Anda di halaman 1dari 3

KETIKA KEIKHLASAN ITU HADIR

2 Juni 2010 pukul 21:43

Oleh Azma Mutiara Aisyah

Tangisku pecah, memasuki kamar kosku. Seperti berada dalam pelukan ibuku. Kamar
tempatku menumpahkan segala rasa. Kamar tempatku merancang mimpi dan merajut asa.
Disini aku bisa menangis sepuasnya. Aku bisa melakukan apa pun yang aku mau,
termasuk menangis dengan tangisan paling menyayat seumur hidupku, begitulah aku
mengistilahkannya. Kumatikan ponsel dan semua akses komunikasi. Aku tidak ingin
bicara dengan siapapun, karena tak akan ada yang mengerti perasaanku saat itu.

Aku menangis, menjerit, memecah kesunyian, dan menumpahkan semua beban yang
membunch di dadaku. Tak satu pun orang di rumah kos ini. Hanya aku dan Tuhanku.
Tuhanku? Kenapa aku bisa melupakannya...Tuhan tempatku bergantung. Tuhan tempatku
bermohon, Allah tempatku berbagi.

Setelah hampir satu jam menangis, aku mulai merasa lelah. Seiring suara azan Isya dari
masjid sebelah, aku mencoba bangkit. Berwudhu, membasu wajahku, menyeka sisa air
mata yang menempel di pipiku.

Rabb, nikmat Engkau yang mana lagi yang akan hamb dustkan?

Kenapa aku harus menyayat sedemikian menyayat padahal aku masih bisa merasakan
dinginnya air wudhu membasahi permukaan kulitku. Setelah itu kuhadapkan diri pada
Rabb-ku. Sholat Isya. Allahu Akbar...Maha Besar Allah yang telah menciptakan ujian
dan cobaan dalam hidup. Mungkin inilah shalat terbaik dalam hidupku. Sholat dalam
keadaan ingatanku akan kematian teramat kuat. Inikah shalat terakhirku?

Kenapa harus aku? Cukup kuatkah aku menjalaninya? Mampukah aku hidup tanpa
mimpi dan asa?

Ingatanku kembali pada kejadian siang tadi saat berjalan sendiri melewati lorong-lorong
sepi di salah satu rumah sakit. ini hari ke-6 aku menjalani rangkaian pemeriksaan
tubuhku di rumah sakit. Keluhan anemia, mual muntah, hipertensi, dan asam urat tinggi
kembali terngiang di kepalaku. Hari ini adalah penentuan, sakit apa aku sebenarnya.

Dengan tegap kulangkahkan kakiku menuju ruang periksa dokter spesialis ginjal dan
hipertensi. Dengan tenang aku duduk di depan dokter sambil menyerahkan hasil-hasil lab
yang jumlahnya sudah tak terhitung lagi.

saat selesai membaca hasil labku yang terbaru, tiba-tiba dokter itu menatapku dalam. Aku
hanya tersenyum. Dia menatapku semakin dalam. Tak lama kemudian, meluncurlah
kelimat panjang yang seolah menjadi pengantar bayanganku tentang
sesuatu : .....KEMATIAN!!!
"Kamu punya Askes? Kerja dimana? Ada jaminan kesehatan nggak? Dengarkan baik-
baik, kamu harus menjalani cuci darah dua kali seminggu. Satu kali cuci darah 600.000
rupiah. Artinya, kamu harus sedia uang minimal 4.800.000 rupiah setiap bulan. Kalau
tidak, kamu akan mengalami komplikasi penyakit sampai koma dan bisa berakibat pada
kematian, gimana?"

Aku perempuan berusia muda, yang datang sendiri ke rumah sakit dengan keyakinan
bahwa penyakitku masih bisa diobati dengan minum obat secara rutin, tiba-tiba
mendengar istilah baru bernama cuci darah.

Ya Tuhan, apa lagi ini? Jenis pengobatan macam apa ini? Mengapa begitu mahal?
Apakah tidak ada alternatif lain? Sudah sedemikian parahkah penyakitku ini?

Segala hal tentang kematian tiba-tiba menggantung di pelupuk mataku. Kucoba menahan
bulir bening itu turun dengan mengangkat wajah sambil menatap gambar-gambar yang
menempel di dinding. Tidak mungkin aku menjalani cuci darah yang sedemikian mahal.
Membayangkannya pun bahkan aku tak sanggup. Yang terngiang di telingaku hanyalah
ungkapan sang dokter : Cuci Darah atau Mati!

Dan sampai kini ingin sekali kukatakan "Dokter, tidak bisakah Anda memberi sedikit
harapan kepada seseorang yang harus menghadapi kematian ketika teman-temannya
sedang merajut mimpi tentang masa depan?"

Tiba-tiba ada suara keras yang memekakkan telingaku, "IKHLAS!!" Ya, hanya itu. Entah
dari mana. Apakah itu suara nuraniku atau jawaban dari pertanyaanku? Aku tak pernah
tahu. Yang jelas satu hal yang aku rasakan saat itu, ada kekuatan yang mendorongku
untuk berkata, "Rabb, apapun yang akan terjadi, apapun yang harus hamba jalani, hamba
ikhlas."

Ada kekuatan besar yang mampu mendorongku untuk berhenti menangis, berhenti
bertanya. Aku mencoba sendiri, lebih banyak mengingat Allah, mencoba memaknai sabar
dan ikhlas yang tak terbatas.

Selembar kertas yang bertebaran di meja segera ku raih, jemari lentikku kembali
menggerakkan pena..
Hari ini ku ingin sampaikan padamu tentang ikhlas...

Sungguh, Kesabaran itu tak pernah berbatas..


Yakinkan dirimu bahwa tak akan ada kata "Kesabaranku sudah habis" keluar dari
mulutmu
Karena ikhlas itu tak pernah boleh berakhir...
Yakinkan dirimu bahwa tak pernah ada kata "Aku sudah tak sanggup lagi" mengalir
dalam bibirmu
Karena tugasmu sebagai Abdi Rabbmu..tak akan pernah selesai
Yakinkan dirimu bahwa Rabb-Mu Maha Adil
Yakinkan dirimu bahwa engkau mencintai-Nya..
Yakinkan dirimu bahwa engkau mati hanya untuk-Nya..
Yakinkan dirimu bahwa tak pernah ada sesuatu dan seseorang dalam hatimu kecuali DIA.
Dan akhirnya...keikhlasan itu pun hadir....

Ketika kehendakmu tak sejalan dengan kehendak-Nya...


Biarkan kehendak-Nya yang berjalan atas hidupmu
Karena kehendak-Nya adalah kebaikan untukmu

Ketika inginmu tak sesuai dengan ingin-Nya


Biarkan ingin-Nya menjadi skenario terbaik bagi hidupmu
Karena Dia Mahatahu segala hal tentang dirimu..

Biarkan tangisan mengobati kekecewaanmu


Bukan kecewa pada Robb-Mu..
Tapi kekecewaan pada dirimu sendiri
Karena tak mampu berdiri diatas ingin-Nya..

Hidup harus terus dijalani, Sholehah terkasih...


Semenyakitkan apapun
Siap ataupun tidak
Karena Rabb-Mu tidak pernah butuh persetujuanmu atas setiap kehendak-Nya..

(Didedikasikan untuk saudari saya semoga Allah mengangkat penyakitmu secepatnya,


dengan kesembuhan yang tiada sakit setelahnya...)

Markaz Pribadi Mutiara Aisyah


Jatipadang, April 2010

Anda mungkin juga menyukai