Anda di halaman 1dari 302

Ilmu Khidir

Sekumpulan mata air Guru Sunyi

Penyunting :
Ali Antoni & Tim Kipdefayer
1
2
Demi malam apabila telah sunyi,

Tuhanmu tidak meninggalkanmu,

Tidak pula benci kepadamu...

3
4
Maturnuwun sanget kagem
Allah, ­Rasulullah, lan Mbah Nun.

5
Katalog Dalam karbiTan (KDT)
Ilmu Khidir
_Yogyakarta, 2020

300 halaman, 13 x 20 cm
Tim Kipdefayer
Hak Cipta 2020, dilindungi Allah SWT.

Cetakan I, 2020.
ISBN : 0857-2994-6859
Diterbitkan oleh :

KIPDEFAYER PUBLISHING

Boleh memfotokopi sebagian atau seluruh buku


ini tanpa izin tertulis. Kalau mau, cukup kirim
­Al-Fatehah saja, buat siapapun yang berjuang
demi tanah leluhur ini.

6
#1

Penting mana antara puasa atau berbuka?


Di hadapan Allah, lebih penting mana nilainya,
menjalankan puasa atau Idul Fitri?

Betul sekali. Semuanya penting.

Ada manfaatnya masing-masing. Khasiat


puasa itu mantap bagi kesehatan tubuh ­ataupun
hati sekaligus untuk menjelajahi kedalaman ­ro­­hani
kita.

Tapi, jangan lupa kalau hari raya adalah


hak bagi mereka yang berpuasa. Di hari raya kita
bisa menikmati makanan atau kenyamanan lebih
­ni­­k­mat dibanding ketika kita tidak berpuasa.

Mungkin yang tidak tepat adalah anggapan


kita kalau puasa hanya berlangsung pada bulan
Ramadhan. Puasa itu inti hidup dan Allah sen­diri
berpuasa, para malaikat pun disuruh berpuasa
oleh Allah.

Kalau mau, malaikat bisa melakukan


­banyak hal yang sangat ajaib bagi manusia. Tapi
malaikat hanya boleh melakukan apa saja yang
­diperintah­kan oleh Allah. Begitu pula para Nabi
dan Rasul, mereka sungguh berpuasa sepanjang
hidupnya.

7
Dalam nilai kehidupan, puasa itu tidak
sama dengan kalau tidak makan-minum itu artinya
puasa, terus kalau makan-minum itu tidak puasa.
Bagi orang yang selera makan, maka tidak makan
itu puasa. Sebaliknya, bagi orang yang suka puasa,
makan itu puasa, karena dia melakukan sesuatu
yang tidak dia sukai.

Jadi puasa itu bukan hanya perkara makan


dan tidak makan, puasa itu berkaitan dengan
pribadi kita masing-masing. Kalau kita sangat
­menikmati untuk tidak menikmati apa yang jadi
hak kita, itu berarti kita adalah manusia berpuasa.

Jadi puasa itu bukan sesuatu yang sifatnya


berpuasa, malah sifatnya hari raya karena memang
kita suka berpuasa. Tinggal kita kategorikan, kita
termasuk yang mana. Nah, kalau puasa hanya pas
Ramadhan, tidak ada artinya dia bagi bulan-bulan
setelahnya.

Puasa itu pelajaran semester satu untuk


menemukan di dalam hidup ini apa saja yang kita
puasai. Puasa itu begini, kita melakukan sesuatu
yang tidak kita sukai atau tidak melakukan sesuatu
yang kita sukai. Misal ada orang punya hak untuk
jadi walikota tapi dia memilih tidak, itu puasa.

Contoh lain, orang punya akses lumayan


pada ­harta benda, tapi dia memilih pasrah saja
pada ­Allah, hanya fokus pada Allah. Tapi Allah juga
­memperingatkan jangan lupa hidupmu di dunia.

8
Jadi nomor satu bukan karier sukses di
­dunia, tapi menomorsatukan Allah, sambil tidak
lupa bekerja di dunia.

Puasa itu memang sebaiknya jangan hanya


berhenti pada ­bulan Ramadhan, tapi Allah kasih
kita rehat satu hari pada hari raya. Setelah itu
­Allah menganjurkan puasa sunnah.

Sebenarnya dari situ saja kita ­dianjurkan


oleh Allah untuk membawa logika, hakikat dan
­makna puasa sepanjang tahun. Sampai kita
­bertemu ­Ramadhan lagi untuk berlatih lagi,
­sekaligus ­menilai puasa-puasa kehidupan kita­
­setahun ­sebelumnya.

9
#2

Kebenaran sejati itu hanya milik Allah. Jadi


apapun yang dikatakan atau diketahui manusia
­sifatnya relatif, bukan kebenaran mutlak.

Pedoman pertama dalam hidup ini adalah


jangan mudah percaya pada apapun atau ­siapapun,
sebab kita hanya boleh percaya pada Allah saja dan
makhluk yang paling dipercaya juga ­dicintaiNya,
Rasulullah.

Tapi masalahnya, nantinya kita akan punya


tafsir masing-masing tentang apa kebenaran milik
Allah itu. Jadi yang saya pahami dari Allah akan
beda dengan yang anda pahami dari Allah.

Tafsir kelompok A juga akan beda dengan


tafsir kelompok B, C, D, E dan seterusnya, karena
beda itu kita cenderung akan berdebat. Terus habis
debat, potensi berbeda mulai mencuat. Kalau kita
tidak siap mental dan ketulusan hati, maka akan
lahir perpecahan bahkan kebencian.

Padahal sejauh yang kita hayati, ­pikirkan,


renungkan, tetap itu hanyalah kebenaran ­relatif.
Jadi kita hanya bisa bersama-sama mohon
­kerendah hatian pada Allah agar kita ditunjukkan
kebenaran sejati milikNya.

10
Oleh karena kebenaran kita sifatnya relatif,
kita cenderung sibuk melabeli orang lain sesat,
kafir atau apapun saja. Kemungkinan menuding ini
tidak hanya terjadi antara orang lain pada saya,
tapi juga antara saya dengan orang lain. Ini juga
bisa terjadi pada seribu orang lainnya satu sama
lain.

Maka saya kira, bekal kita adalah


­pengetahuan dasar tentang tanggung jawab.
­Walau saya menyimpulkan anda sesat misalkan,
hakikatnya saya tidak punya hak untuk minta
­pertanggungjawaban anda pada saya dalam hal
kesesatan anda itu.

Meski saya menyebut anda kafir, saya


­tidak bertanggung jawab pada anda. ­Begitupun
­sebaliknya, karena kekafiran dan kesesatan
­seseorang tanggung jawabnya hanya pada Allah.
Sebab apa?

Saya tidak bisa mengkafir-kafirkan anda


­terus anda harus tanggung jawab tentang
­kekafiran anda itu pada saya, sebab saya tidak
ikut ­kasih rezeki pada anda, saya tidak pernah
­punya ­sumbangan apapun pada hidup anda jadi
saya tidak perlu menagih-nagih apakah anda itu
kafir atau muslim.

Saya kira begitu juga tentang perbedaan


pendapat satu sama lain.

11
Sehingga bisa kita ­simpulkan apa-apa
saja tema yang ­menyangkut ­antara manusia
­dengan ­Allah, antara hamba ­dengan Tuhannya,
itu ­pertanggungjawabannya ­tidak ke sesama
­manusia. Tapi masing-masing kita bertanggung
jawab ­langsung pada Allah.

Jadi saya tidak punya hak menagih anda


kafir atau muslim, begitu juga sebaliknya, yang
punya hak atas ini semua hanya Allah saja.

12
#3

Hidup itu ada fakta-fakta yang bisa kita


­lihat juga rasakan dengan panca indera kita
dan dimensi lain yang sifatnya rohaniah. Kalau
­Rasulullah ­mengatakan, setiap perbuatan itu
­intinya ada pada niatnya. Meskipun perbuatannya
sesuai agama, letak nyawa perbuatan itu tetap di
niatnya.

Nah niat itu kan tidak kelihatan, karena dia


itu kesadaran dalam diri kita. Jadi ada orang yang
berpendapat kalau niat itu harus bisa dirasakan
dengan panca indera, memang itu bagus juga,
tapi kalau pendidikan Islam kita hanya fokus disitu
saja, kita akan mudah berprasangka pada orang
lain.

Padahal tidak ada yang tahu niat seseorang


kecuali ia sendiri dan Allah. Dan yang berhak
untuk memberi nilai sesuatu itu sah atau tidak,
­diterima atau tidak, hanyalah Allah. Kita tidak
­punya hak untuk menilai. Mari kita berendah hati,
­syukur-syukur ­tidak berprasangka, kalau misal
orang melakukan ­sesuatu itu kita cari niatnya.

Sebab Rasulullah mengatakan kalau tanpa


niat, sesuatu itu jadi ­bukan perbuatan. Di sini, kita
sama-sama belajar kalau batin dan jasad itu hanya
alat perjalanan batin dari hidup sampai mati.

13
#4

Apa anda itu muslim radikal?

Liberal? Konservatif? Moderat?

Dan sejenisnya.

Kalau ngomong akal sehat, kita itu ya semua


itu. Misal, anda bisa saja menikahi seribu wanita,
tapi anda hanya menikahi satu saja, itu radikal.
Dan banyak keputusan-keputusan radikal lainnya
dalam hidup kita.

Tapi kita juga muslim liberal, sebab ­Allah


menyuruh kita untuk terus belajar, mencari ­sesuatu
yang baru, menjelajahi ­penafsiran-penafsiran,
kita punya kemerdekaan berpikir. Meskipun ­nanti
kita tahu kalau kemerdekaan itu bukan demi
­kemerdekaan itu sendiri, tapi untuk menemukan
batasan-batasan yang tepat bagi keputusan hidup
kita.

Kalau kita ambil contoh puasa, puasa itu


kita akhiri pada maghrib, kita tidak dianjurkan
apalagi jadi hebat kalau kita puasa sampai subuh
besoknya. Jadi kita mengambil keputusan dengan
batas-batas. Tidak lantas kita berpikir merdeka,
kita bisa seenaknya sendiri.

14
Kita juga muslim moderat, ketika ada
­diposisi dan perilaku yang memang mengharuskan
kita moderat. Misal, sholat lima waktu tidak bisa
moderat, subuh dua rakaat, dzuhur empat rakaat,
dan seterusnya.

Puasa ya Ramadhan dan itu sudah


­aturannya. Tapi hidup itu relatif, misal pikiran kita
yang merdeka, ada juga yang rohaniah, hati kita.

Hati kita yang tidak bisa kita rumuskan,


­sebab hati itu benua yang bernama cinta, dan
cinta itu luas tak bisa dirumuskan dalam padatan
kalimat saja, karena puncak segala sesuatu yang
bisa mencapai Allah adalah cinta.

Kita juga muslim konservatif, kita tidak


mungkin jadi suami liberal, pikiran kita boleh
­liberal, tapi peran sebagai suami itu konservatif.
Para suami tidak bisa lantas membiarkan istrinya
tidur dengan tetangganya.

Dan suami sendiri juga tidak bisa ­seenaknya


gonta-ganti kunci hotel untuk ketemu dengan
macam-macam wanita.

Kita sebaiknya jangan terjebak oleh tipu


daya istilah-istilah macam itu, jadi tidak ada
­muslim liberal saja, konservatif saja, radikal
saja, dan seterusnya. Sebab hidup itu sangat luas,
­sehingga kita adalah semua itu.

15
Masalahnya adalah kita belajar ilmu dan
mengalami segala pengalaman untuk menentukan
dalam konteks apa dulu, situasi sosial seperti apa
maupun hubungan dengan Allah yang kayak apa
dan seterusnya. Agar kita bisa menentukan pas ini
kita liberal, pas itu kita radikal, pas yang lain lagi
kita moderat.

Kalau kita tidak tepat menentukannya,


kita akan kesulitan meletakkan sesuatu pada
­tempatnya, mungkin kalau untuk pribadi masih
lumayanlah, tapi kalau salah meletakkan sesuatu
tidak pada tempatnya dikonteks sosial, politik,
budaya, ekonomi dan apapun, kita bisa melorot
ke jurang penuh kesengsaraan bersama.

16
#5

Dalam hidup kita, betapa pentingnya kyai,


ulama, mursyid, maulana, ustadz atau apapun.
Begitu juga angin, tai sapi, pohon, langit, seluruh
alam semesta sangat penting. Orang belajar itu
pembelajarannya tidak cuma berhenti pada apa
atau siapa yang ­dipelajari, tapi juga bagaimana
kita mempelajari sesuatu.

Pembelajar yang sejati, bisa saja dia ­belajar


pada pohon, dibanding ketika ia ­mendengarkan
orang pandai. Jadi siapapun anda, ulama, ­mursyid
atau siapa saja, tidak merasa lebih hebat dari
alam dan tidak merasa lebih tinggi dari pada yang
kita anggap bukan apa-apa. Semua itu penting.

Tapi sekali lagi kita bukan Allah atau


­Rasulullah. Allah menganjurkan kita untuk ­belajar
pada siang dan malam, bintang-bintang yang
­beredar, matahari, bumi, dan apa saja. Itu sama
pentingnya dengan kita, ­sebab penting atau
­tidaknya sesuatu itu ada pada bagaimana kita
mempelajarinya.

Meskipun kita baca Al-Qur’an, tapi ­kalau kita


tidak punya ilmu pengetahuan lain yang ­menjadi
jarak antara hamba dengan Allah, maka bacaan
Al-Qur’an kita atau siapapun bisa kalah penting
dari ketika kita melihat sawah atau ­sungai.

17
Sebab itu semua tidak tergantung pada
sawah atau Al-Qur’an-nya, tapi bagaimana cara
kita mempelajarinya. Jangan lupa juga, kalau
apapun bisa dimanipulasi oleh manusia.

Allah mengatakan kalau ulama itu utama,


tapi jangan ulama yang bilang sendiri kalau ­dirinya
utama. Allah-lah yang punya hak atas itu.

Sedangkan kewajiban para ulama adalah


rendah hati dan tidak membusungkan dada ­karena
keulamaannya, tapi membuktikan manfaatnya
pada masyarakat.

Jangan kita ini merasa lebih hebat dari


­Rasulullah. Jangan seolah-olah kita punya ­posisi
di atas Rasulullah. Kita hanya punya hak untuk
­menyadarkan tentang ini pada siapapun agar
­mereka fokus pada Allah dan Rasulullah, bukannya
malah fokus pada kita.

Kita ini boleh tidak ada, tidak ­dihormati,


ataupun kalau kita punya hal yang pantas ­dihormati,
kita tidak perlu minta mereka ­menghormati kita.
Hal yang bisa kita lakukan adalah jalan bersama
untuk mencintai Allah dan Rasulullah.

Kita tidak boleh bersuara melebihi


­Rasulullah. Kalaupun kita punya keistimewaan,
­biarlah Allah yang menilai.

18
#6

Asiknya kita jadi hamba Allah dan ­menjalani


Islam antara lain kita disetiap saat, tempat,
­keputusan itu kita banyak dilema. Misalnya ­begini,
kalau kita berbuat baik, kita pamerkan jadi ­sia-sia.

Kalau tidak kita tampakkan, orang tidak


tau jadi kita malah dituduh bukan orang baik. Jadi
kita kadang-kadang ambil keputusan, ya lebih baik
kita tampakkan biar jadi pendidikan dan contoh
buat orang lain.

Kalau umat tidak dapat wacana ada orang


lain yang berbuat baik, mereka juga jadi tidak
­punya kewajaran informasi untuk mencontoh
­sesuatu. Dilema itu harus kita jawab setiap saat,
dengan catatan kita landasi dengan pikiran kalau
Islam ini diperlakukan sebagai identitas formal
atau kata kerja, perilaku.

Kalau kata Rasulullah, keislaman kita itu


buktinya adalah akhlak bukan ibadah kita. ­Ibadah
memang baik dan wajib, tapi tetap ­pedoman
­utama keislaman seseorang itu akhlak atau
­manfaat hidupnya.

Jadi makin bermanfaat, makin Islam.


­Sebaliknya, makin tidak bermanfaat, makin bukan
Islam.

19
Dilemanya itu menuntut kita untuk
­menampakkan kebaikan, misal pernah ngasih ­beras
lima ton pada orang lain agar jadi contoh buat
orang lain. Tapi resikonya sampai titik ­tertentu itu
bisa jadi riya, secara budaya dianggap pencitraan.

Masalahnya sekarang adalah bagaimana


­supaya Islam kita rahasia. Ada cerita, seseorang
ingin membagi uang sangat banyak jumlahnya,
ia pergi ke keramaian sambil membawa uang itu
dalam tas. Uangnya dibikin tidak diikat, tasnya
sengaja dibuka, terus di tengah keramaian dia
­pura-pura jatuh.

Tasnya jatuh, uangnya berhamburan.


­Ramai-ramai uang itu diambil. Kemudian orang
ini menangis, ia menyesal. Kenapa orang-orang
mengambil uangnya, padahal dia itu memang niat
memberi orang lain.

Kalau dia kasih secara langsung, dia


­tampak seperti orang baik dan ada level dimana
­orang-orang kemungkinan menyebutnya riya. Tapi
orang ini niat merahasiakan keislamannya.

Terserah kita, mau pilih yang mana.


­Ditampakkan sedekah kita atau cara lainnya
yang membuat orang lain tidak sadar kita sedang
­sedekah. Semuanya terserah kita.

20
#7

Ibadah itu ya ibadah, perkara pahala


­berapapun jumlahnya, dikasih atau tidak, itu
­bukan urusan kita. Urusan kita itu ikhlas pada
­Allah, makanya kita beriman pada Allah. Tapi ­tidak
usah peduli mau dikasih berapa.

Orang hidup itu kan dilema, kalau kita


­minta-minta sama Allah, terus tiba-tiba Allah
­tanya, “Kamu itu kurang apa?”

Terus pas kebetulan kita tidak minta


­apa-apa, ­Allah bertanya lagi, “Kok tumben gak
minta?”

Kita hidup diantara dilema ini, daripada


dilema antara dua itu, kita ikhlas sajalah. Begitu
kita bisa ikhlas, Allah tidak menghitung. Tapi kalau
kita perhitungan, Allah pun akan begitu. Sesuai
prasangka kita.

Ada kalimat begini, “Jangan menghitungKu


niscaya Aku tidak menghitungmu.”

Jadi yang paling penting bagaimana hati


kita pada Allah. Kita hanya bisa berusaha agar
­Allah rela pada kita.

Ini bukan syariat, hanya pendapat saja.

21
#8

Orang yang sukses, sudah kaya raya, semua


kebutuhan dunianya tercukupi bahkan berlebihan.
Segala penampilannya dan kepemilikannya jauh
lebih tinggi dibanding rata-rata kita.

Tak usahlah kita persalahkan, selama semua


kekayaannya tidak didapat dengan menindas,
merampok atau mencurangi kita. Biarkan mereka
menuntaskan hidup mereka tanpa kita ganggu.

Mungkin yang jadi sumber masalah adalah


kalau kita menganggap orang-orang itu lebih ­sukses
dibanding kita. Mungkin yang perlu ­dipersoalkan
itu pendapat kita kalau mereka berhasil dapat
kekayaan dan keberhasilan yang kita gagal dan
­tidak dapatkan.

Mungkin perlu dipermasalahkan kalau kita


yakin ketika dihadapan mereka kita merasa ­lebih
rendah, gagal, minder, tidak berarti. Kita jadi
orang yang paling sial, sudah tidak kaya seperti
mereka, merasa gagal pula bahkan jadi rendah
diri.

Malah kita meresmikan diri kita bukan cuma


gagal tapi juga bodoh. Mungkin belajar bagaimana
jadi sesungguhnya hamba Allah, bisa ­mengeluarkan
kita dari keterpurukan itu.

22
#9

Orang-orang modern itu mau kerja keras,


padahal banyak diantara mereka yang tidak
­merasa nikmat, tidak senang dengan kerja itu.

Banyak orang modern terpaksa ­berangkat


dari rumahnya pagi-pagi buta ke kantor ­untuk
­bekerja ­sepanjang hari dan kembali lagi ke
rumahnya, mungkin ­sampai tengah malam. Itu
adalah ­perjuangan yang hebat.

Tapi banyak diantara mereka yang


­kehebatannya itu tidak jadi kenikmatan dan
­kegembiraan, melainkan tumpukan bahan-bahan
yang membuat mereka tersiksa. Marah diam-diam
atau stres.

Mereka tahu kalau kerja mereka itu


­perbuatan baik, apalagi jelas kalau ­berkaitan
­dengan ­perjuangan untuk keluarga, istri dan
­anak-anak.

Tapi peta pembelajaran ­manusia ­modern


di sekolah-sekolah sampai yang ­setinggi apapun,
­tidak pernah ada kurikulum yang ­menghubungkan
antara kerja keras dengan ­perbuatan baik,
­kegembiraan hati dan kenikmatan jiwa.

23
Maka diam-diam jauh di lubuk hati ­mereka
sebenarnya merasa semua kerja ini tidak akan
pernah dilakukan andai kata tidak terpaksa ­karena
ada kewajiban keluarga. Mereka sukses dalam
bekerja, berhasil membereskan keperluan rumah
tangga dan keluarga.

Tapi kerja yang mereka lakukan puluhan


­tahun itu tidak membuahkan kenikmatan batin
dan kebahagiaan sejati.

Sebagaimana perolehan kenikmatan yang


salah satu buah tanggung jawab Tuhan ketika
­menciptakan dan memperjalankan manusia ­supaya
mereka berjalan, bekerja.

Kalau mau memasuki pintu untuk jadi


­sesungguhnya hamba Allah, rupanya ­memungkinkan
mereka bisa mulai meraba kenikmatan jiwa dan
kebahagiaan sejati dalam kerja keras itu.

24
#10

Ada kerja yang benar, ada kerja yang baik,


ada kerja yang khusyuk. Benar mungkin secara
manajemen, baik secara budaya keusahaan dan
perusahaan.

Tapi apa itu kekhusyukan dalam bekerja?

Kalau kita ibaratkan dengan ibadah shalat.


Shalat itu dari takbir sambil mengangkat tangan
sampai nanti tahiyat akhir dan salam terakhir.
Asal gerak dan kalimat itu anda ucapkan, maka
secara hukumnya shalat itu sah. Meskipun sering
kali ­pikiran kita mengembara kemana-mana saat
shalat.

Meskipun hati kita tidak ingat Allah saat


shalat. Secara hukum atau teknis shalat itu ­legal.
Tapi coba kita berempati pada Tuhan. ­Kalau
­Tuhan melihat hambaNya menjalankan shalat
­dengan ­tertib dan benar tapi hatinya tidak tertuju
­padaNya. Apa kira-kira Tuhan menganggap kita
shalat atau tidak shalat?

Kayaknya karena kita tidak fokus hati dan


pikiran kita pada Allah, maka sebenarnya shalat
itu tanpa esensi. Fokus hati dan pikiran pada Allah
itulah kekhusyukan.

25
Jadi ternyata kekhusyukan itu lebih tinggi
dari kebenaran, lebih tinggi dari ­kebaikan.

Meskipun kita sudah bekerja sangat benar


dan baik, tapi kalau tidak menemukan ­kekhusyukan
dalam bekerja, maka perolehan kita juga tidak
akan memberi berkah bagi banyak orang, begitu
juga bagi keluarga kita sendiri.

Oleh sebab itu, kalau sudah ada ­keharusan


untuk khusyuk, siapa lagi yang kita libatkan ­sebagai
subyek yang akan jadi sasaran kekhusyukan hati,
kedalaman cinta kita dalam pekerjaan itu kecuali
untuk dan kepada Allah?

26
#11

Banyak manusia modern tidak bahagia


hidupnya, sebab mereka sangka kebahagiaan itu
bahan-bahannya segala sesuatu yang bukan diri
mereka sendiri. Mereka sangka kebahagiaan itu
ada di alam bahkan di orang lain.

Mungkin kalau mereka bisa ­menyentuh
­langit dan planet-planet, pasti mereka juga bakal
berpikiran kalau di sanalah letak ­kebahagiaan.

Tapi ­karena tidak mungkin menggapai


­langit, ­mereka pun menghimpun apa yang
­mereka sangka ­kebahagiaan itu dengan menggali
­tambang-tambang, mengeruk isi bumi apa saja,
menebang pohon-pohon, ­menggunduli hutan,
mengeksploitasi apa saja diluar dirinya.

Itu semua demi dapat apa yang mereka pikir


kemajuan dan kebahagiaan. Kalau yang diluar diri
mereka itu sesama manusia, maka manusia lain
itu diincar bagaimana supaya menghasilkan laba
untuk mereka.

Sebab mereka yakin laba itulah sumber


­kebahagiaan. Mereka bahkan bersedia ­membangun
pusat-pusat militer, menyebarkan ­perampokan
kemana saja, menjajah negara-negara dan
­masyarakat yang lebih lemah.

27
Merebut harta ­benda mereka, menciptakan
alat-alat yang sangat mahal untuk peperangan,
­kalau sewaktu-waktu ­pihak yang dijajah, ­dirampok
itu berani melawan.

Akhrinya mereka semua berpolarisasi sangat


kompleks. Mereka mengurung diri ­bersama-sama
dalam pemetaan masalah yang tidak bisa
­mereka urai sendiri. Cepat atau lambat, mereka
semua menjadi mesin-mesin, masker-masker,
­onderdil-onderdil, yang bareng-bareng berjalan,
bergerak, berduyun-duyun, menuju kehancuran.

Pasti mereka tidak mengerti ihsan.

28
#12

Kenapa sebelum memulai kerja kita


­sebaiknya mengucap bismillah? Atau dengan nama
Allah? Atau bekerja dengan Allah? Atau bekerja
bersama Allah? Atau bekerja bareng Allah?

Banyak sekali sebabnya.

Beberapa dasar nilai, pola pikir. Misal,


­sebab Allah sendiri Maha Bekerja, Beliau ­menyebut
­konteks kerja Beliau dengan kalimat, “Maha
Mengerjakan Yang DimauiNya.”

Tentu saja untuk mencoba membayangkan


atau meraba-raba bagaimana Allah kok kerja,
­harus dengan membebaskan segala pikiran kita
dari materialitas dan materialisme.

Kita mesti nanya-nanya tentang tujuh langit


dan sembilan dimensi, kita mesti nguping-nguping
update tentang fisika mutakhir, dan metafisika
yang tak terjangkau batasnya.

Sebab pengerjaan seluruh kedahsyatan


­jagat raya atau seluruh keruwetan pekerjaan
­peradaban-peradaban para makhluk bagi Allah
semua itu hanyalah sekejapan mata. Jadi kita
­tidak perlu usil terlalu masuk ke wilayah sana.

29
Tapi yang asyik dari hal ini adalah kalau
kita dan Allah sama-sama bekerja. Hanya saja kita
pekerja dengan “p” kecil, kalau Allah itu Pekerja
dengan “P” besar plus Maha.

Siapa diantara kita yang pernah ­mengalami


ada yang lebih nikmat dan mengasyikkan di
­banding bekerja bareng-bareng dengan Allah?

Bahkan kehendak dan tujuannya pun sama


diantara kita dengan Allah.

30
#13

Gaji yang kita dapatkan, nafkah yang


kita peroleh itu harus halal, itu tidak perlu jadi
­masalah. Itu sudah otomatis, sudah pasti dan
­sudah jadi pedoman dasar dari pekerjaan kita.
Kalau anak-anak hanya kita perkenankan makan
sebutir nasi dan setetes air yang kita tahu dalam
prosesnya itu halal.

Mungkin kita bisa lihat sudut pandang lain


kalau ada rizki berasal dari transaksi. Ada juga
­rizki berasal dari kebutuhan. Dan ada rizki yang
berasal dari rasa syukur.

Rizki transaksi adalah rizki dimana orang


jual beli, mau menjual barang atau menjual jasa
seperti kita di kantor. Orang yang berjual beli itu
yang menjual ingin dapat ­sebanyak mungkin, yang
membeli ingin bayar ­sesedikit-sedikitnya.

Sehingga yang terjadi adalah sesuatu yang


tidak mengandung kemurahan, tapi mengandung
ketetatan transaksional. Sementara rizki yang
kedua itu rizki orang yang sedang butuh. Orang
yang butuh bisa menjual barang atau jasanya,
semurah mungkin dan kita bisa dapat sesuatu jasa
atau barang dengan harga yang jauh di bawah
­harga transaksi.

31
Itu juga menguntungkan secara ­materialisme
dan kapitalisme. Tapi ada cacatnya, kita merasa
ada semacam tidak tega dan ada rasa tidak etis
sebab kita seolah-olah sedang memanfaatkan
orang yang sedang butuh. Oleh karena itu, rizki
yang paling indah adalah rizki yang berasal dari
rasa syukur.

Kalau anda menerima gaji, sebabnya adalah


yang memberi gaji itu bersyukur atas ­pekerjaan
anda. Kalau anda mendapatkan uang, imbalan,
harta atau apapun yang asal usulnya adalah rasa
syukur pada adanya anda di dalam hubungan
­dengan pemberi rizki itu maka itulah rizki yang
terindah.

Mudah-mudahan, anak-anak kita, istri kita,


suami kita sampai cucu-cucu kelak memakan,
­minum, rizki dari rasa syukur.

32
#14

Berkeluarga, pernikahan, akad nikah, di


banding institusi sosial, lembaga negara, atau
sistem sosial apapun, berkeluarga itu langsung
dari ide dan perintah Allah.

Maka kerja kita pun sekarang ini, kantor,


usaha dan dimanapun, langsung juga Allah ada
di sini sebagai subyek bersama-sama kita dalam
­pekerjaan kita.

Ada dan hadirnya Allah dalam kita bekerja


sekarang ini membikin kita mungkin berpikir agak
berbeda. Di mana kebiasaan kita itu meletakkan
Allah sebagai kepala dinas pengabulan doa. Tapi,
Dia tidak kita libatkan di dalam inisiatif-inisiatif
dan kreativitas atau inovasi dalam pekerjaan.

Resikonya Allah bersikap lebih subyek dari


kita. Sebab itu di dalam bekerja kita ­mendapatkan
nikmat yang luar biasa karena tujuan kita demi
­keluarga, kita melakukan seluruh pekerjaan ini
­bersama ­Tuhan. Mungkin karena Tuhan sendiri itu
ide ­awalnya itu semacam pernikahan.

Jadi Tuhan, ibaratnya suami menciptakan


makhluk-makhlukNya yang diposisikan ­seolah-olah
istri.

33
Tuhan menciptakan manusia dan seluruh
umat manusia, kemudian alam dan alam ­diletakkan
­seolah-olah sebagai istrinya manusia.

Petani itu suami, sawah itu istri, ­misalnya.


Lalu dalam skala besar umat manusia bikin
­kerajaan, bikin negara, dan para pemimpinnya itu
ibarat suami dan rakyatnya adalah istri. Itu semua
pararel-pararel, kalau seluruh penciptaan Allah ini
sebenarnya adalah kemesraan-kemesraan “suami
dengan istri” dalam tanda petik.

Begitu juga, ada suami di kantor ini, ada


istri di kantor ini, dan kalau aturan ­bersuami-istri,
hak dan tanggung jawab persuami-istrian kita
terapkan dalam perusahaan kita, maka yang kita
dapat adalah lahirnya anak-anak kreativitas,
­lahirnya anak-anak produktivitas, lahirnya anak
cucu kemaslahatan, rizki yang berguna, sampai
waktu yang sangat jauh ke depan.

34
#15

Makin lama manusia modern makin lemah.


Banyak sekali hal yang mereka ciptakan, ­rekayasa,
bikin hebat-hebat dan megah-megah. Tapi hasil
paling nyata dari itu semua membuat manusia
modern jadi makin lemah.

Segala hasil teknologi yang memang


­tujuannya untuk memudahkan hidup ­manusia,
ternyata hasil yang paling terasa malah ­membuat
manusia itu tidak memiliki ketangguhan
­menghadapi kesulitan.

Segala karya peradaban yang serba cepat,


praktis, instan, efektif. Produk utamanya ­membuat
manusia makin tidak berlatih kesabaran. Manusia
modern sangat sombong dengan keyakinan kalau
kemajuan itu peradaban otak, ­sedangkan yang
kuno itu peradaban otot.

Maka hasilnya sangat nyata kalau otak


­mereka tidak benar-benar berkembang ­fungsinya,
sebab sudah digantikan mesin dan teknologi.
­Padahal pada saat yang sama, ototnya juga makin
loyo.

Seabad yang lalu orang bertanding tinju


­seratus dua puluh lima ronde dengan sarung ­tinju
tipis.

35
Sekarang dua belas ronde dengan sarung
­tinju tebal yang kelak akan diganti dengan bantal.

Manusia modern salah paham tentang


­kemajuan, kekuatan, kehebatan, kecepatan,
­bahkan tentang hampir semua nilai-nilai dasar
­kehidupan. Andaikan mereka mengerti ihsan,
­mestinya mereka akan mulai tersenyum-senyum
geli melihat kekonyolan mereka sendiri.

36
#16

Selama bermilenium-milenium, Tuhan


­menciptakan makhluk, selama beribu-ribu tahun
Tuhan menciptakan manusia beserta sejumlah kali
perbaikan formulasi sampai ke Adam, yang paling
mengasikkan itu kehidupan manusia di peradaban
modern sekarang ini.

Kehidupan manusia peradaban ­modern


­sangat maju, kecuali di bidang kesehatan.
­Makin modern hidup, makin banyak orang sakit,
­makin banyak rumah sakit, makin banyak jumlah
­pasiennya, makin banyak jenis obat-obatannya,
bahkan makin banyak jenis-jenis penyakitnya itu
sendiri.

Sampai-sampai ada makhluk halus yang


­melihat dunia ini dari lain dimensi ­berkesimpulan,
kalau sukses terbesar peradaban manusia ­modern
itu menciptakan dengan kreatif ­jenis-jenis
­penyakit baru yang tidak pernah ada di peradaban
manapun sebelumnya.

Tidak sedikit orang modern yang sukses


dan kaya raya yang menghabiskan usianya dan
­membuat dosa kecurangan sangat banyak demi
dapat sukses materi sekaligus kekayaan dunia,
ternyata tujuannya hanya untuk dihabiskan di
rumah sakit ketika berobat.

37
Manusia modern menyerahkan hidupnya
pada peradaban di luar dirinya yang mereka ­yakini
sangat maju. Hal paling utama adalah mereka
­menyerahkan kesehatan badan dan jiwanya pada
peradaban di luar diri itu.

Hingga dirinya ­sendiri, di dalam dirinya


sendiri, di kandungan dirinya sendiri tidak ada
­mekanisme untuk membangun ­kesehatannya
­sendiri. Padahal kata ihsan sudah sampai ke
­mereka sejak lebih dari lima belas abad yang lalu.

38
#17

Perjuangan itu kita lakukan dengan ­gembira


dan kegembiraan itu memperkuat diri kita. ­Makin
ikhlas hati kita, makin kuat tubuh kita. Makin ­tidak
ruwet hati kita, jujur pikiran kita, makin ­sehat
badan kita.

Contoh pikiran kita cuma diisi yang


­buruk-buruk, tentang selingkuh misalnya, darah
kita bisa tidak lancar dan jantung kita bisa terlalu
cepat berdetaknya.

Sebab tubuh kita dapat perintah itu kan


dari otak kita. Kalau otak kita tidak jujur, badan
kita ikut sakit. Rumusnya seperti itu. Kalau kita
sakit, biasanya kita kemana? Dokter? Dukun? Obat?
Atau bisa kita sendiri?

Dulu masih belum banyak dokter, sekarang


dimana-mana sudah ada. Kelirunya ­kedokteran dari
barat itu, kalau boleh kita sebut keliru, ­mereka
niatnya mau mengobati pasien. Itu ­menurut saya
keliru.

Sebab kalau ngobatin manusia itu nanti


urusannya malah ekonomi. Misal daftar jadi pasien
saja berapa duit, periksa berapa, nanti tindakan
berapa, obat dari resep berapa dan seterusnya.

39
Itu resikonya kalau mengobati. Bukannya
menyalahkan dokter, tapi filosofinya seharusnya
tidak begitu. Jangan mengobati orang, sebab
mengobati orang itu nomor dua. Jadi misal saya
dokter, saya butuh menghidupi keluarga saya,
logikanya saya butuh pasien banyak atau sedikit?

Kalau misal hanya sedikit yang sakit, saya


rugi, pendapatan sedikit. Kalau banyak, saya
­untung. Jadi saya kalau mau, bisa saja pakai cara
begini, menakut-nakuti orang biar dia merasa
­tidak enak badan. Ini kalau pengobatan dijadikan
barang jualan.

Saya tidak bermaksud mengatakan kalau


itu salah. Tapi niatnya jangan dari situ. Niatnya
kalau saya ingin menolong orang, saya kasih tahu
dia bagaimana caranya dia bisa menolong dirinya
sendiri.

Kalau terpaksanya saya yang harus


­mengobati, ya saya obati. Tapi nomor satu, orang
harus bisa ­mengobati dirinya sendiri dan para
­dokter di luar sana itu asisten kita kalau kita ­butuh
tanya-tanya tentang kesehatan.

Ranah kesehatan kita itu sekarang


ikut barat, sangat jarang yang mau menggali
­pengobatan dulu. Oleh karena dokternya kita
sendiri, kita ­mulai dengan hidup sehat dan belajar
mengerti kebutuhan tubuh kita sendiri.

40
Kalau Rasulullah dulu salah satu tipsnya,
makan itu hanya ketika lapar dan jangan sampai
kekenyangan. Sebab ketika lapar, sel tubuh kita
makin kuat. Jadi begitu kira-kira.

41
#18

Salah satu kepandaian tercanggih dari


­manusia-manusia modern adalah melakukan
­jual-beli. Banyak orang modern yang ­membayarkan
kerja keras untuk membeli gaji, kenaikan pangkat
atau jabatan, tidak lupa untuk dapat pujian. ­Kerja
keras diposisikan sebagai alat, sedangkan gaji,
­kenaikan pangkat dan pujian dijadikan tujuan.

Sebenarnya gaji berapapun, pujian


­setinggi awanpun, kenaikan pangkat dan jabatan
­semenggiurkan apapun, semua itu terlalu murah
dan remeh kalau dibeli dengan kerja keras. Sebab
kerja keras, tingkat harganya amat sangat mahal
bahkan tidak terukur oleh ­parameter materi dan
budaya.

Sedahsyat apapun kenaikan gaji, pujian


yang meningkat, pangkat dan jabatan, ­sebenarnya
akibat otomatis yang sama sekali tidak perlu
­dijadikan tujuan. Apabila orangnya mengerti
­makna kerja keras.

Apabila orangnya memahami nilai sejati


dari kerja keras. Apabila orangnya ­menghayati
­rahasia-rahasia berkah yang dikandung kerja
keras. Maka pemahaman sebagai hamba Allah itu
jadi sumur untuk menimba rahasia nilai-nilai kerja
keras yang sejati.

42
#19

Hampir tidak ada orang yang berpikir ­kalau


setiap orang menjalani hidup itu ­sebenarnya
­sedang melakukan perjalanan untuk meneliti
­dirinya. Meneliti jalan yang dilaluinya, meneliti
arah yang ditempuhnya, serta meneliti tujuan
yang akan dicapainya.

Kerja penelitian diri ini tidak disadari,


maka yang terjadi ketidak tepatan langkah dalam
­bekerja. Dalam mengambil keputusan atau dalam
­memperjuangkan sesuatu.

Manusia ­modern ­melangkah tanpa


­kegelisahan atas caranya ­melangkah, atas benar
salahnya jalan yang ia­­langkahi, serta atas sasaran
atau target yang setengah mati ia perjuangkan.

Maka dalam ketidak tepatan posisi itu,


­bahkan tidak hanya ketidak tepatan posisi, tapi
juga ketidak tepatan lokasi dan tujuan. Maka
­setiap jengkal langkah manusia modern ­sebenarnya
penuh potensi untuk berada di titik koordinat
­kesesatan.

Tapi karena orang yang tersesat rata-rata


tidak paham kalau ia sedang tersesat, maka sisa
hidupnya bisa dijalaninya dengan kebahagiaan ala
kadarnya.

43
Dengan cara menghibur diri melalui
­pencarian konsumsi-konsumsi sepele. Misal
­punya mobil, gaji naik, hp ­terbaru, baju indah,
jas, dasi, menang pemilu, jadi­ ­pejabat, eksis
­sebagai ustadz, populer dilingkup ­pergaulannya,
­gengsi-gengsi ­kecil yang ditaruh dalam hati ­dengan
­memantap-mantapkan diri.

Sungguh, pemahaman kita tentang ­menjadi


hamba Allah bisa sangat membukakan jendela baru
bagi beliau-beliau atau kita-kita yang semacam
ini.

44
#20

Manusia modern itu tergolong penghuni


peradaban yang paling menyuburkan ­kekerdilan
kepribadian. Mohon maaf, sangat rendah
­kemandirian, untuk belajar saja mereka perlu
dikumpulkan bersama ratusan teman-temannya,
dihimbun di kelas-kelas, lalu didatangkan guru
­untuk mengajari mereka.

Sebab itu orang modern tidak terbiasa


­belajar karena kebiasaannya sejak kecil adalah
diajari. Sangat berbeda bahkan mungkin sangat
terbalik, antara belajar dengan diajari.

Itupun diajari tidak oleh Tuhan atau


­staf-stafnya Tuhan. Melainkan oleh orang yang
disebut guru. Itupun lama-lama yang disebut guru
itu sebenarnya orang yang bukan benar-benar
guru.

Melainkan karena aslinya ia tidak


­memperoleh pekerjaan lain, sehingga akhirnya
menyerah dan menjadi guru. Juga sebab dalam
peradaban modern, guru makin tidak ­dihormati
dan tidak mungkin mendapatkan perolehan
­penghidupan yang memadai. Jadinya, guru
­kemudian tidak berpikir lagi tentang pendidikan
terutama tetapi berkonsentrasi memperbesar
pendapatan.

45
Anak didik manusia modern sangat
­tergantung dengan guru, padahal kebanyakan
guru bukanlah benar-benar guru, kebanyakan
­ulama ­bukanlah ulama, kebanyakan kiai ­bukan
­benar-benar kiai, kebanyakan ustadz juga
­sebenarnya ustadz-ustadzan.

Dalam keadaan begitu, memahami


­bagaimana menjadi hamba Allah yang sejati
adalah pilihan terbaik.

46
#21

Jadi Nabi Musa ini oleh prajuritnya atau anak


buahnya dianggap tidak mengerti ilmu ­perang.
­Sebab berkali-kali keputusannya ­aneh-aneh. Lho,
dikejar pasukan Firaun, mestinya kan lari ke
­bukit-bukit, banyak batu-batunya, bisa sembunyi.
Eh malah lari ke pantai.

Panglima macam apa ini?

Jadi sebagian prajuritnya protes.


­Pelan-pelan, lama-lama makin keras. Ketika sudah
betul-betul terbentur di pantai, tidak bisa ­mundur,
apalagi mau terus juga tidak bisa, sebab depannya
lautan. Protes itu makin meledak.

“Wahai Musa, nggak salah dengar ini sama


wahyu Tuhan?”

Prajuritnya berkata pada Musa, “Masa


­dikejar-kejar pasukan dua puluh tujuh ribu,
kita cuma enam ribu, kita ke pantai. Ya sudah..
­Habislah kita sebentar lagi.”

Terus Musa menjawab, “Sebab Tuhan


­menyuruhnya seperti ini. Saya tidak mengerti,
saya tidak tahu strategi perang. Yang saya tahu
hanya ketaatan pada Allah.”

47
“Terus bagaimana sekarang kita sudah
­terjebak di sini?”

Kemudian, Tuhan memberi perintah, “­Wahai


Musa, pukulkan tongkatmu itu di air laut.”

Ini dibantah lagi sama prajuritnya, “Lho


musuhnya kan Firaun, malah mukulnya ke laut.”

Mestinya kan Firaun yang dipukul. Namanya


juga perang, kan?

Masa malah suruh mukul laut. Mungkin


di jaman modern sekarang ini kalau ada orang
melakukan itu, sudah kita bodoh-bodohkan. Sebab
orang tidak paham tentang ilmu dialektika, dan
yang dilakukan Tuhan, dalam perintah pada Nabi
Musa itu sebuah dialektika. Nantinya dibuktikan
oleh tenggang waktu.

Benar saja, ketika tongkat itu dipukulkan,


terbelahlah laut. Kemudian pasukan Musa disuruh
masuk di antara belahan itu sampai mereka semua
lolos ke seberang laut.

Tapi kadang-kadang memang kita ­harus


rendah hati kalau ada gejala sejarah atau
­pemikiran-pemikiran baru yang tidak cocok ­dengan
arus mainstream, tidak cocok dengan ilmu yang
kita tahu.

48
Ada baiknya untuk keselamatan bersama
ke depan, sebagai bangsa atau manusia, kita mau
juga mendengarkan hal-hal yang mungkin nggak
cocok sama pikiran-pikiran yang berlaku umum
sekarang.

Tolong, jangan pernah meremehkan ­sesuatu


yang seolah-olah salah dan seolah-olah ­tersembunyi
selama ini. Kira-kira begitu ­hikmahnya.

49
#22

Ahli puasa.

Kata ahli bisa kita ambil dari ­pengertian


­bahasa Indonesia yaitu pakar, keahlian,
­kesanggupan yang tinggi pada sesuatu.

Atau ahli dari bahasa aslinya yaitu Arab,


artinya tuan rumah. Jadi kalau anda ahli puasa itu
artinya anda adalah tuan rumah puasa.

Di dalam diri anda itu ada puasa dan anda


tuan rumahnya, atau puasa adalah rumah anda.
Itu timbal balik rohaniah yang bisa terjadi ­kapan
saja. Nah yang saya maksud ahli puasa, di luar atau
di atas ilmu bahasa, orang yang telah ­memiliki
­pengalaman yang mencukupi untuk memenuhi
syarat dari keimanan atau kemukminan.

Menurut Rasulullah, orang mukmin itu ­kalau


ada dia di sekitarmu, apa dalam skala kecil atau
­besar, kalau ada orang mukmin maka ­amanlah
­harta, nyawa, dan kehormatan semua orang.

Nah orang yang sudah mampu ­mengamankan


kiri kanannya, tidak korupsi, nyolong, menyakiti
orang, membunuh orang, itu artinya dia seorang
mukmin yang memenuhi syarat yang disebutkan
Rasulullah.

50
Orang yang memenuhi pengalaman dan
penjaminan pada lingkungannya atas harta, nyawa
serta penghormatan orang lain, itulah ahli puasa.
Orang yang masih menikmat-nikmati, menuruti
keinginan, maka dia bukanlah ahli puasa. Sebab
dia bisa sangat mengancam harta, nyawa dan
­kehormatan orang lain.

51
#23

Kita ini kan pengen saling menerima satu


sama lain, pengen bersatu. Ibarat pohon itu
buahnya adalah persatuan, keguyuban, gotong
royong dan sejenisnya. Logikanya kita tidak akan
dapat buah kalau kita tidak memahami bunganya,
daunnya, rantingnya, dahannya, pohonnya ­sampai
tanahnya. Bahkan tanah kita teruskan sampai
bumi sampai alam semesta, sampai yang bikin itu
semua, Allah.

Jadi kita tidak bisa hidup dengan


­penggalan-penggalan. Ada banyak hal yang
­membuat orang tidak bisa bersatu. Ini kan ­masalah
yang kita ciptakan sendiri. ­Gampangannya
gini, kalau anda minta sembilan, ya anda harus
­mengurutkan dari satu sampai sembilan. Mungkin
malah sampai ngerti min-nya, min satu, dua, tiga
dan seterusnya.

Kalau Allah memberi petunjuk pada


kita ­begini, jangan tidak waspada terhadap
­fakta ­apapun, mau yang menyenangkan atau
­tidak ­menyenangkan harus secara obyektif kita
­terima, pahami dan pelajari. Jadi kalau kita
­ingin bersatu, kita lihat, kok tiap hari kita malah
­menyelenggarakan segala hal yang bikin kita tidak
bersatu. Terus tiba-tiba ingin bersatu.

52
Misal orang ingin aktual, ya dia ­harus tahu
potensialitasnya dulu. Antara potensi ­dengan
­aktualisasi ada sistem, keadaan, ­budaya, ­atmosfir,
ada macam-macam.

Itu kira-kira ­mengembangkan potensi kita


untuk aktual atau malah ­membunuhnya?

Jadi untuk dapat buah tadi yang ­namanya


persatuan, harus kita lihat ke belakang. Dari
­belakang ke depan. Makanya Allah nyuruh kita
­lihat ke depan, tidak mungkin Allah nyuruh lihat ke
depan kalau tidak waspada pada yang di ­belakang.

Kalau kita tidak waspada, Allah yang akan


mengabarkan pada kita, “Ini akibat dari kamu
sendiri yang bikin.”

Kita sekarang ini ibaratnya pengen pedas,


tapi benci sama cabai, atau sudah makan pedas,
terus malah menyesali. Banyak contohnya, ­entah
itu di pernikahan, manajemen atau apapun.
­Padahal kita sendiri yang bikin, misal kita korupsi,
terus menyesal masuk penjara. Padahal sudah tau
akibat dari korupsi.

Kita mau dagang, tapi tidak siap rugi, cuma


siap untungnya saja. Begitu rugi, kita ­panik, stress.
Padahal mestinya sudah stress kemarin sebelum
dagang, dan seterusnya. Termasuk yang agak
­mendasar, kita sudah mengakui Allah, ­menyembah
Allah.

53
Tapi kita tidak benar-benar siap untuk
­setia pada Allah dan menerima ketentuan ­Allah.
Kita seringnya hanya siap untuk dapat apa yang
kita ­ingin saja. Padahal mestinya sembilan ­puluh
­persen siap dengan segala ketentuan Allah.
­Kira-kira ­begitu.

54
#24

Orang modern itu paling hebat dalam


hal menghias-hias dirinya. Paling jago bergaya,
­bermewah-mewah, hidup di dalam style dan tren.
Segala ilmu dan teknologi, kebanyakan hanya
dipakai untuk bergaya dan bermewah-mewah.
Semua hiasan itu kebanyakan ada di luar diri
orang-orang modern.

Dibikin, diindustrikan, dijual, dan dibeli


­beramai-ramai. Seluruh peradabannya ­akhirnya
berisi jual beli hiasan, pencitraan, image,
­kemegahan, penampilan, narsisme, dan itu semua
yang mereka sebut eksistensialisme.

Orang modern sebenarnya tahu kalau hiasan


kepribadian, yaitu hiasan yang berasal dari dalam
dirinya, itulah yang terbaik dan tertinggi. Misal,
akhlak mulia, ketulusan hati, ­kepasrahan pada
hidup, kasih sayang sosial, dan lain sebagainya.

Sayangnya makin ke sini, kesadaran itu


makin tak penting. Makin dinomor duakan,
­disepelekan, sangat sedikit orang yang bersiteguh
pada kemandirian kepribadiannya. Maka filosofi
ihsan, kayaknya adalah pintu masuk yang terbaik
bagi manusia modern untuk coba-coba ­menemukan
dirinya sendiri lagi.

55
#25

Di antara semua peradaban yang pernah


berlangsung di muka bumi ini, manusia modern itu
yang paling penuh ketergantungan pada sesuatu
yang berada di atau dari luar dirinya.

Memang secara alamiah, manusia selalu


­punya ketergantungan pada sesuatu di luar ­dirinya.
Tapi manusia modern era abad 20-21 ini adalah
yang paling tergantung dibanding umat manusia
pada kurun waktu yang lalu.

Dengan kata lain, manusia modern ­paling


tidak mandiri untuk belajar, bekerja, merasa
senang, berbahagia. Mereka tidak mengandalkan
dirinya sendiri.

Mereka malah menunggu, ­meminta, bahkan


merebut sesuatu yang berasal dari luar ­dirinya.
Mungkin itu sebabnya, prinsip ihsan adalah nilai
yang paling mereka atau kita semua perlukan.

56
#26

Kemandirian diri manusia modern sangat


lamban ditumbuhkan. Sebab sejak awal mereka
dibikin tergantung pada orang yang mengajarinya.

Orang yang mengajarinya adalah orang


yang lebih besar, lebih tua usianya, yang merasa
lebih pintar, dan meyakini kalau yang diajarinya
itu ­manusia yang masih bodoh dan lebih bodoh
dibanding yang mengajari.

Orang yang mengajarinya itu tidak


­pernah belajar memahami dan mengerti ­siapa
yang ­diajarinya. Mereka kebanyakan ­hanya
agen ­penyalur informasi yang tidak pernah
­mempersoalkan dari mana datangnya informasi itu
dan tidak pernah peduli tepat atau tidak informasi
itu disampaikan pada mereka yang diajarinya.

Para pengajar modern tidak pernah


­mempelajari ketepatan ilmu, dan ­pengetahuan
tentang siapa yang diajarinya. Terlebih lagi ­mereka
yang diajari, rata-rata tidak memiliki bekal
­pengetahuan tentang siapa yang ­mengajarinya,
apa yang diajarkannya, kenapa hal itu diajarkan,
bagaimana konteksnya, bagaimana ketepatan
tahapnya, atau harus dengan cara apa informasi
itu disampaikan.

57
Di dalam peradaban dimana yang mengajar
tidak mengerti yang diajar, jangan berharap yang
diajar mengerti yang mengajar. Kalau guru saja
­tidak tahu memilih murid, jangan mimpikan murid
mampu memilih gurunya.

Itu semua akan jadi kondisi dasar, ­ketika


nanti dia bekerja, ketika nanti dia mengambil
keputusan-keputusan dalam hidupnya. Dalam
­posisi di bawah, di tengah ataupun di atas. Di
dalam kedudukan, dia menjadi apapun, hal itu
akan jadi setting dasar psikologi dan mentalnya.
Sebab itulah, prinsip ihsan tidak bisa kita elakkan.

58
#27

Banyak manusia modern yang sudah k ­ erja


keras puluhan tahun lamanya, tapi mereka ­tidak
juga menemukan arti kerja keras.

Mereka ­menghabiskan puluhan ribu, ­bahkan


ratusan ribu hari-hari sepanjang usianya tanpa
dapat makna kerja keras.

Jadinya, andaikan mereka diberi ­pilihan


­begini, “Mau tidak tetap terima gaji seperti
­biasanya, tapi volume kerjamu cukup lima puluh
persen saja?”

Jawabannya sudah pasti, “Mau!”

Bahkan saat ditawarkan pada mereka


­begini, “Mau tidak mulai hari ini kalian tidak usah
datang ke kantor, tapi gaji tetap jalan seperti
­biasanya?”

Jawabannya makin mantap lagi, “Sangat


mau!”

Itu semua karena pembelajaran ­kerja


­puluhan tahun yang mereka lakukan, ­hanya
­memberikan ilmu yang salah tempat.

59
Yang ­membuat mereka lebih memilih dan
menyayangi gaji, pangkat dan pujian. Sementara
kerja keras, dinomor duakan.

Bahkan mungkin dianggap sesuatu yang


­menyiksa, sebab bertele-tele sedemikian rupa
sepanjang hidup mereka. Kebanyakan mereka
pasti belum pernah mendengar atau apa lagi
­mendalami arti kata, Ihsan.

60
#28

Hidup manusia modern itu benar-benar


mantap, mereka merasa memiliki hak asasi
­manusia. Mereka diam-diam berpendapat kalau
adanya mereka itu karena mereka sendiri. Mereka
yakin kalau mereka sendiri yang memilih untuk
jadi dirinya itu. Kemudian mereka mengibarkan
prinsip free will, kebebasan.

Hak untuk menentukan hidupnya sendiri,


hak untuk mengambil keputusan akan jadi apa,
mau kemana, berkarier, eksis. Manusia modern
diam-diam mempercayai, kalau dia sendiri yang
membuat dirinya ada.

Dia sendiri menentukan tanggal lahirnya.


Dia sendiri memilih siapa ibu dan bapaknya. Dia
sendiri mengambil keputusan seperti apa rupa
­wajahnya, lurus panjang rambutnya, warna
­kulitnya, serta apa saja yang dia sebut kalau itu
adalah dirinya.

Manusia modern ini merasa punya ilmu


manajemen tercanggih, dibanding ­peradaban
­sebelumnya yang pernah ada. Ia tentukan ­sendiri
setiap hari rambutnya memanjang berapa
­milimeter. Ia tentukan sendiri penguraian ­zat-zat
makanan dan membaginya sendiri keseluruh
­tubuhnya.

61
Ia menjadwal sendiri sehari mau meludah
berapa kali, kencing berapa kali, dan beol berapa
kali. Bahkan dengan mantapnya manusia modern
menentukan apa saja yang bikin orang lebih cepat
mati, apa yang bikin orang lebih lama hidup.

Manusia modern merasa berkuasa


­menentukan berapa usia yang akan ­ditempuhnya,
dan nanti hari kematiannya dia tentukan pada
­kamis legi atau sabtu kliwon.

Manusia ­modern benar-benar perlu


­memahami bagaimana ­menjadi hamba Allah ­sejati,
agar berkurang jumlah ­diantara mereka yang mati
tanpa pernah ­memahami hidupnya.

62
#29

Kalau berwudhu ada air yang namanya, air


yang tidak dipekerjakan, air yang diam, air yang
tidak bergerak, tidak berputar, tidak melakukan
aktivitas, tidak berguna, dan menuju keadaan
berbau busuk.

Yang bekerja dan bergerak, yang utama


­untuk dipakai berwudhu air yang tidak ­bekerja
harus bervolume sangat besar untuk mungkin
bisa dipakai berwudhu dengan perhitungan ­makin
banyak air, makin lamban langkahnya menuju
­kebusukan.

Manusia modern sehari-hari tampak ­bekerja


keras, bagaikan air yang digerakkan, diputar,
­bahkan mereka bekerja sangat keras. Banyak
­tempat jualan yang buka, dua puluh empat jam.

Manusia modern bergerak, berputar,


­bergolak di kantor-kantor, di toko-toko, ­­di
­mall-mall, pabrik-pabrik, pasar-pasar, sawah,
­gunung, lautan.

Tapi secara rohani dan kejiwaan,


­pergerakan air kehidupan mereka belum tentu
bisa ­dipakai berwudhu atau untuk tampil bersih
di ­hadapan ­Tuhan. Maka pembelajaran yang tidak
bisa ­dielakkan adalah Ihsan.

63
#30

Salah satu dorongan penting dan utama


kita bekerja keras di kantor, pasar, jalan, sawah,
laut atau di manapun, adalah karena kita ikhlas
­mengabdi pada anak-anak, istri, keluarga.

Tentu saja ada juga niat yang lebih luas,


lebih besar, mengabdi pada negara dan bangsa,
masyarakat, agama, dan kepada Allah. Kepada
apa dan siapapun saja yang juga mungkin sama
mulia dan luhurnya.

Tapi saya ingin menekankan kalau


­pengabdian pada keluarga itu punya kemuliaan
yang kalau tidak utama ya spesifik. Sebab, ­keluarga
itu tercipta dari pernikahan.

Dan ­pernikahan itu yang kita sebut akad


­nikah itu adalah idenya ­Tuhan. Gagasannya Tuhan.
Perintah Tuhan.

Lelaki dan perempuan bersatu, ­berharmoni,


beranak pinak, jadi bukan ide sosial, bukan ide
kebudayaan, bukan ide politik, bukan ide yang
datang dari manusia.

Manusia memang punya keperluan ­untuk


­berkeluarga, tapi perintah dan gagasan ­berkeluarga
itu datang dari Allah langsung.

64
Sementara negara tidak, kerajaan ­tidak,
sistem-sistem sosial tidak ­merupakan ­perintah
­langsung. Itu semua hanya ­informasi dari
­Allah ­mengenai bagaimana manusia ­menata
­kehidupannya secara bersama-sama.

Tapi ­tidak ada perintah ­spesifik agar ­manusia


­menciptakan ­negara, kerajaan, apakah bentuknya
­persemakmuran, ­kesatuan atau apapun itu. ­Sebab
itulah berkeluarga itu punya ­nilai yang sangat
­mulia, di banding ­bernegara, ­bermasyarakat.

Bukan berarti bernegara dan ­bermasyarakat


­tidak penting, tapi ­sedemikian pentingnya ­peran
­keluarga itu dalam ­akselerasi ­sejarah, dalam
­irama peradaban, yang ­melanggengkan ­kehidupan
ini sedemikian rupa. Sehingga motivasi kita
semua untuk mengabdi pada keluarga itu langsung
­melibatkan Tuhan.

65
#31

Saat dikejar-kejar pasukan Firaun, Musa


sama pasukannya yang sedikit itu, sekitar
­seperenamnya pasukan Firaun, mereka istirahat
di sebuah lembah. Tiba-tiba, di tengah mereka
agak takut-takut dikejar dan kebingungan untuk
menentukan strategi, tiba-tiba Musa malah sakit
perut.

Dia spontan mengeluh sama Tuhan, “Ya


­Allah, kami sudah dikejar-kejar pasukan Firaun,
perut saya sakit lagi.”

Tuhan pun langsung menjawab, “Kamu ke


sana, ke atas bukit sana. Kamu ambil daun di
­pohon sana. Ambil aja, nanti kamu makan, ­sembuh
nanti.”

Nabi Musa lari ke atas bukit. Belum sampai


dia menyentuh daunnya, perutnya sudah sembuh.
Terus dia turun, dia berterima kasih pada Allah.
Ehhh... Baru duduk sama pasukannya, perutnya
sakit lagi.

Musa langsung lari lagi ke atas, dia


­mendekati pohon-pohon. Dia ambil daun, dia
makan. Ndak perduli rasanya, yang penting sehat.
Dia makan sehelai, dua helai, tiga helai.

66
Tapi sampai berhelai-helai daun dia makan,
perutnya juga tidak sembuh-sembuh. Nabi Musa
pun protes pada Tuhan, “Ya Allah... Aku sudah
makan sekian daun, tapi perutku tidak kunjung
sembuh. Tadi Engkau mengatakan padaku kalau
mau sembuh perutnya, naiklah ke atas bukit dan
makanlah daun-daun.”

Terus Tuhan menjawab, saya duga Tuhan


sambil tertawa, “Tadi yang pertama sakit perut,
kamu kan minta tolong. Yang kedua, kamu ndak
bilang-bilang, langsung naik bukit saja. Terus kamu
pikir daun bisa menyembuhkan?

Ndak bisa. Daun ndak bisa menyembuhkan


perutmu. Yang menyembuhkan perutmu itu Aku.
Terserah Aku. Mau lewat daun, batu, ­kutempeleng,
supaya sembuh. Mau apa, terserah Aku. Jadi
­sembuhnya perut kamu bukan karena daun.”

Kawan-kawan sekalian, mungkin kita ini


merasa seperti Musa itu pekerjaan kita. Kita
sering merasa bisa mengatasi masalah karena ilmu
kita. Kita jadi dokter, merasa bisa menyembuhkan
pasien sebab ilmu kedokteran yang kita punya.

Padahal sesungguhnya, rahasia ­kesembuhan,


berbeda dengan pengetahuan ­tentang ­pengobatan.
Mungkin ilmu-ilmu sosial, politik, sains, ilmu
pasti sampai ke ilmu yang ­sifatnya cair ­seperti
­kebudayaan. Itu semua sekedar sehelai-helai
daun.

67
Kita tidak boleh sedikit pun menganggap
kalau ilmu-ilmu itu bisa mengatasi keadaan. Tetap
ada satu otoritas di luar dimensi yang bisa ­diketahui
manusia yang kita butuhkan untuk membantu kita
supaya sakit perut nasional kita ini sembuh.

Nah, jadi ini soal kerendahan hati.


­Mudah-mudahan, kita ingat bahwa semua
­penyakit kita ini tidak hanya bisa kita atasi ­dengan
­kehebatan kita, tapi kita butuh yang lain.

Yang lain itu ­mungkin Tuhan, mungkin


apa sajalah, terserah anda menyebutnya. Tapi
­pokoknya ­jangan ­terjebak seperti Nabi Musa.

68
#32

Ada tiga macam pekerjaan yang dilakukan


oleh manusia. Pertama pekerjaan meniru-niru
yang sudah pernah ada. Kedua mengikuti tapi dia
lebih mengerti tentang apa yang dia ikuti.

Nomor tiga itu pekerjaan mencari sesuatu


yang baru. Bisa modifikasi dari sesuatu yang lama
jadi yang baru. Atau bisa menggali sesuatu yang
belum pernah ada jadi ada.

Yang meniru-niru kalau di istilah Islam


itu taqlid. Pelakunya bernama muqallid atau
­muqallidin. Kalau yang mengikuti dengan syarat
mengerti apa yang diikuti namanya kutiba,
­pelakunya muttabi atau muttabiin.

Lalu yang ketiga, yang cari sesuatu yang


baru, menguak kreatifitas, membuka cakrawala,
namanya pekerjaan ijtihad. Pelakunya bernama
mujtahid atau mujtahidin.

Di dalam bekerja mungkin tidak terlalu


efektif untuk membayangkan kalau kita akan
memperjuangkan agar sebagai individu kita unggul
atas individu lain. Atau sebagai institusi kita lebih
hebat dari institusi lain. Atau sebagai perusahaan
kita lebih dahsyat dari pada perusahaan lainnya.

69
Sebab tiga hal itu hanya efek kalau yang
kita kerjakan adalah pekerjaan yang ketiga tadi,
ijtihad. Kita terus menerus cari sesuatu yang baru.
Kita terus memperbarui segala sesuatu. Kita terus
menerus membuka jendela, menguak cakrawala.

Maka, seberapa jauh ijtihad itu kita ­lakukan,


itulah nanti efeknya tiba-tiba mengagetkan kita
ternyata kita lebih unggul daripada orang-orang
lain atau perusahaan lain. Yang tidak dengan ­sadar
membawa dirinya untuk tidak sekedar meniru dan
tidak sekedar mengikuti tapi mencari sesuatu yang
baru.

Dalam hidup individu, berkeluarga,


berkarya, sampai bernegara dan bermasyarakat.
Sebenarnya yang akan menyinari dunia adalah
umat manusia yang membuka cakrawala ijtihad.
Begitu juga sehari-hari kita dalam pekerjaan.

70
#33

Saya sedang tidak mengklaim kalau hidup


itu yang terbaik adalah rasa berhutang, itu saya aja
memakai itu, sebab Allah sendiri, dalam ­kemesraan
hubungan dengan manusia, kan ­urusanNya dengan
manusia itu kan beli dan jual, hutang dan bayar
hutang. Allah itu ‘berdagang’ sama kita.

Dan Allah mengajari kita bagaimana ­‘dagang’


yang tidak bangkrut. Bangkrut itu ­artinya, bukan
bangkrut menurut kita, tapi ­bangkrut ­hitungan
­Allah dalam keabadian. Jadi saya saja yang ­begitu.

Saya itu merasa kurang ­terus ­melakukan


apapun saja, jadi misal saya nulis itu tidak
­berhenti-berhenti saya nulis, sebab apa?

Sebab saya ndak bisa-bisa bayar hutang.


Gini, saya ini kan aslinya ndak ada, terus sama
Tuhan diadakan, dibikin, kemudian saya diberi
macam-macam, dititipi macam-macam, nah harus
tahu semua ini kan ‘piutang’-nya Tuhan. ‘Hutang’
kita semua.

Itu pun Tuhan jual murah kok, nanti kita


­tidak disuruh mengembalikan ‘hutang’ itu sepadan
dengan pemberianNya.

71
Misal, surga ‘dijual’ sangat murah oleh
­Allah pada kita, aslinya kita sedunia, berapa abad,
­berapa milyar orang pun, ibadah ­rajin, shalat
­bersama, berbuat baik, atau apapun. Itu sama
sekali belum seujung jarum dari sangat besarnya
kasih sayang Allah pada kita.

Nah, maka hidup itu sangat tidak cukup ­untuk


membayar ‘hutang’ pada Allah dan orang nyicil
kan lega, kecil-kecil saja, misal ngasih uang parkir,
menyalami orang, baik sama orang. Pokoknya kita
membayar hutang ­sebanyak-banyaknya. Allah
sendiri bilang, “Barang siapa mau menghutangi
Saya, dengan hutang kebaikan, maka Saya akan
membayarnya dengan berlipat ganda.”

Padahal Allah ndak hutang sama kita.


­Allah saja merasa hutang. Itu kan tidak riil
­secara matematika ekonomi, itu kan maksudnya
­kerendahan hati dan kemesraan. Lho masa kita
sendiri gak merasa hutang?

Masa kita malah sama Tuhan ­semena-mena.


Misal saya percaya Tuhan, tapi ndak percaya ada
agama, wahyu segala macam dan seterusnya.
Semua bisa diperdebatkan, semua bisa ­dibantah,
semua bisa baik, bisa buruk, bisa benar, bisa salah.
Jadi manusia jangan terlalu berpedoman pada
logika dan dialektika berpikirnya sendiri, sebab
kita semua itu relatif.

72
Sebenar-benar apapun, besok pagi kita
bisa membantahnya sendiri. Jadi kebenaran
yang ­sejati adalah kebenaran milik Allah. Nah
yang bisa kita lakukan adalah bayar ‘hutang’,
­berbuat ­kebaikan sebanyak mungkin, ­bermanfaat
­sebanyak-banyaknya pada manusia. Terus,
­kebenaran, kebaikan, manfaat, kebijaksanaan itu
kan hirarki begitu.

Jadi hitungan saya bukan karier, bukan jadi


apa, bukan punya apa, hitungan saya bukan kaya
atau enggak. Sebab hitungan saya adalah tiap hari
saya menikmati tiap hari saya nyicil berapa pada
Allah.

Kita punya voucher ibaratnya, untuk ­masuk


ke surga Allah kasih kita voucher. Nanti kalau
­punya voucher ini kita bisa langsung dimasukkan
ke surga sama malaikat Ridwan. Voucher-nya itu
apa to?

Voucher-nya itu syafaat. Syafaat itu ­artinya


kalau kita mencintai Nabi Muhammad SAW, dan
komitmen dengan Rasulullah, kita akan dapat
voucher-nya. Itu dialektika cinta.

Sebenarnya kita ndak bisa ‘beli’ surga,


­apalagi kita sekarang lebih sering lupa ­daripada
ingat sama Tuhan. Makanya Tuhan kasih kita
‘voucher’ itu tadi.

73
#34

Sebenarnya makin kita modern, kita makin


berlawanan dengan sejarah. Mungkin kita cukup
historis, menghitung rentang waktu, kejadian,
dan sejarah hal-hal yang jadi keperluan kita.

Tapi kita tidak historis untuk hal-hal yang


sifatnya hakiki. Jadi karena mungkin, pandangan
kita waktu itu linier, jadi kita itu hidup sekarang,
tidak kemarin dan tidak besok.

Padahal kita itu hidup di antara kesatuan


dengan kemarin, sekarang dan besok. Kalau kita
mikirnya begitu, berarti kita siap untuk abadi.
­Sebab manusia itu hidup abadi, kita itu orang ­surga,
terus mbah kita melakukan kesalahan ‘dikit’, kita
disuruh ke bumi, untuk latihan lagi supaya bisa ke
surga lagi. Dan masuk surga, dua kali keabadian.
Kita ndak bisa ngukur, tapi pokoknya ada.

Jadi menurut saya, kita memang ­selalu


memotong, sebab hidup sekarang, dan tidak
­kemarin, tidak besok. Oleh sebab itu kita tidak
pernah berpikir panjang.

Misal sudah serius ­digaji dengan ­fasilitas


yang banyak oleh rakyat, kita ­tidak berpikir
­panjang ke depan. Apalagi berpikir ke belakang.

74
Jadi kita ini hidup sendiri tanpa ­Majapahit,
tanpa Mataram, bahkan tanpa Nabi ­Muhammad.
Nabi Muhammad kita ingat untuk ­komoditas
kita. Tuhan kita sebut-sebut kalau kira-kira
­menguntungkan pemasaran kita. Banyak sekali
kategori seperti itu.

Tapi intinya, kita ini berpikirnya terlalu


­linier dan tidak bisa membedakan kalau kita itu
tidak pernah hidup di suatu waktu. Sebab waktu
itu bukan detik, menit, jam, bukan hari, bukan
tahun. Kita hidup di suatu entitas yang kita belum
paham.

Jadi menurut saya, ada kesatuan antara


masa silam, masa kini dan masa depan. Nah itu
berarti kita tidak pernah hidup tanpa kesadaran
dengan Tuhan, sebab kita tidak bisa bikin hidup
kita sendiri. Kecuali, anda menganggap bukan
­Tuhan yang bikin manusia, melainkan manusia
bikin dirinya sendiri.

Tapi rahmatan lil alamin itu salah satu


­pedoman dasarnya adalah kita tidak pernah bisa
hidup di luar Allah, apa saja. Mau sepak bola,
mancing, tidur, semuanya.

Tidak ada satu hal pun atau benda pun


bukan bikinan Tuhan. Tapi kan kita tidak pernah
mempertimbangkan itu sama sekali sekarang.

75
Contoh, selama kita hidup modern,
alam adalah alat kita yang kita eksploitasinya
­habis-habisan, dari minyak, batu bara, emas, apa
saja, sebab kita tidak punya konsep siapa mereka
itu. Kalau kita bersaudara dengan pohon, hewan,
maka itu adalah sasaran dari rahmatan lil alamin
kita.

Tapi kita tidak pernah menganggap itu,


kita kan jadi tuhan sendiri, terus kita pakai apa
saja dengan kekuasaan kita, semau kita. Saya kira
­manusia memang semakin lama makin menjauh
dari hakikat rahmatan lil alamin.

76
#35

Proses pembusukan itu suatu idiom ilmu


sosial, dasarnya adalah semua makhluk itu ada
usianya. Setiap peristiwa ada usianya, setiap
­gejala ada usianya, setiap sebaran informasi juga
ada usianya, idealisme juga ada usianya.

Artinya kalau menurut Allah, hidup itu ada


siangnya ada malamnya. Jadi kalau macan itu bisa
seumur manusia misalnya.

Nah gejala sosial juga begitu, jadi di ­lingkup


sosial orang sekarang itu terjadi tiga hal, satu
­penyempitan, dua pendangkalan, perpendekan.
Jadi misal orang sekarang itu cuma bisanya tiga
kata satu kalimat, kalau kalimat panjang udah gak
bisa ngikutin lagi. Sekarang seperti itu.

Itu berarti, usianya makin pendek. ­Misalnya


ada radikalisme, menurut saya itu kan contoh
dari bagaimana Islam atau nilai disempitkan dan
­didangkalkan.

Secara alamiah, tidak ada makhluk yang


­nyaman dalam kesempitan dan kedangkalan.
­Memang ada yang ekstrim, radikal, ada yang
­memang ngamukan, kalap, tapi bagi saya itu
­gejala sesaat.

77
Pembusukan itu lain masalah, jadi
­ embusukan itu proses panjang, misalnya ­bedanya
p
kebudayaan sama peradaban. Kalau kebudayaan
itu kreativitas manusia yang punya ­kecenderungan,
karakter dan pola tertentu.

Kalau ini berlangsung lama, namanya


­peradaban. Misal orang Jawa ­kalau makan sendok
sama garpunya ditelungkup. Itu peradaban, sudah
mesti begitu itu.

Orang Indonesia itu punya peradaban yang


sangat bersejarah, lama zamannya. Sehingga
­mereka itu tidak gampang busuk sebenarnya. Jadi
teori pembusukan itu sebenarnya pada bangsa
atau komunitas yang terlalu intelektual.

Kalau untuk bangsa Nusantara, anda tunggu


kapan pun ndak busuk-busuk.

Zaman bung Karno kita merasa ini ­sebentar


lagi busuk, ya ndak juga, ganti orde baru tiga ­puluh
dua tahun ya ndak busuk juga. Tetap ­bertahan
sampai sekarang, sebab daya adaptasi bangsa kita
itu luar biasa.

Kalau sekarang ini Indonesia negara ­lemah,


rakyatnya kuat. Mudah-mudahan kalau ada
­pemimpin yang baik besok negara kuat, rakyat
kuat.

78
Jadi orang Indonesia itu sangat kuat,
­makanya tidak berontak, kalau anda gampang
sakit, dicubit sedikit bakal teriak. Tapi kalau ndak
gampang sakit, dicubit juga diam saja. Artinya
orang yang berevolusi, memberontak adalah orang
yang daya tahannya rendah.

Kita itu sampai batas tertentu sudah bisa


susah seperti apapun tetap bertahan, ­menderita
seperti apapun tetap tertawa. Kita punya
­teknologi batin yang luar biasa untuk ­menghadapi
­penderitaan. Contoh kecil, kita punya ngalah,
menganggap tidak ada.

Jadi menurut saya teori pembusukan tidak


tepat untuk kita.

79
#36

Pendidikan itu maksudnya bukan itu, yang


ada sekarang pendidikan adalah lembaga ­dagang,
sebab pendidikan itu tempat training calon ­buruh,
pegawai, karyawan, perangkat-perangkat ­industri.

Memang pendidikan modern difokuskan ke


­industri. Jadi tidak ada urusan sama ­kemanusiaan,
akhlak, rahmatan lil alamin.

Tapi tidak usah putus asa karena itu, sebab


kita berdaulat pada diri kita sendiri. Pendidikan
itu sebenarnya adalah metode dari bapak ibu didik
dan orang tua untuk mengantarkan anaknya agar
menemukan siapa dirinya. Kalau dia tau dia cabai,
maka dia akan lebih bermanfaat misalnya.

Sekarang itu orang berlomba-lomba untuk


dapat pasar, konsumen, kalau di dunia pendidikan
yaitu murid. Jadi semuanya mekanisme untung
dan rugi, maka akhirnya ada pemasaran, ­branding,
memamerkan kalau sekolahnya unggul misal.

Sejak ada kata unggul dipakai sekolahan


dan universitas, itu sama dengan ketika ada kata
unggul, itu kesombongan, sebab manusia tidak
­seharusnya begitu.

80
Unggul itu gini maksudnya, anda itu boleh
cantik, tapi yang ngomong cantik harus orang lain,
bukan anda. Kalau anda yang ngomong kan berarti
anda itu kecentilan.

Anda boleh hebat, tapi yang ngomong harus


orang lain. Nah kalau bikin sekolah, terus ada kata
unggul, itu berarti pemasaran, bukan pendidikan.

Sebenarnya di dunia tidak ada yang ­unggul


sebab semua punya porsinya masing-masing,
misal gajah itu ya begitu, kambing itu ya begitu.
Tidak ada yang lebih hebat dari satu sama lain.
Jadi ­pendidikan kita terlalu diseret kapitalisme
­lembaga pendidikan, sampai kadang-kadang,
­mohon maaf sebelumnya, yang maju memang
yang pinter dagang.

Makin banyak murid, makin rendah


­mekanisme pendidikannya, sebab makin ­sempit
kemampuannya untuk mendeteksi porsi dari
­masing-masing muridnya. Sebab itu, kalau boleh
kita coba pertimbangkan lagi, kalau pendidikan ya
pendidikan.

Meski ada unsur dagang misal beli ­bangkunya,


gedungnya segala macam. Tapi dia ­tidak boleh jadi
supremasi, supremasi ­pendidikan adalah mendidik
anak menemukan posisinya ­supaya dia bermanfaat
bagi banyak orang.

81
#37

Kalau anda ke Mesir, ke Kairo, anda


bisa ­ngelihat Firaun yang ngejar-ngejar Musa
ini. ­Mumminya masih utuh, rambutnya botak,
­kepalanya botak di bagian atas, rambutnya agak
jarang-jarang, agak putih-putih kecoklatan dan
badannya panjang seperti kebanyakan orang kulit
putih.

Anda tahu Firaun itu tiga macam, ­sekian


ribu tahun. Ada Firaun yang berkulit hitam, ada
­Firaun yang berkulit coklat, ada Firaun yang
berkulit ­putih. Dan Firaun bapak angkatnya
Musa ini ­berkulit putih. Ini oleh Tuhan memang
­diselamatkan, Firaun ini.

Jadi setelah Musa sama pasukannya ­lewat


belahan laut itu selamat sampai ke sebrang. ­Firaun
ini sebagaimana seringnya kita ini, dia ­terjebak
oleh kesombongan. Firaun berpikir, “Musa bisa
nyebrang laut, masa saya ndak bisa? Pasukan saya
lebih besar, saya raja yang besar, masa saya ndak
bisa.”

Akhirnya masuk betul ke laut, begitu ­masuk


ke laut, air pun menutup kembali. Dan semua
­pasukan Firaun tenggelam. Tapi Tuhan sudah
­berjanji, “Ini badan Firaun akan Aku selamatkan,
supaya menjadi monumen peringatan bagi semua

82
orang, jangan pernah memakai kebesaranKu di
atas kepalanya, kesombongan itu milikKu.” kata
Allah.

“Dan jangan ada satu makhluk pun yang


­pernah memakai kesombongan, jubahKu itu di
atas ­kepalanya dan badannya. Kalau dia memakai
jubahKu itu di kepalanya, berarti dia menantang
perang kepadaKu.”

Jadi jangan pernah sombong, jangan


­pernah. Sebab itu milik Tuhan. Tuhan itu ­berhak
sekali untuk sombong, karena Dia yang bikin
­segala-galanya, Dia yang mampu segala-galanya.

Jadi Firaun memang diselamatkan Tuhan,


anda bisa lihat di Mesir, dan saya kira cita-cita
­hidup kita sederhana, baik dalam skala negara,
skala kecil di keluarga atau di pergaulan, kalau
bisa ya nggak usah berpikir seperti Firaun itu tadi.

Daripada nanti tenggelam oleh air laut


­kehidupan yang tak pernah kita sangka-sangka.

83
#38

Sejumlah ustadz atau ulama itu memberi


pemaknaan puasa sebagai salah satu cara ­untuk
mengingatkan manusia agar tidak ­melakukan
­penumpukan atas harta, kekuasaan dan lain
­sebagainya. Dan itu sangat positif.

Kalau kita cari rumus dasarnya puasa itu


­kalau digambarkan atau dilambangkan kan ­seperti
air arak. Shalat itu dilambangkan air hujan. ­Puasa
itu air arak, ada per-ragian rohani, jiwa jadi
­lembut, hati jadi lembut dan lain sebagainya.

Jadi kita hanya mensisakan diri pada


­faktor yang penuh cinta saja pada Allah dan alam
­semesta.

Kalau zakat itu air susu, dimana tidak ada


kambing yang menyusu susunya sendiri, ­kambing
itu selalu menyediakan puting susunya untuk
­diperah oleh faktor-faktor lain, misal anaknya
atau pemilik kambing.

Jadi kalau kita berpuasa, kita sedang


­melatih diri untuk menemukan kenikmatan ­untuk
tidak kaya. Sebab orang sangat tidak percaya
pada ketidakpunyaan, kemiskinan, tidak makan.
­Padahal tidak makan pada momen tertentu lebih
sehat dari makan.

84
Puasa ini benar-benar jadi pelajaran, ­bukan
cuma untuk individu, tapi juga untuk ­mengambil
keputusan di dalam urusan pasar ­modal,
­pembangunan dan lain sebagainya.

85
#39

Sejak kecil, kita di desa, kota, ­pinggiran


atau dimana saja, ada tradisi yang sama, ­kalau
menjelang hari raya, kita sangat ingin beli
­baju-baju baru untuk anak-anak, mungkin kita
sendiri juga masih suka beli baju baru.

Dan ini ­jangan disalahkan, sebab itu juga


alat untuk mengingatkan kalau manusia itu tiap
hari harus memperbarui ‘baju’nya.

Baju itu kalau di Al-Qur’an, lambang


­martabat hidup, jadi misalnya suamimu adalah
baju bagimu, ya suami itu baju bagi istri dan
­sebaliknya, sebab tidak berpakaian itu dia akan
kehilangan martabat. Artinya suami menciptakan
martabat bagi istri dan sebaliknya.

Sehingga kalau kita berpuasa dan menjelang


hari raya, beli baju baru, sebenarnya kita sedang
mencari martabat baru, membangun derajat
baru. Bedanya martabat dan derajat adalah kalau
­derajat bersifat vertikal kalau martabat bersifat
horizontal.

Martabat itu artinya jalan anda kepada


­Allah itu sedemikian rupa meningkatnya, jadi anda
­memiliki derajat kata Allah.

86
Tapi kalau martabat itu dari kata ­tertib,
­konsistensi tindakan anda lingkungan, ­negara,
­hukum, kebudayaan, moral dan seterusnya
­membikin anda punya martabat.

Nah kita punya baju derajat dan martabat,


jadi setiap kali kita mau beli baju, kita berdoa
pada Allah, kalau semua yang kita belikan baju itu
mendapat derajat dan martabat yang baru.

87
#40

Makna puasa secara umum, artinya belum


makna keagamaannya, makna puasa umum itu kita
bersedia tidak menikmati apa yang ­sebenarnya
berhak kita nikmati.

Anda boleh makan, siap tidak makan, anda


berhak minum, tapi anda rela tidak minum. Anda
punya hak untuk di posisi jabatan tertentu, tapi
anda memilih tidak. Anda berhak marah sebab
anda berada di kebenaran, tapi anda rela tidak
marah.

Semua itu hakikat puasa. Jadi anda


­mengalah, anda tidak melakukan sesuatu yang
­sebenarnya tidak dosa kalau dilakukan. Anda siap,
ikhlas dan tidak masalah untuk tidak ­mengerjakan,
mengambil, menumpuk atau apapun yang
­sebenarnya hukum apapun, nilai dan moralitas
apapun membolehkan kita menikmati itu semua.

Jadi puasa itu mengandung kemuliaan


yang luar biasa, sebab kita bersedia untuk tidak
­menikmati hak-hak anda, pada momen tertentu,
konteks tertentu, dan situasi tertentu. Itulah
­makna umum puasa.

88
#41

Sebagian besar kita pernah mengucapkan


dan mendengarkan kalau kita menjalani puasa
­Ramadhan, semua dosa kita sebelumnya akan
diampuni Allah. Pengampunan Allah pada kita di
masa yang lalu, dosa-dosa kita sebelum berpuasa
itu berbanding lurus dengan apa yang Allah sebut
sebagai kondisi atau syarat.

Jadi pertama, puasa itu kita lakukan


­dengan landasan iman. Iman ini kita pahami ­secara
­intelektual, spiritual, hati, perasaan, apapun itu.
Kemudian kita pahami dengan logika melihat
­kembali lajur hidup kita sebelumnya, ­jenis-jenis
dosa kita apa saja, kesalahan hidup kita apa saja.

Kesalahan yang sifatnya keliru atau khilaf


atau dosa, atau dosa besar. Terus kebaikan hidup
kita apa saja. Kalau kita menilai diri kita, selama
kita berpuasa itu kan membuat suatu keputusan,
untuk menjalani sesuatu yang baru berdasarkan
penilaian kita itu tadi.

Nah kalau hitungan hidup ini benar-benar


kita lakukan, selama puasa, jadi selesai berpuasa
kita menjalani yang berbeda sama sekali dengan
sebelumnya, itu namanya taubat nasuha. Jadi
­kalau orang bertaubat nasuha, ya sudah pasti dia
diampuni dosa-dosanya oleh Allah.

89
#42

Kalau kembali ke prinsip syahadat, apa


yang namanya kita mengakui Allah?

Apa Allah ­butuh kita akui?

Allah nggak butuh diakui kita-kita ini, Dia


tidak rugi apapun seandainya kita semua kafir dan
­ingkar padaNya. Begitu juga, Allah tidak untung
apapun kalau kita mengakuiNya.

Jadi urusan syahadat itu adalah urusan kita


yang butuh. Sebab itu landasan hidup kita. Kita
meletakkan Allah sebagai pancer atau patokan
utama segala hal dalam hidup.

Tapi seringnya kita menggantiNya dengan


macam-macam, misal uang, ketakutan tidak kaya,
ketakutan tidak dapat panggung, ketakutan ­tidak
jadi pejabat, sampai kita lakukan segala cara
­untuk dapat apapun itu tadi.

Jadi itu bisa kita sebut mensekutukan


­Tuhan, sebab kita menggantiNya dengan hal-hal
lain. Mensekutukan Tuhan itu bukan cuma ­perkara
beda-beda keyakinan saja, tapi apapun yang
menggantikan posisiNya, itu mensekutukan Tuhan.

90
Tuhan tetap kita sebut, kita tetap shalat tiap
harinya, tapi Tuhan dibutuhkan untuk ­mencapai
uang, kuasa, dan segala macam itu. Kalau kita
ngomong zaman jahiliyah, sekarang ini jahiliyah.
Sebab jahiliyahnya kita sekarang ini sudah masuk
ke formula kemunafikan.

Artinya kita ini macak tidak jahiliyah,


­padahal aslinya jahiliyah. Bisa jadi kita cuma
­macak muslim, padahal sehari-hari cara ­berpikir
kita ­tidak menomorsatukan Allah.

Kita tidak ­benar-benar percaya kalau Allah


itu sayang sama kita. Dengan kata lain, indahnya
kalau kita tiap hari merasakan kembali apa saja
yang kita ­ucapkan. Misal bacaan basmalah, kita
hayati ­betul bacaan itu. Tidak hanya sekedar jadi
ucapan ­belaka.

91
#43

Kita ini kalau bisa pencarian itu ­sederhana,


yang kita tuju itu, Tuhan itu jangan dijadikan
­‘barang’ mewah untuk anda. Selama ini kita ­anggap
Tuhan itu barang mewah, selalu ­dibayangkan ­kalau
Tuhan itu jauhhh di sana.

Makanya kalau kita menyebutkan, Yang


Di Atas. Yang di atas itu siapa? Yang di atas ya
­mangga sama kelapa. Selalu ngomong yang di atas.
­Padahal Tuhan mengatakan, “Aku lebih dekat dari
urat ­lehermu sendiri.”

Jadi Tuhan itu bukan barang mewah. Dia itu


milikmu sehari-hari dan Dia tidak pernah ­berhenti
berinteraksi dengan kita. Masalahnya itu, kita
ini yang kurang kreatif mengembangkan atau
­menemukan keselarasan kita dengan Allah.

Kita ibarat HP itu terkunci. Nah bagaimana


menemukan kata sandi atau password supaya bisa
membuka itu HP nya.

Password ini bisa berupa kerja keras,


­melukis tiap hari dengan khusyuk, bisa bertani
dengan setia. Bisa dengan menderita terus ndak
selesai-selesai, silahkan yang mau milih ini. Nanti
kita akan ketemu kata sandinya apa.

92
Jadi kita untuk dekat dengan Allah itu ­tidak
harus pakai wiridan, atau wiridan itu ­ ­bentuknya
bisa macam-macam.

Misal anda ­jualan mie ayam tiap hari ­dengan


khusyuk, ngamen ­sungguh-sungguh, ­melayani
orang yang akan anda perdengarkan lagu itu, itu
juga wirid. Itu juga cara untuk membuka kata
­sandi.

Setelah bisa dibuka kata sandinya, anda


bisa selaras dengan Tuhan. Ada pertanyaan, senang
mana kalau kaya ditakdirkan Allah atau diizinkan
Allah?

Bedanya ditakdirkan sama diizinkan itu,


misal gini, kematian seseorang, bisa kematian yang
diizinkan Tuhan, bisa kematian yang ­ditakdirkan
Tuhan.

Kalau kematian yang ditakdirkan itu


­memang seratus persen Tuhan yang bikin. Tapi
­kalau misal ketabrak kendaraan, itu bukan seratus
persen Tuhan bikin, cuma Tuhan mengizinkan itu
terjadi.

Nah, ketabrak itu juga bisa terjadi di kasus


lain yang lebih sederhana. Ada orang mati ­karena
unsur kimia obat-obatan yang dimasukkan ke
­infus itu tidak sesuai satu sama lain, akhirnya dia
­terbunuh, meskipun tidak bisa dibuktikan. Tidak
bisa jadi kasus atau disebut malpraktek.

93
Jadi ada kematian yang ditakdirkan ­Allah,
ada juga kematian yang dibikin oleh sesama
­manusia, tapi diizinkan Allah. Dan itu bukan cuma
kematian saja, bisa apa saja dalam hidup ini.

Jadi, anda mau jadi kaya yang diizinkan


­Allah, atau kaya yang ditakdirkan Allah, enak
mana?

Kalau ditakdirkan Tuhan, anda ndak punya


masalah, kan Tuhan yang bikin kok. Tapi kalau
anda tujuannya cari duit dan dapat duit bener,
sukses bener, Tuhan cuma, “Iya ndak apa-apa,
­silahkan. Tapi kamu bukan kekasihKu. Itu hanya
izinKu b
­ ukan tadirKu.”

Nah, milih mana? Ditakdirkan atau ­diizinkan?

Ditakdirkan.

Nah caranya, anda harus ­selaras dengan


­Allah. Jangan asing sama Allah dan juga tidak usah
sinis sama Allah. Kita itu punya kecenderungan
­sinis sama orang yang alim. Jadi ini kesombongan
orang tidak alim?

Ya biar saja. Allah itu tidak melihat pecimu,


tidak ­lihat pakaianmu, rupamu. Tapi yang Allah
­lihat adalah kesucian dan kesungguhan hatimu.
Jadi ­keselarasan kita dengan Allah itu akan yang
akan menentukannya.

94
#44

Menurut saya, jangan cemas soal ­materi.


Apa itu untuk menumpuk-numpuknya atau
­kehilangan, dua-duanya tidak boleh cemas. Itu
pun kalau anda terpesona dengan harta benda,
tapi saya mohon anda tidak usah terpesona pada
harta benda. ­Sebab kita itu cuma hidup sebentar
untuk hidup yang selamanya.

Tidak perlu cemas soal dunia, asal anda,

“Maka hendakilah mereka menyembah


­Tuhan ­Pemilik rumah ini (Ka’bah).”

Yang penting kita terus berjuang, cuma


­nasib kita di dunia itu bukan kaya atau miskin.
­Nasib kita di dunia adalah ketepatan kerjaan kita,
ketepatan posisi kita, ketepatan perjuangan kita.
Intinya ketepatan menempatkan diri.

Jadi kalau kita ini nasibnya oleh Allah


­dijadikan rumput, ya jangan berjuang jadi pohon
kelapa. Nasib itu ketentuan Allah yang sifatnya
menyeluruh, total dan tertulis di Lauhulmahfuz.

Kita bakatnya ini, kecenderungannya ini,


jadi ­jangan melakukan yang bukan kita.

95
Kalau perkara takdir itu keputusan menurut
kasus tertentu atas keseluruhan nasib itu. Misal
mau kencan di Malioboro, tapi telat satu menit,
terus ndak jadi ketemu. Itu takdir. Intinya ­temukan
diri anda masing-masing. Dan percaya pada Allah.

Walau saya tertarik seperti apapun, kalau


itu bukan nasib saya di Lauhulmahfuz, tidak saya
lakukan. Meski saya dapat emas satu ton, kalau
bukan nasib saya di Lauhulmahfuz, tidak akan saya
sentuh.

Lho? Gimana caranya tau?

Ya diperhatikan setiap hari, dirasakan ­setiap


hari. Sebenarnya sekolah itu untuk ­membimbing
orang biar tahu nasibnya, kok malah sekarang
sekolah bikin nasib sendiri. Jadi benar-benar cari
sesungguhnya dirimu sendiri, kenali dirimu. Sebab
itu yang terbaik bagi Allah.

Tidak ada rumput cemburu pada padi, ­tidak


ada padi cemburu pada kelapa. Tidak ada ­binatang
cemburu pada manusia. Sebab semuanya punya
posisi pentingnya masing-masing.

Dalam hidup ini kita itu kebanyakan


­menuhankan selain Allah, itu dituhankan, ini
­dituhankan. Semuanya kita tertarik, ingin ini ingin
itu. Tidak ada puasa hidup kita ini. Padahal hidup
itu ya cuma puasa, sekarang yang tidak puasa itu
apa?

96
Jadi hidup itu berpuasa. Berpuasa itu bukan
hanya tidak makan dari subuh sampai maghrib.
Puasa itu adalah anda mengerti batas anda, anda
mengerti diri anda, anda mengerti sifat anda,
karakter anda dan seterusnya.

97
#45

Kebenaran diolah jadi kebaikan hasilnya


itu keindahan. Sekarang kita lihat, perdebatan
semuanya di media sosial, internet, itu semua kan
tentang kebenaran. Tidak ada tentang kebaikan,
tidak ada ­tentang keindahan, hasilnya indah apa
­berantakan?

Sebab orang sekarang ini merasa paling


benar. Anda kalau masak sayur lodeh, lodeh itu
harus apa saja unsur utama bumbunya?

Kencur, daun jeruk, garam, cabai, ­santan


misalnya. Saya tanya, ketika anda ke warung
yang jualan lodeh, disebut tidak tadi bumbunya
­satu-satu?

Maka kebenaran letaknya tidak di warung,


tapi di dapur. Jadi barang-barang yang ada di
dapur ini jangan dibawa-bawa atau diomongkan di
warung. Kalau anda benar itu bekal anda, bukan
ekspresi anda. Ekspresi anda itu kebaikan.

Jadi orang sekarang bertengkar tentang


kebenaran, semuanya mempertentangkan dapur.
Jangan dapurmu dibawa-bawa, yang penting kalau
anda sudah berkomunikasi sosial, kalau sudah di
warung itu tadi, anda membuat apa yang baik bagi
pembeli.

98
Jadi mau anda benarnya seperti apa,
­jangan dibangga-banggakan, itu dapurmu itu
tadi. ­Kebenaran itu bekal anda untuk bikin
­kebaikan-kebaikan pada orang lain.

99
#46

Dalam hidup ini kita punya ruang untuk


­bercinta secara pribadi dengan istri, suami, anak
dan seluruh keluarga, kawan-kawan, organisasi,
dan sebagainya. Semua kejadian dalam hidup
adalah ruang-ruang percintaan, sampai cinta
­sebangsa dan sebagainya.

Nah, puasa itu peluang yang luar ­biasa


­dimana seorang individu punya peluang ­untuk
­bercinta dengan Allah. Anda tinggal ­mencari
­cara-cara pandang untuk menemukan dan
­menghayati betapa dahsyat dan beruntungnya kita
bisa dapat peluang bercinta secara pribadi dengan
Allah.

Kenapa bercinta secara pribadi?

Allah mengatakan, “Puasa itu milikKu dan


Aku yang akan menyediakan balasan-balasan
­untuk orang yang bercinta denganKu.”

Sebab memang tidak mungkin kalau ­puasa


itu tidak privasi, karena tidak seorang pun tahu
kita berpuasa atau tidak. Kita bisa curi-curi
­minum atau makan di mana-mana. Kita juga tidak
bisa mengawasi bapak kita, istri kita, anak kita,
­saudara kita, siapapun.

100
Kita juga bisa berbuka puasa bersama
­dengan orang-orang yang kita tidak bisa cek ­mereka
­berpuasa atau tidak. Sebab itulah ini benar-benar
sebuah ruang dimana kita ­berhadapan langsung
­secara pribadi dengan Allah. Dan tinggal kita
­punya ilmu tidak untuk memanfaatkan itu semua.

Misal kalau anda bercinta suami-istri, ada


50 : 50. Tapi kalau dengan Allah kan tidak mungkin
50 : 50. Pasti kita hanya akan ngasih paling ­banyak
sepuluh persen. Tapi Allah yang lebih memiliki
kekayaan dan keluasan ruang untuk memberi kita
sembilan puluh persen.

Jadi siapa yang tidak memanfaatkan


­peluang percintaan pribadi dengan Allah ini, dia
harus mengulang cara berpikir hidupnya.

101
#47

Tanda-tanda atau ciri-ciri anak kecil,


­mungkin bahkan remaja, apalagi bayi, itu ­mereka
tidak punya kontrol pada keinginan mereka.
­Mereka itu kalau mau kencing ya kencing, buang
air besar ya buang air besar, terutama anak-anak
dan bayi.

Belum ada pada mereka suatu nilai cara


berpikir dan menata dimana dan kapan harus
kencing atau buang air besar.

Anak kecil itu menuruti apa saja yang dia


inginkan, jadi alamiah sekali, oleh sebab itu dia
dilindungi orang-orang dewasa, karena dia masih
memiliki hak untuk seperti itu.

Tapi begitu mulai dewasa, berada pada


­tahap sesudah remaja, maka kita mulai harus
­sudah memakai prinsip puasa.

Kita tidak otomatis dan alamiah menuruti


keinginan kita, kita mengenal perhitungan, ­sopan
santun, nilai hubungan sosial, kita mengenal
tata nilai yang bermacam-macam di sekitar kita.
­Sehingga banyak hal yang harus kita ­pertimbangkan
kembali untuk kita lakukan.

102
Itulah tanda-tanda orang dewasa, jadi
­kedewasaan itu berbanding lurus dengan
­kemampuan berpuasa.

Makin orang matang ilmu dan ­prinsip


­puasanya, makin dia dewasa. Makin ia
­melampiaskan keinginannya, maka ia makin
­anak-anak, makin bayi.

103
#48

Manusia itu menjadi atau mencapai sesuatu


yang kategorinya ini, kaya, kuasa, pandai, kuat
dan baik. Dulu Islam datang ke Indonesia itu tidak
begitu laku dari abad delapan sampai dua belas,
sebab yang membawa kaum pedagang.

Sebab masyarakat kita waktu itu sudah


mencapai tingkat peradaban yang tinggi, dimana
kekayaan materi itu kategori yang paling rendah.

Di atas itu baru kekuasaan yang paling


­rendah kedua, lalu kekuatan, kepandaian, dan
paling tinggi adalah kebaikan. Nah kebaikan ini
bisa kita perluas ke kemuliaan, kebijaksanaan,
kearifan dan seterusnya. Selanjutnya, Islam pun
di bawa oleh ­orang-orang mulia, orang yang tidak
bertujuan pada materi dunia.

Jadi orang baik itu dipilih oleh masyarakat


Nusantara di abad ke 13-14 dibanding beberapa
kategori tadi. Sekarang yang nomor satu itu orang
kaya dan semua orang ingin jadi orang kaya. Dan
untuk jadi kaya itu dia mau melakukan apa saja.

Misal orang berkuasa supaya kaya, orang


pandai supaya kaya, orang milih fakultas supaya
kaya, orang kuat supaya kaya, bahkan sekarang
orang baik tujuannya supaya kaya.

104
Kita ini mengalami pembalikkan moral. Jadi
kebaikan itu kita letakkan di paling bawah.

Jadi yang kita utamakan itu bukan kebaikan


atau kemuliaan yang langsung jurusannya ke ­Allah,
tapi malah kekuasaan jurusannya dunia. Lho kita
ini bagaimana?

Kita ini jurusannya ke dunia, kok ingin


­damai?

Ya pasti keroyokan.

Kita ini jurusannya penumpukan kekayaan,


kok urusannya mau adil?

Yang kita laksanakan sekarang ini


­kemakmuran sosial bagi sebagian rakyat. Jadi kita
ini cita-citanya tidak cocok dengan apa yang kita
lakukan setiap hari.

Kita ini kerjanya keroyokan, menumpuk


harta tapi cita-citanya persatuan, kemuliaan,
­masyarakat madani, segala macam. Itu semua
berbanding terbalik dengan yang kita lakukan.

105
#49

Kalau bicara tentang manajemen qalbu,


yang pertama harus kita perjelas adalah qalbu nya
ini yang menata apa yang ditata?

Kalau dalam tafsir yang saya coba cari, akal


atau cara berpikir itu adalah helmnya hati. Hati
ini harus dilindungi sebab ndak punya batas. Coba
katakan sama hati, mau ndak uang satu milyar?

Mau.

Berapapun hati itu mau. Tapi kalau anda


pakai akal, akal yang mengerti berapa yang anda
butuhkan. Hati ini begitu suci dan tidak ­terbatas
maka dia punya kesempatan untuk bertemu
­dengan Allah, tapi dalam batas waktu dimana
­akhirat ­belum datang, dia butuh dilindungi oleh
akal.

Supaya hati tidak terburu-buru ketemunya


Allah, maka itu yang disebut manajemen kalbu,
yang menata itu adalah akal pikiran. Maka jangan
hanya ngurusi hati, sebab nomor satu cara dan
metode mengurusi hati itu dengan mencaru ilmu
sebanyak-banyaknya melalui akal pikiran, baru
hati kita bisa tertata.

106
#50

Puasa itu kalau kita cari batasnya, sangat


banyak. Tergantung dari mana anda mencarinya.
Puasa adalah anda berhak melakukan sesuatu tapi
anda tidak melakukannya pada batas tertentu,
anda berhak makan tapi bersepakat sama Allah
untuk tidak makan dari pagi sampai sore.

Atau puasa itu untuk memahami segmen,


ini bisa dilakukan di perusahaan. Misal segmen
­perusahaan ini X saja. Jadi puasa itu pekerjaan
­sehari-hari di segala macam hal. ­Bersuami-istri
­harus berpuasa, setiap ­laki-laki maunya
­menyetubuhi semua wanita, tapi dia berpuasa,
dia fokus hanya pada istrinya.

Apa saja puasa.

Kalau tidak pakai metode puasa dia ‘bunuh


diri’. Kalau dalam sepak bola, anda melanggar
puasa berarti offside, kartu kuning, kartu merah.
Jadi sebenarnya puasa itu adalah pekerjaan yang
sama sekali tidak khusus, pekerjaan sehari-hari.
Dan puasa adalah hakikat hidup utama manusia.

Barang siapa paham puasa, dia akan jaya dan


selamat. Tapi barang siapa yang menolak ­puasa,
dia akan semakin cepat bertemu ­kehancurannya.

107
#51

Hal yang agak mudah ditentukan sesat atau


baiknya ada di wilayah Muamalah, wilayah inisiatif
manusia untuk mendekat ke Allah dengan berbagai
macam cara.

Ada yang lewat kesenian, kerja keras,


­wiridan dan segala macam. Justru yang sukar
­ditentukan mana sesatnya mana baiknya itu ­ibadah
Mahdhah.

Kenapa?

Sebab kalau mau ekstrim aja deh,


­bagaimana anda percaya sama saya kalau saya
seorang m
­ uslim?

Apa karena anda lihat saya Jumatan? Apa


karena anda lihat saya puasa Ramadhan?

Apa karena anda lihat saya shalat? Atau


karena saya baik?

Bagaimana anda tahu kalau saya benar-


benar muslim?

Bagaimana kalau misalnya kelakuan baik


saya itu dibaliknya ada pamrih untuk mengakali
anda?

108
Jadi anda tidak bisa tuduh saya ­muslim.
­Kalau anda menjumpai saya shalat dan ­kelihatannya
sujudnya lama, bahkan wiridannya sangat lama,
apa anda bisa mendengar bunyi wiridan saya?

Apa anda bisa tahu sebenarnya niat saya


pada Allah?

Apa saya shalat benar-benar untuk Allah


apa untuk pencitraan saya?

Jadi di dalam ibadah Mahdhah itu sangat


sulit ditentukan kita itu sesat atau tidak. Tidak
bisa kita bilang kalau orang yang Jumatan pasti
tidak sesat. Apalagi kalau sekedar status sosial,
­tidak bisa disebut seorang ulama, ustadz atau kiai
itu pasti tidak sesat.

Sifat sesat dan tidak sesatnya sangat ­lembut


dan sangat tersembunyi. Jadi dibalik gebyar Islam
dimana-mana, entah suara adzan, khutbah, atau
orang shalat ramai-ramai, sebenarnya potensial
untuk ada kesesatan-kesesatan yang tersembunyi.

Sebab kesesatannya mungkin ada di niat


yang tidak tepat pada Allah. Berdoa saja ada
akhlaknya. Jadi kalau anda dituduh kafir itu ­lebih
baik daripada dituduh muslim. Sebab kalau ­dituduh
kafir itu tanggung jawabnya ada di yang menuduh.
Dia sudah jelas menuduh negatif, ­padahal bisa
jadi kita tidak negatif.

109
Tapi kalau anda dituduh muslim, ­tuduhannya
positif sementara saya sebenarnya negatif. Jadi
saya kira kita harus kembali ke cara berpikir kalau
kemusliman, kekafiran, kemusyrikan, itu bukan
sesuatu yang statis. Dia itu dinamis.

Orang yang sudah benar-benar berperilaku


Islami, bisa terpeleset pada suatu hari untuk
melakukan sesuatu yang tidak di garis Islam. ­Sebab
niat jahat itu bisa karena kebodohan, wacana yang
salah, ketaatannya tidak pada Allah.

Dia tidak punya hubungan dekat ­dengan


­Allah dan Rasulullah. Dia hanya punya ­hubungan
KW 2, KW 3, KW 4. Dia hanya taat pada ustadznya,
­kiainya, ulamanya. Dan ulamanya tidak bisa ­dijamin
seratus persen bisa dianut, sebab keulamaan
­seseorang, disamping produk-produk sosialnya,
juga terletak pada niat dalam hatinya, yang itu
rahasia dan tersembunyi.

Sebab itulah, tidak bisa dijamin kalau saya


bisa baca Al-Qur’an, bisa melakukan orang Qiro’ah
atau Tartil, lalu anda mengatakan saya orang
­muslim. Sebab yang benar-benar tahu saya muslim
apa bukan, kafir apa bukan adalah Allah.

Jadi mari kita sama-sama memohon pada


­Allah agar dibimbing oleh Allah supaya ­ditingkatkan
kebenarannya dan kebaikannya. Lalu yang masih
sesat bisa diberikan petunjuk oleh Allah.

110
#52

Kalau kawan-kawan mencoba melihat


diri sendiri, anda sebagai pribadi, masyarakat,
­keluarga, golongan, kelompok, klub, bangsa, umat
manusia atau sebagai apapun. Selama ini kita
­sangat sibuk memperdebatkan nilai ini benar atau
salah. Kita sibuk debat hal yang sebenarnya kita
nggak ngerti-ngerti banget tentang hal itu.

Dan kita lupa kalau nomor satu yang kita


persoalkan adalah subyeknya. Siapa ini pelakunya
semua ini?

Hampir kita tidak pernah berpikir tentang


subyek. Jadi kalau sekarang anda masuk media
­sosial, itu subyeknya yang utama siapa? Anda
­sedang menjadi ikan di dalam kolam atau ikan di
dalam jala?

Anda tidak mengerti, tidak mempelajari


dirimu dimana, anda itu subyek, obyek, predikat,
apa anda itu pemain utama atau hanya korban
saja dari suatu arus yang anda tidak paham?

Jadi kalau kita ngomong, kita sekarang


­tidak bersatu. Ini kitanya yang tidak mau bersatu,
apa ada kekuatan-kekuatan di luar diri kita yang
membuat kita tidak bersatu?

111
Untuk itu, anda tidak bisa ngomong agama.
Sebab agama itu cara untuk menangani semua hal
itu. Jadi kalau ada yang bilang, rekayasa politik,
cuci otak internasional lewat media, pendidikan
dan seterusnya. Itu siapa pelakunya?

Nah, saya mengajak untuk mulai dari diri


kita sendiri. Saya ini berposisi apa dalam arus
­sejarah ini? Anda ini subyek atau obyek?

Urusannya nanti kan kita sendiri ini


mau ­ditaruh di keadaan kayak apa saja kan,
­pertanyaannya, anda survive atau tidak? Anda
­jujur atau tidak? Anda obyektif atau tidak?

Dari sini maka hubungan kita dengan Allah,


dengan negara, institusi, atau sistem apapun itu
jadi sangat jelas. Kita bukan alat dari ideologi,
­pemikiran, apalagi alat dari parpol, kekuasaan
politik, kecengengan-kecengengan pemikiran,
arus budaya, mode, tren, atau apapun saja. Tidak.

Kita berdaulat atas diri kita sendiri. Maka


yang terutama ketentuan tentang dirimu, apa
yang anda sembah, apa yang anda ingkar, apa yang
anda lawan.

112
#53

Kita ingin menyelesaikan masalah di ­negara


ini, tapi kita sendiri masih bermasalah. Dan
­masalah utama kita ini sama Allah. Jadi kayaknya
kita perbaiki dulu dari awal, belajar dari awal.
Kita perbaiki dulu iman kita, rukun Islam kita dan
seterusnya.

Kita itu tidak bisa melarikan diri dari ­Allah.


Kita harus tuntas menyelesaikan masalah ­dengan
Allah sesuai dengan prosedur dariNya. Jadi
katakanlah kita lulus, kita ketemu Allah. Misal
gini, kekuasaan itu bisa diandalkan tidak ketika
bertemu dengan Allah?

Kekuasaan itu menurut anda bisa ­membantu


anda ketika di depan Allah ndak?

Padahal Allah itu Al-Malik, Maha Raja


­Segalanya, jadi kita tidak bisa mengandalkan
kekuasaan dunia untuk berhadapan dengan Allah.

Terus, kekayaan bisa diandalkan di depan


Allah tidak?

Kalau hanya berupa kekayaan, harta ­benda,


emas, permata, dan seterusnya. Itu ndak laku,
­sebab Allah itu Maha Kaya. Kekayaan juga bukan
nilai plus di hadapan Allah.

113
Begitu juga dengan kekuatan dan
­kepandaian. Jadi singkat kata, kekuasaan,
­kekayaan, kekuatan dan kepandaian itu tidak
­berguna di hadapan Allah.

Kita tidak bisa menghadap Allah dengan


­hal-hal itu yang kita kumpulkan mati-matian di
dunia ini, maka kita harus siap dengan sesuatu
yang lain dari itu semua di hadapan Allah.

114
#54

Dari berbagai macam yang manusia kejar,


kekuasaan, kekayaan, kekuatan, keilmuwan dan
sebagainya. Kita ambil yang seolah-olah indah dan
mulia, yaitu ilmu. Sepandai-pandai kita ndak ada
apa-apanya di depan Allah.

Allah mengatakan, “Sesungguhnya kalau


manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang
serupa dengan Al-Qur’an ini, niscaya mereka ­tidak
bisa membuat yang serupa dengan Al-Qur’an,
­sekalipun mereka bekerja sama satu sama lain.”

“Tidaklah Aku memberikan ilmu kepada


manusia, kecuali sangat sedikit.”

“Katakanlah wahai Muhammad, seandainya


­lautan jadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat
Tuhan, maka pasti habislah lautan itu, sebelum
­selesai kalimat-kalimat Tuhan itu, meskipun kamu
­tambahkan air laut terus menerus.”

Artinya itu gambaran tentang betapa tidak


berartinya ilmu manusia di hadapan Allah. Allah
sendiri dengan pengetahuanNya yang tak ­terbatas
sering kali datang pada kita dengan kebijaksanaan,
bahkan kerendah hatianNya. Sebab itu, saya tidak
berani menyatakan kalau saya lebih tahu, lebih
berilmu, lebih pandai dari anda.

115
#55

Kita ini hidup dalam kamar-kamar, aliran


A, B, C, kelompok A, B, C, parpol A, B, C dan
­seterusnya. Sehingga kita tidak hidup serumah,
sebab kamar-kamar itu saling bertentangan satu
sama lain. Nah di tengah kamar-kamar ini Allah
berfirman, “Jangan pernah meninggikan suaramu
melebihi suara Nabi Muhammad.”

Kok agamanya malah golongan A, B, C?

Kok agamanya ormas ya?

Kok agamanya Mazhab ya?

Padahal Mazhab itu hanya salah satu


produk dari penafsiran terhadap agama, ­ayat-ayat
­Al-Qur’an dan hadits. Nah penafsiran tidak bisa
lebih tinggi dari yang ditafsirkan. Oleh sebab
itu semua yang saya tuliskan ini tidak untuk jadi
­Mazhab, aliran, pegangan bagi anda secara resmi.

Begitu masuk ke telinga anda, masuk ke


­pikiran dan hati anda, anda punya kedaulatan
penuh untuk memakai atau tidak. Dan kalau
anda memakainya, anda tidak harus mengatakan
­kalau itu berasal dari saya, sepanjang etikanya
­di­jalankan. Ibaratnya anda harus mengakui kalau
mangga itu ya dari pohon mangga.

116
Tidak boleh popularitas, kekayaan atau
­seluruh isi dunia jadi tujuan, sebab dia hanya alat.
Kita tidak boleh melakukan segala sesuatu yang
efek sosialnya, budayanya, hasil ­komunikasinya
malah menutupi Islam. Saya tidak mau jadi ­muslim
yang seolah-olah saya jadi lebih penting dari ­Islam.

Anda harus lebih bergaul dengan Islam,


­Al-Qur’an, Rasulullah dan Allah. Anda punya
­akses langsung ke itu semua dengan otentik dan
­berhadapan langsung dengan Allah dengan wajah
yang sesejati-sejatinya.

117
#56

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika


seorang fasik datang kepadamu membawa suatu
­berita, maka telitilah kebenarannya (klarifikasi
dan ­verifikasi), agar kamu tidak mencelakakan
suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan),
yang ­akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.”

Di ayat ini, maksud orang fasik itu jangan


terhenti pada manusia, dia bisa media, tv, radio,
pendidikan, pidato kenegaraan apapun saja. Allah
langsung menyuruh kita waspada, kalau-kalau ada
sesuatu yang mungkin bias dari pernyataan itu.
Kita harus waspada sejak awal.

Jadi kita harus mengecek terus ­informasi


yang ada. Dan itu hampir tidak pernah kita ­lakukan.
Kita sekarang ini hidup di era cyber, ­media ­sosial
itu bukan kelas sekolah, masjid atau gereja,
­media sosial itu pembengkakan dari dimana orang
­rasan-rasan, ngomong terserah-serah dia.

Makanya kita mesti tabayyun terus. Nah


salah satu indikator kefasikan itu tadi adalah hoax.
Siapa yang bisa jadi acuan untuk mengatakan
­informasi itu hoax atau tidak?

Apa lembaga ilmu, pemerintah, ­menkominfo


atau siapa?

118
Kalau sifatnya data mungkin bisa
­mengumpulkan berbagai macam sumber untuk
­dicari apa valid atau tidaknya. Tapi kalau berita
atau informasi itu tidak bisa dilacak, kita sulit
­untuk tabayyun. Meski bisa dilacak, ada ­beribu-ribu
setiap hari berita hoax.

Maka saran saya, anda harus ­berpedoman


pada akal sehat anda, kejernihan hati anda,
­kejujuran hati anda, kalau tidak cukup anda minta
petunjuk pada Allah. Anda harus berdaulat, sebab
kalau tidak, anda akan dimakan oleh hoax ataupun
kefasikan-kefasikan itu tadi.

119
#57

Kedaulatan itu adalah kuasa atas sesuatu


hal. Kalau kedaulatan diri berarti kuasa atas diri
sendiri, tidak murni kekuasaan diri kita, tapi
­pinjaman dari Allah untuk bisa menguasai diri kita.
Kita dilahirkan di Indonesia, siapa yang membikin
kita lahirnya di Indonesia?

Itu seratus persen takdir dari Allah. Dan


itu adalah harga diri kita, martabat hidup kita.
­Tidak hanya fisiknya, tapi juga budaya, nilai-nilai,
­filosofi suku atau bangsa.

Itu bagian dari harga diri. Nah begitu kita


masuk ke dunia modern, kita tiba-tiba tidak
­percaya pada diri kita sendiri.

Kita tidak menjadi orang yang mengenal


diri kita dan tidak bangga atas diri kita. Sejak kita
merdeka, kita sudah bukan lagi jadi diri kita. Kita
memilih satu bentuk negara yang meniru barat,
Eropa, Amerika dan seterusnya.

Contoh yang sehari-hari saja, misal kita


makan. Keperluan kita kan cuma makan itu,
­misalnya makan soto, sop buntut, tengkleng,
kita pakainya piring yang ceper di hotel-hotel,
restoran. Makin tinggi kelas sosialnya, makin ceper
piringnya. Ini maksudnya apa?

120
Kita mikirnya kalau makan gak pakai piring
ceper begitu itu ndeso alias kampungan. Padahal
itu niru siapa?

Jadi kita itu menjalani sesuatu yang


­tidak kita paham, kita cuma ikut arus. Ada arus
­globalisasi, kita ikut saja, dari model rambut,
baju, sistem negara, pendidikan, dan seterusnya.
Terus diri kita ini siapa?

Padahal kita mendekat dengan Tuhan itu


membawa diri kita, bukan tiruan-tiruan diri kita.
Jadi siapa sebenarnya kita ini?

121
#58

Kita ini diwanti-wanti Allah kalau Allah


itu sudah mendatangkan Rasulullah. Rasulullah
yang menyampaikan semua yang dikehendaki,
­dijanjikan dan direncanakan oleh Allah.

Allah kemudian melihat ada dua kutub,


yang satu rencana Allah, kedua adalah keinginan
kita. Jadi kita ada di antara itu.

Kita ada dimana ini?

Kita ini lebih nyaman dengan kekayaan dan


kemewahan dunia atau lebih nyaman dengan iman
kepada Allah?

Kita ini bergaul utamanya itu sama harta


benda, kemewahan dunia atau sama Allah?

Kita kan tidak pernah diajari bermesraan


dengan Allah. Kita juga tidak pernah diajari ­untuk
menikmati ibadah, tiap hari memang disuruh
­ibadah tapi bukan menikmatinya. Artinya ibadah
yang kita lakukan itu kan ­ketaatan prajurit pada
Panglimanya. Hanya ­ketaatan belum kenikmatan.

Maka nikmatilah kebaikan, bukan berbuat


baiklah.

122
Kalau kita tidak menemukan kenikmatan
berbuat baik, kita tidak menemukan kenikmatan
beribadah, tidak menemukan kenikmatan beriman
pada Allah. Lalu gimana hidup kita itu?

Jadi kita bersama-sama menikmati


­keindahan ibadah dan iman. Hati kita dilatih ­untuk
selalu ngomong dengan Allah.

Dimulai dari kita lihat bersama, kita


­sebagai diri, masyarakat, keluarga, umat, atau
bangsa, kita ini lebih nikmat dengan harta benda
dunia dan kemewahan dunia termasuk eksistensi,
jabatan dan seterusnya, ataukah ada yang lebih
nikmat dari itu?

Misal saya tertarik pada uang banyak, tapi


itu tidak akan mengalahkan cinta saya pada Allah.
Saya tidak ingin menilai siapa-siapa, tapi kita lah
yang menilai diri kita masing-masing.

Kita termasuk yang mana?

Yang menikmati dunia, sehingga Allah itu


pelengkap saja atau kita menikmati kehadiran
­Allah terus menerus, sehingga dunia itu ya tidak
kita ejek, tapi juga jangan disangka saya akan jatuh
cinta pada dunia banget-banget ­sebagaimana saya
cinta pada Allah.

123
#59

Sebenarnya hidup itu merubah rahmat


jadi barokah. Misal kita tidak mungkin makan
padi ­langsung, kita merubah dia jadi nasi. Nah
itu ilmu pengelolaan. Kita tiba-tiba sekarang ini
­bertentangan dengan sesuatu yang seharusnya
jadi alat kita bersama-sama.

Misalnya begini, tidak mungkin ­Indonesia


yang tanah airnya begitu kaya raya, misal
­daratannya tandus saja, dengan lautannya pun
kita bisa kaya.

Jadi kalau melihat Allah begitu ­sayang


memberi rahmat di Indonesia ini, ­sebenarnya
­tidak akan ada orang miskin.

Kalau sampai itu terjadi, sampai hari


ini ­urusan pembangunan itu mengentaskan
­kemiskinan, ini berarti ada yang tidak tepat
­dengan pengelolaan. Nah pengelolaan itu bahasa
Arabnya Khilafah. Terus sekarang kita tiba-tiba
anti Khilafah.

Padahal kalau anda berpikir Rahmatan


lil alamin, Khilafah itu bukan seperti yang
­digembor-gemborkan. Kecuali kalau anda
­berpikirnya tentang kekuasaan, jadi pejabat lagi,
nambah kekayaan lagi.

124
Maka semua berita-berita tentang ­Rahmatan
lil alamin sampai ke berita melimpahnya ­kekayaan
Indonesia itu akhirnya jadi sesuatu yang anda
­pakai untuk diri anda sendiri.

Bangsa kita itu punya rahmat yang luar


­biasa, rakyatnya istimewa, tidak hanya pandai
bahagia tapi juga jago menderita, menderita pun
tetap tertawa.

Pemerintah kita bisa enak sekali sebab


kita itu tidak banyak tuntutan, rakyat bisa cari
uang sendiri, cari selamat sendiri. Kita punya
­potensi ­untuk jadi paling bahagia dan ­pemerintah
kita ­paling mudah menciptakan kebahagiaan
­bangsanya.

Jadi ternyata, sekian kali pemerintahan


itu konsentrasinya apa? Jangan-jangan mereka
­konsentrasinya ke khayalan-khayalannya, ­padahal
kerakusan kan tidak bisa diterapkan. Bahwa saya
punya uang sekian triliyun, saya pernah jadi ini
itu. Kita padahal punya potensi yang luar biasa
­sebab Allah sudah kasih rahmat yang banyak untuk
kita. Kok kita jadi seperti sekarang ini?

Berarti harus ada yang kita hitung ­kembali,


kita rapatkan kembali. Saya mohon maaf
­mengatakan ini, tapi ini untuk anak cucu kita agar
mereka tidak mengalami yang buruk-buruk kita
alami.

125
#60

Dalam hal apapun, termasuk dalam ­wacana


Islam itu ada kalimat yang sebenarnya ­milik
­bersama. Itu tidak boleh dijadikan identitas
­kelompok, sebab itu bertentangan dengan ­hakikat
rahmat. Kalau rahmat itu tidak boleh dimakan
satu orang, harus dimakan oleh semua orang.

Jadi misalnya, Ka’bah. Kalau anda bikin


kelompok dengan lambang Ka’bah, berarti anda
membuat kelompok lain tidak Ka’bah. Itu kan jadi
perkara.

Misal kata Islam itu sendiri untuk ­semuanya,


sebab Islam itu bukan kelompok yang ­non-Kristen,
non-Buddha atau non-Hindu. Sebab Islam itu
suatu pekerjaan yang dinamis untuk saling
­menyelamatkan dalam hal apa saja.

Jadi sekarang lucu karena sudah jadi


­kelompok. Umat Islam sendiri jadi kelompok,
­ditambah lagi ada batu krikil-krikil kecil lain, dari
batu besar jadi batu kecil-kecil.

Nah Rahmatan lil alamin ini kan ­kenikmatan


kita bersama-sama. Jadi ada beberapa kata,
Ka’bah, Islam, Rahmah, Khilafah, itu milik
­semuanya.

126
Khilafah itu metode untuk Rahmat.
­Khilafah itu artinya anda harus mengelola dengan
­tanggung jawab dan cinta. Misal anda memelihara
­kambing, ya anda harus memberi makan-minum,
menyediakan kandang, dan seterusnya. Sehingga
semuanya jadi Rahmat satu sama lain.

Rahmatan lil alamin ini bisa jadi


­landasan ilmu sosial, budaya, politik, psikologi,
­pertanian, ekonomi, semuanya. Jadi kalau kita
sudah ­Rahmatan lil alamin, tidak akan terjadi
­konflik-konflik seperti sekarang. Tapi kan ­manusia
itu ndak mau Rahmatan lil alamin. Manusia itu
maunya, ya nuruti mereka sendiri.

Lawannya dari Rahmatan lil alamin ini kan


egoisme, menang sendiri, mau kaya sendiri, masuk
surga sendiri dan seterusnya. Jadi orang itu ada
kecenderungan mau harta sebanyak-banyaknya
buat dia sendiri. Kalau orang alim mau surga untuk
dia sendiri, lain-lainnya neraka.

Jadi Rahmatan lil alamin adalah saling


memberi ruang. Manusia jadi ruang bagi yang
­lainnya dan semuanya saling memberi ruang.

Sebab itu Rahmatan lil alamin tidak bisa


dijadikan identitas yang padat. Lho binatang saja
Rahmatan lil alamin kok, semua Rahmatan lil
­alamin. Sehingga menurut saya kata itu harus kita
jaga bersama. Sebab semua manusia butuh itu.

127
Nggak ada yang tidak setuju dengan
­Rahmatan lil alamin. Biar dia agamanya apapun,
suku apapun, bangsa apapun, sejarahnya macam
apapun, dia pasti setuju sama Rahmatan lil
­alamin. Makanya ndak ada yang bisa memonopoli
Rahmatan lil alamin.

Dalam segala hal, kita bersama-sama cari


cara untuk manfaatnya sebanyak mungkin dan
keburukannya sesedikit mungkin. Sebenarnya itu
indah banget, tapi kita maunya mau kita sendiri,
kaya sendiri, hebat sendiri, menang sendiri, ­masuk
surga sendiri.

Akhirnya kita jual apa saja dijadikan brand


supaya kita lebih hebat dari yang lain, contohnya
sangat banyak. Tapi saya kira sudah cukup jelas
kalau Rahmatan lil alamin itu untuk semuanya.

128
#61

Kalau rumusnya Allah itu jelas kok, “Kalau


anda bersyukur, Saya tambahi.”

Untung itu kan ditambahi, anda beli barang


seratus bisa dapat seratus, dua ratus bahkan tidak
terbatas. Nah syaratnya untung apa? Supaya dapat
tambahan dari Gusti Allah?

Bersyukur.

Jadi ada dua pengertian, yang pertama,


jangan berprasangka buruk pada apa saja yang
anda tidak suka. Misal lagi jualan kok sepi, jangan
berprasangka buruk dulu.

Mungkin sepi itu bentuk rezeki lain yang


berbeda dari rame. Orang sakit itu dapat rezeki
kesabaran dan kesadaran. Kalau orang sehat itu
diuji kelalaian dan kesombongan.

Jadi bersyukur terus. Dicari apa yang


­kira-kira bisa kita syukuri dari apapun keadaan
kita. Misal, ban bocor satu, bersyukur. Sebab
­bocornya tidak dua-duanya.

Maksud saya, anda ingin untung berapa sih


di dunia ini? Mau cari harta benda sampai berapa?

129
Kan ya gak semuanya kita inginkan.

Pokoknya nomor satu itu kita bersyukur itu


sudah untung. Sebab dari rasa syukur itulah yang
membikin kegembiraan yang murni. Ya ­kalau anda
gembira karena uang, belum tentu itu ­kegembiraan
yang benar-benar gembira.

Jadi kadang-kadang tidak laku itu ya ­rezeki,


kadang-kadang kurang itu ya rezeki, cuma ­bentuk
rezekinya bisa berbeda. Sebab rezeki itu tidak
hanya berupa materi. Apapun yang kita alami
­pokoknya dicari terus apa yang bisa kita syukuri.

130
#62

Bahagia itu tergantung kita melihat ­sesuatu


itu bagaimana. Kalau anda melihat dari satu juta,
ya sedikit banget itu seratus ribu. Tapi kalau anda
melihatnya dari sepuluh ribu, ya banyak itu ­seratus
ribu. Hidup kita itu bagaimana?

Melihat dari banyak ke sedikit atau dari


­sedikit ke banyak?

Kalau anda orang yang rakus, melihat


­seratus ribu itu dari satu juta. Anda merasa kurang
terus. Tapi kalau anda punya mental dan jiwa yang
bersyukur, anda melihat seratus ribu dari sepuluh
ribu, banyak banget. Saya secara pribadi karena
tidak jelas pekerjaan dan profesinya, dari dulu
hidupnya di standar sepuluh ribu.

Bahagia itu tidak perlu uang juga bisa.


­Sekarang ini bahagia itu harus mengandalkan
uang, fasilitas. Sebenarnya untuk bahagia, harus
anda temukan kenikmatan di bidang apa saja,
temukan Rahmat Allah, temukan pertolongan
­Allah, ­temukan kehadiran Allah.

Dan sebenarnya kenikmatan hidup,


­kebahagiaan hidup sama sekali tidak ­tergantung
pada fasilitas yang sekarang melimpah
­dimana-mana.

131
#63

Kalau masyarakat umum atau kawan-kawan


yang tidak punya tradisi dan tidak berada di dalam
agama Islam, tidak bisa disalahkan kalau mereka
menggunakan kata jihad, syariat, atau apapun
­secara mungkin keliru.

Sebab orang Islam sendiri tidak ­informatif,


kita sendiri kurang bisa membawakan Islam ­sebagai
Rahmatan lil alamin.

Jadi misalnya, kelemahan kita sebagai


orang Islam itu kan tidak mengerti skala prioritas.
Kalau saya dengan cara gampang begini, Khilafah
kok dipertentangkan dengan Pancasila atau NKRI?

Sebab NKRI itu salah satu versi pemahaman


atau penafsiran pada Khilafah. Khilafah itu tidak
ada skalanya, bisa kecil, bisa besar, bisa sangat
besar. PBB itu juga sebuah metode Khilafah ­untuk
mengatur hubungan semua bangsa-bangsa di
­dunia. Jadi kata Khilafah kalau bisa jangan dipakai
satu golongan.

Khilafah itu sebenarnya sederhana, ­Khilafah


itu sesuatu harus dikelola. Kalau mengelola ­sesuatu
itu apakah semau kita atau tanya pada yang punya
masalahnya?

132
Di dunia modern ini kan hampir tidak ada
pertanyaan kepada yang punya. Jadi kalau misal
Tuhan bikin air, Tuhan maunya apa dengan air?

Kalau Tuhan bikin anda, bikin saya, itu


­Tuhan maunya apa?

Kita kan mestinya tanya pada Dia dulu.


­Tuhan bikin tambang, kita ndak minta izin. ­Kalau
orang desa bikin selametan untuk tandur atau
panen, kita marahi, kita sebut mereka musyrik.

Padahal mereka sebenarnya sedang


­menunjukkan komitmen mereka pada asal
­usulnya padi, sawah atau desa. Jadi mereka ­lebih
­mengekspresikan rahmat daripada kita orang
­modern.

Kita ini sidang kabinet, milih presiden


itu ­tidak pernah melibatkan Tuhan. Kita sudah
­terlanjur ber-pancasila, sebenarnya kalau kita
ndak pakai pancasila malah tenang aja, sebab gak
punya Tuhan.

Yasudah ndak apa-apa mau kayak gitu. Tapi


kalau sudah ada pancasila, sudah ada ­Ketuhanan
Yang Maha Esa, ya kita pastikan Tuhan maunya
apa, berdasarkan sumbernya apa, nah Islam adalah
salah satu sumber.

Jadi tidak bisa dipertentangkan.

133
Islam menyumbang sesuatu jadi ­pancasila,
Jawa menyumbang sesuatu jadi pancasila, juga
kawan-kawan dari Hindu, Buddha, Kristen,
­Katholik, Konghucu, semua juga menyumbang
­sesuatu sehingga jadi pancasila.

Pancasila bukan agama, kan itu racikan.


Ada yang nyumbang kubis, kentang, kecambah,
­lontong, dan seterusnya. Terus kita racik jadi NKRI,
terus nama makanan racikannya itu ­pancasila.
­Bukan terus ada kentang kok anti gado-gado, masa
ada kecambah kok anti rujak cingur.

Kita ini salah konsep, salah melihat


­sesuatu. Jadi menurut saya, kita harus menimbang
­kembali semuanya secara ilmu, pengetahuan dan
­seterusnya.

134
#64

“Wahai orang-orang yang beriman ­janganlah


kamu saling mengolok-olokkan kaum yang lain.”

Itu kan kerjaan sehari-hari kita dimedia


sosial. Kita ini betul-betul sedang mengejek dan
menghina, sampai Allah dihina, Nabi Muhammad
dihina.

Wah sudah ndak karu-karuan pokoknya. Kita


ini sudah sampai ke tingkat kehinaan yang luar
­biasa, sebab pekerjaan kita adalah hina ­menghina.

Itu sehari-hari kita alami. Kadang-kadang


kita dihina, kadang-kadang kita yang menghina.
Allah menunjukkan relativitas, kata Allah begini,

“Boleh jadi yang kamu olok-olok itu lebih


baik dari kamu.”

Itu rumus kehidupan yang paling dasar


dan harus dipegang oleh manusia. Betapa hidup
ini ­harus rendah hati, hati-hati dan waspada.
­Kalau kata orang Jawa, ojo dumeh, ojo gemedhe,
­keminter.

Jadi jangan merendahkan siapa-siapa yang


kita rasa dia rendah daripada kita.

135
Sebab yang kita benci, hindari atau bully
itu bisa jadi dia baik bagi kita. Sementara pada
saat yang sama, apa yang anda junjung-junjung,
baik-baikin, dewa-dewakan, bisa jadi buruk bagi
anda. Ini rumus kehidupan, sebab kita itu tidak
tahu apa-apa.

Pada iman kita saja kita tidak punya


­parameter. Iman kita naik turun aja kita ndak
tahu. Ibadah saja malas-malasan, rajin ibadah
tapi ndak khusyuk, pas bisa khusyuk tapi ndak
bertahan lama. Kita itu kan bergelombang hidup
kita. Sebab itu, saya kira ilmu yang paling penting
untuk diserap setiap manusia adalah kerendahan
hati.

Seluruh komplikasi masalah kita ini,


bertengkar terus ini, sebab kita masing-masing
merasa bisa dari yang lain. Mudah-mudahan kita
bisa rendah hati di hadapan Allah dan Kanjeng
Nabi, serta manusia lainnya.

136
#65

Kita punya kecenderungan budaya atau


perilaku yang terbalik. Gini, ketika kita harus taat
kita malah melanggar, tapi ketika kita bebas kita
malah taat.

Jadi misalnya di wilayah-wilayah kita


bisa bebas, adzan sebagai contoh. Adzan itu kan
­sebenarnya ndak ada itu gak apa-apa, sebab itu
sunnah juga. Tapi kan nggak enak kalau nggak ada.

Adzan itu bukan upacara, tapi memberi


­informasi ke tetangga-tetangga kalau waktu shalat
sudah tiba. Jadi urusannya memberi informasi,
bukan nyanyi.

Sementara adzan kita anggap pertunjukkan


nyanyi, maka kita sibuk dengan lagu-lagu. Kita
­sibuk kalau ada lagu baru kita tiru.

Adzan saja kita tidak berdaulat, kita lupa


kalau adzan itu kan intinya ngasih tahu kalau udah
waktunya ibadah.

Jadi sebenarnya adzan itu kan yang ­penting


kalimatnya seperti Sayyidina Bilal yang sudah
dikonfirmasi Rasulullah. Itu tidak ­dilagukan ndak
apa-apa, dilagukan ya bagus.

137
Maksud saya yang berdaulat adalah anda itu
menikmati adzan dari hati anda, anda ­bebaskan
diri dari lagu yang bermacam-macam. Anda
­ciptakan sendiri, kan itu milik anda sendiri. Tapi
kita kan tidak berdaulat, banyak sekali yang kita
tidak berdaulat.

Bukannya saya mengkritik adzan, saya


­menikmatinya, sebab adzan itu ujung tombaknya
syiar Islam. Tapi alangkah lebih indah kalau kita
bisa melantunkan adzan yang lahir dari hati kita,
yang bersyukur pada Allah.

Ketika anda berdaulat, berdaulatlah. ­Jangan


kata kiai ini, kata cak Nun, kata ­siapa-siapa. Masa
anda untuk menentukan X, harus menurut itu
ini. Sepanjang anda bisa memikirkannya ­sendiri
­dengan akal sehat dan hati anda sendiri, anda
­tentukan. Salah satu pesan yang bisa kita jadikan
­renungan bersama adalah kedaulatan.

Selama ini kita membikin diri kita tidak jadi


diri kita, ­cita-cita kita seperti orang barat, orang
Jepang, orang China. Kita tidak percaya diri. Maka
jadilah dirimu sendiri.

138
#66

Rasa dengki di antara manusia,


­kelompok-kelompok, bahkan kelompok-kelompok
yang sudah dapat petunjuk dari kitab Al-Qur’an,
sudah menafsirkannya, rajin ibadah, tapi tetap
hidup di kamar-kamar kedengkian yang luar biasa
kompleksnya. Saling benci, kafir-kafiran, pokoknya
menyalah-nyalahkan.

Allah mengatakan,

“Di tengah kamar-kamar kebencian itu,


maka ­dengan kehendakNya, Allah ­memberi
­petunjuk pada mereka yang beriman tentang
­kebenaran yang mereka perselisihkan. ­Allah
­memberi ­petunjuk ­kepada siapa yang dia ­kehendaki
ke jalan lurus.”

Ini masalah yang besar bagi para ­pembelajar


sekuler, pikiran-pikiran linier. Allah menghendaki
siapa saja yang Dia maui untuk dituntun ke jalan
yang lurus. Jadi kalau ada orang tidak di jalan lurus
kan juga tidak dikehendaki Allah. Jadi ­subyeknya
tetap Allah. Terus yang salah Allah dong?

Kan Allah yang milih siapa yang diberi


­petunjuk dan siapa yang tidak. Dan ini ada banyak
sekali ayat-ayat lainnya. Kalau kita berpikir linier,
kita langsung menuduh Allah.

139
Kalau anda punya kemesraan dengan ­Allah,
anda pasti berpikir, ya kalau gitu gimana ­caranya
supaya Allah tidak menghendaki saya untuk
­disesatkan.

Ada sebabnya dong Allah memberi ­petunjuk


atau tidak. Salah satu yang bisa kita kenali dari
sebab-sebab itu adalah makin kita setia, cinta
dan dekat padaNya, maka logikanya atau akal
­sehatnya, mestinya Allah akan memberi kita
­petunjuk. Dan itu juga sudah di nyatakan dalam
ayat-ayat Al-Qur’an.

Jadi memang Allah yang ambil ­keputusan


untuk ngasih petunjuk atau disesatkan. Tapi
­keputusan Allah itu ndak asal-asalan, pasti ada
­sebabnya, yaitu kelakuan kita sendiri. Makanya
ada hadits Qudsi yang mengatakan,

“Aku berlaku berdasarkan persangkaan


para ­hamba-hambaKu padaKu.”

Persangkaan itu tidak hanya di hati dan


pikiran, tapi juga perilaku kan mengandung
­persangkaan atau kesimpulan pada kehendak
­Allah itu tadi. Jadi meski Allah yang mentakdirkan
segala sesuatu, terus ada yang bilang,

“Ya sudah kan semuanya Allah yang


­mengatur, kita hanya boneka, kita ndak bisa
­apa-apa.”

140
Padahal tidak seperti itu, sebab manusia
­diberi akal dan jarak dari Allah untuk bisa memilih
bagaimana supaya Allah memberi petunjuk atau
menyesatkan.

Jadi menurut saya pekerjaan manusia yang


utama adalah ‘merayu’ Allah, mendekat pada
­Allah. Pokoknya gimana caranya agar Allah tidak
menyesatkan kita dan memberi petunjuk pada
kita.

141
#67

Allah berfirman,

“Manusia itu satu umat. Lalu Allah ­mengutus


para Nabi dan Rasul untuk memberi kabar ­gembira
dan peringatan. Dan diturunkannya bersama
­mereka kitab yang mengandung kebenaran ­untuk
memberi keputusan di antara mereka tentang
perkara yang mereka perselisihkan.”

Jadi saya tanya sekarang, pernahkah kita


menyelesaikan konflik dengan mengacu pada
­Al-Qur’an?

Kita lebih percaya mana, pada Al-Qur’an


atau kitab-kitab barat?

Kita lebih percaya mana, firman-firman


­Allah, atau ilmu pengetahuan modern?

Jadi siapa sebenarnya Tuhan kita?

Saya tidak sedang mengecam siapa-siapa,


saya sedang mengajak anda termasuk diri saya
­untuk konsisten. Kalau memang percaya sama
­Allah, ya percaya pada kalimat-kalimatNya,
­ketentuanNya, ciptaanNya, semuanya secara
utuh. Itu yang disebut Kaffah mungkin ya.

142
Jadi kita tidak pernah menyelesaikan
­masalah dengan mengacu pada Al-Qur’an, ­sebab
­Al-Qur’an dianggap bukan wacana resmi.

Dia ­bukan konstitusi, kearifan lokal dan


seterusnya. Tuhan itu kayaknya anggota saja dari
cara berpikir orang modern, sebagian kecil saja.

Jadi Tuhan itu bukan segalanya dari alam


semesta dan keberadaan semuanya ini. Tapi Allah
jadi bagian pelengkap penderita, dipakai kalau
pas butuh. Padahal Allah mengatakan,

“...Diturunkan pada Rasul itu kitab yang


­mengandung kebenaran untuk memberi ­keputusan
di antara mereka tentang perkara yang mereka
perselisihkan.”

Alhamdulillah...

Meskipun saya bukan pembelajar modern


ataupun tradisional, saya bukan orang santri, ndak
mengerti Al-Qur’an bener, ndak menguasai ­bahasa
Arab, tapi pokoknya berniat baik untuk terus
menerus mencari bahan-bahan kebenaran untuk
menjadi sumber solusi bagi setiap masalah pribadi
atau masyarakat, saya memakai ayat-ayat sebisa
saya.

Kalau misal keliru, itu menunjukkan kalau


saya bukan Tuhan, bukan malaikat atau bukan
nabi. Kemudian Allah meneruskan,

143
“Dan yang berselisih hanyalah orang-
orang yang telah diberi kitab setelah ­bukti-bukti
yang ­nyata sampai pada mereka. Tapi kenapa
­mereka ­berselisih padahal mereka sudah mengerti
­Al-Qur’an? Sebab mereka dengki satu sama lain.”

Al-Qur’an kemudian ­diterjemahkan,


­ditafsirkan, kemudian hasil tafsir itu
adalah ­kamar-kamar, golongan-golongan,
­mahdzab-mahdzab, aliran-aliran, ormas, dan
­lain-lain, yang akhirnya menyebabkan persaingan
materiil keduniaan, dan lahirlah kedengkian di
­antara mereka.

Semoga kita tidak termasuk di dalam


­arena kedengkian yang menciptakan pecah belah
­masyarakat itu.

144
#68

Kita sering kali kebingungan oleh kata, dan


sebenarnya banyak keruwetan yang kita ­alami
­sehingga terjadi perpecahan itu karena kata. Apa
itu pancasila, bhineka tunggal ika, ­radikalisme,
intoleran dan seterusnya. Semua itu karena bias
pada kata. Jadi konotasi dijadikan denotasi,
­kebalik-balik gak karuan.

Gak jelas mana manis, mana gula, mana


panas, mana api. Termasuk kata “satu” ini, kita
ini beruntung punya riwayat budaya kebahasaan
dari Sanskerta, Kawi, Jawa kuno, Jawa, ­Indonesia,
yang ada beberapa kosakata. Satu, Esa, Isang,
Tunggal.

Kita ini pakai Ketuhanan Yang Maha Esa,


­kalau dalam bahasa Tagalog, Esa itu satu, ­Dalawa
itu dua, Tatlo itu tiga, Apat itu empat dan
­seterusnya. Yang saya maksud adalah kalau Esa
ada duanya, sedang Allah tidak ada duanya. Kalau
Esa ada Dalawa dan Tatlu-nya, ada kelanjutannya.

Kemudian kita pakai kata Tunggal tapi dalam


idiom yang lain, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Ini
­sebenarnya juga ada penyesalan kata ­sebenarnya,
tapi ya sudah ndak apa-apa. Sudah terlanjur.
­Sebab Ika itu bukan satu, Ika itu iko atau itu.

145
Jadi Jawa Timur itu lebih tua dari Jawa
Tengah, sebab sebelum Mataram, ada Demak,
Majapahit, Singosari, Kediri sampai Puntadewa,
Ramayana, segala macam. Di situ sudah ada kata
Ika, Ika itu artinya itu.

Jadi Bhineka Tunggal Ika itu berarti


­bangunan-bangunan itu tunggal. Sebab Bhineka
itu dari bahasa Arab yaitu Bhinna, Bina’ artinya
bangunan. Tapi ya ndak apa-apa, kita ini salah,
asalkan niat baik, semoga tidak masuk neraka.

Kata Tunggal ini sebenarnya tepat ­untuk


menterjemahkan, “Katakanlah bahwa Tuhan
itu Tunggal.” Kalau Tunggal tidak ada duanya.
Nah ­kemudian si Tunggal ini menduakan diri,
­menciptakan alam semesta, materi, sebelum itu
malaikat, jin dan seterusnya. Dia menjadi ­dalawa,
tatlu dan ­seterusnya. Ini nanti kalau diteruskan,
kalau anda paham program komputer akan ­kembali
pada nol.

Nol itu adalah Allah, sebab tidak ­terhitung,


tak terhingga. Dulu kita itu mencari Tuhan,
ketemu banyak, ada Tuhan matahari, rembulan,
angin, ­gunung, laut dan seterusnya. Terus tinggal
tiga, ada Tuhan yang menciptakan, ada Tuhan yang
memelihara, ada Tuhan yang merusak. Kemudian
sampai ke puncak pencarian manusia menemukan
kalau ada Ketuhanan Yang Maha Esa, meski tadi
kita katakan yang lebih tepatnya Ketuhanan Yang
Maha Tunggal.

146
Kalau sudah satu, anda mau nerusin ­kemana?
Dari banyak, ke tiga, tiga ke satu, apa mau ke
­seperempat, sepertiga? Kan ndak ­mungkin. Kalau
diterusin satu ya ke nol, nah titik nol ini adalah
Allah itu tadi.

Jadi satunya Tuhan itu bukan materi.


­Satunya Tuhan itu Tunggal, makanya ganjilnya
­Tuhan itu genap. Genapnya Tuhan itu ganjil. Jadi
anda sudah tidak bisa merumuskanNya lagi dengan
algoritma matematika atau sistem-sistem materi.

Maka kalau ini saja kita hayati, itu saja


kita sudah termagnet oleh Allah terus menerus.
­Sehingga kita tidak akan melakukan hal-hal yang
Allah tidak sukai. Saya harap kita asyik dan akrab
dengan ketunggalan Allah, sebab kita semua
mau tidak mau akan menyatu kembali dengan
­ketunggalan Allah.

147
#69

Kalau manusia bermanfaat dan menikmati


manfaat itu, kemudian mendaya gunakan ­manfaat
itu maka pohon ikut beruntung, binatang ikut
beruntung, sungai ikut beruntung dan semua alam
semesta ikut beruntung.

Kita ini tidak punya kesadaran rutin ­tentang


sebab akibat. Jadi misal gini, saya sarjana S1, itu
belum hasil atau prestasi. Saya dokter pun itu
­masih belum prestasi.

Saya kiai itu belum ­prestasi. Saya presiden


itu belum prestasi. Itu semua baru input. Makanya
kalau jadi presiden jangan ­merayakan, sebab itu
baru input.

Hasilnya adalah kalau dengan jabatan


­presidenmu, dengan kekiaianmu, dengan
­kesarjanaanmu, anda bisa bermanfaat bagi ­sesama
manusia. Itu baru output.

Nah selama ini kan kita diajari sejak kecil


kalau pintar itu sudah prestasi atau hasil. Sudah
hebat padahal belum apa-apa. Jadi ada pintar,
kuasa, kuat, kaya, itu baru alat, baru hulu belum
hilirnya. Hilirnya adalah manfaat.

148
Jadi itu prinsip. Sebenarnya terserah anda
mau sarjana atau tidak, kiai apa umat biasa, jadi
presiden atau kepala dusun, tidak masalah. Tidak
ada tinggi rendah, sebab ukurannya adalah apakah
dia bermanfaat bagi orang lain?

Bisa jadi jabatan kita lebih tinggi, tapi


malah hasilnya kita menambah penderitaan bagi
orang banyak. Makanya salah satu ­pedoman
hidup kita adalah kita mungkin tidak harus
bisa ­menyelesaikan masalah masyarakat atau
­katakanlah kita tidak bisa bermanfaat, tapi tolong
jangan bikin kerugian.

Mungkin anda tidak bisa menyelesaikan


­masalah, tapi tolong lah jangan jadi masalah. Anda
juga tidak dituntut menyelesaikan kok, solusi juga
ndak harus. Tapi tolong jangan nambah masalah.
Jadi sekali lagi, ini kan hirarki yang luar biasa,
­kalau manfaat itu ada di puncak.

Jadi anda shalat, itu belum manfaat. Anda


rajin umroh sebulan sekali, haji setahun sekali, itu
belum manfaat, itu baru manfaat untuk diri anda
yang bagi Tuhan pun ndak bermanfaat.

­Sebab ­Tuhan ndak dapat ‘laba’ apa-apa,


anda mau ­umroh berapa kali, haji berapa kali,
shalat rajin. Tapi itu belum manfaat, itu masih
­input.

149
Jadi anda belum boleh bergembira, itu ­masih
awal perjuangan. Anda jadi sarjana, anda jadi
haji, pulang ke rumah, manfaatnya ­berlipat-lipat.
Nah itu baru hirarkinya sampai ­kepuncak.

Kalau malah hajinya anda bawa pulang


dan anda banggakan itu, itu sama dengan orang
bangga jadi ­profesor doktor, bangga jadi seniman,
macam-macam identitas. Bangga jadi pejabat ini
itu, ketua ini itu.

Padahal itu bahan mentah. Bahan


­matangnya, kalau seluruh identitas dan jabatan
anda itu terbukti banyak manfaat bagi banyak
orang. Saya mohon maaf mengatakan ini. Tapi
semoga bermanfaat.

150
#70

Salah satu pemahaman mengenai puasa


adalah kalau orang berpuasa itu jadi bayi lagi,
sehingga hari raya idul fitri itu ibaratnya ulang
tahun. Ini cara kita berlatih, sebenarnya setiap
orang itu tidak pernah tidak lahir kembali. Ketika
kita belum mengerti ini A, B, C, D, kita jadi lahir
ketika kita tahu A.

Anak-anak ketika diajak kemana saja, mau


ke gunung, sungai, mall, mereka tidak ­punya
­persepsi, perumusan, pemahaman atau ­apapun
tentang itu semua. Tapi begitu mereka mulai
­memahami, “Oh itu gunung, sungai, laut.” Dia
­lahir kembali.

Jadi sebenarnya setiap masuknya ilmu


­pengetahuan baru ke dalam otak manusia itu
­kelahiran baru. Oleh sebab itu definisi mati, ­bukan
berhentinya jantung, tapi berhentinya fungsi
syaraf dan kesadaran. Syaraf analisis, kesadaran
pemahaman pada kiri kanannya. Begitu itu tidak
berfungsi, maka seseorang dinyatakan mati dalam
dunia kedokteran.

Setiap hari kita lahir kembali dan orang yang


tidak pernah lahir, mustahil tidak pernah ­lahir,
dia pasti punya pemahaman, ilmu baru ­tentang
­apapun setiap hari.

151
Dan kalau orang menyadari dia harus lahir
lagi, maka dia akan sangat banyak ilmunya.

Orang yang paling banyak ilmunya dan ­paling


matang adalah orang yang paling rajin ‘membunuh’
dirinya untuk bisa ‘melahirkan’ ­dirinya kembali.
Tidak dalam arti fisik, tapi ­membunuh kesadaran
lama dan melahirkan kesadaran baru.

152
#71

Allah itu kan bikin makhluk macam-macam.


Di antara makhluk itu ada banyak karakter atau
Fadhilah, misal tumbuhan cabai karakternya itu
pedas. Berarti manusia juga sama, ada yang cabai,
kunyit, belimbing, mangga dan seterusnya.

Begitu manusia lahir, orang tua itu mulai


membaca, mempelajari anak manusia itu sebagai
bayi,

“Anakku ini mangga atau rambutan ya?”

Nah nanti kan bisa ketemu bakat, ­karakter,


kecenderungan, jadi ada anak yang radikal,
­moderat, ada yang mundur dulu baru berani maju,
ada yang tanpa mikir langsung berani maju, ada
banyak sekali karakter.

Seharusnya pendidikan sejak balita, paud,


SD dan seterusnya itu adalah menemani anak didik
untuk menemukan karakternya. Sehingga sebelum
umur dua puluh lima, dia sudah matang.

Oh saya ini cabai, saya ini cocok ­pengusaha.


Oh saya ini pegawai sebab saya rajin, ­disiplin,
­tertib, tapi saya tidak mampu mencetuskan
­apa-apa.

153
Nah orang yang pandainya ­mencetuskan,
jangan jadi pegawai, sebab anda adalah ­pelopor.
Jadi komoditas atau harga anda ada pada
­kreatifitas dan cetusan-cetusan ide anda. Kalau
anda bukan orang yang di ­fadhilahi Allah untuk
jadi pelopor atau pencetus, gini ­bahasanya Allah,
“Jihad ­dengan jiwamu dan ­hartamu.” Lalu ada
lagi, “Jihad dengan hartamu dan jiwamu.”

Ini pengelolaan fadhilah ya. Kalau jihad


­dengan dirimu, misal dalam perang, yang maju
adalah orangnya. Kalau ndak bisa maju jadi
­prajurit bisa menyumbangkan sebagian harta.

Terus ada lagi jihad yang mengutamakan


­kemampuan ­mengolah harta benda, mengelola
bisnis ­tertentu misal. Kalau anda bisa mengelola
uang untuk berbisnis, maka itu fadhilah anda.
­Kalau tidak bisa mengelola uang, maka anda
­serahkan diri anda atau jadi pegawainya.

Banyak sekali di Al-Qur’an ayat-ayat ­tentang


manajemen kalau anda cermati. Jadi kalau bisa
anak itu sebelum usia dua puluh lima menemukan
fadhilah atau karakternya. Kalau kita punya anak
sudah lewat dua puluh, tiga puluh, dia belum tahu
dirinya, keistimewaannya, bakatnya, ya kasihan
nanti.

Kasihan anaknya juga cucunya.


­Mudah-mudahan kita bisa menemukan fadhilah
yang diberikan oleh Allah.

154
#72

Kalau di dunia modern orang bilang bakat


itu nonsense atau omong kosong, sebab yang akan
menjadikan diri anda siapa itu kerja keras. Keras
itu kan caranya rajin, terus menerus, non stop,
meski harus dihitung iramanya juga.

Kebetulan saya itu rajin, jadi saya tidak


merasa pintar, merasa punya apa-apa, yang paling
bisa saya lakukan adalah tidak malas. Bagi saya,
malas itu dosa.

Malas itu kan berarti anda tidak menghargai


ilmu, Allah mengatakan, “Aku tersinggung pada
hamba-hambaKu yang menghardik waktu.”

Apa maksudnya menghardik waktu itu?

Sehari itu dua puluh empat jam, buanyak


sekali yang bisa kita lakukan selama dua puluh
­empat jam itu. Apalagi kalau anda punya tradisi
tidur yang buruk kualitas, anda tidak perlu tidur
enam jam, delapan jam. Anda bisa tidur nyicil
setengah jam, satu jam.

Saya pribadi rajin sejak kecil. Sebab tidak


ada yang lebih nikmat daripada rajin, dan tidak
ada yang membuat anda terpuruk dan hancur juga
tidak sehat melebihi malas.

155
Jadi siapapun yang malas itu jodohnya
­nggak sehat. Kalau anda membayar ‘hutang’ waktu
pada Allah, anda bisa berbahagia tanpa biaya yang
­mahal-mahal. Sebab Allah Maha Kasih, meskipun
kita hanya melakukan hal kecil.

Maka menurut saya, ‘hutang piutang’


­dengan Allah itu salah satu metode khilafah atau
pengelolaan hidup yang ­paling mendekatkan kita
pada mudahnya untuk berbahagia.

Orang sekarang kan setengah mati untuk


bahagia, harus jadi ini itu, harus punya ini itu,
nyogok, korupsi dan sebagainya baru bahagia.
­Padahal bahagia itu sangat gampang.

156
#73

Syahadat kan itu gini, anda ketemu beras,


anda syahadat lagi, ini beras lho, maka anda ­masak
jadi nasi, terus ini nasi lho, maka anda makan.
Kalau anda tidak mensyahadati itu nasi kan anda
ndak makan.

Maka apa saja yang di depan kita,


­menyangkut hidup kita, itu kita lakukan, kita
­konsumsi atau kita jadikan bagian dari diri kita
kalau kita sudah syahadati.

Masa anda tidak yakin itu nasi, terus anda


makan? Masa anda tidak yakin itu istri anda, kok
anda tiduri?

Anda harus bersyahadat kembali tiap hari,


setiap saat, kepada apapun saja dan siapapun
saja, serta pada keadaan yang bagaimana pun
saja, anda selalu mensyahadati itu. Dan itu adalah
cara menerapkan syahadat kita pada Allah.

Nah kalau kita kembali ke prinsip syahadat,


apa sih yang namanya kita mengakui Allah?

Urusan syahadat itu kita yang butuh, ­sebab


itu landasan khilafah atau metode hidup kita.
Jadi kita meletakkan Allah sebagai patokan utama
­segala hal dalam hidup.

157
Sebab ketika kita tidak meletakkan Allah
sebagai pertimbangan utama dalam hidup, itu
­namanya mensekutukan atau menduakan Allah.

158
#74

Allah menciptakan manusia ­beragam-ragam,


kemudian metodenya supaya selamat, beres
semuanya itu ya saling mengapresiasi satu sama
lain mau tidak mau.

Ibarat orang dagang ya satu nurunin


­tawarannya, satu naikin kesediaan membeli, ­kalau
tidak tawar menawar, hidup ini tidak akan pernah
ada transaksi. Demikian juga kita dengan Allah
juga sesama manusia.

Kalau pakai petunjuk dari Allah, tidak ada


yang unggul atau hebat dari satu sama lain. Kalau
unggul itu bolehlah di olahraga saja, misal sepak
bola, basket, dan seterusnya.

Tapi kalau pintar, baik, mulia, itu ­tidak


ada yang lebih unggul. Jadi salah satu yang
­membikin kita tidak rukun itu ­sebabnya kita mau
­unggul-unggulan terus.

Padahal Allah mengatakan, “Yang termulia


di antara kalian adalah yang paling bertakwa di
antara kalian.”

Kalau anda tanya, yang paling bertakwa itu


mana?

159
Itu adalah sesuatu yang manusia tidak
bisa lihat. Kita tidak bisa menilai kalau ini lebih
­bertakwa dari yang itu. Kalau memperkirakan,
mengasumsikan mungkin bisa, tapi tidak boleh dan
tidak pernah bisa jadi kesimpulan secara resmi.

Jadi sebenarnya kita tidak bisa menemukan


siapa yang lebih unggul, sebab setiap orang diberi
kelebihan masing-masing.

Sehingga salah satu kesalahan manusia


­zaman now ini karena kita ini unggul-unggulan,
balap-balapan. Ya sudah itu bekal yang buruk
­kalau cita-citanya persatuan.

Kalau mau kompetisi atau balapan terus


kan nanti hasilnya cemburu, dengki, iri, ­akhirnya
bisa saling curang, menjatuhkan, sabotase,
­meremehkan, manipulasi dan seterusnya.

Padahal Allah sudah bilang yang mulia itu


yang paling bertakwa, itu petunjuk, sebab ­takwa
orang tidak bisa disimpulkan oleh orang lain,
ibaratnya murid gak bisa memberi nilai ke murid
lainnya, ya harus guru yang ngasih rapot.

Dalam hal ini ya Gusti Allah yang boleh


­menilai.

Maka sarannya itu manusia tidak boleh


­bersaing, kecuali dalam hal kebaikan. Itu pun
­tidak untuk bangga-banggaan dan keunggulan.

160
­Sebab di dalam Al-Qur’an, kata bangga itu
ndak ada, fenomena kebanggaan itu ndak ada
dalam konsep Allah. Itu berarti bagian dari gejolak
nafsu.

Yang disebut bangga atau kebanggaan dalam


ayat-ayat Allah itu semua yang ­mengaitkanmu
pada Allah, itu terutama Al-Qur’an. Kebanggaan
kita ­sebagai orang Islam adalah Al-Qur’an itu
­sendiri.

Kita ini tiap hari bersaing, kita bikin sekolah


unggul, resmi lagi. Sampai akhirnya supaya tidak
kalah unggul dari sekolah lain, murid kita kasih
jawaban ujian kok. Bahkan kompak, semua pihak
membuka jawaban ujian pada murid-murid, demi
keunggulan.

Jadi kita ini mempertengkarkan dan


­memperjuangkan hal yang seharusnya tidak kita
perjuangkan atau pertengkarkan.

Oke kita berkompetisi, tapi dalam ­takaran,


ukuran dan batas yang tidak mengizinkan kita
untuk mengungguli siapapun. Makanya ada yang
­namanya kerendahan hati.

Misal yuk mampir ­gubukku, gak ada yang


malah bilang ayo ke istanaku. Jadi Mari kita cari
­takaran yang tepat dari yang namanya ­kebanggaan.

161
#75

Ada nasehat dari Allah untuk mendamaikan


kelompok-kelompok yang bertengkar,

“Jika ada dua golongan di antara orang


mukmin berperang, maka damaikanlah di antara
­keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu
berbuat aniaya pada golongan yang lain,

maka perangilah golongan yang berbuat


aniaya itu sehingga golongan itu kembali pada
perintah ­Allah.

Jika golongan itu telah kembali pada


­perintah ­Allah, damaikanlah antara keduanya
dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang berlaku adil.”

Ini ada beberapa pertanyaan besar untuk


terapannya di negara kita. Pertama, kita hidup
di suatu zaman dimana banyak setan dan iblis
­berpakaian malaikat.

Kita sukar menentukan mana mukmin mana


tidak mukmin, mana muslim dan yang tidak, mana
orang baik, mana orang buruk. Sebab sekarang
­pekerjaan utama bangsa kita dalam politik dan
budaya apa saja adalah macak.

162
Orang buruk macak baik, orang maksiat
­macak alim, iblis macak malaikat, orang bodoh
macak pintar, orang gak merakyat macak merakyat
dan seterusnya. Pokoknya kita hidup dalam ­situasi
budaya kemunafikan yang luar biasa, sehingga
­ketika kita menghadapi ayat tadi, kita akan sangat
sulit untuk menentukan mana yang beneran baik
dan buruk.

Sebab itulah, kita hanya bisa mencari


­solusi-solusi dalam skala yang mungkin sempit.
Jadi tidak tergantung identitas mukmin apa tidak,
tapi tergantung permasalahannya apa. Kita lihat
apa masalahnya bukan siapa orangnya.

Nah itu masih mungkin. Yang penting


­masalahnya apa, secara Islam gimana, menurut
Al-Qur’an gimana, kita coba selesaikan. Jadi ­tidak
mungkin lagi kita mengejar sampai ke tingkat
identitas dari siapa yang sedang berselisih.

Nomor dua, perangilah golongan yang


­berbuat aniaya kata ayat tadi. Penganiayaan di
negara kita ini sudah struktural dan sistemik.
Jadi siapa yang menganiaya dan siapa yang tidak
­menganiaya itu sangat sukar dipisah.

Ada orang yang dianiaya tapi juga ikut


­menganiaya. Ada orang yang menganiaya tapi juga
karena dia dianiaya, jadi ada orang yang terpaksa
melakukan keburukan, sebab kalau tidak dia akan
dapat keburukan yang lebih besar.

163
Ini tidak mudah sama sekali. Tapi pastinya
Allah menyuruh kita memerangi penganiayaan
pada manusia. Untungnya Allah tidak ­menuntut kita
­untuk menyelesaikan masalah secara ­maksimal.
Tapi Allah menunggu semampunya kita.

Kita ambil kesimpulan kalau kita ­punya


banyak masalah, tapi kita coba sebisanya
­menyelesaikan. Dan kuncinya adalah jangan
­sampai ada penyelesaian masalah yang ­menambah
ketidakadilan. Kita sebisanya harus adil dan
kadang-kadang keadilan itu sakit.

Kadang-kadang kita harus mengorbankan


diri kita sendiri, kadang-kadang kita ndak dapat
apa-apa sebab harus adil. Tapi berbuat keadilan
itu sendiri melebihi pendapatan dunia. Adil dalam
arti umum kita harus adil, begitu pula secara
­detailnya.

Meskipun tidak mampu, tapi semoga kita


terus sebisanya menyelesaikan masalah, skala
­kecil ataupun besar.

164
#76

Kebudayaan masyarakat kita, ibarat ­pohon,


yang dianggap pahlawan kan buahnya, tapi ya
daunnya dikit-dikit, kadang-kadang, terus akar
pohon yang mengantarkan cairan tanah, tidak
pernah dilihat, bahkan tidak pernah disebut. Agak
disebut paling hanya daunnya, batang, bunga dan
seterusnya. Pokoknya yang dilihat kan buahnya.

Dunia ini sudah penuh ketidakadilan,


­ketidaktepatan, tidak akurat, untuk melihat ­skala
jasa dari sesuatu yang dilihat. Dari pohon saja
tidak bisa melihat yang mana sebenarnya peran
utama.

Begitu juga dalam bernegara,


­bermasyarakat, yang kita lihat pasti cuma yang
kelihatan, yang langsung berguna di diri kita. Jadi
kalau bikin hukum ya gitu itu, kalau ­menghina
­dirimu sebab dirimu yang mimpin, salah. Tapi
­kalau rakyat biasa yang dihina, tidak ada yang
salah.

Jadi saya menemukan gini, kalau ibarat


pohon tadi, ada empat kategori. Satu orang yang
tahu apa yang dia ketahui, lumayan orang ini ada
manfaatnya orang begini ini. Tau bisa bertanam,
ya menanam. Sebab dia tahu apa yang dia ­ketahui.

165
Dua, orang yang tahu apa yang tidak
dia ­ketahui. Maksudnya gini, tahu tentang
yang anda ­tidak tahu berarti kan hasilnya anda
­bertanya-tanya. Misal saya belum tahu surat dalam
Al-Qur’an ini isinya apa, terus nanya. Lumayan ini,
mau belajar seperti ini.

Nomor tiga, orang yang tidak tahu apa yang


dia tidak tahu. Jadi ya cuma bingung, tidak tau
kalau dirinya tidak tau, mau apa coba?

Tidak bisa diajak apa-apa, gini salah apa


bener ya ndak tau. Pokoknya ngikut aja orang
­jenis ini, ada hoax gini ya ikutan, ada berita apa
ya percaya dan ­seterusnya.

Terus nomor empat, orang yang tidak


tahu apa yang dia ketahui, ini agak lebih ngeri.
­Kelihatannya kayak tau-tau aja, sudah sarjana juga
misalkan, pernah jadi walikota juga ­misalkan, tapi
kok ternyata ndak tahu. Jadi orang yang ­tidak tahu
apa yang dia ketahui, lihat mangga tapi ­aslinya
gak bisa lihat mangga.

Nah nomor empat ini disebut Dholuman


Jahula. Dia pikir dia tahu, padahal ya ndak tahu.
Misal gini, kita ukur dari empat kategori tadi, ­Allah
menawarkan kepada langit, bumi dan ­gunung,
­kira-kira langit itu kan urusannya kebesaran,
­sebab tidak cuma tinggi, yang tinggi itu gunung.
Gampangnya gunung itu lambang ketinggian.

166
Terus bumi itu karena luas, lambang
­keluasan. Langit lambang kebesaran. Jadi orang
yang mau menerima tanggung jawab itu adalah
orang yang sebaliknya, yaitu makhluk yang ­sempit,
rendah dan kecil.

Sama dengan teori kita selama ini, jangan


sampai kita dalam kehidupan itu kesempitan,
­kecekaan, dan kedangkalan.

Apalagi amanah atau tanggung jawab yang


dimaksud itu tidak disebutkan khilafah apa ­tidak.
Bukan untuk mengurusi alam semesta, sebab
alam semesta itu ya gunung, bumi, dan langit itu
­sendiri.

Manusia mau ini, padahal tidak ada yang


menawari tapi mencalonkan diri. Sekelas gunung
saja ndak mau kok. Langit juga ndak mau, padahal
ditawari. Manusia langsung mau.

Jadi Dholuman Jahula ini, bahwa ­manusia


itu juga punya bakat untuk dholum, bukan ­hanya
Dzalim. Kalau kita mengalami sesuatu yang ­dzalim
dalam hidup kita, sudah ndak heran. Sebab
­manusia tidak cuma dzalim tapi juga dholum.

Tidak cuma jahil tapi juga jahul. Tapi


­kalau orang menyebut dirinya jahula, itu sangat
­wajar sebab manusia harus meletakkan dirinya di
­hadapan Allah serendah-rendahnya.

167
Kalau di zaman kemunafikan ini sudah
­sulit kata-kata selamat. Sebab apapun aja bisa
­dibelokkan, bisa dibalik, dimanipulasi, ditutupi,
dibikin seolah-olah dan seterusnya. Susah kalau
sudah gitu itu, makanya satu orang munafik bisa
ngerepotin kita semua dibanding 100 orang kafir.

168
#77

Saya itu banyak belajar dari anak saya,


yang tidak pernah melewatkan hari dan malam
tanpa update ilmu pengetahuan. Salah satunya dia
menginformasikan pada saya kalau ada ­penelitian
yang hasilnya adalah ketakjuban pada syariat
­puasa.

Salah satu poinnya adalah badan itu ­kalau


kita laparkan, asal jangan sampai kelaparan, kita
biarkan dia mengalami ‘penderitaan’ sampai ­kadar
tertentu yang terukur.

Maka yang terjadi adalah sel-sel jasad


kita, sel-sel badan atau tubuh kita, melakukan
­penguatan diri. Jadi makin anda sering lapar,
­makin kuat tubuh anda.

Makin anda membiasakan diri untuk ­sesering


mungkin lapar tapi jangan sampai kelaparan, maka
‘sakti’ badan anda. Pantas Rasulullah menasehati
kita, makanlah hanya ketika lapar dan berhenti
makan sebelum kenyang.

Saya berpuluh-puluh tahun alhamdulillah


sering lapar, meskipun motivasinya bukan untuk
menguatkan badan saya, tapi karena memang
kurang makan. Dan pada waktu itu agak lumayan
kekurangan saya di bidang ekonomi.

169
Jadi hikmahnya adalah semakin tua, ­rasanya
semakin kuat sel-sel badan saya. ­Mudah-mudahan
ini benar. Tapi penelitian itu pasti benar, yang
­mudah-mudahan benar adalah badan saya.

170
#78

Tentang kefasikan, tentang ­berita-berita


hoax, bias dan tidak bisa kita lacak benar
­tidaknya, dan seterusnya, mau tidak mau kita
­harus ­berpedoman pada kedaulatan akal sehat
dan ­kejernihan nurani kita sendiri, plus kalau
­tidak mampu juga kita minta pada Allah supaya
ditunjukkan kebenaran.

Sebab nanti ada efek setelah anda ­tidak


­bertabayyun, anda akan menyebabkan ­kecelakaan,
keburukan, bagi suatu kelompok atau kaum,
yang anda timpa dengan kebodohan anda itu.
Anda ­sebarkan misal berita hoax. Itu kita ­sedang
­memperluas kebodohan pada suatu kaum.

Nah sebab itu, mohon maaf ini, saya tidak


punya akun pribadi sosial media. Kenapa? Sebab
saya tidak bisa menolong keadaan, tapi saya tidak
ingin menambah kerusakan ­keadaan. Saya tidak
bisa menyelesaikan masalah mungkin, tapi saya
tidak akan menambah masalah anda.

Saya tidak bisa menghalangi


­kebohongan-kebohongan, hoax, manipulasi,
tapi minimal saya tidak ­menambahinya dan
­tidak ­menimpakan kebodohan pada anda atau
­masyarakat.

171
#79

Mohon maaf saya cerita-cerita tentang Nabi


Musa, padahal saya ndak kenal.

Tapi, ya bagaimana?

Sebab Musa ini orang yang merasa dan yakin


kalau dia diberi keistimewaan oleh Allah dibidang
intelektual. Dia sangat pandai, cerdas, meskipun
lidahnya kurang fasih. Maka dia butuh kawan yang
namanya Harun, untuk menjadi juru bicara.

Tapi Musa ini sangat pandai, sehingga dia


tidak bisa membayangkan kalau ada orang yang
lebih pandai dari dia. Maka ketika dia uzlah, naik
ke gunung. Anda kalau perlu kapan-kapan kesana,
ke Jabal Katrina atau ke gunung Thursina.

Itu tiga gunung dan gunung ke tiga ini baru


anda sampai ke tempat Musa uzlah di sana. Dan di
sana dia ‘menantang’ Tuhan.

Menantang dalam tanda petik ya, ­karena


­kesombongan intelektualnya itu. Dan Tuhan
­langsung menunjukkan, Musa menantangnya
­dengan cara ingin melihat Tuhan secara nyata.
Artinya secara biologis, jasad, fisik.

172
Dan Tuhan pun langsung menunjukkan,
­jangankan diri Tuhan, gejala Tuhan saja, hawanya
Tuhan saja, manusia tidak kuat.

Maka begitu Tuhan menunjukkan sedikit


saja gejalanya, itu gunung di seberangnya ­mencair
dan meledak. Sampai sekarang anda masih bisa
lihat bahwa batu-batu di sana itu berbentuk
­bulatan-bulatan seperti benda cair.

Maka Tuhan kemudian menyuruh Musa ­turun


dari gunung itu, berjalan sekitar seribu tiga ratus
kilo meter untuk ketemu orang yang lebih pandai
dari dia, yang namanya Khidir. Khidir ini sampai
hari ini masih misterius, sebab Khidir memang
­tidak pernah terlihat wajahnya.

Waktu ketemu Musa juga pakai kerudung


seperti pendekar gunung sakti. Ini ceritanya ­sangat
panjang, tapi saya kira yang bisa kita ambil adalah
kayaknya banyak kehancuran yang kita alami ini
ya karena kesombongan-kesombongan seperti itu,
macam-macam kesombongan itu.

Dan tidak setiap orang punya kepekaan pada


waktu-waktu yang rutin untuk meneliti ­apakah
dia sedang sombong atau tidak. Sebab sombong
itu ­tidak harus muncul di wajah dan perilaku.
­Sombong itu bisa merupakan desiran dalam hati
saja.

173
#80

Jadi ada nama Allah yang tidak ada di


­asmaul husna, sebab tidak semua nama Allah ada
di asmaul husna.

Masa Tuhan nama-namaNya terbatas 99?

Sedang Tuhan sendiri tidak terbatas.


­Sembilan puluh sembilan itu yang bisa kita ­tangkap
sesuai dengan cara berpikir kita. Tapi Tuhan ndak
ada batasnya.

Nama Allah yang ndak ada di asmaul


­husna itu, Allah Yang Maha Pemalu. Jadi ada
seorang ­pejalan, tanpa pamrih ia lakukan ­kecuali
­memahami alam semesta supaya ­menemukan
­Allah. Suatu hari si pejalan ini mengangkat
­tangannya mengatakan, “Ya Rabbi...”

Terus malaikat berkata, “Ya Allah, ini anak


sudah saya amati lama, tidak cocok kalau Engkau
ampuni dosanya.”

Sebab malaikat sudah ada datanya tentang


semua manusia termasuk si pejalan ini. Begitu
si pejalan ini menangkat tangannya berdoa pada
­Allah, Allah pun mengatakan pada malaikat,

174
“Wahai malaikatKu, Aku ini malu sama
dia. Aku ini ahli takwa dan ahli ampunan, Aku
ini ­satu-satunya sumber ketakwaan manusia
dan ­satu-satunya ­sumber ampunan bagi mereka
semua. Jadi kalau mereka sudah begini, Aku itu
merasa malu kalau tidak mengucapkan, selamat
datang hambaKu.”

Allah mengatakan,

“Aku ingin ­mempersaksikan kepadamu


­wahai ­malaikatKu, bahwa Aku merasa malu kalau
Aku ­tidak ­mengabulkan doa hamba-hambaKu.”

Akhirnya diputuskan oleh Allah, “Saya


­kabulkan, Saya ampuni ­dosa-dosanya.”

Ada lagi episode kedua, Allah mengatakan,

“Wahai malaikatKu, Aku ini malu pada


­hambaKu yang berdoa kepadaKu tapi mereka ­tidak
­pernah malu untuk minta-minta terus ­kepadaKu.
Aku ini malu kalau tidak memberi rahmat pada
­hambaKu, tapi hambaKu tidak pernah malu ­untuk
­menyia-nyiakan rahmatKu dalam kehidupan
­mereka.”

Allah juga hadir ke kita dengan sangat


‘membumi’, ya sebenarnya Allah ndak gitu, ­Allah
kan Maha Dari Segalanya, cuma karena yang
­ditemui kita, ya Dia pakai bahasa kita.

175
Kalau ­Allah pakai bahasaNya, bisa jadi kita
malah bingung ndak ngerti apa-apa. Jadi siapapun
jangan marah, kalau kita mengumpamakan dialog
kita dengan ­Allah dengan bahasa manusia.

Itu bukan beneran begitu, itu cara kita


­memahami kalau batasnya kita cuma segitu.
Makanya Allah mengatakan, “Aku ini tidak malu
membuat perumpamaan-perumpamaan kepada
manusia tentang atau yang menyangkut cacing,
nyamuk, dan yang lebih kecil dari itu.”

Jadi jangan dipikir kalau Allah Maha Pandai,


Allah Maha Berkuasa lalu berbicara yang luar ­biasa
sulit pada kita-kita. Bahkan Allah tidak merasa malu
untuk membuat ­perumpamaan-perumpamaan itu
tadi.

176
#81

Rasulullah itu yang selalu dipikirkan beliau


itu ummatnya. Nah siapa ummat kanjeng Nabi
­Muhammad ini?

Apakah ummat Rasulullah itu yang sudah


resmi jadi muslim?

Atau orang yang hidupnya pasrah pada ­Gusti


Allah?

Ada tidak, orang tidak muslim tapi hatinya


pasrah pada Gusti Allah?

Ada.

Jadi ummat Muhammad itu yang mana?

Nah ini tidak perlu dijawab, tapi bisa jadi


dinamika pikiran kita supaya kita bisa rendah hati
satu sama lain dan tidak saling menuduh.

Terus, nabi-nabi sebelum Rasulullah kan


­diutus untuk kaumnya masing-masing, tapi
­Rasulullah diutus untuk semua ummat manusia,
apa itu berarti semua manusia adalah ummat
­Muhammad?

177
Apakah ummat Muhammad adalah yang
mengakui kerasulan Muhammad saja?

Ataukah siapa saja berarti ummat


­Muhammad?

Nah manusia itu kan ibarat komputer, ada


hardware dan software. Hardware itu misalkan di
KTP itu Islam, tapi software-nya jangan-jangan
­bukan Islam? Mulanya ada yang namanya Islam
KTP. Nah kita ini Islam apa kira-kira? Hardware
sama software, atau hardware saja, atau software
saja?

Kalau kita mau cari kepastian siapa


­ummatnya Rasulullah, ada beberapa ­kemungkinan,
bisa semua ummat manusia, bisa siapa saja yang
hidupnya pasrah pada Gusti Allah, bisa juga orang
yang secara resmi sudah masuk Islam.

Orang yang resmi masuk Islam ada juga


yang belum tentu cara hidupnya bukan ­kepasrahan
dan kesetiaan pada Allah. Jadi ummat Muhammad
yang mana?

Sebab ada kemungkinan itu, maka


­sebaiknya kita berprasangka baik pada semua
orang. ­Kemudian kita mendoakan semua orang,
agar semua itu diterima kanjeng Nabi ­Muhammad
sebagai ummatnya. Jadi jangan main klaim ­sendiri
siapa ummatnya Nabi, kita hanya bisa saling
­mendoakan yang baik.

178
Maka kita belajar bareng, sebab posisi kita
sama-sama belajar untuk jadi ummatnya kanjeng
Nabi Muhammad. Sebab kalau anda di wilayah ­cinta
Allah dan Rasulullah, hidup anda itu ­Insyallah ­lebih
enak dan gampang. Mau ada ­kesulitan ­apapun,
tetap anda dilindungi Allah.

179
#82

Anda harus punya kelengkapan dan ­koneksi


antara yang luas dan sempit, kecil dan besar,
­dangkal dan dalam dan seterusnya. Maksudnya
gini, anda jangan mentang-mentang orang yang
mendalam terus anda menghina yang dangkal.

Sebab kedangkalan itu juga kita perlukan.


Anda jangan mentang-mentang orang yang luas,
terus menghina kesempitan, sebab anda butuh
­kesempitan.

Jadi kalau ada pendek-panjang, anda tidak


usah berpihak pada yang panjang atau pendek.
Tapi anda mengerti apa yang panjang, apa yang
pendek.

Kemudian menemukan kerja samanya,


­misal bernegara. Kalau pemerintah kan jelas lima
tahun, kalau negara tidak ada akhirnya, tidak ada
rencana untuk mengakhiri.

Sekarang pertanyaan saya, siapa yang harus


mengabdi? Si pemerintah atau negara?

Negara ngikut pemerintah atau pemerintah


yang ngikut negara?

180
Kalau negara berarti ada program jangka
panjang misal 30 tahun, 50 tahun, bahkan 100
­tahun. Sebab kita antisipasi kepada keabadian
negara kita.

Sementara pemerintah kan tidak bisa


­berpikir lebih dari 5 tahun, dan ­khawatir ­nanti ­kalau
ada hal-hal yang bagus dia bikin dalam 5 ­tahun
yang dapat nama malah pemimpin ­berikutnya.
Maka dia selalu manajemennya beda.

Nah saya tanya, apa negara ini ngikut terus


kemanapun pemerintahnya pergi?

Semau-maunya, kurikulumnya ­ganti-ganti,


kebijakan ­ganti-ganti, dan seterusnya sesuai
­dengan kemauan ­penguasanya.

Ataukah pemerintah yang harus berpikir


mengabdi kepada kepentingan jangka panjang
negara dan bangsanya?

Yang kedua ya?

Saya tanya lagi, selama ini anda ­pernah


­mengalami nggak ada pemerintahan yang
­mengabdi pada negara?

Pernahkah pemerintah berpikir lebih


­panjang dari masa jabatannya?

181
Ya bagaimana kita ini?

Sesuatu yang abadi taat pada sesuatu yang


sementara, sesuatu yang panjang taat pada ­sesuatu
yang pendek. Padahal lari sprint dan ­marathon
saja manajemennya beda, atur ­nafasnya, dan
­seterusnya. Kalau sprint kan ­pokoknya sikat aja
yang penting dengkul anda kuat. Itu kalau kita
sprint, makanya orang sprint itu gak pernah
­berpikir lengkap.

Ciri utama manusia modern adalah cacat,


yaitu tidak punya kelengkapan sebagai manusia.
Dasar filosofinya saja sudah membangun manusia
sepertiga. Sarjana, sehebat-hebatnya sarjana, dia
hanya sarjana fakultatif.

Kita belum punya universitas di sini ­maupun


di dunia, kita hanya punya fakultas-fakultas dan
jurusan-jurusan. Semoga suatu saat kita bisa
­punya universitas.

Berarti sekarang ndak ada negara, yang


ada hanya langkah-langkah pemerintah. Apalagi
­memang disengaja supaya negara dan pemerintah
disamarkan satu sama lain.

Kita punya kepala negara, sekaligus
­kepala pemerintahan. Kalau misal kita sudah
tahu ­manajemennya salah, segala peristiwa yang
­terjadi ya cuma hilir saja dari hulu yang sudah
salah.

182
Meskipun begitu jangan anti jangka pendek.
Jangka pendek itu boleh, tapi dia harus dalam
rangka perjuangan panjang. Misal pertengkaran
suami istri itu boleh, tapi kan dia tetap harus taat
pada keabadian rumah tangga. Sebab apapun yang
terjadi mereka adalah suami istri.

183
#83

Agar anda bahagia, maka carilah kenapa


kok anda itu tidak bahagia?

Hidup ya tinggal hidup, makan ya ­tinggal


makan, dan seterusnya. Sebenarnya apa sih
kurangnya pemberian dari Gusti Allah? Kok sampai
kita ndak bahagia?

Kalau anda berprasangka baik pada Allah dan


tahu sekaligus sadar kalau asal usulnya itu semua
yang ada di hidup kita adalah kasih sayang Allah,
maka bahan untuk bahagia itu ­berlimpah-limpah
setiap hari.

Misal gini, Gusti Allah bikin rambut kita


memanjang ndak karu-karuan tiap hari, kan kita
susah, masa harus motong terus tiap hari?

Jadi batasan itu bagus apa ndak?

Bisa bagus, bisa ndak. Tergantung anda


pandai bersyukur apa tidak, kalau anda pintar
­bersyukur aslinya ndak ada yang buruk. Asal anda
cari terus bahan bersyukur. Coba kalau misalnya
Allah itu membebaskan kita, tidak ada batasan.
Misal gigi anda ndak ada batasan, bisa tumbuh
terus, gigi anda merdeka, berdaulat. Susah kan?

184
Itu baru rambut dan gigi, terus misal badan
kita tumbuh tinggi terus ndak berhenti, nanti beli
celananya dimana? Kasur kita mau sebesar apa?
Dan seterusnya. Kalau kita bisa kreatif mensyukuri
hal-hal semacam ini, kita gampang mau bahagia.

Tentu saja, hidup itu ada yang bikin


­frustrasi, stress, bingung dan seterusnya. Tapi
kan hidup ndak hanya itu saja kan? Di sisi-sisi lain
yang membahagiakan juga ada. Yang penting ada
­keseimbangan antara sedih dan gembira, gelap
dan cahaya, penderitaan dan kebahagiaan.

Kalau anda jadi orang yang utuh, stress


gimana pun ndak akan menjatuhkan anda. Yang
bikin kita itu gampang putus asa itu ya kita cuma
punyanya putus asa dalam hidup. Kita ndak tahu
apa itu syukur dan lain-lainnya.

Kalau kita bisa menikmati apapun yang


­Allah beri pada hidup kita, maka stress, sedih,
cobaan hidup kayak apapun, Insyallah itu semua
akhirnya akan dikalahkan oleh rasa syukur kita.

185
#84

Shohibu Baiti itu Allah menciptakan


­makhluk-makhlukNya, alam semesta, ­manusia,
malaikat, jin, iblis, setan, dan semuanya ­dengan
ekosistem yang lengkap dengan sunnahNya,
syari’atNya. Salah satu yang bisa kita pakai
­untuk memandangnya adalah bahwa Allah sudah
­membikin rumah untuk diriNya.

Jadi seluruh alam semesta dan ­kehidupannya


ini adalah rumahnya Allah. Nah Allah yang punya
rumah itu dan Allah tuan rumahnya. Lalu sekarang
rumah-rumah kecilnya Allah itu kita semua. Pada
lapis-lapis dari individu, keluarga sampai sosial,
masyarakat dan seterusnya. Apapun semuanya di
hidup ini adalah rumahnya Allah.

Jadi shohibul baitnya adalah Allah, maka


­selalu nikmatilah kalau Tuan Rumah diri kita adalah
Allah sendiri. Nah Allah jangan diukur ­secara
­materi, artinya Allah itu bisa lebih dekat dari
urat leher kita, bahkan Dia lebih dekat ­daripada
dekat itu sendiri. Dia lebih tunggal dari tunggal itu
­sendiri.

Maka jangan pernah melewati hari dan


malam tanpa peristiwa manunggal dengan Allah.
Dengan kesadaran kalau Tuan Rumah diri kita itu
bukan kita tapi Allah.

186
Dan di dalam rumahnya Allah itu ada kursi
yang kokoh. Kursinya Allah itu meliputi seluruh
alam semesta, berarti meliputi seluruh jiwa anda.

Bawalah kesadaran ini di setiap langkah


anda melakukan sesuatu, kerja, sekolah, dan
­seterusnya. Kalau manusia tidak mengakui dan
menyadari bahwa seluruh alam semesta termasuk
kita adalah rumahnya Allah, maka akan terjadi
masalah dengan Tuan Rumahnya.

Ideologi-ideologi modern, materialisme,


­demokrasi, sekularisme adalah suatu tindakan
yang tidak mengakui rumah Allah. Sehingga dia
­mengusir Allah dari rumahNya sendiri. Jadi ­Allah
hanya dijadikan satpam, pas butuh baru kita
datang, pas bahaya minta tolong, kan gitu. Nah, ini
eksplorasi pemaknaannya silahkan ­direnungkan.

187
#85

Hidup itu nggak mungkin kalau nggak ada


masalah. Jadi kalau kita mengalami kesulitan,
­biasanya hubungannya dengan tiga hal. Nah tiga
hal ini anda cari hitungannya dalam diri kita
­sendiri.

Pertama, mungkin kita sedang dihukum


oleh Gusti Allah. Kalau dihukum itu kan mesti ada
salahnya kan? Nah kita cari apa salahnya kita,
­terus sebisa mungkin jangan diulangi lagi.

Nomor dua, peringatan. Kayaknya kurang


waspada, kurang serius, kurang rajin atau gimana,
coba dicari ini. Yang kedua ini kita diperingatkan
oleh Gusti Allah.

Misal jangan ke sana, jangan gitu, hatimu


ndak benar itu. Dicari, kita diperingatkan apa
ya sama Allah? Jadi nomor dua ini, kita cari apa
kurangnya kita.

Nomor tiga, ujian. Kalau diuji itu berarti


akan dapat apa?

Kalau dihukum kan akan dapat ­kebebasan


setelah menjalani hukuman. Kalau diberi
­peringatan akan jadi lebih baik hidupnya, kalau
tahu apa yang diperingatkan.

188
Kalau diuji itu kita lagi disekolahkan oleh
Gusti Allah, berarti nanti bakal naik kelas. Lebih
bermutu, lebih sadar, lebih cerdas dan seterusnya.

Jadi kalau ada kesulitan seperti sekarang,


minimal kita cari dalam diri masing-masing. Kita
itu salah apa? Kurang apa?

Nomor tiga, kalau diuji itu kan kita bakal


naik level, jadi kita harus gembira dengan ujian
itu. Makin kita ikhlas diuji, makin kuat diri kita.

189
#86

Doa kita kabul atau ndak itu bukan ­karena


kiainya atau siapapun, tetap Gusti Allah yang
­mengabulkan. Terus yang dikabulkan Allah itu
­doanya kiai atau yang mengamini, itu kita ndak
tahu.

Jadi ndak usah merasa paling top, kiainya


ndak usah merasa ge er, terus jamaahnya juga
ndak usah minder.

Jadi faktor kabulnya doa itu hanya dua,


­Allah dan kanjeng Nabi Muhammad. Kalau kita
dekat dengan Allah dan Nabi Muhammad, kita
­lebih dekat dengan kabulnya doa.

Hidup itu begitu luasnya, jadi biar kita


‘gampang’ menjalani hidup, jangan sampai tidak
dekat dengan Allah dan Nabi Muhammad.

Tidak ada khawatir atau sedih kalau hidup


kita berpegangan pada Allah dan Nabi Muhammad.
Memang khawatir, takut, sedih bakal kita rasakan,
tapi ndak akan kita besar-besarkan itu semua.
Ketidakpastian manusia itu pasti, tapi kepastian
Allah itu pasti.

190
#87

Kita beriman pada Allah itu, Allah butuh


ndak?

Kan ndak.

Jadi kepentingan siapa itu beriman pada


­Allah?

Ada pilihan lain nggak selain beriman pada


Allah?

Nggak ada.

Jadi beriman pada Allah itu nggak perlu


­diwajibkan, sebab itu satu-satunya pilihan, mau
tidak mau. Allah sendiri nggak butuh, tapi kita
yang membutuhkan Allah.

Nah kalau sekarang begini, ada sesuatu


dalam hidup ini yang bisa kita ketahui dan mungkin
benar-benar kita ketahui. Tapi ada dalam hidup ini
sesuatu yang tidak mungkin kita mengetahuinya.

Sekarang saya tanya, lebih banyak mana,


hal yang anda tahu apa tidak tahu?

Tidak tahunya.

191
Jadi kalau orang tidak tahu itu gimana sikap
dasarnya?

Rendah hati, sebab kita tidak tahu.

Nah, kita sekarang ini kalau misal baca


­media sosial, ada tidak orang yang rendah hati?

Tidak.

Sebab banyak orang sok tahu. Kalau kita


tahu aslinya kita itu tidak tahu, maka kita akan
rendah hati pada Allah dan sesama manusia.
Tapi sekarang ini banyak orang yang tidak tahu,
­gayanya sok tahu. Misal bukan Gusti Allah, tapi
mengharam-haramkan. Padahal siapa yang punya
hak itu?

Jadi yang kita tidak tahu itu bisa lebih


dari sembilan puluh persen. Untuk sesuatu yang
anda mungkin tahu, sehingga akhirnya bisa tahu,
­capailah dengan ilmu. Tapi ada hal yang nggak
mungkin diketahui, gimana cara mencapainya?

Iman. Hanya dengan iman kita bisa tahu


sesuatu yang kita tidak mungkin tahu. Misal surga
itu gimana sih? Ya kita beriman saja. Sebab kata
Rasulullah apapun yang kita bayangkan tentang
surga itu ya ndak seperti bayangan kita.

Yang penting bagaimana pencarian kita


­melalui jalan iman ini kepada Yang Sejati.

192
#88

Apa anda tahu yang namanya dikotomi?

Dikotomi selatan atau utara, timur atau


barat, laki-laki atau perempuan. Itu dikotomi. Yang
ingin saya sampaikan, tidak ada dikotomi ­dunia
dan akhirat. Sebab dunia ini bagian dari ­akhirat.
Kita ini berjalan di dunia sampai ke akhirat. Jadi
dia satu, tidak ada ini kerjaan dunia misal dagang,
terus ini kerjaan akhirat misal shalat.

Ndak gitu.

Anda kaya raya nggak apa-apa, asal ­niatnya


untuk akhirat. Jadi ada dunia yang diakhiratkan,
ada juga akhirat yang diduniakan. Misal anda ­kerja
apa? Jadi satpam atau konglomerat, ndak ­masalah.
Asalkan niat anda dan praktek kerja anda itu ­hanya
untuk Allah.

Terus contoh untuk akhirat yang ­diduniakan,


shalat misalkan, tapi niatnya tidak ikhlas pada
­Allah. Shalatnya dipakai biar dia untung, biar
­selamat, biar dikira alim dan seterusnya. Terus
umroh biar ndak ketangkap KPK misalnya. Banyak
sekali contohnya.

Jadi tolong jangan sampai salah niat. ­Tolong


kita semua hati-hati dengan niat kita.

193
#89

Yang paling utama di dalam pertengkaran


kita selama ini, mau Islam antar Islam atau Islam
dengan luarnya, itu kan ada dua prinsip yang harus
kita pelajari lagi, yaitu hak dan kewajiban.

Orang tidak mengerti kalau misal anda


­dengan istri anda itu tidak boleh memaksa dia
shalat, sebab shalat itu kewajiban dia dengan
­Allah, tidak kepada suami.

Tapi kalau anda ­sebagai suami tidak dilayani


selama seminggu misalkan, anda dibiarkan saja,
nah itu anda punya hak untuk setengah menagih
istri anda.

Tapi kalau shalat itu adalah ‘nikah’ kita


­dengan ­Allah. Siapapun tidak boleh memaksa,
hanya boleh menganjurkan ibadah itu.

Ini posisi begitu itu kan dilupakan oleh


­banyak orang selama ini. Seolah-olah banyak
yang menjadi Tuhan, jadi mereka merasa berhak
­menyuruh-nyuruh, menghakimi, melarang-larang
anda.

Padahal yang berhak atas hal itu hanya


­Allah, sebab Allah lah yang punya saham seratus
persen terhadap hidip anda.

194
Kalau saya tidak punya hak atas apa-apa
pada anda, sebab bukan saya yang menciptakan
anda, memelihara hidup anda, memberi rizki pada
anda dan yang terpenting saya tidak bisa menolong
anda di hadapan pengadilan Allah. Maka saya tidak
akan melarang, menyuruh, menghakimi anda.

Setiap orang adalah khalifah yang


­bertanggung jawab pada dirinya sendiri di ­hadapan
Allah. Tolong prinsip pertama ini dipegang.

Prinsip kedua, anda jangan ­mengandalkan


kebenaran anda. Sebab kebenaran itu hanya ­milik
Allah, kita hanya dipinjami sedikit. ­Kebenaran
itu bahan mentah dari hidup anda, dia bukan
­suguhan makanan, jadi jangan berdebat di media
sosial ­untuk menegakkan kebenaran anda. Sebab
­kebenaran anda sekarang bisa berbeda dengan
­besoknya.

Kebenaran itu ibarat masak itu bahan


­mentah dan anda masak itu ibarat berbuat baik.
Jadi anda jangan pamer-pamer bahan mentah,
tapi masakan anda itu yang disuguhkan. Orang yang
dibekali kebenaran hasilnya akan ­menyuguhkan
kebaikan.

195
#90

Kalau belajar biologi, badan kita itu


2/3 itu ruang, bukan benda. Jadi kelihatannya
­padatan-padatan ini kan nanti ada sel-sel, ada
atom-atom, ada yang paling kecil itu di dalamnya
ruang.

Jadi anda itu lebih banyak terdiri dari


­ruang, daripada materi. Maka kalau ruang itu ndak
­diperhatikan, sekarang begini karena ­materialisme
akhirnya orang merasa hidupnya hanya dengan
­padatan-padatan.

Jadi kalau Islam itu nanti yang dilihat


­surbannya, simbolnya, identitasnya, kan begitu.
Misal mau anda benarnya gimanapun, tapi tetap
ndak benar, sebab anda bukan kiai. Padahal orang
itu harus didengarkan dulu, supaya kita tahu benar
apa tidak. Jadi orang sekarang itu berpikirnya
­materialistik. Berpikir materialistik kalau cara
­lawas itu penyembah berhala.

Sekarang itu kita menyembah berhala tapi


tidak paham kalau sedang menyembah berhala.
Sebab pedoman utama kita adalah materialisme.
Materialisme itu bukan hanya soal harta benda
kekayaan saja, materialisme itu maksudnya cara
anda memandang itu berdasarkan materinya saja.

196
#91

Dunia umat Islam ini luar biasa


­perkembangannya. Misalnya begini, dalam ­struktur
identifikasi kualitas manusia zaman dulu itu yang
paling dihormati orang adalah kaum brahmana.

Brahmana itu orang bijak, tidak hanya


­cerdas tapi bijak. Kedua baru orang cerdas.
­Kemudian ketiga adalah orang kuat, orang sakti,
pendekar-pendekar.

Nah keempat adalah orang yang berkuasa.


Tentu saja orang berkuasa ini orang yang kuat
dan pandai. Kemudian di bawahnya baru orang
kaya, jadi orang kaya itu dihormati paling bawah,
meskipun kaya tapi kalau nggak pandai, nggak
kuat, ­nggak kuasa, nggak bijak juga nggak begitu
dihormati.

Maka di zaman dulu itu ada urutan-urutan


itu, orang bijak, orang cerdas, orang kuat, orang
berkuasa, dan orang kaya. Sekarang ini ada dua
fenomena, di masyarakat modern ini yang paling
dihormati adalah orang kaya tadi.

Jadi semua orang ingin kaya. Semua orang


ideologi dan agamanya adalah materialisme. Jadi
empat yang lainnya di luar yang kaya itu ­melakukan
kepandaiannya juga untuk kaya.

197
Mendayagunakan kesarjanaannya juga
untuk kaya, caranya adalah pegangan ke orang
berkuasa, tujuannya adalah kaya. Orang kuat juga
begitu.

Tapi yang bingung adalah orang ­bijak.


Orang bijak ini tidak mau ikut berkuasa,
­tidak ­mengandalkan kepandaian, juga tidak
­mengandalkan kekuatan, juga tidak mencari
kekayaan. Ini fenomena pertama.

Kalau anda ingin mengenali masyarakat,


negara dan bangsa kita, anda coba bikin ­simulasi
dari dua fenomena yang terbalik tadi. Seluruh
mekanisme yang terjadi selama ini adalah orang
pintar bergabung dengan kekuasaan, orang kuat
bergabung untuk berkuasa dan seterusnya. Semua
tujuannya untuk kaya.

Sementara kaya itu di zaman dahulu, ­misal


di zaman Majapahit, orang kaya itu ­diletakkan
­paling akhir. Maka ketika Islam dibawanya oleh
pedagang, tidak bisa populer di sini. Zaman dulu,
Islam bisa diterima sebab yang ­membawanya
adalah orang bijak, kalau sekarang kita sebut
­ulama.

Nah Alhamdulillah, sekarang ulama juga


punya peran besar dalam kekayaan. Jadi mereka
juga bertujuan dan bersaing secara positif dengan
masyarakat lain untuk juga kaya.

198
Terus fenomena yang kedua adalah
­kepopuleran. Sebenarnya orang populer itu kan
akibat, sebab dia hebat maka terkenal, dia baik
maka terkenal, dia berkuasa maka terkenal, dia
kaya maka terkenal dan seterusnya. Jadi yang
lima tadi itu inti, tapi kalau populer ini efek atau
akibat.

Tapi sekarang terkenal ini jadi inti. ­Sehingga


sekarang orang bisa jadi pejabat tinggi sebab dia
terkenal. Jadi kita sudah menambah kekayaan
­peradaban yang luar biasa, tidak hanya orang
­bijak, pintar, kuasa, kuat dan kaya, tapi juga orang
terkenal itu jadi inti juga.

Jadi kalau kita milih pemimpin ­biasanya


karena terkenal. Dan terkenal itu umumnya
karena media, maka ada ulama-ulama media ini
­menentukan strukturnya sendiri. Jadi kita semua
adalah penyembah media atau siapa saja yang ada
di balik media itu.

199
#92

Salah satu bentuk syariat Mahdhah itu adalah


kita shalat menghadap Ka’bah. Ini juga sudah jadi
bahan pertentangan kalau kita harus punya presisi
sedemikian rupa, sehingga ­masjid-masjid dikasih
garis-garis biar pas dengan arah Ka’bah.

Seolah-olah kita bisa benar-benar


­menghadap Ka’bah. Tapi kalau anda menghitung
bujur dan lintangnya, susah juga kalau ­menghadap
Ka’bah. Jadi Ka’bah itu simbol saja.

Sebab ­kalau beneran mau menghadap


Ka’bah bener ya ­harus miring ke depan beberapa
derajat kalau di ­Indonesia.

Jadi aslinya tidak ada presisi ­teknis


­menghadap Ka’bah. Maka kita harus punya
cara berpikir, cara melihat untuk ­menemukan
­hakikatnya apa ini sebenarnya. Nomor satu ­memang
­ditemukan kalau harus menghadap Ka’bah.

Ka’bah itu bukan hanya tempat dimana kita


mempersatukan wajah kita untuk ­menghadap ke
suatu arah, ditemukan kalau Nabi Ibrahim dulu
dibimbing Allah untuk membangun Ka’bah di
­pusat, gampangannya titik nolnya dunia.

200
Bahkan ditemukan kalau seluruh alam
­semesta ini titik pusatnya Ka’bah. Dan itu
­tidak mungkin diteliti secara ilmiah. Kalaupun
­menunggu diteliti ilmiah, maka baru sekarang
orang ­menentukan Ka’bah, sehingga nabi-nabi
dulu malah tidak menghadap Ka’bah.

Itu ada penemuan seperti itu, tapi tidak


­berarti kalau Ka’bah itu Allah. Jadi kalau saya
shalat menghadap Ka’bah, orang bisa menuduh
begini, “Halah orang Islam juga menyembah
­berhala.” Padahal kita kan ndak nyembah Ka’bah.

Sekarang orang lain yang nyembah patung


itu kalau mengatakan begini, “Lho saya kan juga
ndak nyembah patung kok, saya itu ­menyembah
sesuatu yang agung, yang saya lambangkan
­melalui patung ini, sama dengan orang Islam
­melambangkan kebesaran itu dengan Ka’bah.”

Nah ada juga perdebatan seperti itu. Tapi


­intinya adalah kita menghadap kiblat itu, kalau
saya sebut itu Allah menentukan titik ­administratif,
­supaya orang bisa mempersatukan arah ­wajahnya
di seluruh dunia. Tapi kita ndak menyembah
Ka’bah nya.

Sehingga Ka’bah itu memang suci, tapi


ndak usah dituhan-tuhankan, sampai seolah-olah
kainnya itu berkah terus kita sobek-sobek bawa
pulang, dijadiin jimat.

201
Nah demikian juga Hajar Aswad, kita
­mencium Hajar Aswad itu bukan karena Hajar
­Aswad punya keistimewaan secara fisik.
­Keistimewaan Hajar Aswad adalah saat peristiwa
Rasulullah menciumnya.

Maka Sayyidina Umar pun mengatakan


­sebelum mencium Hajar Aswad, “Kalau ­Rasulullah
tidak mencium Hajar Aswad, aku tidak akan
­bersedia mencium Hajar Aswad.”

Jadi sebenarnya yang dicium adalah


­kenikmatan kita di dalam berdialektika dan
­menyembah atau mengabdi pada Allah. Jadi
ini ­tidak hanya menyangkut Ka’bah, tapi
dalam ­apapun juga kita harus mencari hakikat
­persoalannya. ­Kalau ndak ya kita bakal bertengkar
ndak ­karu-karuan terus menerus.

Sampai akhirnya nanti ada sertifikasi


Ka’bah, macam-macam. Nah itu membuat kita
­makin tidak dewasa, tapi kita tidak punya ­landasan
filosofis dan hakiki untuk memahami suatu hal, kita
­akhirnya menghabiskan waktu secara mubadzir
untuk bertengkar hal-hal yang sebenarnya tidak
kita pahami.

Saya ini juga jangan dipercaya, sebab


maksud saya adalah anda hanya boleh percaya
pada Allah dan memahami Allah saja.

202
#93

Syariat Allah itu tidak terbatas alam


­semesta. Tapi juga berlaku pada setiap hal-hal
yang sifatnya mungkin kecil, materiil dan teknis.
Misalnya, bakso, air minum, makanan, minuman,
nutrisi, jamu, vitamin, dan macam-macam. Terus
ada memilih calon pemimpin misalnya yang agak
bermutu.

Segala macam itu ada pada hukum yang


harus ditaati dari syariat Allah. Jadi yang disebut
membangun negara dengan syariat Allah itu tidak
sama dengan mewajibkan setiap orang shalat lima
waktu atau puasa Ramadhan.

Sebab yang punya hak untuk mewajibkan


hamba-hambaNya hanya Allah, kalau kita cuma
berhak menganjurkan dan mengingatkan, itu
pun harus dengan cara yang baik bagi orang yang
­sedang kita kritik.

Jadi misalnya gini, saya punya warung


­bakso. Terus saya harus dapat sertifikasi kalau
bakso yang saya jual itu halal. Saya bawa contoh
bakso itu ke kantor sertifikasi, terus lulus. Tidak
ada hal-hal yang sifatnya dilarang Allah. ­Sehingga
saya pulang bawa kertas, lalu saya pasang di
­warung bakso saya.

203
Terus anda beli bakso saya. Bakso yang saya
kasih ke anda itu saya sertifikasi apa tidak?

Yang saya sertifikasi kan bakso yang saya


bawa ke kantor sertifikasi, kemudian bakso yang
tersisa di warung saya kan belum saya ­sertifikasi.
Kan benda, makanan atau apapun, halal atau
haramnya kan berlaku pada setiap benda itu.

Kalau saya dapat sertifikasi halal, itu kan


yang dimaksud yang halal kan, tadi yang saya bawa
ke sana.

Lah kalau sekarang yang saya jual itu tidak


halal, bagaimana?

Siapa yang mensertifikasi?

Artinya sertifikasi halal atau tidak itu ­harus


dilakukan setiap kali, disetiap warung. Begitu saya
menyajikan bakso, saya harus bawa ke kantor
sertifikasi, dicek, baru saya sajikan ke pembeli.

Dan itu berlaku untuk semuanya. Jadi ­kantor


sertifikasi harus punya berjuta-juta ­karyawan
­untuk mensertifikasi setiap hal yang akan dijual
pada orang.

Sebab kalau hanya satu sampel saja, siapa


yang berani menjamin kalau yang dijual sama
­dengan sampelnya itu tadi?

204
Jadi sebenarnya ini tidak masuk akal. Oleh
karena itu anda jangan tergantung pada ­lembar
sertifikasi itu. Maka saya kira yang perlu kita
­lakukan adalah setiap orang memahami kalau bisa
semaksimal mungkin, halal itu bagaimana, makruh
itu bagaimana.

Kalau pada benda gimana menilainya, ­kalau


pada kualitas gimana. Itu masing-masing kita ­harus
punya pengetahuan minimal.

Sehingga setiap kali kita makan atau


­minum, kita melakukan sertifikasi yang otentik,
berasal dari diri kita sendiri. Jadi kita jangan
terlalu ­menyerahkan diri pada lembaga-lembaga
yang hanya menilai sampelnya saja.

Nah kan sekarang saya beli air dibotol ­plastik.


Tapi nanti kan masih ada urusan ­lainnya, ini air
­halal, tapi yang memodali siapa? ­Modalnya didapat
dengan cara apa? Izinnya untuk bikin ­perusahaan
air ini benar apa tidak? Ada ­hubungannya nggak
dengan nasionalisme dan pemilikan harta negara?

Dan seterusnya. Itu potensial untuk ­halal


atau makruh. Jadi tidak semua hal bisa kita
­serahkan ke kantor, negara, atau sistem dan
­lembaga-lembaga, kita harus punya filter sendiri
dan sertifikasi otentik dari dalam diri kita sendiri.

205
#94

Diujung puasa ada satu mobilitas yang ­sangat


besar, sangat tinggi biayanya, sehingga ­seluruh
perangkat pemerintahan menyiapkan ­berbagai
macam fasilitas ini, supaya lancar. ­Kereta api, bis,
kendaraan umum, kapal, pesawat dan sebagainya.
Mobilitas ini terjadi di Indonesia, namanya mudik.

Jadi pokoknya kalau hari raya itu semua


orang mudak mudik, rame sekali ndak ­karu-karuan.
Kalau perlu bawa bajaj dari Jakarta ke Jember.
Sampai-sampai showroom mobil ­menawarkan DP
sekian ratus ribu boleh bawa ­pulang mobil, ini
­untuk mengikat konsumen.

Ini sebenarnya mudik kemana?

Oh ya jelas ke kampung halaman, ketemu


saudara-saudara.

Terus kalau urusannya ketemu


­saudara-saudara, kenapa tidak mudik sepanjang
tahun?

Sehingga tidak menumpuk dan menggumpal


di hari-hari sekitar idul fitri. Sebenarnya mereka
mau kemana dan mencari apa?

206
Saya tidak mengecam atau berprasangka
buruk. Sesungguhnya kan setiap manusia, dia
berasal dari Allah dan akan kembali pada Allah.
Terminal-terminal sebelumnya sampai ke ­terminal
terakhir yaitu pada Allah itu kan ada terminal
­budaya, keluarga, rohani, macam-macam.

Jadi manusia konsen pada kembali ke


asal usulnya. Maka asal usul paling dekat adalah
­keluarga, bapak ibu nya, neneknya, kakeknya dan
seterusnya. Nomor dua kampung ­halamannya,
­tidak mungkin kan orang balik ke kampung ­halaman
kalau keluarga nya sudah tidak disitu.

Jadi nomor satu tetap asal usul biologisnya


lalu asal usul ­geografisnya. Nomor tiga baru asal
usul yang mungkin lebih rohani.

Mudah-mudahan saudara-saudara kita yang


habis-habisan antri setengah mati, berjejal ­jejal di
jalanan, pesan tiket kereta dan pesawat ­sebelum
puasa. Mudah-mudahan mereka sadar ­kalau
­mereka tidak sekedar ketemu keluarga, ­tidak
sekedar ingin pulang ke kampung ­halamannya.
­Sebab itu bukan terminal yang terakhir.

Itu hanya satu atau dua terminal yang


­harus kita lewati, untuk terus berjalan hingga ke
­puncak terminal yaitu Allah. Kalau kita berpikir
lebih dari budaya, maka sebenarnya mudik itu bisa
lebih simpel, misal sekarang ada sosial media dan
­seterusnya.

207
Sebenarnya kalau orangnya ­memerdekakan
diri dari budaya, ya bisa lebih simpel. Tapi ya
tidak enak lah kalau tidak bertemu keluarga.
­Alhamdulillah, kalau saya pribadi dan keluarga
mudik setiap sebulan sekali.

Sebab ada acara di Jombang. Sehingga


­ketika hari raya tidak panik-panik amat akan
­mudik, sebab mudik bisa dilaksanakan kapan saja
tanpa menunggu idul fitri.

Sebenarnya idul fitri itu ya setiap hari, tiap


saat kita puasa, jadi setiap saat kita idul fitri. Itu
kalau berpikir hakikat.

Tapi ya ndak enaklah kalau ­hakikat-hakikat


banget, yang enak itu ikut bersama-sama. ­Pokoknya
umumnya begitu ya saya ikut begitu, ­sebab jarang
orang yang tidak ikut umumnya orang.

Mudah-mudahan mudik kita setiap tahun


itu bisa diterima Allah, meskipun mungkin tidak
diniati kembali ke Allah. Semoga tetap diterima
Allah sebagai mudik kepada Yang Sejati.

208
#95

Kadang-kadang kita itu bertengkar ­diantara


orang Islam itu sebab tidak sengaja juga tidak
niat buruk beranggapan kalau Islam itu hanyalah
­ajaran sesudah ada Rasulullah, karena memang
syahadatnya para Allah dan Rasulullah.

Dan barang siapa tidak melakukan ajaran


itu misal syariatnya shalat, puasa, naik haji dan
seterusnya, itu kita anggap bukan muslim. Jadi
ajaran Rasulullah sama dengan Islam. Kalau kita
pakai ini berarti Islam itu ada sesudah Rasulullah
hadir.

Kalau kita pakai ini sebagai parameter atau


padatan, berarti Nabi Isa bukan muslim, Nabi
Musa, Nabi Ibrahim, Nabi Nuh, dan seterusnya juga
­bukan muslim. Saya kira kita perlu balajar bahwa
Islam itu bukan hanya padatan dengan ­formula
yang diajarkan Rasulullah.

Artinya Islam pada zaman yang berbeda


memiliki bentuk yang berbeda. Maka sebenarnya
kalau pakai bahasa yang sekarang itu evolusi. Kan
ndak mungkin Nabi Adam diciptakan langsung
­dibawakan Al-Qur’an. Waktu Nabi Adam kan ­belum
ada bahasa, sehingga tidak mungkin ada ­Al-Qur’an.

209
Maka ada evolusi. Jadi Allah itu ­memuaikan
kehidupan ini berdasarkan tahapan-tahapan
­kebudayaan, peradaban dan sosial umat ­manusia.
Itu komplikasinya bukan hanya jumlah orang tapi
juga peta-peta pergaulan, satuan nilai, ­termasuk
cuaca berbeda, situasi sosial berbeda dan
­seterusnya. Maka ada evolusi.

Islam mulai diperkenalkan di zaman


Nabi Ibrahim dengan mushaf-mushaf atau
­lembaran-lembaran firman. Kemudian sampai ke
Taurat, merupakan buku besar gitu ya, ­sudah ada
yang bersifat padat dan hukum. Kemudian jadi
kitab Zabur, lalu jadi kitab injil. Dan ­sempurna
jadi Al-Qur’an, yang multiguna bisa untuk
­macam-macam. Nah ada evolusi.

Dan hukum-hukum atau firman Allah pada


zaman Nabi Musa dan Nabi Isa ataupun Nabi
­Muhammad beda-beda, misal pada zaman Nabi
Musa dan Isa belum ada perintah shalat. Jadi
­artinya hukum di kitab-kitab dahulu tidak bisa
disamakan dengan sekarang. Tapi bukan berarti
mereka bukan muslim.

Jadi kita bersama-sama berendah hati


­melebarkan pandangan kita kalau Islam itu
­kualitatif dan punya evolusi. Bahwa sesudah
­Rasulullah itu kita wajib shalat lima waktu ­sudah
jelas, tapi ini ndak bisa dipakai untuk menilai
­zaman Nabi Adam.

210
Nah jadi kita perluas Islam kita ini tidak
hanya kuantitatif pasca Rasulullah. Tapi ­kualitatif
dan rohaniah sejak Nabi Adam. Bahkan Islam
­sudah ada sejak diciptakan Nur Muhammad. Sejak
kapanpun saja.

Jadi mari kita menghabiskan waktu tidak


untuk membenarkan diri dan menyalahkan orang
lain, tapi bersama-sama belajar Islam itu secara
utuh. Bukan hanya untuk bertengkar kalau anda
benar, saya yang salah.

211
#96

Dzikir itu waspada terhadap segala sesuatu,


anda jangan pernah tidak ingat kelengkapan dari
suatu hal, sebab semuanya itu lengkap. Misal gini,
topeng itu kan fungsinya menutupi wajah, topeng
itu sangat berguna untuk menemukan diri kita
yang sejati.

Di media sosial itu yang ngomong


­buruk-buruk itu beneran orangnya atau abal-abal?

Akun palsu. Semakin akun palsu, semakin


jujur.

Ya gitu itu, jadi media sosial itu kalau penuh


kehinaan, penuh kebencian, penuh ­kedengkian,
memang begitu itu faktanya. Memang kita itu
penuh dengan itu semuanya.

Begitu nanti kita p


­ asang wajah, identitas,
track record di media ­sosial, kita ngomongnya
yang baik-baik.

Jadi ketika kita pakai wajah justru kita


­ngomongnya ditutup-tutupi, ditopeng-topengkan.
Ketika pakai topeng malah keluar diri kita yang
sesungguhnya. Yang sebenarnya ya ketika kita
pakai topeng itu.

212
Nah kita berharap begitu pakai topeng,
‘wajah’nya hilang, identitasnya tidak dia lagi.
Dia adalah hamba yang sedang bertafakur pada
Tuhannya. Sudah tidak ada ini anaknya siapa, ini
sekolah mana, ini orang mana, dan seterusnya.
Begitu kita bersembunyi di balik topeng, kita
­bertemu dengan kesejatian diri kita.

Topeng itu sering kali kita anggap ­negatif


kan dimana-mana, padahal topeng itu justru
yang menjadikan diri kita sesungguhnya. Itu sama
­dengan begini misalnya, kalau orang baca tulisan
terus komentar begini,

“Wah bagus ini, benar ini.” Tapi begitu tahu


yang menulis misal Emha Ainun Nadjib, “Wahhh...”
dengan nada menyesal. Jadi dia ‘ditutupi’ dengan
Emha Ainun Nadjib.

Kejujuran hatinya itu ditutupi oleh Emha


­Ainun Nadjib, sebab dia sudah punya ­sentimen,
punya stigma, punya dengki, punya apapun ­kepada
Emha ini. Jadi kalau bisa anda ­kemana-mana
­jangan bawa nama saya, itu lebih aman hidup.
Omongannya saja, kebijaksanaannya saja yang
dibawa, ndak usah nama saya.

213
#97

Rasulullah itu diutus Gusti Allah untuk


­menyempurnakan akhlak umatnya. Jadi Kanjeng
Nabi itu menyuruh kita jadi orang Islam dengan
KTP Islam atau menyuruh kita jadi orang baik?

Orang baik.

Kalau sekarang ini di negara kita, yang


penting KTP Islam atau kelakuan baik?

Mau identitasnya apapun, NU,


­Muhammadiyah, Banser, dan seterusnya itu semua
baik. Selama itu membuat diri kita dekat ­dengan
Allah dan membuat kita lebih baik pada ­sesama
manusia. Jangan sampai kita mengandalkan
­identitas.

Semua yang diciptakan Allah itu adalah


‘saudara’ kita. Mau tumbuhan ataupun hewan.
Jangan karena kita manusia terus kita merasa
­lebih tinggi daripada tumbuhan atau hewan, ­sebab
­mereka itu tidak pernah berdosa pada ­Allah.

Sedangkan manusia tempatnya salah dan


dosa. Karena itu jangan sombong pada siapapun
dan apapun.

214
Mau orang agamanya apa, alirannya
apa, tetap saudara kita. Misal kalau ada orang
­agamanya beda, terus kita ndak setuju, kita hina
dia. ­Padahal itu kalau disebut salah misalkan, itu
salahnya ke kita apa ke Gusti Allah?

Allah. Oke, tapi kenapa kita ikut usil?


­Padahal dia itu salahnya bukan ke kita. Sama
­dengan kalau ada orang ndak ibadah, itu salahnya
ke Allah atau atau ke kita? Allah kan?

Terus kalau ndak ibadah itu apa kita berhak


menghina atau mengkafir-kafirkan? Padahal itu
urusan seorang hamba ke Allah. Kita hanya boleh
mengingatkan sedikit dengan halus dan lembut,
tapi kita tidak boleh memusuhi dia, tidak boleh
mengkafirkan orang.

Misal masalah kafir itu tadi, itu urusan


­seseorang dengan Tuhannya. Dan orang kafir atau
tidak kan bagaimana hatinya, dan perkara hati
yang tahu cuma Allah saja. Jadi kita tidak berhak
menghakimi siapa-siapa.

Mulai sekarang tidak usahlah kita


­mengkafir-kafirkan orang, membesar-besarkan
orang, merendahkan orang, kagum-kagum sama
orang. Kita biasa-biasa saja, sekaligus tetap
waspada. “Sesungguhnya shalatku, ibadahku,
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan
semesta alam.” Kira-kira seperti itu.

215
#98

Saya menganjurkan anda manja pada Allah.


Lho kalau kita akrab sama Allah, masa salah?

Kan kita ndak melanggar syariat ­apa-apa.


Sekarang ini Tuhan dimonopoli sih sama
­makelar-makelar. Kalau ndak cocok sama makelar,
berarti kita ndak bisa langsung akses ke Allah, kan
gitu.

Saya mohon dengan sangat, mulailah ­punya


akses langsung dengan Allah. Meskipun tetap ­harus
hati-hati, dirasakan, diukur dengan nurani dan
akal sehat kita. Tapi anda harus punya akses anda
dengan Allah. Ibarat anda shalat, diantara anda
dan Allah tidak ada apa-apa.

Selama ini kan kita ada pihak lain, pihak lain


ini maksudnya yang memonopoli Tuhan ­sehingga
kita ndak punya akses langsung. Sebab kita akan
disalahkan kalau anda mengakses langsung,

“Kamu ndak bisa baca Al-Qur’an, kamu ndak


ngerti bahasa Arab, kamu ndak punya ­ilmunya.”
Semacam itu.

Banyak alasan yang membikin kita ndak


berani akrab dengan Allah. Jadi kalau mau akrab
sama Allah harus lewat ‘makelar-makelar’ itu tadi.

216
Nah saya juga jangan dijadikan makelar
itu. Mungkin saling belajar bisa, tapi kalau anda
­memakelarkan saya dan saya memakelarkan anda
ke Allah, saya salah.

Maksud saya, Allah bukan cuma hak saya


seorang dan anda boleh menafsirkan ­dengan
berdaulat pada diri anda masing-masing, ­sesuai
nurani dan akal sehat. Meskipun nanti ada
­akibatnya, makanya kita hati-hati betul dan kita
pikirkan betul. Tapi maksud saya, kita mengakses
Allah langsung.

Selama ini kan kita dihalangi. Misal kita


ndak cocok ibadahnya seperti mahdzab A, salah.
Tarawih cepat salah, tarawih lambat, salah.
Jadi kita itu ibadah tidak ditentukan Allah, tapi
malah ditentukan makelar-makelar ini. Saya ndak
­mengatakan makelar itu siapa, tapi saya harap
anda mengerti maksud saya.

Kita tidak bermaksud meremehkan ­Allah,


­tidak menggampangkan Allah, tapi kita juga ­jangan
tidak percaya dengan kasih sayangNya. Meskipun
anda merasa Islam KTP. Kita hanya bisa coba terus
mencari presisi yang tepat dengan Allah.

217
#99

Tidak ada makan yang lebih nikmat ­dibanding


makannya orang berpuasa. Selama ini kebudayaan
kita dan pemikiran kita mengenai puasa memang
baru di situ letaknya. Bahwa ­berbuka puasa itu
kan kaya hari raya-nya puasa.

Sebenarnya kalau kita mau agak lebih


­‘ngeyel’ sedikit dan mau meningkatkan ilmu, kita
bisa melihat berbuka puasa itu sebagai sebuah
pengabdian dan toleransi.

Sebab kalau anda memang sudah ­terbiasa


berpuasa dalam kehidupan, lah kalau magrib saja
kita mampu, mau isya’ buka-nya kita juga ­mampu,
tapi saya memilih pada magrib, sebab saya
­mencintai Allah dan ibu saya yang ­menyiapkan
­hidangan buka puasa.

Jadi sebenarnya kalau kita mau ­mencari


­nilai-nilai yang dilain segi dari tradisi kita
­sehari-hari, sesungguhnya hidup kita akan ­memiliki
dialektika untuk semakin matang.

Ibaratnya, kita lomba marathon. Kalau


­takaran kita, kuda-kuda batin kita hanya ­sampai
ke garis finish, maka kita akan berpesta pora
­begitu mencapainya.

218
Tapi kalau sejak awal kuda-kuda ­batin
anda, anda memohon energi dari Allah dan
­menggali ­energi dalam diri anda sendiri untuk satu
­kilometer sesudah garis finish, maka anda begitu
ketemu garis finish, anda tidak kaget, anda tidak
­berfoya-foya, anda tidak melonjak-lonjak dan
sebenarnya anda lebih matang daripada sekedar
seorang juara yang mencapai garis finish.

Itulah orang yang puasanya melampaui


buka. Meskipun ketika magrib tiba, dia tetap
mencintai Allah, menghormati Allah, menghormati
ibunya yang memasak, dengan memakan hidangan
buka puasa.

219
#100

Bulan Ramadhan itu oleh Allah memang


dikhususkan, jadi satu tahun itu ada satu bulan
­Ramadhan. Sudah pasti, itu masalah ­pendidikan,
itu seperti tentara jam sekian sampai jam ­sekian
harus apel, jam sekian sampai sekian boleh
­olahraga, jam sekian boleh tidur dan seterusnya.
Itu sudah pasti masalah pelatihan.

Artinya kalau Ramadhan itu adalah ­bulan


pelatihan, maka sesungguhnya puasa yang ­sejati itu
harus diterapkan dalam kehidupan terus menerus,
kapan saja tanpa menunggu bulan ­Ramadhan.

Sebab kalau kita nggak diingetin, ya kita


memang sudah terbukti kita ini malas berpikir,
­kebanyakan manusia malas merenung, malas
­menganalisis segala sesuatu termasuk merenungi
dirinya sendiri.

Sehingga kalau nggak diingetin itu ya susah.


Jadi Allah memang menciptakan makhluk yang
­kalau ndak diingetin terus menerus bakal seperti
ini. Lha kita itu diingetin aja masih sering ndak
puasa, apalagi nggak diingetin.

Jadi sekali lagi Ramadhan itu kita pahami


sebagai jam-jam pelatihan, jam-jam pendidikan.

220
Nah praktek puasa yang sebenarnya adalah
seluruh kehidupan ini, di segala bidang, termasuk
di bulan Ramadhan.

Oleh sebab itu indah sekali kalau sejak ­kecil


anak-anak tidak hanya dibiasakan berpuasa dalam
arti tidak makan-minum ketika siang hari, dicicil
sedikit demi sedikit sehingga anak-anak ­memahami
kalau puasa itu prinsip hidup ­sehari-hari.

221
#101

Kalau pedekate atau pendekatan sama


perempuan, biasanya ada laki-laki yang ­telaten
atau bahasa Indonesia-nya sungguh-sungguh.
­Walau ditolak berkali-kali, tetap usaha mendekat.

Berarti itu sungguh-sungguh kan orangnya?

Sekarang pertanyaan dari telaten alias


sungguh-sungguh itu begini, anda sama Gusti Allah
itu sungguh-sungguh atau tidak?

Kalau sama anak perempuan, bisa telaten,


sama istri, bisa telaten, sama anak, bisa telaten,
tapi kita kalau sama Allah telaten tidak?

Atau gini, menurut anda itu Gusti Allah


telaten tidak pada anda?

Telaten maksimal ya kalau Allah sama kita


itu.

Kita itu sering salah juga, Allah masih


­sabar. Ada orang musyrik, selingkuh, membunuh
orang, mencurangi orang, dan seterusnya yang
­buruk-buruk itu, Allah tetap telaten, tetap di ­kasih
rahmat. Tetap bisa bernafas, bisa buang air kecil,
dan seterusnya. Allah sangat telaten pada kita.

222
Nah, kita sekarang ini telaten nggak sama
Gusti Allah?

Misalnya, anda punya ilmu, punya keahlian,


punya harta, punya jabatan, punya modal tapi
anda tetap tidak bisa menentukan nasib anda. Jadi
nasib itu dipegang oleh Allah. Allah maunya apa,
ya itu yang terjadi. Allah tidak ingin itu terjadi, ya
mau gimana pun tetap nggak bakalan terjadi.

Kita telaten tidak dengan maunya Allah?

Misal kita itu sudah modal ibadah, modal


ilmu, modal apa saja, tapi kok ndak terwujud ya
keinginan saya? Anda tetap kalah dengan nasib,
kan begitu. Nah makanya dekat-dekatlah sama
yang punya dan menentukan nasib. Makanya kita
itu harus telaten sama Gusti Allah.

Jangan maunya minta terus langsung


­dikabulkan saat itu juga. Jadi sabar sama
­kehendakNya, memahami bagaimana sebenarnya
apa maunya Allah itu, dicari terus, istigfar terus,
kalimat toyyibah terus, sampai suatu hari Allah
tidak tega untuk tidak menunjukkan rahasianya.
Jadi telaten lah sama Allah.

Misalnya telaten itu gini, shalat subuh sama


shalat dzuhur itu kan lebih lama shalat dzuhur.
Kadang-kadang kita merasa tidak telaten, tidak
shalat dzuhur empat rakaat.

223
Atau pas subuh, ngeluh, “Harus bangun
pagi, shalat, males banget.” itu kita sedang nggak
telaten dengan Allah. Padahal itu kan salah satu
jalan untuk mendekatkan diri kita pada Allah.

Padahal kalau mau telaten sama Allah itu


berkah luar biasa, luar biasa bahagianya. Kalau
kita sudah biasa wiridan misalnya, kita ndak mau
berhenti, dan seterusnya. Kalau kita sudah biasa
telaten pada Allah itu kita ndak mau berhenti.

Dunia ini rasanya sudah ndak penting. Di


­dunia juga kan hanya sebentar, nggak sampai
­seratus, dua ratus tahun. Jadi ndak ­penting-penting
banget, rumah di dunia ini, asal bisa buat ­berteduh
gitu ya.

224
#102

Dirimu kan mau buat kopi sendiri ya, atau


ada tamu, terus anda bikin teh satu teko. Terus
anda mau menuangkan air ke gelas, coba kita
berimajinasi sebentar, apa yang membuat anda
­tidak jadi menuangkan air ke gelas tadi?

Gelasnya kotor. Jadi kalau gelasnya kotor,


anda mau tidak menuangkan air?

Kalau anda mau menimba air, zaman ­masih


ada sumur dulu, kalau timbanya itu berlumut kan
tidak enak airnya mau diminum, anda tidak mau
mengisinya. Misalnya lagi, di warung itu kalau
tempat masak airnya jarang dicuci kan jadi ndak
enak airnya.

Jadi sekarang kita menuangkan minuman ke


gelas itu akan batal kalau gelasnya kotor. Sekarang
ibaratnya, minuman yang akan dituang itu rizkinya
Allah, hidayahnya Allah, berkahnya Allah.

Supaya Allah gembira memberi kita


­rizkiNya, memberi berkah, memberi hidayah,
memberi ­apapun saja yang kita butuhkan, maka
syarat utamanya itu kita rajin membersihkan diri
kita sendiri. Hati kita, pikiran kita, hidup kita.

225
Sebab nanti setelah jam sebelas malam,
­Allah mengatakan,

“Aku turun langsung ke atas bumi dan


membawa dua teko, yang satu adalah teko untuk
mengampuni kalian semua, yang satu adalah teko
untuk menaburi rizki dan berkah pada kalian.”

Nah sekarang kalimat tayyibah, diantara


kalimat-kalimat yang baik yang diajarkan oleh
­Allah, yang paling efektif untuk membersihkan diri
kita itu kalimat apa?

Astaghfirullahaladzim.

226
#103

Semua manusia di seluruh dunia ini salah


dalam melihat dirinya, salah dalam melihat
­manusia, salah dalam melihat alam semesta dan
salah dalam melihat Gusti Allah. Itu sejak dulu dan
sekarang puncak kesalahan itu.

Sudahlah, anda bikin apa saja itu pasti


­hancur, sekarang ini. Sekarang sudah ndak ada
NKRI harga mati, sebab sudah ndak ada ­harganya.
Sejak angka satu saja dia sudah salah, duanya
­pasti meleset, tiganya juga begitu dan seterusnya.

Salahnya itu apa?

Misalnya, karena institusionalisasi,


­kemudian ada penggolongan, dikotomi, madzhab,
dan seterusnya. Tiba-tiba kita mengatakan, kita
berpikir kalau Islam itu sebuah pilihan, ada ­pilihan
yang lain, kalau kita perdalam lagi, Tauhid itu
­dianggap pilihan.

Itu berarti ada pilihan yang lain. Padahal


hidup ini ndak ada pilihan lain kecuali Tauhid.

Anda mau lari kemana lagi?

Tidak ada pilihan.

227
Meskipun anda tidak mau Tauhid, anda
tetap tidak bisa tidak Tauhid. Nah itu nanti
­berakibat pada cara berpikir, metodologi ilmu,
tata ­akademik, tata kelola, pembangunan, dan
seterusnya.

Mudahnya gini, sudah saya mudahkan tapi


memang sulit sebab sudah sekian ratus ­generasi
kita salah. Jadi misalnya, kita ini sekarang
­materialisme. Terus lawannya adalah ­spiritualisme,
gitu ya. Itu kita bikin lawan.

Dunia sama akhirat, gelap dan terang, itu


kan dikotomi semua. Mohon maaf ya, kalau saya
teruskan, bagus dan jelek itu ya salah.

Saya pernah mengatakan, hidup itu


­merohanikan diri. Ibaratnya hardware itu bagian
dari software, hardware itu wujud yang paling
sederhana dari software.

Yang disebut jasad, jasmani, itu sebenarnya


adalah yang terjangkau oleh yang paling ­sederhana
dari software manusia. Misal panca indera.

Terus kalian menyangka kalau Al-Qur’an itu


ya Mushaf itu. Kalian menyangka kalau itu gula,
itu air. Itu wujudnya bukan benar-benar airnya.
Jadi misal gini, anda punya uang seratus ribu,
bagaimana cara merohanikannya?

228
Pakailah uang seratus ribu itu untuk
­melakukan hal-hal yang disukai oleh Allah. Kalau
engkau disukai Allah dengan uang seratus ribu itu
tadi, maka anda akan terseret oleh magnet ­Allah
sehingga kelak anda akan mengalami Tauhid.
­Sebab anda berproses untuk Tauhid.

Kita bikin negara, sistem, nilai, ­ideologi,


bahkan bikin hukum positif, semua itu kita
­rohanikan. Caranya merohanikannya adalah
­menggunakan semua jasad, benda, uang dan
semuanya itu untuk yang diridhoi Allah.

229
#104

Hanya Allah yang memiliki kebenaran


­mutlak, dan yang saya kemukakan ini belum
­tentu benar. Jadi tolong temukan kebenaran pada
­kejernihan pikiran anda masing-masing.

Ulama itu bukan lebih tinggi dari Umara,


juga lebih tidak benar lagi kalau Umara lebih
tinggi dari Ulama. Itu bukan soal tinggi rendah, itu
soal ranah yang berbeda.

Jadi Umara itu eksekutor teknis dari


­urusan-urusan kehidupan. Kalau Ulama itu ­penggali
nilai-nilai Allah, kemudian dia rumuskan menjadi
bahan pertimbangan untuk para eksekutor teknis
kehidupan tadi itu.

Jadi Ulama itu wilayahnya sangat ­rohaniah.


Ilmu itu rohani, bukan materi. Jadi agak
­menggelisahkan kalau ada ceramah, “­Materinya
adalah...” Sebab kalau materi itu ya batu sama
alat-alat bangunan, makanya namanya toko
­matrial.

Kalau ilmu bukan materi. Jadi, “Materinya


apa?” itu mungkin kesalahan filosofi yang tidak
­disengaja oleh dunia persekolahan dan ­universitas.
Tapi ya ndak apa-apa.

230
Ulama itu urusannya rohani, jadi ­wilayahnya
langit ke bumi. Kalau Umara ­urusannya adalah
dari bumi mengharap langit. Jadi kalau ­eksekutor
teknis, atau pemerintah, atau Umara, itu ada
­urusannya sama padatan-padatan materi. ­Misalnya
jabatan presiden, gubernur, kepala dinas dan
­sejenisnya, itu kan padat.

Tapi kalau Ulama, tidak ada jabatannya.


­Tidak ada yang padat. Ulama itu transformator
dari hidayah Allah kepada khilafah di bumi. Jadi
sangat tidak bisa dipahami kalau Ulama dijadikan
lembaga dan dipahami sebagai jabatan.

Dan lebih tidak bisa diterima oleh akal lagi,


kalau lembaga para Ulama itu justru dibawahi dan
diciptakan oleh lembaga Umara, yang teknis.

Jadi sebenarnya tidak ada tinggi rendah,


nomor dua tidak ada padatan atau materi pada
Ulama. Sultan Agung itu Ulama-nya adalah orang
tukang cari rumput dan ngurusi kudanya. Jadi
­kalau ngomong jabatan, dia sangat rendah.

Di dalam wayang ada yang namanya


­Punakawan. Punakawan itu bukan pembantu,
­bukan buruh, bukan badut, sebagai mana ­dipahami
anak-anak muda sekarang. Punakawan itu adalah
para Ulama yang jauh lebih mengerti nilai-nilai
kehidupan dibanding raja, dibanding priyayi.

231
Semar itu ilmunya komprehensif dan
­kosmologis. Petruk itu cendekiawan yang
­eksplorasi akal pikirannya luar biasa. Gareng
itu seorang ­filosof yang canggih. Dan Bagong itu
­budayawan dan pelaku budaya yang sangat luar
biasa ­kelincahannya, dari khusyuk sampai lucu.

Dan mereka bukan lebih tinggi dari raja,


juga bukan lebih rendah dari raja. Mereka
­ranahnya berbeda. Punakawan adalah orang yang
sudah tidak punya naluri untuk berkuasa, tidak
­punya keinginan, tidak punya ambisi. Jabatan
tinggi apa rendah, sudah bukan urusan lagi untuk
Punakawan.

Demikian juga bagi para Ulama. ­Ulama


itu bukan karier, bukan sukses dunia, bukan
­jabatan-jabatan yang rendah atau tinggi. Maka kita
betul-betul mengharapkan ada ­manusia-manusia
Mukhlisin, yang mentransformasi nilai-nilai Tuhan
untuk jadi pertimbangan bagi para eksekutor atau
raja-raja, presiden, sampai lurah.

Dan tidak ada ketergantungan materiil


­apa-apa diantara keduanya. Itulah Punakawan,
apalagi Ulama. Punakawan yang idenya ­horizontal
saja sudah zuhud seperti itu. Apalagi Ulama,
­Ulama itu tanda utamanya adalah orang-orang
yang ­zahid, yang dunia itu bukan urusan besar bagi
dia. Urusan besar bagi dia adalah ridho Allah.

232
#105

Entah kebetulan atau begitu rencana ­Allah,


saya itu sendiri atau dengan kiai kanjeng itu kan
diperintah untuk kesana kemari. Kalau istilah
kawan-kawan kiai kanjeng, diperjalankan.

Ya kita ge-er kalau Allah ­memperjalankan.


Tapi kalau disebut ge-er ya tidak, kan angin
­berhembus itu juga dihembuskan oleh Allah.

Mungkin ge-er tapi itu doa kita, agar setiap


langkah kita tidak ada yang lain selain Allah yang
melangkahkan kita. Nah disetiap awal pertemuan
kita dengan umat, dimanapun saja, selalu saya
merasa penting untuk menekankan kalau anda ini
jangan percaya sama saya.

Jangan anggap omongan saya ini benar.


Jangan yakini kalau omongan saya ini baik. Saya
datang itu bukan untuk anda percaya. Tapi untuk
nolongin atau membantu, siapa tahu kedatangan
saya itu menambah kepercayaan anda pada Allah
dan Rasulullah.

Kalau hasilnya adalah percaya pada


saya, harus dikonfirmasikan dulu, apakah itu
segaris ­dengan kepercayaan anda pada Allah dan
­Rasulullah?

233
Kalau kepercayaan anda pada saya, tidak
segaris dengan kepercayaan anda pada Allah dan
Rasulullah, maka harus anda coret nama saya,
­harus anda hilangkan eksistensi saya.

Itu saya tekankan sedemikian rupa dengan


resiko saya boleh diusir dari acara. Boleh anda
gugat, anda teriakin, anda suruh pulang dan saya
akan taat untuk pulang. Turun dari panggung. Ndak
ada masalah.

Sebab tujuan saya adalah menambahi


­kemungkinan pada diri anda semua, agar fokus
dan percaya pada Allah dan Rasulullah. Kalau saya
bisa jadi bahan dari kemungkinan anda percaya
pada Allah dan Rasulullah, akan bagus.

Kalau apa yang saya omongkan dan ­kehadiran


saya itu mengurangi totalitas ­kepercayaan anda
pada Allah dan Rasulullah, berarti saya berposisi
negatif.

Kenapa saya bersikap seperti itu?

Sudah saya jelaskan kalau anda ­menghadap


Allah itu jangan ada siapa-siapa. Termasuk ­jangan
sampai ada saya. Sebab Allah sendiri ­berfirman,

“Taatlah pada Allah, para Rasul dan Ulil


Amri, orang-orang yang engkau percayai sebagai
­pemimpin dari kalian.”

234
Kalau ini retorika, biasanya tidak ­perlu
­mengulang-ulang perintah. Tapi ini enggak. Ini
­diulang lagi, tapi ketika sampai ke Ulil Amri ndak
diulang lagi. Jadi saya menafsirkan ini ­bukan
­retorika. Ini prinsip dasar. Bahwa kalau ada
kata ‘Athi’u’, yaitu Allah dan Rasul, itu mutlak.
­Pokoknya taat mutlak.

Tapi kalau pada Ulil Amri, sebab ­disusunan


kalimat itu ndak ada kata ‘Athi’u’, menurut
saya kalau ketaatan pada Allah dan Rasulullah
itu ­absolut, tapi pada penerus Rasulullah saja,
­termasuk saya, kiai, mursyid, majelis ulama kayak
apapun, siapapun, yang bukan Allah dan Rasulullah
itu bersifat relatif.

Anda harus mempertanyakan, meragukan,


mempertimbangkan, menghitung, bermuhasabah
setiap yang anda dengarkan dari yang bukan Allah
dan Rasulullah. Kalau Al-Qur’an dan hadits shahih
itu mutlak. Itupun yang hadits harus anda kejar,
anda teliti keabsahan dan otentiknya.

Tapi kalau selain Allah dan Rasulullah itu


ndak pakai kata ‘Athi’u’, jadi kita tidak bisa shalat
karena selain Allah dan Rasulullah.

Kita melakukan kebaikan apapun itu bukan


karena kita taat pada kiai, ustadz, mursyid atau
siapapun, tapi taat pada Allah dan Rasulullah.

235
Oleh sebab itu, Alhamdulillah saya
­dibebaskan Allah dari keinginan untuk jadi
­pemimpin anda kiai anda, ustadz anda, atau
­apapun. Sebab saya dengan siapapun manusia yang
lain, itu posisinya beda dari Allah dan ­Rasulullah.
Jadi sekali lagi, jangan percaya pada saya, jangan
taat pada saya, karena sudah jelas.

236
#106

“Shadaqallahul Adzim.”

Kalimat ini sangat penting untuk tema kali


ini. Sebab muaranya, bahkan hulu hilirnya adalah
itu. Jadi misalnya, sekarang ribut ­dimana-mana
soal bid’ah. Tidak ada ujung pangkalnya,
­muter-muter ndak karuan.

Akhirnya reaksi yang terjadi adalah ­anarkisme


yang halus atau kasar. Yang ­menuduh-nuduh ­nanti
juga mengambil keputusan untuk meletakkan
orang yang disebut ahli bid’ah, tidak lagi sebagai
saudaranya. Tapi sebagai ­musuhnya.

Terus nanti yang dipermusuhi ini juga


­akhirnya bereaksi dengan retorika juga, misal
membikin kaos ahlul bid’ah wal jamaah. Sangat
menyenangkan sebenarnya semua itu.

Tapi saya kira ada baiknya para pemimpin


umat untuk kumpul dan menyepakati fatwa-fatwa
yang sederhana tapi dewasa sekaligus mendalam
mengenai bid’ah.

Sebab yang jadi wacana klasik ­mengenai


bid’ah itu ada bid’ah khasanah dan bid’ah ­dhalalah.
Kemanapun saya pergi, itu kembalinya ke situ.

237
Ya tapi kan memang bid’ah ada yang
­dhalalah ada yang khasanah. Terus saya tanya,
“Lho, yang mengambil keputusan suatu hal itu
khasanah atau dhalalah siapa?”

Kalau ada kelompok berdebat soal itu, ­terus


siapa yang mengambil keputusan finalnya?

Jadi ini tidak menyelesaikan masalah. ­Sebab


pengambilan keputusannya adalah Shadaqallahul
Adzim. Allah yang Maha Benar, Maha Mengetahui
kebenaran karena kebesaranNya. Artinya kembali
ke Allah lagi.

Maka satu-satunya yang harus kita ­landaskan


pada kesadaran kita adalah kita tidak bisa
­memaksakan kehendak kita ke orang lain. ­Sebab
bagi orang lain, kebenaran kita itu tidak benar.
Dan mungkin bagi kita itu kebenaran orang lainlah
yang tidak benar. Jadi itu yang disebut relatif.

Maka yang mutlak itu, Shadaqallahul


Adzim. Maka saya selama ini mencoba ­mengurangi
­perpecahan sosial di daerah-daerah yang
­diakibatkan oleh bid’ah. Akhirnya saya coba ­ngasih
tahu, setahu-tahu saya, lha wong saya itu bukan
Ulama, bukan orang yang punya wewenang untuk
itu.

Tapi karena niat saya adalah ­mengurangi


orang bertengkar, mempersatukan kembali
­persaudaraan umat dan semua manusia.

238
Maka saya kasih rumus, bid’ah itu kan ­segala
sesuatu yang tidak dilakukan, tidak ­diperintahkan,
tidak dianjurkan oleh Rasulullah. Kalau kita
­lakukan namanya bid’ah. Nah, ­persoalannya
­sekarang pada skala mana peraturan itu berlaku?

Menurut saya, bid’ah itu wilayahnya adalah


ibadah Mahdhah. Ibadah Mahdhah itu ­segala ­sesuatu
yang dari Allah ke kita, kalau ­ibadah ­Muamallah
itu dari kita ke Allah. Kalau pakai ­bahasa ­modern
yang dari Allah ke kita itu ­namanya religion
atau agama. Tapi kalau dari bumi ke ­langit alias
usaha-usaha kita dengan cara kita ­sendiri ­untuk
mendekatkan diri kita pada Allah dan ­Rasulullah
itu namanya Muamallah.

Orang bikin shalawatan misalnya. ­Kemudian


orang mengembangkannya karena cinta pada
­Rasulullah, maka membikin syair-syair, ­seperti
Imam Bushiri umur 64 tahun, sakit kemudian
buta mata beliau, sehingga menulis syair-syair
untuk ­Rasulullah di akhir hidupnya. Itu untuk
­mendekatkan diri dari bumi ke langit kan gitu.

Nah, bid’ah itu berlaku kalau ibadah


­Mahdhah, rukun Islam itu anda rubah-rubah, ­tidak
sama dengan Rasulullah. Tapi kalau di ­ibadah
­Muamallah itu ndak apa-apa anda melakukan
‘bid’ah’. Misal dulu tidak ada listrik, sekarang
ada. Dulu naik haji pakai onta, sekarang pakai
­pesawat.

239
Itu justru bid’ah yang di ibadah ­Muamallah
itu adalah yang disebut Ijtihad, Tajdid atau
­pembaharuan, inovasi, penemuan baru. Di
situ malah lebih jelas mana Dhalalah, mana
­Sayyi’ah-nya. Dhalalah adalah kalau tidak baik
­untuk kemaslahatan masyarakat. Khasanah kalau
dia terbukti bermanfaat bagi manusia.

Jadi supaya tidak bertengkar terus, ­tolong


bid’ah itu dipahami di wilayah ibadah ­Mahdhah.
Kalau ibadah Muamallah, Rasulullah dulu ­tidak
pernah pakai mikrofon apa radio. Sekarang tetap
­boleh pakai radio amatir, radio profesional, ­asalkan
hasilnya bermanfaat untuk sesama ­manusia dan
mendekatkan semuanya pada Allah dan Rasulullah.

240
#107

Kalau saya menuduh anda kafir, musyrik


atau ahli bid’ah dan sebagainya. Itu ukurannya
apa?

Oh ukurannya syariat. Kan gitu kan?

Syariat itu sebagaimana anda ketahui dari


kata Syari’ itu jalan raya. Terus ada nanti ­Thariqat,
itu dari kata Thariq itu ya jalan. ­Kemudian ­Shiratal
mustaqim, As-sirat Al-mustaqim itu juga jalan.
Jadi Allah itu sangat memberi petunjuk pada
­hambaNya, bahwa proses kehidupan ini adalah
proses orang yang berjalan.

Jadi dia hampir selalu bersifat dinamis,


­sangat sedikit yang bersifat statis. Sedangkan
kalau saya menuduh anda Muslim itu kan statis,
karena identitas.

Sebab ternyata keislaman atau ­kemusliman


itu naik turun, bahkan bisa kita lepas dari
­keislaman. Sama dengan tuduhan kafir, musyrik
dan sebagainya.

Oleh sebab itu, kalau kembali ke ­ukurannya


syariat tadi harus kita pahami syariat Allah itu
bukan ibadah Mahdhah, dimana anda diwajibkan
bersyahadat, shalat, puasa, zakat dan haji.

241
Syariat Allah itu pertama-tama justru
­terletak pada hakikat pencipta. Bahwa air ­mengalir
ke bawah karena ada gravitasi, bahwa anda butuh
tidur sehari entah berapa jam, atau ada yang dua
hari dua malam tidak tidur.

Tapi Allah sudah menciptakan pola-pola,


sistem dan tatanan di dalam penciptaannya, ­sejak
manusia belum dibikin, yaitu sejak ada cahaya
yang terpuji, Nur Muhammad. Kemudian karena
itu Allah menciptakan alam semesta.

Di dalam penciptaan alam semesta ini


­ditentukan oleh Allah bermacam-macam ­sunnah
atau hukum-hukum alam. Nah hukum alam itu
­bagian yang justru paling infrastruktural dari
­syariat. Anda tidak bisa bikin mobil, tanpa
­mentaati sunnahnya Allah. Anda tidak bisa bikin
pesawat tanpa anda merespon gravitasi.

Jadi anda mau tidak mau, anda ­harus


­menjalani syariat Allah di dalam teknologi,
­peradaban dan kebudayaan apapun. Anda tidak
bisa mengelak dari hukum Allah atau syariat Allah.

Ya gravitasi, suhu, hukum elektron, proton,


neutron, dan sebagainya itu. Ya fisika, ­matematika,
ya semacam itu adalah hukum Allah. Bahwa anda
tidak punya angka terakhir dari hitungan yang
disebut infinity misalnya. Itu syariat Allah.

242
Jadi sebenarnya, shalat, puasa, atau haji
itu akan lebih dahsyat nikmatnya kalau sudah
anda sadari terlebih dahulu bahwa anda sudah
­selama ini mentaati syariat Allah pada skala alam
semesta, bahwa anda itu bagian dari hukum alam.

Anda butuh buang air kecil atau besar,


­minum air, butuh tidur, olahraga dan seterusnya.
Itu semua dalam rangka mentaati syariat Allah.

Jadi syariat yang dikenal sekarang kan


shalat, naik haji, dia lupa bahwa anda tidur itu
menjalankan syariat Allah. Sebab kalau anda tidak
tidur, anda merusak kesehatan anda.

Nah sekali lagi, untuk menemukan ukuran


untuk mengkafirkan atau memuslimkan orang lain
sebenarnya tidak bisa dipersempit hanya pada
skala ibadah Mahdhah, yaitu rukun Islam.

Jadi orang itu tidak mungkin kafir ­seratus


persen, sebab dia masih mandi, membersihkan
diri. Terus nanti di TK atau TPA ada plang itu,
“­Kebersihan sebagian dari iman.” Nah berarti
orang yang mandi, membersihkan diri itu dia
­menjalankan iman. Kan jelas kalimatnya.

Jadi mana mungkin orang itu kafir ­seratus


persen, juga mana mungkin orang itu muslim
­seratus persen. Anda juga jangan terlalu percaya
bahwa saya seorang muslim, sebab keislaman saya
dinamis.

243
Kadang-kadang keislaman saya bisa
­dipinggiran, kadang-kadang bisa memusat atau
malah bisa keluar.

Jadi anda jangan percaya pada saya,


­percayalah pada kebenaran Allah. Allah saja yang
anda percaya. Nah yang saya omongkan itu ­kalau
membawa anda pada Allah, ya Alhamdulillah.
­Kalau tidak ya sudah, anda hapus saja dari ingatan
anda.

244
#108

Entah sejak berapa tahun yang lalu, saya


itu disuruh menjawab pertanyaan banyak orang
yang tanya pada saya, dan saya menjawab. Kalau
bisa jarak antara kita kepada Allah itu jangan ada
siapa-siapa, harus kosong.

Nanti diujung kekosongan itu ada Allah


dan sudah pasti kalau ada Allah, ada Rasulullah.
­Sebagaimana kalau anda ketemu Rasulullah, tidak
mungkin Allah tidak bersamanya.

Maksud saya kosong itu misalnya saya


shalat. Di depan saya tidak ada apa-apa, kecuali
Allah dan Rasulullah. Bahkan tidak ada kata Islam,
tidak ada lembaga dan organisasi Islam.

Tidak ada Mazhab, tidak ada Syafi’i, Hanafi,


Maliki. Tidak ada NU, Muhammadiyah, MUI, ­apapun
saja tidak ada.

Di depan saya itu hanya kekosongan dan


ujung kekosongan itu adalah Allah dan Rasulullah.
Saya harus menyebut ini jarak, sebab saya tidak
boleh mengatakan kalau di antara saya dengan
Allah tidak berjarak. Itu akan menjadi kege-eran
yang luar biasa.

245
Andaikan pun ada orang yang sudah Tauhid
dengan Allah, sudah menyatu, sudah nyawiji.
­Selama dia masih hidup di dunia dan ­berdisiplin
pada hakikat jasadnya, ­kebudayaannya, dan
­seluruh tata nilai hidupnya yang salah satu
­anggotanya itu materi, di samping psikologi,
­rohani, pikiran yang semuanya bersifat abstrak.

Andaikan pun ada orang sudah ­nyawiji


­dengan Allah, dia tidak akan pernah berani
­mengatakan kalau dia sudah tidak berjarak ­dengan
Allah. Sebab begitu bahasa itu, susunan kalimat
itu didengarkan oleh penghuni dunia, itu langsung
merupakan kesombongan, takabur, dan tindakan
riya.

Bahasa gampangannya, “Wah ini orangnya


sok hakikat, sok sudah nyawiji dengan Allah.”

Jadi apalagi saya, yang memang belum


­menyatu dengan Allah, maka saya akan menyebut
ini jarak. Apa sebabnya saya mengatakan seperti
itu?

Sebab anda boleh ikut Thariqat apapun dan


bagus, saya tidak punya hak untuk melarang atau
mempertimbangkan apapun, itu hak anda. Anda
sangat boleh menjadi Nahdliyin, Muhammadiyin,
Syafi’iyin, Malikiyin, dan seterusnya. Bagus itu
semua. Tapi jangan lupa ketika menghadap Allah,
mereka semua tidak ada.

246
NU, Muhammadiyah, dan semua
­pemikiran-pemikiran yang menghasilkan
­aliran-aliran dalam Islam itu hanyalah ­laboratorium
yang memberikan anda wacana-wacana. Justru
tujuannya untuk mengotentikkan hubungan anda
dengan Allah. Gampangannya, kalau anda shalat
itu di depan anda tidak ada apa-apa, kecuali ­Allah.

Bukan hanya tidak ada organisasi,


­aliran-aliran Islam, tidak ada mazhab-mazhab,
tapi bahkan tidak ada kayu, tidak ada sajadah,
­tidak ada angin, tidak ada apapun. Bahkan ­tidak
ada suaramu sendiri, tidak ada dirimu sendiri
­sesungguhnya. Sebab yang menguasai ‘ruangan’
dimana engkau shalat itu hanyalah Allah dan
­Rasulullah.

Ini dimana-mana coba saya tekankan, ­sebab


pedoman kita kan Lillahi Ta’ala. Selalu ­kalau kita
bertanya pada publik dan umat ini kan, “Apa
­tujuan bapak-bapak, ibu-ibu?”

“Ridho Allah!”

Jadi ridho Allah itu artinya bukan yang


lain-lain. Termasuk jangan sampai ingat saya
­kalau anda shalat, jangan sampai anda berbuat
baik karena saya, jangan sampai anda meningkat
keislamannya karena saya. Saya hanya salah satu
wacana hidup anda, sama dengan pohon-pohon,
bunyi-bunyian, angin yang bertiup.

247
Saya hanya sekedar mengantarkan anda
supaya sampai kepada kemurnian, keaslian
anda. ­Kalau boleh saya sebut kesucian diri anda
di ­hadapan Allah. Sebab anda tidak berpakaian
­apapun, kecuali niat ibadah yang ikhlas dan cinta
yang murni pada Allah dan Rasulullah.

248
#109

Kayaknya saya ingin menambahi ­pendalaman


atau penegasan tentang keislaman seseorang atau
kekafiran seseorang. Termasuk saya. Pedoman kita
sudah jelas kalau yang benar-benar bisa menilai
atau mengadili seseorang itu islam atau tidak,
­kafir atau tidak, benar-benar hanya Allah.

Kita berposisi prasangka baik, melihat


­segala yang baik pada orang lain dan waspada
­terhadap yang buruk pada diri kita. Saya membaca
sebuah puisi yang begini,

Kau sangka aku ustadz,


Kau sangka aku seorang ustadz,

Kau sangka aku Muslim,


Kau sangka aku seorang Muslim,
Sebab kau temukan aku bersembahyang,

Padahal kau tak bisa membaca hatiku,


Kau tak mengerti niatku di balik sembahyang itu,

Kau pikir aku seorang yang sholeh,


Karena aku tampak khusyuk ketika aku berpuasa,
Sedang kau tak mengerti pikiran juga strategi di
balik ibadahku,

249
Bahkan kau tuduh aku kiai atau ustadz,
Berdasarkan peci, pakaian dan penampilanku,

Kalau bisa telitilah perilaku dan


manfaat-mudharat hidupku,

Sebab Islam itu kata kerja,


Bukan kata benda yang kaku.

Prinsip mengenai ini sudah kita ­obrolkan,


tapi saya ingin mengingatkan kita semua pada
cara masyarakat mengambil keputusan ­untuk
­menganggap, menuduh atau mengangkat,
­menjunjung seseorang itu musyrik, penganut
bid’ah, klenik, mistik atau seseorang itu bukan
hanya Muslim, tapi juga kiai, mursyid, syekh,
­maula atau paling tidak ustadz.

Di zaman ketika belum ada sistem dan pola


komunikasi yang nasional, yang setiap orang bisa
menemukan informasi tertentu dari balik bumi
dan langsung di dapatkan sambil tiduran di kamar
atau sambil buang air besar di WC.

Ketika itu seseorang dianggap baik atau


­tidak itu otentik, dia bergaul, dia mengetahui
baik buruknya orang itu, maka ketika seseorang
­dinobatkan oleh lingkungannya menjadi ustadz,
kiai, mursyid dan sebagainya itu otentik.

250
Sebab memang penelitian empiris
­masyarakat pada orang itu. Sehingga seseorang
disebut kiai atau apapun, itu yang mengambil
keputusan adalah umat.

Langsung yang tiap hari hidup bersama dia,


hidup tiap hari otentik, mengamati dan ­mengalami
kebaikan dan keburukan seseorang itu.

Ketika terjadi revolusi industri, ­kemudian


hidup jadi sangat ditentukan oleh proses dan
­mobilitas kapitalisasi, sampai kemudian ­kapitalisasi
itu menggumpal jadi ideologi ­kapitalisme,
dan itu berlangsung secara masif yang disebut
­industrialisme.

Umat menjadi menoleh. Dia tidak ­punya


kemampuan dan cara untuk menentukan orang
itu pantas disebut kiai atau tidak. Sebab yang
­menentukan siapa ustadz atau tidak adalah
­pemilik modal yang memiliki perangkat-perangkat
komunikasi dan informasi.

Gampangannya, sekarang ini siapa ustadz


apa bukan itu ditentukan oleh televisi. ­Sedangkan
televisi menentukan ustadz dan bukan ustadz
itu ­tidak berdasarkan kualitas kekiaian atau
­keislaman, tetapi berdasarkan siapa yang ­kira-kira
paling digemari orang. Misal yang lucu, yang
­konyol, pokoknya yang orang suka.

251
Jadi tidak ada hubungannya dengan
­kualitas kekiaiannya. Pada situasi seperti itu, ada
­peralihan yang sangat serius dari kedaulatan umat
untuk mengangkat atau mengakui seseorang jadi
pemimpin keislamannya, sudah diambil alih oleh
media massa dan pemilik modal.

Saya di tengah-tengah itu semua bersyukur,


sebab saya bisa dengan mudah mengelak untuk
­tidak mengakui diri saya sebagai kiai, ustadz, atau
siapapun. Sehingga saya mendapat peluang yang
luar biasa untuk tidak jadi siapa-siapa.

Saya hanya menjadi seorang manusia,


­hamba Allah yang mencoba mengerjakan Khilafah.
Sehingga baik buruknya saya, kiai bukannya saya,
tetap tidak ditentukan oleh media atau pemilik
modal. Tapi oleh umat di sekitar saya.

Apalagi, Alhamdulillah saya memang


­disuruh oleh Yang Menguasai saya untuk ­menolak
penampilan-penampilan di media-media yang
­sifatnya nasional atau internasional. Saya hanya
orang kampung dengan media kampung.

Alhamdulillah dunia berkembang seperti itu


dan saya bisa menyelamatkan kemanusiaan saya.

252
#110

Semakin berganti generasi, semakin ­terjadi


pelunturan atau distorsi ­pemahaman-pemahaman
terhadap hampir apapun saja. Bahkan ­pemahaman
terhadap negara, demokrasi, liberalisme,
­radikalisme dan seterusnya.

Kalau dalam Islam pemahaman terhadap


apa sih ulama itu, apa sih ustadz itu, apa sih
kiai itu, apa sih gus itu dan sejenisnya itu sudah
­terjadi silang sengkarut konotasi pemaknaan pada
­kata-kata itu semua.

Katakanlah saya ambil dua hal saja,


­anak-anak muda Islam mengenal kata Ulama ­tidak
dari wacana-wacana ilmu Islam yang luas atau
yang dalam. Tapi dari komunikasi kebudayaan dan
politik. Jadi sebenarnya terjadi seretan konotasi
dari denotasi.

Jadi ketidakpastian muncul dari


­kepastian-kepastian, akhirnya kepastiannya
­tertutupi oleh ketidakpastian-ketidakpastian.

Ini mirip akik lah, sebab orang tidak paham


bedanya batu dengan intan berlian, maka akhirnya
pusing mana batu, mana berlian, ya sudahlah akik
saja.

253
Sebab akik itu tidak bergantung ­denotasinya
atau kepastian definisinya. Akik itu tergantung
pendapatnya masing-masing, tergantung yang
mengiklankan.

Jadi booming akik itu sebenarnya adalah


cermin dari ketidakmampuan kita semua sebagai
masyarakat dan manusia mungkin juga sebagai
umat untuk memahami denotasi-denotasi.

Nah, dua hal tadi, yang pertama misalnya,


karena kata ulama itu dikenal dari koran, alat
­komunikasi modern, media sosial, berita-berita
politik dan sebagainya. Maka orang, terutama
­generasi muda, tidak pernah mendengar kata
­ulama dari pemahaman murninya.

Apalagi kata ulama ini sampai ke kita


­dicampur dengan status-status yang lain. Sebab
ulama juga dianggap status sosial bahkan dianggap
jabatan. Sehingga dibandingkan dengan jabatan
lainnya di bidang politik dan struktur sosial. Jadi
kata ulama ini bareng munculnya sama kiai, gus,
ustadz.

Sehingga orang tidak bisa membedakan,


yang gus itu kayak apa, yang ulama kayak apa,
yang ustadz atau kiai kayak apa. Nah ini membawa
kita ke faktor kedua, bahwa munculnya ulama dan
diangkatnya seseorang jadi ulama atau kiai dan
ustadz itu sudah campur aduk.

254
Kalau di Jawa, dihormati dengan kata kiai
itu ditemukan oleh umat atau masyarakatnya dan
diakui, kemudian didaulat untuk benar-benar jadi
pemimpin mereka.

Ketika negara sudah jadi perusahaan, dan


sifat perusahaan itu sangat industrial dan masif,
maka siapa ulama, siapa ustadz, siapa kiai tidak
lagi ditentukan masyarakat.

Jadi ada kebingungan generasi muda antara


ulama, ustadz, kiai dan gus tadi. Yang kedua lebih
parah lagi, sebab siapa ulama, siapa ustadz, siapa
kiai, siapa gus itu yang menentukan bukan lagi
rakyatnya. Itu mencerminkan rakyat sudah tidak
punya kedaulatan pengetahuan tentang siapa itu
ulama.

Bahkan gus bisa ditentukan oleh diri


­seseorang masing-masing, kadang saya ­dipanggil
gus dan saya selalu tertawa sebab saya sama ­sekali
bukan gus.

Saya hanya seorang guk. Guk itu panggilan


antar penggembala kerbau atau kambing di desa
saya. Jadi saya nikmat kalau dipanggil cak, sebab
cak itu sama dengan mas, abang dan seterusnya.

Nah yang mungkin jadi fokus kita adalah


ada baiknya anak-anak kita sejak balita, mulai
kita sentuhkan pemahaman murni tentang ulama.

255
Ulama itu jelas di dalam Al-Qur’an. Ustadz,
gus dan kiai itu hasil kebudayaan. Kalau kita
­tidak bisa bedakan itu, maka kita akan punya
­anak-anak cucu yang akan tersesat akal pikirannya
di dalam memahami kehidupan dan itu juga akan
­menghancurkan generasi selanjutnya.

256
#111

Mohon maaf saya selalu menekankan ­betapa


kebenaran sejati itu hanya di tangan Allah. Jadi
misal saya menuduh anda kafir, pelaku bid’ah,
­masuk neraka dan sejenisnya.

Itu tolong dipahami kalau tuduhan saya


itu relatif. Tuduhan saya itu tidak mutlak, sebab
hanya Allah yang tahu persis seseorang itu kafir,
muslim atau apapun.

Jadi sekarang kita harus memasuki wilayah


ini dengan suatu cara berpikir. Misalnya kalau kita
ngomong kafir kan berarti bukan Islam, bukan
muslim. Kafir itu subyek Fa’il dari kafara, ­yakfuru,
subyeknya kafir. Kalau muslim itu subyek dari
­aslama, yuslimu, muslim.

Nah cara berpikir yang saya tawarkan


adalah kata kafir atau muslim ini kata benda atau
kata kerja apa kata sifat?

Sebab kalau saya menuduh anda kafir itu


berarti kan saya pakai satu keputusan bahwa itu
subyek, kata benda, atau kata sifat. Pokoknya
anda itu orang kafir. Padahal sebenarnya kafir ini
kan unsurnya kufur, jadi perilaku kufur, perilaku
ingkar pada Allah.

257
Itu kan tergantung kasusnya, misalnya anda
melacur, anda mabuk, dan seterusnya. Itu kan
unsur kekufuran. Nah ketika saya menuduh anda
kafir kan hanya terbatas pada kasus-kasus dimana
anda melakukan kufur. Tidak berarti seluruh diri
anda adalah kafir.

Jadi di sini diperlukan ketegasan apakah


kafir dan muslim atau musyrik itu anda ­perlakukan
sebagai kata benda atau kata kerja atau kata
­sifat, atau kalau pakai idiom lain, itu identitas apa
perilaku?

Kalau saya bilang anda kafir berarti


saya memberi anda identitas bahwa anda kafir.
­Padahal kasusnya adalah saya menuduh anda atau
­menuding anda atau paling tidak menjumpai anda
sudah atau sedang melakukan tindakan yang kufur
atau syirik.

Kalau pakai cara berpikir itu, saya ­menjadi


mengklaim kalau seluruh diri anda itu adalah
­kekufuran. Padahal tidak mungkin ada manusia
yang seluruh dirinya itu kufur. Sebaliknya juga
­tidak mungkin seluruh hidup manusia itu muslim.

Manusia sangat rentan untuk ­sewaktu-waktu


melakukan sesuatu yang tidak Islam, apakah dalam
berdagang, berpolitik, dalam banyak hal. ­Sehingga
tidak hanya kafir atau musyrik, ­muslim pun itu
ternyata lebih merupakan kata sifat ­daripada
identitas.

258
Ketika anda shalat, katakanlah itu anda
muslim. Tapi sesudah anda shalat, terus ­melakukan
transaksi-transaksi yang riba, melanggar ­kejujuran
ekonomi atau hukum. Pada saat itu anda akan
­kafir. Jadi tidak bisa ada kartu identitas disebut
ini muslim, ini kafir.

Kan yang ada selama ini kan identitas itu


hanya muslim, apa kristen, apa buddha-hindu,
tapi tidak ada kafir. Padahal kayaknya rata-rata
kita semua ini sebenarnya kan sangat ­potensial
atau memang sudah, entah berapa kadarnya,
­melakukan kekufuran-kekufuran.

Dan itu bukan hanya hasil penelitian


dan pengalaman kita sehari-hari, Allah ­sendiri
­mengklaim bahwa manusia itu setiap hari dia
mengalami dinamika dari keislaman ke kekufuran
ke kemusyrikan.

Itu secara sangat dinamis, oleh sebab itu


Allah menyiapkan ibunya Al-Qur’an atau ummul
kitab, yang disebut Al-Fatihah.

Al-Fatihah itu ada kalimat yang ­berbunyi,


“Ihdinas siratal mustaqim” artinya ya Allah,
­tunjukkanlah aku atau kami jalan yang lurus.

­Kalimat itu hanya bisa diucapkan atau


­hanya ­cocok diucapkan oleh orang yang masih
bener-bener ­belum muslim.

259
Dia masih jalannya belok-belok, masih
­belum mustaqim. Orang yang minta makan adalah
orang yang lapar. Orang yang minta diberi jalan
yang lurus adalah orang yang jalannya belum ­lurus.

Saya kira Ihdinas siratal mustaqim itu suatu


monumen besar untuk penyadaran kita bersama
bahwa sudahlah kita ayo saling mendoakan dan
rendah hati satu sama lain.

Jangan terlalu gampang mengkafir-kafirkan


orang, karena toh tiap hari kita menyadari diri kita
ini banyak kesalahan, banyak kekufuran sehingga
selalu dalam shalat kita, sekian kali sehari, kita
ucapkan Ihdinas siratal mustaqim.

260
#112

Soal persatuan dan perpecahan itu Allah


kan jelas sekali tuntunanNya tanpa ditafsirkan
­sudah jelas.

“Berpeganglah pada tali Allah dan jangan


terpecah belah.”

Jadi kabel atau talinya itu simbol dan


­pusatnya adalah Allah. Sekarang kawan-kawan
­dimanapun anda berada, dalam jenis pekerjaan
apapun, menurut anda semua, kita ini ­berpegangan
di tali Allah apa nggak?

Apakah kita ini percaya bahwa Allah


­menghidupi kita?

Apakah kalau Allah mengatakan,

“Wahai hambaku, engkau lapar, kecuali Aku


kasih makan.”

“Wahai hambaku, engkau telanjang, ­kecuali


Aku beri pakaian.”

Percaya kita?

Kita pikir kita bisa makan karena hasil kerja


kita.

261
Memang, kalau kita tidak bekerja kita tidak
makan. Tapi cara Allah membuat kita bisa makan
adalah kita disuruh bekerja, berbuat baik terus
menerus.

Tapi kita ini tidak berpegangan


­bersama-sama ditali Allah, kita terpecah belah.
Seharusnya kita berpegangan, tapi malah tidak.

Jadi semua kita ini kan anti dan pro,


­anti-pro, anti-pro. Kita ini hidup hanya anti dan
pro. Dan itu pasti akan menuju kehancuran. Kita
tidak boleh benci, meskipun pada setan, pada
­iblis.

Kita tidak benci pada siapapun. Jadi jangan


pernah berharap, saya dan semua yang bersama
saya pro A atau pro B.

Kalau pun kami pada suatu saat itu ­nyoblos


atau memilih seseorang misalkan, itu kan kita
­dilindungi oleh prinsip bebas dan rahasia. Tapi
­kalau kita ditanya, pro mana? Pro NKRI. Anti mana?
Anti yang tidak NKRI. Kan begitu.

Nah ini jelas tuntunanAllah tadi. ­Berpegangan


pada Allah itu maksudnya ya ­berpegangan pada
rejekiNya, ilmuNya, ­budayaNya, ­apapun saja
dariNya. Keluarga kita itu juga berpegangan pada
Allah, masyarakat kita, sampai ke negara kita juga
berpegangan pada Allah seharusnya.

262
Lah kita ini ngakunya berpancasila, tapi
tidak berpegangan pada Allah. Ketuhanan Yang
Maha Esa itu Tuhan siapa?

Ya ndak jelas. Sumbernya dari mana, ngasih


tahu Tuhan dari mana juga ndak jelas. Jadi kita ini
bukan hanya tidak berpegangan pada Allah, kita
ini adalah bangsa yang sudah ndak berpegangan
pada Allah, ngakunya malah berpegangan lagi.

Jadi sudah pasti hasilnya adalah bercerai


berai. Supaya kita tidak cerai-berai maka kita
­pegangan tali Allah. Artinya kita ini berani mati
untuk berpegangan pada Allah, maksudnya kita
­tidak takut kelaparan, kita tidak takut apapun.
Sebab kita berpegangan pada Allah.

Dan saya Alhamdulillah diizinkan oleh ­Allah


untuk membuktikan itu sampai usia saya tua
­sekarang ini. Saya tidak berpegangan pada ­apapun
saja, tidak takut pada apapun saja kecuali Allah
dan Rasulullah, ibu saya dan sesepuh-sesepuh
saya.

Ini bukan soal saya. Tapi saya ingin


­mengatakan tuntunan Allah itu beneran, dan
itu bukan perintah tapi tuntunan supaya kita itu
­selamat dan sampai ke Tujuan Yang Sejati.

263
#113

Jangan salah paham mengenai empat sunat,


pertama Sunnatullah itu hukum dasar penciptaan
dari Allah. Termasuk gravitasi, hukum air, logam
dan seterusnya.

Sunnatullah itu pokoknya anda menjadi


anda itu adalah Sunnatullah. Anda lahir di ­Indonesia
itu Sunnatullah. Intinya anda tidak ­punya pilihan,
­tidak usah milih.

Nah kedua, Sunnaturasul atau Sunnah ­Rasul,


itu bagian dari Sirah Rasul kalau menurut saya.
Sunnah Rasul itu kalau saya ­menterjemahkan itu
budayanya Rasul.

Perilaku sehari-harinya Rasul, baik ­sebagai


Nabi ataupun sebagai manusia. Kalau mau
­didetailkan baik sebagai bapak, sebagai laki-laki,
makhluk dan sebagai apapun yang lain itu ­namanya
budayanya Nabi.

Terus yang ketiga itu Sunnah dalam Fiqh,


­wajib, sunnah, mubah, makruh, halal. ­Sunnah
dalam Fiqh itu artinya sesuatu yang ­kalau ­dikerjakan
dapat pahala, kalau tidak ­dikerjakan tidak
dosa. Nah Sunnah yang ketiga ini ­kadang-kadang
­dirancukan dengan Sunnah yang kedua tadi.

264
Sunnah Rasul itu dianggap berpahala ­kalau
kita lakukan, kan gitu. Jadi kalau Rasulullah
­jenggotan, anda terus ikut jenggotan, terus dapat
pahala. Sebab rumus yang kita terapkan di sini
­rumus yang ketiga, yaitu Fiqh. Jadi misalnya lagi,
Rasulullah kainnya di atas mata kaki, anda juga
celananya dinaikkan, anda dapat pahala.

Saya optimis anda dapat pahala. Cuma


­pahalanya adalah berasal dari cintamu pada
­Rasulullah. Bukan dari celana yang cingkrang,
­jenggot. Kalau jenggot pasti dapat pahala, itu ada
pertanyaan rasional yang luar biasa. Sudah ndak
beli pencukur, ndak cukuran, terus masa yang tiap
hari cukuran ndak dapat pahala?

Yang tidak rapi dibiarkan gondrong, malah


dapat pahala, kan gitu ya. Tapi kalau dilihat dari
bahwa anda mencintai Allah, ya dapat pahala
menurut saya.

Cuma kalau bisa jangan hanya jenggot dan


celananya yang ditiru, kan bisa keseluruhannya.
Misal naik haji nggak pakai pesawat tapi jalan kaki,
shalat malam terus di sepertiga malam, menangis
terus, dan seterusnya.

Kalau takjil pakai kurma, dapat pahala,


gitu kan sekarang? Kalau sawo apa telo nggak gitu?

Gimana rasionalitasnya ini?

265
Akhirnya kita impor kurma yang
­sebanyak-banyaknya supaya dapat pahala. Lho
kok Tuhan diskriminatif?

Kalau memang yang dapat ­pahala itu takjil


kurma, Ya Allah, tumbuhkan kurma di seluruh bumi
ini, kan gitu. Jadi kelihatannya, cara berpikir kita
yang mungkin keliru.

Lalu keempat, Sunat atau khitan. Nah


kawan-kawan tolong berpikir ulang, bahwa ada
empat macam Sunnah, yang dapat pahala itu
adalah konteks yang ketiga tadi.

Yang Sunnatullah itu kita nggak ada pilihan,


anda harus taat, sebab kalau nggak taat anda bisa
hancur. Seorang arsitek atau ilmuwan misalnya,­
­tidak bisa mengingkari Sunnatullah. Mau bikin
jembatan, bangunan, pesawat atau apa, harus
taat Sunnatullah. Nggak ada pilihan.

Kalau Sunnah Rasul, anda pikirkan ­kembali,


yang mana Sunnah Rasul yang wajib atau ­bagian
kita yang lebih tahu urusan kita, jadi yang
­diserahkan pada umat.

266
#114

Kita itu merasa lapar saat menjalani puasa


di bulan Ramadhan, salah satu sebabnya karena
kita sedang menghitung waktu. Kita sedang ingat
pada jam lima sore menjelang buka.

Kalau kita fokus pada waktu yang sedang


kita pijak, itu tidak ada lapar. Artinya puasa itu
sedang melatih kita untuk fokus pada ruang dan
waktu. Fokus pada rakaat yang sedang kita jalani,
fokus pada tugas yang sedang kita sanggah.

Kebanyakan orang memang pikirannya,


­hatinya dan kakinya itu tidak menyatu. Kakinya
baru menginjakkan pasar, hatinya sudah mikir
laba atau untung, pikirannya juga sudah entah
mengembara kemana. Kita baru pacaran itu kita
sudah berpikir untuk mencium. Hati kita sudah
mengembara sampai jauh ke depan. Kita tidak
fokus.

Sebenarnya kita menjalani ruang dan


waktu itu kalau fokus pada satu titik, maka
­produktivitasnya dan manfaat yang bisa tergali
dari situ sangat maksimal.

Tapi kita tidak terbiasa untuk itu sebab kita


selalu memecah-mecah pikiran kita, hati kita dan
langkah-langkah hidup kita.

267
Puasa ini Insyallah membuat kita
­menikmati jam delapan pagi, ketika jam delapan
pagi, ­menikmati jam sepuluh pagi, ketika jam
­sepuluh pagi. Menemukan hikmah jam dua belas
siang, ­ketika jam dua belas siang. Kalau jam dua
­belas siang anda membayangkan jam lima sore,
­mampuslah kita, laparlah perut kita.

268
“Tuhan tidak tersakiti oleh pengingkaran
anda. Tetapi Tuhan sangat tersakiti jika anda
­berpura-pura menyembahNya.”

- Mbah Nun -

269
#115

Mungkin karena kita ini hidupnya selalu cari


laba, cari untung, maka indikator agama itu selalu
kita letakkan pada kepentingan laba. Jadi kalau
kita shalat itu yang kita bayangkan itu pahalanya
berapa.

Para kiai, para ustadz bahkan ­memberikan


gambaran kalau engkau berada di shaf shalat
­terdepan, nanti dapat onta, belakangnya dapat
kerbau, belakangnya lagi dapat kambing, belakang
sendiri dapat ayam.

Nah, puasa tidak bisa begitu. Puasa


­Ramadhan itu milik Allah. Jadi jangan ­berpikir
mengenai pahala. Meskipun kalau engkau
­mengerti perilaku dan kemuliaan Allah, ketika
­Allah ­mengatakan puasa itu untuk diriNya, dan
kalau engkau rela bahwa puasamu yang sengsara
itu untuk diri Allah, maka sesungguhnya Allah akan
memberimu laba berlipat-lipat, berlimpah-limpah
ndak karu-karuan.

Jadi katakanlah, kalau shalat sehari lima


kali, anda membutuhkan setengah jam. Tapi kalau
puasa itu setengah hari, dia belas jam, dari subuh
sampai magrib.

270
Jadi kalau dihitung secara satuan waktu,
maka puasa adalah ibadah yang luar biasa ­dimana
Allah bersamamu selama panas-panasnya hari,
­Allah ada bersamamu sesudah engkau makan
­sahur, shalat subuh sampai nanti engkau berbuka
pada waktu magrib. Allah senantiasa bersamamu.

Tinggal engkau memohon setelah magrib,


kemudian isya, tarawih dan seterusnya, ­tinggal
engkau mohon untuk jangan sampai Allah
­meninggalkanmu dan tetap bersamamu. Sehingga
Allah adalah pihak yang selalu bersamamu, akrab
denganmu siang-malam.

271
#116

Berpuasa itu kalau kita kembangkan dia


­sebagai ilmu dan keperluan untuk menata dan
mematangkan perilaku kehidupan, tidak ­hanya
­individu, termasuk juga sosialitas, institusi,
­perusahaan, kenegaraan dan seterusnya.

Itu bisa kita simulasikan di dalam konteks


kalau puasa itu tidak hanya urusan mulut. Puasa
itu juga urusan telinga, mata.

Jadi kita dengan Ramadhan yang terus


menerus satu kali setiap tahun, itu sebenarnya
adalah kursus kilat sebulan, untuk ­meningkatkan
kemampuan kita mengukur seberapa banyak
kita mendengar, seberapa banyak kita baiknya
­ngomong, apa sih yang perlu kita lihat, dan apa
yang tidak perlu kita lihat.

Berapa persen mata kita ini kita atur ­dengan


prinsip puasa?

Bahwa tidak semua hal boleh kita lihat,


­tidak semua hal tepat kita lihat. Bahkan tidak
semua hal boleh kita pakai untuk mengizinkan
mata kita untuk menyaksikannya. Bahkan telinga
juga kita pilih, apa yang sebaiknya kita ­dengarkan,
apa yang sebaiknya tidak kita dengarkan.

272
Nanti kalau ini perhitungan masing-masing
dari mata dan telinga sudah lumayan matang dan
berkembang. Baru kita hitung lagi sebenarnya
mendengar dengan bicara, itu lebih banyak mana?

Mendengar dengan melihat itu lebih ­penting


mana?

Kalau kata Allah sih lebih penting


­mendengar. Jadi kalau ada pemimpin buta, masih
nggak apa-apa. Tapi kalau pemimpin itu tuli, ya
itu lebih bahaya.

Jadi sebenarnya puasa ini sebuah


­universitas yang luar biasa, dan kita nggak perlu
baca ­macam-macam, asal kita ingat punya mata,
punya telinga, hidung, mulut, kaki, tangan, kita
kaitkan dengan prinsip puasa. Itu kita sudah akan
jadi pendekar kehidupan yang luar biasa.

273
#117

Menjadi pengetahuan sehari-hari setiap


orang di desa atau di kota, di masa lalu atau di
masa kini, di kalangan umat Islam kalau Ramadhan
tiba, setan itu dibelenggu.

Ya kita kan belajar, kita kan berkembang


ilmunya, sehingga ada bahasa yang berkembang,
ada retorika, ada uslub dalam bahasa Arab, ada
susastra dalam bahasa Indonesia. Bahasa bukan
hanya ada tata bahasa, bahasa juga ada literatur.

Berarti setan dibelenggu itu kan pemaknaan


sebenarnya adalah pekerjaan puasa itu ­merupakan
metodologi untuk membelenggu setan.

Siapakah yang membelenggu setan?

Lho kan kita Khalifah-nya Allah, ya masa


Tuhan yang suruh ngerjain semuanya. Kita ­dikasih
tahu caranya, kita yang mengerjakannya, kita
yang membelenggu setan. Nah sekarang ­tinggal
­pandangan kita mengenai setan, mari kita
­perpanjang, perluas, perdalam.

Setan itu bukan sesuatu di luar diri kita,


­sebuah bentuk fisik atau jasad, setan itu kan bisa
frekuensi, sel, virus, kuman, koordinat-koordinat
dari suatu keadaan, bisa atmosfir.

274
Jadi setan itu adalah suatu potensi atau
kemungkinan yang terus menerus harus ­diselidiki,
yang membikin manusia sedemikian rupa
­kehilangan keseimbangannya, dan ini sangat luas.

Ketidakseimbangan dan keseimbangan


dalam diri manusia itu begitu luasnya. Sehingga
puasa itu membuat kita memiliki jarak untuk
­mencoba, menghitung kembali, faktor apa saja,
frekuensi mana saja, yang selama ini membikin
ketidakseimbangan dalam hidup kita, ­sehingga
produknya adalah kejahatan, kemaksiatan,
­keburukan, dan sejenisnya.

Puasa bisa kita bilang sebagai suatu desain


anti virus keburukan, kejahatan, kemaksiatan,
dan sejenisnya itu tadi.

275
#118

Kita itu kan punya pedoman begini, ­kalau


manusia itu jangan terlalu di tunggu-tunggu,
­jangan terlalu diharap-harapkan, jangan terlalu
diandalkan. Kita harus bisa mengandalkan jurus
kita sendiri, kemampuan kita sendiri.

Supaya kita nanti kepada orang lain itu


bisa diandalkan oleh orang lain, jangan hanya
­mengandalkan orang lain. Anda menikah misalkan,
andalkan dirimu sendiri, jangan mengandalkan
­pasanganmu.

Sekarang saya kembalikan pada diri anda


masing-masing. Anda dari kecil kan sama gurumu
ditanya,

“Kamu di masa depan ingin jadi apa?”

Itu dasar dan tradisi pendidikan kita, sejak kecil


sudah di dorong untuk jadi apa. Akhirnya ­meskipun
nggak tepat yang penting jadi, kan gitu akhirnya.

Akhirnya prosedur yang dia tempuh adalah


yang penting jadi, entah bayar, entah curang,
­entah segala macam caranya, penting jadi.

Sekarang saya tanya.

276
Anda itu pendapatnya gimana di antara
­pelajaran dasar kita 5W 1H (Apa, Siapa, Dimana,
Kapan, Kenapa, dan Bagaimana) zaman sekolah
dulu itu yang paling efektif yang mana?

Sebelumnya, kita pernah belajar, aman


itu dari bahasa Arab. Orang yang aman dan yang
­mengamankan namanya Mukmin. Caranya untuk
mengamankan pakai Iman. Terus kalau ­Mujahaddah
dengan hati berdoa pada Allah, puncak ­harapannya
berbunyi Amin. Jadi Aman, Amin, Mukmin.

Terus orang yang bisa memelihara ­keamanan


itu dia berarti punya senjata mental yang namanya
Amanah. Semua itu jadi satu. Nah sekarang anda
ingin jadi ‘apa’ atau ingin ‘kenapa’ atau ­ngapain,
misal saya ambil dua pilihan dari 5W 1 H tadi.

Penting mana?

Kenapa, ya.

Jadi yang penting manfaatnya, bukan


­identitasnya. Misal Maiyah kan ‘Kenapa’ itu tadi.
Tidak jadi ormas, tidak jadi parpol, tidak jadi grup
Thariqat, tidak jadi apa-apa.

Sebab yang penting kan ‘kenapa’ atau


­‘ngapain’. Tapi harus ada keikhlasan sejarah yang
luar biasa, sampai mati juga ndak jadi apa-apa.

277
Nah anda tidak apa-apa kalau misal jadi
siapa, jadi apa, tidak masalah. Tapi yang utama
tadi kan masalah “kenapa-nya”. Kalau gula itu dia
kenapa atau ngapain?

Memberi rasa manis. Nah berbuat apa.


­Walaupun anda sebut gula, tapi nggak manis,
­berarti dia pemanis buatan.

Jadi yang penting itu memberi rasa manis


atau namanya gula?

Memberi rasa manis.

Jadi sekarang bisa mempertimbangkan.


Sekarang ingin melakukan apa, kenapa, ngapain,
bukan kepingin jadi apa. Nanti juga jadi sendiri
kan kalau mau jadi.

Misal yang penting kalau menikah,


­bukan nanti jadi suami, yang penting cara anda
­menempatkan diri anda di depan wanita yang anda
cintai itu. Nanti pasti menghasilkan jadi ­suami,
jadi ayah.

Jadi urusan utamanya adalah ­kenapa-nya


harus tepat dulu. Misal gini, kalau hidup ini
­menjadikan anda banyak sedihnya, maka kita
­kalau pas berkumpul itu harus banyak senangnya.
Kalau dimana-mana membuatmu stress, di sini
bersamaku membuatmu gembira.

278
Kalau anda pentingnya itu jadi apa-nya,
nanti misal anda jadi tukang ojek, terus malu.
Anda nanti malu jualan mie gerobak, akhirnya
malu semua kalau urusannya kepingin jadi apa.
Makanya yang penting berbuat apa.

Nah berbuat apa itu pedomannya apa?

Tepat, atau gaya, disanjung orang atau


membuat manfaat dimana-mana?

Membuat manfaat ya.

Meskipun cuma jadi tukang bangunan,


­kalau itu manfaat, ya berbanggalah, sebab urusan
kita ini manfaat bukan saya bergaya jadi apa. Nah
sekarang saya tanya, di Indonesia ini entah politik,
agama, atau aktivitas apa saja, yang nomor satu
itu kenapa-nya dulu atau jadi apa-nya dulu?

Jadi apa-nya. Akhirnya lucu-lucu, itu


­masalah-masalah dialektika di dalam jadi ­apa-nya.
Makanya kita sekarang terdidik nggak penting saya
jadi siapa atau apa. Allah sendiri berfirman,

“Barang siapa yang berharap bertemu


­dengan Tuhannya, maka hendaklah dia ­melakukan
perbuatan yang baik. Dan jangan ­menyekutukan
Dia, dalam menyembah kepada Dia, kepada
­siapapun.”

279
Jadi metodenya bukan menjadi, tapi
­kenapa-nya. Allah tidak menyarankan kita jadi
siapa-siapa, yang menjadikan anda itu Gusti Allah,
anda tidak bisa menjadikan dirimu sendiri.

Apa anda bisa merubah dirimu?

Bertukar sama manusia lain?

Saya ingin menekankan ini, sebab anda


mengalami zaman yang berubah-ubah. Anda harus
punya pengetahuan, penelitian dan kesimpulan
tentang posisi anda sendiri.

280
“Menyepi itu penting, supaya kamu ­benar-benar
bisa mendengar apa yang menjadi isi dari
­keramaian.”

- Mbah Nun -

281
#119

Banyak kawan-kawan yang mencoba


mencerdasi kebiasaan masyarakat yang menyebut
bulan suci Ramadhan. Ini kita tidak sedang akan
berdebat, tapi kita mencoba mempetakan saja.
Jadi kalau ada orang bilang,

“Wah, saya minta ­tolong dikasih hari yang


baik untuk pindah rumah.”

Terus ada kiai atau tokoh masyarakat,

“Oh anu saja, disamakan dengan hari


­hijrahnya Rasul.”

“Oh, waktu senin legi saja!”

Dan lain sebagainya.

Selama saya ditanya orang, hari apa yang


baik untuk pindah rumah, untuk akad nikah, atau
segala macam, saya bilang, “Saya tidak berani
menuduh ada harinya ­Allah yang tidak baik.”

Sebab kalau saya menyebut ada satu hari


yang baik itu sebenarnya saya sedang menuduh
ada hari yang tidak baik. Dan saya tidak pernah
berani menuduh ada bagian dari waktu yang sudah
diberikan oleh Allah ini tidak baik.

282
Jadi kalau saya menyebut bulan suci
­Ramadhan, saya tidak berani menyebut kalau yang
tidak Ramadhan itu tidak suci. Ya, daripada kita
berdebat mengenai Rajab tidak suci, Maulud ­tidak
suci dan seterusnya. Emang ada bulan Maulud yang
tidak suci? Bulan Jumadil awal ndak suci?

Hanya bulan Ramadhan yang suci?

Daripada kita berdebat soal itu, ­mending kita


cari pemaknaan yang lebih substansial, ­kalau suci
atau tidak suci itu bukan waktu dan ­ruangnya. Suci
dan tidak suci itu urusan ­pelakunya. ­Manusianya.

Begitu manusia me-ramadhankan ­dirinya,


maka dia memasuki kesucian. Baik di bulan apapun,
siang atau malam, asalkan dia ­me-ramadhankan
dirinya, dia memakai prinsip puasa dalam
­menjalani hidupnya, maka dia sedang memasuki
area-area kesucian.

283
#120

Saya mohon izin untuk bersyukur pada ­Allah,


sebab setiap kali memasuki bulan ­Ramadhan, saya
mendapatkan kebebasan ekstra dalam hidup saya.

Jadi saya dengan komunitas saya,


Kiai ­Kanjeng dan sebagainya itu sama Allah
­mendapatkan kemerdekaan dimana kami ­hanya
berinteraksi dengan orang-orang yang sama
­rendahnya, orang-orang yang sama levelnya,
katakanlah sama bodohnya.

Jadi saya tidak mungkin berinteraksi dengan


yang lebih tinggi dari itu. Jadi Islam yang tingkat
tinggi itu kan misalnya Islam yang di universitas.

Dan saya tidak mungkin masuk ke situ dan


saya bersyukur karena itu, sehingga agak ­longgarlah
saya pas bulan puasa, kecuali ­acara-acara dengan
rakyat kecil.

Sehingga saya bisa lebih konsentrasi ­untuk


lebih banyak ketemu anak-anak saya yang ­masih
­kecil. Jadi saya selalu bersyukur ketika saya
­melihat daftar-daftar penceramah, terutama
di kampus-kampus, bahkan juga di umumnya
­masjid-masjid dari Bandung, sampai Jogja sampai
mana-mana.

284
Itu daftar penceramahnya itu apakah
tarawih, kuliah subuh itu semua dengan syarat.
Dan saya Alhamdulillah tidak memenuhi syarat
­sehingga saya agak bebas.

Itu misalnya tanggal sekian itu ada ­professor


doktor, M. A. Besoknya Letjen TNI, besoknya lagi
professor doktor M. D, S. H, terus professor doktor
M. Sc. Lc. MA, M. Si, Ph. D, M. Ag, MBA, S. Psi.,
macam-macam.

Semua itu saya tidak memenuhi syarat.


Jadi seberapapun peningkatan saya dan ummat
yang ­selevel dengan saya itu ­serajin-rajinnya
shalat kami, sebagus-bagusnya akhlak kami,
­sehebat-hebatnya pun perkembangan dari budaya
keislaman kami itu tidak akan mampu mencapai
level kampus.

Sebab sudah terlanjur, bukan sarjana,


­bukan M. Sc., bukan doktor, bukan professor.
­Padahal syarat ketinggian Islam adalah kalau
­sudah ­mencapai tingkat professor doktor, sarjana
utama S1, S2, S3. Bahkan ada spesialisasi yang
macam-macam. Dan itu adalah tanda-tanda dari
keulamaan.

Jadi kalau zaman dulu ulama itu ada


­tingkat-tingkat Syekh seorang mursyid itu ­biasanya
seorang Syekh, lebih tinggi lagi Maula, yang ­disebut
Maulana.

285
Kemudian ada kiai biasa kalau di Jawa
dan lain sebagainya. Itu kemudian berkembang,
ternyata ada yang lebih tinggi dari Syekh. ­Namanya
doktorandus. Lebih tinggi lagi MA, M. Sc., lebih
tinggi lagi doktor dan lebih mulia dan lengkap lagi
kalau professor doktor.

Nah di tingkat keislaman yang tinggi,


yang mungkin tingkatnya itu kualitasnya kualitas
­karamah, itu hanya mungkin diisi oleh orang-orang
yang lebih tinggi dari Syekh, yaitu professor ­doktor
dan lain sebagainya.

Lah saya Alhamdulillah sampai matek itu


SMA tamatnya nggak murni. Jadi mudah-mudahan
Allah tetap menerima kita-kita yang ­rendah-rendah
ini, sebab kita tidak mungkin mencapai gelar-gelar
keislaman yang luar biasa itu. Dan siapa lagi yang
diandalkan kalau bukan kaum ulil albab dan ulil
abshar.

Anda yang ketemu saya di alun-alun, di


­beranda masjid, di balai-balai RK, tidak mungkin
memenuhi syarat untuk disebut ulil abshar, ulil
­albab, yang ahli, yang bernama professor doktor,
M. Sc., M. Si., dan lain sebagainya itu.

Jadi mudah-mudahan, meskipun kita tidak tinggi


‘surganya’, tapi yaa boleh lah di ­pinggiran-pinggiran
surga, Allah meridhai kita untuk berada di sana.

286
Sebab dengan gelar-gelar yang sekarang
lebih tinggi dari Syekh dan Maulana itu saya kira
kita harus betul-betul berendah hati, ­bahwa
­Alhamdulillah Islam telah mencapai tingkat
­kualitas yang luar biasa, sehingga ­masjid-masjid
di ­kampus-kampus, sedikitpun tidak bisa
­dibandingkan ketinggiannya dengan islam-islam
macam kita semua yang di bawah-bawah.

Paling pol kita itu BA yaitu Bachelor of Arts,


yang ternyata adalah bakul areng.

287
#121

Apa hubungan anda bershalawat dengan


nasibmu?

Apa hanya untuk senang-senang kayak orang


nyanyi, atau itu ada hubungannya ­besok-besok
dengan nasibmu di akhirat?

Kalau shalawatan itu berarti anda


­menunjukkan ke Gusti Allah kalau anda cinta
sama Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Kalau anda
cinta ­Rasulullah, Allah tidak tega untuk tidak
­mengabulkan keinginan anda, asal bukan ­keinginan
yang aneh-aneh.

Jadi itu semacam ‘kolusi’ antara ­Allah,


­Rasulullah, dan kita. Dan yang punya jatah
atau hak untuk menolong kita itu hanya Nabi
­Muhammad SAW. Mekanismenya tidak pakai
­proposal, ­tidak pakai hukum. Proposalnya adalah
dengan ­pernyataan cinta.

Anda shalawatan berarti anda ­mencintai


Nabi Muhammad SAW. Kalau anda mencintai
­Rasulullah, maka Allah mengabulkan doa anda.
Sesederhana itu. Sebab kalau anda sendiri yang
menghadap Allah, hanya dilihat, “Ah.. Siapa kamu
ini...” kan gitu ibaratnya.

288
Saya menghadap Allah ya nggak laku kalau
sendiri.

Saya ini siapa?

Tapi karena membawa Kanjeng Nabi


­Muhammad SAW, maka kita jadi didaftar dalam
kabulnya Allah di dalam doa-doa kita.

289
“Yang penting bukan apakah kita menang atau
kalah, Tuhan tidak mewajibkan manusia ­untuk
menang sehingga kalah pun bukan dosa, yang
penting adalah apakah seseorang berjuang
atau tak berjuang.”

- Mbah Nun -

290
#122

Saya mau tanya, makan itu wajib apa tidak?

Ada ndak fatwa anda wajib lho makan itu,


ada ndak?

Tidak ada.

Saya cuma ingin mengatakan gini, ­kewajiban


itu diturunkan atau diterapkan oleh Allah untuk
hal-hal yang anda itu malas melakukan. Kalau
anda punya motivasi untuk melakukan kan nggak
perlu diwajibkan, misalnya makan.

Buat apa diwajibkan makan? Lha kita itu


rakus-rakus kok. Pasti makannya kita itu.

Jadi kewajiban itu biasanya dilakukan atau


diterapkan diposisi manusia tidak cenderung akan
melakukannya. Entah karena tidak suka, tidak
mampu, tidak apa lagi gitu ya macam-macam. Nah
kalau sesuatu sudah diwajibkan, berarti anda ­harus
tahu kalau memang anda sukar itu ­melakukannya.

Jadi yang pertama tidak perlu diwajibkan


sebab pasti orangnya akan melakukannya. Dan
yang memberikan motivasi untuk melakukannya
itu hukum alam atau Sunnatullah sendiri.

291
Nah kalau sesuatu diwajibkan karena
dasarnya orang itu tidak suka atau cenderung ­tidak
melakukannya, maka si manusia itu yang ­harus
menemukan motivasi atau alasannya ­sendiri.

Sekarang masalahnya,

anda harus ­menemukan sendiri alasan


shalat itu apa?

Supaya anda bisa menikmati ketika


­melakukannya nanti, mungkin sekarang anda
­nggak bisa menikmatinya, sebab nggak punya
­alasan kuat.

Sekarang saya tanya, kira-kira orang shalat


itu alasannya ada apa saja?

Bersyukur.

Nggak enak sama Gusti Allah, masa tidak


terimakasih, saya bisa buang air kecil, bernafas,
bisa bangun tidur, bisa merasakan asin, manis, dan
seterusnya. Allah juga cuma menyuruh shalat lima
kali sehari. Kalau gitu saya shalat untuk bersyukur.

Alasan lainnya, pahala, cari untung. Itu


yang umumnya seperti itu, tapi menurut saya
­tidak terlalu matang itu, tidak terlalu dalam. Jadi
motivasinya ke pahalanya, bukan fokus ke Allah.
Tapi ya nggak apa-apa.

292
Jadi sebaiknya kita temukan alasan shalat
kita, syukur-syukur anda berani ngomong apa
­sebabnya manusia kok wajib shalat. Kalau ­menurut
saya, alasannya saya itu membayar hutang sama
Allah. Kan lega kalau sudah bayar hutang itu.

Allah itu sudah menghutangi saya sangat


banyak tak terhitung dalam hidup saya. Misal
saya bersyukur badan saya ini dibatasi segini saja,
bulu mata saya tidak panjang dengan cepat ­setiap
­detik, badan saya tidak tinggi terus menerus ­setiap
detik, susah saya kalau badan saya nggak dibatasi
Allah.

Intinya temukan alasan kita untuk shalat,


atau kita tuduh diri kita sendiri, “Kamu kok tidak
punya terimakasih sama Allah? Kamu kira ­kepalamu
itu kamu bikin sendiri?”

293
#123

Jadi kan kita ini punya kesenangan ­untuk


menikmati hidup ini, termasuk ketika kita
­memakai busana muslim itu juga kita budayakan,
kita ­nikmati sebagai penampilan budaya dan
­sebagainya. Terus ada peragaan busana muslim,
dan kata-kata itu kan bohong, peragaan busana ya
peragaan busana.

Ndak usah manusia, kan peragaan ­busana


kok. Lha kalau peragaan busana ya sudah
­dibeber-beber itu bajunya, tapi kan harus pakai
orang.

Nah itu yang sebenarnya syubhat dalam arti


harus dihitung betul yang namanya fashion show,
peragaan busana itu kan sebenarnya fenomena
­industri barat.

Saya tidak anti barat, tapi kenapa Allah


sangat menghormati wanita?

Artinya tidak diecer-ecerkan, tidak


­diboros-boroskan, semakin anda mencintai suatu
barang, semakin anda memegang erat barang itu.

Kalau wanita kita pamer-pamerkan, kita


show-show kan itu berarti kita semakin tidak
menghormati wanita. Kan gitu aslinya.

294
Jimat itu kan nggak mungkin kok kita
­bawa-bawa, jimat itu kan mestinya anda simpan
di dalam kantong yang anda jahit misalnya. Saya
nggak mengatakan jimat itu boleh apa tidak ­boleh.
Saya hanya ingin mengatakan mengenai sesuatu
yang dihormati.

Hal-hal semacam itu sebenarnya


­harus kita hitung kembali, berdasarkan
­mudharat-manfaatnya industri, berdasarkan
­mudharat-manfaatnya apa yang disebut busana
muslim, bisa-bisa sedang merasa menjadi orang
alim dengan ­penampilan-penampilan simbolik.

Tapi sesungguhnya kalau kita perdalam


­sedikit, sesungguhnya jangan-jangan kita sedang
melakukan penambahan perusakan-perusakan
­tertentu ke dalam tubuh ummat Islam sendiri.

Wallahu A’lam.

Saya cuma mengingatkan sebagai orang


tua.

295
#124

Sudah jadi pengetahuan umum kalau


­tidurnya orang puasa itu berpahala. Ya kita
­bersabar untuk mencoba mengepung masalah ini
dari berbagai sudut.

Pertama, pasti tidak ada tidur adalah baik.


Segala sesuatu itu baik dan buruk tergantung
­ruangnya, waktunya, konteksnya, suasananya dan
seterusnya.

Sama dengan makan dalam keadaan sangat


kenyang, makan itu ya nggak baik. Dalam keadaan
sangat lapar, tidak makan itu ya nggak baik. Tidur
juga begitu.

Setiap subuh kita mendengar, “Shalat itu


lebih baik dari tidur.”

Berarti tidur itu baik, cuma shalat itu lebih


baik. Nah cuma masalahnya itu tidur bagaimana
yang baik?

Saya ngantor, pas puasa Ramadhan, jam


setengah sepuluh ngantuk, terus saya tidur, habis
itu saya digertak sama boss saya, terus saya ­bilang,

“Lho pak, tidurnya orang puasa itu


­berpahala.”

296
Boleh ngomong begitu tapi harus siap untuk
memperdebatkan konteksnya. Sebab yang disebut
tidur juga tidak hanya bahwa anda memejamkan
mata terus menghilangkan kesadaran. Tidur itu
bermacam-macam, tidur itu luar biasa banyak
­ilmunya.

Saya waktu itu tidur sampai enam jam,


­biasanya dua jam, itu saya dapat pahala sebab
­ketika saya tidur itu banyak orang mencuri, nah
saya tidak sebab saya tidur. Jadi kadang-kadang
tidur itu memang menguntungkan.

Tapi begitu saya berada dalam suatu


­komitmen untuk tidak tidur, pada jam tertentu
misalnya karena lagi ngantor dan sebagainya.
Maka begitu saya tidur pada saat itu, tidak bisa
kita sebut baik.

Jadi di sini ini peluang bagi kita ­untuk


­memasuki pintu makna tidur ini secara
­seluas-luasnya. Tidur pun ternyata adalah suatu
ilmu yang luar biasa.

297
#125

Puasa jauh sebelum Islam, dalam ­pengertian


sejarah kalau Islam itu dikenal oleh anda itu sejak
Rasulullah. Sesungguhnya, tidak adil kalau Islam
dikenal hanya sesudah Nabi Muhammad SAW.

Sebab Nabi Isa AS juga beragama Islam,


­sampai Nabi Adam jauh sebelumnya juga ­agamanya
Islam. Tapi itu bukan masalah kita pada nomor ini.

Yang saya maksudkan adalah Allah


­berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman, telah


­diwajibkan atasmu puasa sebagaimana telah
­diwajibkan pada orang-orang sebelum kamu.”

Allah ini tidak menentukan abad berapa,


satuan waktunya bagaimana. Jadi ini ­sangat-sangat
relatif secara waktu. Dan kenapa dibikin relatif
oleh Allah?

Karena kita membutuhkan diskusi,


­membutuhkan dialektika yang terus menerus,
membutuhkan pencarian terus menerus. Maka mari
kita pahami bersama-sama kalau ­sesungguhnya
pengalaman puasa itu barang kali jauh lebih ­bagus
dialami dan dilakukan oleh orang-orang jauh
­sebelum yang kita sebut Islam datang itu.

298
Sebagaimana anda juga puasa Daud,
­sebagaimana juga di zaman Nabi Nuh AS, Nabi
Hud AS, pastilah mereka juga sudah mengalami
­puasa-puasa. Artinya puasa itu adalah kekayaan
peradaban yang memang sudah disiapkan oleh
­Allah sejak awal mula kehidupan manusia.

Bahkan peristiwa-peristiwa Adam dengan


anak-anaknya, bahkan Adam sendiri ketika ­masih
di surga itu pun dia sudah diajari puasa, yaitu
­untuk tidak menyentuh, mengambil, memakan,
menikmati, salah satu buah yang ada di surga. Itu
adalah awal mula pelajaran puasa. Bahkan Adam
pun sudah mengalami Ramadhan di surga.

299
“Apapun yang kita lakukan dalam kehidupan
ini adalah perlombaan dalam kebaikan. Bukan
perlombaan keunggulan satu sama lain.”

- Mbah Nun -

300
Ilmu Khidir
Sekumpulan mata air Guru Sunyi

Penyunting :
Ali Antoni & Tim Kipdefayer

Anda mungkin juga menyukai