Anda di halaman 1dari 303

Pesan Dari Langit

Penyunting : Ali Antoni & Tim Kipdefayer


1
2
Demi malam apabila telah sunyi,

Tuhanmu tidak meninggalkanmu,

Tidak pula benci kepadamu...

3
4
Maturnuwun sanget kagem
Allah & ­Rasulullah.

5
Katalog Dalam karbiTan (KDT)
Pesan Dari Langit
_Yogyakarta, 2020

301 halaman, 13 x 20 cm
Tim Kipdefayer
Hak Cipta 2020, dilindungi Allah SWT.

Cetakan I, 2020.
ISBN : 0857-2994-6859
Diterbitkan oleh :

KIPDEFAYER PUBLISHING

Boleh memfotokopi sebagian atau seluruh buku


ini tanpa izin tertulis. Kalau mau, cukup kirim
­Al-Fatehah saja, buat siapapun yang berjuang
demi tanah leluhur ini.

6
#1

Berpikir itu apa sih?

Berpikir itu kan gimana kita menemukan


yang penting dan utama dalam hidup kita. Kita
mikir itu kan untuk itu, cari yang pas dan sesuai
buat hidup kita.

Nah biar mendukung kebahagiaan ­hidup


kita, berpikirlah tentang yang baik dan yang
­pent­­­ing saja. Kalau sudah ketemu, baru itu bisa
kita jadikan semacam undang-undang dalam hidup
kita.

Jangan malah kita mikir yang remeh-remeh,


nggak ada gunanya. Rumusnya, pikiran remeh itu
yang biasanya jadi sumber kita ini tidak bahagia.
Misal, kita itu kan seringnya gini, tiba-tiba galau,
terus ditanya, “Kenapa kok galau?”

“Kasihan lho, artis itu malah cerai.”

Ngapain kita ikut mikir itu? Penting ndak itu


bagi hidup kita?

Contoh lain, “Kenapa kok kamu marah-


marah?”

“Itu lho, debat di sosial media bikin geram.”

7
Seringnya, kita itu galau malah untuk hal
yang, apa iya sih itu penting buat kita?

Apa nggak ada yang lebih penting? Lebih


baik untuk di ‘galau’ kan?

Jadi, berpikirlah untuk hal yang penting dan


baik buat hidup kita. Sebab ketika kita ­keluar jalur,
di situ lahir kegalauan-kegalauan. ­Barang ­nggak
penting, kita posisikan jadi penting di ­pikiran kita.

Kalau misal kebaikan dan hal penting yang


kita pikirkan ini bisa tahan lama di pikiran kita,
sampai lama juga kesimpulan kita tetap baik,
tetap penting. Misalnya, jujur. Penting kan itu
buat hidup kita?

Semakin kita jujur, semakin nyaman,


­semakin tenang. Sampai bertahun-tahun jujur,
kita hidupnya jadi nyaman dan enak. Nah, jadikan
jujur ini undang-undang hidup kita, sebab itu pasti
bagus.

Misal lagi, anti korupsi. Ternyata hidup lebih


enak kalau nggak ikutan korupsi. Dirasakan lama,
hidup lebih nyaman, ndak was-was, ndak merasa
dikejar sama dosa.

Tentang ini sebenarnya juga ada hadits nya,


“Diantara ciri orang baik itu meninggalkan apa
yang bukan urusannya.”

8
Berpikir lewat jalur yang rasional itu salah
satu solusi hidup. Cuma keutamaan berpikir ­harus
diimbangi dengan moral. Kalau kita berhenti di
keutamaan berpikir, ya kita hidupnya di dunia
­ideal. Maka harus ada moral. Sebab jiwa kita harus
seimbang.

Kalau dalam agama, ilmu akhlak itu kan


ilmu tentang jiwa. Moral itu berarti urusan jiwa.
Jadi mikir itu juga harus ada dimensi prakteknya,
nah itu keutamaan moral.

Kalau moral saja, tapi ­nggak mikir, orang


bisa salah arah. Terus mikir ­tanpa moral, jadinya
ideal tapi nggak ada ­wujudnya.

Ini untuk membentuk karakter dan ­moralitas


kita bersama. Caranya bisa lewat ­nasihat,
­perintah, himbauan, anjuran dan sejenisnya. Itu
biasanya kita dapat dari kiai, ulama, dan lainnya.

Kedua, lewat habitus alias pembiasaan.


­Misal kenapa kok kita yang biasanya rajin shalat
terus sekali ndak shalat, kita merasa nggak
­nyaman?

Itu habitus.

Tapi kalau kita coba bolak-balik nggak


shalat. Lama-lama nggak shalat itu jadi hal biasa.
Rasa nggak nyamannya jadi hilang. Itu namanya
juga habitus alias pembiasaan.

9
Kita sekali bohong, batin kita pasti nggak
enak. Dua kali bohong, nggak enaknya ­tinggal
setengah. Tiga, empat, lima kali bohong dan
aman, kita lama-lama merasa bohong itu biasa.
Bahkan bisa jadi besok-besok kalau nggak bohong
malah merasa nggak enak.

Jadi pikiran kita itu tergantung kita ­biasakan


untuk apa. Moralitas sumbernya juga dari habitus.
Kalau kita terbiasa melakukan hal baik, perbuatan
baik itu biasa, bukan hal yang luar biasa sampai
perlu di pamer-pamerkan. Dan sebaliknya.

Jadi bahagia itu tidak semata-mata


­moralnya bagus, pemikiran mantap, teori benar,
tapi juga kreatif, artinya kalau bahasa kita
­sekarang ini mungkin ada sumbangan karyanya.
Sebab manusia itu merasa bermakna, eksis, ketika
ia sedang bekerja.

Nah, karya yang penting dan bermanfaat


biasanya juga lahir dari orang yang seperti itu.

10
#2

Sering kali mikir tentang waktu itu bikin


­hidup kita sumpek. Waktu yang kita kenal itu kan
ada tiga fase, masa lalu, masa kini, dan masa
­depan. Tapi, sebenarnya nggak ada masa lalu,
masa depan. Waktu itu yang ada hanya masa kini.

Lho tapi kan masa lalu ada, kita


­mengalaminya.

Yang kemarin itu, masa kini nya yang


­kemarin. Ketika hari ini dia bukan masa lagi. ­Sebab
hari ini dia cuma jadi kenangan. Dia sudah nggak
ada. Yang ada hanya masa kini.

Masa depan pun begitu, masa depan itu


kan cuma analisis kita, hitungan-hitungan kita,
­prediksi kita apa. Tapi dia sebenarnya nggak ada.
Jadi, masa lalu itu nggak ada, masa depan itu
­nggak ada. Maka yang ada hanya masa kini.

Jadi kita yang sering galau karena masa


lalu, itu sebenarnya kita sedang galau oleh ­sesuatu
yang nggak ada. Sudahilah. Termasuk kita yang
­galau tentang masa depan.

“Besok saya mau jadi apa?”

11
Itu yang bikin hidup kita sumpek, sedih,
tentang hal yang sebenarnya nggak ada. Kita itu
nggak mesti akan seperti prediksi kita kok. Hidup
kita di masa kini.

“Tapi hidup saya sekarang ini juga sudah


sumpek.”

Ya, dengan berpikir begini kan, paling ­nggak


sumpeknya nggak dobel tiga karena masa lalu dan
masa depan. Tapi masa kini saja. Sibukkan diri kita
dengan masa kini.

Tapi jangan salah, masa kini itu sesaat lagi


juga akan jadi masa lalu. Jadi kalau kita galau,
itu sudah lewat. Ceritanya sudah beres tadi. Mau
diapakan?

Jadi ada cerita sufi begini, suatu ketika ada


orang yang berkunjung ke rumah seorang sufi yang
kaya raya. Orang ini minta pelajaran pada sufi itu.
“Saya minta nasihat guru.”

“Wah, saya ini nggak bakat ngasih nasihat.


Sudahlah, anda menginap di sini saja.”

Orang itu pun menginap. Dia ­dikasih


­tempat tidur yang menggantung di tengah
­ruangan, di ­atasnya banyak tombak-tombak yang
­goyang-goyang, jadi agak seram kalau jatuh.
­Terus, di bawahnya banyak ular. Jadi semalaman
dia nggak bisa tidur.

12
Paginya, dia ditanya, “Lho kenapa kok lesu?
Tadi malam nggak tidur?”

“Gimana saya bisa tidur, di atas ada tombak


terus di bawahnya ada ular.”

“Padahal itu kasur terbaik dan empuk


­sekali.”

“Saya nggak bisa menikmatinya.”

“Lho, salahmu sendiri kok malah nggak


­menikmatinya.”

“Saya takut, nanti kalau tombaknya jatuh,


atau ularnya mematuk saya, bagaimana?”

“Buktinya sampai pagi kan nggak ­apa-apa.


Berarti yang membuatmu tidak bisa tidur itu
­pikiranmu sendiri. Kalau jatuh, baru dibahas.
­Belum jatuh, sudah mikir jatuh akhirnya hidupmu
nggak tenang.”

Jadi, fokuslah pada masa kini.

13
#3

Penyakit kita selama ini apa?

Kita itu gemar membuat rumit, ­ruwet


­anugrah dari Tuhan dalam hidup kita yang
­sebenarnya simpel. Misal, makan itu simpel, ada
makanan, anda lapar, ya tinggal makan.

Tapi begitu ketemu manusia, jadi ada


teknologi makan, teori makan, produksi makan,
ada gengsi, macam-macam. Jadi ruwet luar biasa.

Hidup ini jadi ruwet, padahal tadi ­urusannya


cuma makan. Belum lagi urusan tidur, tidur saja
oleh manusia sekarang ada baju tidur khusus,
­bantal saja ada macam-macam jenis. Coba kita
cermati, hal-hal simpel apa saja dalam hidup kita
yang kita bikin ruwet.

Ada cerita dari Diogenes, dia itu barang


yang dipunya cuma satu, cangkir untuk minum.
Suatu ketika dia lihat anak gelandangan minum
pakai tangan. Diogenes berpikir,

“Pakai tangan saja bisa, ngapain ya aku


­punya cangkir?”

Terus cangkirnya dibuang.

14
Mungkin pertimbangannya Diogenes itu gini,
saya punya cangkir terus sebagian hidup saya ada
porsi untuk menyimpan cangkir, menaruh cangkir
pada tempatnya, mencuci cangkir, habis-habisin
waktu. Ternyata pakai tangan saja bisa kok. Nah
itu rumus dari Diogenes, jangan ribet-ribet hidup
ini.

Semua bidang hidup sekarang ada kode


etiknya masing-masing. Misal, cara jalan yang
­sopan, cara jalan tidak sopan, ada rumusnya.
Semua diatur.

Bagi Diogenes tadi, itu ­mempersulit diri


sendiri. Ternyata peradaban manusia itu ­rumusnya
membuat rumit hal yang simpel.

Terus gimana?

Hidup yang baik itu hidup yang alamiah.


Ternyata peradaban kita itu malah menjauhkan
diri kita dari yang alami. Banyak budaya yang kita
bikin membuat rumit hidup, biasanya itu yang kita
bikin dengan rumus cari enak.

Misal, bikin baju, tempat tidur, gelas,


macam-macam, itu kan kriteria utama bikinnya
nyari enak, nyari nyaman. Tapi hasilnya sering kali
malah bikin rumit.

Kalau gitu, standar hidup yang alamiah itu


gimana?

15
Yang minimal. Bahasa lainnya sederhana.
Bahkan bisa juga dengan ‘tanpa masyarakat’,
maksudnya gini, tanpa masyarakat dalam tanda
petik itu tanpa sibuk diatur oleh budaya-budaya
kita yang bikin rumit. Hidup kayak gitu nggak
­gampang memang.

Kita sekarang banyak tergantung sama


produk-produk budaya yang tujuannya membikin
enak kita tapi hasilnya sering kali malah bikin
­rumit. Kita jadi manja. Ini tantangan hidup kita.
Berani nggak mengambil sikap hidup sederhana?

16
#4

Ada cerita dari Diogenes, dia siang-siang


pergi ke pasar bawa lampu, terus dia teriak-teriak,

“Dimana manusia? Aku mencari manusia!”

Jadi itu sindiran yang luar biasa bagi kita.


Bagi Diogenes, kita sekarang ini sudah bukan
­manusia. Mungkin mesin, robot, macam-macam.
Jadi kita nggak manusiawi lagi. Apa yang membuat
kita itu nggak manusiawi?

Ambisi.

Jadi Diogenes itu dikenal sebagai orang yang


berambisi untuk tidak berambisi. Jadi mari kita
berambisi untuk tidak punya ambisi apa-apa. Kita
itu sekarang kan ingin ini, ingin itu, banyak sekali.
Akhirnya yang kita korbankan sisi ­manusiawi kita
untuk mencapai ingin-ingin itu.

Kalau kehilangan sisi manusiawi, ya kita


nggak manusia lagi. Kalau pinjam istilahnya
­Al-Ghazali, manusia yang wajahnya semua jadi
­binatang. Kita jadi membinatang karena ambisi.

17
#5

Kalau boleh saran, hidup kita itu butuh


­keaktifan. Jangan malas.

Caranya untuk nggak malas itu apa?

Ya jangan malas, nggak ada caranya.


­Pokoknya jangan malas aja. Kalau pas merasa,
kok malas ya, ya paksa diri kita untuk bangkit.
­Langsung lakukan sesuatu. Biasakan beraktifitas.
Sebab manusia itu hidup dengan apa yang dia
­biasakan.

Jadi rumus pertama itu. Dan rumus ­keaktifan


itu kalau di Islam kan jangan dibayangkan kayak 1
+ 1 = 2. Keaktifan itu usaha kita bergerak, nggak
usah dipikir hasilnya.

Kadang-kadang kalau kita mikirnya hasil


kan kita malah pesimis. Sebab kita ­bergantungnya
pada tindakan kita, ya jangan, bergantunglah
­hanya pada Allah.

Kita bekerja, berusaha dan sebagainya itu


kan karena Sunnatullah kita sebagai ­manusia.
­Hasilnya apa itu urusannya Allah. Jadi seperti
­partner dengan Allah. Kita kerja, hasilnya ­Allah
saja yang ‘kerjakan’. Tugas kita hanya terus
­‘bergerak’.

18
Kalau ingat ceritanya Nabi Ismail dan
­ibundanya, ketika Nabi Ismail bayi, ditinggal
­berdua di Makkah. Susah nyari air. Ibunya Nabi
­Ismail lari bolak-balik dari Shafa ke Marwah.
­Akhirnya dapat air dari kaki kecilnya Nabi ­Ismail
yang ­menjejak tanah.

Kalau kita pikir, daritadi menjejak tanah


kan keluar airnya. Ndak perlu bolak-balik.

Lho, itu kan rahasianya Allah. Cara ­kerjaNya


memang begitu. Kita hidup ini kan begitu. ­Pokoknya
kita kerja saja, ndak usah mikir dapat apa-apa.

Kalau kita “target” biasanya, hasilnya


malah jadi kecewa. Pastikan yang kita kerjakan
baik, manfaat, produktif, nanti selanjutnya ­urusan
Allah Yang Maha Bekerja.

Ada analogi dari Leonardo da Vinci, ­­kira-kira


begini, besi berkarat karena nggak dipakai, air
yang diam akan kehilangan kejernihannya dan
dalam suhu rendah dia akan beku.

Begitu juga dengan kemalasan, akan lemah


pikiran kita, maka kita usahakan sampai batas
akhir kemungkinan, kalau kurang dari itu berarti
‘dosa’, baik pada Tuhan atau pada manusia.

Ini maksudnya apa?

19
Wujudkan potensi kita, gunakan fasilitas,
kekuatan, daya yang diberikan Allah, ­semaksimal
yang kita bisa. Kalau tidak, masa Allah sudah
­memberi malah kita sia-siakan.

Jadi, mimpilah, berharaplah, cuma yang


terukur. Tuhan itu ‘berdagang’ dengan kita,
­memberi kita segala sesuatu, tapi ada harganya,
harganya apa?

Kerja.

20
#6

Ada pelajaran menarik begini,

“Dia yang punya paling banyak, ­biasanya


punya rasa takut kehilangan paling ­besar.”

Ini sederhana, kalau yang anda miliki


­banyak, ketakutan akan kehilangan pasti lebih
­besar juga. Ini pengingat buat kita, jadi hidup kita
itu jangan tergantung pada kepemilikan.

Kalau kita tergantung pada kepemilikan,


maka otomatis hidup kita akan diwarnai rasa takut
kehilangan.

Kita itu seringnya kan menghubungkan


diri kita dengan sesuatu di luar diri kita, pakai
­kata-kata ‘memiliki’ atau ‘punya’. Misal gini,

“Aku punya pacar lho.”

Itu alamat anda akan berhadapan dengan


ketakutan kehilangan pacar. Rumusnya, kalau
­memiliki, anda akan berhadapan dengan ­monster
yang bernama kehilangan.

Tidak cuma pacar, ­harta juga begitu, atau


apa saja yang kita anggap kita miliki.

21
Itu kalau dalam agama kita diajarkan,
­jangan tergantung apapun selain pada Allah, ­sebab
pasti akan takut dan akhirnya kecewa.

Semua yang selain Allah, pasti akan


­meninggalkan kita. Jenisnya bisa apapun. Jadi
­kalau mau hidup tenang, kurangi rasa keterikatan
kita dengan apapun.

Terikat itu nama lainnya tergantung,


­biasanya mengujinya dengan kalimat, “Kalau
­tidak”.

“Kalau tidak kamu, aku nggak mau.”

“Kalau tidak pakai laptop ini, nggak bisa


kerja.”

“Kalau tidak ngerokok, jadi pusing.”

Itu ciri-ciri ketergantungan dan ­punya


­potensi kita akan kecewa, punya rasa takut dan
­kehilangan. Kumpul semua di situ pokoknya. Maka
yang paling gelisah dengan kehilangan, mereka
yang merasa memiliki banyak hal.

Kalau harta ya orang kaya, sementara yang


ndak punya apa-apa, takutnya lebih sedikit, kan
ndak punya apa-apa.

22
#7

Manusia itu aslinya baik. Aslinya manusia


itu dibiarkan saja secara alami, isinya pasti baik.
Kalau ada orang jahat, itu berarti dia sedang
­menyalahi kodratnya. Terus, buktinya apa kalau
kodratnya manusia itu baik?

Contoh paling sederhana, kalau kita lihat


anak kecil yang lewat di depan kita, tiba-tiba dia
tercebur sumur. Dari peristiwa itu kan mau diakui
atau tidak, kita akan tergerak ingin menolong.

Meskipun nanti macam-macam tindakan


yang dilakukan. Ada yang mungkin nggak berani
nolong, sebab sumurnya dalam misalnya. Misal
kita tidak jadi nolong, itu kan cerita selanjutnya,
mungkin ada yang nolong duluan. Tapi intinya kan
kita pasti ingin menolong sebenarnya.

Terus kok ada orang yang tidak baik?

Itu berarti ada kodrat yang ia langgar. Terus


baik itu apa?

Baik itu sesuatu yang sesuai dengan


­kodratnya manusia. Contoh makan, makan itu
baik, tapi kalau kita makan yang tidak sesuai
­kodrat, ya hasilnya nggak baik.

23
Misalnya rumput itu baik buat sapi, tapi
­bukan untuk kita, sebab kodratnya bukan itu. Jadi
kodrat itu isinya pasti kebaikan. Terus kenapa sih
yang kodrat itu pasti baik?

Sebab manusia punya lima watak sejati.


Jadi ini watak bawaan, cinta kasih, kebenaran,
kesusilaan, bijaksana, dan bisa dipercaya. Kalau
kita tidak punya watak ini atau watak ini terkubur,
berarti ada yang keliru dalam sejarah hidup kita.

Pertama cinta atau kasih sayang itu


­manusiawi, sejatinya manusia. Maka kebalikannya
itu kebencian, peperangan, saling menyakiti, itu
berarti apa?

Kita sudah menabrak kodrat kita sendiri.


Harusnya kita saling mencintai. Makanya kalau kita
sedang melihat fenomena cinta, jadinya ­indah,
sebab itu hakikat diri kita. Sama yang kedua juga
begitu, kebenaran. Makanya ada kalimat begini,
“Orang itu nyari alasan terus biar benar.”

Karena apa?

Karena orang itu nyaman dan tenang ­kalau
dia berada dalam kebenaran. Terus yang ketiga,
kesusilaan. Kita itu kan ndak nyaman kalau ­melihat
orang tidak sopan, tidak bermoral, sebab kita
­punya watak susila itu. Terus ada ­kebijaksanaan,
jadi ada kecenderungan untuk bijaksana itu
­kelanjutannya dari kebenaran.

24
Terakhir itu bisa dipercaya. Ini sepertinya
sudah cukup jelas, kalau kita mengenal orang bisa
dipercaya itu kan menenangkan. Jadi silahkan
anda lihat sekeliling anda, apa cinta, kebenaran,
kesusilaan, kebijaksanaan, dan kepercayaan itu
masih hidup berkembang atau tidak?

Kalau tidak, mungkin banyak orang,


­termasuk kita sendiri yang sedang kehilangan
watak ­sejati kita sebagai manusia. Kelima watak
itu tadi yang membedakan manusia dengan yang
bukan manusia.

25
#8

Hal yang paling kuat adalah keheningan. Ini


saran untuk tidak terlalu banyak terpengaruh oleh
lingkungan sekitar kita. Jadi diam itu ­dahsyat.
Terus kenapa sih nggak harus terlalu banyak
­terpengaruh?

Kalau kita sendiri, kita memiliki diri kita


sepenuhnya. Kalau kita ditemani satu orang, kita
hanya memiliki diri kita setengahnya, ­bahkan
kurang. Sebab eksistensi kita harus negosiasi
­dengan eksistensi teman kita itu. Jadi momen
­kesendirian itu penting. Kenapa kok kita itu butuh
momen kesendirian?

Sebab kita bisa jadi diri kita seutuhnya


dalam kesendirian. Jadi semakin banyak orang
­terlibat, semakin kita harus negosiasi. Misal
­ngomong saja kan diatur kalau semakin banyak
orang mendengarkan. Tadi mau misuh ndak berani
misalnya.

Gunanya momen kesendirian itu


­mewujudkan diri kita seutuhnya. Jadi kita bisa
mencermati, “Oh aslinya aku ini kayak gini to.”
Kalau kita nggak punya momen kesendirian ini
­biasanya tampilan diri kita itu selalu bias alias
nggak asli. Sebab kita harus selalu menyesuaikan
dengan maunya orang lain.

26
#9

Tidak ada orang bebas yang tidak bisa


­menguasai dirinya. Dan tidak ada orang bebas
yang tidak bisa memerintah dirinya.

Nah, kita kan tiap hari bilang, “Saya ingin


bebas, saya tidak mau terikat.”

Sebenarnya kunci orang bebas itu dua, anda


bisa menguasai dan mengatur diri anda sendiri.
Kalau tidak, ya tidak mungkin anda bebas. Pasti
akan diatur. Lha tidak bisa ngatur diri sendiri kok.

Misal, saya bebas kok, saya milih ­hari-hari


ini buat malas saja. Lho, itu seolah-olah anda
­bebas. Padahal menurut anda, malas atau rajin itu
­bagusan mana?

Rajin kan?

Berarti, kok tidak bisa menyuruh diri anda


sendiri untuk rajin? Bisanya kok nyuruh yang ­malas,
berarti anda kalah dengan diri anda sendiri.

Ketika orang nggak bisa menguasai dirinya


kan yang di luar dirinya yang akan menguasainya.
Maka syarat untuk bebas itu penguasaan diri dan
bisa memerintah diri. Nah untuk menguasai diri
kita harus menjauh dari yang namanya ­kemarahan.

27
Kenapa?

Sebab marah ini sering membuat kita lepas


kendali. Ketika marah itu jangan melakukan
­apa-apa dulu. Sebab sering kali kata-kata yang
­keluar saat marah itu nantinya kita sesali.

Tindakan yang kita ambil saat marah juga


kita sesali. Biar apa kok kalau marah itu ­mendingan
jeda dulu?

Biar tidak rusak penguasaan diri kita.

Selanjutnya, begitu orang butuh hukum


maka mereka tidak lagi cocok dengan kebebasan.
Ini maksudnya apa?

Begitu kita ndak bisa diatur, kan kita ­butuh


hukum. Tapi kalau orang itu tertib, kan jadi ndak
butuh hukum. Kalau dirimu adalah orang yang
­butuh hukum, misal jadi baik karena patuh ­hukum,
sebenarnya kita bukan orang yang bebas.

Misal anda nggak mencuri bukan karena


takut hukum, tapi karena apa? Karena anda bisa
menguasai diri anda sendiri. Tapi bukan berarti
akan anarkis, setiap orang akan seenaknya sendiri.

Kalau orang masih seenaknya sendiri,


­ngerusak, macam-macam, berarti masih butuh
­hukum, dia ndak bisa bebas.

28
Jadi, selalu pilih jalan yang terbaik, walau
itu payah, keras, ndak enak. Kadang-kadang jalan
hidup itu memang berat, tapi ya ambil saja, ndak
usah dipasrahkan ke orang lain.

Sekarang coba kita sama-sama ­mencermati,


dalam hidup kita ini yang menurut kita bagus tapi
kalau di jalani berat, apa saja?

Banyak masalah dalam hidup kita itu ­karena


kita menunda kebaikan yang sebenarnya sudah bisa
kita jalankan. Hanya saja kita agak cengeng, jadi
banyak pertimbangan. Akhirnya ndak ­jalan-jalan.

Kalau ndak dipaksa begini, kualitas


­hidup kita nggak naik-naik, gitu-gitu aja. Jadi,
­itulah ­diantaranya kunci penguasaan diri. Anda
­mengalahkan diri anda sendiri, menguasai diri
sendiri.

29
#10

Kenapa kok kita gagal mencintai Allah?

Kenapa kok kita gagal mengenal Allah?

Ada enam sebab menurut Imam Al-Ghazali,


pertama adalah kita nggak yakin Allah itu ada.
Orang-orang seperti ini kurang piknik, itu sama
kayak kita menganggap indah tulisan, tapi tulisan
itu kita anggap ada dengan sendirinya.

Kalau nggak yakin Allah itu ada ya pasti


­nggak akan mengenal Allah. Kita itu ­kadang-kadang
ya gitu kan, misal kita ndekat ke Allah pas butuh,
tapi itu pun setengah nggak yakin.

Kedua, ada orang yang menolak adanya


akhirat. Sebab biasanya orang-orang ­materialistik,
menganggap kalau sudah mati itu ya sudah.
­Seandainya kenal ya ndak ke Allah yang sejati,
tapi ‘Allah’ sesuai kepentingannya.

Ketiga, ada Allah yang dia kenal, cuma dia


itu seenaknya sendiri. Biasanya begini,

“Allah itu ndak butuh kita, ndak butuh


­ibadah kita. Apa sih gunanya ibadah kita untuk
­Allah? Ya biar aja, ndak usah ibadah kan nggak
apa-apa.”

30
Yang semacam ini juga ndak akan sampai
pada Allah. Jadi kata Imam Al-Ghazali, ibadah
itu kayak dokter ngasih resep obat ke kita. Allah
­nyuruh kita shalat, zakat, puasa dan seterusnya
itu kayak dokter ngasih resep. Ya bisa kita cuek
aja sama resepnya, kalau ndak kita beli obatnya,
mau apa dokternya?

Kata Imam Al-Ghazali, ya dokternya emang


nggak ngapa-ngapain, cuma yang rugi kita sendiri.
Kita nggak jadi sembuh, sakit permanen.

Terus keempat, biasanya alasannya


­kemanusiaan, misal, ada orang bilang gini, “Masa
syariat menyuruh kita menahan nafsu. Nafsu itu
kan alami. Sex itu kan dorongan alamiah. Ya gak
apa-apa kan gak merugikan orang lain.”

Cara mikir begini, bagi Al-Ghazali juga


sama kurang piknik, mikirnya setengah-setengah.
Ya benar itu dorongan alamiah, agama juga nggak
nyuruh menghilangkan dorongan itu. Cuma ­diatur.
Agama dan akal kita cuma ngatur, biar hidup ­makin
berkualitas dan nggak kacau.

Kalau sex bebas, rusak bisa hidup kita. ­Misal


tiap hari ketemu perempuan, oke-oke, ­langsung
gas. Jadi kacau kalau begitu. Makan juga begitu,
ya makan itu alami, tapi ada aturannya. Kalau kata
Rasulullah, jangan sampai kekenyangan. ­Jangan
berlebihan.

31
Jadi, pahami batasnya.

Kelima, orang-orang yang begini


­ngomongnya kalau ada apa-apa, “Tenang saja,
­Allah Maha Pengampun. Dosa dikit-dikit besok bisa
tobat.” Bukan, ini keliru, tapi kalau gaya hidup
kita kayak gini, kita susah mau kenal Allah.

Itu kita seolah-olah meremehkan. Kayak


gini kan kadang-kadang menjebak kita sendiri.
Kalau mental kita mental meremehkan, ya ndak
akan kenal dengan Allah yang sejati.

Keenam, orang-orang yang sok suci. Ini


juga masalah. Merasa suci, “Kalau saya bebas
dari dosa, dunia nggak menggoda saya.” Itu juga
kata ­Al-Ghazali, bahaya. Jadi orang yang ngaku
­mencapai tingkat kesucian tertentu sehingga
merasa dia ndak bisa dipengaruhi oleh dosa.

Tapi kenyataannya, ketika orang lain


­memperlakukan mereka secara tidak hormat saja,
mereka akan dendam. Terus jika ada ­diantara
­mereka tidak dapat sebutir makanan yang
­menurutnya adalah haknya, maka seluruh dunia
terasa sempit.

Mereka ini para orang yang merasa suci
kadang-kadang tenggelam dalam ­samudra
­ketakjuban, tapi kalau ditanya, apa yang
­ditakjubkan?

32
Mereka tidak tahu.

Jadi tiap hari kagum-kagum sama Allah.


Tapi kagumnya apa itu nggak tahu. Kagetan kayak
baru kenal Allah saja misalnya. Jadi kekaguman
sama Allah itu kita simpan, ndak perlu berlebihan.
Sebab kuncinya adalah kenalilah Allah.

Apapun keadaannya, kita ini hanya hamba


dan Allah adalah majikan kita Yang Maha Kuasa. Ini
kritikan Al-Ghazali pada orang-orang yang merasa
‘suci’.

33
#11

“Begitu kita tahu rasanya terbang,


­selamanya kita berjalan di muka bumi dengan
menatap langit. Sebab kita pernah di sana, dan ke
sana lah kita akan selalu rindu untuk kembali.”

Jadi kalau kita pernah mulia, kalau jiwa


kita itu tahu indahnya dunia level tinggi, maka
hidup kita akan berkiblat ke sana. Kalau pakai
­bahasanya sufi begini, kalau kita bisa menemukan
asyiknya dekat dengan yang tinggi-tinggi, maka
dunia bawah itu nggak akan ada artinya.

Kalau hanya kenikmatan fisik yang kita


­kenal, ya hidup kita akan ke arah yang situ-situ
saja. Tapi kalau arah hidup kita lebih tinggi dari
itu, biasanya ya itu yang akan jadi tumpuan
­perhatian kita. Jadi kalau dihubungkan dengan
mimpi alias cita-cita kita, mimpi kita itu setinggi
apa? Itu ­biasanya sejauh mana pengalaman kita.

Misal anak kecil yang belum ­mengalami


apa-apa, mimpinya mungkin hal-hal yang
­‘rendah-rendah’. Kayak misalnya pingin punya
pintu kemana sajanya Doraemon. Itu kan ­karena
dunianya anak kecil itu. Kalau kita yang ­punya
Doraemon ini, bisa bahaya, mesti kita minta
­aneh-aneh.

34
Jadi, mimpinya orang itu sejauh mana
­pengalaman hidup dia, kalau dia mengalami ­dunia
level tinggi, maka itu yang akan dia kejar. Tapi
kalau hanya dunia level rendah yang dialami, ya
mimpinya nggak akan jauh-jauh dari sana.

Itu kayak ceritanya Kahlil Gibran ­tentang


perdebatan pohon kelapa sama rumput. Suatu
­ketika si rumput itu ngejek pohon kelapa, ­“Ngapain
kamu tinggi-tinggi, kalau ada angin besar kan
kamu akan roboh, jatuh, patah. Kayak aku ini lho
di bawah saja enak. Mau ada apa saja, aku aman.”

Terus pohon kelapa menjawab, “Kamu di


bawah itu ya yang bisa kamu lihat hanya dunia
­kecil di sekitarmu saja. Resikonya ya jelas ­kecil.
Aku tinggi, resikoku lebih besar, tapi aku bisa
­melihat dunia lebih luas. Sementara kamu ­mungkin
umurmu panjang, tapi ngertimu cuma segitu-gitu
saja.”

Nah ini kita ingat-ingat bersama, tipuan


­paling besar yang dialami manusia itu bukan ­karena
ditipu orang lain, tapi karena ditipu ­pandangannya
sendiri. Sering kali kita itu kan tertipu, terjebak
pandangan kita sendiri.

Sebab kecenderungannya kalau orang itu


merasa menemukan kebenaran, merasa ­cocok
­dengan suatu pandangan, ya terus dia akan
­berhenti di situ.

35
Tidak sadar kalau pandangan ­kebenaran
yang ditemui itu ada konteksnya, ruangnya,
­waktunya. Bisa jadi tidak selamanya benar, atau
tidak di semua tempat benar.

Tapi malah banyak orang yang menganggap


pandangannya selalu benar, kapanpun, ­dimanapun.
Akhirnya apa?

Ya akan tertipu pandangannya sendiri.


Jadi ya hidupnya bisa jadi akan susah karena
­pandangannya sendiri. Dari sini kita bisa ngecek
ke dalam diri, apa saja pandangan hidup yang
bikin hidup kita malah makin susah.

Mungkin kita anggap A ini benar, tapi ­terus


situasi berubah, jadi udah nggak relevan lagi.
Tapi kita tetap mempertahankan si A ini, sebab
kita menganggap sekali benar ya terus benar
­kapanpun. Akhirnya kita susah hidupnya, sebab
nggak ­nyambung dengan kenyataan.

Maka kita disuruh sering-sering istighfar,


ternyata yang banyak menyusahkan kita itu bukan
yang dari luar diri kita, tapi diri kita sendiri.

36
#12

Dimanapun, merasa absurd itu bisa


­menampar wajah siapapun. Absurd itu merasa
hidup ini nggak jelas ya? Aku kayak gini buat apa
sih?

Coba bertanya, apa tujuan hidup ini? Ada


maknanya apa tidak hidup ini? Apa gunanya saya
di alam semesta ini?

Para filosof sebelum kita itu sudah


­mati-matian ingin menjawab, tapi nggak ada
­jawaban tuntas. Jawaban itu hanya hebat di
­teori, hebat di buku. Sebab kita itu belajar ­banyak
­teorinya para filosof cuma berhenti di ajaran
­mereka saja, hidup kita ya cuma gini-gini aja.

Hidup kita ini nggak pernah kita minta,


­nggak pernah kita harapkan, tiba-tiba begini
­kalau katanya Albert Camus. Di bukunya Camus
itu, ada ibaratnya kayak bola. Bola itu ditendang
ke ­selatan, kadang jatuhnya malah ke timur. Tapi
­memang hakikatnya main bola itu ya begitu.

Sama seperti hidup kita, kan juga gitu, kita


merancang apa, hasilnya apa. Jadi ada jarak antara
hal ideal yang kita banggakan dengan ­kenyataan.
Kita mati-matian memegang hal ideal itu namanya
absurd.

37
Kita itu sering kali terlempar dalam
­fakta-fakta yang seringnya ndak cocok sama
­gambaran kita selama ini. Dunia ini nggak ­serapi
yang kita pikirkan, kita inginnya menjelaskan
­dunia ini secara mutlak, pasti dan rapi. Kita tiap
hari gegeran demi itu, konsep A tawuran sama
konsep B, konsep B kritik konsep C, konsep C ribut
sama konsep D dan seterusnya. Semuanya konsep,
padahal kenyataannya beda.

Misal kita sering bilang, “Saya ini sedang


melakukan pencarian.” Tapi kalau ditanya detail
bingung, anda nyari apa? Caranya gimana? ­Ukuran
sudah nemu itu apa? Dan seterusnya, itu kan
­harus jelas. Jadi cirinya hidup ini absurditas alias
­ketidakpastian. Terus absurd itu sebenarnya apa?

Itu dari bahasa latin, absurdus ­artinya


tuli atau bodoh. Rumusnya, konflik antara
­kecenderungan manusia untuk mencari nilai dan
makna hidup itu melawan kenyataan kalau nggak
mungkin orang bisa ketemu makna dan nilai pasti,
mutlak atau hakiki dalam hidup.

Bukan nggak mungkin secara logika, tapi


­secara manusiawi. Kalau bahasa agamanya
­mungkin, manusia itu terbatas. Tidak ­mungkin
dia ketemu yang tidak terbatas. Misal kalau
­dengar diskusi-diskusi, memang canggih kalau di
­dengarkan, mantap kalau dipahami, tapi dengan
kenyataan itu selalu ketemu pengecualiannya.

38
#13

Kearifan dalam kata itu yang pertama,


­diamlah nggak usah ngomong atau berkatalah
­kalau kata-kata itu lebih berharga daripada diam.

Berarti apa?

Modus dasarnya itu diam, ngomong itu ­kalau


perlu saja. Kalau nggak berguna, ya ­jangan ­bicara.
Jadi ini rumus biar dunia itu tentram. Sering
kali kata-kata yang kita ucapkan itu ­bukannya
­menyelesaikan masalah tapi malah nambah
­masalah.

Kedua, jangan mengatakan hal kecil dengan


banyak kata, tapi ungkapkanlah hal besar dengan
sedikit kata. Pedoman berkata-kata yang ketiga,
kata-kata itu makin pendek, makin memancing
orang untuk berpikir.

Jadi latihan berpikir itu tidak dengan boros


kata, bisa minim kata tapi memancing akal untuk
mengejar maksudnya. Misal kalau ngajari anak
berpikir itu bukannya dijelaskan panjang lebar,
tapi dengan sedikit kata biar dia bertanya.

39
#14

Jangan khawatir, asal kita waras, akal kita


sehat, cuma akal sehat itu ndak penting. Yang
penting itu akal kita itu digunakan apa enggak?

Jadi ndak usah membanggakan akal sehat.


Sudah digunakan apa belum fasilitas dari Allah
yang namanya akal sehat itu?

Makanya di Al-Qur’an itu kan banyak ­nyindir


yang nyuruh kita berpikir. Kalau cuma berakal ya
semua manusia yang sehat pasti berakal. Tapi
­tidak semua yang berakal mau berpikir. Jadi yang
penting itu mikirnya.

Kayak misalnya anda punya HP tercanggih,


terus anda bangga-banggakan, tapi anda nggak bisa
WA, nggak bisa buka Facebook, dan ­seterusnya.
Lha terus buat apa HP bagus-bagus? Jadi ada beda
antara kepemilikan dan fungsi.

Terus, hati-hati dengan orang pintar ya.


Orang pintar itu adalah yang paling bisa ­melakukan
kejahatan yang paling jahat, atau kebaikan yang
paling baik. Kenapa? Sebab akalnya jalan. Bisa
­didaya gunakan, apakah untuk kejahatannya apa
kebaikannya.

40
#15

Ibadah kita itu membawa manfaat ­maksimal,


akan sejati, kalau bisa ­memantulkan ‘cahaya
­Ilahi’. Untuk bisa ke sana, hati kita, jiwa kita ­harus
­bersih. Shalat kita itu bakal ­banyak manfaatnya
kalau hati kita jernih, kita akan ­memantulkan
maksud dari shalat yang sejati. ­Kenapa selama
ini ibadah kita itu rasanya kok cuma formalitas,
­nggak ngefek sama sekali dengan kehidupan kita?

Sebab hati kita ada di dalam kegelapan.


Ibaratnya orang yang dalam kegelapan itu kan
­nggak kelihatan apa-apa, sejatinya yang dilakukan
itu dia nggak paham, hakikat dari yang dia ­pahami,
dia jalani juga dia nggak tahu.

Akal kita mungkin masih jalan, masih ­cerdas,


bisa ngritik sana sini, ngomongnya ­kelas tinggi tapi
hidup sehari-hari nggak mencerminkan apa yang
diomongkan. Sebab kalimatnya hanya berhenti di
mulut, hidupnya sendiri bukan ­cerminan itu ­karena
hatinya gelap.

Menangkap fenomena pakai akal bisa


­canggih, tapi menangkap pakai hati nggak bisa.
Nah, makanya diantara syaratnya ibadah kita biar
maksimal manfaatnya, singkaplah kegelapan hati.
Bersihkan hati kita masing-masing.

41
Kotoran hati itu seperti satu titik yang ­kotor
di kaca, kalau masih awal-awal, segera ­dibersihkan,
mudah. Tapi kalau dibiarkan lama, ­kotorannya
nambah banyak, mau ­membersihkannya juga
payah. Akhirnya yang gelap pun kita anggap
terang, sebab kita nggak pernah ngerti terang.

Jadi yang jelek kelihatannya jadi bagus itu


karena kita belum pernah melihat ‘cahaya’ yang
baik, cahaya kebaikan. Kenapa gitu? Sebab batin
kita sudah gelap.

Apalagi sama orang pintar, orang pintar itu


hati-hati, barang salah bisa dibikin muter-muter
jadi benar. Sudah jelas-jelas ada buktinya, ada
CCTV nya misalkan, masih bisa bikin alasan biar
benar. Itu jagonya akal. Menunjukkan canggihnya
akal, tapi sekaligus menunjukkan gelapnya hati.

Hati itu nggak bisa dibohongi. Hati itu ­kalau


salah, ya dia akan bilang salah, kecuali dia sedang
gelap. Kalau gelap ya nggak bisa melihat mana
yang sejati. Nah, hati yang gelap itu terhijab
­amal-amal yang buruk. Terus membersihkannya
gimana?

Agak susah memang, tapi yang pertama bisa


kita usahakan, cari pengetahuan, ilmunya ­harus
banyak dulu. Ilmu apa? Ilmu yang ­berhubungan
dengan pembersihan batin tadi. Cari ilmunya dulu,
jangan ngawur. Nanti membersihkan hati, pakai
paranormal.

42
Kalau ilmu dapat, dijalankan. Sebab ­nggak
guna ilmunya numpuk, ngaji sampai sesi 157
­sekian. Tapi nggak ada satu pun yang jalan, ya
kualitas hidup kita akan segitu-gitu aja. Habis
itu, pakai ilmu kita untuk menaklukkan ego kita,
menaklukkan diri kita sendiri.

Diri kita harus ada di bawah kendali hati yang


jernih. Akal kita itu kita jadikan ­pendukungnya.
Akal kita ini bisa dibawa ke utara, ke selatan. Akal
ini ibarat pasukan yang paling kuat. Kalau kita
pakai mendukung kebaikan, ya dia kuat. Kalau
kita pakai mendukung kejahatan, ya kuat juga.

Anggota para penguasa itu orang


­pintar-pintar semua. Dan akalnya bisa ­kompak
mendukung ­sesuatu yang sebenarnya ya ­sudah
­kelihatan keliru. Tapi bisa bikin argumen
­macam-macam, seolah benar, itu akal.

Jadi, akal itu tergantung mau kita bawa


kemana. Kalau yang bisa menemukan yang ­sejati
itu hati, qolbu. Cuma hati yang bisa ­menangkap
cahaya. Sebab dia tidak mencari keluar, tapi
­memantulkan apa yang di dalam. Cuma syaratnya,
hati harus dalam kondisi jernih.

43
#16

Orang itu sering kali pingin cepat-cepat


menghakimi orang lain, kenapa?

Biar tidak dihakimi.

Makanya kita nggak usah terlalu galau ­kalau


dituduh orang macam-macam. Itu dia menghakimi
biar bukan dia yang di hakimi. Orang itu kan hidup
sukanya saling menilai, cepat-cepatan menilai.
Begitu anda dinilai dulu, terus kan anda down.
Terus dia merasa menang.

Jadi hidup ini kok rasanya kayak balapan


menilai, balapan menghakimi, siapa menghakimi
siapa. Makanya kita nggak harus terlalu kaget ­kalau
dihakimi orang, dinilai orang. Jadi, santailah.

Kalau pingin bahagia itu jangan terlalu


­dipengaruhi, terlalu perhatian dengan orang lain.
Ya setengah cueklah pokoknya dalam hidup ini.
Penilaian-penilaian orang lain yang nggak perlu itu
nggak pantas digalaukan.

Mereka bukan Tuhanmu, jadi penilainnya


nggak perlu dibikin galau. Hidup sekali jangan
isinya hanya sumpek dinilai orang lain. Itu hidup
yang tragis.

44
Terus, jangan juga percaya kalau ada
­kawanmu yang menyuruhmu jujur pada mereka.
Sebab yang mereka inginkan sebenarnya adalah
dia ingin meyakinkan kalau diri merekalah yang
baik. Jadi kalau ada orang ngomong, “Jujur sama
aku.” Itu sebenarnya dia cuma ngomong, aku ­jujur,
sekarang kamu jujurlah sama aku.

Jadi dia ingin meyakinkan dirinya, aku ini


sudah baik, jadi sekarang giliran kamu yang harus
baik. Itu sama kayak menilai tadi, sebelum dinilai,
orang akan menilai duluan. Kalau memang niatnya
menjatuhkan teman, ya jangan terlalu diambil
­galau.

Di sekeliling kita itu banyak orang yang


­ingin eksis, tidak dengan cara mengeksiskan
­dirinya, tapi dengan cara menjatuhkan ­kawannya.
Jadi eksistensi dia menunggu kawannya jatuh apa
­nggak. Kalau kawannya jatuh, baru dia ­muncul
­eksistensinya. Nah itu, hati-hati menghadapi orang
yang semacam ini.

45
#17

Ada kalimat begini, “Aku nggak mau jadi


orang yang jenius, aku sudah cukup sumpek,
­banyak masalah dengan berusaha untuk jadi
­manusia.”

Ini maksudnya kita sering nambah-nambah


yang ideal, saya ingin jadi manusia jenius. Itu
nambah sumpek lagi, jadi manusianya saja payah,
malah nambah jadi jenius.

Misal lagi, saya ingin jadi manusia yang


berguna bagi nusa, bangsa, agama, orang tua,
macam-macam. Sumpek lagi hidup kita.

Berguna bagi orang tua saja kita susahnya


luar biasa. Kita tambahi lagi. Cukup jadi ­manusia
saja kita sudah pusing, apalagi nambah beban
macam-macam. Nah ini kritik dari Albert Camus
untuk kita.

46
#18

Kedudukan puasa bagi umat Islam itu


­seperempatnya iman.

Besar lho seperempat itu.

Kok seperempat?

Sebab ada hadits yang bilang, puasa itu


setengah dari sabar. Dan hadits yang lain bilang,
sabar itu setengahnya dari iman. Jadi sabar, ­puasa,
iman itu ndak bisa dipisah-pisah. Kalau kita ­nggak
sabar, kita hilang setengah iman. Ya, ­silahkan
­dihitung, misal hari ini anda termasuk sabar apa
nggak?

Entah itu ke saudara, tetangga, ­sahabat,


di sosial media, macam-macam itu, siapa yang
nggak sabaran, siapa yang ngamukan, maka dia
­kehilangan setengah imannya. Itu kalau nggak
­puasa juga, sudah nggak sabar, nggak puasa,
­imannya tinggal seperempat.

Orang beriman itu harusnya sabar, dan


­diantara jalan untuk menemukan sabar, itu ­puasa.
Ndak cuma puasa lahir, tapi juga puasa batin.
­Sabar itu kan puasa batin. Misal, dicederai orang,
dicaci maki orang, didzalimi orang, terus anda
­sabar. Itu kan puasa.

47
Kalau mau bales juga bisa, kalau sekedar
misuh kita bisa lebih canggih. Cuma kan, “Ndak
usahlah.” Itu kan puasa namanya. Kalau puasa
­lahir kan, misal kalau mau makan banyak, tapi
­nggak banyak. Puasa batin kan juga begitu. Terus,
orang ndak puasa itu apa?

Ya, apa yang dipikirannya, diucapkan ­begitu


saja. Apa yang diinginkan, diraih begitu saja,
­tanpa pertimbangan baik-buruknya. Sabar itu kan
bisa sabar dari, dan sabar untuk. Sabar dari itu
apa saja yang menimpa hidup kita. Kalau sabar
untuk itu, ketika kita ­melakukan sesuatu. Kalau
sabar untuk, itu dalam agama ­namanya istiqamah.

Orang harus punya kualitas sabar, tapi ­harus


cerdas membedakan kapan menggunakan sabar
dari, dan kapan menggunakan sabar untuk. Kita
bisa keliru menerapkannya, selama ini kita kan
pukul rata sabar itu berarti, “Ah apa yang terjadi
biar aja.” Rumusnya bukan itu.

Buat membedakan mana yang sabar dari


dan sabar untuk itu, kita butuh hal yang ­namanya
kebijaksanaan. Terus kenapa sih puasa itu kok
­istimewa?

Ibaratnya puasa dibandingkan ibadah lain,


itu kayak Masjidil Haram dengan masjid-masjid
lain. Ka’bah itu kan dianggap rumah Allah. ­Tanah
Haram itu kan dianggap tanah kehormatannya
­Allah, miliknya Allah.

48
Padahal semua masjid, semua tempat, itu
kan milik Allah. Semua ibadah untuk Allah, tapi
yang istimewa itu puasa. Sama seperti semua
­tanah, semua bumi itu milik Allah. Tapi yang
­disebut khusus sebagai rumah Allah itu hanya
Ka’bah dan Masjidil Haram. Alasannya apa?

Pertama, puasa itu satu-satunya ­ibadah


yang verifikasi pastinya, itu hanya yang
­melakukan. ­Nggak ada orang lain tahu. Misal, ikut
buka ­bersama, sahur bersama, tapi nggak puasa
kan bisa. Nggak ada orang yang tahu. Jadi ibadah
yang hanya kita dan Allah yang tahu, itu yang bikin
­puasa istimewa.

Kalau shalat, orang bisa lihat. Kalau


­shadaqah, orang bisa ngerti, bisa hitung. Haji
­apalagi, sebelum berangkat saja orang satu
­kampung diundang.

Terus, puasa adalah ibadah yang


­terang-terangan nantang setan. Terang-terangan
­menyisihkan nafsu keduniaan, hasrat jasmani
yang dangkal. Yang terang-terangan begitu puasa.
­Kalau shalat atau haji, itu banyak sekali makna,
tapi ndak kelihatan, orang harus mendalami dulu.

Tapi begitu puasa, langsung kelihatan ­kalau


ini urusannya melawan hawa nafsu. Jadi puasa
yang benar itu ibadah terang-terangan nantang
setan. Setan dalam diri kita sendiri khususnya,
hawa nafsu.

49
#19

Orang awam itu mendefinisikan ­kebahagiaan


itu kenikmatan. Ya orang hari ini menyebutnya
­kesejahteraan. Padahal enak, nikmat itu belum
bahagia yang sejati. Itu baru level awal, boleh
nyari sejahtera, enak, nikmat, tapi jangan ketipu
di situ.

Ingin senang, boleh. Ingin makan enak,


­boleh. Ingin kaya, boleh. Ingin pacar cantik,
­boleh. Macam-macam. Tapi itu belum bahagia
yang ­sejati.

Kaya itu ndak sejati, sebab kaya bisa miskin.


Makan enak itu ndak sejati, sebab kalau pas sakit,
makan apapun ndak enak. Kecantikan juga nggak
sejati, yang sejati kan kejelekan. Kalau cantik
­besok bisa jadi jelek.

Jadi yang kita kira nikmat itu belum


­kebahagiaan. Nikmat itu sifatnya sementara, bisa
berubah-ubah. Kalau kebahagiaan itu sifatnya
­biasanya lebih tahan lama. Lebih abadi.

Jadi bedakan antara kenikmatan dan


­kebahagiaan. Misal, minum teh enak itu kan
­sementara. Kalau ndak percaya, minum lagi
­sampai gelas keenam ke tujuh. Jadinya nggak
enak lagi teh itu.

50
Beda sama misalnya kebahagiaan, kita
­paham pengetahuan. Punya ilmu tertentu, itu
­lebih abadi. Misal kalau ilmu kita tambah ­paham,
­tambah paham lagi, itu lama-lama kita kan
­tambah bahagia. Itu bedanya kenikmatan dan
­kebahagiaan.

Misal lagi, seenak-enaknya sex, sex itu


kan dianggap puncak kenikmatan. Itu pun juga
­nggak tahan lama. Mau diulang-ulang terus ­sampai
­berapa ronde, juga akhirnya nggak enak. Kalau
­sudah kesekian kali itu sudah nggak enak.

Itu dunia.

Cirinya kalau bahagia itu kita tambah


lama, tambah tenang. Ya, anda boleh menikmati
­kesenangan, bukan berarti jangan. Sebab kalau
yang senang atau nikmat saja belum dilewati,
dilewati itu berarti di rasakan terus dilampaui, ya
kita nggak akan bisa mencapai tahap kebahagiaan
yang sejati.

Misal, bagaimana makan kita itu ­dinaikkan


levelnya, makanya Islam itu kan nyuruh ­apapun
yang kita lakukan dinaikkan levelnya jadi ­ibadah.
Ketika jadi ibadah, dia akan punya kualitas
­kebahagiaan yang lebih abadi. Dibandingkan
makan ya cuma makan, tidur ya cuma tidur.

51
#20

Saat kita tersiksa oleh sesuatu dari luar


diri kita, rasa sakit itu sebenarnya bukan dari
­sesuatu yang menyakitimu, tapi dari anggapan
kita ­terhadapnya. Dan kita punya kekuatan untuk
mencabutnya, kapanpun kita mau.

Kalau kita disakiti orang, sebenarnya orang


itu ndak bisa menyakiti kita, kalau kita tidak
mau sakit. Jadi sekarang, dibikin daftar, apa saja
yang membuat kita sakit, lemah, dan seterusnya.
Semuanya biasanya bukan sesuatu yang nyata,
hanya ‘permainan pikiran kita’.

Misal dapat nilai jelek, ya nilai jelek itu kan


fakta. Ya sudah selesai. Dia tidak harus menyakiti
anda, kalau misal anda besoknya harus ­mengulang
lagi. Ya tinggal diulang saja. Misal lagi, ada orang
mau maki-maki kita kayak gimanapun, kalau kita
milih nggak tersinggung kan ya gak masalah.
Tapi seringnya kan kita milihnya rasa sakit, milih
tersinggung.

Terus yang sering bikin kita sakit kan dua


hal ini, harapan dan kekecewaan. Kecewa itu kan
karena masa lalu, kalau harapan kan karena masa
depan. Masa lalu dan masa depan itu padahal dua
hal yang nggak kita pegang sekarang. Tidak kita
miliki sekarang.

52
Lho, terus kok kita bisa disakiti sesuatu
yang kita aja nggak punya?

Kok bisa kita kalah dengan sesuatu yang


­tidak ada?

Masa lalu kan udah lewat, kalau masa ­depan


kan masih nanti, belum terjadi. Jadi kekecewaan
dan harapan itu jangan sampai membunuh kita.
Hidup kita kan di masa kini.

Kita itu kan kadang-kadang mikir gini,


“Aduh nasibku kok buruk ya, madesu, masa depan
suram.”

Ndak gitu, bilang saja, “Nasibku baik.”

Baiknya dimana?

“Meskipun banyak hal yang terjadi padaku,


tapi aku bisa menanggungnya tanpa rasa sakit.
Mau itu kehancuran di masa lalu, atau ketakutan
akan masa depan.”

Kalau kita maunya hidup tanpa masalah


dan rasa sakit itu ndak bisa. Cara menghadapinya
­digeser sedikit pandangan kita, bikinlah diri kita
itu kuat menghadapi rasa sakit.

53
#21

Orang itu nggak cukup hanya paham dan


­sadar. Tapi dia juga harus ingin. Dengan kata lain,
paham teori dan sadar itu belum cukup, masih
perlu ditambah mau menjalankan.

Sekarang kan banyak orang-orang pintar,


sudah kuliah, ngaji sana sini, ilmunya lengkap.
Apa sih kebaikan yang nggak anda ketahui? Apa sih
barang salah yang anda nggak paham?

Tapi antara paham dan menjalankan


­ternyata ada jarak. Misal kita ngerti shalat tahajud
itu bagus, tapi kita shalat tahajud pas lagi ada
­masalah aja.

Kita kurang niat dan mau menjalankan


­teori-teori yang kita tahu. Jadi kehendak itu ­kunci.
Nggak cukup teori tentang anak sholeh, kita juga
harus hidup sebagai anak sholeh misalkan.

Kita itu pas ngaji kan manggut-manggut,


“Iya ya kayak gitu.” Tapi pas pulang dari ngaji,
enggak dijalankan. Dan itu salah satu sumber
­masalah kenapa kita nggak bahagia.

Sebab ideal yang ada di pikiran dan hati


kita itu ternyata nggak nyambung sama praktek
hidup kita sehari-hari.

54
Jadi, kalau kebenaran dan kebaikan sudah
jadi patokan kita tapi nggak dipasang jadi target
hidup kita, nggak jadi sumber perilaku kita, itu
juga ada jarak.

Itu yang bikin kita galau secara nggak ­sadar


kadang-kadang. Jadi, semakin luas ilmu seseorang,
makin luas pertanggung jawabannya.

Kebalikannya rumus di atas, pas orang


­tidak ingin bahagia, atau tidak pingin terlalu
­bahagia, maka yang dia lakukan pasti buruk. ­Kalau
­pinjam kalimatnya Al-Farabi, kalau ujungnya
­bukan ­kebahagiaan yang kamu temui di jalan itu
­barang-barang jelek.

55
#22

Ada cerita ‘lucu’ dari filsuf, Diogenes.


­Diogenes ini kerap kali ditemui Alexander the
Great. Suatu hari Alexander datang menemui
­Diogenes, “Diogenes, kamu mau minta apa?
­Kekayaan, kekuasaan, jabatan, apa saja yang
kamu mau, milih.”

Jawabannya Diogenes, “Minggirlah dikit,


aku butuh sinar matahari.”

Jadi Diogenes cuma butuh sinar matahari,


sebab Alexander berdiri di depannya menghalangi
sinar matahari. Alexander the Great, si penguasa
sepertiga dunia, menawari apapun yang diminta
Diogenes, malah permintaan Diogenes cuma satu,
“Minggirlah.”

Kalau bisa kayak gini anda luar biasa,­


­makanya si Diogenes ini disebut manusia ­alternatif,
sebab jarang orang kayak gini.

Ada cerita lagi, Diogenes di kuburan, nyari


tulang belulang. Kebetulan ada Alexander, “Kamu
nyari apa di kuburan, Diogenes?”

“Aku mencari tulang belulangnya ayahmu.


Tapi susah aku membedakannya dari tulang
­belulangnya para budak.”

56
Walau Diogenes ini orangnya semaunya
dia, tapi Alexander the Great senang dengan
orang seperti Diogenes, sampai-sampai dia ingin
jadi Diogenes. Tapi jawaban Diogenes lagi-lagi
­mengejutkan, “Kalau aku bukan Diogenes, aku
berharap aku itu Diogenes.”

Diogenes ini orang yang puas dengan dirinya


sendiri, kalau kita ini kan kebanyakan masih ingin
jadi apa gitu. Tapi malah orang kayak Diogenes ini
pasti bahagia, sebab yang bikin kita nggak bahagia
kan kita itu banyak tuntutan pada diri kita sendiri
yang belum terpenuhi.

Ada cerita lagi dari Alexander dan ­Diogenes.


Karena Alexander ini terkesan sama Diogenes,
­Alexander kasih pesan gini, “Kalau aku nanti
­meninggal, tolong tanganku satu dikeluarkan dari
peti mati. Tujuannya apa? Biar orang lain ­ngerti
kalau orang sebesar aku ini, yang ­menguasai
­sepertiga dunia, waktu mati juga nggak bawa
­apa-apa.”

Maka puaslah jadi dirimu sendiri. Ndak usah


terlalu banyak nuntut, sebab akhirnya nanti akan
kecewa.

57
#23

Ada dialog menarik lagi dari Diogenes


­dengan Aristippos. Aristippos ini penjilatnya raja.
Nah suatu hari si Aristippos ini melihat Diogenes
makan ubi yang nggak enak, terus Aristippos
berkomentar,

“Kalau kamu mau belajar mengabdi pada


raja, kamu nggak perlu makan sampah kayak
gitu.”

Dijawab oleh Diogenes, “Harusnya malah


kamu yang belajar makan sampah ini, biar kamu
nggak harus menjilat raja.”

Bagi Diogenes, jauh lebih mulia makan


ubi daripada menjilat raja. Jadi daripada latihan
­menjilat, mending latihan makan ubi yang nggak
enak. Daripada latihan menjilat, mending latihan
hidup susah.

Jadi latihan hidup susah daripada


­menghianati prinsip-prinsip yang kita anggap baik
dan benar.

58
#24

Suatu hari Diogenes ditanya, “Diogenes,


kamu itu kok ngemis terus tujuannya apa sih?
Katamu sudah cukup dengan dirimu sendiri, kok
masih minta-minta?”

Jawaban Diogenes, “Lho nggak, aku minta-


minta itu untuk ngajarin orang.”

“Ngajarin apa?”

“Ngajarin orang biar murah hati, untuk


­ngajarin orang menunjukkan bagaimana cara
membelanjakan uang yang baik.”

Jadi kalau pas kita dilatih shadaqah atau


memberi, itu kan ya ngajari yang butuh bukan
yang kita beri, tapi yang butuh itu kita. Kalau
pas membantu orang, coba direnungi terus, itu
jangan-jangan yang butuh bukan orang yang kita
bantu. Tapi kita sendiri. Untuk kepentingan apa?

Jiwa kita.

Kembali yang cerita tadi Diogenes, gak ada


yang ngasih ke dia, ya nggak masalah. Dia sudah
terlatih hidup sengsara. Tapi orang yang ngasih itu
kan dapat pelajaran. Pelajaran untuk murah hati.

59
#25

Jadi sebelum tidur itu, kalau bisa ­tanyakan


pada diri kita sendiri, Hari ini aku salah apa?
Apa yang sudah aku lakukan? Apa yang harus
aku ­lakukan tapi tidak aku lakukan? Aku sudah
­melakukan ­kebaikan apa?

Jangan tidur sebelum kita ­menjawab


­pertanyaan-pertanyaan ini. Ini namanya
­muhasabah diri, uji dirimu. Kalau dalam ujian
ini kita nemu kesalahan-kesalahan, tegur dirimu.
­Ingatkan diri kita secara serius.

Jadi ada cerita seorang wali yang punya


­kebiasaan menulis dosa yang dilakukan dalam
­sehari. Dalam rangka apa? Untuk muhasabah diri.
Terus suatu ketika, dia membuka bukunya dan
catatannya hilang semua.

Di cerita itu terus ada malaikat


yang ­menyatakan pada wali ini kalau Allah
­sudah ­mengampuni seluruh dosanya, karena
­kehati-hatiannya, keseriusannya untuk tidak jatuh
pada dosa selanjutnya yang sama.

Nah ini cara untuk meningkatkan kualitas


hidup kita. Kalau nggak ya situasi kita bakal kayak
hari ini terus, gitu-gitu terus. Nggak naik kelas,
nggak naik kualitas, secara lahir atau batin.

60
#26

Kebahagiaan itu cirinya adalah puncak


­kebaikan. Tidak ada lagi yang kita tuju selain itu.
Karena kebahagiaan adalah tujuan hidup kita,
­apapun yang kita lakukan dalam hidup, ­sebenarnya
kan sasaran tembaknya cuma satu, ingin bahagia.
Entah disadari atau tidak. Nggak ada orang yang
nyari susah.

Misal ditanya, “Cita-citamu apa?”

“Saya ingin stress.”

Kan nggak ada kayak gitu. Setiap kita ­secara


fitrah ingin bahagia. Dan kalau sudah bahagia, ya
selesai, dia nggak ingin apa-apa lagi. Maka disebut
kebaikan puncak. Anda jujur, tekun, rajin, sabar,
itu kan sebenarnya akhirnya dengan semua itu
adalah ingin bahagia.

Memang Allah merancang manusia itu untuk


bahagia. Allah ingin kita bahagia, makanya Allah
ngasih kita banyak fasilitas yang cocok untuk kita
hidup. Kan bumi dan isinya itu pas banget untuk
kita hidup.

Kenapa sih kok Allah sempat-sempatnya


ngasih kita yang pas luar biasa untuk hidup kita?

61
Sebab Allah pingin kita bahagia.

Apa-apa tersedia dan gratis.

Maka siapa yang galau, bete, sumpek,


sedih, itu kita sedang menyinggung perasaannya
Tuhan. Sudah dikasih macam-macam kok masih
sedih. Itulah kenapa banyak ceramah yang selalu
bilang, bersyukurlah. Dengan syukur nikmatmu
akan ditambah.

Kalau akal kita normal, sebenarnya ­melihat


semua fasilitas dari Tuhan itu pasti kita akan
­bersyukur dan bahagia. Seandainya ada masalah,
kalau dibikin persennya itu masalah hidup kita
­nggak sampai sepuluh persen dari nikmat dan
­kebahagiaan yang kita dapat dari Allah.

Allah menciptakan kita untuk bahagia,


maka jangan bikin Dia tersinggung dengan kita
ngeluh tiap hari. Jadi capailah kebahagiaan, biar
Allah senang.

Kayak kalau pas kita bantu orang, dan yang


dibantu itu bersyukur kita bantu, ­masalahnya bisa
selesai. Nah kita yang bantu dia kan juga senang.

Tapi kalau kita bantu orang, terus yang


dibantu itu merengut terus, habis itu bilang gini,
“Iya sih, masalahku dibantu, tapi kan masalahku
masih banyak.” Itu kita yang bantu juga jadi ­nggak
enak hati.

62
Jadi bahagialah. Ndak usah terlalu dibikin
beban masalah kita yang hanya sepuluh atau
­bahkan lima persen itu tadi. Kalau ada solusi, ya
diambil. Kalau nggak ada ya dipikir lagi. Kalau
buntu ya nikmati saja dulu masalahnya.

Semua hal yang bikin bahagia itu baik,


tapi semua yang bikin kita galau, sedih,
itu ­kebalikannya. Kalau masalah kita nggak
­selesai-selesai, itu ­pasti ada yang nggak baik yang
sedang kita jalani. ­Mungkin males, nggak tertib,
ogah-ogahan dan ­seterusnya.

Terus misalnya ada yang nggak baik tapi


kok rasanya bikin bahagia, awas hati-hati ketipu.
Itu jebakan. Aslinya itu buruk. Misal, ­ngaku-ngaku
­pintar, terus orang percaya kita pintar. Kita senang,
tapi kan aslinya nggak pintar. Itu bahayanya ya
­silahkan dinikmati sendiri.

Biasanya hal semacam itu kesenangan


­sementara, tapi resiko tidak bahagianya ­sangat
panjang. Misal, saya nggak shalat juga ­nggak
­apa-apa, nggak puasa juga biasa aja, nggak
­masalah. Allah juga nggak marah-marah. Ya kita
ngitungnya saat itu, tapi ada efek yang nggak
­disadari.

Sebab ketika Allah nyuruh sesuatu itu


­mungkin rahasianya tidak saat ini. Tapi ada
­skenario yang dibikin sendiri sama Allah untuk
­mekanisme hidup kita.

63
Sebab Allah itu ‘nggak butuh’ shalat kita,
­zakat kita, puasa kita, dan seterusnya.

Terus misal kebalikannya, kok udah


­melakukan kebaikan, tapi tetap nggak bahagia,
kenapa ya?

Ketika kebaikan nggak bikin kita bahagia,


berarti ada salah paham. Ada pemahaman dan
pengetahuan yang belum kita tahu. Kayak ­misal,
saya jujur, tapi kok malah nggak enak gini ya
­hasilnya?

Ada yang keliru dari pemahaman kita


­tentang kejujuran dan kebahagiaan dari jujur.
Konsep kita mungkin salah. Mungkin perlu ditanya,
bahagia menurut kita apa sih?

Atau jujur yang kita lakukan itu ­jangan-jangan


jujur yang bukan sejati, tapi ­terpaksa jujur. Atau
ada yang keliru. Pokoknya ­rumusnya, perbuatan
baik itu hasilnya pasti ­bahagia. Semua yang bikin
bahagia pasti baik, kalau enggak, pasti ada yang
salah.

64
#27

Jadi ada sindiran untuk masyarakat dari


ceritanya Nasrudin. Suatu hari, Nasrudin ini ­pamer
anggur, sambil bawa keranjang anggur, dia ­lewat.
Di jalan banyak anak kecil, terus anak-anak itu
minta anggurnya. Akhirnya Nasrudin ngambil
­anggur satu, “Nih buat barengan.”

Terus anak-anak itu protes, “Ngasih kok


cuma satu, yang banyak kenapa.”

Nasrudin menjawab, “Yang satu itu ­rasanya


sama saja dengan yang lain. Pokoknya satu
ini saja sudah ngertilah rasanya, nggak perlu
­banyak-banyak yang lain.”

Cerita ini sindiran buat kita yang sering


­bilang, “Kualitas itu lebih penting daripada
­kuantitas.”

Apa iya? Misal, saya shalatnya agak


­telat-telat kan nggak apa-apa. Yang penting hati
saya nyambung terus sama Allah. Apa iya begitu?

Yang ada kan biasanya kita telat shalatnya,


terus buru-buru yang penting beres. Jadi ­kuantitas
juga menentukan kualitas. Dan tidak selalu ­kualitas
lebih penting dari pada kuantitas. Dilihat kasusnya
dulu bagaimana.

65
#28

Ada sindiran dari Diogenes begini, ­manusia


adalah binatang paling cerdas sekaligus paling
­tolol. Jadi yang paling konyol di alam semesta ini
itu manusia. Meskipun manusia juga sebenarnya
yang paling cerdas.

Sindiran kedua ini mungkin sering kita


baca, kita punya dua telinga dan satu mulut, jadi
kita bisa mendengar lebih banyak dan bicara lebih
­sedikit, harusnya.

Maksudnya dalam hidup sehari-hari itu


konkritnya, kita harus lebih mau memahami orang
lain, dibandingkan memaksakan pandangan kita
pada orang lain.

Sumbernya ketentraman itu ada di


­mendengarkan. Kesediaan kita untuk memahami
orang lain. Bukan dalam kekuatan kita, ­kemauan
kita untuk menyakinkan orang lain tentang
­kebenaran kita.

Mendengarkan ini seolah-olah simpel, tapi


berat. Kalau ada kawan curhat kan kita inginnya
cepat-cepat kasih nasihat. Padahal biasanya orang
curhat itu cuma ingin didengarkan. Kalau sekedar
nasihat, mungkin ya dia sudah ngertilah.

66
#29

Ini syair terkenal dari Rumi,

Cinta adalah intinya


Dunia adalah kulitnya

Cinta adalah manisannya


Dunia adalah piringnya

Agamaku adalah agama cinta


Malu bagiku hidup melalui jasad dan roh belaka

Begitu engkau kehilangan cinta, maka


hidupmu hanya jasad dan roh. Kita hanya fisik dan
mental. Nggak ada nilainya. Iya kita hidup, kita
senang, kita susah, kita putus asa, kita mengalami
semua fenomena dunia, tapi kita kehilangan satu
yang paling penting, Cinta.

Jadi ada jasmani, ada rohani, modusnya


harus cinta. Begitu modusnya bukan cinta, maka
katanya Rumi, aku malu kalau begitu. Termasuk
agama, beragama berarti modusnya juga harus
cinta. Modus itu gayanya, gaya mencintai, bukan
gaya dagang, aku untung apa, kamu dapat apa.

Apalagi gaya ngamuk, marah-marah,


tawuran. Nggak.

67
Agama gayanya harus gaya cinta. Gaya ­cinta
itu ciri paling utama adalah tidak egois, nggak
mikir senang atau enaknya sendiri. Kalau masih
aku, kelompokku, aliranku, pendapatku, itu masih
egois. Nggak bisa memahami yang lain. Pokoknya
aku benar, yang lain salah semua.

Kalau gaya cinta itu, menurutku yang benar


ini, yang lain kalau bisa tak ajak semua ­sama-sama
masuk surga bareng aku. Kalau beragama yang ­egois
itu hanya ruh dan jasad, kehilangan ­esensinya.

Semua yang diajarkan Rumi, ya tetap


dasarnya adalah cintanya dia pada Allah melalui
kanjeng Nabi Muhammad. Sebab yang ­membawa,
memperkenalkan Allah kan Kanjeng Nabi
­Muhammad.

Jadi kita sekarang ini punya Islam.

Maka prinsipnya Rumi adalah aku hanya


debu yang ingin selalu menempel pada telapak
kaki Muhammad.

68
#30

Yang masih mentah, tidak akan pernah


tahu, keadaan matang itu seperti apa. ­Penjelasan
lewat kata-kata tidak akan membantu. Sejak awal
­sampai akhir yang dibawa oleh Rumi adalah ilmu
rasa. Bukan ilmu lahir. Jadi tidak lewat ­kata-kata.
Harusnya rasakan sendiri oleh batin. Dan ­untuk
bisa sampai ke sana kita harus matang, yang
­mentah nggak akan paham.

Matang dan mentah itu, misalnya kayak


Nabi Muhammad waktu dilempari batu di Tha’if
kan Nabi ngerti, itu orang yang melempari ­memang
belum matang, belum jadi, belum ngerti. Maka
Nabi Muhammad nggak mbales marah. Meskipun
Jibril sampai datang, “Nabi tak belain ayo.”

Malah di doakan sama Nabi Muhammad


­supaya mereka dapat hidayah. Itu bedanya matang
dan nggak matang. Sebab nggak mungkin yang
matang akan membalas yang mentah.

Jadi yang terjadi sekarang-sekarang ini itu


kita nggak perlu kaget, “Kok ada orang ­menistakan
ulama!?” misalnya. Itu nggak luar biasa, orang
awam menistakan ulama. Yang luar biasa itu kalau
ada ulama menistakan orang awam. Itu baru luar
biasa, perlu dipertanyakan.

69
#31

Jangan mengabaikan kesehatan tubuh


kita, beri tubuh kita makan dan minum sesuai
­ukurannya. Dan mulai latihlah tubuh kita sesuai
kebutuhan. Ukuran ini maksudnya apa yang tidak
akan membuat kita tidak nyaman.

Biasakan diri kita dengan jalan hidup yang


tertib dan sederhana tanpa bermewahan. Hindari
segala hal yang mengundang kecemburuan.

Kalau ini soal mengelola fisik, fisik juga


harus kita rawat, kita perhatikan, sebab ini juga
amanat dari Tuhan. Cuma kalau masalah yang
­fisik-fisik itu kita penuhi sesuai ukurannya saja.

Makan yang overdosis juga ndak bagus. Jadi


penuhi sesuai ­kebutuhan saja. Berlebihan jelek,
­kekurangan juga jelek.

Kadang-kadang yang bikin kita terjebak di


dunia materi itu ambisi kita untuk kenyamanan
duniawi terlalu berlebihan.

Jadi cita-citanya agak panjang, pingin ­punya


mobil mewah, rumah mewah, ­macam-macam.
­Ketika kita targetnya makin detail-detail kecil ini,
kita malah jadi makin sibuk dengan materi.

70
Dan itu sering kali akan menyulitkan ­hidup
kita sendiri. Biasakan hidup yang tertib dan
­sederhana. Hidup yang nyaman itu yang ­sederhana,
tanpa bermewahan.

Ada beda antara hidup mewah dengan


­bermewahan. Bermewah-mewahan itu berarti
hanya untuk pamer. Tapi kalau mewah dengan
sendirinya, itu rejeki dari Allah.

Jangan bermewah-mewahan, tapi kan ada


orang yang ditakdirkan kaya misalnya. Dalam
rangka apa? Harmoni. Kalau semua orang miskin,
yang shadaqah siapa?

Kalau semua orang miskin, hukum saling


membantu itu nggak akan jalan. Saling menolong,
kerja sama, itu nggak akan jalan.

Dan hindari semua yang mengundang


­kecemburuan. “Kan bukan salah saya kalau orang
lain iri?”

“Ya kalau bisa jangan membuat orang lain


iri.”

Jangan jadikan dirimu sumber ­kekeliruannya


orang lain. Kita kadang-kadang itu jadi sumber
salahnya orang lain, antara lainnya melakukan
hal yang mengundang kecemburuan. Kalau bisa
­dikurangi.

71
Misal, ada teman kita yang uangnya habis,
beli makan ndak bisa. Sementara uang kita masih
banyak, terus kita belinya makan yang enak-enak.

Kita jadi sumber dosa itu juga masalah.


Kan kita sering gitu, “Biar aja dia ngomong jelek
­tentang aku, nanti kan dosanya dia tambah ­banyak,
dosaku ke dia semua.”

Ya kalau bisa sih kita jangan jadi sumber


yang bisa diomongkan semacam itu. Jadi hindari
segala yang mengundang kecemburuan.

72
#32

Ada cerita dari Nasrudin, dia suatu hari­


­sombong pada tetangganya. Nasrudin yang ­sudah
tua ini ngomong, “Kekuatanku itu sejak muda
sampai sekarang nggak berubah-ubah.”

Tetangganya menjawab, “Halah, masa sih?


Sudah tua harusnya lebih lemah.”

“Nggak. Buktinya di depan rumah itu


ada batu besar, dulu waktu muda, aku nggak
kuat ngangkat, sekarang juga masih nggak kuat
­ngangkat. Berarti kan kekuatanku sama kayak
waktu muda, nggak berubah-ubah.”

Jadi itu logikanya kan sama, nggak


­berubah-ubah. Sebenarnya ini banyak ­rahasianya,
pertama, jelas ngomong tentang manusia itu
­terbatas.

Ada banyak batas yang dimiliki manusia


yang membuat dia nggak pantes untuk sombong
sebenarnya. Kita itu banyak batasnya, nggak bisa
sesuka hati kita sendiri.

Kedua, sebenarnya logika yang tadi itu


benar, cuma kesalahannya dimana?

Standar.

73
Jadi dalam hidup kita itu hati-hati
­mengambil standar. Sebab biasanya sukses atau
­tidak sukses kita itu kan tergantung standar. ­Kalau
anda membuat standarnya terlalu tinggi, ­resikonya
anda akan sulit mencapai dan kecewa.

Kalau standarnya terlalu rendah, ­resikonya


potensi anda nggak tersalurkan maksimal.
Jadi membuat standar hidup itu yang realistis,
­meskipun ideal.

Ketiga, semua bentuk kekuatan, ­kelemahan,


semua kata sifat dalam hidup kita itu sebagian
­besar eksis dalam bentuk perbandingan. Anda
­ganteng, jelek, cantik, kuat, lembek, lemah,
tangguh, kaya, miskin, dan seterusnya itu benar
salahnya tergantung perbandingan.

Jadi sebenarnya kita kecewa atau sombong


itu nggak pada tempatnya. Kenapa?

Sebab yang layak kita sombongkan itu pasti


ada yang lebih tinggi. Dan kekecewaan, ­kerendahan
diri kita itu ada yang sebenarnya bisa kita
­banggakan. Tergantung mau ­membandingkannya
­kemana.

Anda tergolong kaya misalkan, tapi


­kalau membandingkannya ke sisi kanan. Kalau
­membandingkannya ke sisi kiri, anda tergolong
miskin. Misalnya begitu.

74
Hidup selalu begitu. Maka jangan ­terlalu
larut dalam kekecewaan atau terlalu bangga
dalam kelebihan-kelebihan. Sebab sesuai rumus
tadi, mau dibandingkan ke sebelah mana dulu?

Dan puncaknya perbandingan itu ­Allah.


­Kalau sudah ketemu Allah, ya nggak ada ­apa-apanya
semua. Semua nggak ada nilainya.

75
#33

Suatu hari Nasrudin itu kerja di kebunnya,


terus ada orang lewat. Dia tanya arah ke Nasrudin,
“Kalau ke kota sana, arahnya mana ya yang pas?”

Terus Nasrudin nunjuk arah. Orang ini terus


nanya lagi, “Kira-kira berapa lama saya sampai
sana ya?”

Nasrudin diam saja. Orang itu nanya lagi


karena nggak dijawab. Dicuekin sama Nasrudin.
Nasrudin malah kembali kerja lagi di kebun. Orang
itu langsung marah-marah, terus dia pergi.

Begitu orang itu jalan beberapa langkah,


Nasrudin teriak, “Tiga jam!”

Orangnya sambil jengkel, “Kenapa tadi


diam saja sih!?”

“Lho saya kan harus lihat kecepatanmu


­jalan. Jadi saya baru bisa jawab, kalau kamu cepat
ya mungkin dua jam. Kalau dengan kecepatanmu
itu ya tiga jam.” Jawab Nasrudin.

Jadi jangan buru-buru marah, orang ­belum


selesai. Ini sebenarnya ajaran tentang jalan
­hidup. Hidup itu akan terarah, kalau arah yang
kita ­tempuh itu benar.

76
Terus ada penunjuk jalan yang tepat. Dan
kita jalani dengan sungguh-sungguh dan serius.
Pastikan hidup kita punya arah. Jangan hidupnya
asal.

Kalau sudah ketemu, tempuhlah


­sungguh-sungguh, sebab kesungguhanmu itu
­menentukan kapan sukses atau tidak. Kalau
­langkahmu cepat ya segera sukses. Kalau lambat
ya lambat. Atau kalau mandek ya meskipun tahu
arah, punya penunjuk jalan, nggak akan sampai.

77
#34

Di sekeliling kita ini banyak orang yang


pandangannya macam-macam. Sering ­memancing
kita untuk komentar, apa itu memuji, mencela
atau menolak. Jangan buru-buru menilai. Sebab
bisa jadi kita tertipu, pandangan orang itu punya
konteksnya sendiri-sendiri.

Mungkin menurut orang itu dalam


­situasinya, yang bagus itu. Tapi dalam situasi kita
kalau ­berlaku semacam itu buruk.

Sebab segala sesuatu itu ada alasannya


tersendiri. Allah itu misalnya memberi musibah,
memberi kegembiraan, itu konteksnya luas, nggak
sesederhana kelihatannya.

Kayak ceritanya Nasrudin punya kuda.


­Biasanya kan dia punyanya keledai, ini tiba-tiba
dia punya kuda. Kudanya bagus.

Terus tiba-tiba raja datang dan tertarik


dengan kudanya Nasrudin. Raja bilang, “Nasrudin,
kudamu bagus, aku beli ya. Berapapun aku bayar.”

“Saya sayang sama kuda ini. Nggak saya


jual.” Jawab Nasrudin.

78
Begitu rajanya pulang, nggak jadi beli,
tetangganya Nasrudin komentar semua, “Bodoh
sekali kamu, Nasrudin. Mau dibeli berapapun kok
nggak mau. Kuda kan bisa beli lagi.”

“Suka-suka aku dong, kan kudaku. Kamu


ndak usah komentar kalau nggak ngerti ­situasinya.”

Besoknya, kuda Nasrudin malah ­hilang.


­Tetangganya makin komentar lagi, “Sudah
­dibilangin, kemarin dijual ke raja saja, kan enak,
dapat uang. ­Sekarang malah hilang.”

“Sudahlah, nggak usah komentar, aku yang


lebih mengerti.”

Besoknya, kudanya pulang terus bawa


­banyak kuda lainnya, kuda liar dari hutan.
­Tetangganya terus komentar lagi, “Wah benar
kamu, sekarang kamu punya banyak kuda nih.”

Terus anaknya Nasrudin naik kuda ini,


­karena yang dibawa kuda liar, anaknya jatuh,
kakinya patah. Komentar lagi tetangganya, “Wah
ternyata kudanya malah membawa bencana.”

Nasrudin cuek saja, terserah orang mau


­ngomong apa. Ternyata pas anaknya kakinya ­patah,
orang dari kerajaan datang, mereka nyari anak-
anak muda untuk jadi pasukan perang. Semuanya
diangkut, kecuali anaknya Nasrudin karena ­kakinya
patah. Tetangganya komentar lagi banyak.

79
Jadi peradaban kita hari ini kan serba
­komentar itu. Rumusnya Nasrudin sederhana,
­suka-suka dia saja, kalau dia mendengarkan yang
komentar tadi, mungkin pontang-panting dia.

Tapi alam semesta bekerja dengan ­logikanya


sendiri. Kadang-kadang yang kita anggap bencana
ternyata malah anugrah. Maka jangan buru-buru
memuji atau menolak.

80
#35

Kita itu pas orang lain salah dan ­sumber


­kesalahan orang lain itu malah jadi sumber
­kesalahan kita. Misal ada orang salah, terus kita
maki-maki kesalahannya. Artinya apa?

Kesalahannya dia jadi sumber ­kesalahan


kita. Salah dobel malahan dan ini sering ­terjadi.
Keburukan orang lain menggoda kita untuk
­melakukan keburukan.

Jadi jangan biarkan siapapun dengan


­kata-kata atau perbuatannya membuat kita
­tergoda, atau terpancing mengatakan atau
melakukan yang tidak sesuai dengan diri kita.

Dia punya situasi sendiri, anda punya situasi


sendiri. Jangan terpancing. Istiqamahlah dengan
kebaikan kita. Kadang-kadang kita itu mengkritik
orang yang mencaci maki dengan balik mencaci
maki. Itu sama, kita berarti satu level dengan dia.

81
#36

Semua yang tampak di depan kita, ­bukanlah


hakikat yang sesungguhnya. Sang sufi Rumi ngasih
contoh, yang tampak dari bumi adalah debunya.
Tapi di balik debu itu adalah sifat-sifat Tuhan
yang mengejawantah. Dimensi dalamnya itu emas
­permata, sementara luarnya itu sebongkah batu.

Kita jangan ketipu oleh lahiriah. Sebab


yang lebih punya nilai itu adalah yang di balik
­lahir. ­Kalau manusia berarti rohaninya yang ­lebih
­penting. Kalau itu sesuatu, berarti esensinya
­bukan eksistensinya. Jangan terikat oleh bentuk,
keluarlah dan gapailah makna.

Misal kacamata, ya luarnya kacamata.


Cuma kan yang lebih penting maknanya, alat ­untuk
membantu kita melihat lebih jelas. Kalau cuma
­lahirnya ya cuma kaca sama plastik ­misalkan. Dia
jadi bermakna karena ada sesuatu yang dikandung
di balik fisik.

Hati-hati jangan tertipu, banyak hal yang


kita anggap sebagai penyebab, sebenarnya adalah
hijab. Banyak hal lahiriah, yang kelihatan, kita
anggap sebagai sebab. Misal, baju bikin kita
ganteng, amal baik membuat kita masuk surga,
macam-macam.

82
Hal yang kita anggap sebab, bisa jadi dia
adalah hijab. Hijab itu yang menghalangi atau
malah menjauhkan kita dari Allah.

Banyak hal yang seolah-olah bikin hidup kita


tentram misal dengan kita beramal. Padahal Allah
nggak ‘diikutkan bermain’ di situ, itu yang disebut
hijab. ­Perannya Allah malah kita ­hilangkan. Kita
­menjauh dari Allah, gara-gara yang kita anggap
­sebab tadi.

“Gara-gara amalku ini, rejekiku jadi berkali


lipat.”

Padahal amal kita ini kan sebab. Kita


nganggep dengan beramal terus Allah ngasih kita,
jadi kayak kita bisa merintah Allah. Ini hijab.
­Nggak sadar, malah bikin kita jauh dari Allah.

Seolah-olah kita yang ngatur ceritanya,


­padahal bukan. Kayak pas ceramah-ceramah, mari
kita shadaqah sekian nanti bisa balik sekian.

Terserah Allah lah. Misal Allah menjanjikan


tujuh ribu, terus kita dikasihnya lima ribu. Atau
ayatnya bilang tujuh ribu terus kita dikasih tujuh
ratus ribu. Kan suka-suka Allah.

Amal kita bukan sebabnya, kalau kita


­merasa amal itu sebab, yang lahiriah itu sebab,
biasanya itu malah jadi hijab kita, yang bikin kita
jauh sama Allah.

83
#37

Kalau manusia itu dianggap cuma dari


­lahiriahnya saja, fisiknya saja, maka Nabi
­Muhammad dengan Abu Jahal punya kualitas yang
sama. Lukisan di dinding pun bisa persis seperti
manusia. Lihatlah, apa yang kurang?

Lukisan indah itu kehilangan ruhnya. Jadi


manusia juga begitu. Jadi manusia atau tidak yang
sejati itu nggak tergantung fisik. Tapi tergantung
dimensi batinnya. Kalau hanya fisik maka Nabi
­Muhammad dan Abu Jahal itu sama-sama Arabnya,
sama-sama punya tangan dan kaki, dan ­seterusnya.
Tapi yang membedakan apa?

Ruhaniahnya, batinnya.

Kalau menilai patokannya jangan


­luarnya. Kalau menilai orang dari fisiknya atau
­penampilannya, mungkin ya bintang-bintang film
itu harusnya sangat berkualitas. Banyak orang
yang ketipu di ranah lahiriah ini.

Ayo kita garap wilayah batin kita. Kita


­menganggap diri kita hari ini apa? Sebagai
­manusia? Jangan sibuk mikir, aku sudah ganteng
atau ­cantik belum ya? Hari ini kelakuanku yang
fisik-fisik ­gimana ya?

84
Batinnya beres, luarnya juga bagus. Jadi
lampaui dulu yang lahiriah. Bahkan banyak
­amalan-amalan ibadah lahiriah di banyak hadits
itu jadi ndak bernilai, kalau batinnya nggak ikut
bekerja.

Misalnya kan, berapa banyak orang puasa


yang hanya dapat haus dan lapar belaka. Berapa
banyak orang shalat hanya dapat capek fisiknya
saja.

Berarti itu kan kualitas lahirnya beres,


tapi batinnya belum beres. Misal puasa, tapi
­nggak ada menahan dirinya. Ya benar, kita nggak
­makan-minum dari pagi sampai Magrib, tapi nggak
ada menahan dirinya.

Dari pagi sampai Magrib cuma nonton


TV terus, jalan-jalan ke mall, dan seterusnya.
­Dapatnya cuma lapar dan haus.

Shalat juga gitu, shalatnya di sini tapi


­pikirannya dimana. Shalat kita ndak ada ruhnya.
Bilang Allahu Akbar, tapi otomatis, kayak robot.
Baca Al-fatihah tapi Al-fatihahnya nggak hadir
dalam diri kita, itu kayak HP kita yang bisa ‘ngaji’.
Ndak ada ruhnya.

85
#38

Kalau ingin perbaikan diri, lakukan enam


hal. Pertama, pahami kodratmu dan kendalikan
hasratmu. Jadi pahami karakter kita, kodrat kita,
apa saja yang manusiawi itu dihidupkan lagi.

Terus, keinginan dikendalikan, biar tidak


liar. Kedua, mencari perbaikan itu selalu ke dalam
diri. Kenapa kok ke dalam diri?

Sebab moral itu kadang-kadang yang tahu


hanya diri kita sendiri. Misalnya, kasih sayang.
­Keluarnya sih membantu orang lain, tapi ini dari
kasih sayang atau dari pamrih, atau ada tujuan
lain? Yang tahu kan kita sendiri.

Ketiga, seandainya sudah ketemu diri kita


itu menyesali dan memperbaiki. Kalau ada yang
salah ya direvisi, dievaluasi. Ini untuk perbaikan
moral.

Kalau sudah, yang keempat itu mencari


kualitas yang hilang. Maksudnya itu kan kita punya
banyak kodrat sebagai manusia yang baik-baik,
nah jangan-jangan ada yang hilang?

Jangan-jangan simpati kita menurun


­banyak, yang ada sekarang hanya kompetisi, ingin
menang terus, menaklukkan orang lain.

86
Jangan-jangan kita itu melihat orang lain
seperti musuh, seperti lawan tanding yang harus
dikalahkan. Jadi perlu kita gali.

Kelima, mengembalikan kodrat


­kebangsawanan jiwa. Manusia itu kan kodratnya
baik, berarti semua manusia itu mulia. ­Secara
hakikat. Ndak ada manusia yang ndak baik
­kecuali dia menantang kodratnya. Hidupkan lagi
­kemanusiaanmu.

Keenam, tegas. Banyak orang sudah ­berpikir,


sudah tahu ‘penyakit-penyakitnya’, ­sudah tahu
jalan keluarnya, tapi begitu mau jalan, malah
macet. Nah itu orang nggak tegas biasanya cirinya
menunda-nunda.

Kebaikan yang sudah jelas baik dan ­sudah


saatnya dilakukan, malah ditunda. Akhirnya
­kelewatan. Nggak jadi. Bikin alasan terus, nggak
jalan jadinya.

Nah begitu kita banyak alasan dan ­menunda


semua enam hal ini, ya nggak ada gunanya.
­Kualitas hidup kita nggak meningkat. Sama saja
kayak ­kemarin-kemarin.

87
#39

Kalau ingin bahagia, punyalah ilmu. Sebab


kunci hidup ini ada di ilmu. Terus apa aja sih yang
berharga untuk dijadikan ilmu biar kita bahagia?

Ya semua ilmu, mau tentang segala hal yang


ada atau tentang hal yang bisa dijangkau panca
indera ataupun yang di luar panca indera. Bahkan
tentang kemampuan dimensi rohani manusia.

Jadi kunci bahagia itu perdalam


­pengetahuan. Makin luas wawasan orang, makin
kesempatannya untuk bahagia juga luas. Makin
sempit, ya makin sempit pula kebahagiaan kita.

Kalau ngertinya bahagia itu hanya makan,


minum, seks, atau makan, minum, harta, ya yang
dikejar cuma itu. Tapi makin luas wawasan, makin
ngerti kalau bahagia itu nggak cuma itu.

Bahagia juga bisa di ranking, mana yang


penting, mana yang nggak penting dan seterusnya.

Kebahagiaan juga akan berujung pada


­Tuhan, sebagai kebahagiaan puncak. Kenapa?

Jadi sebab puncak ilmu apapun itu kan


­nanti akhirnya juga dari sebab pertama.

88
Ilmu itu kan rumusnya sebab-akibat, nanti
yang sebab jadi akibat, ada yang menyebabkan
lagi yang sebab ini yang menyebabkan dia tadi jadi
akibat. Terus sampai ujungnya ada sebab utama,
dan itulah Tuhan.

Maka pengetahuan apapun kalau ingin


­bahagia, tujuannya ya harus ke Tuhan, menuju
­Allah. Jangan ada ilmu atau pengetahuan yang
bikin kita malah jauh dari Allah. Berarti kita
malah menjauh dari kebahagiaan juga. Sebab arah
­logisnya ilmu pengetahuan itu menuju Allah.

Misal, ilmu tentang hewan, hewan itu ada


sebabnya. Sebabnya yang menciptakan kan Tuhan.
Terus logika tentang hewan sampai nanti ujungnya
Allah. Apapun saja ujungnya pasti Allah.

Kenapa pengetahuan adalah kebahagiaan?

Sebab bahagia itu berarti kan puas, puas


­berarti merasa tuntas. Kalau belum tuntas, orang
nggak akan bahagia. Misal yang biasanya kita
­anggap bikin bahagia, harta, materi, kekayaan,
itu dalam dirinya sendiri nggak ada nilainya. Dia
akan ada nilainya kalau dihubungkan dengan kita.

Jadi kepuasan menunjukkan ­kebahagiaan,


berarti sikap puas jadi kuncinya. Untuk bisa
­sampai ke level puas, kita harus tuntas. Dan untuk
ke level tuntas, kita harus paham. Kalau nggak ya
nggak ngerti.

89
Misal kita harus paham seberapa kuatnya
perut kita menampung makanan. Kalau nggak,
makanan bisa jadi bencana buat kita. Kita harus
ngerti titik dimana sudah kenyang dan puas.

Kalau nggak bahaya, kadang kan pas


ada makan gratis terus kita itu makannya
­sebanyak-banyaknya. Nggak peduli kapasitas.
Malah nggak jadi enak makanan itu.

Kalau pengetahuan sudah lengkap, kita


ngerti porsi hidup kita. Ya hidupnya jadi enak.
­Ketika kita tahu batas dengan pengetahuan
kita, kita akan berhenti di batas itu. Kalau kita
­melampaui batas kita, ya ujungnya nanti malah
nggak bahagia.

Misal, kok sudah tahu batasnya baik itu


­diantaranya jujur, sabar, tapi kok masih nggak
­bahagia?

Itu berarti pengetahuan kita kurang


­tentang kejujuran dan kesabaran. Belajar lagi,
kita sedang salah paham. Harusnya pasti bahagia
kalau sudah jujur dan sabar. Coba ditambah lagi
­pengetahuannya, bisa jadi kalau nggak jujur itu
malah nambah masalah lebih besar.

90
#40

Jadi kalau kita belajar tentang ­ketakutan


pada Imam Al-Ghazali, ada beberapa ­karakter
­ketakutan itu, ada yang Tabi’ah, Wahmiyah,
­Ibadah, Syirik dan Maksiat. Tabi’ah itu alami,
­manusiawi kita takut. Ketakutan jenis pertama ini
yang sehat, rasional, itu Tabi’ah.

Terus ada takut yang Wahmiyah, ini


­ketakutan jenis yang nggak rasional, nggak jelas.
Nah yang perlu kita taklukkan itu yang Wahmiyah
ini. Kalau yang Tabi’ah tadi itu dikontrol. Terus,
takut yang wajib itu mana?

Ibadah. Takut pada Allah, itukan jenisnya


ibadah. Kalau ini wajib. Ketakutan di bawah itu
yang Tabi’ah, kontrol lah jangan sampai nabrak
ketakutan kita pada Allah. Terus kalau masih
ada ketakutan yang Wahmiyah, nggak jelas tadi,
­taklukkan lah.

Terus yang sama sekali jangan, Syirik. ­Syirik


itu takut tadi yang harusnya pada Allah, malah
kita tempelkan pada yang bukan Allah. Jadi ini
takut yang jenisnya sampai kita itu menyerah,
­mempertuhankan selain Allah. Kalau Tabi’ah
­masih boleh. Misal, malam-malam, gelap, kita
­nggak ­berani masuk ke hutan itu. Itu alami. Bisa
kita kontrol.

91
Jadi takut yang nggak boleh itu takut yang
kemudian yang ditakuti jadi obyek kayak Allah,
disembah, ditaati, itu namanya ketakutan yang
berubah jadi Syirik.

Atau Maksiat, ketakutan yang ­melahirkan


maksiat itu nggak boleh juga. Hal yang ­menyebabkan
kita melakukan sesuatu yang ­diharamkan.

Dasarnya rasa takut itu makrifat kalau


menurut Imam Al-Ghazali. Nggak mungkin takut
itu dipaksa. Dan untuk bisa rasa takut sama ­Allah
itu muncul, kita harus kenal siapa Allah dan ­siapa
kita. Otomatis kita akan takut, akan gentar di
­hadapan Allah.

Orang yang masih berani sama Allah,


­mungkin dia ngerti siapa Allah, tapi dia nggak
makrifat sama Allah. Jadi nggak kenal sama Allah.
Beda kan ngenal sama ngerti itu?

Dia tidak sadar siapa Allah itu, jadi dia ­nggak


takut sama Allah. Maka tau dan sadar tentang
­Allah, makrifat tentang Allah, itu jadi dasarnya
Khauf atau rasa takut. Kenal diri kita, kenali Allah
maka otomatis kita akan takut sama Allah.

Manusia yang paling takut sama Allah bisa


dijamin dia kenal dirinya dan kenal Allah. Makanya
hanya orang-orang berilmu yang bisa takut sama
­Allah. Sebab ketakutan itu nggak bisa ­dimanipulasi.

92
Kalau kepatuhan masih bisa, misal kita
­paksa-paksakan untuk shalat, puasa, zakat,
dan seterusnya. Tapi dipaksa takut kalau emang
dasarnya nggak takut, ya nggak bisa.

Contoh sederhana, kita kenal kalau orang
itu raja, begitu ketemu kan kita akan gentar. ­Kalau
di sehari-hari misalnya, lagi naik motor, lihat ada
polisi, langsung takut, Berarti itu kita ‘makrifat’
hubungannya dengan polisi dan raja.

Kalau bisa kita juga sama Allah itu


­takut. Kalau mau melakukan kejelekan, kita
­pertimbangannya takut sama Allah. Nah terus
­akibatnya apa?

Orang yang takut sama Allah itu biasanya


Tawadhu’ atau rendah hati. Tawadhu’ itu lawan
katanya sombong. Jadi nggak sombong, nggak
merasa besar, kita merasa betapa kecilnya kita.
Kalau orang yang sombong itu mungkin dia nggak
punya rasa takut.

Terus orang takut itu punya karakter


­lanjutan, menjaga diri dan hati-hati. Hati-hati dari
dosa besar ataupun kecil. Dan orang yang ­takut
sama Allah biasanya akan menempuh jalan lurus.
Habis itu orang takut sama Allah juga pasti punya
ilmu. Kalau kata Al-Ghazali tadi kan orang bisa
takut karena makrifat, dia paham siapa ­dirinya,
siapa Allah.

93
Terakhir, dia juga takwa. Kadang-kadang
bahkan takwa ini didefinisikan takut pada Allah.
Sebab memang dekat, orang yang takut pasti
­takwa. Jadi kalau ingin tahu kita itu takut nggak
sih sama Allah?

Coba cek parameter-parameternya itu tadi.


Kita termasuk terjaga apa tidak, dan ­seterusnya.
Kalau masih nggak punya itu, mungkin kita
­sebenarnya takutnya masih dipaksa.

94
#41

Komponennya harapan itu ada tiga. ­Harapan


itu butuh yang namanya tujuan, kedua jalannya,
ketiga orangnya.

Jadi tujuannya apa? Jalan untuk sampai ke


sana apa? Orangnya siapa?

Kalau nggak ada tujuannya, bukan ­harapan.


Kalau nggak ada jalannya, berarti cuma ­lamunan
alias angan-angan. Misal, membayangkan
­seandainya ada uang segepok ditangan.

Tapi nggak ngapa-ngapain, nggak bikin


jalannya. Ya angan-angan saja. Terus kalau
­orangnya nggak mau, ya sudah nggak ada harapan.

Penghalangnya harapan itu juga ada tiga.


Pertama, emosi. Emosi negatif misalnya, itu
bisa menghalangi kita menuju harapan. Jadi kita
males, terburu-buru, ngamukan, minder, terlalu
pede dan semacamnya, itu menghalangi harapan
biasanya.

Kedua, stressor ini berpengaruh ke emosi.


Tapi stressor ini sesuatu yang menghalangi, yang
menekan jadi nggak bisa mewujudkan harapan.
Misal ingin cepat lulus kuliah, tapi kerja. Nah ­kerja
ini jadi stressor, yang membuat kita stress.

95
Ketiga, penghalang harapan itu hal ­nggak
­diduga. Kalau penghalang satu dan dua tadi kan
kita bisa kendalikan. Tapi kalau ketiga ini ­nggak
bisa. Sebab hidup ini kan banyak hal yang ­nggak
diduga. Misal, ingin nembak dia tapi malah
­temennya yang suka sama kita. Itu kan hal nggak
diduga sebelumnya.

Kalau kita hilang harapan, itu juga ada


prosesnya. Ketika harapan masih penuh, masih
termotivasi, terus muncul hambatan dari tiga hal
tadi sampai sadar. “Wah susah mewujudkan ini.”

Maka akan lahir fase kemarahan. Marah ini


kalau terus-terusan, maka akan lahir putus asa.
Sebenarnya ini bukan tujuannya tidak tercapai,
tapi orangnya yang sudah menyerah. Bukan ­berarti
dia nggak percaya sama tujuannya, tapi dia nggak
percaya sama dirinya.

Nah putus asa ini bisa sampai lebih rendah


lagi, apathy alias apatis. Kalau apatis itu ­tujuannya
hilang dan nggak yakin tujuannya bisa dicapai lagi.
Jadi sudah nggak percaya sama tujuannya, sama
dirinya sendiri juga.

Jadi itu proses dari berharap sampai apatis.


Kalau di agama kan, sampai level putus asa itu
­nggak boleh. Jangan sampai hidup kok putus asa.

96
#42

Ada rumus hidup yang sering kita dengar,


pengendalian diri. Jadi mengendalikan diri dari
kesenangan duniawi, apa sih kesenangan duniawi
itu?

Hanya menuruti nafsu, kemewahan, di situ


termasuk jabatan, kekayaan, reputasi. ­Jabatan,
kekayaan, reputasi itu mungkin ­kelihatannya
baik, tapi semua itu adalah ornamen dari
­perbuatan ­jahat. Perbuatan jahat apapun pasti
ada ­hubungannya dengan, kalau nggak jabatan ya
kekayaan, ya reputasi.

Boleh anda sebut kejahatan apapun.

Misal fenomena yang marak belum lama ini,


ada klitih. Anak sekolah yang nggak jelas tiba-tiba
melakukan kekerasan ke orang terus lari. Setelah
diinterogasi, ternyata alasannya ya iseng saja
­untuk kepentingan gengnya, biar dia levelnya naik
dalam geng. Itu kan reputasi.

Jabatan apalagi, hari ini orang Indonesia


suka maki-maki orang lain yang beda ­pandangan
dengan dirinya, ternyata juga bersenggolan
­dengan makhluk yang bernama jabatan. ­Termasuk
kekayaan. Kejahatan apapun ternyata yang
­menghiasinya itu jabatan, kekayaan dan reputasi.

97
Maka yang ingin hidup alami, lurus dan benar,
ya jauhi saja itu. Kita itu kan ­mimpinya ­selalu ­ingin
kaya, tapi ternyata sering kali ­kekayaan malah
bikin repot hidup kita. Punya rumah ­banyak, ­mobil
banyak, dan macam-macam yang berlebihan itu
malah repot. Banyak yang mubadzir.

Coba kita cek satu-satu, dalam hidup


kita, barang-barang di rumah kita, tentukan apa
­gunanya, apa pentingnya, kalau nggak ada itu kita
masih bisa hidup nyaman ndak?

Kita belajar mengendalikan diri, latihan


lapar, latihan sakit. Sebab ini berguna untuk moral
manusia. Orang yang nggak pernah lapar, nggak
pernah sakit, kecenderungannya akan sombong,
merasa penting, merasa besar. Dan penyakit ­paling
akut dalam dunia moral, itu sombong.

Jadi pas kita kesulitan atas masalah ­apapun


dalam hidup, jangan mengeluh. Sekali, dua kali
sakit misalnya, sangat manusiawi, itu ­menunjukkan
kalau kita itu lemah. Kesadaran ­seperti ini ­penting.
Kenapa kok penting? Ini ­pelajaran moral, supaya
kita tahu kelemahan kita.

Kebahagiaan sejati itu letaknya dalam


­pengendalian diri, makanya kita berambisi untuk
tidak berambisi.

98
#43

Banyak orang begitu selesai ­maaf-maafan


pas lebaran itu mentalnya adalah mental ­bebas.
Sudah habis dosanya, maka sekarang dosa
­kecil-kecil, dikit-dikit nggak masalah.

Jadi mentalnya mental santai. Masalahnya


itu yang bikin kemudian setelah bulan Ramadhan,
aura-aura Ramadhannya sudah hilang.

Jadi ketika kita dalam kondisi, anggap


saja diampuni, baik oleh Allah atau manusia, itu
­saatnya untuk makin dekat dengan Allah karena
kita sedang ‘bersih’.

Ibarat hardware itu sudah siap, sudah


­kompatibel untuk dekat dengan Allah. Tapi karena
mentalnya kita keliru, kita malah menjauh. Kita
merasa sudah bersih, ada kotoran dikit-dikit ndak
masalah. Mental kita begitu.

Banyak diantara kita hari ini itu susah


­memaafkan. Kita sulit memaklumi orang lain,
orang lain juga sulit memaklumi kita.

Akhirnya yang terjadi seperti sekarang ini,


di sosial media itu kan isinya semua saling curiga
satu sama lain.

99
Kalau pakai istilah dari Al-Qur’an,
“­Setiap kelompok membanggakan kelompoknya
­masing-masing dan saling mencurigai kelompok
yang lain.”

Itu yang bikin hidup kita nggak enak. Terus


apa sih pemaafan itu? Maaf itu kata yang akrab di
mulut kita, cuma kita itu jarang yang sampai masuk
ke dalam, memaafkan beneran apa enggak. Kita
sering bilang maaf, tapi jangan-jangan kita ­nggak
tau kalau kita belum punya jiwa ­memaafkan.

Ada banyak definisi tentang pemaafan, tapi


ada yang menurut saya pas, pertama proses. Jadi
maaf itu butuh proses. Kalau langsung itu ­biasanya
bukan maaf, mungkin basa-basi atau otomatis.
Misal pas nyenggol orang, terus kita bilang, “Maaf
ya.” Itu biasanya nggak mikir panjang.

Tapi proses ini, proses yang disengaja.


­Kalau otomatis tadi kan berarti nggak ­disengaja.
­Disengaja itu maksudnya diniati beneran
­memaafkan. Setelah proses, ada sukarela. Ada
orang yang minta maafnya dipaksa, misalnya,
­“Kalau anda nggak minta maaf dalam dua kali dua
puluh empat jam, saya akan lapor polisi!”

Nah itu, tidak ketemu hakikatnya


­memaafkan. Orang minta maaf bukan karena niat
atau sengaja minta maaf, tapi malah karena ­takut.
Jadi memaafkan itu harus ada unsur sukarela dan
­sengaja.

100
Kemudian ada sikap mental yang berubah.
Dari awalnya tidak suka, jadi memaklumi. Kalau
batin kita masih belum memaklumi itu berarti
­belum maaf. Tapi masih basa basi. Kayak misalnya
kita pas Idul Fitri itu kan salam-salaman dengan
siapa saja, itu 90% basa-basi.

Sebab prosesnya nggak ada, ­perubahan


perilakunya nggak ada. Dan yang terakhir,
­memaafkan itu emosi negatif kita singkirkan.
Misal dendam, ingin membalas. Jadi dalam maaf
itu ada proses yang disengaja, kesukarelaan, ada
­perubahan, dan nggak ada lagi emosi negatif.

Kalau rumus memaafkan itu terpenuhi,


­berarti kita sudah memaafkan orang lain.

101
#44

Orang mikir kan itu ada beberapa macam,


pertama itu mikir gaya dogmatis, skeptis, relatif,
dan kebhinekaan. Kalau dogmatis itu, bagi dia
­kebenaran cuma satu, obyektif, absolut.

Kayak misal yang sering kita tahu, “Aku


yang benar, lainnya salah semua!”

Kalau dogmatis dipakai dalam realita hidup


yang macam-macam, hasilnya pasti konflik. Terus
nggak boleh dong orang merasa benar?

Boleh. Sumber masalahnya apa? Itu ­absolut,


saya benar yang lain salah semua. Bedakan ya
orang meyakini kebenaran dengan orang yang dia
merasa satu-satunya paling benar. Itu dua hal yang
berbeda. “Saya yakin benar.” dan “Saya yakin
semuanya pasti salah kecuali saya.”

Kedua, skeptisisme. Kalau ini tidak


­meyakini kebenaran apapun. Semua kebenaran
itu perlu ­diragukan. Contohnya, “Halah itu kan
­pendapatmu, yang lain bisa beda.”

Jadi tidak ada kebenaran pasti. Skeptis


agak susah kita pakai sebagai pendirian. Sebab
kita nggak bisa ngapa-ngapain kalau mikir skeptis.

102
Contoh, “Habis minum kira-kira lega nggak
ya?”

“Ah nggak mesti juga, ada orang minum


masih haus juga.”

Itu kan kita mau minum jadi ragu-ragu. Tapi,


pasti ada saat tertentu kita meyakini kebenaran
sesuatu, makanya ‘susah’ jadi orang skeptis.

Ada lagi, orang mikir itu relatif. Kalau ­relatif


itu ada banyak pandangan yang ­masing-masing
pandangan punya kebenarannya sendiri. ­Semuanya
benar. Ini juga agak susah dijadikan pedoman
praktis.

Misal, maling bener, ndak maling juga


­bener. Itu tergantung konteksnya.

Kalau kebhinekaan itu ada aspek ­dogmatis,


skeptis dan relatif. Itu setiap lapisan sosial dan
­budaya punya kebenarannya masing-masing, ­hanya
saja karena kita hidup di wilayah yang sama, kita
perlu visi bersama untuk mewujudkan cita-cita
bersama.

103
#45

Kalau hidup kita nggak ada unsur cintanya,


sebenarnya kita nggak sedang hidup. Sebab ­unsur
yang paling mulia, berharga dalam kehidupan
kita, fasilitas yang paling mewah yang diberikan
oleh Allah pada manusia itu cinta. Selain manusia
tidak.

Kalau nggak ada cinta, gimana kita harus


hidup?

Hidup kita nggak akan ada nilainya. ­Kalau


nggak ada cinta, maka hidup kita isinya adalah
pamrih-pamrih, kepentingan, egoisme, dan
­sejenisnya. Itu semua sumber segala macam
­konflik dalam kehidupan kita. Jadi kita butuh
­cinta. Bukan budak cinta lho ya.

Meski begitu, semakin dalamnya rasa, akan


semakin besar sakitnya. Cinta itu kan perjuangan,
pengorbanan. Sebab yang pertama dikorbankan
itu ego dan itu sakit. Misal kita pengennya A, B, C,
tapi karena ada dia, yang A, B, C itu harus diganti
D, E, F.

Tapi tidak ada yang bisa dicintai atau ­dibenci


sebelum dimengerti. Seseorang tidak punya hak
untuk mencintai atau membenci sesuatu kalau dia
belum memiliki pengetahuan tentangnya.

104
Cinta yang besar itu berasal dari
­pengetahuan yang dalam terhadap apa yang
­dicintai. Kalau hanya tahu sedikit, ya cintanya pun
cuma sedikit, atau sebenarnya bukan cinta.

Salah satu komponen cinta itu ­pengetahuan,


kita harus tahu dan mengejar pengetahuan ­tentang
yang dicintai. Misalnya gini, “Saya itu tambah
­kenal dia, malah tambah nggak cinta sama dia.”

Itu bukan cinta. Kita masih


­negosiasi-negosiasi, masih bersyarat. “Aku cinta
kalau kamu A, B, C, D, terus sekarang terbongkar
ternyata kamu E, F, G, jadi aku nggak cinta lagi.”

Itu berarti belum cinta, kita masih dagang,


masih kalkulasi, kira-kira kita untung apa enggak
ya? Jadi kalau cinta sejati, seperti apapun dirinya
tetap kita terima. Cuma cinta juga ada perhatian
dan tanggung jawabnya.

Nah mereka yang jatuh cinta dengan


­tindakan saja tanpa ilmu, ibarat pelaut yang
­masuk kapal tanpa kompas. Maka kita juga harus
belajar cara mencintai dengan baik. Kalau tidak,
mungkin cinta akan membawa kita ke arah yang
tidak jelas. Pahami ilmunya juga.

105
#46

Biasakan diri kita mengalahkan hal-hal ini,


kerakusan, kemalasan, nafsu dan kemarahan. Jadi
empat hal ini adalah faktor yang paling banyak
menaklukkan, mengalahkan, dan menghancurkan
orang.

Marah bisa membuat orang hilang kontrol,


terus nafsu, ambisi membuat orang sering kali
menghalalkan segala cara, malas bikin orang ­nggak
ngapa-ngapain, dan rakus bikin orang melakukan
yang nggak seharusnya.

Kalau dalam jiwa kita ada satu di antara


empat itu, cepat diperbaiki dan kalahkan. Kalau
punya empat kualitas itu, hidup kita malah berat.
Orang rakus itu nggak akan tenang,

Kenapa?

Dia selalu ingin lebih, sebanyak ­apapun


yang sudah dia miliki, kalau sudah wataknya
­tamak, rakus, ya ingin nambah terus. Kedua malas
itu ­sepertinya nggak perlu dijelaskan, ­sebab kita
semua sudah pengalaman.

Indahnya ­bermalas-malasan. Kalau tidak


­ditaklukkan malas ini, kita yang akan tergilas.

106
Ambisi dan nafsu itu juga bikin nggak
­tenang. Dikejar ambisi. Terakhir kemarahan itu
sudah pada ngerti kita semua.

Iya sih kita berusaha memerangi itu semua,


meski begitu, tetap hargai diri kita. Banyak orang
terlalu rendah memandang dirinya, itu berarti dia
nggak bersyukur.

Ya kita itu kadang-kadang ada rakusnya,


tapi kita masih manusia yang berharga, punya
­nilai, punya martabat, punya harga diri. Jadi
jangan tidak menghargai diri, banyak orang yang
sering memarahi dirinya. Ini juga nggak bagus.

107
#47

Hati itu punya dua fungsi, satu fungsi


­kepekaan. Dua fungsi menalar. Jadi pertama itu
hati yang merasakan, kedua hati yang reflektif.
­Kalau kepekaan bisa mudah kita pahami, kita
­harus peka terhadap situasi jiwa dan sekeliling
kita. ­Kalau ada orang sengsara atau sakit, hati kita
peka, bisa menangkap.

Kedua, hati yang menalar, ini fungsi


­reflektif. Hati juga bisa dipakai sebagai alat ­untuk
menangkap pengetahuan. Hati kadang-kadang
lebih jadi kunci, pengambil keputusan, penentu,
itu kan hati. Manusia itu banyak disetir rasa suka
dan tidak suka, itu adanya di hati.

Akal kita itu mendukung hati. Mendukung


itu maksudnya kalau kita memutuskan A, baru
akal ini kerja untuk cari argumen kalau A ini baik
dan benar. Jadi hatinya cenderung dulu. Maka
­cerdaskanlah hati kita. Sebab dia juga punya
­fungsi reflektif itu tadi.

Kecenderungan hati kita itu menentukan


tujuan hidup kita. Hati itu ibarat rajanya, kalau
akal ibarat panglima perangnya. Panglima perang
itu dia yang paling kuat mendukung keputusan
raja.

108
Ada bedanya refleksi dengan akal dan
hati, contohnya, kalau ada kawan yang ­akhir
­bulan, uangnya habis, terus dia pinjam pada
anda. Itu ­kalau anda pikir rasional, mungkin anda
­memutuskan gini, “Nggak usah dihutangi saja. Aku
saja juga nggak cukup.”

Itu boleh saja secara rasional. Tapi ­begitu


kita pakai hati, kesimpulannya jadi berubah.

“­Kasihan ya, uangku juga masih ada,


­sebagian aku pinjamkan saja, nggak apa-apa.
­Kalau aku ­diposisinya, mau makan saja nggak
­cukup, aku juga akan bingung.”

Itu yang membaca kesimpulannya siapa?

Hati nurani.

Terus lagi, kadang-kadang di pinggir ­jalan


itu ada himbauan kira-kira begini, “Jangan beri
uang para pengamen dan peminta-minta di ­jalan.”
­Rasionalnya, ya kita nggak usah ngasih. Tapi
kadang-kadang kan kita ketemu yang memang
­kasihan.

Meskipun kita nggak tahu dibikin-bikin atau


nggak, tapi ketika kita baca keadaannya pakai hati
nurani, “Halah dikasih saja, berapa sih ngasihnya,
paling dua ribu, yang penting dia bahagia meski
dikit.”

109
Tapi kalau pakai akal,

“Jangan dikasih ah, nanti jadi manja, ndak


mau kerja. Padahal uang ini kan juga hasil aku
kerja, ngapain ­dikasih-kasih.”

Itu rasio. Jadi hati kita itu juga ­harus


hati yang menalar, memutuskan. Hati punya
­kemampuan itu, nggak cuma sekedar kepekaan.
Jadi latih hati kita peka dan mampu menalar.

110
#48

Kita itu biasanya merasa diri kita benar.


Harusnya dibalik, sebenarnya setiap manusia itu
punya andil dalam kesalahan. Orang kan selalu
merasa, “Aku yang benar, aku yang baik.”

Harusnya setiap kita sadar kalau begitu ­lahir


kesalahan, kita juga turut andil dalam ­kesalahan
itu. Meskipun, pas bagian menghakimi saja, kita
nggak ­boleh menghakimi kesalahan orang lain.

Sadarlah kalau kita sangat mungkin


­melakukan kesalahan. Dan setiap orang juga
­begitu. Tapi jangan kita yang menghakimi
­kesalahan orang lain. Geser cara pandang kalau
kita sangat ­mungkin salah ini efeknya luar biasa.

Sekarang ini kan kita kadang-kadang agak


sumpek lihat orang yang mengklaim dirinya paling
benar, paling baik. Lebih kondusif kalau kita sadar,
kita mungkin juga keliru.

Biasanya kita itu kan gini, “Jangan ngomong


gitu, kamu mungkin salah.” Kan selalu menunjuk
orang lain.

Kebalik, harusnya, “Jangan terlalu percaya


sama aku, aku ya mungkin saja keliru.”

111
Klaim ‘saya paling benar’ ini nanti dalam
banyak kasus sering jadi sumber masalah. Sebab
merasa benar, orang lain juga merasa benar, terus
yang dipercaya sama, ternyata isinya beda, yang
terjadi nanti kan konflik. Beda kalau mental kita
dibalik tadi. Dalam pergaulan kan lebih kondusif
jadinya.

Setiap manusia itu adalah kasus yang


­khusus. Jadi edisi terbatas. Setiap orang akan
merasa ­dirinya istimewa, bahasa lainnya itu. ­Kalau
disuruh jujur juga setiap orang itu akan merasa
dirinya sendiri yang istimewa.

Terus kita itu akan selalu protes pada


­sesuatu yang nggak cocok dengan kebenaran
yang dia ­yakini. Bahasa lainnya, manusia itu
merasa istimewa dan selalu komplain. Kemudian,
­selalu merasa dirinya benar. Dan demi tiga hal
itu ­kadang-kadang, yang disalahkan bisa semua
­manusia lain bahkan Tuhan.

Itu semua dalam rangka menunjukkan ­kalau


‘Aku ini spesial’. Jarang orang yang ­merasa, “Saya
ini biasa-biasa saja kok.” Itu biasanya ­basa-basi
yang ngomong gitu. Aslinya ingin dianggap
­istimewa ­juga dengan ngomong biasa-biasa saja.

112
#49

Kita ini sebagai manusia modern, produk


­dunia otomatis, kita jadi kayak robot. Di situlah
sumbernya absurditas. Kayak robot kalau sudah di
program A ya A. Padahal hidup ini nggak ­sesimpel
itu. Ada peristiwa demi peristiwa, dinamis,
berubah-ubah, sementara kita terlanjur A dan A
terus.

Jadi ideal yang kita hayati sering nggak


nyambung dengan hidup sehari-hari. Dari mana
berarti itu munculnya? Mekanisasi hidup.

Hidup kita ini monoton. Sarapan jam 7,


makan siang jam 12, makan malam jam 7 malam
misalnya. Kita kan terus saja begitu. Meskipun di
sela-sela itu bisa lah makan cemilan. Pokoknya
­mekanisme hidup kita itu, nanti bangun jam ­segini,
kerja jam segini, pulang jam segini, tidur jam
segini. Gitu terus setiap hari. ­Rutinitas-rutinitas
yang menjebak. Kenapa menjebak?

Sebab kadang-kadang sudah nggak


­relevan lagi untuk dijalankan. Tapi dipaksa ­harus
­begitu terus. Ini jebakan cara berpikir ­modern,
­rutinitas-rutinitas. Ini yang bikin hidup jadi
­absurd, mempertahankan ideal kita yang sudah
nggak ­ideal lagi dengan situasinya.

113
#50

Akal pikiran yang kuat itu yang dibahas ide


atau gagasan, terus pikiran rata-rata yang dibahas
peristiwa, dan pikiran yang lemah yang dibahas itu
orang alias gosip.

Mana yang sering kita bahas?

Jadi kalau ingin pikiran kita kuat, ­angkatlah


ide sebagai topik pembahasan setiap harinya.
­Kalau orang biasa ya ngomong peristiwa, misal
tadi ada kebakaran. Tapi jangan ngomongin orang,
itu berarti pikiran kita lemah.

Nah untuk menghindari gosip nggak ­penting


kita bisa pakai logika dari Socrates. Ini bisa kita
­sebut logika anti gosip, jadi kalau ada yang mau
gosip pakai logika ini. Begini ceritanya, suatu
­ketika ada teman datang ke tempat Socrates,
­filsuf Yunani.

Temannya itu bilang gini, “Eh Socrates,


kamu tau nggak, aku punya kabar baru, ada orang
yang ngomongin muridmu lho.”

Socrates bilang, “Sebentar, sebelum kamu


kasih kabar, jawab dulu tiga pertanyaanku. ­Kalau
tiga pertanyaanku terjawab, oke lah nggak ­apa-apa
kamu kasih kabar.”

114
“Pertanyaan pertama, yang kamu omongkan
itu pasti benar atau bisa keliru?” Lanjut Socrates
bertanya.

“Ya aku nggak tahu sih pastinya, kan aku


cuma dapat kabar, dapat informasi, belum aku
cek.” Jawab temannya itu.

“Oke, pertama berarti jawabannya tidak


pasti benar. Kedua, yang mau kamu omongkan itu
hal-hal yang baik apa yang buruk?”

“Ya yang buruklah, mana ada sekarang ­gosip


hal yang baik. Mesti ngomong yang ­jelek-jelek.
Makanya aku mau cerita ini sama kamu.”

“Oke, berarti bukan hal yang baik. Kalau


pertanyaan satu dan dua tadi nggak lulus, ­nggak
apa-apa deh. Tapi yang ketiga ini harus lulus. Yang
mau kamu omongkan padaku itu ada gunanya
­nggak buatku?” Tanya Socrates.

“Ya menurutku sih nggak terlalu penting,


nggak tahu sebenarnya juga nggak apa-apa.”

“Ya udah, berarti yang mau kamu ­omongkan


itu nggak pasti benar, nggak bagus, dan nggak
ada gunanya. Ngapain kamu capek-capek cerita?
Buang-buang energi dan waktu.”

Jadi itulah pikiran yang lemah.

115
#51

Surga dan neraka itu bukan tujuan. Orang


mukmin telah keliru karena mengerjakan shalat,
jungkir balik mengharapkan surga. Kita shalat lima
kali sehari hanya untuk memohon imbalan surga.
Bagi Jalaluddin Rumi, orang seperti itu tak tahu
diri.

Kalau pun manusia itu menyadari shalat itu


dilakukan karena kebutuhan diri manusia sendiri
untuk menyembah Tuhannya, manusia ternyata
tidak menyadari keserakahannya dengan minta-
minta imbalan surga. Manusia banyak yang terbius
untuk sibuk menghitung-hitung pahala tiap hari.

Jadi maksud kritik ini, kita itu belum


­serius merindukan Allah, menuju pada Allah. Kita
­masih sibuk dagang, apapun yang kita lakukan,
kita ­nunggu imbalan. Finalnya yang kita mau kan
­imbalan surga itu. Jadi itukah yang ada di kepala
kita tiap hari?

Kita masih level dasar, kayak anak-anak


­kalau mau shalat, nanti dikasih hadiah. Terus
­sekarang berarti kita milihnya mau dikasih surga
tapi tanpa Allah gitu?

Atau hanya dengan Allah saja?

116
Kita jangan dagang sama Allah. Kurang apa
Allah ngasih kita, kok masih minta aja ­kerjaan
kita itu tiap hari. Kita dibikin ada itu sudah luar
­biasa, sebab kita ini bisa saja nggak ada. Tapi
­Allah ­mengijinkan kita ada. Lha kok kita pas shalat
­sehari lima kali, itu pun nggak lama, malah minta
surga.

Surga dan neraka itu letaknya pada ­manusia


masing-masing. Misal orang bergelimang harta,
hidupnya selalu merasa terancam pesaing bisnis,
tidur nggak nyenyak, makan nggak enak, itu bisa
kita sebut neraka.

Terus ada petani di lereng gunung ­terpencil,


hasil bercocok tanamnya cukup untuk makan
­sekeluarga, tinggal di rumah kecil yang ­tenang,
hatinya sesejuk udara di sekitarnya, tenang
­jiwanya, itulah surga.

Kehidupan ini sudah memberi kita mana


surga, mana neraka. Kalau memang nyari surga
dan neraka, ngapain nunggu besok?

Sekarang kita bikin surga sendiri sudah bisa,


sudah cukup. Semua fasilitas yang diberi Allah hari
ini sudah bisa menciptakan suasana surga. Kecuali
kita sendiri yang kurang pintar bersyukur.

Apa sih yang kita kurang? Kecuali hasrat


kita yang nggak jelas minta macam-macam.

117
Kita nggak bisa menikmati yang sekarang
kita punya. Kalau sudah menikmati apa saja yang
dikasih Allah, saat itu juga surga lahir. Biasanya
orang itu cenderung fokus pada apa yang dia ­belum
punya. Itu yang bikin orang susah bersyukur. Ndak
bisa menemukan surga.

Kalau bahasa anak sekarang, nggak usah


lebay mengejar hasrat-hasrat kita itu. ­Sangat
­banyak nikmat dari Allah. Itu kalau bisa kita ­kreatif
bersyukur, hidup kita bagai surga.

118
#52

Ada cerita dari Meng Zi, filsuf China,


­ceritanya begini, Meng Zi ini sejak usia tiga tahun
ditinggal ayahnya, yang mengasuh ibunya saja.
Ibunya Meng Zi ini pintar, jadi ia ingin memberi
pendidikan terbaik untuk anaknya.

Kemudian mereka sampai pindah-pindah


rumah tiga kali, sebab ingin memberi lingkungan
yang baik untuk Meng Zi. Pertama, rumahnya Meng
Zi dan ibunya itu di dekat kuburan.

Meng Zi ini anak yang cerdas, jadi ketika


rumahnya dekat kuburan, ya perilakunya mirip
karena sering lihat orang takziah, nangis, meratap
di kuburan, itu berpengaruh sama dia.

Meng Zi pintar menirukan itu semua. Ibunya


khawatir,

“Ini kalau dibiarkan, anakku nanti jadi ahli


nangis, ahli meratap.”

Akhirnya pindah, rumah kedua dekat pasar.


Di pasar yang dilihat Meng Zi itu orang jual-beli,
nyari untung, sekali-sekali juga ribut sambil tipu
menipu, dikit-dikit bohong. Terus ibunya Meng Zi
lama-lama lihat kalau anaknya meniru yang kayak
begitu juga.

119
Pindah lagi mereka ke dekat sekolahan. Nah
diasumsikan ini mungkin lingkungan yang ­paling
tepat.

Jadi cerita ini adalah pelajaran tentang


carilah lingkungan yang baik. Dimana kita tinggal,
dengan lingkungan seperti apa, biasanya begitulah
diri kita terbentuk. Entah sadar apa tidak, perilaku
kita akan mengikuti.

Pelajaran kedua, tentang masa kecilnya


Meng Zi. Dia bolos sekolah suatu hari, terus begitu
pagi-pagi kok pulang, ditanya sama ibunya, “Lho
kok pulang?”

“Kangen sama ibu.” Jawab Meng Zi. Ibunya


diam. Ibu Meng Zi ini kerjaannya menjahit, terus
ibunya ngambil kain, kainnya dipotong kecil-kecil,
terus dibuang di depan Meng Zi.

Jadi itu pelajaran kalau jangan sampai kita


jadi orang nggak berguna seperti kain itu. Kain
itu jadi nggak berguna karena dipotong dengan
­potongan yang keliru. Jangan sampai kita jadi
orang yang sia-sia, ada banyak kesempatan, ya
yang serius.

Sayang waktu, sayang kesempatan, mau


jadi orang berkualitas malah nggak jadi. Dan
­memang akhirnya Meng Zi ini jadi tokoh besar.
Banyak gagasan besar berpengaruh di kebudayaan
China dari pemikiran Meng Zi ini.

120
#53

Dari mana adanya kejahatan?

Manusia itu kan kodratnya baik, tapi kok


banyak kejahatan?

Kejahatan itu karena pengaruh lingkungan,


pertama. Kayak ceritanya Meng Zi pas kecil itu,
kalau hidup di kuburan, mentalnya terbentuk jadi
orang yang meratap-ratap, putus asa, sedih. ­Kalau
pasar, ya mental pedagang, cari untung, nggak
mau rugi, kalau perlu ya manipulasi.

Jadi lingkungan itu menentukan. Kenapa


kok kita itu rasanya jahat itu biasa, coba di cek
sekeliling kita. Jangan-jangan lingkungan kita
mendukung kejahatan itu. Silahkan cek kawan-
kawan kita, sosial media kita, yang kita tonton,
kita follow, dan seterusnya.

Sebab kejahatan kedua karena ­penyangkalan


pada kodrat manusia. Misal kita merasa nggak
enak bohong, tapi kita sangkal diri kita sendiri,
“Biar ah, orang lain juga bohong kok.”

Akhirnya kodrat manusia baik kita


­tersingkirkan. Bahkan sampai di titik ada orang
yang mungkin putus asa dengan dirinya, semua
kodratnya dia tabrak.

121
Memandang dirinya negatif, “Ah sudah lah,
saya ini orangnya hina kok, saya ini sudah nggak
perlu aturan-aturan mulia. Saya ini sudah rusak,
mau apa?”

“Sudahlah itu yang bagus-bagus, ­baik-baik


jatahnya mereka, saya ini cuma apa, cuma
­preman.”

Ada orang begitu.

Itu namanya ­penyangkalan. Dari


­penyangkalan itu bisa ­melahirkan ­kejahatan. Jadi
ada orang yang ­menyangkal, ada yang ­dipengaruhi
lingkungan. Kok bisa melahirkan ­kejahatan itu
tadi?

Sebab kita sedang melawan kodrat kita


sendiri. Karena yang kita lawan yang baik, ­biasanya
hasilnya nggak baik juga. Terus sebab kejahatan
ketiga, kurang refleksi diri.

Kejahatan itu lahir karena kita tidak bisa


memahami diri kita sendiri. Kalau kita ngerti
siapa diri kita, bisa refleksi, “Oh saya ini sebagai
­manusia hakikatnya baik.”

Mungkin kita tidak akan melakukan


­kejahatan. Ada nasihat lama, kebijaksanaan itu
sumbernya tiga, pertama mudah, kedua mulia,
ketiga ‘sakit’. Yang mudah apa?

122
Bijaksana itu paling mudah, meniru.
­Mungkin kita refleksi diri sendiri susah, ada cara
paling gampang, tirulah orang yang baik. Misal,

“Saya mikir sendiri, baca diri sendiri, kok


susah ya untuk melahirkan kebaikan.”

“Ada cara lebih gampang, tiru saja kalau


lihat orang baik, mulia, sholeh. Tiru perilakunya.
Otomatis anda nemu kebijaksanaan.”

Terus cara yang mulia itu pakai ­refleksi


diri. Kemampuan kita untuk muhasabah, ­berpikir,
­memahami diri kita. Ini cara mulia untuk
­menemukan kalau manusia itu hakikatnya baik.

Ada cara menyakitkan, apa itu?

Pengalaman.

Jadi harus mengalami dulu baru bisa tahu


hikmahnya. Ini biasanya sering menyakitkan. Misal
harus mengalami dipecat dulu, baru tahu, “Oh iya
ya, harus serius saya.”

Nah itu kan sakit. Kita baru ketemu


­rahasianya serius. Ngalami hancur-hancuran dulu,
baru kita sadar. Tapi lebih ngeri lagi ada orang yang
sudah ‘sakit’, tapi nggak bisa ngambil ­pelajaran.
Itu sudah lebih tragis lagi. Dan sering terjadi.
Tragedinya bolak-balik terjadi.

123
Manusia itu kan gitu, keras kepala. Di
­Al-Qur’an banyak yang bilang itu, keras ­kepalanya
manusia, ngeyelnya luar biasa.

Sudah dikasih ­pelajaran bolak-balik, dari


yang lembut sampai keras, tapi tetap nggak mau
ngambil pelajaran. Nah dari situlah nanti muncul
­kejahatan-kejahatan.

124
#54

Jadi ada cerita, suatu ketika ada pejabat


dari daerah Song ingin mengurangi pajak dan
­pungutan. Terus dia bertanya sama Meng Zi,

“Saya ingin menghapuskan pungutan tapi


kita tidak punya penghasilan cukup. Bagaimana?
Apa sebaiknya memotong pungutan sedikit saja
dulu dan tunggu tahun depan sebelum ­menerapkan
penghapusan pungutan?”

“Ada orang yang setiap hari mencuri ayam


dari tetangganya, dia sudah diberi tahu ini bukan
kelakuan orang yang bermoral, terus orang itu
menjawab,

Oke saya akan mengurangi jumlah ayam


yang saya curi. Saya akan mencuri seekor ayam
setiap bulan saja. Kemarin kan tiap hari. Jadi satu
tahap demi satu tahap dan tahun depan nggak
akan mencuri lagi.” Jawab Meng Zi.

Kita kan sering semacam ini. Jadi kalau itu


kejahatan, beda dengan kebaikan ya, kebaikan
itu kadang-kadang kita perlu step by step, tapi
­meninggalkan kejahatan jangan step by step.

Ya sudah tinggalkan kalau itu memang


­buruk.

125
Kita biasanya bohong sama orang, “Tahun
lalu kan saya bohongnya 75%, ya tahun ini 50%
­nggak apa-apalah.”

Begitu biasanya mikirnya kita. Ya nggak.


Kalau sudah tahu bohong itu buruk, ya tinggalkan,
berusaha untuk nggak bohong sama sekali.

Kejahatan harus ditinggal semua, ­jangan


dicicil-cicil. Kalau kebaikan mungkin kita bisa
­nyicil. Tapi kalau barang salah, ya ­tinggalkan,
­semaksimal kita untuk nggak sama sekali.
­Analoginya kayak orang nyuri ayam tadi.

Nasehat ini diberlakukan pada para ­penguasa


oleh Meng Zi. Jadi untuk kita, apapun yang kita
temukan kejahatan, kesalahan, dosa, maka tugas
kita adalah sekuat mungkin meninggalkan seratus
persen. Berniatlah untuk tidak sama sekali.

126
#55

Rumi bilang, “Jangan engkau seperti iblis


hanya melihat air dan lumpur ketika memandang
Adam. Lihatlah di balik lumpur, beratus-ratus ribu
taman yang indah.”

Itu sindiran keras buat orang kayak kita


sekarang ini yang salah satu landasan berpikirnya
adalah Su’udzon, nganggap orang lain buruk,
­khususnya yang berbeda dengan diri kita. Kalau
sudah benci, nggak akan ada baiknya sedikitpun.

Di Al-Qur’an, Allah berfirman, “...Dan


­kutiupkan dalam diri manusia itu sebagian dari
ruhku.”

Itu kan untuk semua manusia. Jadi yang


kita sangka buruk, belum tentu seluruh dirinya itu
buruk semua. Hanya saja, mungkin di ­orang-orang
yang jahat atau buruk ini, ‘ruhnya Allah’ itu
­terhijab banyak sekali. Sehingga gelap. Tapi dia
tetap manusia, harus ditolong.

Jangan jadi kayak Iblis, melihat buruknya


semua manusia aja. Orang yang melihat buruknya
saja itu seperti melihat air dan lumpurnya Adam
tadi itu. Padahal manusia itu punya ratusan ribu
taman yang indah.

127
Manusia itu indah. Kehidupan manusia itu
juga indah, ya kita sendiri yang seringnya malah
merusak.

Sekarang ini kita sering jadi Iblis.

Misal para perampok, maling itu ya jahat,


tapi pas dia makan ya baik. Sebab dia merawat
jasadnya yang dititipkan oleh Allah. Waktu si
­maling pulang terus dia ternyata punya anak dan
nyuapi anaknya makan, itu ya baik.

Malingnya itu memang buruk. Tapi banyak


sisi lain yang bisa jadi baik dalam kehidupannya.
Tapi begitu kita benci, ya yang baik-baik ini nggak
akan kita lihat. Sebaliknya juga, begitu kita suka
yang jelek-jelek nggak kita lihat.

128
#56

Hidup kita itu kan punya tiga variabel, ada


kesenangan, kehormatan, dan kebijaksanaan. Nah
kombinasi dari tiga itu, kalau porsinya tepat akan
menghasilkan kebahagiaan. Kesenangan ­boleh,
tapi jangan overdosis. Ketika overdosis, kita
malah akan diperbudak oleh nafsu. Misal, makan
iya ­boleh, tapi jangan seharian mikir makan terus.

Baru selesai sarapan, mikir, “Nanti enaknya


makan siang dimana ya?” Ini mikir makan doang.
Jadi, hati-hati nyari kesenangan. Terus baru ­selesai
nonton film, nyari film lagi misalnya. Ya hidup kita
akan selalu cuma nyari senang aja.

Ketika kita cuma nyari senang aja, akhirnya


apa?

Rasionalitas kita mati. Nggak pernah ­dipakai


soalnya. Pokoknya senang aja, rasional gak ­rasional
udah gak penting. Misal lagi, pacaran terus sampai
overdosis. Padahal makin sering ­pacaran, makin
gampang putusnya.

Soalnya manusia punya zat kimia untuk


orang jatuh cinta. Zat kimia itu bertahannya cuma
empat tahun paling lama, setelah empat tahun
­biasanya sudah nggak hangat lagi.

129
Terus yang kedua, ada kehormatan atau
­status. Ada orang yang kesenangan itu ­bukan jadi
tujuannya. Ingin sukses, status sosialnya bagus,
­ingin jadi A, B, C, D, itu biasanya demi ­kehormatan.
Demi pengakuan. Baik dari ­kesenangan atau
­pengakuan kehormatan ini nggak akan lahir
­kebahagiaan.

Kenapa?

Sebab yang menyebabkan itu semua


­tergantung dari luar diri kita. Kesenangan itu kan
kita bisa senang kalau kebutuhan kita yang di luar
diri kita itu terpenuhi.

Terus kalau kehormatan itu kan kalau


pas kita dihargai orang. Kita berharga itu bagus
tapi kalau butuh dihargai orang lain itu malah
­memberatkan diri.

Sebab orang lain itu bisa berubah-ubah,


semaunya sendiri. Kalau ­diperbudak dua itu, ya
akan susah sendiri, nggak akan bahagia.

Ketiga itu ada kebijaksanaan. Ini yang


­menyeimbangkan. Kesenangan itu bagus, kita
­boleh nyari senang. Kehormatan bagus, ingin jadi
orang yang berharga itu bagus.

Kuncinya jangan sampai kita overdosis. Nah


kebijaksanaan ini yang bikin kita nggak overdosis.

130
Kebijaksanaan itu bukan hanya benar, tapi
juga bijaksana. Sumbernya emang ­kebenaran
tapi kebenaran yang naik kelas dengan nama
­kebijaksanaan. Misal, ada kawan kita itu ­berlebihan
berat badannya, itu memang kebenaran.

Terus kita bilang gini, “Hai gendut!”

Ya memang benar dia gendut, tapi itu nggak


bijaksana. Kasihan dia.

Jadi kuncinya ada di kebijaksanaan.


­Kebahagiaan bukan dalam kesenangan atau
­pengakuan kehormatan, tapi kebahagiaan butuh
kebijaksanaan.

131
#57

Ini kritikan untuk kita semua, jadi yang


­kesinggung jangan marah.

“Syahadat, shalat, puasa itu sesuatu yang


tidak diinginkan. Jadi tidak perlu.”

Kalimat itu trik. Siapa yang tidak


­menginginkan?

Kita.

Kita itu diperintahkan tapi kelihatannya


berat banget. Tapi pas ada bonus, senang. Misal
lagi enak-enak nongkrong, adzan. Komentar kita
dalam hati, “Aduh lagi asik ngobrol.”

Ibadah kita malah kayak beban jadinya,


­bukan kegembiraan. Jadi sebenarnya diakui atau
tidak kita sebenarnya nggak ingin shalat. Puasa
juga begitu. Seandainya sekarang ini turun ayat
kalau Ramadhan itu boleh puasa, boleh tidak. Kita
akan milih nggak puasa 30 hari.

Sesuatu yang tidak kita inginkan itu berarti


kita nggak rela, nggak ikhlas. Di Al-Qur’an ada ayat
begini, “Berapa banyak orang puasa hanya dapat
haus dan lapar saja.”

132
Itu sebenarnya senada dengan kritikan ini.
Ibadah kita itu nggak kita inginkan ­sebenarnya.
­Sebab kita terpaksa semua, mana ada nilai
­perbuatan yang terpaksa. Kejahatan pun kalau
dipaksa kan nggak bisa dihukum orangnya.

Kritik kedua, “Adapun zakat, naik haji itu


‘palsu’ semua.”

Kenapa kok disebut palsu?

Sebab sering kali ibadah ini jadi media


­untuk pamer. Haji itu kan kadang-kadang jadi
ajang pamer yang luar biasa. Ada huruf H di depan
nama itu kan sudah luar biasa. Zakat juga begitu,
jadi ajang pamer jumlah.

Sudah palsu itu maksudnya aslinya ­nggak


palsu, cuma sekarang kita yang bikin ibadah
itu ­kayak palsu. Itu semuanya penuh penipuan
­terhadap sesama manusia. Lho kok sesama ­manusia
menipunya?

Sebab Allah nggak mungkin tertipu. ­Akhirnya


yang ketipu sesama manusia.

“Wah ini orang dermawan, sudah haji lagi


pasti karakternya baik.”

“Orang itu rajin ke Masjid lho, pasti orang


baik-baik.”

133
Dan orang yang menipu sesama manusia itu
akhlaknya rusak atau bahasa gaul sekarang nggak
ada akhlak. Kebanyakan orang-orang begini itu
­nggak ngerti ilmunya, hanya ikut-ikutan. Ya yang
lain shalat ikut shalat. Terus yang lain zakat ikut
zakat, haji ikut haji.

Ilmunya nggak ngerti, jadi ajang pamer,


pencitraan. Pencitraan kalau “Aku ini religius lho,
aku ini sholeh/sholehah lho.”

Sebenarnya perilaku kita ini nggak masuk


akal. Nggak usahlah mencitrakan diri lebih alim,
lebih sholeh, lebih mulia, buat apa?

Di dunia ini semua manusia sama. Mereka


semua mengalami suka duka, menderita sakit,
­nggak ada beda dengan yang lain.

Jadi itulah titik-titik kepalsuan kita. ­Bukan


shalatnya, zakatnya, hajinya, puasanya yang
salah, tapi manusianya yang palsu semua.

134
#58

Kita adalah raja atas diri kita. Dan yang


­harus menjadi raja adalah akal kita. Jadi kuasai
diri kita sendiri.

Dengan apa? Dengan akal pikiran. Jangan


mau dijajah oleh ­apapun atau siapapun. ­Bebaskan
diri kita, ­termasuk dari diri kita sendiri. Itulah
­kebebasan. Bebas itu maksudnya apa?

Bebas itu kekuasaan rasionalitas atas


­sifat hewani kita yang kita diperbudak olehnya.
­Bebaskan diri kita sendiri dari itu dan jadikan
­satu-satunya yang menyetir kita itu akal. Jadi
kalau sudah bisa menguasai diri, maka kita akan
mandiri.

Sekarang ini masih sering terjadi konflik


dalam hidup kita antara rasionalitas dan sifat
­hewani itu. Misal, kita cari ilmu, ­ditakut-takuti
bisa dapat kerja apa tidak. Terus kita ­belajar,
­ditakut-takuti bisa makan apa tidak. Jadi
­rasionalitas selalu ­dilawankan dengan naluri
­hewani kita.

Tapi normal manusia itu punya naluri


­hewani, cuma harus disetir, jangan dibebaskan.
Yang nyetir itu akal sehat kita. Biar akal kita ­sehat,
minum vitamin biar akal sehat. Apa itu ­vitaminnya?

135
Baca.

Bahkan agama pun bisa kita tangkap


­hikmahnya kan pakai akal dulu. Kalau nggak pakai
akal ya keberagaman kita akan kering, kita jadi
kayak robot.

136
#59

Di Athena itu ada suatu kuil namanya kuil


Delphi. Di kuil Delphi itu ada semacam ­tokoh
agama puncak, biasanya perempuan. Orang
sana ­menyebutnya ya semacam paranormal lah,
­sebutannya Orakel.

Suatu ketika si tokoh puncak ini ditanya,

“Siapa sih orang paling bijaksana di Yunani?


Di Athena ini?”

Jawabannya dia, “Orang paling bijaksana


itu adalah Socrates.”

Terus orang-orang heran. “Kok bisa ya,


­padahal Socrates itu kelihatannya bodoh banget,
apa-apa ditanyakan, tapi kok malah dianggap
­paling bijaksana?”

Terus mereka nanya kayak gitu ke Socrates.


Jawabannya Socrates, “Karena hanya akulah orang
yang tahu bahwa aku ini tidak tahu apa-apa.”

Kebanyakan orang merasa dirinya ­ngerti


apa-apa. Dan hanya Socrates yang tahu kalau
­dirinya tidak tahu apa-apa. Nah untuk bisa ­sampai
ke tahap kalau tidak tahu apa-apa itu nggak
­gampang.

137
Sampai detik ini mungkin kita itu ­masih
merasa kalau kita sudah tahu banyak hal.
­Kadang-kadang kita agak nggaya, agak nyombong
kalau sudah tahu semuanya. Maka begitu kita
ngerasa ngerti itu alamat kita sebenarnya bukan
orang bijaksana.

Begitu kita sadar kalau kita tidak tahu, maka


kita akan belajar terus. Kita akan terus mengejar
ilmu pengetahuan. Siapapun yang merasa sudah
tahu, maka dia akan berhenti.

Padahal apa iya sudah tahu?

Dan hampir semua tokoh besar itu adalah


orang-orang yang haus ilmu pengetahuan. Jadi
mulai sekarang ini, di geser tujuan kita, jadikan
diri kita itu orang yang sadar kalau kita ­sebenarnya
tidak tahu apa-apa.

Dengan begitu kita akan dapat banyak ilmu


pengetahuan baru setiap hari. Sementara yang
­sudah merasa terisi penuh, ya dia akan selesai di
situ.

138
#60

Rahasia hidup bahagia itu tidak ­ditemukan


dalam mencari yang lebih, lebih kaya, lebih
cakep, lebih enak, nggak disitu. Jadi bahagia itu
­meningkatkan kapasitas diri kita untuk menikmati
apa yang kurang sempurna.

Jadi bahagia itu misalnya bukan nyari ­pacar


yang lebih cakep, tapi kemampuan kita untuk
­menerima pacar yang biasa-biasa saja.

Makin kita bisa menerima yang biasa-biasa


saja, makin kita bahagia. Tapi kalau ngejar yang
lebih, itu nggak akan bahagia. Sebab akan ada
yang lebih dan lebih lagi.

Makin kita canggih menikmati yang lebih


rendah, maka hidup kita akan lebih bahagia. ­Makin
kita akan bersyukur.

Misal kita ke angkringan saja sudah cukup,


terus kita dibawa ke restoran, kita akan ­bahagia.
Kalau kita dibawa ke restoran nggak cukup,
­dibawa ke restoran bintang sepuluh pun nggak ada
­rasanya.

Kita akan nuntut yang lebih kalau kayak


gitu.

139
#61

Orang-orang yang mulia itu punya karakter


anak-anak.

Lho maksudnya karakter anak-anak apa?

Ketulusan. Tanpa pamrih.

Anak-anak itu kalau membantu ­kawannya,


dia hanya ingin kebahagiaan membantu ­kawannya.
Terus kita perhatikan anak-anak itu, kalau lagi
main dan berbagi sama kawannya kan dia ndak
perhitungan. Kadang kalau pas lagi berantem sama
kawannya bisa rukun lagi, kayak nggak ­terjadi
­apa-apa.

Terus kalau dia merasakan A, anak-anak


akan bilang A. Jadi sesuai kodratnya. Kalau kita
kan nggak, apa yang dirasakan A, tapi keluarnya
B. Sebab kita sudah ‘dewasa’, nggak anak-anak
lagi, sudah pintar kalau cuma urusan bohong
­berbohong.

Kita sudah tertutupi macam-macam. Suka


tapi bilangnya nggak suka. Nggak suka bilang
suka. Kita sudah sering rumit dengan karakter kita
­sendiri. Maka manusia mulia itu tulus, jujur, apa
adanya seperti anak-anak.

140
#62

“Jadi orang baik itu tidak bisa hanya paham


tentang kebaikan atau ngomong tentang kebaikan.
Orang baik itu adalah orang yang mempraktekkan
kebaikan yang dipahami dan diomongkannya.”

Ini kritik untuk orang-orang sofis pada


­zaman Yunani kuno. Orang sofis itu maksudnya
orang-orang pintar, tapi cuma bayaran, orang yang
ngerti filosofi tapi dipakai untuk cari keuntungan
diri sendiri. Jadi maju tak gentar, membela yang
bayar.

Itu kaum sofis. Siapa yang datang, berani


bayar berapa, ingin kebenaran seperti apa, akan
dikasih.

Jadi orang baik itu bukan yang cuma


­sibuk menceramahkan kebaikan, tapi orang
yang ­menjalani kebaikan. Meskipun kita ­sebagai
­masyarakat sekarang ini sering ketipu. Kita ­ngelihat
orang ngomong, ceramah tentang ­kebaikan, terus
dianggap orang itu pasti baik.

Orang baik itu diukur dari perilakunya. Ini


yang sering dilupakan orang-orang. Kita sekarang
ini terlalu banyak omong, mengumbar kata-kata
tanpa praktek.

141
Kita menampilkan diri sebagai penjaga
moral, yang hanya bisa mengatakan hal baik dan
buruk, tanpa ada prakteknya.

Seperti Rasulullah. Akhlak Rasulullah itu


seperti apa?

Seperti Al-Qur’an yang berjalan.

Nggak usah capek-capek nyari tafsirnya,


­gimana jadi muslim yang berakhlak itu tiru saja
kehidupan Nabi Muhammad SAW. Seperti itulah
yang diinginkan Al-Qur’an.

142
#63

Kalau hidup ini absurd, sumpek, terus apa


saya harus bunuh diri atau ayo ngopi saja?

Meskipun hidup ini absurd, rumit,


­sumpek, ya nikmati saja. Ya memang ketika kita
­menghadapi hal absurd, kita akan ketemu tiga
hal ini, ada orang yang putus asa, terus bunuh
diri. Bunuh diri itu ­jalan pengecut, nggak berani
­menerima ­tantangan. Jadi langkah ini sangat tidak
­direkomendasi.

Eman-eman kalau bunuh diri. Kan masih


banyak yang bisa dimanfaatkan dari diri kita,
dalam hidup kita, macam-macam.

Yang kedua, banyak juga yang kita itu kurang


maksimal. Kalimatnya gini, “Sudahlah ­nggak usah
mikir rumit tentang hidup, pasrah saja.”

Kita halangi diri kita untuk nggak mikir lagi.


Pasrah saja seratus persen. Ini yang ‘dibunuh’
akalnya. Ini juga tidak direkomendasi. Jangan buat
pelarian, nanti malah agama cuma jadi pelarian
terus nanti Tuhannya malah dikambing hitamkan.

Ketiga, itu akui saja kalau hidup memang


absurd. Langkah pertama yang bisa kita lakukan
ya terima saja keruwetan hidup ini.

143
Kalau kita nggak mau menerima hidup kita
itu memang absurd, itu kayak kita nggak berani
menghadapi kehidupan. Padahal kehidupan itu
cirinya absurd. Ini yang bisa direkomendasi kan
untuk hidup kita, terima saja, hadapi.

Lha terus gimana? Hidup kita asal saja


­begitu?

Nggak. Setelah kita terima kalau hidup


ini absurd dan kita tidak mencari jalan untuk
­melarikan diri, maknai saja hidup versi kita, tanpa
harus ada, “Ini lho makna terbaik, makna ­puncak.”

Maknai saja hidup kita menurut versi


­masing-masing.

144
#64

Ini agak sulit, kadang-kadang kita sabar itu


terus malah diartikan pasif. Sabar iya, tapi tetap
berjuang semampu kita. Itu tugas kita, nggak
­rumit-rumit sebenarnya. Nggak ada orang yang
bebas masalah, bebas penderitaan.

Jangan dipotong-potong tapi, ada orang


yang berusaha saja, tapi nggak sabar. Ada yang
­sabar saja, tapi nggak usaha. Hidup ini ada
­sunnatullah, sunnatullah itu hidup ini ya ada
­rumusnya. ­Kalau kita malas, ya suksesnya lama.
Kalau nggak makan, ya lapar. Itu sunnatullah.
­Sunnatullah ini yang harus kita pedomani dalam
berjuang.

Kalau masih gagal, ya sabar dulu, coba


­berjuang lagi. Sebab hidup ini ya ada ­qudratullah, ini
ketika Allah dengan kehendakNya ­sewaktu-waktu
bisa diintervensi. Kalau Allah berkehendak, ya
­nggak ada satu pun yang bisa menghalangi.

Tapi qudratullah ini sebaiknya jangan


­dijadikan pedoman. Itu pas usaha sudah kita
­lakukan, berharaplah qudratullah datang.

Jadi, sabar dalam musibah itu bisa kita


­jadikan senjata untuk menghadapi penderitaan.

145
#65

Cinta itu kuat, energinya luar biasa.

Orang tua demi anaknya, rela ­bersakit-sakit.


Ibaratnya lagi, orang pacaran itu juga disuruh
­jemput pagi-pagi ya mau, disuruh traktir ya mau,
meski nggak punya uang dibelani hutang. Itu kan
energi cinta, nggak enak pun kalau sama dia, ­nggak
masalah. Kita bisa menahan susah yang ­gimana
pun.

Kekuatan cinta, bikin energi kita ­berkali


lipat. Ya syukur kalau ke Allah. Tapi kalau
yang ­bukan ke Allah, manfaatkan energi kita
­sebaik-baiknya, jangan sampai terlampiaskan
­secara nggak ­bermanfaat, sia-sia.

Coba energi cinta kita itu dipakai buat yang


lebih manfaat, atau alihkan energi ­cinta kita ­untuk
Allah. Kalau sudah jatuh cinta sama Allah, ­jangankan
shalat lima waktu, ­bangun ­malam-malam untuk
shalat tahajud juga ­berangkat. Saking asyiknya
sama Allah.

Jadi kalau kita sudah jatuh cinta, nggak ada


yang namanya berat. Misalnya shalat itu kan Allah
nyuruh kita untuk ketemu Dia, paling nggak lima
kali sehari. Itu kan menunjukkan kalau sebenarnya
Allah itu ya cinta sama kita.

146
Allah ingin ketemu kita setiap hari. Tapi
­kitanya yang sering nggaya, nggak serius cintanya.

Shalat kita itu biasanya ya nggak sampai


lima menit, tiga menitlah sama kawan misalnya.
Pasti kita cepat-cepat. Allah baru mau melihat
kita, “Lho kok sudah selesai?”

Mungkin kaget juga malaikatNya. Dan


kita tiap hari kayak begitu itu, kadang-kadang
­bolong-bolong juga ibadahnya, Allah tetap sabar
sama kita. “Ya besok lagi, Aku tunggu.”

Besoknya kita nggak serius lagi, sambil


menghadap tapi hati kita nggak di situ. Allah ya
paham itu. Saking sayangnya, saking cintanya ­Allah
sama kita, kalau Allah nggak sayang ya mungkin
kita sudah disentil dari dulu-dulu.

147
#66

Gimana caranya biar kita bisa lebih dekat


dengan Allah?

Analoginya seperti kisahnya Laila dan


­Majnun. Jadi suatu ketika Majnun ini ingin ketemu
Laila. Maka dia naik unta betina, sayangnya unta ini
baru usai melahirkan. Jadi masih ­sayang-sayangnya
sama anak unta, terus untanya itu maju sebentar
tapi terus mundur lagi ingin melihat anaknya. Jadi
begitu terus sepanjang jalan.

Akhirnya Majnun, nggak sampai-sampai ke


rumah Laila. Harusnya tiga hari sampai, ini bisa
berbulan-bulan. Akhirnya, Majnun sadar.

“Oh jadi saya yang keliru ternyata. Saya


keliru kenapa kok saya bersandar padamu, unta.
Karena menunggangi dirimu, aku jalan di ­tempat.
Jadi sekarang aku nggak akan naik dirimu lagi.
­Nggak usah mengandalkan dirimu, aku akan datang
langsung pada Allah.”

Sebenarnya ini isyarat, unta itu ibaratnya


dunia. Nggak mungkin kita bisa cepat ketemu
­Allah, kalau beban dunia sangat memberati hidup
kita. Kalau kita sibuk luar biasa oleh hal-hal yang
nggak ada hubungannya sama kedekatan dengan
Allah, jalannya cuma dua.

148
Semua yang di sekeliling kita, kita ajak
mendekat ke Allah atau kita tinggal. Jadi kalau
nggak, kita nggak akan sampai-sampai ke Allah.

Mungkin target kita, kuliah, pekerjaan,


hubungan, dan seterusnya itu jadi beban kita.
­Semakin banyak beban, makin lambat sampai
pada Allah. Kecuali semua beban itu kita ajak juga
mendekat ke Allah.

Kalau tidak bisa, ya ‘buanglah’.

Lepaskan ikatan yang membelenggu jiwa


kita, bebaskan diri kita. Selama ini kita ­diperbudak
harta, kilauan emas dan perak membuat mata
kita tertutup. Kita ingin memiliki dunia, kita
­ingin ­mengisi cawan kita dengan seisi lautan. Apa
­gunanya?

Perhatikan tiram, dia mengisi diri dengan


air secukupnya dan dia bisa melahirkan mutiara.
Isilah diri kita dengan air kasih, kasih yang bisa
mengobati segala macam penyakit, kasih yang
bisa menaklukkan keangkuhan, kasih yang bisa
memabukkan Musa di atas bukit Sinai.

Jadi dunia boleh, cuma diambil sebutuhnya


saja. Kayak tiram, dia ambil air yang bagus tapi
cuma secukupnya dan air itu akan jadi mutiara.
Dunia juga begitu. Ambil sebutuhnya, setelah itu
jalankan tugas kita yang sejati di dunia ini.

149
Ya kita bisa muhasabah. Hari ini itu apa saja
yang kita urusi?

Berapa persen yang dunia, berapa persen


yang untuk Allah?

Kita ini tamu di dunia ini. Tamu itu ­nggak


usah mikir untuk mengambil semua barang
­punyanya Tuan Rumah. Sebutuhnya saja.

150
#67

Banyak orang hari ini, ketika belajar


­ajarannya sufi, terus ada yang komentar,

“Waduh, berarti harus jadi sufi ini.”

Terus besok wiridan terus, puasa terus,


dua hari. Tapi habis itu hari ketiga kumat lagi.
­Nggak ­begitu caranya, pelan-pelan, langkah demi
­langkah.

Jangan buru-buru. Kalau kita ­belum ­punya


ilmu, hanya prasangka, ya milikilah ­prasangka
yang baik tentang Tuhan.

Kalau kita mampunya merangkak, ya kita


merangkak kepadaNya. Nggak usah nunggu pintar
tasawuf, ilmu kalam, fiqih, baru mendekati Allah.
Bisanya kita apa?

Ya dengan itu kita berusaha mendekati


­Allah.

Kalau belum mampu berdoa atau ­beribadah


dengan khusyuk, ya tetaplah persembahkan
doa kita, ibadah kita, yang kering, munafik,
­tanpa ­keyakinan itu. Sebab Allah dengan segala
­rahmatNya, akan tetap menerima mata uang palsu
kita semua.

151
Nggak apa-apa.

Banyak kan sekarang kita itu doa itu nggak


ada rasanya, karena sudah hafal. Saking ­hafalnya
sampai kita nggak jelas. Tapi nggak apa-apa,
persembahkan saja apa yang kita bisa pada Allah.

Allah tetap menerima kita walau kita


­palsu-palsu, nggak apa-apa, sebab Allah sangat
sayang sama kita.

Kalau kita masih punya seratus ­keraguan


sama Tuhan, maka kurangilah menjadi ­sembilan
puluh sembilan saja. Jadi kalau keimanan
kita ­selama ini masih belum mantap, masih
­melanggar-melanggar, ya nggak apa-apa, ­dikurangi
sebisanya. Biar jiwa kita terlatih.

Biarpun sudah seratus kali engkau ingkar


janji, ayolah datang, datanglah lagi. Allah ­nggak
akan nolak, nggak ada kata terlambat. Jangan
nunggu, biasanya kelemahan kita yang masih
muda itu, nunggu nanti kalau sudah tua. Iya kalau
kita sampai tua.

Kalau sudah tua biasanya sudah keras cara


berpikirnya. Kalau bahasa psikologinya sudah
matang. Barang matang itu satu-satunya yang bisa
dilakukan adalah mempertahankan kematangan
atau busuk.

152
#68

Santri dan Ulama zaman Syekh Siti ­Jenar


itu hanya fokus di syari’at ajaran agama atau
­istilahnya sembah raga. Orang disebut baik, kalau
aktivitasnya yang dilihat orang itu kelihatan baik.

Jadi apa-apa di ukur hanya dari


­kelihatannya. Dan modusnya adalah dogma dan
ketakutan ­sekaligus bujukan surga.

Akhirnya yang dilihat orang-orang hanya


pada apa yang kelihatan saja. Misal sibuk nyari
mana halal-haram, tapi yang kelihatan saja. Dan
inilah yang dikritik Syekh Siti Jenar.

Masa itu saja isinya agama? Bukan salah,


tapi masa agama hanya berhenti di surga, neraka,
dan ayat saja?

Dari keadaan zamannya Syekh Siti Jenar


itu akhirnya agama yang semula alat, jadi tujuan.
Seolah-olah kalau sudah tahu mana halal-haram,
selesai. Jadi kehilangan yang paling penting,
yaitu Allah. Perannya Allah sudah diambil semua
sama manusianya, menghakimi, mengkafirkan dan
­seterusnya.

Kenapa kok kita sampai ‘ngambil’ jatahnya


Allah itu?

153
Sebab Allah nggak masuk dalam semesta
urusan agama kita. Nggak masuk pertimbangan
keputusan kita. Kita hanya berhenti di hal-hal
yang dangkal saja. Terus kok syari’at saja nggak
cukup?

Bukan itu, syari’at itu juga kita butuhkan,


tapi jangan hanya berhenti di situ saja.

154
#69

Senjatanya apa sih hidup ini?

Panca indera apa akal?

Iya itu bisa, tapi panca indera dan akal itu


banyak kelemahannya. Sebab hidup itu ­dinamis.
Panca indera itu barang pinjaman, kalau sudah
­diminta sama Yang Punya, bisa apa kita. Jadi
­panca indera nggak bisa dijadikan pedoman hidup.

Kita lihat hari ini ada orang cakep, dua


puluh, tiga puluh, empat puluh tahun lagi sudah
selesai cakepnya. Semuanya ada batasnya. Mata,
telinga, hidung, dan seterusnya. Diakui saja yang
namanya panca indera itu makin lama, makin
kurang kemampuannya.

Terus kalau akal gimana?

Akal juga nggak abadi. Akal bisa bikin kita


gila, sedih, bingung, siang-malam akal itu juga
yang ngajak kita dengki dan seterusnya. Kalau
akal pedomannya hal-hal yang materi, hasil kerja
akal itu burem-burem semua, nggak jelas.

Kalau ada orang iri, dengki, ngamuk, marah


itu sebab akalnya cuma fokus di hal materi tadi.

155
Jadi akal dan panca indera itu sering kali
keliru, nggak bisa kita jadikan pedoman hidup.

Batin kita gelap, sebab sandaran kita hanya


akal sama panca indera yang tujuannya ke ­hal-hal
materi. Jadi hiduplah dengan fatwa dari hati
­nurani kita dan tidak terlalu mendewa-dewakan
panca indera dan akal.

156
#70

Kalau kita nggak hati-hati sama harapan,


harapan itu malah jadi sumber kekecewaan,
­kehancuran dan keputusasaan. Terus remnya
­harapan ini apa?

Ketakutan.

Ibarat kendaraan, harapan itu gasnya,


­ketakutan itu remnya. Kita harus tahu kapan
­ngegas, kapan ngerem. Inilah yang di filsafat
­disebut kebijaksanaan. Sekarang ini kita banyak
konflik karena nggak tahu, kapan ngegas-ngerem.
Netizen itu seringnya ngomong terus.

Rasa takut itu kita membayangkan hasil


yang buruk di depan. Kebalikannya harapan, ­kalau
harapan kita membayangkan yang baik di depan.
Rasa takut itu wajar.

Di balik semua masalah atau kekacauan kita


sekarang ini, mau level politik, sosial atau budaya,
disitu ada ketakutan yang tersembunyi.

Mungkin orang takut jagoannya kalah,


­mungkin orang takut nama baiknya hancur,
­mungkin takut organisasinya runtuh, terus kita
bereaksi. Dan dibalik ketakutan itu ada harapan.

157
Terus takut itu berhubungan dengan
­ancaman. Biasanya ada yang menggelisahkan kita.
Ada yang mengancam di depan. Jangan salah,
­takut itu bermanfaat juga, dalam rangka biar kita
selamat. Makanya ada istilah defense mechanism,
mekanisme mempertahankan diri.

Jadi takut itu insting kita. Kita semua nyari


selamat. Demi selamat ini, kita rela untuk takut.
Dan diantara cara kita berekspresi, eksis sebagai
manusia itu lewat rasa takut. Cuma takut ini harus
dikendalikan juga, sama kayak harapan.

Kalau hidup itu takut terus, ya kita nggak


ngapa-ngapain. Memang takut itu manusiawi, tapi
tetap kita harus tahu kapan ngegas-ngerem itu
tadi.

158
#71

Selama manusia masih melanjutkan ­menjadi


penghancur tanpa perasaan pada ­makhluk hidup
yang lebih rendah, manusia tidak akan pernah
mengalami sehat atau damai.

Jadi kalau gaya hidup kita itu gaya


­menang-menangan, merasa yang paling mulia,
paling unggul, terus kita jadi semena-mena, maka
kita tidak akan damai.

Kalau banyak masalah, jangan-jangan kita


sedang terlalu sombong, merasa jadi yang paling
penting. Nggak ada yang bisa dikalahkan, terus
semuanya mau dihancurkan untuk memenuhi
­hasrat kita. Efeknya pasti akan kembali ke kita.

Kita merasa hidup kok susah, berbangsa


rasanya berat, jangan-jangan ada yang keliru
dari kelakuan kita. Kalau kita ndak arif sama
­lingkungan, ya alam juga akan memberi kita
­ketidakarifan, memberi kita kesulitan.

Ya kita ambil sebutuhnya, sebab dunia ini


kan fasilitas kita untuk membersihkan jiwa.

159
#72

Banyaknya pengetahuan tidak akan ngajari


orang untuk bijaksana.

Ini kritik untuk kita yang maunya cuma


mengoleksi pengetahuan. Keponya luar biasa, tapi
hidup nggak jadi lebih baik. Pengetahuan hanya
jadi ingatan yang nggak manfaat.

Orang bijaksana kalau apa yang ­diucapkan,


disampaikan, diketahui, melahirkan ­manfaat
dalam hidupnya. Kalau hanya tahu, belum
­bijaksana. ­Kalau sekedar tahu, anak kecil juga
bisa.

Orang yang cinta kebijaksanaan itu ­bukan


orang yang hanya ikut saja apa yang ada di
­sekelilingnya, tapi dia juga menyelami banyak
hal. Jadi nggak cuma membaca dari luar, juga
­menyelami dari dalam.

Apa yang dilakukan? Orang yang ­menjalankan


kebijaksanaan pasti melakukan investigasi diri
sendiri. Hasilnya apa?

Orang harus tahu tentang dirinya, tapi


­akhirnya yang akan disimpulkan adalah aku
­ternyata bukan aku.

160
Jadi kalau menyelami diri, ketemunya
­biasanya aku yang bukan aku. Kenapa?

Sebab kita menganggap diri kita itu bla


bla bla. Tapi begitu kita selami diri kita, ternyata
­nggak begitu. Kita menganggap kita bijaksana,
cerdas, baik hati dan seterusnya, ternyata kita
hanya kege-eran.

Inilah yang dilakukan orang-orang yang


­tidak sekedar mengoleksi pengetahuan. Mereka
membaca diri sendiri.

161
#73

Hakikat alam semesta itu angka.

Pemikiran Pythagoras ini unik. Selama ini


kita anggap angka itu kan sesuatu yang ­nggak
ada hubungannya sama sekali dengan dunia
‘mistik’. Alam semesta ini oleh Allah diciptakan
dengan ­rumus-rumus yang pasti. Mungkin kita
­menyebutnya Sunnatullah.

Dan dasarnya Sunnatullah itu harmoni.


­Harmoni itu bisa dari matematika. Angka-angka
itu berarti harmoni-harmoni atau Sunnatullah. Ada
panas, ada dingin. Ini kan hitungan matematis.

Allah membuat Sunnatullah biar


­dunia ini seimbang, harmonis. Harmoni itu
­perbandingan-perbandingan. Begitu harmoni kita
kacau, kalau secara fisik mungkin dia akan sakit.
Kalau alam ya mungkin ada bencana. Jadi hakikat
dunia ini sifatnya angka-angka.

Nanti ini diadopsi oleh filsafat yin dan yang,


kalau di Jawa ada Sastrajendra. Kebaikan dan
­kejahatan itu ya ada dalam rangka harmoni. ­Kalau
kejahatan nggak ada, ya bagaimana kita bisa
­nyebut kebaikan. Kalau nggak ada miskin, nggak
ada orang kaya.

162
Nah logika semacam ini. Kalau
­diterjemahkan secara verbal itu ya lahirnya
­angka-angka. ­Keseimbangan.

Nggak ada satu hal yang nggak dikenai


angka-angka. Misal, laptop ini ukurannya berapa,
kapasitas baterainya berapa, terus anda marah
berapa lama, mulai marah jam berapa. Selalu
angka-angka.

Kalau di Jawa juga itu kan ada


­hitungan-hitungan. Misal lahir kapan, ­tanggal
berapa, itu nanti jodohnya baiknya ini. ­Kalau
­Pythagoras, angka satu itu awal dari segala
­sesuatu.

Terus angka dua simbol materi, materi


itu kan sifatnya selalu dualitas, besar-kecil,
­panas-dingin. Tiga itu bilangan ideal, sebab ada
awal, tengah dan akhir. Ini namanya ‘mistik’
­angka.

Jadi angka ternyata ada maknanya. ­Setiap


angka punya rahasia sesuatu. Ya kita sekarang
menganggapnya, angka ya cuma sekedar ­angka.
Jadi ini nambah pengetahuan kita tentang
­simbol-simbol dari angka.

163
#74

Manusia ini jagat kecil, alam semesta ini


­jagat gedhe (besar).

Makanya Al-Qur’an menyuruh, “Lihatlah


dirimu dan lihatlah sekelilingmu sendiri.”

Sebab apa yang ada di alam, dalam diri kita


ada dengan bentuk mini. Jadi pertama, ­lihatlah
diri kita, ke dalam. Kalau sudah paham diri kita,
baru bisa melihat alam semesta. Kalau sudah
­paham alam semesta, kita akan paham Allah.

Sebab alam semesta ini manifestasi dari


sifat-sifat Allah. Maka di Islam ada kalimat, “­Siapa
yang kenal Tuhannya, maka ia akan mengenal
­dirinya.”

Kita dan alam itu levelnya sama. Jadi ­jangan


eksploitasi alam, merusak alam, sebab itu bagian
dari diri kita, termasuk dengan sesama.

164
#75

Cara menemukan kebijaksanaan itu kenali


diri kita. Siapa kita? Berapa dosis kita untuk bikin
kita senang atau sedih? Ciri kita itu apa? Kita ­nggak
kuat kalau lihat apa? Kita sedih kalau ngalami apa?

Menemukan kebijaksanaan yang kedua


itu ujilah hidup kita biar berharga. Menguji itu
maksudnya setelah kita kenal diri, ya kita tes. Apa
benar sih saya kayak gini?

Hidup semakin kita diuji, semakin kita


­berharga. Kalau sudah diuji, baru kita bisa
­memutuskan untuk mengatur diri kita. ­Misal
­berarti yang bagus itu meski seleraku A tapi
­bagusnya ­sekarang itu B. Jadi kita ingin apa yang
harus kita inginkan, dan tau apa yang kita inginkan
itu.

Banyak orang ingin sesuatu, tapi ­sebenarnya


dia nggak tau apa-apa tentang yang diinginkan
itu. Misal yang umum, saya ingin kaya. Terus ­kalau
­sudah kaya ngapain? Ya ndak tahu, yang ­penting
kaya. Silahkan diinginkan tapi tahu manfaat
­kenapa kita ingin itu.

Itu bijaksana namanya.

165
#76

Akal itu penting, tapi akal itu transit. Akal


harus dilampaui. Ndak boleh kita berhenti di akal.
Jadi ada cerita tentang ahli bahasa dan pegawai
perahu. Ada ahli bahasa naik perahu sama ­pegawai
perahunya. Terus mereka ngobrol.

“Mas, anda ngerti nggak kalimat majemuk


itu apa?” Tanya si ahli bahasa.

“Ndak ngerti saya.”

“Aduh.. Masa kalimat majemuk saja ndak


ngerti. Rugi anda itu. Terus kalau kalimat sastra
itu gimana, tahu nggak mas?”

“Ndak tahu, mas.”

“Masa ndak ngerti.. Jadi selama hidup anda


ngapain saja mas-mas.”

Pokoknya dimarahi, dilecehkan terus ini


mas pegawai di perahunya. Tiba-tiba ada badai,
kapalnya mau tenggelam. Terus yang pegawai di
perahunya itu nanya, “Mas, anda bisa berenang
ndak?”

“Nggak bisa.”

166
“Waduh.. Masa berenang ndak bisa mas..
Gimana ini.”

Jadi, bolehlah ada orang pintar, tapi


­sepintar-pintarnya orang ya sesuai bidangnya.
Maka orang pintar yang sombong itu sebenarnya
orang bodoh. Sebab orang itu pintarnya bisa
macam-macam.

Sejago-jagonya akal pikiran kita, hanya bisa


menangkap sesuai pengalaman ­masing-masing.
­Kalau kita bersandar pada akal, maka kita
­bersandar pada batas pengalaman kita ­sendiri.
Jadi akal, jasmani, lahiriah, itu harus sih, ya
­penting, cuma dia bukan tujuan.

Akal itu alat untuk menggapai hal yang


­lebih dalam, lebih tinggi. Apapun pengalaman
kita, kita punya apapun, ngerti ilmu apapun, harta
apapun, kebisaan apapun, itu dalam rangka ­untuk
­mendukung kita berjalan makin dekat dengan
­Allah. Kalau nggak gitu berarti kesia-siaan yang
nanti kita sesali atau malah ketersesatan.

Dan apapun yang bikin kita nggak dekat


dengan Allah, lebih baik hindari. Termasuk yang
tampak luarnya kelihatan sangat agamis, tapi kok
malah bikin kita jauh dari Allah, mending tidak
usah.

167
#77

“Apakah waktu itu?”

“Kalau tidak seorang pun mengajukan


­pertanyaan, aku tau.”

“Tapi kalau seseorang bertanya, dan aku


mau memberi penjelasan, aku tidak tau lagi.”

Kita sering semacam ini. Dalam banyak


­kasus kita sering merasa tahu. Tapi begitu ditanya,
disuruh jawab, biasanya kita nggak tau. Misal, ada
orang teriak-teriak anti Khilafah. Begitu ditanya,

“Khilafah itu apa sih?”

Bingung.

Rame anti-demokrasi, pro-demokrasi, tapi


begitu ditanya,

“Demokrasi itu apa?”

Nggak bisa jawab. Seolah-olah sudah


­paham, tapi begitu ditanya beneran, nggak tau.
Kita mungkin harus rendah hati untuk ­menjelaskan
kembali sesuatu. Kalau di dalam filsafat, tugas
yang paling dasar adalah memperjelas sesuatu.

168
Sama seperti kita sehari-hari di media
­sosial, kita sering debat, sering rame, ribut, tapi
jangan-jangan kita sendiri nggak paham konsepnya
apa atau konsep kita dan orang lain sudah beda.

Misal tentang Khilafah tadi, yang sebelah A


ngomong Khilafah itu bayangannya kayak dinasti,
ada rajanya. Sementara yang B ngomong, bahwa
di bumi ini selalu ada seorang Khilafah, selalu ada
wakil Tuhan.

Sudah beda konsep. Maka kita perjelas


­konsepnya dulu.

169
#78

Ada cerita dari Nasrudin. Si Nasrudin ini


­diajak makan ke rumah makan ikan sama ahli
­filsafat moral.

Ahli filsafat ini ngajak makan Nasrudin


karena Nasrudin dianggap orang yang bijaksana di
kota itu. Terus begitu ikannya datang, ikannya ada
yang besar dan kecil.

Nasrudin langsung ambil ikan yang besar. Si


ahli filsafat ini geleng-geleng kepala,

“Nasrudin, katanya anda ini orang yang


­bijaksana, harusnya secara moral kita itu
­mendahulukan orang lain dan kita ambil yang ­lebih
kecil. Kalau aku dirimu, aku akan ambil ikan yang
lebih kecil dulu.”

“Oo ya sudah. Kalau begitu.” Jawab


­Nasrudin sambil memberi ikan yang lebih kecil ke
ahli filsafat tadi.

Ahli filsafat tadi marah-marah. Padahal


si ahli filsafat ini kan ingin jadi orang bermoral
­dengan ambil yang lebih kecil, jadi ya di kasih
yang lebih kecil.

170
Itu jarak antara moralitas dalam teori
­dengan praktek. Standar moral itu biasanya kita
pakai untuk orang lain, tidak untuk kita. Kalau
kita ngomong, “Jangan suka maki-maki orang.”

Pikiran kita selalu untuk orang lain, bukan


untuk kita. Kayak ceritanya Nasrudin tadi, dia ­pakai
standarnya ke orang lain, begitu ­dipraktekkan ke
dirinya sendiri, dia malah marah-marah.

171
#79

Nasrudin ditanya sama seorang hakim, “Hei


Nasrudin, anda milih mana, kebijaksanaan apa
kekayaan?”

“Ya, kekayaan.” Jawab Nasrudin.

“Katanya anda orang bijaksana, masa bikin


malu saja yang dipikir cuma kekayaan.”

“Terus, kalau anda milih apa?”

“Saya seorang hakim, saya pilih


­kebijaksanaan.”

“Ya memang begitu, orang itu kan nyari apa


yang belum dimiliki. Saya ndak punya ­kekayaan jadi
saya pilih kekayaan. Sementara anda ­sebaliknya.”
Jawab Nasrudin.

Kita sering meributkan apa yang belum kita


punya. Kadang-kadang dunia itu kebalikannya,
orang yang teriak-teriak gini misalnya, “Jangan
sebut haji saya, gelar saya, doktor saya.”

Ribut itu tiap hari. Sebenarnya malah ­setiap


hari yang dipikirkan cuma gelar. Kalau sudah ­nggak
sibuk dengan gelar, mau disebut apa nggak, sudah
nggak penting.

172
Meskipun sibuk untuk nolak, itu sama saja
pikiran kita masih sibuk di situ.

Hal yang nggak penting ya posisikan nggak


penting. Kita kan sering gitu, yang nggak penting
malah dijadikan penting, jadi perdebatan utama.

173
#80

Ini ceritanya agak keras untuk para


­penguasa. Jadi Nasrudin itu lihat istana kok sibuk
banget. Nasrudin mendekat, mau melihat, ada
apa sih?

Terus ada penjaga ngomong, “Eh jangan


dekat-dekat!”

“Lho ada apa?”

“Raja sedang nerima tamu penting ini dari


negara luar. Ada pembicaraan penting. Jadi anda
harus pergi.”

“Lho kenapa kok harus menjauh?”

“Ini pembicaraan penting menyangkut


­nasib rakyat. Nah kita para tentara ini menjaga
biar nggak ada yang masuk dan mengganggu. Jadi
menjauh saja dulu.”

“Ya sudah saya akan pergi, tapi coba


anda pikir. Gimana kalau yang mengganggu dan
­menyusahkan rakyat itu justru yang ada di dalam
sana? Terus yang anda jaga siapa?”

Terus, Nasrudin pergi.

174
#81

Ada seorang imam yang ceramah,

“Seorang hamba yang sejati itu ­harusnya


punya jenggot. Coba lihatlah para Ulama yang
­jenggotnya panjang atau tunjukkan orang yang
jenggotnya panjang, ia pasti imannya lebih
dalam.”

Terus ada yang nanya,

“Syekh, kambing saya jenggotnya lebih


­lebat dan panjang, apa ­artinya Islamnya lebih
­sejati?”

Cerita ini kayak kelakuan keberagamaan


kita selama ini, sebenarnya hubungannya sama
standar. Kita mungkin keliru ngambil parameter.
Islam yang baik, yang benar, itu harusnya seperti
apa?

Hari ini banyak dari kita yang keliru


­parameternya, jadi belajar lagi sama-sama
­tentang gimana jadi muslim yang baik dan benar.

Orang yang jenggotnya panjang ya bisa baik,


tapi nggak bisa jadi ukuran dia lebih baik dari yang
nggak punya jenggot dalam hal ­keberagamaan dan
keislamannya.

175
Kalau ukurannya hanya jenggot, Marx itu
juga jenggotan. Kalau ukurannya kumis, Nietzsche
itu ya kumisan. Jadi ukurannya bukan itu. Kita
harus nyari yang lebih esensial untuk nunjukkan
Islam yang sejati. Sebab hari ini banyak orang
­kehilangan identitas karena salah milih standar.

Harusnya ciri orang Islam itu a, b, c, d tapi


yang diambil, ditunjukkan itu d, e, f, g. Sehingga
wajah Islam berubah. Yang menghalang-halangi
orang melihat wajah Islam yang sejati itu malah
orang Islam sendiri, karena salah milih standar.

Sinau lagi, belajar lagi lebih banyak. ­Kalau


untuk pengetahuan, belajar seluas, sebanyak,
sedalam mungkin, biar nggak ketipu. Ilmu orang
maling dipelajari, biar nggak kemalingan, itu
­misalnya. Dan kalau sudah mampu menerapkan
ilmu kita, cari jalan yang menentramkan bagi kita
ataupun orang lain.

176
#82

Socrates kan pernah mengkritik demokrasi.


Kenapa kok dia sampai mengkritik demokrasi?

Hal pertama, demokrasi itu setiap orang


boleh ngomong. Padahal manusia punya ­karakter
egois. Akhirnya muncul banyak suara dan
­masing-masing merasa benar. Lahirnya hanya
­konflik, ketika terjadi bantah membantah. Itu kita
rasakan sendiri.

Kedua, demokrasi itu nggak adil, nggak


­rasional. Kenapa?

Semua manusia itu dihargai sama. ­Pikirannya


orang cerdas, ulama, cendekiawan, dianggap sama
dengan pikirannya orang awam. Dalam demokrasi,
peduli amat anda mau kiai, orang murtad, orang
bid’ah, pokoknya satu orang satu suara.

Jadi mau debat soal penguasa sampai


­mumet (pusing), itu ­tinggal tunggu besok siapa
yang dipilih orang paling ­banyak.

Mau bikin tulisan sampai ratusan ­membela


salah satu penguasa juga nggak ada gunanya.
­Sebab dalam demokrasi yang paling berguna itu
kasih uang saku ke orang-orang untuk milih siapa.
Karena kuncinya satu orang satu suara.

177
Mau ada filosof cerdas menunjukkan­
­rasionalitasnya di sini, tetap nggak fungsi.

Itu kelemahan demokrasi.

Meski begitu, bagi Socrates yang ­penting


­masyarakat tertib itu kan tujuan ­politik. Mana ­dipilih
yang cocok. Kalau Socrates sih ­merekomendasikan
kayak Plato, yang penting ­pemimpinnya harus
orang bijaksana. Orang yang sudah menaklukkan
dirinya sendiri. Jangan memilih pemimpin yang
kalah sama dirinya sendiri, yang nyetir hidupnya
naluri hewaninya, bukan rasionalitasnya.

Pemimpin yang sudah selesai dengan


­dirinya sendiri, kuncinya di situ. Kalau kita kan
masih ­sibuk dengan diri sendiri. Orang yang ­belum
­selesai ­dengan dirinya sendiri, nggak mungkin
dia bisa ngurusi orang lain. Keinginannya sendiri
­masih sangat banyak, nggak mungkin malah mikir
­keinginannya orang lain.

Maka Socrates menyarankan, cari orang


yang selesai dengan dirinya sendiri, akan lebih
enak jadi pemimpin. Politikus sejati berarti orang
yang sudah menang melawan dirinya sendiri.
­Terus menurut Socrates, yang penting masyarakat
­harus di didik terus menerus, paling nggak dengan
gaya pendidikannya Socrates, agar sadar hakikat
hidupnya. Sejauh mana butuh negara atau tidak
dan seterusnya.

178
#83

Intinya harapan itu, selama kita masih mau


hidup, sebenarnya masih punya harapan. Biasanya
selama orang akalnya masih jalan, ya dia masih
punya harapan. Sebab harapan itu bagian dari
­hidup kita. Kita sadari atau tidak, sengaja atau
­tidak, dari detik ke detik hidup kita itu rangkaian
dari harapan ke harapan.

Jadi kalau riwayat hidup kita mau ­disusun


itu seperti harapan yang terpenuhi dan tidak
­terpenuhi. Ada kalanya harapan itu ­berhubungan
dengan penderitaan, rasa sakit, secara jasmani
atau rohani. Orang itu biasanya sadar punya
­harapan kalau sudah kepentok.

Kita berharap sehat, itu kan kalau kita


­sedang sakit. Kita berharap dapat pasangan kan
kalau sadar kita jomblo. Tapi kalau pas nggak
­sadar kan enggak. Itu kan berhubungan dengan
penderitaan.

Harapan itu kita tidak tahu bisa ­terpenuhi


atau tidak. Makanya ada filosof tertentu yang
­tidak terlalu suka dengan harapan, misal ­kayak
­Nietzsche dan kawan-kawannya. Hidup itu
­harusnya ­dikendalikan tanpa kalkulasi-kalkulasi
yang disebut harapan.

179
Meskipun sebenarnya itu harapan juga. Jadi
Nietzsche berharap manusia tidak terlalu banyak
harapan.

Kita eksis itu sebenarnya dalam rangka


mewujudkan harapan-harapan. Dalam harapan
kita menyimpan kepercayaan. Ada yang layak kita
perjuangkan di sana.

180
#84

Konflik itu sebenarnya karakter kehidupan,


nggak ada orang hidup kok tanpa konflik. ­Ironisnya
kita ‘butuh’ konflik untuk bisa berkembang. Sebab
sesuatu yang baru pasti didahului konflik. Dalam
diri kita juga begitu, kalau nggak ada konflik,
­hidup statis, kita malah mudah punah.

Konflik itu kalau di bahasanya Freud itu


disebut kecemasan, ada kecemasan realita,
­kecemasan neurotic, dan kecemasan moral. ­Kalau
kecemasan realita itu kecemasan akan bahaya
dari luar.

Misal saya takut pulang malam-malam,


­takut masuk angin nanti. Takut itu manusiawi.
­Takut dengan bahaya dari luar diri kita itu lebih
mudah di atasi.

Jadi ketakutan di luar diri kita itu ­nggak


perlu terlalu diambil pusing, sebab solusinya
­biasanya sederhana.

Kecemasan jenis kedua, kecemasan


­neurotic itu hubungannya dengan Id dan Ego. ­Takut
Id dan Ego-nya keluar jalur, tidak terpenuhi. ­Misal
takut besok anak-cucunya nggak makan, terus
hari ini kita serakahnya luar biasa, sampai korupsi
­misalnya.

181
Takut ego kita nggak beres, kesadaran kita
kacau, takut hasrat nggak terpenuhi, itu namanya
neurosis.

Ada yang takut ketinggian sampai phobia,


itu kan masalahnya dalam dirinya. Ada yang ­takut
ruangan sempit, terus mau pingsan. Semua ­phobia,
sakit jiwa itu namanya neurosis.

Neurosis ini biasanya kuncinya di Id dan


Ego. Ada Id tertentu, kebutuhan biologis tertentu
yang takut tidak terpenuhi atau memang sudah
­tidak terpenuhi.

Ada bentrokan antara Id dan Ego yang bikin


kita sakit jiwa. Misal hasrat kita bilang ini sudah
waktunya nikah, tapi ya nanti mau dikasih makan
apa, katanya ego.

Terus ada kecemasan moral, ­kecemasan


moral hubungannya sama Superego. Misal di
­masyarakat sini anak shaleh itu tiap hari harus ke
masjid, ternyata kita nggak bisa ke masjid tiap
hari, itu kan kita merasa bersalah. Jadi Ego kita
tabrakan dengan Superego sekarang. Ada norma
sosial yang kita tabrak.

Jadi dalam hidup kita ada berbagai


macam kecemasan dari tiga ini. Itu nanti pangkal
­permasalahan hidup kita ada di situ, kecemasan.

182
#85

Memaafkan itu pilihan kita sendiri, mau


apa tidak. Kalau mau memaafkan, ya kita ­nikmati
­manfaatnya. Terus kalau tidak, nikmati juga
­beratnya menanggung kemarahan dan kebencian.
Memaafkan memang butuh proses.

Biasanya pertama kita mengungkapkan,


memahami luka. Kenalilah rasa marah kita,
­kebencian kita. Ini penting. Banyak orang yang
kadang-kadang marah dan bencinya itu nggak
jelas. Kadang-kadang ada orang yang ikut-ikutan
benci, marah, padahal nggak.

Misalnya, benci sama mantan pacar ­karena


dia nikahnya sama orang lain. Itu sakit anda
­dimana? Alasannya apa kok anda sakit itu?

Karena dia mengkhianati anda, apa karena


dia bahagia menikah sama orang lain. Atau apa?

Itu kan harus jelas duduk persoalannya.


­Sebab manusia itu nggak bisa ditebak. Fenomena
yang sama, gejala yang sama, nggak ­mengakibatkan
efek yang sama. Ada yang ditinggal nikah,
­nangis-nangis. Ada yang malah ­ketawa-ketawa,

“Alhamdulillah! Aku bebas dari dia


­sekarang!”

183
Bisa begitu.

Jadi harus kita kenali gejala dalam diri kita


ini. Kita perlu fase khusus membongkar kebencian
kita.

Kita benci itu kenapa sih? Karena apa?

Karena dia ngomongnya salah. Salah pada


siapa? Terus hubungannya apa sama diri kita?
­Adakah yang dicederai dalam diri kita? Apakah
pikiran kita? Apa terus kita ikut salah karena dia
ngomong salah? Itu salahnya dia apa lemahnya
kita?

Marah-marah kita itu posisinya dimana?


­Untuk apa? Targetnya apa? Hubungannya apa?
­Alasannya cocok nggak kemarahan dan kebencian
kita itu?

Kalau memang sudah tegas, sudah jelas


duduk permasalahan kita, kita masuk ke fase
­berpikir. Kira-kira, layak nggak untuk dimaafkan?

Kalau saya maafkan, bagusnya apa,


­buruknya apa?

Kalau sudah memutuskan dimaafkan, kita


mulai ‘kerja’ memaafkan. Misal, “Iyalah saya
maklumi, saya paham kamu milih yang lebih kaya.
Alhamdulillah, akalmu masih jalan.”

184
Kita lebih melihat sisi positifnya. Jadi orang
yang mengecewakan kita, sudah tidak kita lihat
lagi sebagai sosok yang menyakiti kita, sudut
­pandangnya sudah geser.

Kita lihat dia sebagai manusia biasa


yang mungkin salah. Dia juga punya pandangan
­positifnya sendiri. Dan kita berusaha memahami
jalannya dia berpikir, sampai kita memaafkan.

Terus ketika kita sudah memaafkan, ini


­level spiritual kita agak naik. Ada pemahaman
diri, kita mulai paham,

“Oh.. Memang manusia itu macam-macam,


bisa ada yang begini-begitu. Memang bisa salah,
dan saya maafkan. Sebab bisa jadi suatu saat saya
yang butuh minta maaf.”

185
#86

Cinta itu watak.

Jadi cinta itu pertama-tama urusan ­karakter


kita. Jadilah karakter yang mencintai. Bangun
dulu ini. Karakter itu kan lahirnya dari perilaku.
Perilaku lahirnya dari pikiran. Kan ada pepatah
itu,

“Hati-hati dengan kata-katamu, ­sebab


­kata-kata akan menjelma jadi perilakumu.
­Hati-hati dengan perilaku, sebab perilaku akan jadi
kebiasaanmu. Hati-hati dengan kebiasaan, ­sebab
kebiasaan akan jadi watakmu. Hati-hati dengan
watakmu, sebab watak akan jadi ­takdirmu.”

Kita membangun diri seperti apa, takdir


kita nanti kayak apa, tergantung karakter kita.
Kalau pemurung, biasanya takdirnya nanti yang
murung-murung. Kalau ngamukan, biasanya takdir
akan membawa ke situasi yang mudah ngamukan.

Misal, kita mulai belajar filsafat, ­sekarang


dikit-dikit, kok rasanya sekeliling kita penuh
­dengan filsafat, ya?

Itu kenapa? Sebab kita pelan-pelan


­membangun kebiasaan.

186
Jadi bangun watak kita, karakter kita
­sebagai seorang pecinta. Kita harus jadi sosok
yang penuh cinta dulu, sebelum nyari obyek yang
­dicintai. Kalau kita jadi sosok pecinta, nanti ­segala
hal akan bisa kita cintai. Ibaratnya kayak pelukis.

Pelukis itu jangan sibuk nyari obyek ­bagus


untuk dilukis. Tapi pertama-tama, latihanlah
­melukis yang bagus. Kalau sudah berlatih ­melukis
yang bagus, obyek jelek pun akan jadi bagus dalam
lukisan kita.

Cinta juga begitu. Kalau kita jadi seorang


pecinta, obyek apapun bisa kita cintai. Jangankan
yang indah-indah, yang nggak indah pun bisa kita
cintai. Sebab kita punya jiwa pecinta.

Ya, nggak indah itu bukan cuma ­urusan ­lawan


jenis. Misal kemiskinan itu kan nggak ­indah secara
estetik, tapi kan kita disuruh ­mencintai orang
miskin. Kita disuruh mencintai anak ­yatim-piatu.
Kita disuruh mencintai orang-orang yang malang.

Kalau dilihat kan nggak indah sama ­sekali


kemiskinan itu. Orang sakit juga nggak indah, tapi
kita disuruh mencintai mereka. Dan ini semua
mungkin kalau jiwa kita berubah jadi jiwa ­pecinta.

Kalau belum, sulit. Kita bisanya cinta sama


yang cantik-cantik, indah-indah, yang nggak ­indah,
nggak.

187
Tapi kalau kita sudah punya watak pecinta,
nggak mungkin kita cuma mencintai satu obyek.
Cinta sama satu orang saja, benci yang lain nggak
mungkin.

Ketika seseorang sudah menjelma jadi


­pecinta, nggak ada kebencian di sana. Kalau masih
ada sisa kebencian, ya berarti kita belum masuk
level cinta. Meskipun beda cara mencintai obyek
satu dengan yang lain. Tapi semuanya ada di level
cinta.

Kalau bisanya mencintai satu orang, dan


tidak peduli sama yang lain, itu bukan cinta. Itu
egoisme yang diperluas.

188
#87

Kenapa ya, kadang-kadang kita minta apa,


tapi dikasihnya apa?

Kenapa orang berdoa itu kok nggak


­dikabulkan, katanya Allah setiap doa dikabulkan?

Iya, tapi banyak hal. Banyak pertimbangan,


kalau dikabulkan semua malah nggak jalan. Dan
Allah mengabulkan itu pertimbangannya banyak.

Kalau kita berharap dikabulkan itu kan


­sejauh yang kita pahami saja. Jadi doa itu selalu
dikabulkan, tapi pengabulannya bisa tidak sesuai
versi kita, tapi versinya Allah.

Misalnya ikut lomba, kita doa biar menang.


Terus lawan kita di lomba itu juga doanya sama.
Oleh Allah dimenangkan yang satu, satunya
­dibatalkan, nggak jadi menang. Terus kita mikir,
“Kok kalah ya Allah?”

Allah lebih tahu, kalau kita menang, bisa


jadi malah nggak baik untuk kita. Atau nggak
­dimenangkan sekarang, tapi besok di perlombaan
yang lebih besar lagi misalnya. Itu semua Allah
yang tahu. Kita ngertinya marah-marah hanya
karena kalah lomba di pertandingan itu.

189
Mungkin pas kita nyari kerjaan dimana, terus
ditolak. Kita kecewanya luar biasa. ­Marah-marah
sama Allah. Padahal Allah sedang nyiapkan kerjaan
yang lebih bagus buat kita.

Jadi yang kemarin kita sesali, kita sampai


mengutuk, sekarang bersyukurnya luar biasa dapat
pekerjaan yang dari Allah ini misalnya.

Allah wawasannya jauh lebih luas dari kita.


PertimbanganNya apa?

Cintanya Allah sama kita.

Nggak cuma dari segi pengabulan doa, dari


segi waktu juga kadang-kadang, sudah ­berdoa
lama, nggak dikabulkan. Kayak kisahnya Nabi
­Zakaria AS yang berdoa minta dikaruniai anak,
sampai usia sembilan puluh tahun, baru istrinya
hamil.

Ada cerita lagi dari Nabi Musa AS. Beliau bisa


mengalahkan Fir’aun pada zamannya itu setelah
berdoa sekitar empat puluh tahun. ­Berakhir
­dengan tenggelamnya Fir’aun. Dari sini kita tahu,
Allah sangat mengerti pola-pola pengabulanNya,
hanya kita yang nggak paham.

Jadi nggak usah marah-marah apalagi putus


asa kalau doanya belum dikabulkan Allah. Banyak
contohnya, bahkan para Nabi. Allah yang lebih
mengerti.

190
Ada cerita tentang tiga orang terjebak
dalam gua, mereka ini butuh pengabulan segera
karena kalau lama-lama bisa kacau. Tiga orang
laki-laki, jalan-jalan, ternyata hujan. Berteduhlah
mereka dalam gua.

Tiba-tiba longsor batu jatuh pas di ­depan


pintu gua. Satu-satunya yang bisa dilakukan
hanya berdoa. Akhirnya masing-masing ­berdoa.
­Masing-masing cerita kebaikan yang pernah
­dilakukan secara ikhlas untuk ‘merayu’ Allah.

Orang pertama cerita,

“Ya Allah... Mohon dibukakan pintu ­guanya,


saya mau keluar. Masa ndak sayang saya? Saya dulu
pernah jadi penggembala kambing, punya anak
kecil dan merawat dua orang tua.

Setiap ­pulang menggembala, saya perah


susu kambing, saya ­kasihkan ke kedua orang tua
saya, baru ke ­anak-anak saya.

Nah suatu ketika, mau ngasih susu ke orang


tua saya, orang tua saya sudah tidur. Anak-anak
masih bangun, tapi karena menghormati orang
tua, saya menunggu sampai mereka bangun.

Ya Allah, aku melakukan ini karenaMu,


­ikhlas. Kalau memang Engkau berkenan, tolong
bukakan pintu guanya, Ya Allah.”

191
Akhirnya pintu gua membuka sedikit. Terus
orang kedua berdoa, “Ya Allah, suatu hari saya
jatuh cinta dengan anaknya paman saya. ­Cantiknya
luar biasa. Cuma waktu saya dekati, saya hampir
zina. Perempuan itu bilang untuk carikan uang
­seratus dinar dulu.

Saya carikan, sudah saya berikan uangnya,


tinggal eksekusi. Tapi tiba-tiba dia bilang, kamu
ndak takut sama Allah? Saat itu juga saya sadar,
ya Allah. Meski kehilangan seratus dinar nggak
­apa-apa. Sebab saya ingat padaMu.”

Pintu guanya terbuka lagi, tapi masih


kurang. Terus orang ketiga berdoa, “Ya Allah..
Saya punya pegawai, suatu hari saya kasih gaji ke
mereka, ada satu pegawai yang ternyata belum
saya gaji. Terus semua pulang kampung.

Nah gaji yang untuk pegawai satu tadi,


karena saya bisnis, jadi saya belikan sapi. Ternyata
sapinya beranak terus bisa jadi gembalaan. ­Terus
pegawai itu minta gaji yang belum dibayarkan.
Gajinya dulu saya belikan sapi, maka saya berikan
peternakan sapi itu padanya. Itu haknya semua.

Ya Allah, kalau Engkau ridha dengan yang


kulakukan ini, tolong bantu saya membuka pintu
gua.”

Akhirnya pintu terbuka, mereka bisa keluar


satu persatu.

192
Sekarang tinggal kita, kita mau
‘­memamerkan’ apa sama Allah? Ada nggak
­kebaikan dahsyat yang kita lakukan, sampai Allah
bilang, “Wow..” gitu.

Kalau nggak ada ya kita fokus saja berbuat


kebaikan terus. Kita tidak menyebut pun, Allah
­sudah tahu kebaikan kita.

193
#88

Jadi ada yang mengkritik doa itu, kalau


orang berdoa terus dikabulkan, apa berarti Allah
berubah pendirian?

Jawabannya ada banyak. Ada yang bilang,


Allah itu nggak dipengaruhi, sebab semua sudah
ada di skenarionya Allah. Termasuk kita berdoa
dan dikabulkan itu skenarionya Allah. Kalau Allah
nggak ingin memberi kita A, batin kita nggak akan
diarahkan untuk berdoa minta A.

Kedua, pengetahuan Allah beda dengan


pengetahuan kita. Kita menyebutnya berubah,
­padahal sebenarnya nggak berubah. Allah itu
menakdirkan pilihan-pilihan dan kita sendiri yang
memilih. Jadi kita diberi pilihan-pilihan oleh Allah
yang setiap pilihan itu ada efeknya.

Ketika kita berdoa minta sesuatu itu


­sebenarnya sedang menghidupkan salah satu
­pilihan ini. Mana yang kita pilih itu sesuai yang kita
inginkan, dan itu yang kita jalankan. Dan semua
pilihan-pilihan kita itu masuk dalam kerangka
­ketentuannya Allah.

Ada yang bilang ini perspektif, dari sisi ­Allah


itu semua sudah ditentukan. Tapi dari sisi manusia
tidak.

194
Dari sudut pandangnya Allah sudah
­diskenariokan, tapi kan kita ndak tahu ­skenarionya
Allah itu apa.

Misal terus nggak ngapa-ngapain, kita mikir


bakal sukses sendiri kan sudah di skenario. Ya kita
kan nggak tahu. Yang jelas kalau sekarang nggak
ngapa-ngapain, takdir kita ya jadi orang malas.

Hidup ini ada modalnya, ada usahanya,


ada hasilnya. Modal dari Allah, usaha dari kita,
­hasilnya dari Allah lagi. Kita dikasih modal akal,
dipakai berpikir apa tidak, itu usaha kita. Hasil
pikiran apa itu Allah yang menentukan. Logika ini
kalau di ilmu agama namanya Sunnatullah.

Jadi kalau kita belajar, ya bisa lulus bisa


ndak, itu tergantung Allah. Tapi kalau nggak
­belajar ya kemungkinan besarnya nggak lulus.

Jadi orang yang berdoa itu kita nggak usah


mikir, “Ini mengubah Allah.” Nggak usah mikir
ke sana. Doa itu yang jelas mengubah kita yang
­berdoa.

Doa membuat orang sadar tentang ­dirinya


yang banyak kelemahan, yang ndak pantes ­sombong,
yang mau tidak mau butuh ­pertolongannya Allah
untuk memenuhi kebutuhan hidup kita.

Ini yang berubah.

195
Dari manusia yang merasa bisa ­semuanya,
sekarang tahu kalau dirinya lemah. Ini kan nanti
akan mengubah total perilaku kita. Orang yang
­sadar dengan doa, sadar hakikat doa, ­nggak
­mungkin jadi orang yang sombong. Kalau ada orang
sombong, kok masih berdoa, itu kontradiktif.

Katanya kuat, jago, paling berkuasa, ­paling


hebat, paling benar dan seterusnya. Kok masih
minta-minta?

Orang yang berdoa itu harusnya rendah


hati, merasa lemah, merasa kurang, merasa tidak
berdaya. Itu perubahan yang kita dapat dari doa.

196
#89

Ilmu itu mulia, enak bagi yang sudah kenal.


Kalau sudah paham ilmu dan bisa ­menjalankannya,
orang itu biasanya nggak akan ikut arus tren.

Orang senang apa, dia nggak akan tergoda


disitu, sebab dia sudah merasakan nikmatnya ilmu
dan amal dari ilmu itu.

Kalau sudah asik sama ilmu, yang lainnya


­nggak akan bikin dia tergoda. Kalau pikiran kita
masih banyak cabangnya di luar ilmu yang bikin kita
jatuh hati, mungkin kayak merk hp ­terbaru, ­laptop
terbaru, perempuan cantik, ­macam-macam, itu
belum ilmu berarti.

Padahal dunia itu lebih kecil dari yang


­paling kecil, sangat sepele. Dan orang yang jatuh
cinta sama dunia itu akan ‘buta’ dan ‘tuli’. Kalau
sudah ‘buta’ dan ‘tuli’ maka akan kebingungan,
nyari petunjuk nggak ketemu-ketemu.

Kalau sekarang ini di Indonesia, kita


semua susah mencari jalan keluar dari masalah,
­jangan-jangan tujuan kita itu aslinya hanya ­dunia.
Jadi kita nyari solusi yang bertujuan material atau
dunia, itu bikin hati kita ‘buta’ dan ‘tuli’. ­

197
Akhirnya kita kesusahan membaca isyarat
dari ­Allah, ­kesulitan membaca ayat-ayat yang
­dimana-mana ditunjukkan Allah, yang terjadi kita
kebingungan.

Akhirnya yang benar mana, salah mana,


jadi nggak jelas. Kenapa kita bisa sampai di titik
kebingungan bersama ini?

Sebab kita ketipu dunia.

Kalau kita ingin keluar dari tipuan ini,


­satu-satunya jalan itu adalah ilmu. Ilmu ini bikin
kita kuat. Orang kuat itu bukan yang selalu bisa
mengalahkan siapapun, tapi dia diserang seperti
apapun, dia nggak kalah.

Jadi mungkin kita difitnah, dilecehkan,


­dijatuhkan, tapi nggak sakit hati, nggak jatuh,
­nggak runtuh, berarti kita kuat. Untuk bisa sampai
ke sana kita butuh ilmu yang luar biasa. Ini kita
sendiri yang harus latihan.

198
#90

Cinta itu apa sih?

Dia sifatnya aktif atau ­pasif?

Mana yang lebih penting, mencintai atau


dicintai?

Kebanyakan kita mendefinisikan cinta itu


rasa suka pada sesuatu. Dan ini sifatnya kayak
kebetulan, kayak anugerah. Jadi tiba-tiba ada
semacam rasa suka yang datang pada sesuatu.
­Biasanya orang memahami itu, makanya istilahnya
jatuh cinta.

Apa iya begitu?

Cinta itu urusannya bukan apa yang kita


­cintai, tapi bagaimana cara kita mencintai.
­Sekarang ini kebanyakan kita fokus mencari apa
yang kita suka, apa yang kita cintai.

Nggak begitu. Untuk jadi pribadi yang


­mencintai, kita butuh fokus pada bagaimana cara
mencintai yang baik. Bukan apa yang kita cintai.
Kalau kita bisa mencintai dengan benar, nanti
bahkan segala sesuatu akan layak dicintai. Nggak
cuma lawan jenis.

199
Kalau fokus cuma pada apa yang layak
­dicintai, jadinya kita milih-milih. Suka yang ini,
­nggak suka itu. Ini egoisme. Yang milih-milih
ini kan modelnya egois, kita mikir maunya kita
­sendiri. Fokuslah cara mencintai yang benar.

Jadi masalah cinta selama ini, kita sering


salah identifikasi. Dianggapnya mencintai itu
­pertama harus ada yang dicintai. Padahal pertama
harus kita tahu caranya mencintai yang baik dan
benar. Cinta itu seperti seni, harus dipelajari. Ya
ada unsur bakatnya, tapi kan harus belajar.

Banyak orang mencintai malah nggak ­sadar


kalau dia merusak yang dicintai. Atau ­sebaliknya,
merusak diri sendiri yang mencintai. Jadi
­belajarlah.

Jadi cinta itu aktif, tidak pasif. Jangan diam


saja, kalau diam saja ya nggak dapat apa-apa atau
kalau sudah dapat ya jangan diam saja. Cinta itu
bukan jatuh cinta, tapi menegakkan cinta.

200
#91

Unsur khas manusia itu punya rasa ­simpati,


punya rasa malu, kerendahan hati, punya benar
dan salah. Kalau kita punya empat ini berarti
­sukses jadi manusia. Simpati itu khas manusia,
­kalau ada orang sengsara, itu simpati, kalau bisa
ya membantu. Di luar manusia tidak ada yang
­punya simpati, kayak hewan itu mereka nggak
­punya simpati.

Makanya kalau manusia kehilangan rasa


simpatinya itu derajatnya turun, bahkan bisa lebih
rendah dari hewan kalau kata Al-Qur’an. Simpati
itu sering digambarkan posisikan diri kita di posisi
orang lain.

Kedua malu, termasuk segan. Malu untuk


berbuat kejahatan misalnya. Malu ini nanti jadi
dasar lahirnya kebenaran dan keadilan. Kalau
orang punya malu berbuat jahat atau salah, itu
kan lahirnya kebenaran. Misal saya sebenarnya
bisa buat dia susah, saya punya kuasa agar dia
sengsara, tapi nggak lah, harus adil, malu saya
­kalau ketahuan nyakiti orang lain.

Selama rasa malu ini masih ada, kita ­masih


manusia. Tapi kalau sudah nggak punya malu,
­perlu kita lihat diri kita lagi.

201
Terus ketiga, rendah hati dan kerelaan.
­Hanya manusia yang punya sifat rendah hati, ­murah
hati, mendahulukan yang lainnya, ­membela yang
lain. Mengutamakan orang lain, ini kan ­sumbernya
moralitas.

Lawannya ini kan egois, ingin menang


­sendiri, ingin enak sendiri. Kalau cuma ingin enak
sendiri, ingin diunggulkan, biasanya kita terus jadi
sombong. Coba kita cek masing-masing diri kita.

Terus rasa benar dan salah, kemampuan kita


milih benar-salah. Kemampuan kita untuk nyaman
dengan kebenaran. Itu ciri manusia.

Kalau ­nyaman dengan kesalahan, merasa


tidak salah ­padahal dia salah, itu perlu dicek lagi
kemanusiaannya. Ya ­memang kadang-kadang kita
salah, tapi jangan sampai hilang rasa bersalah.

Begitu kehilangan rasa bersalah, hidup kita


akan bermasalah. Orang itu kalau bohong ­sekali,
dia akan merasa sangat bersalah. Bohong dua
kali, tiga kali, empat kali, sudah nggak ada rasa
­bersalah, soalnya aman-aman saja.

Kadang-kadang mungkin tuntutan ­situasi


­tidak sengaja kita bersalah, kalau bisa rasa
­bersalah jangan sampai mati.

Gimana biar nggak mati?

202
Jangan dimaklumi. Sebab ketika dimaklumi
sekali, dua kali dan seterusnya, diulang-ulang,
rasa bersalah kita akan mati dengan sendirinya.
Kalau sudah mati rasa, maka kemanusiaan kita
juga mati. Kita bisa dengan santainya menyakiti
orang lain misalnya.

Jadi kalau kita menyebut diri kita manusia,


coba dicek kualitas-kualitas ini masih hidup nggak
dalam diri kita?

Manusia akan hancur peradabannya ­kalau


empat ini hilang. Jadi nggak nunggu kiamat,
­peradaban manusia bisa hancur karena dirinya
sendiri.

Nah empat karakter itu, alat utamanya


adalah hati. Hati itu punya dua fungsi, kepekaan
dan menalar.

203
#92

Lidah itu larangannya banyak, yang jelas


pertama itu bohong. Bohong itu jenis keburukan
yang nggak perlu diajarkan. Asal orang itu akalnya
sehat, pasti paham kalau bohong itu buruk. Hanya
saja ada yang dapat hidayah, ada yang tidak.

Jadi meski tahu itu bohong, tapi masih


­banyak yang nekat menerjang, biasanya belum
dapat hidayah. Ilmunya tentang kebohongan
­belum berubah jadi kesadaran.

Kedua, menyalahi janji, entah dengan


­alasan apa. Itu juga bahaya lidah. Ketiga ini sudah
jelas, ghibah. Ghibah itu ngomong tentang orang
lain, yang kalau orang yang diomongkan itu tahu,
dia nggak akan berkenan. Apakah itu kebaikannya
apalagi keburukannya.

Kan ada orang kalau kebaikannya


­diungkit-ungkit itu dia nggak suka. Kalau kita
ngungkit itu jenisnya ghibah, sebab dia nggak
berkenan.

Terus yang keempat, sering kita lakukan,


debat. Dimana-mana sekarang orang debat, dari
atas sampai bawah, semua isinya debat. Debat itu
bahasa lainnya saling berbantahan.

204
Kalau ada orang punya pendapat, terus
kita sangkal, itu kan menyakiti hatinya. Sebab
orang disalahkan, meskipun menyalahkannya
benar, orang itu pasti sakit hati. Kalau debat, kita
­menganggap orang lain keliru, menganggap dia
bodoh. Terus ­secara nggak langsung, kita mencela.
Jadi hati-hati dengan debat. Bertukar pikiran
­boleh, tapi jangan berbantahan. Bertukar pikiran
itu, “Saya begini, kalau anda gimana?”

Kalau debat itu, “Saya benar ini, anda


salah!” Bagi kita itu sebenarnya malah jadi
kekurangan kita, kenapa? Di situ ada indikasi
kita merasa benar. Kita jadi sombong. Dan tanpa
kita sadari, debat inilah sumber kehancuran tata
­sosial kita. Kalau Imam Ghazali memperingatkan,
“­Setan itu sering menggoda kita dengan bilang,
­tampakkan yang benar, jangan bersikap lemah.”

Padahal apa yang kita omongkan itu apa


ya pasti benar? Merasa benar saja kita itu, secara
sikap mental sudah keliru. Sudah kesombongan.
Kita boleh menampakkan kebenaran pada mereka
yang mau menerimanya, itu kebaikan.

Nasihat itu boleh, tapi bukan dengan cara


debat. Makanya Islam lebih suka saling ­menasihati,
bukan saling berbantahan. Kata Islam, kita ­nasihati
tentang yang haq, sekaligus dengan cara yang
­sabar. Sabar itu berarti ya harus telaten, tidak
menjatuhkan, tidak menyalahkan.

205
#93

Ini penting buat kita, meski mengkritik,


­bukan berarti nggak setuju dengan satu pikirannya
tokoh terus kita anggap semua pikirannya salah.

Suatu hari Chuang Tzu ngobrol ­dengan


­kawannya, Mo Tzu. Mo Tzu ini mengutip
­pendapatnya Konfusius. Terus Chuang Tzu
­bertanya,

“Dirimu mengkritik Konfusius, tapi ­kenapa


malah mengutip Konfusius?”

“Itu berhubungan dengan apa yang benar


dan salah. Dan tidak bisa diganti. Jadi kalau
­memang benar, ya disampaikan benar. Tidak
mentang-mentang kita mengkritik, nggak setuju
dengan satu pikirannya tokoh, terus kita anggap
semua pikirannya salah.”

Kita banyak rugi, peradaban itu banyak


rugi, sebab ketika kita nggak suka satu tokoh,
satu ­kelompok, satu aliran, terus kita anti seratus
­persen. Tidak mau sama sekali.

Padahal mungkin ada bagian tertentu, ada


sisi tertentu yang baik. Sikap ilmiah yang baik itu
ya bagian yang benar disebut benar, bagian yang
tidak, ya tidak.

206
Kita mentang-mentang sudah benci,
­terus salah semua. Atau mentang-mentang kita
­idolakan, terus benar semua. Harus adil. Berani
bilang benar, berani bilang salah. Itu dicontohkan
sama Mo Tzu tadi.

Selama ini cara berlogika kita kan main


idol. Sering ad hominem. Pokoknya idolanya
­siapa, ­idolanya apa, dianggap paling benar terus.
­Kemudian kita nggak suka siapa, dianggap salah
semua. Akhirnya nanti, gagasan bagus lewat
gitu aja, hanya karena kita nggak suka dengan
­wadahnya.

“Pemikiran orang ini saya suka, kalau pas


bagian ini dan itu. Tapi pas bagian tertentu, saya
nggak sepakat.”

Bukan berarti pas kita mengkritik itu kita


terus benci, terus semuanya salah. Cuma yang
begini itu agak berat, kita biasanya sentimen dan
emosi duluan. Suka dan tidak sukanya main dulu di
depan. Jadi akhirnya,

“Yang ngomong siapa?”

“Dia.”

“Ahh.. Kalau dia nggak suka aku.”

207
#94

Kok bisa kita itu membenci?

Ada namanya perspektif natural, ­berdasarkan


insting. Manusia punya watak dasar agresif, untuk
mempertahankan spesies, dalam rangka survive.
Dan itu biasanya ada ­konsekuensinya, kita ­harus
‘agresif’ pada yang di luar diri kita, yang kita
­anggap mengancam ­cita-cita untuk survive.

Setiap orang ingin nyaman, aman,


­tidak ­terganggu, nah secara insting jadinya,
“­Jangan-jangan yang lain ini akan mengganggu
keamanan, kenyamananku.” Terus cenderung
‘agresif’.

Misalnya, ada kawan yang suka ganggu,


­begitu kawan itu bilang, “Eh nanti sore aku main
ke rumahmu ya!”

“Ah nggak bisa, aku ada acara.”

Pokoknya kita berusaha agar ­privasi


­nggak terganggu. Ini natural, dalam rangka
kita ­beradaptasi. Ini teori pertama. Berarti ada
­bibit-bibit dalam diri kita itu untuk ­membenci.
Ya meskipun kita juga punya karakter untuk
­mencintai. Tinggal milih yang mana.

208
Kita mampu bersedekah, mampu maling.
Nah itu kita milih yang mana. Itu bedanya manusia
dengan makhluk yang lain. Kalau hewan kan ­nggak
ada pilihan, dasarnya insting saja. Kita dikasih
akal, ada pilihan-pilihan.

Di antara nature-nya, manusia punya pilihan


kebencian. Orang itu punya kemampuan korupsi,
apa tidak korupsi. Membenci juga bisa, mencintai
juga bisa. Kita mau pilih mana.

Kedua, ada perspektif psikologi. ­Kalau


­menurut psikologi, kebencian itu hasil dari
­pengalaman individual sejak kecil. Kita ­membenci
apa, itu biasanya karena pengalaman. ­Bukan
sesuatu yang kita punya kemampuan alamiah
­membenci, tapi apa yang kita benci sebenarnya
hasil pengalaman.

Misal ternyata orang yang melakukan teror


pada saya ketika kecil itu cirinya gini, gitu. Terus
disimpan dalam hati, semua yang punya ciri itu
kita benci.

Ketiga, ada perspektif sosial. Kebencian itu


tidak melulu hasil pengalaman. Ya memang bisa
hasil pengalaman, tapi pengalaman itu lahir dari
struktur. Jadi pengalaman sosial.

Misalnya, kita sebenarnya nggak


­tahu-menahu tentang apa itu terorisme.

209
Tapi struktur sosial hari ini, membentuk
pikiran kita, kayak gitu lho teroris itu, harus kita
jauhi.

Kenapa kita bisa benci aliran ­tertentu,


­kelompok tertentu, itu struktur sosial kita
yang membentuknya. Pengalaman sosial kita
yang ­membentuknya. Bukan hanya pengalaman
­individual tapi juga sosial. Dari situlah kebencian
bisa lahir.

Jadi kita itu punya potensi untuk ­membenci,


punya pengalaman yang melahirkan kebencian,
dan dunia sosial kita biasanya terstruktur untuk
membenci sesuatu, dan menyukai sesuatu. Jadi
tiga teori itu main semua dalam urusan benci atau
cinta kita.

Misal orang Afrika suka perempuan ­model


itu, orang Jawa suka yang model ini, orang ­Amerika
suka yang model sana, itu terbentuk karena ­insting,
pengalaman individual, dan ­struktur sosial.

Tapi ya sekarang ini selera kita dibentuk


seragam, sebab ada globalisasi. Jadi cantik itu
ya identik kayak gitu, kayak yang ada dipikiran
kita sekarang. Harusnya Miss World itu cantiknya
per-wilayah. Sebab cantik itu lagi-lagi perspektif
konstruksi sosial. Ketidaksukaan, kebencian, dan
kesukaan, kecintaan kita itu semacam itu. Kita
tinggal memilih mau yang mana.

210
#95

“Janganlah tertawa melihat orang jatuh,


sebab tidak ada kejahatan yang disengaja, tapi
bersyukurlah kepada Tuhan karena kita sendiri
­tidak jatuh.” - Hamka.

Jadi jangan suka menertawakan orang yang


sedang jatuh, dengan asumsi hidup kita lurus
­terus, baik terus. Hati-hati, kecelakaan itu ­terjadi
cenderung di jalan yang sepi dan datar. Kalau
­jalan ramai dan berkelok-kelok itu kita cenderung
­hati-hati.

Ada orang ditangkap KPK misalnya, terus


kita ketawain, “Rasain! Makan uangnya rakyat
sih!”

Jangan-jangan kita juga terancam oleh itu.


Jangan-jangan kita korupsi dikit-dikit, tapi nggak
sadar. Kita merasa nggak jatuh, tapi sebenarnya
kita jatuh. Atau kalau memang kita tidak jatuh,
tapi kita menertawakan dia itu kita sedang tidak
berbudi. Yang berbudi itu kita bersyukur tidak ikut
jatuh.

Berterimakasih sama Allah, kita tidak


­ditaruh dalam posisi yang memungkinkan kita
­korupsi. Sebab kita nggak jaminan kalau di posisi
itu kita juga bakalan nggak korupsi.

211
Kalau ada orang jahat, orang buruk
kelakuannya, terus biasanya kita malah merasa
sombong, merasa lebih bersih, lebih baik dari
orang itu.

Padahal itu termasuk penyakit hati. Maka


bersyukur saja sama Allah. Sebab kebaikan kita itu
juga karena anugerah dan pertolongan dari Allah.

Nggak ada jaminan kalau di posisi orang


yang salah itu kita nggak melakukan seperti dia,
atau malah jangan-jangan kita bakal lebih parah.

Penyakit hati yang paling susah diobati itu


sombong dan sombong juga paling susah dideteksi.
Orang merasa tidak sombong itu juga kan bentuk
kesombongan, “Saya ini nggak pernah sombong.”

Sama aja itu, sombong.

212
#96

Ada banyak kesalahpahaman dalam hidup


kita, misal bab memaafkan. Pemaafan diartikan
sebagai melupakan kesalahan yang terjadi dan
menganggap tidak pernah terjadi apa-apa. Ini
­kesalahpahaman.

Memaafkan itu bukan berarti kita ­melupakan


kesalahan. Yang melupakan kesalahan itu nggak
termasuk jenis pemaafan. Jadi maaf nggak boleh
lupa kalau yang dilakukan itu tetap kesalahan.
Biar kita nggak bikin salah lagi yang kedua.

Terus ada juga yang nganggep kalau maaf


itu simbol lemah. Jangan dimaafkan, hanya
­orang-orang lemah yang memaafkan, gitu. ­Padahal
hanya orang-orang kuat yang bisa memaafkan.
Memaafkan itu nggak gampang. Kita yang disalahi,
dicurangi, dibohongi, itu kalau bisa memaafkan
luar biasa.

Jadi maaf nggak ada hubungannya ­dengan


kelemahan. Sebab nggak banyak orang bisa
­memaafkan, kalau ingin membalas ­mungkin
­banyak. Terus pemaafan ada yang ­menganggap
­kalau dimaafkan nggak adil, ada yang harus
­dihukum. Jadi antara keadilan dan pemaafan ini
dua hal yang berbeda.

213
Adil itu hak, tapi maaf itu keluhuran,
­kebaikan. Agama mengatakan adil itu urusannya
dengan hak. Orang yang jatahnya 30 kasih lah 30.
Itu adil.

Di atas adil ada Ihsan. Ihsan ini ­melampaui


keadilan. Misal harusnya zakat cuma 2,5%, tapi
kita zakatkan 50%, yang 47,5% itu Ihsan. Kita
­menyebutnya shadaqah. Itu Ihsan namanya.

Nah maaf itu levelnya Ihsan. Sebenarnya


kita di sakiti, di dzalimi, kita punya hak untuk
membalas, menuntut keadilan, tapi kita milih
­memaafkan. Itu berarti Ihsan. Jadi pemaafan itu
bukan berarti tidak adil, tapi perbuatan kebaikan.

Terus ada lagi yang menganggap maaf itu


hanya untuk orang yang ‘dekat’ dengan kita atau
orang-orang yang minta maaf. Ini juga ­masuk
­kesalahpahaman pemaafan. Kalau orangnya ­minta
maaf baru kita maafkan, tapi kalau nggak, ya
­nggak. Padahal nggak usah nunggu orang minta
maaf, kita bisa memaafkan.

Ada lagi maaf itu bisa cepat dan mudah.


­Padahal memaafkan itu butuh proses. Orang perlu
mempertimbangkan dulu kesalahannya fatal apa
tidak. Fatal pun ada tahapannya sampai orang bisa
memaafkan. Kalau cepat dan mudah, ­biasanya
hanya dimulut saja, kayak kita pas lebaran itu.
Maaf yang serius itu ada prosesnya.

214
Terakhir, maaf bukan berarti membolehkan
atau menganggap baik perilaku yang keliru. Ada
orang bohong sama kita, terus kita maafkan. Itu
bukan berarti bohong itu boleh. Bohongnya nggak
lantas jadi benar. Kejahatan yang dilakukan tetap
jahat. Cuma kita memaafkan dia.

215
#97

Betapapun situasi hidup kita, kalau


­kombinasinya dengan ilmu yang lahir adalah
­kebaikan dan keberkahan. Kalau ilmu kita
­kombinasikan dengan kekayaan, kemungkinan
akan lahir inovasi-inovasi.

Sebab orang berilmu yang kaya, berarti dia


punya modal. Ketika kaya plus ilmu bergabung,
inovasi lahir.

Sebaliknya, kalau kekayaan itu ­kombinasinya


lawannya ilmu, kebodohan. ­Kemungkinan
­lahirnya bukan inovasi, tapi kerusakan. ­Kalau
ilmu ­kombinasinya dengan kebebasan, akan
­melahirkan kebahagiaan, kebenaran. Tapi kalau
­kebebasan kombinasinya kebodohan, lahirnya
­pasti ­kekacauan.

Kalau ilmu kombinasinya dengan ­kekuasaan,


Insya Allah akan melahirkan keadilan. Tapi ­kalau
kekuasaan kombinasinya dengan kebodohan,
­kemungkinan hasilnya adalah kedzaliman.

Bahkan kalau ilmu kombinasinya dengan


kemiskinan, lahirnya jiwa-jiwa yang qana’ah.
Tapi kalau kombinasinya dengan kebodohan,
­kemungkinan yang lahir itu perilaku kejahatan.

216
Jadi untuk kualitas diri kita, di situasi
­apapun yang kita alami, kombinasinya akan bagus
kalau plus ilmu. Termasuk saat kita menghadapi
bencana.

217
#98

Saat kita merasa bersalah, kita juga perlu


memaafkan diri kita sendiri. Kalau nggak, sama
dengan orang yang tidak memaafkan, kalau ­pakai
bahasa sekarang, nggak bisa move on. Orang
yang selalu merasa bersalah itu juga nggak bisa
­apa-apa, terpenjara oleh kesalahannya.

Di titik tertentu kita harus memaafkan diri


kita sendiri. Kadang kita kan melakukan ­kesalahan,
“Kok gitu ya tadi saya ngomongnya.”

“Kok gini ya, situasinya, saya tadi harusnya


nggak melakukan itu.”

Kita kan menyesal, diingat-ingat ­terus.


Kadang yang bersalah itu dobel gelisahnya
­dibandingkan yang disalahi. Orang yang bohong
itu gelisahnya dua kali lipat orang yang dibohongi.
Untuk memaafkan diri, kita harus tanggung jawab,
akui kalau salah dan siap tanggung jawab.

Tanggung jawab ini lebih kondusif untuk


hidup yang lebih ringan. Lebih ringan daripada
kita lari dari kesalahan. Kalau sudah mengakui
dan tanggung jawab. Kita biasanya menyesal,
“Sudahlah, saya nggak akan ngulangi lagi. Kapok
saya.”

218
Kalau siap tanggung jawab, tapi kok
­nggak menyesal, itu alamat bakal diulangi lagi
­kesalahannya. Kalau sudah menyesal, kita ­biasanya
akan memperbaiki yang keliru.

Kalau ada hak yang harus dikembalikan, ya


kembalikan. Diri sendiri, mental yang rusak, ya
usaha dipulihkan. Siap untuk memperbaiki segala
yang rusak, lahir ataupun batin.

Baru kita lahir kembali, jadi orang yang


­lebih baik lagi setelah memaafkan diri kita ­sendiri.

219
#99

Penderitaan itu terjadi karena manusia


­ilmunya kurang. Pengetahuannya kurang dalam.
Jadi penderitaan itu lahir karena salah memahami
hidup. Maka dari itu, untuk mengatasi penderitaan
kita, pertama harus dibereskan dulu pengetahuan
kita, jalan berpikir kita. Berpikir mulai dari diri
kita sendiri.

Kayak kita belajar tentang sakit, kita anggap


sakit itu buruk, nggak enaknya saja. Tapi ternyata
di balik sakit itu juga ada hikmah-hikmahnya. Nah
membuka hikmah ini kan kita perlu pengetahuan.
Berarti apa?

Banyak penderitaan yang kita alami itu ­lahir


karena kita nggak tahu rahasianya. ­Pengetahuan
kita kurang, terutama tentang diri kita ­sendiri.
Siapa kita? Dari mana kita? Apa sih peran dan
­posisi kita dalam hidup ini? Dari mana asalnya rasa
­menderita ini? Apa tujuan hidup kita?

Dan seterusnya.

Kalau ­pertanyaan-pertanyaan ini ­terjawab,


nanti akan banyak hal yang kita kategorikan
­sebagai penderitaan akan ketemu jawabannya.
Jadi tidak melihat ke masalah, tapi melihat ke
manusianya yang bermasalah.

220
Sebab sekeliling kita yang kita anggap
­sebagai sumber penderitaan itu sebenarnya kan
hal yang netral-netral saja.

Hal itu jadi penderitaan ketika kita ­persepsi,


kita cerna dan kita beri judul sebagai penderitaan.
Maka yang harus dibereskan pikiran kita dulu.

Kita hati-hati benar, sekecil apapun


­kesalahan, sekecil apapun kekeliruan, kita akan
panen hasilnya. Perbuatan apapun akan ada
buahnya, kalau baik ya baik, kalau buruk ya buruk.

Hidup ini memang banyak ketemu


­penderitaan, yang secara umum bisa ujian atau
cobaan, bisa pengampunan dari dosa, bisa juga
bagian dari perjuangan untuk sampai ke Tuhan.

Ada kalanya penderitaan itu ujian dan


cobaan, tapi yang namanya ujian kan nanti ada
‘hadiah’nya kalau lulus. Orang yang punya ­pikiran
ini, dia mengalami apapun, akan dia anggap
­sebagai ujian yang harus diselesaikan. Cari solusi
yang tepat sampai dia menemukan kebahagiaan.

Terus kalau untuk menuju Tuhan itu


kan kita banyak usaha, banyak hal yang harus
kita ­korbankan, entah kecil, besar. Tapi kan di
situ ada perjuangan, ada pengorbanan. Ketika
ada ­pengorbanan dan perjuangan ya pasti ada
­sedikit-banyak rasa menderita.

221
Kita disuruh zakat, kalau levelnya kita
itu kan sebenarnya nggak enak. Sebagian harta
­dikasihkan ke orang lain, padahal nyarinya saja
sampai setengah mati misalnya. Tapi itu kan kita
jalani demi bisa sampai pada Tuhan. Terus ­misalnya
shalat lima waktu, itu mungkin kita ­korban ­tenaga.

Ada juga yang, “Saya miskin nggak apa-apa,


asal Allah ridha.”

Itu perspektif penderitaan, biar kita ­diridhai


Allah. Penderitaan ini kan hakikat ­hidup, hidup
kita pasti isinya duka. Penderitaan itu bisa biasa,
misal sakit fisik. Ada juga penderitaan ­karena
­perubahan, misal karena putus cinta, ­menderita
karena ditinggal orang yang kita sayangi dan
­seterusnya.

Intinya tidak tercapai keinginan. Terus


ada juga penderitaan kita sebagai manusia. Kita
­lahir dengan karakter yang lemah, tidak berdaya,
­banyak keterbatasan, nanti tua dan mati. Ada
suatu syair yang bagus,

“Hidup apa senangnya? Mati apa susahnya?


Kasihan manusia di dunia selalu hidup menderita.”

Jadi apa sih kesenangan hidup ini? Sampai


kita mati-matian mengejarnya? Terus mati, ­kenapa
kita begitu takutnya dengan kematian?

222
Kasihan manusia di dunia hidupnya jadi
­menderita. Harusnya di dunia ini senang, ­akhirnya
jadi nggak senang karena begitu terobsesi
­mengejar kesenangan dunia.

Jadi penderitaan itu sebabnya ada dua,


­nafsu dan kebodohan. Kalau kebodohan ­sudah
jelas, kalau nafsu ini hasrat kita yang tidak
­terkendali.

223
#100

Sebanyak apapun ibadah kalau nggak


­sampai ke terminal yang namanya cinta Ilahi,
itu ­biasanya cuma dapat capeknya. Untuk bisa
ini apa? Ya pelan-pelan, kita nggak bisa tiba-tiba
­terus jadi wali. Kita perangi dulu nafsu hewani
kita. ­Biasanya nafsu yang sebabnya kita sendiri,
hasrat, ­keinginan dan seterusnya.

Rakus, tidur berlebihan, malas, itu musuh


paling besar dalam diri kita. Kalahkan ini dulu.
­Kalau mengalahkan diri sendiri saja nggak bisa,
jangan harap dapat cinta Ilahiyah.

Kalau sudah menang dari diri sendiri, baru


kalahkan sifat ‘kebuasan’, biasanya ini keluar,
kayak marah, caci maki orang, bikin susah orang,
ambisi menjatuhkan orang lain.

Tugas kita juga harus membersihkan diri


dari sifat jahat, angkuh, sombong, iri, dendam,
tamak. Buang itu semua. Baru setelah itu kita bisa
sadar. Sebelum itu semua kalah, kita nggak akan
sadar kalau kita itu keliru, salah berdosa. Cuma
sadar ini masih belum cukup, kita harus naik ­kelas.
Kita isi diri kita yang bagus-bagus.

PR kita masih sangat banyak.

224
Sekarang ini kita masih belum bisa, ­hanya
Allah saja yang cinta dengan kita. Kita belum
­sampai benar-benar mencintaiNya.

Berpuluh-puluh tahun kita hidup, kita jual


mahal sama Allah, padahal apa-apa yang ngasih
Allah. Itu kurangnya apa Allah sama kita?

Kok kita masih belum bisa cinta setulusnya


sama Dia.

Untung cinta Allah itu sejati sama kita. Jadi


kita nggak dicueki, nggak ditinggal. Kita malah
­ditunggu sampai kita jatuh cinta padaNya. Kita
nya malah jual mahal, sampai kapan kita sadar
kalau terlalu mahal kita ‘menjualnya’ sama Allah.

225
#101

Orang dapat hidayah itu mirip dengan orang


yang dapat pencerahan. Setelah selama ini misal
baca Al-Qur’an, tapi belum juga dapat hidayah.
Belum kelihatan mana yang benar mana yang
salah. Makanya di Al-Fatihah itu kita selalu berdoa
mohon ditunjukkan jalan yang lurus.

Jalannya sebenarnya sudah banyak


yang lurus di Al-Qur’an, kalau kita cerdas. Tapi
­keterbukaan pengetahuan plus kesadaran yang
kita sebut pencerahan itu, butuh namanya
­hidayah. Jadi ilmu mungkin banyak, tapi belum
dapat ­hidayah.

Banyak orang tahu kalau bikin berita bohong


itu keliru. Tapi jarang yang dapat hidayah untuk
sadar nggak bikin berita bohong. Itu ­hubungannya
sama hidayah.

Jadi orang pintar itu banyak, tapi yang


dapat hidayah nggak banyak.

Kalau di pidato-pidato itu, hidayah


­disandingkan dengan Taufiq. Taufiq itu kesesuaian.
Jadi kalau minta Taufiq sama Allah, berarti kita
minta agar yang kita inginkan itu cocok sama
­keinginannya Allah.

226
Kalau dua-duanya ini masih berat untuk
kita, kita minta yang namanya Inayah. Inayah itu
pertolongan. Terus kok masih berat juga, “Ya ini
yang bisa saya lakukan, tidak bisa sedalam itu,
­sebab itu saya minta ridha dari-Mu.”

Kalau mungkin pas kita dapat hidayah


dari Allah, terus berusaha agar yang kita ­lakukan
­sesuai dengan maunya Allah. Tapi kok belum
bisa, ya kita minta ridha-nya Allah. Semoga Allah
­meridhai ­kemampuan kita yang hanya segini ini
dan ­berharap diberi Syafaat.

Syafaat itu pertolongan belakangan. Misal


hasil ujian kita sebenarnya jelek, cuma karena
Allah kasihan, terus dikasih Syafaat.

227
#102

Banyak sekali lintasan batin dan pikiran


yang kita harus hati-hati. Kepala kita ini kan rame
terus, hati kita juga rame terus. Bisikan itu kan
macam-macam, bertumpuk, berserakan.

Kadang kita sadar, kadang kita nggak ­sadar.


Kalau ada ‘bisikan’ itu harus kita deteksi. Itu
­suaranya nafsu, setan, atau dari Allah.

Kalau nafsu itu biasanya sifatnya godaan


untuk pemenuhan hasrat atau keinginan kita.
Ini nggak selalu salah, penuhi saja di jalan yang
benar, halal dan secukupnya.

Misal, makan ­harus dipenuhi tapi


­secukupnya. Termasuk hasrat ­seksual, penuhi di
jalur yang benar dan halal sekaligus ­secukupnya.

Hal-hal di wilayah nafsu ini ­biasanya


­kekurangan atau kelebihan itu nanti jadi
­merusak. Makan nggak terpenuhi, nanti ­merusak.
­Kebanyakan makan juga begitu. Makanya dari
­nafsu ini rumusnya kita ambil jalan tengah.

Tidak penakut, tidak nekat, tapi ­berani. Nah


ini jalan tengah. Sebab memang bisikan ­nafsu itu
untuk menggoda kita memenuhi. Begitu ­melenceng
jalur, ya kita rasakan sendiri ­sengsaranya.

228
Terus kalau setan sifatnya tipuan. ­Cirinya
tipuan itu barang jelek yang ­kelihatannya baik.
­Ditampakkan kalau itu baik, normal, ­nggak
­masalah, padahal sebaliknya. Suara-suara
semacam itu biasanya dari setan.

Misal, “Nggak apa-apa kan lawan jenis kita,


wajar kita begitu, yang salah itu kan kalau sesama
jenis. Lakukan sajalah.”

Kalau ada kawan kita kok menasehatinya


jenis kayak gitu, berarti dia ya gitulah. Jadi yang
buruk ditampilkan jadi kelihatan baik.

Kalau dari Allah itu biasanya petunjuk ke


arah kebaikan dan kebahagiaan atau hidayah
­kalau bahasa kita sekarang. Jadi cirinya, bisikan
­Allah itu sejalan dengan akal sehat, kalau bisikan
setan itu sejalan dengan hawa nafsu.

229
#103

Kalau kita betul-betul haus ilmu, ingin


mendapat ilmu, tapi kalau kita menuntut ilmu untuk
bersaing, berbangga, mengalahkan kawan, meraih
simpati orang, dan mengharap dunia, ­sebenarnya
yang kita lakukan itu sedang ­menghancurkan diri
kita sendiri, agama dan menjual akhirat dengan
dunia.

Kita harus selalu cek niat.

Jadi prosesnya, kita punya wawasan, ­punya


ilmu, nah ilmu ini nanti jadi hidayah apa tidak
­untuk hidup kita?

Jadi pencerahan untuk hidup apa malah


bikin kita jauh dari Allah? Makanya ilmu dulu baru
hidayah. Kita berusaha jadi orang untuk ­mengalami
pencerahan.

Ilmu kita bisa nambah, tapi belum tentu


kita tercerahkan, perilaku kita masih gitu-gitu saja
atau malah jadi beban masyarakat dan sejarah, itu
alamat kita nggak nambah apa-apa ­hubungannya
dengan Allah. Malah semakin jauh.

Sebab ilmu kita nggak menyadarkan,


­bentuknya bukan hidayah, bukan pencerahan yang
bikin kualitas hidup kita makin baik.

230
Jadi makin nambah ilmu kita, harusnya
­makin kita sadar betapa kecilnya kita, betapa
­lemahnya, betapa besarnya kuasa Allah, ­makin
rendah hati dan seterusnya. Ini bukan cuma
hubungannya dengan ilmu agama formal yang kita
pelajari, tapi lebih luas lagi konteksnya. Segala
macam ilmu.

Orang yang menyalahgunakan ilmu demi


harta, kedudukan, dan pengikut. Celakanya lagi,
masih mengira punya kedudukan khusus di sisi ­Allah
karena kepandaiannya seperti Ulama, ­padahal dia
begitu tamak pada dunia, lahir dan batin.

“Ah manusiawi kan kita nyari ilmu buat cari


ijazah, manusiawi juga lah kita merasa lebih tinggi
dari yang lain. Wajarlah.”

Kita sering salah arti tentang kata


‘­manusiawi’ ini. Manusiawi itu bukan berarti yang
buruk-buruk aja, yang baik-baik juga manusiawi.
Jadi orang baik bisa, jadi buruk bisa.

Maka kebaikan juga manusiawi. Potensi


itu ada dalam diri kita. Kita selama ini kan pakai
alasan manusiawi hanya untuk yang buruk-buruk
saja.

231
#104

Suatu ketika seseorang ditanya, “Pakaian


apa yang engkau sukai?”

Jawabannya, “Yang paling tebal, paling


kasar, paling buruk di mata manusia.”

“Bukankah Allah itu Maha Indah dan


­menyukai keindahan?”

“Engkau salah paham, keindahan di situ,


­bukan itu maksudnya, andai kata keindahan di sisi
Allah itu karena pakaian, tentulah ­orang-orang
lacur itu lebih mulia dari orang baik. Pejabat
­koruptor yang kaya raya itu mobilnya indah,
­bajunya indah, istrinya indah semua.

Apa mereka dicintai Allah gara-gara itu? Kan


tidak. Keindahan dalam kalimat itu ­maksudnya
apa? Sebenarnya keindahan yang dimaksud
adalah mendekatkan diri pada Allah. Melakukan
­ketaatan, menjauhi maksiat, berakhlak mulia,
­itulah ­keindahan. Itulah yang disukai Allah.

Jadi kalau kita sedang berjuang ­menjauhi


maksiat, yang kita lakukan itu indah. Bukan
­bajumu, bukan selfa-selfie mu itu. Keindahan itu
pada akhlak kita.”

232
#105

Benci itu tidak sama persis dengan tidak


suka. Suka dan tidak suka itu manusiawi. Bahkan
benci tidak sama persis dengan marah, meskipun
marah kadang-kadang jadi gejalanya benci.

Misal disakiti terus marah atau takut, itu


manusiawi. Benci ini kayak tingkatan selanjutnya.

Benci itu bisa dibilang tidak suka dalam


­bentuk ekstrim. Orang tidak suka itu biasa,
­wajar. Tapi ketidaksukaan ini diapakan itu yang
­menentukan akan lahir kebencian apa bukan.
­Kalau benci itu pasti mendalam. Kalau marah
­sesaat itu biasa.

Tapi kalau marahnya kita ingat-ingat,


­terus kita pelihara terus. Di situ lahir kebencian.
­Kemarahan yang dipelihara itu kayak orang bunuh
diri. Jadi ada pepatah,

“Marah itu, benci itu, ­kayak kita minum


­racun tapi kita inginnya orang lain yang mati.”

Kemarahan, ketakutan, ketidaksukaan


yang dipelihara, jadi mendalam, itu nantinya jadi
­kebencian. Boleh orang itu merasa tidak suka, tapi
rata-rata dalam Al-Qur’an atau Hadits, mencela
kebencian. Sebab kebencian itu merusak.

233
Kebencian itu kondisi mental, ­kondisi
ego, yang ingin menghancurkan segala yang
­tidak ­menyenangkan, segala yang membuat
orang tidak bahagia. Orang hidup itu biasanya
­pertimbangannya ketika memutuskan sesuatu itu
suka dan tidak suka. Wajar.

Tapi hati-hati, sesuatu yang kita pelihara


itu ada ongkosnya. Kalau memelihara rasa marah,
dendam, ketidaksukaan, ya nanti ongkosnya jiwa
kita sendiri, mental kita sendiri. Kita malah rugi
memelihara penyakit dalam diri kita sendiri.

234
#106

Memayu hayuning bawono itu memperindah


keindahan dunia. Ini kan agak unik ­terminologinya,
sudah indah kok diperindah lagi?

Maksudnya apa?

Memberi makna hidup.

Hidup ini sudah bermakna, sudah ­indah,


maka berilah makna yang indah juga. Terus
­memayu itu apa? Tanamkan kebaikan, nanti dia
akan tumbuh kebaikan juga. Ini logikanya petani,
menanam baik, hasil juga baik. Dunia ini sudah
­indah, tapi kalau kita nggak ‘indah’, ­keindahannya
akan rusak.

Terus makna lainnya apa? Kekanglah ego


kita, kekanglah hawa nafsu kita. Kendalikan itu
biar nggak merusak dunia. Sebab yang merusak
dunia itu ya biasanya hawa nafsu, hasrat, ambisi.
Kalau gitu, jalannya gimana?

Iqro’. Bacalah realitas. Kalau di Jawa


­membaca realitas itu ada istilah yang namanya
ilmu titen. Alam semesta ini ada hukumnya. Untuk
kita ngerti mana yang baik, mana buruk, titeni.
Ilmu titen itu ilmu ingat-ingat.

235
Bacalah Sunnatullah. Sunnatullah ini nggak
berubah-ubah, jadi bisa kita pakai rumusnya.

Kalau kita malas, ya nanti nggak sukses,


kita akan bodoh. Tapi kalau kita tekun dan rajin,
kita bisa cerdas, sukses. Terus misalnya di Jawa
ada wuku, mongso, weton dan seterusnya. Bisa
­merumuskan karakter orang dari model wajah,
bentuk tubuh dan macam-macam lagi. Ini ilmu
titen.

Hidup ini ada rumusnya, jangan ngawur.

Niteni ini kalau di barat, nanti akan


melahirkan sains. Pintarnya mereka membaca
­fenomena-fenomena alam yang ‘nggak berubah’.
Kalau itu nggak tetap, nggak akan jadi sains. ­Karena
itu tetap, terus dititeni, dan bisa ­dirumuskan.
­Lahirlah sains.

Itulah yang disebut Memayu hayuning


­bawono.

236
#107

Gimana cara kita membentuk orang jadi


baik?

Gimana cara melahirkan orang baik?

Kebaikan itu lahir dari beberapa cara. ­Tahap


paling awal, paling mudah itu meniru. ­Meniru
ayah membantu tetangga yang susah misalnya.
Kalau niru ini masih hanya ikut-ikutan, belum
ngerti arahnya kemana, alasannya apa, tujuannya
­kemana, hakikat perbuatannya seperti apa kan
hanya niru.

Terus ada saatnya kita mencerna ­dengan


pikiran kita. Mulai diolah, dipertimbangkan. Ini
memang baik, benar apa tidak. Ini memang ­sudah
sesuai apa tidak.

Kita kan sering bikin ­pernyataan, kenapa


dirimu Muslim, kenapa dirimu Islam, ya ­awalnya
memang imitasi. Ikut orang tua, ­lingkungan ­sekitar.

Tapi kita nggak perlu pesimis, “Wah, berarti


Islamnya hanya ikut-ikutan.

Kita diberi akal, bisa mikir, punya hati, bisa


mengolah pengetahuan.

237
Misal, “Dulu ya Islam saya memang ­ngikut
orang tua, tapi ternyata saya tahu sekarang
ternyata Islam itu memang baik dan sejati.”

Ketika akal jalan, pikiran jalan, wawasan


makin luas, makin bijaksana. Setelah itu kita aksi.
Sudah punya sikap hidup sendiri. Misalnya, dulu
shalat itu hanya ikut ayah ke Masjid. Sekarang
­sudah jadi pilihan ke Masjid sendiri, sebab sudah
paham kalau Masjid itu baik.

Ini kita sedang menjalankan aksi. Aksi ini


­kalau diulang-ulang terus menerus, akan jadi
­habit. Kalau sudah jadi habit, itulah namanya
karakter, sudah mendarah daging. Kalau habit
kita kebaikan, maka akan lahir karakter kebaikan
dalam diri kita. Lahirlah orang baik.

Orang baik itu tentu saja orang yang yang


habit-nya kebaikan. Kalau sudah jadi karakter,
­kebaikan akan keluar secara spontan dari diri kita.
Kalau bahasa agamanya, kita bisa punya akhlak
baik. Ini berawal dari aksi kita yang berulang terus
menerus.

238
#108

Sesekali, dengarkan musuhmu. Ini agak unik.


Musuh itu biasanya yang bisa cepat ­menemukan
jelek kita dimana, sebab itu saja bagian yang
­paling sering diurusinya. Berarti kalau mau tahu
kita jeleknya dimana, cari tahu musuhmu bilang
apa. Kalau sudah tahu letak salah atau buruknya
kita, segera perbaiki.

Meskipun kalau merasa nggak punya ­musuh,


ya jangan bikin-bikin musuh. Kalau kebetulan ada
orang yang nggak suka dengan kita, yang benci
­dengan kita, ya kita manfaatkan ­kebenciannya
­untuk kebaikan kita. Mungkin ini bisa jadi
­alternatif, sebab selama ini kan kita melawan
­kebencian dengan kebencian, terus akhirnya jadi
dendam dalam diri kita.

Sekarang, kalau ada orang benci atau


­nggak suka sama kita, biarkan dia ngomong yang
­banyak, memaki-maki. Silahkan saja. Kita ­tunggu.
­Alhamdulillah kita nggak perlu ­capek-capek
­menilai buruknya kita dimana.

“Oh, berarti kelemahan saya di situ, ­berarti


orang sakit hati kalau saya berperilaku seperti
itu.”

Jadi ambil manfaat dari musuh kita.

239
Kita juga bisa belajar dari pengalaman
orang lain, “Oh begitu ya jeleknya penghasut itu,
semoga saya nggak sampai berbuat begitu.”

“Itu ya rusaknya orang saling membenci,


semoga saya terhindar dari rasa benci.”

Nah itu, cara mengenali kekurangan diri.


Jangan masuk kelubang yang sama dengan yang
­dimasuki orang lain dan terbukti dia celaka. ­Kenapa
kok kita kadang-kadang mengulangi ­kesalahan
­bolak-balik?

Kita nggak belajar.

Kesalahan orang ataupun ­kesalahan kita,


sama saja. Kita punya potensi untuk ­melakukannya
juga, sebab kita sama-sama ­manusia. Kita bisa
­belajar membuka mata, telinga, hanya saja ­mungkin
kita nggak peka atau batin kita gelap, kita jadi
lebih sulit belajar dari ­pengalaman-pengalaman
yang lain.

240
#109

Abu Nawas itu orang yang suka nyari senang.


Cuma kesenangan ini bukan kesenangan duniawi,
tapi kesenangan intelektual.

Yang dilakukan Abu Nawas sebagian ­besar


adalah berpikir dan mengkritik masyarakat pada
zamannya. Abu Nawas sering menyindir ­masyarakat
itu suka munafik, suka hipokrit.

Kalau senang, nggak mau bilang senang


karena jaim. Kalau enak, nggak mau bilang enak
karena khawatir derajat sosialnya turun kalau
ngaku enak. Itu yang sering dikritik Abu Nawas. Kita
juga sering hidup dengan gaya jaim, ­malu-malu,
padahal suka.

Misal kalau ditanya, “Suka nggak ini?”

Bilangnya nggak suka, padahal suka.

“Tontonan itu membuat kita lupa akhirat.”

“Saya nggak suka karena agama melarang.”

“Saya yang kayak gitu nggak mungkin,


­bersih saya itu.”

241
Kalimat ini kan konotasinya seolah-olah
nggak suka, padahal kalau lebih jujur juga nggak
apa-apa. Akui saja suka. Kalau versi Abu Nawas,
“Ya saya suka, tapi dilarang oleh agama.”

Mending jujur saja.

Sebenarnya segala kontroversi ­tentang


Abu Nawas, itu karena krisis pribadinya. ­Krisis
­pribadinya muncul karena melihat agama dan
­masyarakatnya cenderung fokus ke ­materialistik.
Dan itu ­ditertawakan Abu Nawas. Tapi
­menertawakannya tidak dengan caci maki, dengan
gayanya sendiri.

Termasuk mabuk-mabukannya, hura-hura,


pokoknya yang senang-senang terus Abu Nawas
lakukan, dan segala keburukkan yang dia ­lakukan
di masa muda. Itu karena dia kesal luar biasa
­dengan masyarakatnya. Tapi pada akhirnya Abu
Nawas tobat.

242
#110

Kalau kita ngaku muslim, orang ­sekeliling


kita juga harusnya merasa aman dan nyaman
­dengan keberadaan kita. Kalau masih ada yang
susah, keberadaan kita malah nambah masalah,
kita berarti belum muslim yang sejati.

Terus kalau mukmin apa?

Dia orang yang sadar, yang tahu apa yang


dikatakan oleh Allah, itu yang dia lakukan. ­Terus
dia ‘takut’ pada Allah. Kalau dia memberikan
­hartanya pada orang lain, seolah-olah dia tidak
tahu, tidak merasa kehilangan apa-apa.

Intinya perilaku seseorang yang percaya


pada firman Allah, ‘takut’ hanya pada Allah dan
orang yang nggak perhitungan dalam kebaikan.

Terus kalau kita sering ngomong, sufi, itu


apa?

Sufi itu orang yang hatinya selalu bertakwa


pada Allah. Kalau bicara benar, menepati janji,
tidak memuji diri, membantu yang lemah, dan
mengerjakan yang baik-baik.

Jadi ini bisa kita pakai untuk bahan ngaca


sama diri kita sendiri.

243
Kita ngaku muslim, sudah muslim apa
­belum? Ngaku mukmin, sudah mukmin beneran
apa belum? Kalau sufi, nggak tahu, ada yang ngaku
sufi atau nggak.

Terus Fakih itu apa?

Kalau Fakih ini bagi yang ngaku Ulama atau


Kiai, ahli agama. Fakih itu orang yang ­tidak lagi
‘­butuh’ dunia, orang yang paham agama, ­senantiasa
beribadah berarti menjalankan ­ilmunya, mampu
mengendalikan diri untuk nggak melakukan hal
tercela dan orang yang menjaga kehormatan kaum
muslim sekaligus membimbing masyarakat.

Jadi itu diantaranya ciri ahli agama,


­menjaga kehormatan siapapun. Berarti tidak
­posting apapun yang buruk-buruk tentang orang
yang lain. Kalau masih ada indikasi itu berarti
mungkin belum Fakih.

Silahkan kita dicek, kita masuk diantara


mana, atau belum sama sekali.

244
#111

Ini nasihat lama, nilai diri kita sendiri,


­jangan menilai orang lain. Sekarang kan kita lebih
sibuk menilai orang lain. Mungkin kita bisa diberi
penghargaan komentator terhebat.

Kalau ngomentari diri sendiri, mungkin


­nggak terlalu laku. Kadang-kadang kita ­ngomentari
diri sendiri juga biar dikomentari orang lain.

Kalau kita terus-terusan sibuk menilai orang


lain, kemungkinan kita akan sulit ­melahirkan
­kebaikan, sebab kita saja tidak bisa menuntun diri
kita sendiri.

Diantara tanda Allah berpaling dari


­seseorang adalah Allah menjadikan kesibukannya
di perkara yang tidak bermanfaat.

Diantara bahan ngaca kita, ayo kita cek,


kita sibuk, waktu kita terbatas, apa kita sibuk itu
ada manfaatnya untuk kita atau tidak.

Ada lagi bahan untuk kita menilai diri.


­Sekarang kan kita kadang-kadang begini,

“Halah, apa sih saya ini, saya ilmunya


­terbatas.”

245
Kalimat-kalimat yang merendahkan diri,
tapi gak terasa kita sebenarnya ingin pamer. Ingin
menunjukkan, “Ini lho saya sudah sadar.” Padahal
yang semacam itu juga riya’. Jadi harus gimana?

Ya tidak usah menilai-nilai terus kita


­pamerkan. Kita menilai untuk kita sendiri,
­perbaikan diri kita. Gampangannya kalau nggak
ada manfaatnya untuk orang lain, ya kita nggak
usah ngomong.

Kita kadang-kadang mengklaim sesuatu


­untuk memuji diri kita sendiri. Itu sejenis riya’
juga. Apalagi sombong, itu riya’, tapi dobel. ­Kalau
sombong juga bisa malah musyrik, sebab kita
merasa tinggi, merasa besar, merasa lebih.

Kita nggak sadar kalau segala kelebihan


itu dari Allah, bukan dari kita. Jadi sombong itu
kadang-kadang disebut syirik kecil. Terus ketika
kita mengecil-ngecilkan diri kita, biar orang lain
menganggap kita besar, itu baru riya’.

Seringkali masih manusia lain yang jadi


­pertimbangan kita, bukan Allah.

246
#112

Suatu ketika, Rumi dan gurunya ngobrol.

“Eh Rumi, kita malam-malam ngobrol gini


kan, enaknya sambil minum ya, tolong belikan
arak, nanti kita minum bareng-bareng.”

Rumi heran, “Sampeyan sehat, guru? Saya


nanti kalau ketahuan orang-orang, ketahuan ­murid
saya beli arak, saya malu.”

“Lho kamu mau apa tidak? Kalau nggak mau


ya nggak usah jadi muridku.”

“Iyalah, saya berangkat.”

Jadi toko araknya itu ada di perkampungan


Nasrani. Terus Rumi pakai jubah besar, habis beli,
araknya dimasukkan ke jubahnya. Kok kebetulan
ada orang Nasrani yang memperhatikan, “Ngapain
Rumi di sini? Malah beli minuman keras.”

Diikuti Rumi dari belakang. Begitu sampai


depan Masjid, orang Nasrani ini teriak, “Hey lihat!
Wali kalian, sufi kalian, beli minuman keras!”

Awalnya orang sekitar Masjid nggak ­percaya.


Terus dibuka jubahnya.

247
Rumi dibilang wali palsu, terus dipukuli
banyak orang di situ. Saat Rumi dipukuli, gurunya
tadi datang. “Hei, kalian salah paham, itu bukan
minuman keras. Itu cuma air putih biasa. Coba
liat.”

Ternyata benar, air putih biasa. Itu


­sebenarnya pelajaran untuk Rumi. “Rumi,
kamu membanggakan apa? Status? Nama besar?
­Kewalian? Penghormatan orang lain? Apa benar
mereka menghargaimu, menganggap dirimu
­penting? Cuma gara-gara botol kecil ini saja, kamu
sudah dipukuli.”

Jadi nggak ada atribut apa-apa, nggak ada


kebesaran, kebanggaan kalau sama orang lain,
manusia itu begitu. Maka jangan ­menyombongkan
nama besar, jangan menyombongkan nama
baik. Kalau kita menjaga nama baik di tengah
­masyarakat, apa nama itu?

Apalagi di era sekarang, fitnah, berita


­bohong berseliweran. Kalau kita andalannya cuma
nama baik, besok dibikin hoax, nama kita ­langsung
jatuh. Jadi nggak usah sibuk orang ­menganggap
kita apa, yang penting lakukanlah, jadilah orang
baik. Nggak usah mikir, “Benar nggak orang
­melihatku baik?”

Ada kebalikannya, aslinya kita jelek,


tapi ingin dianggap baik. Itu nanti yang disebut
­pencitraan.

248
#113

Ada hadits Nabi yang bilang, “Dia yang


­sedang dzalim, atau sedang didzalimi, harus kita
tolong, dua-duanya sedang tenggelam dalam
­kebencian.”

Orang mendzalimi itu kan pasti juga penuh


kebencian. Yang didzalimi juga lahir ­kebencian,
pada yang mendzalimi. Dua-duanya harus kita
­selamatkan. Untuk menghindari kebencian,
­kuncinya satu, persahabatan. Akrabilah yang kamu
benci.

Kita sama sahabat kita kan gitu, kita marah,


kita tersinggung, tapi kan terus balik lagi, kalau
sahabat. Kalau bukan sahabat kan bisa rame ­terus,
atau putus persahabatannya.

Itu alamat lama sembuhnya. Selama ini


kita maki-maki, di media sosial, berani nggak kita
rangkul dia untuk jadi sahabat?

Kalau sahabat itu kan enak, saling


­memaklumi, memaafkan, tidak menyebut jasa,
­tidak butuh ucapan terimakasih, dan seterusnya.

Kebencian itu dasarnya kita menilai sangat


rendah pada yang kita benci.

249
Seandainya kita manusia bahkan kita ­tidak
menganggap dia manusia lagi. Begitu ketemu
orang yang kita benci, status manusianya hilang.
Yang ada hanya kebencian kita padanya atau yang
membuat kita benci.

Misal begitu kita ketemu copet, itu kan


­statusnya dia sebagai manusia gugur, yang ada
copetnya. Maka kita pukuli. Kita lupa kalau dia
manusia, dia punya keluarga, punya istri, punya
anak. Tapi status manusianya kita hilangkan, dia
orang yang kurang ajar.

Itu menunjukkan dalam jiwa kita, ­kebencian


yang sedang dominan. Kita nggak sepakat perilaku
nyopet, iya benar. Tapi cara kita memperlakukan
seorang pencopet itu menunjukkan ada kebencian
atau tidak.

Orang itu kan hidupnya multidimensi. Tapi


kalau kita sudah benci, yang kita lihat cuma satu
­dimensi saja. Kalau ada orang jahat, kita ­hanya
­lihat perbuatan jahatnya, dan kita sebut dia
­secara total sebagai penjahat. Padahal selain
­kejahatannya dia juga punya sisi kehidupan yang
lain.

Kita tidak lantas setuju kejahatan, tapi


­letakkan kejahatan itu sesuai porsi dan ­proporsinya.
Bahkan tidak harus kita bawa kemana-mana dalam
hati dan pikiran kita. Kebencian itu kan malah kita
bawa kemana-mana tiap hari.

250
Kalau kita sudah benci sesuatu, simpatinya
hilang, apalagi empatinya. Orang yang kita benci
itu misalnya anaknya lagi sakit atau habis cerai
sama istrinya, kita malah senang. Itu kita nggak
bisa simpati atau empati, berarti dalam hati kita
ada kebencian.

Kalau ada orang lain susah, kita malah


senang. Kalau orang yang kita benci senang, kita
malah susah. Itu jiwa kita, jiwa kebencian.

251
#114

Mendidik akhlak itu biasakan diri kita ­berbuat


kebaikan, jadi bukan diceramahi. ­Pendidikan
akhlak, moral, macam-macam ini ­banyak di
­sekolah, pondok pesantren, ­lembaga-lembaga dan
sejenisnya. Tapi kok rasanya masih banyak orang
yang tidak mengutamakan moral?

Sebab cuma diceramahi, dikasih tahu.


­Nggak dibiasakan. Pendidikan moral yang bagus
itu pembiasaan dalam kebaikan.

Orang yang terbiasa berbuat kebaikan, ­nanti


sampai di terminal yang namanya ­kebahagiaan.
Kebahagiaan itu terjadi kalau kebaikan kita utuh.

Ini semua dalam rangka apa?

Membentuk jiwa.

Kalau kehidupan kita nggak bahagia,


­mungkin kebaikan kita kurang. Pikiran kita terlalu
banyak cabang, terlalu banyak pamrih-pamrih.
Jadi lakukan saja apa yang manfaat sebisa kita.

252
#115

Tentang kebersihan jiwa, jadi yang buruk


kalau bisa jangan sampai masuk dalam diri kita.
Diantaranya ada ambisi. Ambisi itu mengikatkan
kenyamanan kita pada apa yang dikatakan atau
yang dilakukan orang lain.

Orang yang berambisi itu kan targetnya


­biasanya keluar dari dirinya, kesuksesan yang
­bergantung pada orang lain. Hidup yang penuh
ambisi biasanya nggak akan nyaman, sebab
­bergantung pada yang di luar diri.

Bersenang-senang juga begitu. Kita


­mengikatkan kenyamanan pada yang terjadi
dalam diri kita, tergantung pada mood. Itu juga
akan ­sulit bersih jiwa kita kalau inginnya hanya
­senang-senang terus. Sebab kejernihan jiwa itu
kalau kita sudah bebas dari ketergantungan dari
apa yang di luar diri. Anda sudah bisa?

Terus, jangan sampai kita tertipu oleh dua


hal ini. Celaan dan pujian. Kalau kita misalnya
melakukan kebaikan, dicela atau dipuji orang,
itu nggak akan ada efeknya pada kebaikan kita.
­Kebaikan nggak akan jadi jelek meski dia dicaci
orang. Dan sebaliknya, keburukkan nggak akan
jadi baik meski dipuji-puji.

253
Efek dari celaan dan pujian ini biasanya
cuma citra-citra yang di luar saja, tapi yang baik
akan tetap baik, yang buruk akan tetap buruk.
Biar jiwa kita bersih, jadi kalau bisa nggak usah
terpengaruh dengan celaan atau pujian ini.

Terus, tidak ada kesombongan yang ­lebih


tinggi, dibandingkan orang yang ­membanggakan
ketidaksombongannya, kerendahatiannya.

Ada yang bilang juga, kalau rendah hati


itu ­kesombongan paling tinggi, menyombongkan
­kerendah hatian.

Lanjutnya, jangan kotori jiwa dengan


­kemarahan. Efeknya marah itu biasanya lebih
dahsyat dibanding sebabnya marah. Misal, marah
karena ada teman pinjam motor, tapi nggak ijin
dulu. Ungkapan kemarahan dalam bentuk apa itu
biasanya efek dari kemarahan ini lebih besar dari
sekedar sebabnya.

Makanya ada Hadits itu kalau sedang


marah, kita lagi berdiri, duduklah, kita lagi duduk,
­berbaringlah. Maksudnya itu jangan melakukan
apa-apa, sebab kita sedang ‘gelap’. Sebab efeknya
kita pasti sesali nanti.

Itu makanya kenapa balas dendam ­dilarang,


­balas dendam itu kan karena orang marah, ­ingin
­membalas, biasanya balas dendamnya lebih
­dahsyat daripada sebabnya.

254
Terus yang dibalas, ingin balas lagi. ­Saling
marah itu bikin peradaban kita sekarang ini
‘gelap’.

Lanjut lagi, jangan anggap berharga ­apapun


yang membuat kita ingkar janji, kehilangan harga
diri, membenci orang lain, mencurigai orang lain,
mengutuk orang lain, berlaku munafik, atau ingin
sesuatu yang tidak ingin diketahui orang lain.

Jangan dianggap berharga itu maksudnya,


jangan diambil. Hal yang membuat kita ­melakukan
semua hal tadi itu, mending nggak usah diambil.

Terus, jangan kotori jiwa kita dengan


­kesalahannya orang lain. Kalau ketemu orang
­jahat, orang rusak, orang keliru. Misalnya saat
berhadapan dengan orang yang nggak tahu malu,
tanyakan pada diri kita sendiri,

“Apa mungkin di dunia ini bersih dari


­tindakan tidak tahu malu?”

Jawabannya pasti kan, ya nggak, akan


­selalu ada orang jahat, orang yang tidak tahu
malu. Maka jangan mengharapkan sesuatu yang
nggak ­mungkin.

Selalu ada orang nggak tahu malu di ­dunia


ini, dan yang kita hadapi adalah salah satunya. Ini
berlaku sama ke orang jahat, nggak bisa ­dipercaya,
dan kerendahan moral lainnya.

255
Jadi jangan kotori jiwa kita dengan
­kemarahan, kebencian, ketidaksukaan, ­intoleransi
pada orang lain yang kita anggap keliru atau ­jahat.
Pertanyaannya gampang,

“Apa mungkin di dunia ini orang baik


semua?”

256
#116

Belajar itu ada level-levelnya, kalau kita


mengukur hasil. Hasilnya bisa dinilai dari kita
­paham atau tidak. Misal lagi ngaji sama ustadz
siapa, baca buku apa, mempelajari tokoh siapa,
itu paham atau tidak. Kalau paham saja belum, ya
manfaat selanjutnya nggak bisa kita capai.

Setelah paham, kita sadar. Kayak kita


­tiba-tiba dapat pencerahan. “Oh iya ya, berarti
selama ini saya...”

Itu menyadarkan. Kalau sudah ­menyadarkan


berarti itu ilmunya sudah nyambung sama hidup
kita.

Ada level lagi lebih tinggi dari sadar,


­menjalankan. Kan banyak orang sudah paham,
­sudah sadar, terus balik lagi seperti asalnya.

“Wah saya sadar dosa saya banyak ternyata


selama ini, keliru hidup saya.”

Sudah titik. Besok kembali lagi seperti


­biasanya, gitu-gitu lagi. Dan menjalankan itu
­nggak gampang, butuh diawali kesadaran, kalau
nggak sadar, ya nggak mungkin menjalankan, terus
kesadaran di awali lagi dari pemahaman.

257
Ada lagi level lebih tinggi, kalau ini ­mungkin
di luar kuasa kita, memberi manfaat. Mungkin
kita sudah paham, sadar, terus menjalankan, tapi
­nggak ada manfaatnya.

Jadi hasilnya nggak cocok dengan harapan


kita. Itu juga kemungkinannya. Ini di luar kuasa
kita, sebab nanti ada hubungannya dengan ridha
Allah.

Apalagi manfaat yang di luar ukuran ­normal.


Harusnya dapat sepuluh, dikasih dua puluh. Ini
­namanya barokah kalau dalam agama. Misal baca
buku cuma setengah, tiba-tiba dari setengah itu
kita bisa paham semuanya.

Ada lagi kalau di dunia ilmu, ­menginspirasi.


Menginspirasi itu bisa melahirkan sesuatu yang
baru, beda dengan apa yang kita pahami. Jadi ada
fungsi kreatifnya yang tidak cuma niru.

Kalau bisa kita jadi orang yang ­menginspirasi.


Ini butuh belajar bertahun-tahun biasanya, sebab
menginspirasi itu bukan tergantung apa yang kita
beri, tapi tergantung orang yang diberi.

Walau bisanya cuma paham, ya nggak


­apa-apa, bersyukur dapat satu level. Banyak
orang yang paham saja tidak. Ada lebih tragis lagi,
­sudah nggak paham, malah salah paham. Akhirnya
marah-marah.

258
#117

Ada beberapa kesalahan kita semua dalam


hidup sehari-hari hari ini. Penderitaan kita ­banyak
muncul antara lain sumbernya dari, ­politik tanpa
prinsip.

Politik itu tata ­masyarakat, ­bagaimana


cara mengatur kehidupan ­bersama. ­Kalau
itu tanpa ­prinsip, hanya berdasarkan
­kepentingan-kepentingan sesaat, keinginan
­sementara, ya yang terjadi kekacauan.

Kalau kacau, pasti melahirkan ­penderitaan.


Sumber penderitaan selanjutnya, ada bisnis
­tanpa moralitas. Usaha, bekerja yang tidak pakai
­moralitas. Kalau bisnis biasanya hanya lihat ­untung
ruginya saja.

Sumber penderitaan ketiga, ­pengetahuan


tanpa karakter. Orang pintar, berilmu,
tapi ­tidak punya karakter. Sehingga ilmu
­pengetahuan hanya dipakai untuk ­pertimbangan
­kepentingan-kepentingan, keinginan dirinya
­sendiri.

Terus ada sains tanpa kemanusiaan. Sains


yang dikembangkan, tapi tidak ­mempertimbangkan
nilai-nilai kemanusiaan. Beberapa kritik sains
modern kan menunjukkan itu.

259
Terus yang sering kita lihat sehari-hari,
kekayaan tanpa kerja. Ini simbol kemalasan, ­meski
sumber daya kita luar biasa, kalau isinya hanya
orang-orang malas yang nggak mau ­beraktivitas,
yang ingin hasil instan saja, pada saatnya ­kekayaan
itu akan habis dan lahir penderitaan.

Terus ada kenikmatan tanpa nurani. Ini


orang-orang yang hanya ingin senang-senang
saja, memikirkan kenyamanannya saja, tanpa
­menghidupkan kepekaannya pada lingkungan
sekelilingnya. Hanya nyari enaknya sendiri aja.

Terakhir, ketakwaan tanpa penyangkalan


diri. Orang-orang bertakwa, religius, semangat
beragamanya tinggi, tapi tanpa penyangkalan
diri. Orang-orang yang egois, orang-orang yang
­sombong. Merasa besar, merasa benar.

Kalau bisa hal-hal ini tidak hidup di


­lingkungan sekitar kita, kalau ada ya, sedikit
­banyak kita akan mendapat penderitaannya.
­Sebab ini penderitaan level kemasyarakatan, level
hidup bersama.

260
#118

Suatu ketika, Rabi’ah sama Hasan Al-Basri,


sama-sama dari Basrah, sedang ngobrol.

“Rabi’ah, mari kita shalat.”

Terus Hasan Al-Basri ini ingin pamer, kalau


dia juga punya karomah. Dia ngambil sajadah,
terus sajadahnya digelar di atas air sungai. Shalat
di atas air itu. Terus Rabi’ah ketawa saja, “Kalau
mau pamer, nanggung, gini aja.”

Rabi’ah melemparkan sajadahnya ke


­udara, “Ayo kita shalat di atas saja, sekalian biar
­orang-orang sekota pada lihat.”

Terus Rabi’ah bilang lagi, “Apa seperti ini


kamu anggap istimewa? Kalau sekedar bisa jalan di
air, ikan juga bisa. Terbang kayak gini ini, ­burung
sama lalat juga bisa. Nggak ada istimewanya. Yang
istimewa adalah istiqamah kita di jalannya Allah.”

261
#119

Riya’ itu ada riya’ besar dan kecil. Riya’


itu ibadah ingin dipuji, ingin orang lain melihat
­kemudian kagum. Sengaja pamer.

Yaa.. Mirip-mirip kalau kita sedang narsis,


ingin selfie terus kita share. Padahal itu sudah
­diolah dengan macam-macam aplikasi, terus ada
komentar, “Wahh.. Kamu tambah putih.” Terus
kita senang.

Ingin pamer. Nah sejenis itu, cuma ini


­ibadah. Jadi ingin memamerkan keutamaan kita.
Sebenarnya orang cuma tanya, yang bisa ­dijawab
dengan satu kata saja, tapi karena ingin ­pamer
­keluasan ilmu kita, ya kita jawabnya sampai
­setengah jam.

Ada nuansa pamernya.

Kalau yang riya’ besar itu ya memang cuma


pamer itu tujuannya, nggak ada yang lain. Kalau
riya’ kecil, tujuannya ya pamer, ya pahala. Jadi
kalau nggak dipuji, terus jadinya malas. Intinya
tujuannya bukan Allah lagi, intinya tujuannya
­manusia, ingin dipuji.

Setiap manusia punya daya narsisnya


­masing-masing.

262
Nggak ada orang yang dipuji itu nggak
senang.

“Halah aku ini apa sih..” Tapi dengan nada


ingin dipuji sebenarnya.

Riya’ ini munculnya sangat halus.


­Kadang-kadang kita itu merendah-rendahkan diri
kita, tapi merendah-rendahkan diri itu sebenarnya
ingin diunggulkan.

Ingin dianggap begini, ingin dianggap


­begitu. Urusan hati ini sulit memang, sebab kita
sendiri yang tahu.

Tapi, kalau misalnya kita ikhlas melakukan


kebaikan apapun, terus ada orang yang suka, yang
muji, itu nggak apa-apa. Kan kita nggak niat riya’.
Cuma pujian orang ini jangan dijadikan tujuannya.

Makanya agak rumit.

Kadang-kadang pujian orang jadi tujuan


itu nggak di awal, tapi di akhir. Begitu nggak ada
orang yang muji, terus semangat turun. Berarti
­tujuannya masih pujian orang.

Bukan berarti kalau dipuji itu tujuannya


pasti riya’. Tapi hanya kita yang tahu, misal itu
tadi tujuannya Allah, terus ada orang muji karena
melihat perbuatan kita ini indah, nggak masalah.

263
Ada lagi yang unik. Orang yang ­meninggalkan
ibadah karena takut dianggap riya’. Ini malah
riya’nya dobel. Sebab meninggalkan ibadah atau
kebaikan karena prasangka. “Saya nggak mau
­zakat sekarang, nanti malah kelihatan terus dipuji
orang-orang, malu.”

Zakat atau tidak misalnya, ya nggak


­masalah, tapi tujuannya jangan karena ­manusia,
pujian ­manusianya. Terus, kalau mikirnya ­takut
­dianggap riya’ sama orang, kita juga malah
­prasangka buruk sama orang lain.

264
#120

Kesedihan hidup kita juga ada levelnya


ternyata. Misal orang patah hati itu biasanya
kawannya banyak. Dia nembak terus ditolak, “Kita
temenan aja ya?”

Kenapa orang sedih? Patah hati?

Biasanya karena hilangnya sesuatu yang


­sangat disenangi. Itu level pertama. Ada ­level
­kedua, sedih karena khawatir apa yang ­terjadi
­besok. Terus, rasa sedih karena merindukan
yang ­didambakan bisa tercapai, ternyata ­nggak
­tercapai. Level keempat, rasa sedih karena
­mengingat ­betapa diri kita menyimpang dari
­ajaran-ajaran Allah.

Coba kita perhatikan, mana kesedihan yang


paling sering mengganggu dalam hidup kita. Kalau
bisa kesedihan yang level keempat itu. Kegalauan
kita karena kok ternyata banyak salahnya ya kita
selama ini ngikuti ajarannya Allah. Meskipun ya
boleh saja galau karena yang lainnya tadi.

Selain itu sebenarnya nggak sedih, ­nggak


apa-apa. Kayak pas Nabi Muhammad dilempari
batu sama masyarakat Thaif, sampai berdarah.
­Kemudian Nabi Muhammad bermunajat sama
­Allah,

265
“Ya Allah, aku ini memang hamba yang
­lemah, Engkau beri tugas ini saja, gagal. Tapi
aku nggak masalah disakiti, dilempari batu, asal
­Engkau tidak marah.”

Yang dikhawatirkan Nabi Muhammad ­hanya


satu, semoga Allah tidak murka padanya. Jadi
­kesedihan yang berhubungan dengan murka dan
ridhaNya Allah.

Misal, kita patah hati berkali-kali, putus


cinta, kehilangan harta, kehilangan kawan dan
macam-macam kesedihan lain, kita bisa pakai
­rumusnya Nabi Muhammad tadi. Biar kesedihan
kita nggak berlarut-larut.

“Ya Allah, apapun yang terjadi padaku, aku


tidak apa-apa, asal Engkau tidak marah padaku.”

266
#121

Hidup ini isinya memang penderitaan,


­kesulitan, kesusahan. Kita kalau bisa ­membaca
­penderitaan itu sebagai tantangan.

Jadi ­penderitaan itu sebagai proses yang


penting kita sadari biar bisa berkembang lebih baik.
Gimana caranya bisa menang dari ­penderitaan.

Hidup ini digerakkan oleh keinginan kita.


Sekarang kita masih bisa hidup kan karena ada
keinginan. Sayangnya nggak semua keinginan bisa
dipenuhi, bahkan bisa dipastikan sebagian besar
keinginan kita itu nggak terpenuhi.

Akhirnya karena keinginan tidak terpenuhi,


lahir kekecewaan, kesedihan, penderitaan.

Hidup ini memang sulit. Jalannya untuk


menghadapi penderitaan, ya dengan mengontrol
keinginan kita. Batasi keinginan kita.

Ada alternatif lainnya, kalau hidup ­berarti


menderita, untuk bisa hidup berarti kita ­perlu
­memberi makna dalam penderitaan.

Jadi ­tempelkan judul, tempelkan ­makna,


agar ­penderitaan ini tidak jadi ‘berbunyi’
­penderitaan.

267
Kalau ada orang membentak kita, ­misalnya
kita melakukan apa yang menurut kita benar tapi
menurut dia salah. Jangan dibaca itu sebagai
­bentakan kemarahan, tapi baca saja itu sebagai
peringatan kepedulian, simbol kasih sayang.

Ada istilah, “Ja sagen”, ini artinya


­mengiyakan hidup. Hidup memang penderitaan,
tapi jangan ditolak. Iyakan hidup kita, situasi
­apapun yang menyakitkan kita, iyakan, terima
dulu. Sebab kalau kita menolak situasi, kita nggak
akan bisa keluar dari masalah.

Situasi kita sekarang yang serba ­rumit, ­nggak


jelas. Kita iyakan saja. Nggak perlu ­melarikan
diri, menganggap tidak ada masalah. Sebab kalau
­mengakui saja belum, ya kita nggak akan ­mengerti
ada masalah. Apalagi mencari jalan keluar dari
masalah.

Baru kalau sudah di iyakan, keinginan kita


apa?

Kalau menurut kita ini menyakitkan,


­membuat kita menderita, keinginan kita apa?

Kalau keinginan kita keluar dari ­penderitaan,


ya lakukan, bergeraklah. Jangan malas, jangan
jadi orang lemah, jangan jadi orang yang ingin
dikasihani. Perjuangkan keinginan untuk menang
dari penderitaan itu.

268
#122

Suatu ketika ada yang mencaci maki Umar.


Gubernur Irak mengirim surat, “Ada seseorang
yang mencaci maki anda, saya menangkapnya dan
bermaksud untuk menjatuhinya hukuman mati.”

Khalifah Umar segera membalas, “­Lepaskan


dan maafkanlah dia, kalau sampai anda berani
menghukum mati dia, saya yang akan menghukum
anda.

Kalau yang dicela pribadi, nggak perlu


­pakai hukum. Kalau berani menghukum orang
yang mencela, nanti orang tidak ada yang berani
mengkritikku.”

Kritik itu perlu untuk perbaikan, yang


­nggak mau dikritik, nggak akan jadi lebih baik.
Sebab sekarang dianggap sudah baik, ya semoga
saja ­memang sudah baik. Tapi di titik tertentu
­memang ada kelemahannya, disitu gunanya kritik.
Dan Khalifah Umar sadar betul itu.

Makanya jangan menghukum, jangan


­membungkam orang yang mengkritik. Mungkin
orangnya kurang pintar, sehingga kritiknya yang
keluar caci maki. Itu yang ada dipikiran Khalifah
Umar.

269
#123

Orang yang punya paling banyak, orang


­paling kaya adalah orang yang nyaman dengan
kepemilikan paling sedikit.

Kita tidak punya apa-apa, tapi kok merasa


nyaman?

Berarti kita paling kaya. Dibandingkan yang


punya segalanya tapi merasa masih kurang. ­Kalau
ingin jadi orang kaya, nggak usah merancang ­besok
ingin berkarier dimana, latihlah mental kita untuk
bisa menerima yang sedikit.

Bersyukur dengan minimal yang kita ­miliki


hari ini. Saat itu juga kita jadi orang kaya, ­nggak
usah nunggu besok. Kalau sekedar ingin kaya
­tujuan kita.

Sebab kaya itu kan bukan urusan kuantitas


sebenarnya, tapi urusan orang merasa cukup dan
merasa lebih.

Rumusnya makanya jangan nilai ke luar


tapi ke dalam. Terima apapun kondisi kita hari ini.
Maka kita jadi orang kaya. Selesai.

Tambahan rumus lainnya, keistimewaan


­Tuhan itu Tuhan tidak butuh apa-apa.

270
Sebab Dia yang menciptakan segalanya,
yang membuat Tuhan istimewa kan itu. Tidak
­terikat sama sekali oleh dunia, Tuhan ndak butuh
apa-apa.

Dan keistimewaan para wali adalah


­butuhnya sedikit saja. Itu yang membuat mereka
istimewa.

Jadi ada sindiran dari Diogenes begini,

“Di rumahnya orang kaya, tidak ada tempat


untuk ­meludah kecuali wajahnya.”

Orang kaya itu kan rumahnya bagus,


­barang-barangnya indah semua, mulai dari taman
sampai dapur belakang itu kan kinclong semua. Jadi
nggak ada tempat untuk meludah, ­satu-satunya
tempat meludah ya wajah orang kaya itu.

Ini kalimat Diogenes untuk mengkritik


kekayaan. Cuma Diogenes ini nggak cuma kritik,
sebab hidupnya sendiri ya memang hidup yang
sederhana, cukup dengan dirinya sendiri.

Kalau dia nggak hidup semacam itu, dia


ngomong kayak gitu, nggak ada orang percaya.
Cuma karena memang dia hidupnya sederhana,
ya orang percaya sama dia. Itu bedanya Diogenes
sama kita.

271
#124

“Dunia ini seperti ular, terasa mulus kalau


disentuh tangan, tapi racunnya bisa mematikan.”

Kalau kita takut menyentuh ular, seperti


itulah sikap kita pada dunia, biar nggak sembrono.

Ada lagi, “Dunia ini adalah janda tua yang


telah bungkuk dan beberapa kali ditinggal mati
suaminya.”

Maksudnya apa?

Banyak lho yang sebelumnya orang jatuh


cinta sama dunia. Dan orang itu sekarang mati
­sudah. Maka dunia ini posisinya janda. Jadi orang
yang jatuh cinta sama dunia itu sebenarnya ­sedang
jatuh cinta sama janda.

Sebab sebelum kita, sudah banyak yang


jatuh cinta sama dunia. Dan orangnya sudah
­banyak yang meninggal, berarti kan kita dapat
‘bekasnya’ mereka.

Itu pun kita senangnya setengah mati sama


dunia.

Lha terus diapain dunia ini?

272
Dunia adalah negeri tempat beramal. Tapi
ada rumusnya.

Rumusnya apa?

“Barang siapa bertemu dengan dunia,


­dengan rasa ‘benci’ dan zuhud, ia akan berbahagia
dan memperoleh faedah darinya.”

Jadi jangan jatuh cinta sama dunia,


­zuhudlah. Zuhud itu memandang kecil, ­memandang
tidak terlalu penting. Maka kita akan dapat ­banyak
manfaatnya.

Dunia itu alat, maka jadikan dia alat untuk


tujuanmu. Jangan dibalik, kita yang jadi alatnya
dunia.

Banyak orang yang sekarang ini terbalik,


dia jadi alatnya dunia. Bukan dunia yang jadi alat
untuk mendekat sama Allah.

“Barang siapa yang bertemu dunia dengan


perasaan rindu dan hatinya tertambat pada dunia,
ia akan sengsara, dan akan berhadapan dengan
penderitaan yang tidak bisa ditanggungnya.”

Harta itu terlalu sedikit membuat gelisah,


terlalu banyak membuat bingung. Jabatan juga
begitu, pangkat, kedudukan juga begitu. Begitu
terlalu terikat ke sana, kita harus siap dengan
­resikonya.

273
“Tidaklah gambaran kehidupan dunia ini
­seluruhnya dari awal sampai akhir, kecuali seperti
orang yang tidur. Dia melihat dalam tidurnya apa
yang dia senangi, kemudian dia tersadar bangun.”

Seolah-olah dunia ini sejati. Sesuatu yang


fana, berapapun banyaknya, tidak akan ­menyamai
sesuatu yang kekal, abadi. Waspadalah pada
‘­negeri’ yang cepat datang dan pergi, serta penuh
tipuan.

Ini diantara quotes-nya Imam Hasan Al-Basri


yang menunjukkan betapa dunia ini jangan terlalu
diberati oleh hati kita. Dunia itu hanya tiga hari
saja, kemarin, besok dan hari ini. Kemarin sudah
lewat, hari besok mungkin kita nggak ­menjumpai,
satu-satunya yang jelas cuma hari ini, bahkan
­detik ini.

274
#125

Pernah ada orang yang bertanya pada Imam


Malik, imam madzhab yang terkenal, dua puluh
masalah yang butuh penyelesaian secara ijtihad.
Imam Malik waktu itu hanya bisa menjawab tiga
masalah, yang tujuh belas masalah dijawab Imam
Malik dengan, “Saya belum tahu.”

Meskipun begitu, orang-orang tetap


­menghargai dan menghormati Imam Malik. Jadi
­diantara integritas seorang Ulama atau ilmuwan
itu, “kejujuran”. Meskipun Ulama besar, kalau pas
tidak tahu, ya bilang nggak tahu. Jangan ­ngarang.

Jangan mentang-mentang, saya ini ­ilmuwan,


ahli agama, orang cerdas, ­macam-macam, ­kalau
pas ditanya nggak tahu, nggak bisa jawab, terus
gengsi. Gengsi nanti derajat bisa runtuh, ­statusnya
dicopot sama masyarakat. Nggak usah ­khawatir,
kalau kita nggak bisa jawab, kita bilang saja,
“Saya belum tahu, nanti saya pelajari lagi.”

Masyarakat nggak akan hilang


­penghormatannya pada kita. Justru kita makin
­mulia, sebab orang-orang tahu kalau kita jujur.
Kita nggak akan kehilangan keilmuwan kita atau
martabat hanya dengan bilang,

“Saya belum tahu.”

275
Bahkan para zaman dulu itu sangat rendah
hati, ngomong apa saja kan selalu diakhiri,

“Allah yang tahu yang paling benar. Dan ini


sekedar sejauh yang saya tahu, cuma sekedar ini.
Mungkin ada yang tahu lebih benar, bisa saja.”

Jadi, jangan sok tahu.

Kalau kita sesat sendirian nggak ­apa-apa,


tapi ketika kita sok tahu, kita nggak cuma ­sesat
sendiri, tapi juga menyesatkan orang. ­Apalagi ­kalau
posisi kita ini misalnya banyak diikuti­­orang-orang.

276
#126

Dengan berpikir, orang akan sadar


­kalau ­selama ini dia belum sempurna. Berpikir
­menemukan kebenaran terus lebih sempurna, tapi
kan besok makin berkembang pikiran, ­tambah
sempurna lagi. Tapi ini juga masih belum juga
sempurna, sebab kita ini manusia, terbatas.

Ketika kita merasa mentok, besok bisa


nambah ilmu lagi, jadi tambah sempurna. Terus
gitu, diulang-ulang. Maka secara logis, pasti ada
puncaknya kesempurnaan itu.

Di kepala kita disimpulkan pasti ada yang


Maha Sempurna. Pasti ada puncaknya. Nggak
mungkin, nggak ada batasnya.

Cuma gagasan kalau ada yang sempurna itu


pasti tidak dari manusia sendiri. Sebab manusia
itu nggak sempurna. Dari situ ketemulah tentang
Tuhan, pasti adanya dari Tuhan. Jadi Tuhan itu
pasti ada.

Ada argumen namanya Ontologi. Ontologi


itu menyimpulkan Tuhan pasti ada dengan akal
saja. Biasanya orang menyimpulkan Tuhan ada
itu dengan, “Lihatlah alam semesta ini, lihatlah
­keteraturannya.”

277
Tapi dengan akal juga bisa. Dengan akal itu
gini, Tuhan itu diasumsikan Maha Bijaksana, Maha
Tahu, Maha Kuasa, pokoknya Maha Segalanya.
Maha itu kan puncaknya. Nah sesuatu tidak bisa
disebut Maha kalau dia itu nggak ada.

Kalau Tuhan itu kita simbolkan punya ­banyak


sifat Maha, berarti Dia pasti ada. Sebab Dia Maha,
masa Maha nggak ada?

Dia Maha Kuasa, tapi Tuhannya nggak ada,


kan nggak mungkin, kalau Dia Maha, pasti ada.
Kalau kita sebut Dia Maha Tahu, kan Dia itu ada.
Kalau kita kan cuma tahu saja, tapi kalau ­Tuhan
kan Maha Tahu. Jadi Tuhan pasti ada. Ini kan
­kesimpulan pakai akal kita.

Kita sudah ngomong tentang Tuhan, kalau


Tuhan puncaknya segalanya, masa nggak ada?

Secara logis pasti ada.

Jadi kita yang berpikir itu pasti ada, ­realitas


di sekeliling kita juga ada dan Tuhan juga pasti
ada. Ini dasar untuk kita melakukan refleksi kita
selanjutnya.

278
#127

Banyak orang berpuasa tapi berbuka.


­Puasa tapi buka puasa itu orang yang puasa hanya
­jasmaninya saja. Tidak terhalangi dari maksiat,
­tidak terhalangi dari dosa-dosa batin dan ­anggota
tubuh. Itu namanya orang yang berpuasa tapi
­sebenarnya sedang buka puasa.

Ada juga yang sebaliknya, orang yang buka


puasa, tapi sebenarnya dia puasa. Disuruh puasa
nggak mau, tapi dia sudah menjaga batinnya,
­nggak melakukan maksiat, hidupnya sudah tertib.

Dua-duanya salah.

Ibaratnya orang yang puasa tapi tidak


­menjalankan ibadah batinnya, tidak terhalangi
dari nafsu dan maksiat, itu kayak orang wudhu,
airnya sudah diusapkan ke tubuh tiga kali, tapi
masih belum wudhu beneran, belum membasuh
dengan niat. Hanya cuci muka.

Sama, orang yang sudah nggak makan dan


nggak minum seperti puasa, tapi masih melakukan
maksiat. Puasa batinnya belum jalan.

Sebaliknya orang yang nggak puasa tapi


­sebenarnya puasa, itu kayak orang yang sudah
tahu rukunnya wudhu.

279
Sudah dibasuh tiga kali, tapi nggak ada
­niatnya.

Jadi harus lahir dan batin.

Shalat ndak boleh dengan ingat saja, tapi


juga ada aktifitas shalatnya. Haji nggak boleh
­hanya rame-rame saja, nama lainnya ­umroh-haji
kan wisata religius. Ibadah malah jadi wisata,
­paketnya macam-macam. Begitu juga puasa,
­harus lahir dan batin.

Nggak bisa kita mau enaknya sendiri.

280
#128

Akal itu bukan satu-satunya ­kemampuan


manusia untuk mengenali realitas. Kita itu
‘­alatnya’ banyak, nggak cuma akal, nggak cuma
panca indera.

Hanya saja sains yang pasti, terus kita


­anggap pengetahuan yang mumpuni, ­pengetahuan
yang valid itu ya adanya di akal sama panca ­indera,
yang empiris sama rasional.

Padahal masih banyak alat kita yang lain.


Kita masih punya nurani, naluri, imajinasi. Jadi
kita punya banyak alat, cuma selama ini tidak
banyak kita pakai. Padahal bisa jadi penting.

Contohnya hubungan sesama manusia. Itu


mungkin pas nya pakai nurani. Kalau hanya pakai
akal, rasanya jadi ‘kering’. Kalau ada kawan ­nggak
bisa makan, duitnya habis. Kalau pakai akal, ­nggak
memberi hutang ke dia itu rasional. Sebab dia
­bukan tanggung jawab kita misalnya.

Tapi kalau pakai nurani, jawabannya beda.


Kalau ada kawan kehabisan kopi, terus gelas kita
masih penuh. Itu kita diam saja, cuek aja. Nggak
ada orang nyalahin kita. Memang rasional. Misal
kita beli kopi sendiri dan antrinya juga sama-sama
lama.

281
Kalau pakai nurani, bisa jadi beda. Mungkin
kita basa basi menawari dia. Kenapa kita merasa
nggak enak? Sebab kita pakai nurani. Kalau hanya
pakai akal, liat fakta, mungkin akan sering konflik.

Kok kita itu banyak konflik?

Jangan-jangan relasi kita dengan sesama


itu jarang memanfaatkan alat lain yang namanya
nurani.

Jadi itu diantaranya kritik terhadap akal.


Sebab akal itu sifatnya matematis, terbatas. Terus
akal itu fungsi praktis, sifatnya teknis, dia akan
sulit mencari hakikat. Dimensi dalam yang hakiki
itu nggak tahu.

Akal itu ngertinya, ini teh, gunanya untuk


diminum. Kalau masih panas jangan nekat, kalau
sudah hangat nggak apa-apa.

Tapi misalnya, lagi dilihat banyak orang,


jangan cepat-cepat langsung minum, ­sungkanlah
dikit. Ini akal nggak sampai sana. Kalau akal,
haus ya minum, lapar ya makan. Sederhana. Tapi
­banyak sisi-sisi dalam dari hanya sekedar itu.

Mungkin banyak momen yang pas kita lapar,


tapi ditawari makan, nggak mau. Itu kan nggak
rasional, tapi pertimbangannya nggak sekedar
matematis. Di sini akal nggak berdaya. Jadi akal
itu nggak bisa menyelami hakikat kenyataan.

282
Terus akal itu sifatnya butuh data. Ada data
yang bisa dibaca. Yang nggak terbaca, akal ­bingung.
Akal butuh jelas, padahal interaksi kita sehari-hari
kan banyak juga yang nggak jelas. ­Misal ada kawan
kita berdehem, “Ehm!” gitu. ­Kalau ­dibaca pakai
akal ya itu bunyi berdehem.

Tapi kan kita butuh kecerdasan lebih untuk


membaca maksudnya dehem itu apa? Kalau pakai
akal mungkin kita mendefinisikan, “Oh mungkin
tenggorokannya gatal.”

Padahal dehem itu maknanya bisa jadi


­banyak, nggak bisa kalau nggak diselami. Di
­beberapa level, akal banyak nggak berdaya, akal
hanya sampai ke hal-hal material. Dimensi psikis
saja, akal nggak berdaya. Jadi dimensi batin kita,
akal nggak berdaya.

Akal itu terbatas dalam banyak hal. Akal


memang penting, tapi dia terbatas untuk hal-hal
yang materi. Untuk yang non-materi, akal susah
menjelaskan. Makanya kalau di tasawuf itu banyak
pakai simbol-simbol, isyarat.

Pokoknya hal-hal yang nggak bisa dijelaskan


langsung itu akal susah memahami. Kayak cinta
dan benci. Kita ngomong cinta bolak balik, sampai
panjang, itu kan simbolis semua. Faktanya apa?

Nggak tahu.

283
Ya kita jatuh cinta saja, nanti ngerti ­sendiri.
Mungkin di kepala kita banyak teori tentang cinta.
Tapi ketika kita nggak jatuh cinta, akal memang
bisa menjelaskan, tapi kita nggak paham, cinta itu
apa.

Makanya peradaban modern akan bahaya


kalau hanya mengandalkan akal saja.

284
#129

Cinta itu berawal dari kesadaran kita untuk


mencari kebaikan. Kebaikan untuk diri kita, kok
mencari yang baik untuk diri kita?

Sebab kita tahu hidup kita itu nggak


­sempurna. Ada kurangnya, kita butuh yang lain,
yang membuat hidup kita baik. Kesadaran inilah
yang membuat kita jatuh cinta pada yang di luar
diri kita.

Orang itu selalu nyari yang dia ­nggak


­punya. Jadi nyari yang dianggap baik ­untuk
dirinya, sebab dia sadar dalam dirinya ada
­kekurangan-kekurangan, oleh sebab itu orang yang
jatuh cinta itu harusnya hidupnya semakin baik.

Di situlah orang harusnya jatuh cinta. Jadi


jatuh cinta itu jangan saling menekan, tapi saling
terbuka untuk belajar agar jadi lebih baik.

Ketika tanpa cinta, kita mudah marah,


­galau, kualitas hidup kita rendah, terus setelah
jatuh cinta, ada yang membantu kita untuk
­meningkatkan kualitas hidup kita ini.

Cinta itu nggak cuma sama pacar. Banyak


yang bisa kita cintai.

285
Misal karena kita cinta dengan ulama atau
kiai kita, jadi kita bersama-sama belajar untuk
makin dekat dengan Allah. Sebab kalau sendirian,
kita susah untuk bisa mendekat sama Allah, kita
kurang ilmunya, terus dibantu sama kiai. Bukan
kok malah jadinya menuhankan kiai.

Jadi intinya, situasi jatuh cinta itu arahnya


ke membuat hidup kita lebih baik. Sebab hakikat
jatuh cinta itu kita sedang cari yang baik untuk
hidup kita.

286
#130

Hati-hati niat kita dijaga, sebab kuncinya


segala sesuatu itu ada di niat. Misal kita minum, itu
nilai minum kita seperti apa, tergantung ­niatnya.

Kalau niatnya menghilangkan haus, ya


­hausnya hilang itu saja yang kita dapat. Kalau
­niatnya hanya mencontohkan teori ilmu, ya itu
saja yang kita dapat.

Maka hati-hati dengan niat kita. Sebab bisa


jadi minum itu bernilai ibadah, bisa sia-sia nggak
bernilai apa-apa.

Misalnya kita sebenarnya nggak niat ­minum,


sebab perut kita masih kenyang. Cuma sudah
dibikin minum, akhirnya terpaksa diminum. Ya
hanya itu yang didapat, niatnya terpaksa.

Niat juga bisa membawa kita ke ‘surga’.


Misal, saya minum biar hausku hilang, sebab ­Allah
menyuruh saya menjaga tubuh ini agar terus ­sehat,
semoga dengan minum ini Allah ridha. Itu bisa jadi
bernilai ibadah, ketika Allah ridha.

Jadi yang mahal itu nyari ridhanya Allah.


Kita melakukan apa, dicek niat kita apa, siapa
tahu disalah satu perbuatan kita itu, ada ridhanya
Allah.

287
Makanya ada cerita pelacur yang
­menyelamatkan anjing kehausan itu bisa bikin dia
masuk ‘surga’. Itu perbuatannya kalau di mata
kita kecil, tapi siapa tahu keikhlasannya pelacur
itu bisa membuat Allah memberi ridhaNya.

Belajar juga begitu. Jadi yang pertama niat


nyari ridhanya Allah. Apapun itu. Mencari ­ridhanya
Allah itu kan secara otomatis akan menyaring
semua perbuatan kita.

Ketika apapun yang kita lakukan niatnya


mencari ridhanya Allah, maka yang buruk-buruk
pasti nggak kita lakukan. Kalau kita memang
­serius, kecuali hanya basa basi.

Nabi itu kan ada rumusnya yang simpel,


baik itu yang kita lakukan, kita dilihat orang lain,
kita nggak masalah. Tapi yang buruk itu, yang kita
ragu-ragu dan kalau orang lain tahu, kita malu,
kita nggak suka. Jadi hindari, mending nggak usah.
Kalau terpaksa ya nggak diulangi lagi.

Banyak orang yang momen-momen tertentu


itu dimensi manusianya hilang. Dimensi manusia
itu yang akal sehatnya nggak jalan dalam banyak
hal. Maka orang yang bisa memahami diri itu, coba
kita berkaca, dalam momen apa yang kita sering
kali kehilangan diri kita.

Sering akal sehat kita nggak jalan, dalam


kondisi sedih? Senang? Marah?

288
Coba kita cermati. Terus ingat-ingat, kita
hati-hati di situ. Misal, kita sering posting di media
sosial, postingan yang sering kita sesali itu tentang
apa?

Dan itu kita tulis, pas sedang ngapain?

Sedang ingin dipuji orang kah? Ingin


­menunjukkan kemampuan kah? Kita cermati
­sendiri. Kondisi jiwa kita itu bisa jadi pelajaran.

289
#131

Sakit itu ternyata bisa mendorong orang


untuk berfilsafat. Ini unik ya. Paling tidak ada
­beberapa titik yang membawa kita ke ranah
­filsafat ketika sedang sakit. Pertama, saat sakit,
biasanya kita dipaksa untuk menerima kalau
­manusia itu ­punya kelemahan, keterbatasan. Ini
bisa ­membawa kita ke ranah refleksi diri sebagai
manusia.

Ternyata manusia itu lemah, terbatas. Kita


yang selama ini merasa kuat, seolah-olah merajai
dunia, lingkungan sekeliling, bisa menguasai apa
saja, ternyata tidak. Mungkin teorinya tentang ini
sudah ngerti sebelum sakit, tapi saat sakit nggak
cuma teori, langsung mengalami titik lemahnya
manusia.

Seenak apapun makanan, seluar biasa


­apapun kekayaan, sedahsyat apapun pasangan
yang cantik, cakep, semua tampak tidak ada
nilainya, tidak bisa diandalkan untuk hidup kita.
Ini membawa refleksi kita.

Kedua, sakit juga tantangan untuk kita


menaklukkan dan meluaskan. Biasanya orang yang
mau berpikir lebih jauh, tidak sekedar ­menerima
kelemahan dan keterbatasan. Tapi dianggap
­tantangan untuk ditaklukkan.

290
Misal, kalau hujan kena air, terus flu. Nah
ini tidak sekedar diterima tapi ada refleksi ­lebih
jauh. Gimana caranya menaklukkan situasi?
­Gimana caranya mensiasati biar kuat ya?

Penyakit, kita jadikan tantangan. Diterima


iya, tapi juga dicari solusinya. Kita jadi solutif dan
kreatif.

Ketiga, sakit itu membuat kita ­menjauh


­sebentar dari rutinitas dan keramaian. Kita
‘­dipaksa’ mengambil jarak. Kenapa kok ini ­penting?
Sebab untuk berpikir jernih, kita perlu mengambil
jarak dari yang kita baca. Kalau kita masih sangat
dekat, biasanya susah berpikir obyektif.

Keempat, sakit bisa memancing ­pertanyaan,


sebab kita banyak waktu longgar. Kita bisa
­memikirkan kembali kehidupan kita.

Misal, apa yang sudah saya lakukan selama


ini? Sudah pas apa belum hidup saya selama ini?
Kenapa sampai ­sekarang Allah masih mengizinkan
saya hidup?

Pertanyaan-pertanyaan begini ­biasanya


muncul saat kita jauh dari keramaian, saat kita
­sedang refleksi diri. Dan sakit memberi kita
­fasilitas ini.

291
#132

Orang yang stoik itu punya ciri ­berpikir


­diantaranya ini, pertama filsafat itu nggak
perlu rumit, yang penting baik dan manfaat.
­Kadang-kadang kita mikirnya filsafat itu harus
­rumit, kalau nggak ­rumit, nggak filsafat. ­Prinsipnya
stoik ­kebalikannya.

Jadi bagi stoik, gagasan besar dan rumit itu


nggak terlalu penting, yang penting itu gagasan
yang baik dan manfaat.

Kedua, stoikisme itu rasanya agak cocok


sama dunia timur sebab yang ditekankan dimensi
internalnya manusia, dimensi dalamnya, dimensi
ruhaniahnya. Termasuk konsep stoik tentang
­kebahagiaan, orang-orang stoik meyakini kalau
bahagia apa tidak itu tergantung diri kita yang di
dalam bagaimana. Bukan tergantung di luar diri.

Kalau kebahagiaan kita gantungkan pada


yang di luar diri kita, nanti ya kita nggak akan
ketemu yang namanya bahagia. Misal, “Saya
­bahagia kalau besok punya uang banyak.”

Itu biasanya nggak nemu bahagia juga,


­sebab begitu dapat uang banyak, kita inginnya
lebih banyak lagi. Kalau dasar kita hanya itu, ya
kita akan sulit ketemu yang namanya bahagia.

292
Bagi stoik, yang penting bagaimana batin
kita, dimensi dalam kita. Meskipun misalnya, kita
dapat pasangan nggak terlalu cakep, nggak begitu
kaya juga, tapi kalau kita puas, merasa cukup,
rela, kita sudah cukup bahagia.

Terus orang stoik punya pandangan kalau
alam semesta ini ada ilmu universalnya. Kalau
dalam agama Islam, namanya Sunnatullah. Jadi
alam ini ada sistemnya, ada tujuannya.

Kenapa kok menurut kita kadang nggak adil,


nggak seimbang, nggak cocok?

Biasanya kesimpulan kita begitu karena


­lihat satu peristiwa demi satu peristiwa. Kalau
kita baca lebih utuh, lebih luas, sebenarnya semua
ada skenarionya, ada sistemnya.

Sekali-sekali perlu ada bencana, perlu ada


kesedihan, perlu ada penderitaan misalnya. Itu
kita membaca peristiwa itu jangan hanya diputus
pada bencana itu, kesedihan itu, penderitaan itu
saja.

Kita lihat lebih luas. Kayak ada miskin dan


kaya, itu semua ada ‘fungsi’nya ­sendiri-sendiri.
­Kalau misal kaya semua atau miskin semua,
­mungkin ada sunnatullah yang nggak jalan.

Berarti tugas manusia itu apa?

293
Ya jalankan fungsi kita sebagai ­manusia.
­Nggak usah terlalu banyak komplain, terlalu
­banyak protes, terlalu banyak rekayasa, malah
bingung sendiri nanti.

Kenapa hidup kita rumit misalnya?

Sebab kita sendiri yang bikin rumit. Simpel.

Jadi ada rumus-rumus hidup yang simpel,


tapi kita bikin rumit sendiri.

294
#133

Ada tiga kesadaran ini aja, hidup kita ­sudah


luar biasa. Hidup yang gembira, hidup yang ­nikmat,
terus sadari kalau hidup ini macam-macam. Ini
bekal buat kita bahagia.

Misal nggak lulus tes wawancara kerja,


­terus biasanya kan sedih, tapi mikirnya dibalik,
biar ­nggak sedih, “Alhamdulillah nggak lulus,
­berarti ada kesempatan yang lebih bagus lagi.”

Tidak ada yang tidak bisa kita baca secara


gembira. Paling mentok ya, “Ini kan urusan dunia,
ngapain dibikin sumpek-sumpek banget.”

Nggak ada alasan untuk tidak gembira.


­Nggak ada kok hidup itu yang gelap total, terang
total. Setiap kita punya masalah, setiap kita juga
punya sisi gembira dalam kehidupan. Orang paling
sengsara sekalipun punya sisi gembira.

Coba renungi hidup kita, masih banyak


­sisi-sisi yang layak kita syukuri. Hanya saja kita
nggak sadar. Kita biasanya lebih fokus ke masalah
yang bikin kita galau. Padahal di luar itu fasilitas
kita luar biasa sudah dikasih sama Allah.

Untuk bisa hidup gembira ini, kita butuh


menikmati hidup apa adanya.

295
Terus untuk bisa menikmati hidup
apa ­adanya, kita butuh sadar kalau hidup ini
­macam-macam, dinamis. Orang yang nggak ­sadar
kalau hidup ini dinamis, biasanya nggak bisa
­menikmati hidup. Sebab sekeliling dia pasti beda
dengan dirinya.

Tiap hari sumpek nyari mana yang paling


benar, mana yang paling lurus, dan ­paling-paling
lainnya. Hidup gembira itu kayak ceritanya
­Nasrudin, ­menertawakan dunia dan ­meremehkan
dunia. Orang-orang kok begitu seriusnya sama
dunia, ­padahal cuma sementara, tapi kayak
­selamanya.

Itu kalau diucapkan kelihatannya wow,


tapi susah dijalankan. Nggak gampang orang
­meremehkan dunia itu. Nanti jawabannya, “Kita
kan butuh dunia.”

Ya butuh sih butuh, tapi nggak


­penting-penting banget. Kalau kita sudah bisa
sampai level ini, kita sudah mulai masuk ke ranah
sufistik, jiwa kita bisa jatuh cinta sama Allah. Tapi
kalau doa kita masih isinya kesuksesan duniawi,
berarti masih belum.

Terus keterikatan kita pada materi itu juga


lucunya luar biasa. Ada yang terikat oleh merk,
warna baju, warna celana, barang, dan ­sejenisnya.
Jadi kita semua lucu, apalagi ­fenomena ­keterikatan
kita sama materi ini.

296
#134

Meragukan dan mempertanyakan adalah


sumbernya kebijaksanaan. Mungkin ini penting
untuk sekarang ini, ketika yang benar dan salah,
nggak jelas. Setiap hari kita diserbu informasi,
bingung yang benar mana, yang ‘digoreng’ yang
mana, ini ‘gorengan’, itu ‘gorengan’.

Grup sana ‘digoreng’ biar kelihatan baik


­terus, grup sini ‘digoreng’ biar buruk. Maka
­sekarang apapun yang sampai pada kita, ­ragukanlah
kebenarannya.

Bayangkan ada orang yang membawa satu


keranjang penuh apel, terus dia takut apel yang di
keranjang itu busuk. Jadi dia ingin membuang yang
busuk itu, biar tidak menyebar ke apel ­lainnya.
Apa yang akan dia lakukan?

Dia mengeluarkan semua isi ­keranjang.


­Terus mencari mana apel yang busuk. Dia
­mengamati ­setiap apelnya, lalu mengembalikan
ke dalam ­keranjang apel yang masih bagus, terus
meninggalkan yang busuk.

Begitu juga dengan kita, punya beragam


pikiran yang kita masukkan sejak anak-anak, dan
pasti ada beberapa pandangan yang keliru, ada
juga yang benar.

297
Ya kita tumpahkan saja semua, bukan
­berarti langsung kita buang. Kita uji ­semuanya.
Kayak apel busuk, pikiran buruk lebih cepat
­menular ke ­pikiran yang baik. Isi pikiran kita
­misalnya ­bagus-bagus, tapi ada beberapa yang
‘rusak’, ini biasanya mempengaruhi yang bagus.
Jadi kita saring lagi, biar yang ada di kepala kita
yang baik dan benar.

Cuma untuk bisa begini, butuh pemberani.


Nggak sembarangan orang berani bisa semacam
ini. Sebab kita biasanya sudah terikat suatu
­kebenaran yang sudah dianggap pasti dalam hidup
kita. Itu yang sering kali jadi masalah kita bersama
­sekarang ini, kita tidak berani menguji kebenaran
kita.

Diuji itu bukan hanya yang salah,


­kelihatannya benar pun harus kita uji dulu. ­Ketika
kebenaran hidup kita itu nggak diuji, kita ­nggak
­paham tentang kebenaran itu. Setelah diuji
­sendiri, kita tahu kalau ini memang benar ­misalnya.
­Kalau belum diuji, berarti kita ­sebelumnya cuma
­ikut-ikutan saja.

Terus gimana caranya milih yang benar dan


busuk sampai ke yang pasti benar?

Ada aturan berpikir, pertama jangan


­percaya apapun sampai terbukti kebenarannya.
Ini ­nyawanya meragukan tadi.

298
Terus terbukti ­kebenarannya gimana?

Ya diuji. Cara mengujinya gimana?

Analisis setiap masalah dengan ­memilah


semua bagiannya. Ketika kita dapat suatu
­pernyataan, coba kita cek ini tentang apa,
­unsurnya apa saja, mau itu politik, sosial, budaya,
ekonomi.

Kalau sudah, kita lacak kemungkinan


dari masalah itu. Oh ini mungkin maksudnya A,
­maksudnya B, maksudnya C. Ini kemungkinan.
­Terus kita cari yang paling masuk akal.

299
#135

Bebas itu gimana caranya keinginan kita


bisa terlampiaskan secara penuh, nggak ada yang
menghalangi. Tapi dalam dunia sufi, justru bebas
itu bebas dari semua keinginan. Kebalikannya.
Jadi kalau para Sufi, biar bisa bebas, simpel, ­nggak
usah ingin apa-apa.

Kalau kita kan sering pening, “Saya ingin ini


dan itu, nggak bisa, ada yang menghalangi. Ada
yang halangan politik lah, halangan fisik, halangan
macam-macam deh.”

Kalau kita bisa nggak ingin apa-apa. ­Selesai.


Bebas. Dan tahapan kita bebas dari diri kita ­sendiri
itu tahapan kita untuk bisa menuju pada Allah.
Jadi selama kita sibuk dengan diri kita sendiri, ya
kita akan susah ketemu Allah. Bahkan Allah malah
kita jadikan ‘alat’ untuk kepentingan egois kita.

Itu yang di nasihatkan para sufi. Bebaskan


diri kita dari diri kita sendiri. Sebab biasanya yang
bikin kacau itu diri kita sendiri. Hal-hal beres,
itu malah kita bikin rumit sendiri. Coba kita bisa
­nggak ingin macam-macam.

Ego kita ini nanti yang sering kali


­menghalangi kesempurnaan kita sebagai manusia
sejati.

300
Pertama bebas dari diri kita sendiri, terus
bebas dari segala sesuatu. Kecuali dari satu hal,
jangan pernah kita bercita-cita untuk bebas dari
Allah. Jangan pernah, serumit apapun situasinya.

Kenapa?

Kalau begitu kita keluar jalur. Keluar dari


fitrah kita sebagai manusia. Terus bebas ini apa sih
kalau di dunia sufi?

Bebas itu ketika seorang hamba tidak lagi


berada di lingkaran perbudakan segala ­makhluk.
Nggak ada sesuatu pun yang bisa kita izinkan
­untuk nyetir hidup kita kecuali Allah. Itu berarti
kita ­bebas.

Nggak ada idola-idola selain Allah, ­nggak


ada tujuan selain Allah, nggak ada cita-cita ­apapun
selain Allah.

Jadi tugas kita sebenarnya masih sangat


banyak.

301
Pesan Dari Langit

Penyunting :
Ali Antoni & Tim Kipdefayer

Anda mungkin juga menyukai