Anda di halaman 1dari 5

Suara hatiku…

Kuteguk secangkir kopi yang berada di atas meja belajarku dengan berharap aku bisa
menenangkan pikiranku sejenak bila aku meneguknya. Getaran tangan ini begitu jelas di mataku,
disaat aku mulai menyeruput kopi itu. Aku tak peduli, aku tetap berusaha meneguknya untuk
menenangkan pikiran dan hatiku. Namun, semuanya terasa hampa. Hal itu justru bertolak belakang
dengan apa yang kupikirkan, sehingga hati dan pikiran ini tidak bisa ku ajak kompromi. Jelas kurasakan
bahwa hatiku berkata lanjut, namun pikiranku terarah pada suasana indah di luar sana.

Saat itu…api panggilan begitu membara dalam diriku. Aku ingin menjadi pastor. Aku ingin menjadi
imam yang dapat melayani umat. Aku ingin menjadi pewarta kabar sukacita bagi seluruh umat
manusia. Itulah tekad awalku untuk menempuh pendidikan di Seminari Menengah ini. Tekad ini
menjadi landasan bagiku untuk menempuh perjalanan yang cukup panjang dan bermuara pada
proses. Dengan penuh keyakinan dan kepercayaan diri, aku berani menyatakan diriku sebagai calon
imam.

Dua tahun enam bulan sudah kutapaki panggilanku. Banyak suka dan duka yang kualami.
Pergulatan hati yang kini memberontak, membuatku bingung pada kepastian hidup. Kucoba kembali
meratapi diriku, dengan membuka lembaran diariku yang sudah berlalu. Lembaran demi lembaran
mulai kubaca, setiap lembaran punya kisah cerita unik yang kutulis berdasarkan isi hatiku. Namun, aku
merasa semakin dalam aku membacanya, kata-kata yang kutulis seolah-olah menjadi sebuah
perbandingan bagiku untuk tetap bertahan pada panggilan ini. Sebuah perbandingan antara dia dan
pencipta-Nya. Betah karena aku ingin mewujudkan cita-citaku. Ragu, karena namanya terukir indah
dalam diari itu. Sebuah nama yang mengajarkanku cinta dan kebahagiaan, yang tercipta karena
pemberian diri dan hati yang tulus. Hal itulah yang membuatku semakin bingung dan cemas dengan
panggilanku, yang kian kini menjadi pertentangan bagiku dalam pergumulan dan keterpurukan hidup
ini. Kucoba berefleksi lagi, untuk sekilas membenahi diri, tentang tekad awalku untuk menjadi seorang
imam. Namun, aku tetap juga bingung dengan punahnya prinsip hidupku, yang dulu menjadi landasan
bagiku hingga bertahan sampai saat ini. Serta panggilan yang dulunya berkobar kobar kini mulai redup,
entah mengapa aku tak tahu.

Dikelamnya malam, aku sangat tertarik membaca buku rohani yang tertata rapi di rak buku
belajarku. Aku mengambil sebuah buku yang berjudul Lelaki Berkerudung, kulihat penulisnya
fr.Aknesius Sihotang. Perlahan aku membaca lembaran demi lembaran kata-kata dalam buku itu
dirangkai dengan indah dan sajak dalam kalimat per kalimat pun memiliki sebuah arti. Hatiku
tersentuh ketika aku membaca kalimat yang penuh makna ini : “Memilih merupakan dua tindakan
yang membutuhkan pertimbangan yang matang. Memilih senantiasa melibatkan hati nurani. Hati
nurani merupakan sanggar suci yang ditemukan pada bagian terdalam diri manusia yang tidak
tertutup pada dirinya sendiri, namun selalu terbuka baik bagi dirinya maupun bagi sesama. Hati nurani
menyuarakan dalam diri manusia untuk mencinta dan berbagi, bagi sesama bahkan dari kekurangan
sekalipun”. Ku ulang-ulang membaca kalimat itu, sampai pada akhirnya aku membuat kesimpulan
dalam buku diariku, bahwa keputusan pada suatu hal hendaknya dipastikan saat suara hati seseorang
bersuara. Oleh karena itu, malam ini aku sangat bersyukur kepada Tuhan karena melalui rahmat-Nya,
aku mulai mengerti akan makna suara hati pada diriku. Kuucap syukur ini sampai pada akhirnya aku
memutuskan untuk beristirahat.
Fajar perlahan namun pasti mulai tiba, di ujung timur mentari pagi mulai menampakkan
kemilauannya. Kami para seminaris, menuju refter untuk mengisi kembali tenaga kami yang perlahan
mulai melemah. Tetapi sebelum doa makan, romo memberi pengumuman terlebih dahulu “saudara-
saudara, khususnya kelas Poesis, saat studi sore maupun studi malam diharapkan menulis refleksinya
mengenai keputusan pada pangilannya, lanjut atau tidak. Dan dikumpulkan saat rekreasi oleh Dekanus
ke kamar saya, terimakasih!”, ujar romo itu. Sentak jantungku berdetak dengan kencang. Aku yang
baru saja bingung akan panggilanku, mulai cemas kembali. Tuhan secepat itukah? Kepanikan mulai
bersuara dalam diriku. Hatiku belum siap untuk menerima keputusan ini. Mulutku belum sanggup
untuk mengatakannya. Aku bingung dan khawatir, sehingga pagi ini aku tidak selera untuk sarapan.

Perlahan, matahari semakin semangat menampakkan kemilaunya, seolah-olah merayuku


untuk lebih semangat menapaki hari ini. Namun apa boleh buat, kegelisahan hati ini masih membara
dalam diriku. Berbeda halnya dengan teman-teman seperjuanganku. Mereka dengan penuh semangat
dan tanpa beban menyatakan dirinya tidak melanjut, dengan alasan yang khas orang tua kurang
mendukung. Ada pula yang berkata tidak ada panggilan lagi menjadi seorang pastor. Dan yang paling
uniknya sebagian dari teman-temanku menyatakan dirinya melanjut. Aku heran melihat dan
mendengarkan mereka, yang tanpa beban menyatakan semua itu. Hanya aku yang diam, tanpa
berkata-kata saat itu. Oleh karena ketidakpastian itu, aku memberanikan diri meminta gawai dari
prefek, dengan segala alasan yang bergejolak dalam hatiku. Aku memintanya untuk menghubungi
orangtua, siapa tahu aku mendapatkan secercah sinar pada keputusanku nantinya. Karena aku yakin
orangtuaku pasti selalu memberiku harapan untuk menentukan semua itu. Dengan ikhlas pastor itu
memberikan gawaiku selama empat puluh lima menit. Segera kutelepon ibuku, namun tidak ada
jawaban, teringat dalam benakku bahwa jaringan di kampung lemah sore-sore begini. Yah…sudahlah
nanti kucoba hubungi ulang, ujarku dalam hati. Grr…grrr…grrr…gawaiku bergetar, pesan dari
whatsapp masuk. Kulihat pesan itu dari dia (kekasihku). Dengan santai kubaca pesan itu. Pertentangan
dalam hidupku kembali berdatangan silih berganti. Hatiku tidak kuasa menerima realita yang ada.
Kata-kata yang membuat pergumulan dalam hatiku semakin banyak, ketika dia menuliskan pesan
demikian: “Bang, bila pada akhirnya kau mengakhiri hubungan ini demi panggilanmu, untuk apa dulu
kau mengungkapkan cinta itu padaku? Bang, aku terlanjur mencintaimu, aku berharap jangan sia-
siakan diriku. Bang kamu lanjut?”

Hatiku terpuruk, air mataku mulai menetes. Tuhan, mengapa semua harus begini? Dengan
segala cara kukirimkan pesan bahwa aku tidak melanjut. Itu kutulis supaya dia tetap tenang dengan
hubungan kami. Namun, waktuku memegang gawai sudah berakhir. Orangtua yang belum sempat
kutelpon membuatku masih khawatir, apakah aku lanjut atau tidak.

Waktu terus berputar, tetapi aku belum menuliskan apa-apa. Entah mengapa hatiku selalu
bertentangan dengan pikiranku. Hatiku merasakan ketenangan bila aku memilih jalan untuk melayani
Dia yang Maharahim. Namun, pikiranku terarah pada dunia luar yang hanya sementara saja. Akhirnya,
setelah bergulat dengan diri sendiri, aku menyatakan pilihanku dengan ragu-ragu, dengan berbagai
alasan yang mendukung aku pun mengumpulkannya. Sebenarnya ingin kuberlari dari kenyataan ini.
Lari karena aku tak mampu membenahi diriku lewat komitmen yang dulu terukir indah dalam hatiku.
Aku tidak mampu mengeluarkan kata-kata lewat bisikan hatiku, hingga mulutku bertolak belakang
dengan kenyataan ini. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, menyerah terlalu sulit, berserah…entahlah
hidup ini hanya Tuhan yang tahu.
Saat angin berhembus diterik matahari, aku berjalan-jalan menikmati sejuknya udara di siang
hari itu. Tiba-tiba salah seorang temanku memanggilku katanya, rektor memanggilku. Dengan penuh
tanya mengapa aku dipanggil, aku merespon temanku “baik aku segera ke sana”. Sesampai di sana,
aku mengetuk pintu kamar rektor. Dia langsung menyahutnya dengan menyuruhku masuk. Aku amat
terkejut ketika rektor itu bertanya bagaimana dengan keraguanmu? Sudah bisa dipastikan? Dengan
penuh keyakinan aku mengatakan bahawa aku belum yakin, aku masih bingung karena pertentangan
hatiku. Rektorpun berusaha untuk mencari tahu mengapa aku masih ragu akan penggilanku.

Akhirnya dengan penuh gejolak kusampaikan gundah gulana dalam hatiku pada rektor yang
juga pembimbingku. Tanpa ada yang kusembunyikan, aku dengan tenang perlahan mulai nyaman
dengan diriku lagi. Hal yang paling kuingat ketika pastor itu berkata; “Ronaldo, panggilan itu bukan
soal mana yang lebih enak, tetapi soal di mana kamu mampu nyaman pada suatu hal yang kamu pilih
itu. Oleh sebab itulah, kamu perlu mendengarkan suara hatimu. Supaya kamu tidak menyesal
kemudian. Berdoalah dan sampaikan juga segala gundah gulana dalam hidupmu pada Tuhan yang
Agung. Tetap semangat ya Bang, kamu pasti bisa”. Kembali kudapatkan secercah cahaya dalam
menjawab panggilanku. Aku diberikan waktu untuk berefleksi lagi menjawab panggilanku. Perasaanku
mulai lega. Tuhan sungguh bekerja nyata dalam hidupku. Kesempatan untuk berefleski harus
kumanfaatkan dengan baik, dengan segala kepercayaan untuk mendengarkan suara hatiku. Aku yakin
suara hatiku merupakan sebuah kebenaran yang menuntutku melihat dan mendengarkan situasi yang
terjadi pada diriku.

Kini…,keyakinan dan kepercayaan diri menjadi langkah awal bagiku untuk menemukan nyala
api yang dititipkan Tuhan di dalam diriku. Nyala api yang menjadi mutiara berharga dalam hidupku,
yang selalu bersinar dan menghiasi warna-warni hidup ini. Namun, sebelum memberikan kepastian,
alangkah baiknya bila aku mohon berkat dan doa dari sang ibu. Karena aku yakin doa ibu yang
merangkulku sehingga aku bisa menentukan pilihanku nantinya. Dengan penuh kepercayaan aku
meminta izin dari prefek untuk menggunakan gawaiku lagi. Syukurlah, karena pastor itu tahu
kondisiku, aku diijinkan memakainya. Alangkah terkejutnya diriku saat aku mendapat pesan dari ibu,
“Nak, ibu hanya berharap suatu saat nanti aku ingin melihatmu seperti malaikat yang berselubungkan
jubah putih, tidak lebih dari itu. Namun, itu hanyalah harapan ibu, semuanya tergantung kamu.
Semangat ya, anakku”.

Dengan segala kepercayaan dalam hatiku kubalas pesan ibu, “Ma…tujuan tetaplah sebuah
tekad, aku sempat bimbang dalam pilihan ini. Hatiku selalu bertentangan dengan alur pikiranku.
Namun, dengan penuh kepercayaan, aku mendengarkan suara hatiku dalam refleksiku. Ibu aku mohon
doamu dalam menentukan pilhan ini. Aku akan menyatakan lanjut ibu. Dukung aku ya, Bunda. Inginku
segera mengembalikan gawaiku karena waktu untuk memakainya kira-kira 10 menit lagi. Namun, aku
mendapat pesan lagi dari kekasihku kira-kira dua hari yang lalu, mengenai keputusanku yang kemarin.
Aku bersyukur kamu memilih jalan itu, semoga kita dipersatukan kelak ya, Bang”, ujarnya dalam pesan
itu. Dengan berdoa dalam hatiku terlebih dahulu, akhirnya kujawab pesan itu. “Dek, terima kasih telah
pernah mengisi dan mewarnai hidupku. Aku mohon maaf atas semua ini. Cintaku lebih besar kepada
Pencipta kita. Aku hanya barharap, ubahlah rasa cintamu kepadaku sebagai ucapan doa yang
membuatku semakin bertahan pada panggilan ini. Aku harus mengakhiri hubungan ini. Aku pamit
yah… Aku mohon engkau mengerti”. Segera kukembalikan gawaiku dengan perasaan yang begitu lega.
Tanpa ada lagi pergulatan hati yang kualami.
Ternyata benar dan sungguh nyata bahwa hatilah yang mampu menyatakan kebenaran dan
hati itu pulalah yang menggerakkan kita untuk tetap mencari titik peluh untuk menyampaikan segala
gundah gulana kita kepada orang yang memberi kita perubahan, sehingga terciptanya komunikasi
secara ramah. Keterpurukan yang kaualami kini menjadi kepastian yang berbuahkan kenyamanan.
Kala itu aku merasa ditinggalkan oleh Tuhan ketika keterpurukan itu menimpaku. Namun, kini aku
sadar bahwa Dia punya rencana indah dalam hidupku. Di dalam ruang studi, aku memejamkan mata.
Keheningan di dalamnya menggerakkan hatiku untuk bersuara dalam diriku. Dengan keyakinan
kutuliskan LANJUT dan bersedia menapaki penggilan ini lebih dalam lagi, meski pasang surut itu selalu
menghampiriku. Aku yakin Tuhan senantiasa menunjukkan kuasa-Nya bagi hamba-Nya yang sabar dan
tak kenal putus asa. Kurangkai kata-kata mewakili segala hatiku yang sempat terpuruk.

Tuhan….hari demi hari telah berlalu


Hati dan pikiranku mulai berdamai
Kepastian mulai bertekad dalam hidupku
Tuhan akan kulanjutkan panggilan ini,
Tuk menjawab pelayan-Mu
Karena aku yakin pelikku akan berbuah peluk jika aku bersama-Mu,
Tuhan berkati hamba-Mu ini.
DATA DIRI
Nama : Ronaldo Sianipar
Tempat tanggal lahir : Parsoburan, 23 Februari 2006
Nama orangtua :
Ayah : Naek Sianipar (+)
Ibu : Leserina Pardosi
Pendidikan : - SD Swasta Santo Pius Parsoburan (2012-2018)
- SMP Kartini Parsoburan (2018-2021)
- SMA Seminari Menengah Pematang Siantar (2021-sampai
sekarang)

Anda mungkin juga menyukai