Anda di halaman 1dari 6

BOWO NAMANYA

Bowo namanya. Lahir 28-8-2000. Mahasiswa FISIP, semester tertua dan


terancam drop out. Rambut hitam legam, hidung rada mancung, mata agak sipit,
badan tegap, rada kurussan tak terurus, itu cirinya. Bowo namanya, tak pernah
rapi, otak srilian, sikap suka aneh, acuh pada perempuan, kurang bisa enghargai
wanita, tapi diam-diam, banyak gadis yang menaruh ati padanya.

Ya, Bowo namanya. Lelaki misterius yang kian hari kian menarik
serhatianku. Bukan karena gagah, sebab ia biasa-biasa saja. Bukan karena kaya
raya, sebab ia pakai dengkul saja. Bukan karena pintar, karena ia hanya urutan
nomor tiga. Lalu karena apa? Entahlah.

“Dapatkah saya minta bantuanmu?” tanyaku suatu har, dekat ruang dekan.
Ia berdiri di situ, mungkin untuk minta kebijaksanaan penundaan pembayaran
SPP.

Bowo diam saja.

“Bowo!”

“Hm...”

“Dapatkah saya minta bantuanmu?”

Bowo menatapku. Dari ujung rambut ditelitinya,sampai tumit. Kucoba


untuk tidak salah tingkah. Pada matanya kulih bayang ketertutupan. Ya di sana
ada kesan bahwa ia mem pantas dijuluki si “Raja tak Acuh” alias si Masa Bodoh .

“Aku tak punya uang. Aku tak punya mobil. Aku tak pun ketampanan.
Otakku tak sanggup memberikan resep bagaim agar kau pandai. Aku toh seperti
yang kau lihat, kuliah saj diambang kematian. Lalu bantuan apa yang dapat aku
berikan?”

Duh, ya ampun. Hampir copot jantung ini. Begitu sinis, begi pahit untuk
kudengar. Tetapi aku harus kuat, aku haru menaklukkannya. Aku ingin
membuktikan, dapat melumpuhkan kecongkakannya.Aku ingin, agar Bowo tahu
bahwa aku tergolong perempuan yang sanggup menantangnya. Toh ia bukan
harimau. Harimau saja engan memangsa anaknya.Apalagi Bowo. Menghadapi
lelaki ini, akau harus sedikit bengal. Biarlah kutanggalkan kewanitaanku, biarlah
aku menjadi tidak feminim. karena itu kutarik lengannya, tanpa ingat lagi bahwa
aku menemuinya hanya untuk sekedar minta tolong menjelaskan beberapa konsep
mengenai : premis mayor, minor dan evidensi yang masih belum jelas bagiku
perbedaannya.

“Ratri...” panggil Bowo.

Dan aku tidak perduli, setengah kuseret lelaki itu kubawa kearah kantin.
Matanya agak melotot, tetapi aku lebih melotot, sedikit pun tak kupasang senyum,
biar timbul kesan, bahwa aku akan memberondongnya dengan sumpah serapah
yang biasa ia dapatkan dari wanita lain yang merasa tidak diperdulikan. Ya, aku
sengaja bersikap kasar, agar ia merasa bahwa aku dapat menjadi korban
berikutnya dari keganasannya, kemampuan beragumentasi, berdalih dan berkoak-
koak untuk menang.

“Kau mau apa Ratri?”

Aku tak memperdulikannya. Tetap saja kupegang erat-erat tangannya, bahkan


langkahku setapak lebih dulu dari kakinya. Kantin masih kosong, kebetulan
hampir semua dosen masuk memberikan kuliah.

Kulepas tangannya. Bowo tetap berdiri dan aku memulai percakapan. Ya,
percakapan.

“Sudah kau pikir jawabanmu barusan Bowo?”

“Jawaban tentang apa?”

“Aku hanya minta bantuanmu untuk menjelaskan beberapa konsep,


definisi yang sukar kupahami. Tapi tak kusangka, kau bukanmenjawabnya, malah
ngomong yang tak jelas ujung pangkalnya. Sinis, ketus. Bowo, begitukah caramu
menjawab pertanyaan orang? Begitukah caramu membalas permintaan orang”
Ucapan dan cara begitukah yang selalu kau perlihatkan terhadap kaumku?.
Terhadap wanita? Kalau kau katakan kau miskin harta, miskin rupa, miskin ilmu,
itu baik, walau tidak seluruhnya benar. Tapi kemiskinan yang paling melekat
dalam dirimu adalah kemiskinan etika, kemiskinan mental, tak kuat menanggung
beban, tak berani jantan dan itu kau tutupi dengan kecongkakan, dengan
ketertutupan,” kataku pada Bowo yang masih heran dengan kelakuanku.

“Aku tak mengerti...aku tak mengerti...,” kata Bowo lagi.

“Ya, memang kau tak bakalan bisa mengerti. Sebab tentang dirimu pun
kau tak mengerti. Kau selalu merasa benar dengan sikapmu. Kebenaran dari mana
yang kau dapat, ajaran hidup dan filsafat mana yang kau pakai? Kau terlalu kerdil,
memandang dunia dengan matamu sendiri, dengan rasamu sendiri dan menilainya
dengan nilaimu sendiri. Siapa yang membentuk pribadimu, siapa yang membuka
wawasanmu? Kau tak mungkin besar sendiri, tak mungkin hidup sendiri. kau
boleh pergi sekarang,” kataku Pa Bowo. Tetapi ta malah terpaku di pojok dan
kemudian dug berhadapan denganku. Dipandangnya diriku, tetapi aku tahu p,
pandangan itu tidak lagi sinis, tidak lagi bermusuhan. Pandang itu kini berubah
menjadi keputusasaan,penuh dengan misteri dan nampaknya ada sesuatu yang
ingin ia katakan.

“Kalau kau mau minum, minumlah sepuasmu, kalau kau m4 makan,


makan sekenyangmu. Hari ini aku yang membayar. Ta kau kutinggal dulu, aku
ada kuliah,” kataku pada Bowo, sera berpesan pada ibu kantin, apa yang diminum
dan dimakan Bow aku yang membayarnya.

“Ratri...” kudengar Bowo memanggilku. Tapi aku hany menoleh dan


sengaja aku tak memenuhi panggilannya. Terus saja langkahku menapaki sisi
kampus menuju perpustakaan.

Tak ada kuliah sesungguhnya. Aku hanya ingin agar Bowo bisa merenung
sendiri di kantin, biar ia mengerti bahwa aku yang selama ini kurang
memperdulikannya, tak pernah tampil di gelanggang diskusi dan seminar, sekali
waktu bisa juga angkat bicara, setidaknya dengan Bowo yang terbilang pandai
berkelit dan beragumentasi.

Sudah pukul sembilan tiga puluh. Hujan belum juga reda. Jika saja
turunnya amat lebat, tentulah sudah berhenti sejak tadi. Dingin. Walau jaket yang
kukenakan sudah melilit seluruh badanku, Semilir angin yang amat menusuk,
menggeraikan rambutku. Tapi kubiarkan.Sebab, cuaca seperti ini kadang-kadang
kuimpikan. Entahlah. Aku terkadang merindukan hujan.

Beberapa mahasiswa terpaksa membuka payungnya sesaat setelah turun


dari taksi atau mobil pribadi mereka. Mereka yang bersepeda motor, terpaksa
harus menggunakan jas hujan.

Sementara hujan tinggal rintik-rintik, aku belum juga beranjak dari lobby
utama dekat pintu gerbang. Kupikir, lebih baik aku pulang saja. Pak Suyatno
Handoyo yang mengajar Pengantar Filsafat belum juga kelihatan, padahal
waktunya hanya tersisa lima menit.

Jika tidak karena suara motor dan vokal Bowo yang mengagetkanku,
tentulah aku masih terpaku dengan segala macam lamunan yang melintas-lintas.

“Kau nekad,” kataku pada Bowo yang basah kuyup, karena tak memakai
jas hujan.
“Apa boleh buat. Sepuluh menit lagi aku kuis kedua Public Relations. Kau
tahu kan, Pak Daniel ketat waktu, ketat juga nilainya,” jawab Bowo seraya
menepis sisa-sisa air hujan di jidatnya.

Ingin kuberikan saputanganku untuk menyeka air hujan di wajah dan


rambutnya. Tapi ah, itu tak lajim, apalagi untuk cowok macam Bowo. Kasihan.
Bibir cowok itu bergetar. Tentulah ia kedinginan, melebihi dingin yang
kurasakan.

“Kau mau pulang?” tanya Bowo tiba-tiba. Aku hanya mengangguk.

“Sayang...,” ucapnya lagi.

“Memangnya kenapa?”

“Lain kalilah. Aku hanya ingin banyak ngobrol denganmu. Kau benar.
Ucapanmu hari itu telah menyadarkanku dari beberapa kealfaan yang telah kubuat
selama ini. Aku picik dan terlalu dangkal memandang kehidupan.”

Aku diam saja. Kubiarkan Bowo bicara, walau tak jelas, apa maunya.

“Oh ya, maaf aku keburu, takut terlambat. Yuk, selamat memeluk bantal,
dan jika tak keberatan, bayangkanlah bahwa yang kau peluk itu diriku! “ ujar
Bowo seraya berlari kecil meninggalkanku.

Bah. Cowok itu ternyata bisa juga membadut. Dan... mengapa


pandangannya kini sungguh bersahabat. Tak ketus dan malah penuh perhatian?

Hujan reda, kulangkahkan kakiku meninggalkan ka der gan berbagai


lamunan dan perasaan, yang tak kutahu namanya.

Sudah empat hari Bowo tak masuk kuliah. Tidak jel, Sebabnya. Untuk
bertanya pada teman dekatnya, aku merasa enggan.

Sesungguhnya aku rindu. Sesungguhnya aku menyenangi Tapi naluriku


mengatakan, tidak selayaknya gadis sepertiku terlalu mengejar, terlalu agresif.
Karena itu aku jarang mene: Bowo juga begitu, hanya sesekali kulihat ia
memandangku, h jika mataku beradupandang dengan matanya, ia cepat menol ,
muka. Entah, mungkin di matanya, aku sama saja dengan wan: lain yang pernah
dikenalnya, atau dipersamakannya dengan te , teman kuliah yang selalu hanya
memanfaatkan kepandaiannya 4 bisa dibantu jika ujian semester.

Setidaknya ada empat wanita yang menaruh perhatian pada Bo Tapi Bowo
terlalu tegar dan terlalu angkuh. Sebab tak seorangp yang mendapat perlakuan
khusus darinya. Ia tetap biasa. Acuh acuh dan cenderung membuat pagar,
membuat jarak agar tak lebih dekat dengan teman-teman wanita.

Kulangkahkan kaki ke kantin. Kantin sepi. Hanya ada Endah dan


Gunawan, cowok mata sipit yang memang menjadi kekasihnya sudah dua tahun
lalu. Tapi aku terus saja masuk ke kantin, kendatipun adi rasa sungkan untuk
mengganggu ketentraman mereka berduz Keduanya menoleh dan mengajak dekat
mereka. Aku hanya berterims kasih dan minta segelas air jeruk pada ibu kantin.

Lama aku termenung sendiri. Sampai akhirnya Ruswanto, Andras dan


Yanto, ketiganya teman Bowo, masuk pula ke kantin. Mereka menyebut nama
Bowo.

“Entah, kenapa tiba-tiba keputusannya begitu,” kata Yanto.

“Bowo kadang memang sukar ditebak. Ia cenderung kurang mau


mendengar pendapat kita,” sahut Andras. Ruswanto yang agak urakan menimpali
pula.

“Ya...begitulah Bowo. Setengah bulan itu bukan waktu yang


sedikit.Setidaknya dua kali ia tidak masuk setiap mata kuliah. Untuk apa dia ke
Jakarta dan dari mana pula ia dapat uang, bisabisanya pulang naik pesawat. SPP
saja ia susah melunasi. Saya tak mengerti, bagaimana jalan pikirannya,” kata
Ruswanto.

Perasaanku jadi tak enak. Aku jadi tahu, Bowo tak masuk kuliah karena ke
Jakarta. Entah, tiba-tiba aku merindukan lelaki itu, rindu sekali. Lantas, untuk apa
Bowo ke Jakarta? Siapa yang ditemuinya?

Bowo memang tertutup, kerena itu tak banyak orang tahu dari mana dia,
siapa keluaganya, siapa ayah ibunya, masih hidupkah kedua orangtuanya?

Hari ketujuh Bowo tak masuk. Ruswanto menemuiku, menyerahkan sepucuk


surat, katanya dari Bowo. Surat itu diambil Ruswanto di tata usaha yang
diselipkan Bowo bersama-sama surat untuk Ruswanto dan kawan-kawan.

Cepat-cepat kulangkahkan kakiku ke kantin. Jam begini kantin memang


sepi, karena belum banyak mahasiswa yang datang. Surat Bowo kubuka dan
isinya:

Ratri...

Mungkin seminggu lagi aku akan kembali ke kota ini.


Bukan karena air sungai Mahakam, sungguh, bukan karena air sungai
Mahakam. Tapi karenamu Ratri, dengar, karenamu.

Kata-katamu telah menyadarkanku bahwa aku tidak boleh lari dari


kenyataan. Bahwa aku masih memiliki orang tua, bahwa kedua orang tuaku telah
membesarkanku. Jika karena orangtuaku tak mengabulkan permintaanku sebuah
Mercedez untuk kupakai hura-hura di Jakart, tentulah maksudnya agar aku tak
menjadi manja.

Penolakkan mereka itulah yang menyebabkan aku frustrasi dan ' pula yang
menyebabkan aku pergi ke Samarinda 4 tahun laly meninggalkan mereka.

Kini aku bersama-sama mereka. Aku telah meminta maaf: Mereka begitu
bahagia, sebab selama ini mereka memang tidak tahu di mana aku berada.

Aku kuliah memang dengan biayaku sendiri, hasil menjual majalah dan
koran eceran setiap petang dan malam di jalan Kesuma Bangsa itu. Kau tahu itu
kan?

Mereka mendorongku untuk menyelesaikan kuliahku secepatnya yang


nyaris terbengkalai, Apalagi ayah yang minta agar cepat jadi sarjana, agar bisa
mengelola perusahaan dan anak perusahaanya. Beliau memang sudah tua.

Ratri...

Jika aku selesai kelak, dan kaupun sarjana. Kau akan kubawa ke Jakarta. Kita
hidup di sini berumahtangga. Dan kau: tak boleh menolaknya.

Dari yang amat mencintaimu:

Bowo

Mengapa kau seperti itu Bowo? Mengapa kau tak memberi tahu
sebelumnya? Mengapa kau berani berterus terang menyatakan Cintamu, padahal
kita belum akrab?

Bowo...kutunggu kau di kotaku, di Samarinda, di rumahku, di teras


rumahku, akan kudengarkan baik-baik jawabanmu.

Anda mungkin juga menyukai