertukar shift denganku juga tidak mau. “Kenapa berantemnya teh, Teu?” kedua
pupilku makin membesar sambil mencondongkan badanku ke arah Ateu Wina dan membuka telinga lebar-
lebar. “Iya, si Soni teh hoyong nikah sama Mita kabogohna tea geuning, tapi Mitanya teh minta mas kawin
mobil jeung bumi tipe 45. Ya jelas Ibu gak mau atuh kan Soni teh gaweannya cuman marketing,” Ateu
Wina bercerita sambil menggayeum adonan kue talam untuk dijual besok “tapi da Ateu juga udah gak
suka sama si Mita pas dikenalin pertama kali teh, teu sopan jalmina. Ngomongna ge’ keur ceplas-ceplos
wae.” Aku membuat wajah tek bergeming dengan mulut terbuka, “ooohhh gituuu.” Tiba-tiba notifikasi
telepon muncul di handphoneku, “halo Om, ada apa?” mataku seketika terbelalak dan buru-buru
mengambil kunci motor, “iya Soni kesana sekarang ya!” “Aya naon, Son?” “Nini kritis Teu. Ayo ke
Rumah Sakit!”

Setibanya disana, aku bisa merasakan belenggu Om Surya. Dia bolak-balik di pintu depan kamar Nenek,
kemudian duduk lagi kursi ruang tunggu. Tangannya tak bisa diam sesekali mengusap wajahnya,
kepalanya, bahkan lengannya dan sesekali juga jemarinya saling berhimpit dan membuka untuk berdoa.
“Sur, tenang. Bismillah banyak sholawatan jeung dzikir, “ Ateu Wina mengusap-usap punggung Om
Surya. Pria berjas putih panjang dengan kalung stetoskop keluar dari ruangan, “Ibu Bapak kondisi Ibu
Aminah memang dari 10 menit yang lalu sudah sangat kritis. Innalillahiwainnailaihirajiun, sekarang
keluarga harus ikhlas ya Bu, Pak. Saya turut berduka cita. Semoga amalan Ibu Aminah pasti insyaAllah
diterima Allah. Semua pecah setelah mendengar pernyataan dokter. Hawa yang awalnya dingin karena AC
ruang tunggu menjadi tambah dingin hingga bulu-buluku menegang. Om Surya membungkuk memegang
lututnya mencoba untuk menopang diri. Ateu Wina juga sudah berderai air mata sambil memeluk pundak
Om Surya. Namun, lama kelamaan tangisan Om Surya semakin keras isakannya tak bisa dibendung cairan
dari mata dan hidung semuanya tumpah, “Ibuuu, ya Allah. Ibuu.” Aku sangat mengerti panggilan Om
Surya itu. Penyesalan yang hebat karena meninggalkan kesan buruk dari pertengkaran mereka. Hingga saat
Nenek meninggal ia belum sempat meminta maaf.

Anda mungkin juga menyukai