3
4
Maturnuwun sanget kagem
Allah & Rasulullah.
5
Katalog Dalam karbiTan (KDT)
Pesan Dari Langit
_Yogyakarta, 2020
301 halaman, 13 x 20 cm
Tim Kipdefayer
Hak Cipta 2020, dilindungi Allah SWT.
Cetakan I, 2020.
ISBN : 0857-2994-6859
Diterbitkan oleh :
KIPDEFAYER PUBLISHING
6
#1
7
Seringnya, kita itu galau malah untuk hal
yang, apa iya sih itu penting buat kita?
8
Berpikir lewat jalur yang rasional itu salah
satu solusi hidup. Cuma keutamaan berpikir harus
diimbangi dengan moral. Kalau kita berhenti di
keutamaan berpikir, ya kita hidupnya di dunia
ideal. Maka harus ada moral. Sebab jiwa kita harus
seimbang.
Itu habitus.
9
Kita sekali bohong, batin kita pasti nggak
enak. Dua kali bohong, nggak enaknya tinggal
setengah. Tiga, empat, lima kali bohong dan
aman, kita lama-lama merasa bohong itu biasa.
Bahkan bisa jadi besok-besok kalau nggak bohong
malah merasa nggak enak.
10
#2
11
Itu yang bikin hidup kita sumpek, sedih,
tentang hal yang sebenarnya nggak ada. Kita itu
nggak mesti akan seperti prediksi kita kok. Hidup
kita di masa kini.
12
Paginya, dia ditanya, “Lho kenapa kok lesu?
Tadi malam nggak tidur?”
13
#3
14
Mungkin pertimbangannya Diogenes itu gini,
saya punya cangkir terus sebagian hidup saya ada
porsi untuk menyimpan cangkir, menaruh cangkir
pada tempatnya, mencuci cangkir, habis-habisin
waktu. Ternyata pakai tangan saja bisa kok. Nah
itu rumus dari Diogenes, jangan ribet-ribet hidup
ini.
Terus gimana?
15
Yang minimal. Bahasa lainnya sederhana.
Bahkan bisa juga dengan ‘tanpa masyarakat’,
maksudnya gini, tanpa masyarakat dalam tanda
petik itu tanpa sibuk diatur oleh budaya-budaya
kita yang bikin rumit. Hidup kayak gitu nggak
gampang memang.
16
#4
Ambisi.
17
#5
18
Kalau ingat ceritanya Nabi Ismail dan
ibundanya, ketika Nabi Ismail bayi, ditinggal
berdua di Makkah. Susah nyari air. Ibunya Nabi
Ismail lari bolak-balik dari Shafa ke Marwah.
Akhirnya dapat air dari kaki kecilnya Nabi Ismail
yang menjejak tanah.
19
Wujudkan potensi kita, gunakan fasilitas,
kekuatan, daya yang diberikan Allah, semaksimal
yang kita bisa. Kalau tidak, masa Allah sudah
memberi malah kita sia-siakan.
Kerja.
20
#6
21
Itu kalau dalam agama kita diajarkan,
jangan tergantung apapun selain pada Allah, sebab
pasti akan takut dan akhirnya kecewa.
22
#7
23
Misalnya rumput itu baik buat sapi, tapi
bukan untuk kita, sebab kodratnya bukan itu. Jadi
kodrat itu isinya pasti kebaikan. Terus kenapa sih
yang kodrat itu pasti baik?
Karena apa?
Karena orang itu nyaman dan tenang kalau
dia berada dalam kebenaran. Terus yang ketiga,
kesusilaan. Kita itu kan ndak nyaman kalau melihat
orang tidak sopan, tidak bermoral, sebab kita
punya watak susila itu. Terus ada kebijaksanaan,
jadi ada kecenderungan untuk bijaksana itu
kelanjutannya dari kebenaran.
24
Terakhir itu bisa dipercaya. Ini sepertinya
sudah cukup jelas, kalau kita mengenal orang bisa
dipercaya itu kan menenangkan. Jadi silahkan
anda lihat sekeliling anda, apa cinta, kebenaran,
kesusilaan, kebijaksanaan, dan kepercayaan itu
masih hidup berkembang atau tidak?
25
#8
26
#9
Rajin kan?
27
Kenapa?
28
Jadi, selalu pilih jalan yang terbaik, walau
itu payah, keras, ndak enak. Kadang-kadang jalan
hidup itu memang berat, tapi ya ambil saja, ndak
usah dipasrahkan ke orang lain.
29
#10
30
Yang semacam ini juga ndak akan sampai
pada Allah. Jadi kata Imam Al-Ghazali, ibadah
itu kayak dokter ngasih resep obat ke kita. Allah
nyuruh kita shalat, zakat, puasa dan seterusnya
itu kayak dokter ngasih resep. Ya bisa kita cuek
aja sama resepnya, kalau ndak kita beli obatnya,
mau apa dokternya?
31
Jadi, pahami batasnya.
32
Mereka tidak tahu.
33
#11
34
Jadi, mimpinya orang itu sejauh mana
pengalaman hidup dia, kalau dia mengalami dunia
level tinggi, maka itu yang akan dia kejar. Tapi
kalau hanya dunia level rendah yang dialami, ya
mimpinya nggak akan jauh-jauh dari sana.
35
Tidak sadar kalau pandangan kebenaran
yang ditemui itu ada konteksnya, ruangnya,
waktunya. Bisa jadi tidak selamanya benar, atau
tidak di semua tempat benar.
36
#12
37
Kita itu sering kali terlempar dalam
fakta-fakta yang seringnya ndak cocok sama
gambaran kita selama ini. Dunia ini nggak serapi
yang kita pikirkan, kita inginnya menjelaskan
dunia ini secara mutlak, pasti dan rapi. Kita tiap
hari gegeran demi itu, konsep A tawuran sama
konsep B, konsep B kritik konsep C, konsep C ribut
sama konsep D dan seterusnya. Semuanya konsep,
padahal kenyataannya beda.
38
#13
Berarti apa?
39
#14
40
#15
41
Kotoran hati itu seperti satu titik yang kotor
di kaca, kalau masih awal-awal, segera dibersihkan,
mudah. Tapi kalau dibiarkan lama, kotorannya
nambah banyak, mau membersihkannya juga
payah. Akhirnya yang gelap pun kita anggap
terang, sebab kita nggak pernah ngerti terang.
42
Kalau ilmu dapat, dijalankan. Sebab nggak
guna ilmunya numpuk, ngaji sampai sesi 157
sekian. Tapi nggak ada satu pun yang jalan, ya
kualitas hidup kita akan segitu-gitu aja. Habis
itu, pakai ilmu kita untuk menaklukkan ego kita,
menaklukkan diri kita sendiri.
43
#16
44
Terus, jangan juga percaya kalau ada
kawanmu yang menyuruhmu jujur pada mereka.
Sebab yang mereka inginkan sebenarnya adalah
dia ingin meyakinkan kalau diri merekalah yang
baik. Jadi kalau ada orang ngomong, “Jujur sama
aku.” Itu sebenarnya dia cuma ngomong, aku jujur,
sekarang kamu jujurlah sama aku.
45
#17
46
#18
Kok seperempat?
47
Kalau mau bales juga bisa, kalau sekedar
misuh kita bisa lebih canggih. Cuma kan, “Ndak
usahlah.” Itu kan puasa namanya. Kalau puasa
lahir kan, misal kalau mau makan banyak, tapi
nggak banyak. Puasa batin kan juga begitu. Terus,
orang ndak puasa itu apa?
48
Padahal semua masjid, semua tempat, itu
kan milik Allah. Semua ibadah untuk Allah, tapi
yang istimewa itu puasa. Sama seperti semua
tanah, semua bumi itu milik Allah. Tapi yang
disebut khusus sebagai rumah Allah itu hanya
Ka’bah dan Masjidil Haram. Alasannya apa?
49
#19
50
Beda sama misalnya kebahagiaan, kita
paham pengetahuan. Punya ilmu tertentu, itu
lebih abadi. Misal kalau ilmu kita tambah paham,
tambah paham lagi, itu lama-lama kita kan
tambah bahagia. Itu bedanya kenikmatan dan
kebahagiaan.
Itu dunia.
51
#20
52
Lho, terus kok kita bisa disakiti sesuatu
yang kita aja nggak punya?
Baiknya dimana?
53
#21
54
Jadi, kalau kebenaran dan kebaikan sudah
jadi patokan kita tapi nggak dipasang jadi target
hidup kita, nggak jadi sumber perilaku kita, itu
juga ada jarak.
55
#22
56
Walau Diogenes ini orangnya semaunya
dia, tapi Alexander the Great senang dengan
orang seperti Diogenes, sampai-sampai dia ingin
jadi Diogenes. Tapi jawaban Diogenes lagi-lagi
mengejutkan, “Kalau aku bukan Diogenes, aku
berharap aku itu Diogenes.”
57
#23
58
#24
“Ngajarin apa?”
Jiwa kita.
59
#25
60
#26
61
Sebab Allah pingin kita bahagia.
62
Jadi bahagialah. Ndak usah terlalu dibikin
beban masalah kita yang hanya sepuluh atau
bahkan lima persen itu tadi. Kalau ada solusi, ya
diambil. Kalau nggak ada ya dipikir lagi. Kalau
buntu ya nikmati saja dulu masalahnya.
63
Sebab Allah itu ‘nggak butuh’ shalat kita,
zakat kita, puasa kita, dan seterusnya.
64
#27
65
#28
66
#29
67
Agama gayanya harus gaya cinta. Gaya cinta
itu ciri paling utama adalah tidak egois, nggak
mikir senang atau enaknya sendiri. Kalau masih
aku, kelompokku, aliranku, pendapatku, itu masih
egois. Nggak bisa memahami yang lain. Pokoknya
aku benar, yang lain salah semua.
68
#30
69
#31
70
Dan itu sering kali akan menyulitkan hidup
kita sendiri. Biasakan hidup yang tertib dan
sederhana. Hidup yang nyaman itu yang sederhana,
tanpa bermewahan.
71
Misal, ada teman kita yang uangnya habis,
beli makan ndak bisa. Sementara uang kita masih
banyak, terus kita belinya makan yang enak-enak.
72
#32
Standar.
73
Jadi dalam hidup kita itu hati-hati
mengambil standar. Sebab biasanya sukses atau
tidak sukses kita itu kan tergantung standar. Kalau
anda membuat standarnya terlalu tinggi, resikonya
anda akan sulit mencapai dan kecewa.
74
Hidup selalu begitu. Maka jangan terlalu
larut dalam kekecewaan atau terlalu bangga
dalam kelebihan-kelebihan. Sebab sesuai rumus
tadi, mau dibandingkan ke sebelah mana dulu?
75
#33
76
Terus ada penunjuk jalan yang tepat. Dan
kita jalani dengan sungguh-sungguh dan serius.
Pastikan hidup kita punya arah. Jangan hidupnya
asal.
77
#34
78
Begitu rajanya pulang, nggak jadi beli,
tetangganya Nasrudin komentar semua, “Bodoh
sekali kamu, Nasrudin. Mau dibeli berapapun kok
nggak mau. Kuda kan bisa beli lagi.”
79
Jadi peradaban kita hari ini kan serba
komentar itu. Rumusnya Nasrudin sederhana,
suka-suka dia saja, kalau dia mendengarkan yang
komentar tadi, mungkin pontang-panting dia.
80
#35
81
#36
82
Hal yang kita anggap sebab, bisa jadi dia
adalah hijab. Hijab itu yang menghalangi atau
malah menjauhkan kita dari Allah.
83
#37
Ruhaniahnya, batinnya.
84
Batinnya beres, luarnya juga bagus. Jadi
lampaui dulu yang lahiriah. Bahkan banyak
amalan-amalan ibadah lahiriah di banyak hadits
itu jadi ndak bernilai, kalau batinnya nggak ikut
bekerja.
85
#38
86
Jangan-jangan kita itu melihat orang lain
seperti musuh, seperti lawan tanding yang harus
dikalahkan. Jadi perlu kita gali.
87
#39
88
Ilmu itu kan rumusnya sebab-akibat, nanti
yang sebab jadi akibat, ada yang menyebabkan
lagi yang sebab ini yang menyebabkan dia tadi jadi
akibat. Terus sampai ujungnya ada sebab utama,
dan itulah Tuhan.
89
Misal kita harus paham seberapa kuatnya
perut kita menampung makanan. Kalau nggak,
makanan bisa jadi bencana buat kita. Kita harus
ngerti titik dimana sudah kenyang dan puas.
90
#40
91
Jadi takut yang nggak boleh itu takut yang
kemudian yang ditakuti jadi obyek kayak Allah,
disembah, ditaati, itu namanya ketakutan yang
berubah jadi Syirik.
92
Kalau kepatuhan masih bisa, misal kita
paksa-paksakan untuk shalat, puasa, zakat,
dan seterusnya. Tapi dipaksa takut kalau emang
dasarnya nggak takut, ya nggak bisa.
Contoh sederhana, kita kenal kalau orang
itu raja, begitu ketemu kan kita akan gentar. Kalau
di sehari-hari misalnya, lagi naik motor, lihat ada
polisi, langsung takut, Berarti itu kita ‘makrifat’
hubungannya dengan polisi dan raja.
93
Terakhir, dia juga takwa. Kadang-kadang
bahkan takwa ini didefinisikan takut pada Allah.
Sebab memang dekat, orang yang takut pasti
takwa. Jadi kalau ingin tahu kita itu takut nggak
sih sama Allah?
94
#41
95
Ketiga, penghalang harapan itu hal nggak
diduga. Kalau penghalang satu dan dua tadi kan
kita bisa kendalikan. Tapi kalau ketiga ini nggak
bisa. Sebab hidup ini kan banyak hal yang nggak
diduga. Misal, ingin nembak dia tapi malah
temennya yang suka sama kita. Itu kan hal nggak
diduga sebelumnya.
96
#42
97
Maka yang ingin hidup alami, lurus dan benar,
ya jauhi saja itu. Kita itu kan mimpinya selalu ingin
kaya, tapi ternyata sering kali kekayaan malah
bikin repot hidup kita. Punya rumah banyak, mobil
banyak, dan macam-macam yang berlebihan itu
malah repot. Banyak yang mubadzir.
98
#43
99
Kalau pakai istilah dari Al-Qur’an,
“Setiap kelompok membanggakan kelompoknya
masing-masing dan saling mencurigai kelompok
yang lain.”
100
Kemudian ada sikap mental yang berubah.
Dari awalnya tidak suka, jadi memaklumi. Kalau
batin kita masih belum memaklumi itu berarti
belum maaf. Tapi masih basa basi. Kayak misalnya
kita pas Idul Fitri itu kan salam-salaman dengan
siapa saja, itu 90% basa-basi.
101
#44
102
Contoh, “Habis minum kira-kira lega nggak
ya?”
103
#45
104
Cinta yang besar itu berasal dari
pengetahuan yang dalam terhadap apa yang
dicintai. Kalau hanya tahu sedikit, ya cintanya pun
cuma sedikit, atau sebenarnya bukan cinta.
105
#46
Kenapa?
106
Ambisi dan nafsu itu juga bikin nggak
tenang. Dikejar ambisi. Terakhir kemarahan itu
sudah pada ngerti kita semua.
107
#47
108
Ada bedanya refleksi dengan akal dan
hati, contohnya, kalau ada kawan yang akhir
bulan, uangnya habis, terus dia pinjam pada
anda. Itu kalau anda pikir rasional, mungkin anda
memutuskan gini, “Nggak usah dihutangi saja. Aku
saja juga nggak cukup.”
Hati nurani.
109
Tapi kalau pakai akal,
110
#48
111
Klaim ‘saya paling benar’ ini nanti dalam
banyak kasus sering jadi sumber masalah. Sebab
merasa benar, orang lain juga merasa benar, terus
yang dipercaya sama, ternyata isinya beda, yang
terjadi nanti kan konflik. Beda kalau mental kita
dibalik tadi. Dalam pergaulan kan lebih kondusif
jadinya.
112
#49
113
#50
114
“Pertanyaan pertama, yang kamu omongkan
itu pasti benar atau bisa keliru?” Lanjut Socrates
bertanya.
115
#51
116
Kita jangan dagang sama Allah. Kurang apa
Allah ngasih kita, kok masih minta aja kerjaan
kita itu tiap hari. Kita dibikin ada itu sudah luar
biasa, sebab kita ini bisa saja nggak ada. Tapi
Allah mengijinkan kita ada. Lha kok kita pas shalat
sehari lima kali, itu pun nggak lama, malah minta
surga.
117
Kita nggak bisa menikmati yang sekarang
kita punya. Kalau sudah menikmati apa saja yang
dikasih Allah, saat itu juga surga lahir. Biasanya
orang itu cenderung fokus pada apa yang dia belum
punya. Itu yang bikin orang susah bersyukur. Ndak
bisa menemukan surga.
118
#52
119
Pindah lagi mereka ke dekat sekolahan. Nah
diasumsikan ini mungkin lingkungan yang paling
tepat.
120
#53
121
Memandang dirinya negatif, “Ah sudah lah,
saya ini orangnya hina kok, saya ini sudah nggak
perlu aturan-aturan mulia. Saya ini sudah rusak,
mau apa?”
122
Bijaksana itu paling mudah, meniru.
Mungkin kita refleksi diri sendiri susah, ada cara
paling gampang, tirulah orang yang baik. Misal,
Pengalaman.
123
Manusia itu kan gitu, keras kepala. Di
Al-Qur’an banyak yang bilang itu, keras kepalanya
manusia, ngeyelnya luar biasa.
124
#54
125
Kita biasanya bohong sama orang, “Tahun
lalu kan saya bohongnya 75%, ya tahun ini 50%
nggak apa-apalah.”
126
#55
127
Manusia itu indah. Kehidupan manusia itu
juga indah, ya kita sendiri yang seringnya malah
merusak.
128
#56
129
Terus yang kedua, ada kehormatan atau
status. Ada orang yang kesenangan itu bukan jadi
tujuannya. Ingin sukses, status sosialnya bagus,
ingin jadi A, B, C, D, itu biasanya demi kehormatan.
Demi pengakuan. Baik dari kesenangan atau
pengakuan kehormatan ini nggak akan lahir
kebahagiaan.
Kenapa?
130
Kebijaksanaan itu bukan hanya benar, tapi
juga bijaksana. Sumbernya emang kebenaran
tapi kebenaran yang naik kelas dengan nama
kebijaksanaan. Misal, ada kawan kita itu berlebihan
berat badannya, itu memang kebenaran.
131
#57
Kita.
132
Itu sebenarnya senada dengan kritikan ini.
Ibadah kita itu nggak kita inginkan sebenarnya.
Sebab kita terpaksa semua, mana ada nilai
perbuatan yang terpaksa. Kejahatan pun kalau
dipaksa kan nggak bisa dihukum orangnya.
133
Dan orang yang menipu sesama manusia itu
akhlaknya rusak atau bahasa gaul sekarang nggak
ada akhlak. Kebanyakan orang-orang begini itu
nggak ngerti ilmunya, hanya ikut-ikutan. Ya yang
lain shalat ikut shalat. Terus yang lain zakat ikut
zakat, haji ikut haji.
134
#58
135
Baca.
136
#59
137
Sampai detik ini mungkin kita itu masih
merasa kalau kita sudah tahu banyak hal.
Kadang-kadang kita agak nggaya, agak nyombong
kalau sudah tahu semuanya. Maka begitu kita
ngerasa ngerti itu alamat kita sebenarnya bukan
orang bijaksana.
138
#60
139
#61
140
#62
141
Kita menampilkan diri sebagai penjaga
moral, yang hanya bisa mengatakan hal baik dan
buruk, tanpa ada prakteknya.
142
#63
143
Kalau kita nggak mau menerima hidup kita
itu memang absurd, itu kayak kita nggak berani
menghadapi kehidupan. Padahal kehidupan itu
cirinya absurd. Ini yang bisa direkomendasi kan
untuk hidup kita, terima saja, hadapi.
144
#64
145
#65
146
Allah ingin ketemu kita setiap hari. Tapi
kitanya yang sering nggaya, nggak serius cintanya.
147
#66
148
Semua yang di sekeliling kita, kita ajak
mendekat ke Allah atau kita tinggal. Jadi kalau
nggak, kita nggak akan sampai-sampai ke Allah.
149
Ya kita bisa muhasabah. Hari ini itu apa saja
yang kita urusi?
150
#67
151
Nggak apa-apa.
152
#68
153
Sebab Allah nggak masuk dalam semesta
urusan agama kita. Nggak masuk pertimbangan
keputusan kita. Kita hanya berhenti di hal-hal
yang dangkal saja. Terus kok syari’at saja nggak
cukup?
154
#69
155
Jadi akal dan panca indera itu sering kali
keliru, nggak bisa kita jadikan pedoman hidup.
156
#70
Ketakutan.
157
Terus takut itu berhubungan dengan
ancaman. Biasanya ada yang menggelisahkan kita.
Ada yang mengancam di depan. Jangan salah,
takut itu bermanfaat juga, dalam rangka biar kita
selamat. Makanya ada istilah defense mechanism,
mekanisme mempertahankan diri.
158
#71
159
#72
160
Jadi kalau menyelami diri, ketemunya
biasanya aku yang bukan aku. Kenapa?
161
#73
162
Nah logika semacam ini. Kalau
diterjemahkan secara verbal itu ya lahirnya
angka-angka. Keseimbangan.
163
#74
164
#75
165
#76
“Nggak bisa.”
166
“Waduh.. Masa berenang ndak bisa mas..
Gimana ini.”
167
#77
Bingung.
168
Sama seperti kita sehari-hari di media
sosial, kita sering debat, sering rame, ribut, tapi
jangan-jangan kita sendiri nggak paham konsepnya
apa atau konsep kita dan orang lain sudah beda.
169
#78
170
Itu jarak antara moralitas dalam teori
dengan praktek. Standar moral itu biasanya kita
pakai untuk orang lain, tidak untuk kita. Kalau
kita ngomong, “Jangan suka maki-maki orang.”
171
#79
172
Meskipun sibuk untuk nolak, itu sama saja
pikiran kita masih sibuk di situ.
173
#80
174
#81
175
Kalau ukurannya hanya jenggot, Marx itu
juga jenggotan. Kalau ukurannya kumis, Nietzsche
itu ya kumisan. Jadi ukurannya bukan itu. Kita
harus nyari yang lebih esensial untuk nunjukkan
Islam yang sejati. Sebab hari ini banyak orang
kehilangan identitas karena salah milih standar.
176
#82
177
Mau ada filosof cerdas menunjukkan
rasionalitasnya di sini, tetap nggak fungsi.
178
#83
179
Meskipun sebenarnya itu harapan juga. Jadi
Nietzsche berharap manusia tidak terlalu banyak
harapan.
180
#84
181
Takut ego kita nggak beres, kesadaran kita
kacau, takut hasrat nggak terpenuhi, itu namanya
neurosis.
182
#85
183
Bisa begitu.
184
Kita lebih melihat sisi positifnya. Jadi orang
yang mengecewakan kita, sudah tidak kita lihat
lagi sebagai sosok yang menyakiti kita, sudut
pandangnya sudah geser.
185
#86
186
Jadi bangun watak kita, karakter kita
sebagai seorang pecinta. Kita harus jadi sosok
yang penuh cinta dulu, sebelum nyari obyek yang
dicintai. Kalau kita jadi sosok pecinta, nanti segala
hal akan bisa kita cintai. Ibaratnya kayak pelukis.
187
Tapi kalau kita sudah punya watak pecinta,
nggak mungkin kita cuma mencintai satu obyek.
Cinta sama satu orang saja, benci yang lain nggak
mungkin.
188
#87
189
Mungkin pas kita nyari kerjaan dimana, terus
ditolak. Kita kecewanya luar biasa. Marah-marah
sama Allah. Padahal Allah sedang nyiapkan kerjaan
yang lebih bagus buat kita.
190
Ada cerita tentang tiga orang terjebak
dalam gua, mereka ini butuh pengabulan segera
karena kalau lama-lama bisa kacau. Tiga orang
laki-laki, jalan-jalan, ternyata hujan. Berteduhlah
mereka dalam gua.
191
Akhirnya pintu gua membuka sedikit. Terus
orang kedua berdoa, “Ya Allah, suatu hari saya
jatuh cinta dengan anaknya paman saya. Cantiknya
luar biasa. Cuma waktu saya dekati, saya hampir
zina. Perempuan itu bilang untuk carikan uang
seratus dinar dulu.
192
Sekarang tinggal kita, kita mau
‘memamerkan’ apa sama Allah? Ada nggak
kebaikan dahsyat yang kita lakukan, sampai Allah
bilang, “Wow..” gitu.
193
#88
194
Dari sudut pandangnya Allah sudah
diskenariokan, tapi kan kita ndak tahu skenarionya
Allah itu apa.
195
Dari manusia yang merasa bisa semuanya,
sekarang tahu kalau dirinya lemah. Ini kan nanti
akan mengubah total perilaku kita. Orang yang
sadar dengan doa, sadar hakikat doa, nggak
mungkin jadi orang yang sombong. Kalau ada orang
sombong, kok masih berdoa, itu kontradiktif.
196
#89
197
Akhirnya kita kesusahan membaca isyarat
dari Allah, kesulitan membaca ayat-ayat yang
dimana-mana ditunjukkan Allah, yang terjadi kita
kebingungan.
198
#90
199
Kalau fokus cuma pada apa yang layak
dicintai, jadinya kita milih-milih. Suka yang ini,
nggak suka itu. Ini egoisme. Yang milih-milih
ini kan modelnya egois, kita mikir maunya kita
sendiri. Fokuslah cara mencintai yang benar.
200
#91
201
Terus ketiga, rendah hati dan kerelaan.
Hanya manusia yang punya sifat rendah hati, murah
hati, mendahulukan yang lainnya, membela yang
lain. Mengutamakan orang lain, ini kan sumbernya
moralitas.
202
Jangan dimaklumi. Sebab ketika dimaklumi
sekali, dua kali dan seterusnya, diulang-ulang,
rasa bersalah kita akan mati dengan sendirinya.
Kalau sudah mati rasa, maka kemanusiaan kita
juga mati. Kita bisa dengan santainya menyakiti
orang lain misalnya.
203
#92
204
Kalau ada orang punya pendapat, terus
kita sangkal, itu kan menyakiti hatinya. Sebab
orang disalahkan, meskipun menyalahkannya
benar, orang itu pasti sakit hati. Kalau debat, kita
menganggap orang lain keliru, menganggap dia
bodoh. Terus secara nggak langsung, kita mencela.
Jadi hati-hati dengan debat. Bertukar pikiran
boleh, tapi jangan berbantahan. Bertukar pikiran
itu, “Saya begini, kalau anda gimana?”
205
#93
206
Kita mentang-mentang sudah benci,
terus salah semua. Atau mentang-mentang kita
idolakan, terus benar semua. Harus adil. Berani
bilang benar, berani bilang salah. Itu dicontohkan
sama Mo Tzu tadi.
“Dia.”
207
#94
208
Kita mampu bersedekah, mampu maling.
Nah itu kita milih yang mana. Itu bedanya manusia
dengan makhluk yang lain. Kalau hewan kan nggak
ada pilihan, dasarnya insting saja. Kita dikasih
akal, ada pilihan-pilihan.
209
Tapi struktur sosial hari ini, membentuk
pikiran kita, kayak gitu lho teroris itu, harus kita
jauhi.
210
#95
211
Kalau ada orang jahat, orang buruk
kelakuannya, terus biasanya kita malah merasa
sombong, merasa lebih bersih, lebih baik dari
orang itu.
212
#96
213
Adil itu hak, tapi maaf itu keluhuran,
kebaikan. Agama mengatakan adil itu urusannya
dengan hak. Orang yang jatahnya 30 kasih lah 30.
Itu adil.
214
Terakhir, maaf bukan berarti membolehkan
atau menganggap baik perilaku yang keliru. Ada
orang bohong sama kita, terus kita maafkan. Itu
bukan berarti bohong itu boleh. Bohongnya nggak
lantas jadi benar. Kejahatan yang dilakukan tetap
jahat. Cuma kita memaafkan dia.
215
#97
216
Jadi untuk kualitas diri kita, di situasi
apapun yang kita alami, kombinasinya akan bagus
kalau plus ilmu. Termasuk saat kita menghadapi
bencana.
217
#98
218
Kalau siap tanggung jawab, tapi kok
nggak menyesal, itu alamat bakal diulangi lagi
kesalahannya. Kalau sudah menyesal, kita biasanya
akan memperbaiki yang keliru.
219
#99
Dan seterusnya.
220
Sebab sekeliling kita yang kita anggap
sebagai sumber penderitaan itu sebenarnya kan
hal yang netral-netral saja.
221
Kita disuruh zakat, kalau levelnya kita
itu kan sebenarnya nggak enak. Sebagian harta
dikasihkan ke orang lain, padahal nyarinya saja
sampai setengah mati misalnya. Tapi itu kan kita
jalani demi bisa sampai pada Tuhan. Terus misalnya
shalat lima waktu, itu mungkin kita korban tenaga.
222
Kasihan manusia di dunia hidupnya jadi
menderita. Harusnya di dunia ini senang, akhirnya
jadi nggak senang karena begitu terobsesi
mengejar kesenangan dunia.
223
#100
224
Sekarang ini kita masih belum bisa, hanya
Allah saja yang cinta dengan kita. Kita belum
sampai benar-benar mencintaiNya.
225
#101
226
Kalau dua-duanya ini masih berat untuk
kita, kita minta yang namanya Inayah. Inayah itu
pertolongan. Terus kok masih berat juga, “Ya ini
yang bisa saya lakukan, tidak bisa sedalam itu,
sebab itu saya minta ridha dari-Mu.”
227
#102
228
Terus kalau setan sifatnya tipuan. Cirinya
tipuan itu barang jelek yang kelihatannya baik.
Ditampakkan kalau itu baik, normal, nggak
masalah, padahal sebaliknya. Suara-suara
semacam itu biasanya dari setan.
229
#103
230
Jadi makin nambah ilmu kita, harusnya
makin kita sadar betapa kecilnya kita, betapa
lemahnya, betapa besarnya kuasa Allah, makin
rendah hati dan seterusnya. Ini bukan cuma
hubungannya dengan ilmu agama formal yang kita
pelajari, tapi lebih luas lagi konteksnya. Segala
macam ilmu.
231
#104
232
#105
233
Kebencian itu kondisi mental, kondisi
ego, yang ingin menghancurkan segala yang
tidak menyenangkan, segala yang membuat
orang tidak bahagia. Orang hidup itu biasanya
pertimbangannya ketika memutuskan sesuatu itu
suka dan tidak suka. Wajar.
234
#106
Maksudnya apa?
235
Bacalah Sunnatullah. Sunnatullah ini nggak
berubah-ubah, jadi bisa kita pakai rumusnya.
236
#107
237
Misal, “Dulu ya Islam saya memang ngikut
orang tua, tapi ternyata saya tahu sekarang
ternyata Islam itu memang baik dan sejati.”
238
#108
239
Kita juga bisa belajar dari pengalaman
orang lain, “Oh begitu ya jeleknya penghasut itu,
semoga saya nggak sampai berbuat begitu.”
240
#109
241
Kalimat ini kan konotasinya seolah-olah
nggak suka, padahal kalau lebih jujur juga nggak
apa-apa. Akui saja suka. Kalau versi Abu Nawas,
“Ya saya suka, tapi dilarang oleh agama.”
242
#110
243
Kita ngaku muslim, sudah muslim apa
belum? Ngaku mukmin, sudah mukmin beneran
apa belum? Kalau sufi, nggak tahu, ada yang ngaku
sufi atau nggak.
244
#111
245
Kalimat-kalimat yang merendahkan diri,
tapi gak terasa kita sebenarnya ingin pamer. Ingin
menunjukkan, “Ini lho saya sudah sadar.” Padahal
yang semacam itu juga riya’. Jadi harus gimana?
246
#112
247
Rumi dibilang wali palsu, terus dipukuli
banyak orang di situ. Saat Rumi dipukuli, gurunya
tadi datang. “Hei, kalian salah paham, itu bukan
minuman keras. Itu cuma air putih biasa. Coba
liat.”
248
#113
249
Seandainya kita manusia bahkan kita tidak
menganggap dia manusia lagi. Begitu ketemu
orang yang kita benci, status manusianya hilang.
Yang ada hanya kebencian kita padanya atau yang
membuat kita benci.
250
Kalau kita sudah benci sesuatu, simpatinya
hilang, apalagi empatinya. Orang yang kita benci
itu misalnya anaknya lagi sakit atau habis cerai
sama istrinya, kita malah senang. Itu kita nggak
bisa simpati atau empati, berarti dalam hati kita
ada kebencian.
251
#114
Membentuk jiwa.
252
#115
253
Efek dari celaan dan pujian ini biasanya
cuma citra-citra yang di luar saja, tapi yang baik
akan tetap baik, yang buruk akan tetap buruk.
Biar jiwa kita bersih, jadi kalau bisa nggak usah
terpengaruh dengan celaan atau pujian ini.
254
Terus yang dibalas, ingin balas lagi. Saling
marah itu bikin peradaban kita sekarang ini
‘gelap’.
255
Jadi jangan kotori jiwa kita dengan
kemarahan, kebencian, ketidaksukaan, intoleransi
pada orang lain yang kita anggap keliru atau jahat.
Pertanyaannya gampang,
256
#116
257
Ada lagi level lebih tinggi, kalau ini mungkin
di luar kuasa kita, memberi manfaat. Mungkin
kita sudah paham, sadar, terus menjalankan, tapi
nggak ada manfaatnya.
258
#117
259
Terus yang sering kita lihat sehari-hari,
kekayaan tanpa kerja. Ini simbol kemalasan, meski
sumber daya kita luar biasa, kalau isinya hanya
orang-orang malas yang nggak mau beraktivitas,
yang ingin hasil instan saja, pada saatnya kekayaan
itu akan habis dan lahir penderitaan.
260
#118
261
#119
262
Nggak ada orang yang dipuji itu nggak
senang.
263
Ada lagi yang unik. Orang yang meninggalkan
ibadah karena takut dianggap riya’. Ini malah
riya’nya dobel. Sebab meninggalkan ibadah atau
kebaikan karena prasangka. “Saya nggak mau
zakat sekarang, nanti malah kelihatan terus dipuji
orang-orang, malu.”
264
#120
265
“Ya Allah, aku ini memang hamba yang
lemah, Engkau beri tugas ini saja, gagal. Tapi
aku nggak masalah disakiti, dilempari batu, asal
Engkau tidak marah.”
266
#121
267
Kalau ada orang membentak kita, misalnya
kita melakukan apa yang menurut kita benar tapi
menurut dia salah. Jangan dibaca itu sebagai
bentakan kemarahan, tapi baca saja itu sebagai
peringatan kepedulian, simbol kasih sayang.
268
#122
269
#123
270
Sebab Dia yang menciptakan segalanya,
yang membuat Tuhan istimewa kan itu. Tidak
terikat sama sekali oleh dunia, Tuhan ndak butuh
apa-apa.
271
#124
Maksudnya apa?
272
Dunia adalah negeri tempat beramal. Tapi
ada rumusnya.
Rumusnya apa?
273
“Tidaklah gambaran kehidupan dunia ini
seluruhnya dari awal sampai akhir, kecuali seperti
orang yang tidur. Dia melihat dalam tidurnya apa
yang dia senangi, kemudian dia tersadar bangun.”
274
#125
275
Bahkan para zaman dulu itu sangat rendah
hati, ngomong apa saja kan selalu diakhiri,
276
#126
277
Tapi dengan akal juga bisa. Dengan akal itu
gini, Tuhan itu diasumsikan Maha Bijaksana, Maha
Tahu, Maha Kuasa, pokoknya Maha Segalanya.
Maha itu kan puncaknya. Nah sesuatu tidak bisa
disebut Maha kalau dia itu nggak ada.
278
#127
Dua-duanya salah.
279
Sudah dibasuh tiga kali, tapi nggak ada
niatnya.
280
#128
281
Kalau pakai nurani, bisa jadi beda. Mungkin
kita basa basi menawari dia. Kenapa kita merasa
nggak enak? Sebab kita pakai nurani. Kalau hanya
pakai akal, liat fakta, mungkin akan sering konflik.
282
Terus akal itu sifatnya butuh data. Ada data
yang bisa dibaca. Yang nggak terbaca, akal bingung.
Akal butuh jelas, padahal interaksi kita sehari-hari
kan banyak juga yang nggak jelas. Misal ada kawan
kita berdehem, “Ehm!” gitu. Kalau dibaca pakai
akal ya itu bunyi berdehem.
Nggak tahu.
283
Ya kita jatuh cinta saja, nanti ngerti sendiri.
Mungkin di kepala kita banyak teori tentang cinta.
Tapi ketika kita nggak jatuh cinta, akal memang
bisa menjelaskan, tapi kita nggak paham, cinta itu
apa.
284
#129
285
Misal karena kita cinta dengan ulama atau
kiai kita, jadi kita bersama-sama belajar untuk
makin dekat dengan Allah. Sebab kalau sendirian,
kita susah untuk bisa mendekat sama Allah, kita
kurang ilmunya, terus dibantu sama kiai. Bukan
kok malah jadinya menuhankan kiai.
286
#130
287
Makanya ada cerita pelacur yang
menyelamatkan anjing kehausan itu bisa bikin dia
masuk ‘surga’. Itu perbuatannya kalau di mata
kita kecil, tapi siapa tahu keikhlasannya pelacur
itu bisa membuat Allah memberi ridhaNya.
288
Coba kita cermati. Terus ingat-ingat, kita
hati-hati di situ. Misal, kita sering posting di media
sosial, postingan yang sering kita sesali itu tentang
apa?
289
#131
290
Misal, kalau hujan kena air, terus flu. Nah
ini tidak sekedar diterima tapi ada refleksi lebih
jauh. Gimana caranya menaklukkan situasi?
Gimana caranya mensiasati biar kuat ya?
291
#132
292
Bagi stoik, yang penting bagaimana batin
kita, dimensi dalam kita. Meskipun misalnya, kita
dapat pasangan nggak terlalu cakep, nggak begitu
kaya juga, tapi kalau kita puas, merasa cukup,
rela, kita sudah cukup bahagia.
Terus orang stoik punya pandangan kalau
alam semesta ini ada ilmu universalnya. Kalau
dalam agama Islam, namanya Sunnatullah. Jadi
alam ini ada sistemnya, ada tujuannya.
293
Ya jalankan fungsi kita sebagai manusia.
Nggak usah terlalu banyak komplain, terlalu
banyak protes, terlalu banyak rekayasa, malah
bingung sendiri nanti.
294
#133
295
Terus untuk bisa menikmati hidup
apa adanya, kita butuh sadar kalau hidup ini
macam-macam, dinamis. Orang yang nggak sadar
kalau hidup ini dinamis, biasanya nggak bisa
menikmati hidup. Sebab sekeliling dia pasti beda
dengan dirinya.
296
#134
297
Ya kita tumpahkan saja semua, bukan
berarti langsung kita buang. Kita uji semuanya.
Kayak apel busuk, pikiran buruk lebih cepat
menular ke pikiran yang baik. Isi pikiran kita
misalnya bagus-bagus, tapi ada beberapa yang
‘rusak’, ini biasanya mempengaruhi yang bagus.
Jadi kita saring lagi, biar yang ada di kepala kita
yang baik dan benar.
298
Terus terbukti kebenarannya gimana?
299
#135
300
Pertama bebas dari diri kita sendiri, terus
bebas dari segala sesuatu. Kecuali dari satu hal,
jangan pernah kita bercita-cita untuk bebas dari
Allah. Jangan pernah, serumit apapun situasinya.
Kenapa?
301
Pesan Dari Langit
Penyunting :
Ali Antoni & Tim Kipdefayer