Ya, Bowo namanya. Lelaki misterius yang kian hari kian menarik
serhatianku. Bukan karena gagah, sebab ia biasa-biasa saja. Bukan karena kaya
raya, sebab ia pakai dengkul saja. Bukan karena pintar, karena ia hanya urutan
nomor tiga. Lalu karena apa? Entahlah.
“Dapatkah saya minta bantuanmu?” tanyaku suatu har, dekat ruang dekan.
Ia berdiri di situ, mungkin untuk minta kebijaksanaan penundaan pembayaran
SPP.
“Bowo!”
“Hm...”
“Aku tak punya uang. Aku tak punya mobil. Aku tak pun ketampanan.
Otakku tak sanggup memberikan resep bagaim agar kau pandai. Aku toh seperti
yang kau lihat, kuliah saj diambang kematian. Lalu bantuan apa yang dapat aku
berikan?”
Duh, ya ampun. Hampir copot jantung ini. Begitu sinis, begi pahit untuk
kudengar. Tetapi aku harus kuat, aku haru menaklukkannya. Aku ingin
membuktikan, dapat melumpuhkan kecongkakannya.Aku ingin, agar Bowo tahu
bahwa aku tergolong perempuan yang sanggup menantangnya. Toh ia bukan
harimau. Harimau saja engan memangsa anaknya.Apalagi Bowo. Menghadapi
lelaki ini, akau harus sedikit bengal. Biarlah kutanggalkan kewanitaanku, biarlah
aku menjadi tidak feminim. karena itu kutarik lengannya, tanpa ingat lagi bahwa
aku menemuinya hanya untuk sekedar minta tolong menjelaskan beberapa konsep
mengenai : premis mayor, minor dan evidensi yang masih belum jelas bagiku
perbedaannya.
Dan aku tidak perduli, setengah kuseret lelaki itu kubawa kearah kantin.
Matanya agak melotot, tetapi aku lebih melotot, sedikit pun tak kupasang senyum,
biar timbul kesan, bahwa aku akan memberondongnya dengan sumpah serapah
yang biasa ia dapatkan dari wanita lain yang merasa tidak diperdulikan. Ya, aku
sengaja bersikap kasar, agar ia merasa bahwa aku dapat menjadi korban
berikutnya dari keganasannya, kemampuan beragumentasi, berdalih dan berkoak-
koak untuk menang.
Kulepas tangannya. Bowo tetap berdiri dan aku memulai percakapan. Ya,
percakapan.
“Ya, memang kau tak bakalan bisa mengerti. Sebab tentang dirimu pun
kau tak mengerti. Kau selalu merasa benar dengan sikapmu. Kebenaran dari mana
yang kau dapat, ajaran hidup dan filsafat mana yang kau pakai? Kau terlalu kerdil,
memandang dunia dengan matamu sendiri, dengan rasamu sendiri dan menilainya
dengan nilaimu sendiri. Siapa yang membentuk pribadimu, siapa yang membuka
wawasanmu? Kau tak mungkin besar sendiri, tak mungkin hidup sendiri. kau
boleh pergi sekarang,” kataku Pa Bowo. Tetapi ta malah terpaku di pojok dan
kemudian dug berhadapan denganku. Dipandangnya diriku, tetapi aku tahu p,
pandangan itu tidak lagi sinis, tidak lagi bermusuhan. Pandang itu kini berubah
menjadi keputusasaan,penuh dengan misteri dan nampaknya ada sesuatu yang
ingin ia katakan.
Tak ada kuliah sesungguhnya. Aku hanya ingin agar Bowo bisa merenung
sendiri di kantin, biar ia mengerti bahwa aku yang selama ini kurang
memperdulikannya, tak pernah tampil di gelanggang diskusi dan seminar, sekali
waktu bisa juga angkat bicara, setidaknya dengan Bowo yang terbilang pandai
berkelit dan beragumentasi.
Sudah pukul sembilan tiga puluh. Hujan belum juga reda. Jika saja
turunnya amat lebat, tentulah sudah berhenti sejak tadi. Dingin. Walau jaket yang
kukenakan sudah melilit seluruh badanku, Semilir angin yang amat menusuk,
menggeraikan rambutku. Tapi kubiarkan.Sebab, cuaca seperti ini kadang-kadang
kuimpikan. Entahlah. Aku terkadang merindukan hujan.
Sementara hujan tinggal rintik-rintik, aku belum juga beranjak dari lobby
utama dekat pintu gerbang. Kupikir, lebih baik aku pulang saja. Pak Suyatno
Handoyo yang mengajar Pengantar Filsafat belum juga kelihatan, padahal
waktunya hanya tersisa lima menit.
Jika tidak karena suara motor dan vokal Bowo yang mengagetkanku,
tentulah aku masih terpaku dengan segala macam lamunan yang melintas-lintas.
“Kau nekad,” kataku pada Bowo yang basah kuyup, karena tak memakai
jas hujan.
“Apa boleh buat. Sepuluh menit lagi aku kuis kedua Public Relations. Kau
tahu kan, Pak Daniel ketat waktu, ketat juga nilainya,” jawab Bowo seraya
menepis sisa-sisa air hujan di jidatnya.
“Memangnya kenapa?”
“Lain kalilah. Aku hanya ingin banyak ngobrol denganmu. Kau benar.
Ucapanmu hari itu telah menyadarkanku dari beberapa kealfaan yang telah kubuat
selama ini. Aku picik dan terlalu dangkal memandang kehidupan.”
Aku diam saja. Kubiarkan Bowo bicara, walau tak jelas, apa maunya.
“Oh ya, maaf aku keburu, takut terlambat. Yuk, selamat memeluk bantal,
dan jika tak keberatan, bayangkanlah bahwa yang kau peluk itu diriku! “ ujar
Bowo seraya berlari kecil meninggalkanku.
Sudah empat hari Bowo tak masuk kuliah. Tidak jel, Sebabnya. Untuk
bertanya pada teman dekatnya, aku merasa enggan.
Setidaknya ada empat wanita yang menaruh perhatian pada Bo Tapi Bowo
terlalu tegar dan terlalu angkuh. Sebab tak seorangp yang mendapat perlakuan
khusus darinya. Ia tetap biasa. Acuh acuh dan cenderung membuat pagar,
membuat jarak agar tak lebih dekat dengan teman-teman wanita.
Perasaanku jadi tak enak. Aku jadi tahu, Bowo tak masuk kuliah karena ke
Jakarta. Entah, tiba-tiba aku merindukan lelaki itu, rindu sekali. Lantas, untuk apa
Bowo ke Jakarta? Siapa yang ditemuinya?
Bowo memang tertutup, kerena itu tak banyak orang tahu dari mana dia,
siapa keluaganya, siapa ayah ibunya, masih hidupkah kedua orangtuanya?
Ratri...
Penolakkan mereka itulah yang menyebabkan aku frustrasi dan ' pula yang
menyebabkan aku pergi ke Samarinda 4 tahun laly meninggalkan mereka.
Kini aku bersama-sama mereka. Aku telah meminta maaf: Mereka begitu
bahagia, sebab selama ini mereka memang tidak tahu di mana aku berada.
Aku kuliah memang dengan biayaku sendiri, hasil menjual majalah dan
koran eceran setiap petang dan malam di jalan Kesuma Bangsa itu. Kau tahu itu
kan?
Ratri...
Jika aku selesai kelak, dan kaupun sarjana. Kau akan kubawa ke Jakarta. Kita
hidup di sini berumahtangga. Dan kau: tak boleh menolaknya.
Bowo
Mengapa kau seperti itu Bowo? Mengapa kau tak memberi tahu
sebelumnya? Mengapa kau berani berterus terang menyatakan Cintamu, padahal
kita belum akrab?