Anda di halaman 1dari 7

DIA LELAKI SEMPURNA

Oleh : Sri Noufry Geysya

Aku merebahkan kepalaku dengan malas di atas meja belajarku yang menghadap ke
luar jendela. Dari kejauhan aku bisa melihat Jack Harffey yang sedang bersepeda dengan
riang mengelilingi kompleks tempat tinggalku bersama Murffy, anjing birunya yang lucu,
yang kemarin kubaca di buku yang baru kubeli.
Jack melambai padaku. Aku hanya mengangguk singkat dan tersenyum. Aku tidak
ingin terlibat interaksi yang berlebihan dengannya setelah terakhir kali aku ditertawakan oleh
teman-temanku karena aku terus berlari sambil menjerit-jerit ketakutan di sepanjang koridor
sekolah ketika anjing birunya yang lucu tiba-tiba mengejarku dengan wajah ganas.
Aku kembali merebahkan kepalaku dan menatap rak-rak buku besar yang berdiri
kokoh di setiap sisi dinding kamarku, yang membuatnya menjadi tampak mirip perpustakaan.
Puluhan buku-buku ilmiah karya penulis asing, buku filsafat, psikologi, algoritma dan
quantum, sastra klasik, sejarah historis, mitologi-mitologi Yunani kuno, buku-buku kritik
sosial dan kumpulan jurnal internasional. Aku menatap setiap deret buku itu satu demi satu,
mencoba mengingat isinya. Aku nyaris hapal di luar kepala setiap baris dari tiap halaman
buku-buku itu1.
Aku memiliki kecerdasan di atas rata-rata yang tidak terjangkau manusia pada
umumnya. Gabungan hebat antara Albert Einstein dan Galileo Galilei. Aku sudah
memenangkan banyak perlombaan dalam berbagai bidang ilmu dan memperoleh
penghargaan dunia dalam bidang kosmologi, seperti Fisikawan Stephen Hawking, berkat
artikel ilmiahku yang kini telah diterbitkan dalam jurnal internasional. Aku bahkan mampu
menyelesaikan soal hitungan rumit yang terdiri dari 100 digit angka hanya dalam waktu tiga
detik. Aku bisa mengingat semua hal yang ditangkap oleh indraku dengan baik.
Dengan kemampuan otakku yang nyaris sempurna seperti susunan kosmis, perlahan-
lahan semua ingatan itu campur aduk dalam otakku tanpa bisa kukendalikan, sehingga aku
mulai tidak bisa membedakan antara ingatan yang benar-benar berasal dari kejadian yang
pernah kualami, atau hanya ingatan yang berasal dari sesuatu yang kubaca, yang kemudian
tervisualisasikan dan terproyeksikan dengan sempurna oleh otakku, sehingga semuanya
tampak begitu nyata.

1
Kemampuan Memori fotografi, yaitu manusia yang memiliki kemampuan untuk mengingat apa yang
ditangkap oleh indra penglihatan secara detail dan terperinci hanya dalam sekali lihat.
Semua teman-teman di sekolahku menganggapku gila karena aku memiliki false
memory syndrome2 yang mulai mengarah pada skizofrenia. Aku tahu apa itu skizofrenia,
namun ayahku yang merupakan seorang psikolog di salah satu rumah sakit swasta dan ibuku
yang merupakan pakar ilmu kejiwaan menepis semua pernyataan itu. Mereka selalu
mengatakan aku tidak gila, hanya saja tercipta dengan istimewa.
Aku merenggangkan kedua tanganku yang mulai kebas karena sejak tadi menjadi
tumpuan kepalaku, dan lantas meraih gelas berisi air mineral yang terletak di sudut meja. Aku
mereguknya hingga beberapa tegukan bersama beberapa butir obat yang dibawakan ibuku,
yang tak jarang hanya kusimpan di bawah laci meja karena egoku menahanku untuk
melakukannya. Aku juga enggan melakukan terapi hypnosis seperti yang disarankan Ibuku,
karena jika aku melakukannya sama saja dengan mengakui diriku gila.

***

Aku tengadah menatap langit-langit kamarku yang dihiasi lampu gantung mewah
yang terbuat dari kristal dengan sulur-sulur tangkai besi yang berwarna keemasan. Suasana
perlahan meremang dan terasa asing. Di sisi kiriku berjejalan peralatan labor yang sudah
kelihatan tua dan tak terawat. Aku panik dan nyaris saja menyenggol sebuah tabung reaksi
yang terletak di atas brankas besi yang sudah dipenuhi karat. Beberapa orang dengan kemeja
lusuh duduk dengan tenang sambil memperhatikan seorang pemuda paruh baya berwajah
karismatik yang sedang berorasi di antara sesaknya ruangan mirip laboratorium tak terpakai
itu.
Tidak ada seorang pun yang menyadari kehadiranku. Semua tampak sibuk
mendengarkan setiap patah kata yang keluar dari bibir seorang pemuda yang dipanggil
Chairul Saleh, dan beberapa orang lainnya sesekali melirik malas pada secarik kertas yang
terhampar di mejanya. Aku berdiri dengan tidak nyaman di antara susunan rak yang tidak
mampu menyembunyikan tubuhku dengan sempurna yang hampir menyerupai pria dewasa.
“Kita tidak bisa terus menerus menggantungkan nasib bangsa pada Nippon. Kita harus
segera mendesak Bung Karno untuk mengumandangkan kemerdekaan. Ini kesempatan kita,”
Semua tampak kasak-kusuk mencerna kata-kata dari pemuda bertubuh kurus, bergaris
wajah tegas dengan setelan kemeja putih kusam berpadu celana panjang berwarna coklat
gelap tuanya, yang kemudian disambut dengan anggukan oleh peserta rapat.

2
False Memory Syndrome adalah Ingatan yang salah atau keadaan di mana seseorang sulit membedakan
mana ingatan yang sebenarnya terekam di ingatan kita dan mana yang bias.
“Kita harus segera berbicara dengan Bung Karno. Ini tidak bisa dibiarkan berlarut-
larut menunggu sampai Nippon berinisiatif untuk memberikan kemerdekaan pada bangsa
kita. Kita bangsa yang berpikir maju. Selama ini kita telah berjuang dengan mempertaruhkan
darah dan nyawa, jadi kenapa kita harus menunggu??”
Pemuda itu kemudian diam beberapa saat, menunggu respon dari orang-orang yang
berada di ruangan itu, “Wikana, Darwis, kau temui Bung Karno dan Bung Hatta di rumahnya.
Kita harus membicarakan ini. Ini kesempatan kita, sebelum bangsa lain mencoba menaruh
kakinya di negara kita karena kekosongan ini. Syahrir dan aku beserta pasukan bawah tanah
juga sudah merancang teks proklamasi untuk dibacakan Bung Karno nanti,”
Meskipun aku merasa asing dengan suasana aneh ini, namun itu tidak membuatku
untuk berhenti penasaran terhadap isi dari tulisan yang dikatakan sebagai teks proklamasi.
Aku mencoba mengintip kertas yang berada di tangan Chairul Saleh itu. Kata-kata dalam
tulisan itu benar-benar mengundang keingintahuan. Setiap barisnya ditulis dengan sempurna
menggunakan tulisan rangkai yang rapi dan teratur. Aku sedikit kecewa karena tidak bisa
membaca tulisan itu dengan jelas.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Menyapu setiap inci bagian dari ruangan
itu mencoba untuk mencari jalan keluar. Aku terperangah tak percaya saat mataku
menangkap baris-baris angka pada kalender Jepang Okayama yang sudah dilingkari dengan
menggunakan spidol, yang berada di antara jejeran gambar sel-sel dan anatomi bakteri yang
tergantung di pojok ruangan dengan tenang tanpa mempedulikan dua ekor cecak yang sedang
beradu argumen tentang siapa yang lebih dahulu melihat mangsanya.
15 Agustus 1945. Berkali-kali aku mengerjapkan mataku, berharap yang kulihat
hanyalah ilusi yang diciptakan pikiranku. Tapi semua ini terlalu nyata. Kulitku benar-benar
bisa merasakan dinginnya brankas besi yang ada di sampingku.
Aku menghela napas berat sambil melangkah dengan cemas kalau-kalau ada yang
menyadari keberadaanku, namun aku juga enggan bertahan di tempat yang mengerikan itu.
Aku terus melangkah bersamaan dengan langkah rombongan yang sudah berjalan terlebih
dahulu dengan langkah-langkah gontai. Suasana di luar gedung benar-benar gelap dengan
background alam pedesaan yang yang mencekam. Setiap rumah tersebar berjauhan dan
tampak sunyi. Yang terdengar hanyalah suara jangkrik yang mengerik saling bersahutan,
bersaing dengan suara-suara langkah kaki.
“Kalian temui Bung Karno dan Bung Hatta di rumahnya. Nanti kita bertemu lagi di
Asrama Baperpi,”
Namun yang terjadi di luar dugaan. Kedua tokoh itu menolak diplomasi yang telah
ditawarkan. Keputusan itu membuat pemuda-pemuda yang tadinya duduk dengan tenang di
kursi sebuah rumah yang terdiri dari beberapa kamar mendadak jengkel.

***

Aku duduk dengan tenang di ujung truk beratap terbuka dengan seragam tentara milik
PETA yang kucuri dari seseorang yang kebetulan berada di sana, seperti semua penumpang
yang dipaksa untuk mengenakannya kecuali wanita dan anak-anak dengan alasan
keselamatan. Aku tidak tahu ke mana tujuan dari perjalanan ini, tapi tampaknya truk semakin
menjauhi kota, setelah kelompok pemuda setuju untuk mengasingkan Bung Karno dan Bung
Hatta agar tidak dipengaruhi Jepang.
Udara terasa semakin dingin dengan jarum jam yang semakin merambati pukul 4
pagi, ditambah medan perjalanan yang begitu buruk dengan setiap sisi jalan dipenuhi lubang
hingga membuat kami terguncang-guncang. Di setiap perbatasan kota tampak pos-pos
penjagaan milik Jepang dengan beberapa tentara yang berjaga sambil memanggul popor bedil
dengan bayonet terhunus meskipun kekalahan Jepang sudah tersebar ke seluruh pelosok desa.
Matahari mulai terbit dengan perlahan ketika kami tiba di barak penginapan milik
PETA. Namun karena keadaan yang kurang nyaman, akhirnya Sukarni memintaku untuk
membantu mereka memindahkan kedua keluarga tersebut ke salah satu rumah milik warga
Tionghoa yang berada tidak jauh dari tempat itu. Rumah itu begitu sederhana dengan atap
genteng yang terbuat dari tanah liat dan dinding papan yang dicat senada dengan warna
dedauanan. Aku diperintahkan untuk berjaga di pintu, meski aku sendiri tidak yakin.
Aku terus mengamati dari kejauhan. Mereka semua tampak gelisah sambil sesekali
bergantian menggendong putra Sukarno yang mendadak rewel sembari menunggu berita
revolusi yang digembar-gemborkan kaum muda. Detik demi detik berlalu dengan perlahan
hingga berganti menjadi menit dan jam. Jarum panjang sudah menunjukkan angka yang
berbeda dari yang seharusnya, dan waktu pun telah berlalu dari yang telah ditargetkan,
namun belum ada tanda-tanda revolusi akan dimulai. Ini tidak seperti yang dikatakan oleh
Sukarni untuk mengancamnya kemarin malam agar dirinya mau ikut bersama mereka, pikir
Sukarno.
“Apabila Bung tidak mau mengucapkan kemerdekaan itu malam ini juga, besok akan
terjadi pertumpahan darah!!” ucap Sukarni ketika itu.
Sekali lagi aku melirik beberapa orang yang duduk di atas kursi rotan di pelataran
rumah Djiauw Kie Song atau yang kupanggil dengan sebutan Tje, salah satu tuan tanah yang
merupakan anggota PETA yang telah menyediakan tempat bagi para petinggi itu. Beberapa
kali Sukarno mengernyitkan alisnya menatap secarik kertas yang berisi rancangan naskah
proklamasi yang ditulis oleh Syahrir dan pasukan bawah tanah lainnya, lalu dia tersenyum.
Samar-samar aku bisa mendengar beberapa kata yang nyaris sama dengan kata yang kubaca
pada teks aslinya yang kemudian dirombak pada beberapa bagiannya, namun aku tetap tidak
bisa berkonsentrasi terhadapnya. Pikiran-pikiran untuk bisa melarikan diri dari tempat itu
terus berkecamuk dalam dadaku, takut sewaktu-waktu akan ada yang menyadari
keberadaanku sebagai penyusup.
Setelah semua orang tampak sibuk berkemas-kemas ketika seseorang pria berusia di
penghujung 50-an dengan garis wajah tegas dan kaku menjemput mereka bersama beberapa
orang lainnya, aku pelan-pelan menjejakkan kakiku di meja dekat pelantaran rumah dan
diam-diam mengambil secarik kertas yang dibiarkan terhampar di atas meja itu, lantas
menyembunyikannya di saku bajuku.
Aku langsung menanggalkan seragam PETA yang kukenakan dan menggantinya
dengan bajuku. Aku berusaha menjauh dari tempat itu secepatnya. Matahari sudah mulai
hilang di peraduan ketika aku meninggalkan rumah Tje. Suasana sepi. Tidak terlihat orang
berlalu lalang sedikit pun. Mungkin takut kalau-kalau ditangkap oleh tentara Jepang yang
berjaga karena dianggap mata-mata. Aku melangkah dengan was-was sambil menggenggam
secarik kertas yang baru saja kucuri.
Wajahku memucat seolah darah berhenti mengalir di tubuhku saat dua orang
kempetai melangkah dengan cepat ke arahku. Aku ketakutan, dan instingku memaksaku
untuk bertindak cepat dengan berlari menjauh dari tempat itu sesegera mungkin, namun
terlambat. Salah satu serdadu itu langsung menarik pelatuknya dengan cepat dan beberapa
kali menembakkan senjatanya padaku sambil berteriak-teriak menggunakan kata-kata yang
asing di telingaku karena aku tidak mengindahkan perintahnya dan menganggapku sebagai
mata-mata Sekutu.
“Tomare!! Soko ni anata otomeru!!3 Kuperintahkan, berhenti kau di situ!!”
Salah satu selongsong peluru itu berhasil menggores kaki kananku hingga membuat
langkahku melambat. Aku mencoba terus berlari sambil memegangi kakiku yang terasa
nyeri. Aku menghentikan langkahku di sebuah pondok tua tak berpenghuni yang terletak di
sebuah persimpangan yang gelap dan berbatasan langsung dengan lahan pertanian milik
3
Berhenti!! Berhenti kau di situ!
masyarakat. Aku langsung menyelinap ke dalam pondok yang hanya berdinding dan
beratapkan daun nipah kering, dan bersembunyi di balik dinding sambil memeluk lututku
yang gemetar. Aku benar-benar membenci orang jahat dan orang-orang yang suka mencerca
kekuranganku, sehingga terkadang aku ingin memukul mereka dengan tanganku sendiri dan
membuatku semakin gigih untuk mempelajari olahraga-olahraga elit untuk membela diri.
Namun aku terlalu takut untuk menghadapinya karena mereka membawa senjata sedangkan
aku bertangan kosong. Bagaimanapun cermatnya aku memperhitungkan, aku tidak akan bisa
lepas dari serdadu-serdadu itu. Aku berada dalam jangkauan tembak mereka, dan yang
kulakukan hanya mengulur waktu. Ini benar-benar tidak menguntungkan, batinku gemetar.
Kedua serdadu itu semakin mendekat dan langsung berusaha mendobrak pintu yang
hanya dikunci menggunakan palang kayu panjang sehingga membuat tempat itu bergoyang-
goyang seolah akan roboh. Baru saja serdadu itu akan merangsek masuk dengan senapan dan
bayonet terhunus, di sisiku langsung berjejalan rak-rak buku besar yang kukenali. Aku
menahan napas ketika akhirnya daun pintu itu terbuka dan seseorang memasuki ruangan aneh
yang mulai terlihat tidak asing dengan ranjang pembaringan yang dilapisi bed cover putih
seperti ranjang pesakitan.
“Do, beri aku lihat tugas dari Pak Pras kemarin… Astaga… kau berdarah, Do!!”
Amira, teman sekolahku yang cantik, yang selalu datang untuk menjemput jawaban dari PR
yang sudah kukerjakan, ujarnya dengan wajah panik sambil menutup mulutnya dengan
tangan.
Dia menatapku dengan tatapan ngeri melihat darah yang terus mengalir dari luka yang
ditinggalkan oleh jejak peluru dengan warna kehitaman di sisi-sisinya meskipun sudah
kutahan menggunakan telapak tangan. Wajahku mendadak menegang. Di sisi tanganku yang
lain tergenggam secarik kertas tua yang berwarna kekuningan dan terlihat amat rapuh, seolah
kertas berisi tulisan aksara rangkai itu akan langsung rusak dan hancur dengan sedikit
sentuhan saja. Aku tercengang, seakan dunia baru saja berputar disekelilingku, atau aku yang
baru saja berputar ke masa lalu?? Atau bahkan mungkin aku merupakan bagian dari masa
lalu??
Entahlah. Yang jelas, kini aku benar-benar tahu jawaban dari pertanyaan yang selama
ini kutanyakan, ke mana hilangnya teks proklamasi yang ditulis oleh Syahrir hingga hilang
tak berjejak, bahkan tidak ada seorang pun saksi sejarah yang mengetahuinya. Aku lantas
menyembunyikan kertas itu di balik punggungku dengan senyum tersungging saat aku
mendengar suara derap kaki Ibuku yang datang dengan tergopoh-gopoh dan suara yang
samar-samar bisa kudengar dengan diiringi langkah Amira di belakangnya.
“Dia semakin parah. Dia mulai melukai dirinya sendiri…”

SELESAI

Anda mungkin juga menyukai