Anda di halaman 1dari 32

My love My Rival (Cerpen)

-CEKIDOT-
“jelek”ucap lelaki hitam manis,Rio.
“item”ucap perempuan berkulit putih itu,Ines
“walupun item, tetep keren”ucap Rio
“kalo item, item aja, nggak usah nambahin kerennya kali”ucap Ines
“kalo sirik bilang aja”Ucap Rio
“ih, masa’ aku sirik sama orang cungkring, jelek, item, pesek kayak lo, idih”Ucap Ines
“Rio, Ines sehari aja nggak berantem bisa kali, pagi-pagi udah berantem aja” lerai Anita
sahabatnya Ines yang notabene nya pacarnya Andre sahabatnya Rio.
“kalo biasanya sih, yang gini-gini bakalan jadi cinta” ucap Andre yang langsung dapat
toyoran dari Rio.
“enak aja, aku nggak mau kali pacaran sama nenek-nenek kayak dia, mending sama neng Tia
yang cantik” ucap Rio sambil senyum gaje.
“emang aku mau ya pacaran sama kamu. Nggak kali, bodo’ emang aku peduli kamu suka
sama nenek sapu ijuk kayak dia” ucap Ines.Iya, Ines sangat tidak suka dengan,Tia, begitupun
Anita dia juga tidak suka dengan Tia, mereka bisa dibilang sih haters Tia yang paling fanatic.
“tau tuh, jangan bawa-bawa Tia dong” ucap Anita.
“ke kelas yok Ann, bisa kebakar aku kalo dekat nih orang” ucap Ines sambil menatap sinis
Rio. Anita hanya mengikuti.
“yah, Yo. Jadi pergikan princess Anita nya” ucap Andre sok puitis.
“alay lo” ucap Rio yang dapat toyoran Andre.
“ini yo, yang dinamakan cinta, takut pacarnya pergi” ucap Andre.
“gaje lo Ndre” ucap Rio sembari meninggalkan Andre.

**(@kelas)**
kelas Ines saat ini sedang tidak ada guru, jadinya semua siswa bekeliaran.
“hai, neng Tia. makin cantik aja deh” ucap Rio agak keras, supaya bisa didengar Ines.
“apaan sih nih orang” gerutu Ines.
“cemburu ya?” Goda Anita.
“nggak kali, ngapain juga aku cemburu sama dia, ih nggak banget deh” ucap Ines.
“Tia, ntar ada acara nggak?” tanya Rio agak keras.
“nggak ada tuh. Emang kenapa?” ucap Tia yang juga agak keras, bermaksud nyindir Ines.
“jalan yok” ucap Rio.
“ayok” ucap Tia.
“ciee Tia” ucap teman-teman Tia.
“ kok aku nggak suka ya liat Tia sama Rio mau jalan? Apa aku? Nggak, nggak mungkin aku
suka sama Rio” batin Ines. “hey, Nes kenapa lo?” ucap Anita membuyarkan lamunanku.
“eng,nggak kok” ucap Ines kikuk. “lo cemburu ya?” ucap Anita. “nggak kok” elak Ines.
“udah jujur aja kali, sebenernya sih aku udah tau, kalo sebenernya lo itu suka sama Rio kan?”
ucap Anita agak keras, semua mata melihat kearah aku dan Anita. “aduh Nit, lo itu ngomong
nya kenceng banget sih, gue nggak suka kali sama Rio” ucap Ines. “heh, lo suka sama Rio?
siap-siap aja berurusan sama gue” ucap Tia yang menghampiri Ines. “eh, mau lo apa? Gue
nggak bilang tuh kalo gue suka sama Rio”ucap Ines. “lo berani sama gue?” ucap Tia.
“ngapain juga takut sama nona sapu ijuk kayak lo” ucap Ines. “udah lah Nes, cewek kayak
gini mah nggak usah diladenin, ntar lo ketularan gila lagi” ucap Anita. “oh, kalian berani
sama gue” ucap Tia. “helow, udah berapa kali ya lo bilang gitu, kalo berani ayo sini” ucap
Ines. “heh kalian ini apaan sih?nyadar dong kalian itu udah gede” ucap Rio melerai. “itu yo,
dia duluan” ucap Tia manja. “eh, lo nggak usah sok jadi pahlawan deh” ucap Ines. “ udahlah
Nes” ucap Anita. “Rio itu nggak mau kali nolongin elo, dia itu mau nolongin gue, dia itu suka
sama aku, buktinya aja dia mau ngajak aku jalan, iya kan yo?” ucap Tia.”huh, dari pada panas
dengerin Tia mending keluar aja” batin Ines “maaf ya Ya, setelah aku liat kamu kayak gini,
aku nggak jadi ngajak kamu jalan” ucap Rio. yang tadinya Ines tengah berjalan keluar kini
langkah nya terhenti ketika mendengar perkataan Rio. “hahha mampus lo Ya” batin Ines, lalu
melanjutkan langkahnya keluar kelas, tepatnya lagi ketaman belakang sekolah.

**(@TAMAN)**
Ines duduk di kursi panjang bercat putih yang ada ditaman.
“kok gue bingung ya? Apa jangan-jangan gue suka sama Rio?” ucap Ines.
“tapi kan Rio itu nyebelin” ucap Ines lagi
“tapi, kayaknya Rio itu baik deh” ucap Ines.
“cinta itu bisa datang dimana aja dan kapan aja Nes, bisa aja kita suka sama musuh kita” ucap
seseorang dari belakang.Ines menoleh kesumber suara. “rio” gumamnya pelan, ya orang itu
adalah Rio. Rio hanya tersenyum. “boleh aku duduk?” tanya Rio. Ines hanya mengangguk, ia
masih tak percaya ada Rio, jangan-jangan Rio mendengar ucapannya tadi, sangat lah malu
Ines saat ini. “ll..llo dari tadi disini?” tanya Ines ragu. “iya” ucap Rio sembari mengangguk.
“berarti kamu…” ucap Ines yang langsung di potong Rio. “aku denger kok” ucap Rio yang
seakan mengerti perkataan Ines. Oh, sungguh sangat malu saat ini Ines pada orang di
sebelahnya ini. “Nes, menurut lo cinta itu gimana sih?” tanya Rio pada Ines. Ines hanya
menggeleng,” aku nggak tau, soalnya aku belum pernah ngerasain yang namanya cinta” ucap
Ines. “ohya? Bukannya banyak yang bilang, kamu itu banyak yang suka” ucap Rio. “iya”
ucap Ines. “Semuanya kamu tolak?” tanya Rio. “iya” ucap Ines. Ines sangat tidak suka
berbicara yang menyangkut tentang remaja-remaja atau lebih tepatnya tentang cinta. “yo, aku
pergi kekelas dulu ya, ntar ada guru lagi” ucap Ines sambil beranjak ingin pergi, namun
tangannya di tahan Rio. “udah ntar aja kali Nes” ucap Rio, lalu Ines kembali duduk.
Hening…… hanya lah hening yang tercipta. “Rio… Ines sedang apa kalian?” teriak
seseorang dari kejauhan yang memecahkan keheningan, ternyata itu bu Irva. “bu Irva” ucap
Ines kaget. “sini kalian” ucap bu Irva. Ines dan Rio hanya mengikuti dan segera mendekat
kearah Bu Irva. “maaf bu” ucap Ines. “sebagai hukumannya kalian harus berdiri sambil
hormat kepada tiang bendera di lapangan upacara, cepat” ucap Bu Irva agak sedikit
membentak. “ta..tapi bu” ucap Ines. “Bu, biarin aku aja yang kena hukuman, ini salah aku,
aku yang ngajak Ines buat bolos” ucap Rio, kali ini Rio angkat bicara. “tidak, alasan apa pun,
kalian tetap harus menjalankan hukuman” ucap Bu Winda. Ines hanya berjalan gontai, Rio
mengikutinya. “maaf ya Nes” ucap Rio. Ines hanya mengangguk lemas.

**(@lapangan)**
“huh, panas banget lagi. Gara-gara kamu nih” gerutu Ines.
“aku kan udah minta maaf Nes” ucap Rio.
“aku tau, tapiaku capek tau” ucap Ines
“aku juga capek kali Nes” ucap Rio.
“ini kan gara-gara kamu” ucap Ines.
“oke, ini emang salah aku terus kenapa” ucap Rio sedikit membentak.
“nggak bentak bisa kali” sewot Ines. Rio hanya diam, dia menyesal telah membentak Ines.

**(@pulang sekolah)**
“Nit, pulang bareng yuk” ajak Ines.
“maaf Nes, aku pulang bareng Andre” ucap Anita tak enak.
“oh, yaudah. Duluan ya” ucap Ines.
“maaf ya Nes” ucap Anita, Ines hanya mengangguk lesu.
Ines merogoh saku bajunya, dilihatnya selembar uang yg ada disakunya. “yah tinggal 10.000,
gimana mau naik taxi,kalo naik angkot harus jalan dulu dong” ucap Ines.
“ikut aku yuk” ajak seseorang yang menaiki motor cagiva hitam dengan helm full face.
“kenal juga nggak, jangan-jangan…. Kamu mau nyulik aku ya?” tanya Ines.
“siapa juga yang mau nyulik orang bawel kayak kamu” ucap orang itu sambil membuka helm
nya.
“rio” ucap Ines pelan. “ayo, naik” ucap Rio. “nggak ah” ucap Ines. “udag ayok” ucap Rio
sambil menarik Ines, Ines hanya pasrah.
Di perjalanan hanyalah hening yang tercipta, sampai akhirnya Ines sudah sampai
dirumahnya.
“makasih ya Yo” ucap Ines.
“iya sama-sama kok” ucap Rio.
“mampir dulu yuk” ajak Ines.
“udah sore nih Nes, aku langsung pulang aja”ucap Rio.
“oh, yaudah deh” ucap Ines
“aku pulang ya” ucap Rio, Ines hanya mengangguk.

**(@kamar Ines)**
Ines langsung merebahkan tubuhnya di kasur, tak sadar ia tertidur
*
dengan mata yang masih tertutup sedikit Ines mengabil handphone nya yang ada di bawah
bantal. Dilihatnya layar handphonenya, mata Ines membulat seketika, ketika melihat layar
handphonenay yang betuliskan 23 panggilan tak terjawab dan 30 sms, semuanya dari kontak
yang sama.
Ines membuka pesan itu.

from : Reno
Ines, kalo kamu mau lihat aku, kita ketemuan di taman ya

begitulah isi pesan yang dikirimkan Reno, teman dunia maya Ines, Ines tidak pernah melihat
Reno bahkan melihat fotonya saja belum pernah. Ines sangat senang ketika melihat pesan itu.
Ines langsung membalas pesan dari Reno.

to : Reno
kapan Ren?
From : Reno
kalo bisa sih sekarang

To : Reno
oke, aku siap-siap dulu ya, nggak sabar deh liat kamu

From : Reno
aku tunggu ya, cepet ya jangan lama-lama

To : Reno
kamu udah disana?

From : Reno
iya, aku udah ditaman, kamunya sih lama banget
To : Reno
maaf, tadi ketiduran. Heheh

From : Reno
tidur mulu, udah cepetan.
oh iya, aku pake baju warna abu-abu ya

Ines tak membalas pesan dari Reno, ia langsung siap-siap.


hanya dengan pakaian yang cukup simple, Ines terlihat cantik .
rambut yang di hias bandana berwarna biru tosca senada dengan waran pakiannya.

Ines menatap dirinya di pantulan cermin “udah selesai” ucap Ines sambil tersenyum.

**(@taman)**
mata Ines langsung tertuju pada lelaki yang duduk membelakangi Ines yang mengenakan
baju berwarna abu-abu itu. “Reno” Ines berlari kearah lelaki itu. lelaki itu pun menoleh.
Langkah Ines terhenti ketika melihat lelaki itu. “Rio” ucap Ines pelan, ya itu Rio.
“iya, Nes ini aku” ucap Reno atau Rio. “jadi selama ini….” ucap Ines terpotong. “Reno itu
aku Nes, aku sengaja jadi temen dunia maya kamu, supaya aku bisa deket sama kamu,karna
aku suka sama kamu” ucap Rio. Ines hanya diam, masih tak percaya dengan Reno. “Ines,
kamu mau nggak jadi pacar aku? Aku sayang sama kamu Ness” ucap Rio. Ines hanya cengo
melihat Rio. “Nes, pliss jawab” ucap Rio. “aku mimpi?”batin Ines. “kok bisa Rio bilang gitu”
Batin Ines lagi. “Nes” ucap Rio. “iya?” ucap Ines tersentak. “gimana? “ ucap Rio. “gimana
apa?” tanya Ines. “kamu terima aku apa nggak?” tanya Rio. “gimana ya? Kok aku dag dig
dug gini Sih?” batin Ines. “Nes gimana?” tanya Rio. “iya” ucap Ines. “beneran Nes?” tanya
Rio tak percaya. “iya Rio “ ucap Ines. “makasih Nes” ucap Rio

-THE END-

Love Story

Perlahan aku membuka sebuah diary usang, aku yakin umur diary ini sudah lebih tua dari
umurku. Tentu saja, diary usang ini milik Ibuku, bungkusnya masih tampak rapi, tulisan di
dalamnya pun tampak indah. Kertas yang tampak tua dan sudah lapuk tetap indah karena
tulisan dan cerita indah di dalamnya. Aku membalik tiap lembar dari diary itu, aku
membacanya perlahan. Tampak sebuah cerita yang terlihat sangat menarik dan membuat
siapapun yang membacanya ikut tersenyum, di sana juga terpampang sebuah foto gadis muda
dan kekasihnya yang terlihat sangat bahagia.

14 Semptember 1987
Hari ini adalah hari bahagia yang paling kunanti sepanjang hidupku. Tak pernah kusangka
hari ini aku akan melepas semuanya. Melepas masa sendiriku, dan memulai kisah yang baru
dengan orang yang kusayangi. Aku benar-benar bahagia saat kau menyematkan sebuah cincin
di jari manisku, aku benar-benar bahagia saat kita sama-sama memasuki gereja dan
mengucapkan janji sehidup-semati kita di sana. Semua orang ikut bahagia akan hari itu.
Tak pernah kusangka orang yang dulu menjadi sainganku saat pertama kali kuliah, adalah
menjadi orang yang akan menjadi pasangan hidupku sampai nafasku berhenti.. tak pernah
kusangka orang yang selalu menggangguku adalah orang yang pada akhirnya akan tua dan
mati bersamaku.
Tak pernah kusangka kita bisa melewati semuanya bersama. 4 tahun kita melewati semuanya
bersama. Menghadapi semua rintangan, menguji kita apakah kita bisa bersatu atau tidak.
Sama-sama berusaha belajar dan meraih cita dan cinta. Semua sudah terjawab hari ini.. hari
ini.. semuanya baru dimulai, hari ini kita membuka lembaran baru dan kehidupan yang baru.
Hari ini adalah sejarah bagi kita, hari ini adalah awal dari semuanya. Aku berjanji akan selalu
mendampingimu sampai maut memisahkan kita.. aku sangat menyayangimu..

“Kak.. kamu baca diary Mama?” suara Mama mengagetkan aku.


“Uh.. eh.. Mama.. Hehe.. maaf ma, Dinda gak sengaja liat tadi” jawabku ngeles.
“Oh.. ya. Gak masalah, Din. Mama gak marah kok” jawab Mama sambil mengusap lembut
kepalaku, “Din.. besok kamu sudah mulai kuliah? Gak terasa ya, anak gadis Mama sudah
besar sekarang”
“Dinda udah lama gede kali Ma hehehe.. Iya, Ma. Dinda gak sabar pengen punya kisah cinta
kayak pasangan kekasih yang ada di diary tua itu hihihi..” aku menggoda Mama.

Ospek 1 minggu yang benar-benar membuat aku hampir gila dan menderita berhasil kulalui
dengan lancar, aku mendapat teman bernama Vivian dan Robby, teman-temanku yang baru
dan sangat baik padaku. Walaupun aku merasa Robby adalah orang yang cukup pandai,
terbukti setelah 1 minggu kuliah, dia adalah orang yang paling cepat mendapat nilai plus dari
seorang dosen yang sebenarnya adalah dosen yang agak pelit dengan nilai B.
“Kamu semangat dong, Din.. Masa naklukin dosen gitu aja kamu gak sanggup!” Robby
mendukungku.
“Yeee. Emang gampang apa? Kamu pake pelet apa sih? Kok banyak sih dosen yang care
banget sama kamu?”
“Pelet? Emang aku ikan ya?”
Itulah Robby, orang yang asik dan pandai, sementara Vivian tertutup dan agak pendiam. Aku
tak pernah bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya.

Ini adalah kehidupan ku yang baru, sudah berhasil kulalui selama 1 semester, ya.. aku merasa
lelah dan jenuh. Begitu banyak beban yang harus kuhadapi. Tugas, kuliah mendadak, tugas,
kuliah mendadak, hal itu lah yang selalu menghantui hidupku selama kuliah 6 bulan pertama..
belum lagi siksaan dari dalam diriku saat melihat nilai ku yang sangat-sangat-tidak-membuat-
aku-merasa-puas! Aku mendapat 2 nilai C, 1 nilai C+ dan yang lainnya hanya B. Sebatas
itukah kemampuanku? Sementara Robby? Jangan Tanya! Dia selalu mendapat nilai B dan
beberapa nilai A. Aku merasa dia adalah saingan terberatku dan aku harus mengalahkannya.
Ya.. aku pasti bisa!
“Kok melamun aja sih, Din?” Tanya Vivian padaku.
“Mikirin aku ya, Din?” sambung Robby dengan begitu pedenya.
“Apa, By? Mikirin kamu? Iuhh!! Yang ada aku mikirin nilai-nilaiku, dan nilai kamu, By.
Huftt aku pesimis deh bisa nyelesain kuliah ini, ditambah lagi punya saingan kayak kamu
yang pintarnya selangit. Aku ngerasa capek, deh ngadapin ini semua.”
Tiiitiitiitiit.. handphone Vivian berbunyi memecah suasana galau ku siang itu, “Eh.. aku
pamit ya, aku disuruh pulang sama Ibu” Vivian pamit dan pergi meninggalkan kami berdua
pada sore yang dinginnya menusuk tubuh ini.
“Kamu pesimis banget sih. Kamu pasti bisa, Din. Jangan lemah kayak gitu dong! Aku pasti
ada buat kamu kalau kamu butuh bantuan aku, Din. Percaya deh! Aku juga siap kok jadi
tempat sandaran kamu kalau kamu sedih, capek, atau apa lah itu! Aku pasti ada buat kamu,
asal kamu gak nyerah dan putus asa gini, tuh.. kecantikan kamu jadi berkurang, kan!”
Terimakasih Robby..

Janji yang tidak pernah diingkarinya, dia benar-benar membantuku, menjadi tempat aku
bersandar dan menjadi tempat aku mengeluarkan semua keresahanku, dan semua keganjalan
yang ada dalam hatiku. Saat itulah aku mulai menyadari aku sangat menyayanginya.
“Din.. kayaknya aku suka sama Robby, deh” suara Vivian sahabatku membuatku sangat
shock saat itu. Ya Tuhan.. kejadian macam apa ini?
“Oh ya.. bagus dong. aku pasti bantu kamu!” aku mendukungnya walau sangat berat untuk
mengatakan hal itu.
“Makasih ya, Din..” katanya sambil memelukku.

Aku tidak pernah berbohong pada Vivian, aku menepati janji itu. Aku selalu membantunya
untuk dekat dengan Robby. Aku selalu mempengaruhi Robby agar ia mau mendekati Vivian
walaupun ia selalu menolak.
“Kenapa sih, Din kamu selalu nyuruh aku buat deket sama Vivi, kamu juga selalu jodoh-
jodohin aku sama dia. Kamu gak ngerti aku sukanya sama kamu! Aku sayangnya sama
kamu!” kata-kata itu menggetarkan suasana hatiku saat itu.
“Tapi.. aku mau Vivian bahagia. Aku rela ngorbanin semuanya demi Vivi, dia sahabatku,
By!”
“Kalo kamu ngorbankan ini, kamu nyakitin perasaan 3 orang sekaligus, yang pertama aku,
aku sukanya sama kamu, bukan sama Vivian. Yang kedua, Vivian, gak mungkin dia
menerima kepalsuan. Dan yang ketiga, itu kamu sendiri. Kapan sih kamu mikirin
kebahagiaan kamu, Din? Kamu selalu ngorbanin semuanya sama orang-orang sekitar kamu,
kamu gak pernah mikirin perasaan kamu sendiri, tanpa mikirin kebahagiaan kamu! Aku gak
mau tau! Aku pengen kamu bahagia, aku suka sama kamu, Din! Kamu jangan berbohong
sama diri kamu sendiri ya.. biar aku yang menjelaskan semua pada Vivian” kata Robby.
Resmilah sebuah hubungan yang lebih serius hari itu, awalnya aku sempat ragu untuk
menjalani semua ini karena Vivian. Namun, Robby benar, kapan aku akan bahagia jika aku
selalu mengorbankan perasaanku demi orang lain?

Vivian tidak pernah tau tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sudah 1 tahun kami
menyembunyikan semua ini darinya, aku benar-benar tidak tega menyakiti perasaan
sahabatku, sampai saat ini dia masih tetap mengatakan bahwa ia sangat menyayangi Robby.

Hari itu.. Robby menyanyikan sebuah lagu yang begitu populer pada masanya, “Mungkin
hanya.. lewat lagu ini.. akan kunyatakan rasa, cintaku padamu, rinduku padamu, tak bertepi..”
ya tepat saat 1 tahun kami jadian, di depan Vivian dan aku, saat itulah Vivian mengetahui
semuanya.
“Kamu tega ya, Din.. kenapa kamu bohongin aku? Kenapa kamu mau bantu aku tapi taunya
kamu juga suka sama dia? Kenapa kamu mau aja ngebiarin aku terjebak dalam kebohongan
kamu, Din? Saat aku nanya Robby udah punya pacar atau belum, kamu selalu jawab nggak
tau, padahal kamu tau. Kenapa kamu selalu mau denger aku curhat? Selalu dukung aku?
Haa!? Kamu tega ya!”
Segala jenis permintaan maafku tidak diterima olehnya, Robby tetap mendukungku, tetap
menopangku, menjagaku, dan merangkulku. Ia tidak pernah meninggalkanku, ia adalah
sumber semangatku, selalu memberiku semangat saat menghadapi masalah Vivian, dan
masalah kuliah, “Ini gara-gara aku, Din. Aku janji gak akan pernah ninggalin kamu sampai
kapanpun! Aku pasti selalu ada buat kamu, kamu gak sendiri ngadapin ini!”
Semua berlau begitu cepat, hari dimana aku, Robby, Vivian lulus, aku mendapat nilai yang
sangat memuaskan, namun hatiku masih terasa berat meninggalkan kampus ini jika
masalahku dengan Vivian belum juga selesai..
“Vivi.. selamat ya, kamu lulus. Aku minta maaf sama kamu, aku sayang kamu!” aku
mencoba meminta maaf padanya.
“Dinda… maafin aku ya, aku sadar, aku yang salah.. aku terlalu egois, aku terlalu memaksa
apa yang kukehendaki bisa menjadi nyata tanpa aku memikirkan perasaan kalian berdua.
Maafkan aku, Dinda.. Robby” sahabat lama yang sempat meninggalkan aku memelukku
dengan erat. Air mata kebahagiaan membasahi pipi 2 gadis cantik yang sudah lama berpisah.
“Iya.. Vi.. maafin aku juga, ya.”

Tepat 5 tahun sudah kami pacaran, hingga akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan
hubungan ini, Vivian adalah salah satu orang yang membantu aku mempersiapkan hari
istimewa itu. 14 September 2012, hari yang sangat tepat untuk melaksanakan semuanya..
“Din.. selamat ya.. hari ini sahabatku gak akan sendirian lagi”
“Makasih ya, Vivian.. kamu cepet nyusul loh..”
Dan Mama.. orang yang sangat berarti bagi hidupku, “Selamat ya anak mama paling cantik..
ternyata hari istimewa kita jatuh di hari yang sama, Nak. Dengan kisah yang hampir mirip
juga. Mama berharap hidup kamu selalu bahagia. Dan ingatlah, ini awal dari kehidupan kamu
yang baru. Mama selalu dukung kamu”

Saat yang ditunggu tiba, saat kami memasuki ruangan gereja, berdiri di hadapan altar dan
pendeta yang akan memberkati kami, mengucapkan janji sehidup semati, dan cincin itu..
tersemat di jari manisku..

14 September 2012
Hari yang benar-benar istimewa bagiku. Hari yang membuat aku merasa beruntung.. hari ini
kita sama-sama berjalan ke gereja, sama-sama mengucapkan janji kita di hadapan-Nya, dan
menyematkan cincin itu di jari kita masing-masing. Hari itu dan cincin ini adalah saksi bisu
kisah cinta kita. Aku tak pernah menyangka kau adalah jodohku, orang yang pernah ku
anggap sebagai saingan, orang yang selalu mendukung aku, menjadi sandaran saat aku
lemah, dan orang yang selalu menjadi alasan untuk aku tetap semangat. Aku berharap aku
dapat memberi yang terbaik bagimu, aku berjanji akan selalu setia bersamamu hingga maut
memisahkan kita. Aku menyayangimu…

- END -

Cerpen Karangan: Anggi Doloksaribu


Blog: anggidoloksaribu.blogspot.com
Facebook: Anggi Doloksaribu
This Is My Love Story
Saat itu aku sedang menunggu sahabat
kesayanganku dan tiba-tiba ada seseorang
yang turun dari mobil lalu menghampiriku.
Dari situlah awal cintaku…
“Hai”, sapanya
“Hai”, ucapku membalas sapanya
“Ngapain disini?”, tanyanya
“Aku lagi nunggu sahabat aku”, jawabku
“Mau pulang bareng?”, ajaknya
“Gak usah, sebentar lagi sahabat aku keluar
kok”, aku menolaknya
“Emmm… okeh, duluan yah, sampai ketemu
next time, dahh…”, ucapnya diselingi
lambaian tangan lalu pergi dengan mobilnya
Aku hanya tersenyum kecil melihatnya, ku
pikir orang itu aneh.

“Hey.. siapa tuh tadi?”, tanya sahabatku


yang tiba-tiba muncul dibelakangku, Riska…
“Gak tahu tuh, ya udah yuk”, ajakku
Riska hanya menganggukan kepalanya tanda setuju, kami pun memutuskan untuk pergi ke
toko buku, memang aku yang minta pada Riska.

Kami sampai di toko buku, aku pun langsung mencari-cari buku novel yang menarik untuk di
baca dan langsung membelinya.
“Loe cari apa Ris?”, tanyaku pada Riska yang sedari tadi hanya berjalan kesana kemari
seperti mencari sesuatu
“Gue cari buku panduan gitu, loe tahu dimana?”, tanya Riska
“Ohh.. bilang dong dari tadi, tuh.. tadi gue liat di ujung sana, lagian tumben amat nyari
buku”, ucapku heran
“Kalau bukan buat kuliah, gue juga gak akan cari kali”, ucapnya lalu pergi menuju tempat
yang aku tunjukan tadi
“Ini mba”, ucapku pada kasir seraya memberikan bukunya untuk di bayar
“Udah dapet?”, tanyaku pada Riska yang baru datang
“Udah, nih”, ucapnya seraya menunjukkan bukunya diselingi sebuah senyuman
“Ya udah, sekalian ya mba”, ucapku pada kasir
“Di baca lohh”, ucapku lagi pada Riska
“Iya iya”, ucapnya

Kami pun keluar dari toko buku dan kami berpisah karna aku ingin pergi ke suatu tempat.
“Ris, gue pergi dulu yah”, ucapku berpamitan
“Mau kemana sih?”, tanyanya
“Ke tempat biasa”, jawabku
“Ya udah, tapi jangan lama-lama loh, cepet pulang”, pesannya
“Iya, dahh”, ucapku
“Dahh”, balasnya
Suasana sunyi, dibalut keindahan yang ada di sekitar danau membuat aku betah berlama-lama
disini. Aku sangat menikmati keindahannya, hampir setiap hari aku datang ke danau ini.
Hanya untuk mengabadikan keindahannya di kameraku, aku memang hobby memotret. Saat
aku sedang asyik mengambil gambar, tiba-tiba ada yang menyapaku.
“Hai”, sapanya
“Hai, kamu?!”, aku menyapanya balik
“Loe ngapain disini?”, tanyanya
“Gue cuma lagi ambil-ambil gambar aja, loe sendiri?”, tanyaku balik
“Gue emang sering kesini”, jawabnya
“Tapi kayaknya gue jarang liat loe”, ucapku heran
“Gue ada di tempat sepi dari tempat ini, gue lebih suka disana, tapi gue liat loe disini, ya udah
gue samperin loe aja”, jelasnya
“Ohh.. memang ada yang tempat yang lebih sepi dari ini?”, tanyaku
“Ikut gue”, ucapnya lalu berjalan
Aku hanya mengikuti saja, entah dia mengajakku kemana. Sesampainya di tempat, aku
terkejut, tempatnya sungguh indah. Langsung saja aku mengabadikan gambarnya dengan
kameraku.
“It’s so beautiful, i like here”, ucapku
Dia hanya terdiam, kami pun menghabiskan waktu bersama.

“Lala.. loe kemana aja sih? Lama banget pulangnya tau gak”, Riska mendengus kesal
“Sorry, tadi ada orang yang ngajakin gue ke tempat lain, ya udah gue ikut aja”, jelasku
“Siapa?”, tanyanya penasaran
“I don’t know”, jawabku
“Kok gak tau sih, terus.. loe ikut aja gitu?”, tanyanya lagi
Aku hanya mengangguk, sepertinya Riska masih kesal karena aku telat pulang. Aku memang
hanya menumpang tinggal di tempat tinggalnya, aku sering kabur dari rumah karena papaku
yang selalu melarangku untuk berteman, walau aku tahu itu papa lakukan agar tidak ada
orang lain yang ku buat terluka.

“Lalaaa… ”, panggil Riska kencang saat baru saja tiba di rumah


“Aduhh.. apaan sih, berisik tahu gak!”, ucapku kesal
“Lala gue seneng banget”, ucapnya dengan gembira
“Seneng kenapa?”, tanyaku heran
“Tadi gue berhasil bikin cowo yang paling ngeselin di kampus kalah”, ucapnya tersenyum
penuh kemenangan
“Riska.. Riska.. gue kira apaan”, ucapku
“Yee elo.. responnya gitu amat”, ucapnya dengan wajah cemberut membuat dia semakin lucu

Hari telah berlalu dengan cepat, dan aku selalu berhasil melarikan diri dari papaku. Aku
merasa beruntung memiliki sahabat seperti Riska. Dan akhir-akhir ini Riska sering
menceritakan perasaannya terhadap laki-laki yang dulu dia pikir menyebalkan, sampai
akhirnya sekarang dia sadar bahwa laki-laki itu peduli padanya.
“Lala.. anterin gue yuk ke café”, ajak Riska
“Iya Riska”, ucapku
“Yuk”, ucapnya seraya merangkul lenganku diselingi senyumnya yang manja

Akhirnya aku menemani Riska ke café, mungkin dia ingin bertemu kekasihnya. Kami pun
sampai dicafe, kami langsung menemui kekasih Riska.
“Rangga!”, panggil Riska pada kekasihnya
“Udah nunggu lama yah?”, tanya Riska saat sudah berada di samping kekasihnya
“Gak papa kok, oh ya.. nih kenalin temen gue.. Pras”, ucap Rangga memperkenalkan
temannya
Aku sangat terkejut melihat teman Rangga, dia adalah laki-laki yang selama ini datang dihari-
hariku. Tetapi aku pendam rasa terkejutku, aku berpura-pura tidak mengenalinya di depan
Riska dan Rangga, mungkin dia pun begitu.
“Riska”, ucap Riska saat berjabat tangan dengan Pras
“Pras”, balasnya
Aku pun berjabat tangan dengannya dan Riska memperkenalkanku pada Rangga juga Pras.
“Oh ya kenalin, Lala temen gue”, ucap Riska memperkenalkanku
“Hai.. hajimemashite”, ucapku

Sejak perkenalan itu, sekarang kami menjadi lebih dekat, seperti keluarga sendiri. Saat kami
sedang jalan bersama, seperti biasa Riska selalu berdampingan dengan Rangga, sedangkan
aku di tinggal berdua dengan Pras. Suasana hening saat aku bersama Pras, akhirnya aku
angkat bicara.
“Pras”, panggilku
“Ya”, sahutnya
“Masih mau temenan sama gue?”, tanyaku
“Pertanyaan konyol”, ujarnya
“Gue harap.. loe gak akan jatuh cinta sama gue”, ucapku dan berlalu dari samping Pras
Pras tersentak kaget mendengar ucapanku, padahal dia merasa dalam hatinya bahwa dia
mencintaiku. Dia tak habis pikir dengan apa yang tadi ku ucapkan. Saat aku tengah berjalan
menjauhi Pras, tiba-tiba kepalaku terasa berat dan pandanganku seketika menjadi buram, aku
berusaha untuk tetap berdiri, aku berusaha berjalan menjauh dari Pras, akan tetapi Pras
berhasil mendekatiku.
“Loe gak papa?”, tanyanya sedikit cemas karena melihatku berjalan sempoyongan
“Enghh~ gue gak papa kok”, dustaku
“Gue pulang duluan ya, loe bilang ke Riska sama Rangga kalau gue duluan pulang”, lanjutku
langsung pergi tanpa memberi Pras kesempatan untuk bicara
Aku pun berjalan menuju lobby, dan disana aku justru bertemu dengan Riska dan Rangga,
mereka pun menghampiri aku yang hendak berjalan keluar lobby.
“Hei La, loe mau kemana?”, tanya Riska
“Eh elo Ris, ini.. gue mau pulang duluan ya”, ucapku
“Lohh kok pulang La, loe capek ya?”, tanya Riska menebak-nebak
“Enghh~…
“Muka loe pucet banget, pasti loe capek banget kan? Ya udah kita pulang aja ya Ga, kita
anterin Lala”, ucap Riska cemas
“Ehh gak usah, gue bisa pulang sendiri naik taksi, loe berdua lanjutin aja jalannya”, tolakku
“Bener nih gak papa?”, tanya Riska ragu
“Iya gak papa, ya udah gue duluan ya”, pamitku dan berjalan menjauh dari mereka
Riska dan Rangga masih memperhatikanku diselingi tatap muka antara mereka berdua dan
akhirnya…
‘Brukk’
Riska dan Rangga panik seketika melihat aku jatuh pingsan, mereka segera membawaku ke
RS.

Sesampainya di RS aku pun segera mendapatkan pertolongan, Rangga lalu menghubungi


Pras untuk datang ke RS. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya dokter pun keluar dari
ruang IGD.
“Mana keluarga dari pasien?”, tanya dokter yang keluar dari ruang IGD
“Kami teman dekatnya dok”, ucap Riska
“Baik, bisa ikut saya ke ruangan saya?”, ajak dokter
“Baik dok, ayo Ga”, ucap Riska seraya mengajak Rangga
Mereka semua menuju ruang dokter, sesampainya disana dokter mempersilahkan Riska dan
Rangga untuk duduk dengan wajah yang mulai serius.
“Okey, apa kalian sudah tau tentang penyakit yang dialami Lala?”, tanya dokter yang
membuat Riska dan Rangga bingung
“Penyakit?! Penyakit apa dok?”, tanya Riska heran
“Ya, saat ini.. Lala mengidap penyakit Leukimia.. yang kalian tau sendiri itu adalah kanker
darah”, jelas dokter
“Leu.. kimia… Rangga…”, lirih Riska pelan dalam pelukan Rangga diselingi tangisnya
“Kamu yang sabar ya Ris, positive thinking okeh”, ucap Rangga berusaha menenangkan
Riska
Sedangkan Riska masih menangis sesegukan dalam pelukan kekasihnya itu. Mereka pun
keluar dari ruang dokter.
“Udah jangan nangis, nanti ketahuan Pras”, ucap Rangga
“Lohh.. emang kenapa?”, tanya Riska bingung
“Pras cinta sama Lala, aku gak mau dia tau dan sakit”, jelas Rangga
“Cinta?! Oke.. aku gak akan bilang ke dia”, ucap Riska
“Bilang apa? Gak akan bilang ke siapa?”, tanya Pras yang tiba-tiba datang
“Ahh.. gak kok, ini.. cuma masalah hubungan gue sama Riska”, dusta Rangga
“Emmm.. terus, keadaan Lala gimana?”, tanya Pras cemas
“Emmm.. dia.. dia.. dia baik-baik aja kok kata dokter, dia cuma kecapean”, dusta Riska

Mereka pun masuk ke ruang rawat, mereka melihat aku tengah duduk di atas ranjang tanpa
terlihat rona wajah yang menampakkan bahwa aku sedang sakit.
“Hai”, sapaku diselingi sebuah senyuman
“Riska.. loe abis nangis?”, tanyaku melihat mata Riska yang terlihat sedikit bengkak
“Aehh.. gak kok, mungkin gue ngantuk, mungkin sih”, dusta Riska dengan alasan yang
mungkin aneh menurutku
“Ohh.. ”, ucapku singkat
“Loe gak papa kan?”, tanya Pras cemas, tetapi dengan raut wajah yang datar
“Gue gak papa kok”, ucapku
“Gue udah ngerasa dari awal kalau loe ada apa-apa, tapi loe terlalu keras kepala buat
ngakuinnya”, ujar Pras
“Udah udah.. mendingan loe istirahat aja La, kita pulang dulu”, ucap Rangga akhirnya
“Aku disini ya Ga, aku mau nemenin Lala”, ucap Riska
“Gak usah lagi Ris, besok juga gue pulang”, tolakku
“Gak! Pokoknya gue temenin loe disini!”, Riska bersih keras tetap ingin menemaniku
“Whatever”, ucapku pasrah
“Ya Ga?”, Riska meminta izin pada Rangga
“Ya udah terserah kamu aja”, Rangga mengizinkan
Rangga dan Pras pun pulang dari rumah sakit, seketika wajah Riska menjadi lesu.
“Aku tahu penyakit itu”, ujarnya

‘Selama apapun rahasia dipendam, toh nanti juga akan terbongkar’

Yah.. akhirnya takdir memberi tahu Pras soal penyakitku. Dia sangat kesal pada Riska dan
juga Rangga karena mereka tidak memberi tahu akan hal ini.

~ Danau ~
“Gue cinta sama loe”, ucap Pras tiba-tiba dikeheningan senja di danau
“Pras…
“Gak peduli sama penyakit loe”, ucapnya memotong ucapanku
“Bisa gak.. gak bahas itu”, ucapku kesal
“Tapi gue cinta sama loe, gak peduli apapun keadaan loe… *datar*
“Jangan pernah anggep penyakit ini nyata, bisa kan bersikap biasa aja”, ucapku
“Dan gue, gak bisa sama-sama loe”, lanjutku
“Maksud loe?”, tanya Pras datar
“Gue udah pernah bilang ke loe jangan pernah jatuh cinta ke gue kalau loe masih mau
temenan sama gue tapi apa.. loe jatuh cinta ke gue”, ucapku lirih
“La.. ini perasaan aku, perasaan aku bilang harus cinta ke kamu”, jelas Pras
“Kamu gak akan bahagia, aku bakal cepet ninggalin kamu, aku gak mau kamu sakit, sakit
karena aku ninggalin kamu”, lirihku
“Aku gak akan sakit kalau kamu di samping aku”, ujarnya
“Saat ini.. tapi nanti… aku bakal pergi dan akan akan ketemu kamu lagi…
“Saat ini.. yang aku mau cuma kamu La.. di setiap detik hidup aku, aku cuma pengen liat
senyum kamu, kebahagiaan kamu.. itu semua bisa bayar sakitnya aku…
“Tapi gak akan lama Pras…
“Aku gak peduli.. gak ada yang abadi di dunia La.. semua juga pasti akan lenyap.. bisa aja di
detik ini juga aku gak bernafas.. tapi tuhan kasih aku kesempatan.. untuk tetap hidup.. dengan
kamu.. aku gak akan terluka ataupun tersakiti.. aku hanya butuh kamu.. butuh kamu untuk
hidup aku…
“Untuk hidup kamu? Untuk hidup aku aja gak bisa Pras.. apalagi untuk kamu, kamu sadar
gak sih aku siapa? Aku cuma wanita yang punya penyakit Leukimia!!! dan di vonis GAK
AKAN HIDUP LAMA!!! Gimana aku bisa jadi penyemangat hidup kamu Pras!!!
“Ada kamu disini pun udah jadi penyemangat buat hidup aku”, ujarnya seraya meletakkan
tangannya didadanya yang lapang
“Aku gak sanggup Pras.. aku gak sanggup kalau harus bahagiain kamu Pras… aku gak bisa!
“Okeh.. aku yang bakal pergi…
Pras pun berbalik dan mulai berjalan menjauh, aku yang menyadari itu pun langsung berbalik
dan memanggilnya.
“Pras!”, panggilku seraya berlari mendekati Pras
Saat jarakku sudah dekat, aku pun memeluknya dari belakang.
“Love you too”, ucapku lirih
Pras tersenyum menyadari perkataanku, dia pun membalikkan badannya dan memelukku dari
depan, meyandarkan aku pada dada bidangnya. Kami pun pulang dengan sejuta senyuman.

Pras, Riska dan Rangga masih heran dengan kejadian hilangnya aku 2 tahun ini, mereka
heran mengapa tiba-tiba aku hilang begitu saja.. tanpa kabar. Mereka masih saja mencariku
tanpa lelah, terutama Pras. Saat mereka sedang mencari-cari keberadaanku, Riska histeris
melihat seseorang yang ternyata itu aku!
“Rangga! Itu.. itu Lala!”, teriaknya histeris
“Pras! Lala!”, ucap Rangga berusaha memberitahu Pras
Pras langsung berlari menghampiriku dan langsung memelukku tanpa mengecek lagi bahwa
ini benar aku.
“Lala.. kamu kemana aja, kenapa gak kasih kabar.. aku kangen kamu”, lirih Pras
“Maaf, aku gak kasih kabar ke kamu, selama ini aku di Aussie, dan baru balik kemarin, aku
berobat disana, dan liat! Aku sembuh Pras”, jelasku dengan rona bahagia
“Aku seneng kamu sembuh, and.. Will you marry me?”, tanya Pras yang sontak membuatku
terkejut
“Pras.. aku mau”, ucapku tersenyum
Pras pun memelukku kembali, aku benar-benar bahagia bisa bertemu Pras yang masih setia
menungguku *^_^*
Itu lah perjalanan cintaku yang sempat terhalang oleh penyakit mematikan ditubuhku.

~ THE END ~

Cerpen Karangan: Annisa Nur Fitriani


Facebook: Andicksa Karisma

I’m With You


Mungkin, hanya aku yang merasa sendiri. Sampai suatu hari kamu datang dengan sebuah
cahaya yang membuat aku berarti.

I’m With You

Aku termenung menatap seorang gadis –yang menurutku– manis sedang bermain tenis. Dia
sangat manis, apalagi dengan lesung di pipinya. Tak heran banyak laki-laki jatuh hati
kepadanya. Termasuk ‘dia’. Aku sering berangan-angan menjadi sosok gadis seperti dia.
Sosok gadis dambaan hati. Gadis yang baik nan lembut.
Iri sering menghampiriku ketika melihatnya dengan laki-laki yang aku suka. Gadis itu
bernama Marsya. Dia adalah sahabat terbaikku yang hampir setiap hari membuatku iri.

“Sya, ini kupinjami handukku”. Aku memberikan handuk yang selalu kupakai untuk olahraga
kepada Marsya. Dia tersenyum kemudian meraih dan memakai handukku,
“Kamu tau saja kalau aku nggak bawa handuk”. Aku tersenyum simpul kepadanya. “kan
handukmu ketinggalan di rumahku”.
“Oh, iya. Hehe, aku lupa. Nanti siang ku ambil. Aku mau main lagi. Dah!”.
Marsya pun pergi meninggalkan aku setelah meneguk air mineral yang dia bawa. Dengan
senyuman yang tak pernah pergi jauh darinya, dia melanjutkan permainannya yang selalu
mendapat pujian bersama Nathan, lelaki pujaanku sejak SMP.
Jujur, aku iri lahir batin dengan Marsya.

Aku melihat Nathan sedang kebingungan. Aku pun berinisiatif untuk mendekatinya. Aku
mendekati Nathan yang – sepertinya –terlihat sedang susah payah mencari sebuah buku di
rak bahasa.
“Lagi nyari apa, Than?”
Nathan menoleh ke arahku. Tiba-tiba kulihat seutas senyuman manis yang selama ini kulihat
dari jauh. Aku pun tersenyum juga, dan aku yakin wajahku pasti sudah seperti kepiting rebus.
“Aku lagi nyari buku belajar bahasa jepang. Kamu liat nggak?”
“Maksudmu, buku ini?” aku memperlihatkan sebuah buku pedoman bahasa jepang yang
sedari tadi kubawa. “Nah, ini dia. Masih kamu pakai?”
“Ngh, enggak. Aku baru aja mau balikin. Mau kamu pinjem?” Nathan pun mengangguk. Aku
memberikan buku tersebut kepada Nathan. Kulihat raut bahagia menyertainya. Sebegitukah
orang yang mau belajar bahasa jepang?
“Thank’s Tika! Aku pergi dulu!” Nathan pergi meninggalkanku. Aku pun hanya menatap
punggung Nathan yang perlahan menjauh. Dan jujur, di dalam hati kecil ini aku tersenyum
bahagia.

‘…, watashi wa anata o aishite! Tika.’


Aku terkejut membaca sebuah pesan yang kutemukan di lokerku. Siapa yang mengirimnya?
Seingatku, tak ada yang bisa berbahasa jepang di kelas ini selain aku dan Nathan. Bahkan
Nathan pun baru belajar.
“Ada apa, Tik?” Tanya Marsya yang tiba-tiba menghampiriku. Aku pun hanya tersenyum
kepadanya.
“Watashi wa anata o aishite, Tika. Artinya apa?”
“Artinya, Aku auka padamu Tika”
“Ciye… Tika ditembak seseorang. Siapa yang ngirim? Selamat ya!”
“Hehe, makasih. Um, entahlah. Sepertinya dia secret admirer deh”
Aku masih tersnyum sekaligus bingung. Apa yang mengirimiku ini benar dia? Apakah benar
dia Nathan?

Sudah hampir 2 minggu aku mendapat kiriman. Entah itu bunga, coklat dan sebagainya. Dan
semua itu disertai surat yang berisi kalimat ‘Watashi wa anata o aishite, Tika’. Aku benar-
benar penasaran dengan pengirimnya. Semakin hari, aku semakin yakin kalau pengirim gelap
itu adalah Nathan.
“Watashi wa anata o aishite! Watashi wa anata o aishite!”
Aku dan teman-temanku menengok keluar jendela. Melihat seseorang yang sedang
menyatakan perasaannya dengan berteriak. Aku terkejut saat mendapati bahwa pria itu adalah
Nathan.
“Watashi wa anata o aishite!” begitulah teriak Nathan yang melihat ke arah jendela kelasku di
lantai dua.
Jadi, semua ini benar? Jadi pengirim gelap itu benar-benar Nathan? Hatiku berbinar-binar
sekali.
“Tika, pengirim itu adalah Nathan” ucap Marsya. Aku pun tersenyum kepadanya.
“Watashi wa anata o aishite, MARSYA ARIZKA!!!”
Aku dan Marsya terkejut. Lho? Kok Marsya? Bukankah selama ini…
“Marsya! Aku suka kamu! SUKI DA!! Maukah kamu pacaran sama aku?” aku yang
mendengarnya sangat tidak tahan. Aku pergi dan aku berlari. Berlari entah kemana yang
penting hatiku tak terasa perih.
“Tika!!”

Aku menangis terisak di bawah pohon cemara yang ada di taman belakang sekolah. Aku
memanjat dinding sekolah untuk sampai disini. Disini adalah tempat yang selalu kugunakan
untuk menangis. Yah, bisa dibilang tempat ini adalah saksi bisu kesedihanku.
Aku sering bertanya kepada diriku sendiri. Apakah aku salah untuk lahir? Aku adalah gadis
yang beruntung telah dilahirkan oleh seorang Mama yang tak pernah menganggap aku
sebagai anaknya karena papa yang tak mau menikahi mama. Aku ikhlas mama tak pernah
menyayangiku. Tapi salahkah aku jika ingin disukai dan disayangi laki-laki yang kusukai?
Entahlah. Terkadang aku pun setuju dengan ucapan Mama. Aku tak pantas lahir.

Butiran-butiran airmataku tak dapat kutahan. Sedari tadi mereka telah membasahi seragam
SMAku. Tiba-tiba aku merasa ada seseorang yang duduk di sebelahku. Aku merasakan
kehangatan yang menenangkan hatiku. Aku mendongakkan kepalaku dan menatapnya.
Menatap seorang laki-laki yang entah darimana datangnya namun aku merasa nyaman
dengannya.
“Jangan menangis. Aku akan selalu di sampingmu, Tika”
Aku terkejut dengan kata-katanya. Aku tersenyum mendengar ucapannya yang lembut itu.
Rasanya tentram sekali. Tiba-tiba dia menyandarkan kepalaku di bahunya. Jantungku
berdegub kencang. Perasaan apa ini?
Aku merasa sangat tenang di sampingnya. Aku mulai memberanikan diri memeluk
lengannya. Dan tanpa sadar aku menceritakan semua yang ada di benakku mulai dari aku
yang tak dianggap anak oleh mama hingga Nathan yang awalnya kukira secret admirerku.
“Terkadang, apa yang kita harapkan itu tak selalu menjadi kenyataan. Bahkan aku…”
ucapnya. Tiba-tiba aku mengantuk dan akhirnya aku tenggelam dalam mimpiku.

Aku mencoba membuka mataku. Buram, itulah yang kulihat. Aku mencium bau obat di
sekelilingku. Apa ini di Rumah sakit?
“Ngh” aku mencoba membangunkan tubuhku yang terasa sangat berat.
“Tika, kiamu istirahat saja, jangan bangun dulu”. Aku mencoba menerka siapa orang yang
berbicara padaku. Perlahan penglihatanku kembali normal dan kudapati seorang Marsya yang
tengah berdiri di sampingku.
“Ini dimana Sya?” aku memegang kepalaku yang pusing.
“Sudah, kamu tidur saja dulu. Aku akan panggilkan dokter” aku pun menuruti ucapan
Marsya. Aku mulai merebahkan tubuhku kembali.

Tak lama kemudian dokter datang dan memeriksaku sebagaimana selayaknya seorang dokter
memeriksa pasiennya setelah itu pergi dengan sopan.
“Aku kenapa Sya?”
“Tik, kamu sudah sebulan koma sejak kejadian Nathan nembak aku” ucap Marsya dengan
nada amat bersalah. “Maaf, Tik. A… aku..”
“Aku tau Sya, aku tau kamu sebenarnya juga suka sama Nathan. Kamu cocok kok sama dia.
Aku bakal ngalah buat kamu” tiba-tiba Marsya memelukku. “Maaf ya Tik”. Aku pun hanya
tersenyum dan memeluknya.
“Tika! Kamu sudah sadar, Nak?” Tanya seseorang yang tak asing lagi bagiku. Marsya
melepas pelukannya dan membiarkan aku menatap seorang wanita paruh baya yang sedang
menangis di depanku.
“Mama…” sekejap mama langsung memelukku. Betapa senangnya hatiku. Inilah yang
selama ini aku tunggu. Pelukan dari seorang mama yang aku cintai.
“Maafkan mama sayang… mama adalah mama yang bodoh… maaf sayang” ucap mama.
Aku merasakan basah di pundakku. Mama menangis untukku. Aku pun membalas pelukan
mama yang selama ini kutunggu dengan cintaku yang tulus. “Tika sayang mama” lirihku.

Tak terasa 3 bulan berlalu. Kini aku kembali bersekolah lagi. Tapi ada yang beda. Bukan
hanya ‘ada yang berbeda’ tapi banyak yang berbeda. Dari sikap Mama yang selalu
membuatku bahagia hingga Marsya yang kini juga sudah pacaran sama Nathan. Sedangkan
aku? Aku masih menunggu lelaki itu. Lelaki yang membuatku tenang.

“Semuanya, hari ini kita akan mendapatkan teman baru. Silahkan masuk!” seru pak budi
mempersilahkan seseorang yang akan menjadi teman baruku itu.
Dia mulai memasuki ruang kelasku. Betapa aku terkejut ketika mendapati siapa orang itu.
“Perkenalkan, namaku Arya. Salam kenal” ucapnya memperkenalkan diri. Kemudian pak
budi mempersilahkan Arya untuk duduk di sebelahku karena kebetulan Marsya sedang tak
ada.
Aku tersenyum menyambut Arya. Begitu pula dengannya. Dia juga tersenyum kepadaku.
Senyuman yang hangat dan menenangkan. Aku kembali fokus dengan pelajaran Fisika dari
pak budi.
“Apa Kamu suka dengan hadiah-hadiahku dulu, Tika?”
Aku terkejut dengan ucapannya. Aku pun menatapnya dengan tampang heran.
“Watashi wa anata o aishite, Tika”.

END

Cerpen Karangan: Lailil Mukaromah


Facebook: www.facebook.com/ilylbismaniac
Lailil Mukaromah kelas XI Ipa 6. penulis amatir dari MAN Sidoarjo :))

Love in Rain
Kaki kecil itu berlari menyisiri sudut rumah. Membuka pintu demi pintu. Memasuki pintu
selanjutnya yang tanpa perlu dibukanya, menganga lebar, langkahnya terhenti. Sedikit susah
bernapas, tersenggal-senggal.
“Wah, cantiknya…” mata indah kecil itu memandang tanpa berkedip. Takjub dengan yang
ada di hadapannya. Seorang wanita berbalut gaun indah membelakanginya. Sinar matahari
yang melatar belakanginya menyinari dari jendela besar. Pagi indah datang. Semalam hujan
singgah, menyentuh atap dan jendela. Mengalir, menyisakan embun pagi yang menyelimuti
perkebunan apel. Cahaya matahari mengambang di antara kabut Kota Batu, Malang.
Terkesan mengagumkan, bagaikan melihat sosok bidadari. Benar-benar…
“Kaukah itu April?”
Wanita itu menoleh menyadari kedatangan gadis kecilnya.
“Kemari, sayang.”
Gadis kecil yang disebut April, melangkah menghambur ke pelukan wanita tersebut. Berlari
kecil. Mata bulatnya menatap lekat-lekat sosok yang di hadapannya. “Tante Mery bahagia?”
tanyanya.
“Kau, apakah juga bahagia?” wanita itu balas bertanya.
April menggangguk keras. Senyumnya mengembang lebar.
“Aku juga ingin seperti Tante.”
“Kenapa?”
“Aku ingin terlihat cantik dengan memakai baju pengantin itu. Boleh aku memakainya?”
“Kau masih tujuh tahun, sayang. Tubuhmu belum muat memakainya”
“Bisakah aku seperti tante?”
Tante Mery menggangguk.
“Benarkah?”
“Asal kau telah menemukan pangeran berkuda putih mu.” Tante Mery membelai lembut
rambut April yang lurus.
“Bagaimana caranya?”

“Kau benar-benar pengantin wanita tercantik yang pernah kulihat,” Miss Kim memeluk erat
April. “Terima kasih banyak,” bisiknya.
“Tidak, Miss Kim. Kau yang banyak berperan dalam semua ini.”
Miss Kim melepas pelukannya, matanya yang biru menatap April, “Akan kunaikkan gajimu
bulan ini.” April menyeringai tertawa. Bagaimana tidak, selama bekerja dengan wanita
setengah Spanyol setengah Korea itu, belum pernah ia menerima gaji yang lebih dari gaji
bulannya walaupun Miss Kim sering mengatakannya jika April membantunya dengan sangat
baik.

Kini April telah berumur 22 tahun. Selepas lulus sarjana strata satu dengan predikat
cumlaude, sebuah perusahaan pakaian terkenal di kota Malang langsung menerimanya
bekerja sebagai desainer begitu ia memasukkan lamaran. Belum genap setahun bekerja di
perusahaan ini, banyak prestasi yang telah ditunjukkan April dalam membuat pakaian. Ketika
perusahaan akan meluncurkan produk terbaru mereka, April mendapat kesempatan emasnya
ikut andil dalam membuat gaun rancangannya sendiri. Tentu bisa dibayangkan bagaimana
luapan perasaan April dalam proyek ini.
Dan hari inilah, gaun-gaun yang mengusung tema Wedding Dress diperlihatkan dalam
pameran.

emua berjalan dengan sangat mulus sebelum acara berlangsung, hingga tiba-tiba saja salah
satu model yang akan memeragakan gaun rancangan April tidak bisa dihubungi. Menghilang
tanpa kabar. Sedikit rusuh di belakang karena acara tinggal satu jam lagi. Beberapa staff
memutuskan untuk tidak memamerkan karya April karena sudah tidak ada model yang dapat
dipakai. Hal ini jelas membuat April begitu kecewa yang telah mempersiapkan gaunnya jauh-
jauh minggu. Namun secercah sinar datang dari Miss Kim. Ia memaksakan semua rancangan
harus dipamerkan. Perancangnya sendiri yang harus bertanggungjawab. Dan itu berarti April
yang menjadi modelnya sendiri atas gaun rancangannya.

Siapa yang menyangka, seseorang yang belum pernah menjejakkan kaki di atas catwalk
bahkan bukan seorang model, berhasil melenggak lenggokan tubuhnya. Didukung paras elok
dan tubuhnya yang semampai, April bagaikan peragawati sejati di atas panggung. Semua
yang menonton bagaikan tersihir dan terpesona akan kecantikannya.

“Menolehlah, pangeranmu menunggu.” ucap Erna, rekan kerjanya, menatap ke arah


pengunjung yang memadati hall Mall Malang Town Square yang digunakan tempat pameran
pakaian tersebut.
April memandang sekeliling. Matanya langsung menangkap sosok laki-laki berjas putih
menerobos kerumunan pengunjung. Tangannya melambai ke arah mereka.
“Kalian seperti sepasang pengantin,” seru Erna, begitu laki-laki tersebut mendekat. “Kau
tampan sekali, Okta.”
Okta yang disanjung, tertawa kecil. “Thanks, Erna.”
Okta mengalihkan pandangannya dari Erna ke April. Senyumnya mengembang. Tangannya
meraih, menggenggam April. Sebelah tangannya merogoh sesuatu di balik jasnya. Tampak
kotak kecil merah di tangannya kini. Untuk sesaat April tidak bisa menemukan suaranya. Ia
hanya bisa menatap. Okta tanpa berkedip. Napasnya tertahan.
“Aku tahu saat itu bukan saat yang tepat,” kata Okta, lalu tertawa kecil. Ia memandang ke
sekeliling hall yang dipenuhi orang-orang. “Maukah kau menikah denganku?”

“Abdul Rachmad Saleh, pak.”


Sopir taksi yang ditumpangi menatapnya tanpa ekspresi. Belum juga membalikkan badannya
untuk segera mengemudi.
“Bandara.” Ucap April, ia merasa perlu menegaskan. “Aku tidak punya waktu lagi. Tolong
cepat, pak.”
Pak sopir pun menginjakan gas. Dan taksi pun melaju kencang, melesat meninggalkan hotel.

Duduk sekian menit dalam taksi, April menyadari kebodohan aksi yang baru saja
dilakukannya, setelah menenangkan diri menarik nafas. Pikirannya terpecah. Entah gunjingan
apa yang akan diperolehnya. Semua serasa gila. Dan April tidak akan mungkin segila ini jika
tidak bertemu dengan Janu.

Janu, teman semasa kuliah muncul di saat kebahagiaan menjelang, membawa tabir rahasia
lama kepadanya.
“Kau benar-benar cantik, Pril. Bisa kutebak pasti gaun itu rancanganmu sendiri?” suara Janu
memecah remang suara rintik hujan yang turun sedari pagi.
April hanya mengembangkan senyumnya.
Senyap.
“Dani. Kau tahu kabarnya Dani?” suaranya lirih, namun cukup terdengar.
Ruangan kamar hotel tiba-tiba senyap. Hanya mereka berdua. April ingin leluasa bercakap
dengan Janu, setelah sebelumnya meminta beberapa orang yang ada di ruangan
meninggalkan mereka di dalam.
“Dia di Malang sudah sekitar 5 hari lalu. Dani sukses menggelar pameran lukisan-lukisannya.
Dia benar-benar menjadi yang seperti dinginkannya. Ah, aku benar-benar bangga. Dani
seorang pelukis terkenal, kau sebagai designer muda dengan bayaran termahal, sedangkan
aku walau tidak menjadi sebagai yang kuinginkan, menjadi konsultan nutrisi.”
Janu tertawa.
“Itu sudah luar biasa, Nu.” ujar April. “Banggalah dengan yang kau raih.”
Janu menghela napas, melanjutkan.
“Tentang Dani. Sengaja memang dia menggunakan kota ini karena selain merindukan masa-
masa kita di bangku kuliah, dia ingin bertemu denganmu. Besok penghabisan terakhirnya di
sini. Namun ketika mendengar kau akan menikah, dia memutuskan meninggalkan Malang
hari ini“. Janu menjelaskan. Napasnya berat pada kalimat terakhir, seakan beban itu
tertumpukan padanya.

Terdengar suara gemuruh hujan. Di luar gerimis mulai menderas.


April tertunduk dalam-dalam, matanya menatap cermin bulat meja rias di hadapannya.
Terdiam memandangi bibir merah, pipi pink merona, mata cokelat dengan garis pinggir tajam
dan kelopak mata lentik serta alis tipis yang sedikit dikerik menggaris di atasnya.
“Jemputlah, jika kau memang mencintainya.”
April mengangkat kepalanya, menoleh ke arah suara itu berbicara. Nafasnya tercekat.
Okta yang muncul di ambang pintu. Bergetar dia bersuara. Apakah dia mendengar semuanya.
Bibir merahnya mengerut.
April berdiri menghampiri Okta. “Tidak, Okta. Pernikahan ini harus terus berlanjut.”
Tangannya menggenggam erat Okta.
Sang calon mempelai pria, menggeleng. “Kau bahkan sudah tidak memanggilku dengan
panggilan sayang.” Bibirnya dipaksanya mengembang. Tertawa kecil. Sejenak senyap.
“Pergilah. Aku tahu kau mencintainya semasa kuliah, bahkan sebelum aku dekat denganmu.
Akan kuatasi semuanya di sini.”
April memeluk Okta, matanya mulai berair. Terakhir Okta mengecup kening April. Dan
melepasnya. Senyum Okta tulus mengiringi.

Hujan yang turun semakin lebat. Buru-buru April membuka layar telepon genggamnya.
Tegang. Memanggil nomor yang diberikan Janu. Tidak ada balasan. Mencoba sekali lagi.
Tetap tak terjawab. Sama sekali tidak bisa dikontak. Celaka, sungguh celaka, jikalau sampai
Dani menaiki pesawat, mengantarkannya ke Jepang, maka semua ini berakhir sudah. April
tidak akan bisa melihatnya lagi.
Pikirannya terpecah.. April tidak akan mungkin segila ini meninggalkan gedung pernikahan
agung dan berlari mengetop taksi dengan masih mengenakan gaun putih.

“Cepat. Lebih cepat lagi, pak.”


Sial, lima belas menit menuju bandara, taksi terhenti. Banyak kendaraan terhenti pula di
depan, macet.
“Bagaimana ini, jelas akan memakan banyak waktu”, April mengeluh setengah kecewa.
Penerbangannya jam 16.00
Itu yang dikatakan Janu.

Tanpa pikir dua kali, April langsung membuka pintu taksi. Setelah membayar, ia berlari
seraya mencincing gaunnya, menuju bandara yang jaraknya beberapa meter. Menerobos
hujan yang kian lama kian lebatnya.

Setiba di Abdul Rachmad Saleh, memaksa masuk pintu check-in. Dua petugas yang menjaga
pintu pemeriksaan terlihat bingung menghadapi perempuan bergaun pengantin yang berseru-
seru memaksa masuk. Tatapannya yang memelas dan tegang memohon, akhirnya berhasil
membujuk petugas. Berlarian menuju ruang tunggu bandara.

Oh, itu dia. Mata April terbelalak. Dia masih menghapal sosok Dani. Dalam sesaat
senyumnya terbentuk. Namun sudah terlambat, Dani sudah berjalan di balik kaca meuju
garbarata pesawat. April berteiak-teriak memanggilnya. Percuma. Kaca itu kedap suara.
Memukul-mukulnya. Sia-sia. Dani sudah masuk ke dalam garbarata. Kali ini April tidak
berhasil memaksa petugas pintu boarding mengijinkan mereka menerobos masuk ke landasan
pacu bandara. Itu prosedur yang tidak bisa dilanggar dengan alasan apapun.

April menatap kosong pesawat yang mulai berputar menuju runaway. Bersiap berangkat.
Lima menit, Pesawat itu menderu lepas landas. Menuju langit yang membiru. Menyisakan
lengang di balik kaca tebal ruang tunggu.

Seluruh tubuh mendadak mati rasa. Tidak dapat melihat, tidak bisa mendengar, tidak bisa
bersuara. Tidak bisa merasakan apa-apa. Kecuali sakit dada ini, begitu sakit. Hal satu ini yang
bisa April rasakan, tak terperihkan, menyesakkan. Hatinya seperti tercabik. Belahan-
belahannya menghilang tersebar. Sebagian seakan terbawa deru pesawat yang membumbung
tinggi, yang baru saja meninggalkan landasan.

Semua telah terlambat. Mata April berkaca-kaca. Ini sudah melewati waktu. Sesaat ketika
dalam taksi, tidak dipedulikannya apa dikata para tamu yang datang, keluarganya dan
keluarga Okta tentunya, nanti. Namun kini, dia bingung. Haruskah kembali lagi?

“Bagaimana, mbak?” tiba-tiba sopir yang membawa April datang mendekatinya begitu
melihat April lesu keluar bandara. “Saya antarkan pulang saja ya. Hujannya masih deras saja
dari tadi, mbak”.
April menatap sopir taksi yang memayunginya dengan lindungan payung. Terisak.
Tangannya meraih bahu pak sopir, memeluknya. Tangis mulai keras.
“Sial, aku tidak membawa payung dan aku sudah kedinginan. Dan tega-teganya kau
berpelukan dengan orang lain.”
April terperanjat. Menoleh. Dia tahu suara siapa itu.
“Okta…”
April terisak.
“Maaf, tak seharusnya aku begini. Bolehkah aku kembali?”
“Kapan pun kau mau. Pintu hatiku selalu terbuka untuk mu.” Ujar Okta
Mata mereka bertautan. Berpelukan.
“Wah, hujannya reda.” Ujar sopir taksi.
Sinar matahari muncul menyirami Malang yang beberapa hari terguyur hujan, dengan
silaunya. Agaknya April tidak peduli cuaca apa sekarang. Entah langit kelabu atau tidak.
Langit hatinya mendadak cerah lembayung.
Kau, Okta, yang melukisnya.
Aku janji, akan mencintaimu selamanya,

Kaki kecil itu berlari menyisiri sudut rumah. Membuka pintu demi pintu. Memasuki pintu
selanjutnya yang tanpa perlu dibukanya, menganga lebar, langkahnya terhenti. Sedikit susah
bernapas, tersenggal-senggal.
“Aku juga ingin seperti Tante.”
“Asal kau telah menemukan pangeran berkuda putih mu.” Tante Mery membelai lembut
rambut April yang lurus.
“Bagaimana caranya?”
Tante Mery mendekatkan wajahnya. “Dia yang setia menunggumu dan paling mencintaiu,
itulah cinta sejati pangeran berkuda putihmu.”

Cerpen Karangan: Aprilia Fatmawati


Facebook: April La Lotus

My Love, My Heart, My All


Ada pepatah yang bilang, jodoh bakal datang pada waktunya. Tapi, Iyas ngerasa jodoh selalu
menjauhinya. Gimana nggak? 17 tahun berlalu dan Iyas belum punya pengalaman
berpacaran. Hah…!!!
“Yas! Kantin yuk?” Tanya Reno yang tahu-tahu udah duduk di samping Iyas. Iyas diam
nggak mood buat nanggapin.
“Yas, lo kenapa sih?” Reno merasa keheranan. “Lo sakit ya?”
Iyas menggelengkan kepala. “Nggak, gue baik-baik aja.” Tangan Iyas meremas-remas buku
diary yang ada di hadapannya.
Tangan Reno menggapai buku diary itu dari tangan Iyas. Sontak Iyas ingin merebut kembali
buku diarynya dari Reno. Reno malah ketawa geli membaca apa yang Iyas tulis di halaman
pertama. “Dear diary.. Hari ini gue kesal banget, gue gagal candle light dinner sama Tom
gara-gara gue numpahin air lemon ke bajunya, Huhh!!”
“Terus gimana tuh si Tom? Lo ajak dinner lagi nggak?” tanya Reno sok peduli, padahal ini
cuma tak tik Reno supaya bisa meledek Iyas.
“Mana berani gue? Sekarang aja kalo lihat gue, dia buru-buru kabur.” Iyas penuh dengan
kekesalan, dia meratapi nasibnya yang selalu sial.
Tawa Reno meledak, rupanya Reno sudah tidak bisa menahan tawanya lebih lama lagi. “Iyas,
sial banget sih nasib lo, kapan sih lo mau ngelakuin hal yang benar? Cuma dinner aja lo bikin
satu cowok kapok jalan sama lo.” Ledek Reno.
Tentu aja perkataan tersebut bikin Iyas uring-uringan. Iyas pikir Reno bakalan ngasih nasehat
yang bermanfaat buat dia. Ternyata Reno malah meledek dia abis-abisan. “Masih mending
gue, dari pada lo yang nggak pernah ngedate sama cewek manapun.” Balas Iyas.
“Eh.. Jangan salah, gue punya cewek tau!” Reno gak kalah panas dari Iyas yang diledek abis-
abisan.
“Mana? Kok gue baru denger kalo lo punya cewek?” Iyas makin niat mancing Reno supaya
nunjukin cewek mana yang lagi menjalin hubungan sama Reno.
“Lo lihat aja ya? Gue bakal nunjukin secepatnya.” Kata Reno dengan penuh keyakinan. Iyas
makin yakin kalo Reno emang lagi gak bohong, Iyas makin penasaran kaya apa sih ceweknya
Reno.
“Terus lo jadi nggak ngajak gue ke kantin?” tanya Iyas kemudian.
“Ah, udah mau bel. Kelas yuk!”
Mereka pun memasuki kelas masing-masing.

Pelajaran terakhir yang membosankan. Pelajaran Biologi, pelajaran ini seolah menjadi obat
tidur bagi sekian banyak siswa, entah membosankan atau karena suara guru yang begitu
merdu hingga mampu membuat para siswa terdiam, entah tidur atau mencoba menahan
kantuk.
Tett!! Jam pun berakhir, siswa pun berhamburan keluar beradu cepat ingin segera sampai di
rumah. Aula sekolah menjadi lautan manusia yang penuh sesak.
Di samping gerbang Iyas berdiri menanti seseorang. Reno? Yap! Tepat sekali, mereka berdua
selalu pulang bersama. Tak berapa lama Reno muncul. Seperti biasa bawelnya Iyas membuat
suasana kocak, sesekali Iyas ngocol dan bikin Reno tertawa terbahak-bahak.

Keesokan harinya Iyas membuat janji dengan Reno di sebuah cafe, dengan tujuan Reno mau
mengenalkan ceweknya ke Iyas.
Iyas duduk di sebuah meja yang berdekatan dengan pintu masuk. Entah apa yang membuat
hatinya gundah, dari tadi hatinya terus berdebar-debar tak tentu. Sudah satu jam lamanya,
tetapi Reno nggak kunjung muncul. Sudah Iyas kira kalau Reno nggak bakalan datang, Reno
emang nggak serius bilang kalo dia punya pacar. Iyas beranjak dari tempat duduknya, namun
tangan Reno berhasil mencegahnya. Di samping Reno sudah berdiri wanita cantik dengan
gaun casual merah muda dan make up yang elegan, ini membuat wanita yang berdiri di dekat
Reno terkesan anggun. Iyas tidak dapat berkata apapun, dia membisu. Suasana menjadi sunyi,
entah apa yang menghinggapi hati Iyas, kebawelannya tiba-tiba hilang. Lidahnya kaku,
hatinya kosong, ia merasa sesuatu bergentayangan di pikirannya.
“Heh! Kenapa sih lo? Kok diam gitu?” Reno menyadarkan Iyas dari lamunan.
“Oh.. maaf, gue agak speechless. Gue kira lo bohong soal pacar lo itu.” Iyas mencoba
mencari kata. Dia gak mau kelihatan bodoh di hadapan Reno dan pacarnya. “Eh.. duduk
yuk?” Reno dan pacarnya duduk berdampingan, sementara Iyas duduk di depan mereka
dengan bangku kosong di sampingnya. Huh!! Ngenes!!
“Oya, kenalin aku Nadira, sekolah gue di SMA 44. Aku leader cheer disana.” Dari
omongannya kelihatan banget kalo Nadira ini ikon penting di sekolahnya.
“Oh.. gue Iyas, gue satu sekolahan sama Reno.” Iyas bicara ala kadarnya.
“Lo ikut eskul apa?” tanya Nadira.
“Multimedia, semacam oprasional komputer. Gue sama Reno satu eskul.”
Iyas jujur agak minder, Nadira itu kelihatan sempurna, cantik, anggun. Sedangkan dirinya,
jauh banget kalo dibandingin Nadira. “Apa? Kamu ikut eskul multimadia? Apa nggak ada
yang lebih bagus? Kaya cheer, ballet, dance. Masa multimedia? Yang bener aja.” Nadira
kelihatan mulai ngeremehin Iyas. Iyas mencoba tenang, dia nggak mau bikin kacau suasana.
“Multimedia juga bagus kok, kebetulan gue nggak suka dance, dance itu ngeluarin tenaga dan
keringat, jadi gue pilih eskul multimedia yang simpel dan nggak ngeluarin keringat, hehe..”
“Eh.. pesan makanan yuk!” Reno mencoba menetralkan suasana. Nadira mengangguk
antusias.
Iyas hanya termenung, apa yang sebenarnya terus mengganggu pikiran Iyas? Iyas hanya
terdiam seribu bahasa, sesekali dia tersenyum melihat kedua sejoli itu. Tapi, jauh dilubuk
hatinya dia merasakan kesunyian yang membuatnya semakin tertekan.

Semakin lama Iyas nggak sanggup menahan kecanggungan ini lebih lama. Iyas ingin
memberi ruang buat mereka berdua. “Ren, gue cabut ya? Tiba-tiba gue dapet telepon dari
nyokap, ada yang penting deh kayanya.” Iyas pamit. Sebenarnya nyokapnya nggak telepon.
“Yah, lagian lo belum pesan makanan udah mau cabut aja.” Reno mencegah Iyas yang udah
hampir beranjak dari tempat duduk. “Gue anter ya?” tawar Reno.
“Apaan sih? Cewek lo siapa? Kok mau main anter aja? Harusnya lo tanya dulu dong ke gue.”
Nadira kurang suka dengan penawaran Reno pada Iyas.
“Loh, lo kok gitu? Dia kan sahabat gue, gue kan cuma mau nganter Iyas, emang salah ya?”
“Tapi, kan gue cewek lo. Lo harusnya hargain gue dong!” Nadira makin nggak terima.
Iyas jadi bingung sama situasi yang nggak menentu ini, “Ren, lo nggak perlu kok nganterin
gue. Gue udah dijemput kok di luar. Have fun ya buat kalian berdua.” Iyas buru-buru keluar.
Dan sebenarnya Iyas nggak dijemput oleh siapa pun.
Iyas berdiri menunggui taksi, hawa dingin merasuk sampai ke tulang-tulang, sudah hampir
satu jam Iyas menunggu dan belum ada satu taksi pun yang muncul. Langit murung
bersamaan dengan Iyas.

Iyas mematung di samping gerbang sekolah, wajahnya begitu kusut seperti diaduk-aduk
seterika. Seperti biasa dia menunggu Reno disini. Tapi, hingga sekolahan sepi, Reno belum
juga muncul. Iyas mulai jenuh mematung sendirian di depan gerbang. Hampir saja Iyas
beranjak, Reno muncul sambil terengah-engah. “Sorry ya, Yas, Lama ya?”
Sejenak Iyas terdiam. “Ya udah pulang yuk? Udah sore nih.” Kata Iyas kemudian.
“Lo nggak apa-apa kan?”
“Nggak apa-apa gimana? Ya gue baik-baik ajalah. Ya udah pulang yuk.”
Reno belum juga beranjak. “Lo serius nggak apa-apa?”
“Ya iyalah gue nggak apa-apa. Lo kenapa sih?”
“Justru lo yang kenapa? Aneh aja, lo nggak ngomel-ngomel karena gue telat.”

Keesokan harinya Reno duduk sendirian di bangku taman sekolah sembari menimang-
nimang kotak yang dia genggam, tiba-tiba Iyas muncul. “Yas, lihat deh gue punya sesuatu.”
Reno menunjukan isi kotak yang dia pegang.
“Kalung?” Iyas shock, melihat isi kotak itu.
“Iya, lo suka nggak? Sini biar gue pasangin.” Reno memasangkan kalung itu di leher Iyas,
kalung itu bergelantung manis di lehernya.
“Gue suka banget.” Puji Iyas, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Badannya menjadi
seringan kapas, dia ingin melayang saking bahagianya.
Reno tersenyum. “Bagus deh kalo lo suka, menurut lo Nadira…” Reno menerawang jauh.
Sementara itu Iyas seperti ditabok saat bermimpi di siang bolong, tiba-tiba saja dia merasa
langit runtuh menimpa tubuhnya.
“Gue yakin dia pasti suka!” timbal Iyas sembari menyerahkan kembali kalung itu ke Reno
dan beringsut pergi. Reno hanya tertegun melihat sikap Iyas.

Hari-hari berlalu semu, setelah hari itu mereka nggak pernah pulang bersama lagi. Reno
sibuk dengan kegiatannya, Iyas sibuk dengan apa yang dia jalani sekarang, Iyas pindah
sekolah ke Bandung. Semakin hari Reno semakin kehilangan sosok Iyas. Iyas yang bawel,
lucu, lemot tapi ngangenin. Reno semakin merasa kehilangan separuh hidupnya.

7 tahun kemudian, Iyas kembali menjalani rutinitasnya di Jakarta. Dia sudah menjadi seorang
sutradara. Bulan ini dia menjalani proyek bersama agensi terkenal.
“Ini editor film yang akan berkerjasama dengan anda.” Kata Produser film di agensi tersebut.
“Saya harap dia bisa profesional menjalankan tugasnya.” Kata Iyas tanpa menoleh. Begitu dia
menoleh, dia terdiam seribu bahasa. Reno! Sahabatnya masa SMA.
Suasana menjadi kaku, nggak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka.
“Hei, apa kabar? Kelihatannya kamu udah nggak bawel lagi ya, hehe..” Reno berusaha
menghangatkan suasana.
Tubuh Iyas membeku, tangannya sedingin es. “Ngghh.. aku mencoba menjadi dewasa.”
Jawab Iyas ala kadarnya.
Suasana kembali diam, sampai saat Reno beranjak meninggalkannya. Iyas menyalakan
dirinya, betapa bodohnya dia, apa yang dia lakukan selama ini? Menunggu jodoh
menghampiri?

Iyas berjalan menuju loker dengan lesu, dia terus saja menggerutu. “Kenapa harus dia lagi?
Kenapa harus bertemu dia lagi? Disaat aku sudah mulai melupakan mengapa dia muncul?
Kenapa dia hadir? Kenapa dia?” ratapnya dalam hati.
Ketika membuka lokernya, Iyas menemukan beberapa barang, beberapa fotonya saat SMA,
Iyas tertegun melihat foto-foto tersebut, berbagai pose Iyas dengan pandangan mata tanpa
menghadap kamera membuat Iyas sadar bahwa foto-foto itu diambil secara diam-diam. Di
belakang salah satu foto tertulis, “Terkadang aku tidak puas jika hanya menatap wajahmu.”
Beberapa kupon peminjaman CD film, di belakangnya tertulis, “Aku paling merindukan saat
ini. Saat kita menyewa CD film.” Dan sebuah kotak yang berisi kalung, dan selembar kertas
di dalam kotak itu.

Tuhan,
bila ini kisah cinta mengapa aku tidak dapat mengejarnya
Tuhan,
bila aku jodohnya mengapa aku tak bisa menangkapnya
Tuhan,
adakah sajak yang bisa ku ungkapkan untuknya

“Kalung itu untukmu Iyas, bukan Nadira.” Suara itu mengagetkan Iyas. “Bertahun-tahun
sudah aku menunggu, akhirnya tiba, sebanyak sajak yang aku punya mungkin tidak bisa
mengungkapkan seluruh perasaanku. Tapi, diriku selalu kau penuhi dengan jiwamu yang
mungkin rapuh.” Kata Reno muncul dari balik pintu.

Iyas menoleh, matanya berkaca-kaca. Air mata tak kuasa dibendungnya, baginya
kebahagiaan itu sekarang adalah miliknya, kini dia percaya pepatah itu. Jodoh datang tanpa
dia harapkan, Tuhan telah menjawab doanya. Ternyata cintanya, Hatinya, Semua ada di
Reno.

Cerpen Karangan: Elfrida Ayu


Blog: remaja-bloging.blogspot.com
Facebook: https://www.facebook.com/elfriedha.vallent

Cinta Dalam Diam


“Kring… kring.. kring..” jam beker ku berbunyi sangat nyaring pada pukul 06.30 yang
sengaja ku setel untuk membangunkan ku dari tidur panjangku. Aku sontak terbangun dan
dengan langkah sempoyongan aku berjalan ke arah kamar mandi untuk bersiap-siap ke
sekolah

Hari ini adalah hari pertama ku masuk sekolah sebagai seorang siswi SMA. Aku cukup
gugup. Oiya, selama tiga tahun kedepan aku akan menghabiskan masa putih abu ku di SMA
Negeri 1 Sukamulia. Sekolah ku merupakan salah satu sekolah ternama di kota ku. Hanya
anak-anak pilihan yang bisa bersekolah di sekolah ku. Dan aku salah satu di antara
banyaknya anak-anak pilihan tersebut.

“Qoonnniii…” teriak Aini sambil berlari ke arah ku


Aini adalah teman segugus ku saat MOS. Dari sana kami mulai dekat dan menjadi teman
akrab hingga saat ini.
“Aini lebay deh, baru sehari aja gak ketemu udah heboh. Kangen ya sama aku” ucapku
sambil cengengesan
“Ih pede, sopo to yang kangen karo sampean?” jawabnya ketus.
Oiya, Aini adalah keturunan blasteran Jawa dan Sasak. Makanya kalau ngomong rada medok
“Iya deh iya, kita ke kelas aja yuk! Entar kita enggak kebagian bangku paling depan”

Kami pun berjalan menuju kelas. Kebetulan aku dan Aini satu kelas yaitu di kelas X-IPA 3.
Sampai di kelas aku dan Aini memilih bangku paling depan dekat jendela yang berhadapan
langsung dengan lapangan sekolah. Hari ini memang hari pertama masuk sekolah, tapi murid-
murid di sekolah ku tetap belajar seperti biasa. Itulah yang membedakan sekolah ku dengan
sekolah-sekolah lain.
Jam pelajaran pertama dimulai. Pak Budi guru sejarah yang terkenal rajin dan disiplin masuk
ke kelas kami. Tanpa ada komando siswa dan siswi yang tadinya sangat ribut langsung diam
“Selamat pagi anak-anak dan selamat datang di sekolah kita tercinta ini” kata beliau
mengawali pelajaran
“Selamat pagi pak…” jawab kami serempak
“Kalian tentu sudah tau nama bapak siapa, jadi langsung saja kita mulai pelajarannya.
Silahkan buka buku kalian halaman 135” perintah beliau

Detik berganti menjadi menit, menit berganti menjadi jam dan bel berbunyi yang
menandakan jam istirahat dan jam pelajaran Pak Budi berakhir. Setelah Pak Budi keluar
kelas, datanglah beberapa orang kakak kelas ke kelas kami.
“Selamat siang adik-adik. Maaf mengganggu waktu istirahat kalian. Kami dari senior ekskul
seni lukis ingin merekrut anggota baru” ucap salah seorang dari mereka
“Oke, untuk mempersingkat waktu, bagi kalian yang berminat silahkan tulis nama kalian di
kertas ini” ucap seorang pria yang berbadan kekar sambil mengangkat kertas dan pulpen
“Wooy ngelamun terus, entar kesambet loh” kata Aini padaku
“Iya gue kesambet dia” jawabku sambil menunjuk pria berbadan kekar itu
“Ya udah pas kalau begitu. Kamu ikut aja ekskul seni lukis. Lagian kamu juga jago ngelukis.
Aku daftarin yo?”
“Terserah kamu aja” jawab ku pada Aini sambil terus memandang pria itu.
“Jadi bagi yang sudah menuliskan namanya, nanti sore agar datang ke sekolah” ujar mereka
dan pergi begitu saja dari kelas kami.

Sore hari nya aku dan Aini datang ke sekolah. Ternyata sudah banyak siswa kelas X yang
datang. Baik dari siswa IPA maupun IPS. Kami dikumpulkan di sebuah ruangan khusus
untuk ekskul seni lukis. Di pertemuan pertama kami tidak langsung melukis tapi lebih
tepatnya mendengarkan ocehan para senior yang memperkenalkan dirinya padahal kami tidak
memintanya. Tapi, dari tadi aku tidak melihat sosok pria yang tadi pagi membuatku
terhipnotis karena senyum nya. Tiba-tiba dari balik pintu terdengar suara orang tergopoh-
gopoh
“Sorry.. sorry aku telat” ucap pria itu
“Ya udah deh langsung kenalin diri kamu ke junior kita” perintah kak Nadia
“Oke adik-adik, maaf sebelumnya karena saya telat. Nama saya Febryan biasa di panggil
Ryan. Saya duduk di kelas XII-IPS 4” ucapnya sembari tersenyum.
Lagi-lagi ia tersenyum dan senyuman itu mampu membuat ku mematung dan tak mampu
berkedip. Aliran darah ku seaakan berhenti mengalir sementara jantung ku terus berdetak
semakin kencang. Apa aku menyukainya? Batinku dalam hati
Hari berganti hari.

Tak terasa sudah dua bulan aku menjadi siswi SMA. Dan sudah dua bulan juga aku mencari
tau semua hal tentang dia. Tentunya secara diam-diam. Dimulai dari tanya-tanya akun sosial
media nya, nomor handphone nya, bahakan pin BB nya. Tapi sayang, aku terlalu pengecut
untuk sekedar mengirim pesan singkat padanya. Aku hanya berani memperhatikan kelihaian
nya saat bermain sepak bola dari kejauhan juga memandang senyum nya yang indah dari
kejauhan. Meskipun aku tahu senyum itu bukan untuk ku. Tapi itu sudah cukup membuat ke
senang. Karena dengan tersenyum berarti dia sedang dalam keadaan baik-baik saja.

Namun pada akhir nya, ku kumpulkan segenap keberanian ku untuk mengirim sebuah pesan
singkat pada nya melalui BBM
Aku: “PING!”
Dia: “Y?”
Jawaban yang sangat singkat dan sanggup membuat rasa kecewa yang teramat dalam
dihatiku. Sejak saat itu aku tak pernah berani mencoba untuk berkomunikasi dengan nya.
Hingga pada suatu sore aku dan Aini datang untuk mengikuti ujian melukis. Kak Ryan juga
datang. Seperti ia terlihat seperti biasanya. Biasa keren dan dengan senyum nya yang
menawan membuat nya tampak terlihat sangat manis.

Ujian melukis kali ini kami diminta menggambar seseorang yang membuat kami bahagia.
Sebenarnya aku membayangkan Kak Ryan tapi sangat tidak mungkin aku melukis nya jadi
kuputuskan untuk melukis wajah Ayah ku saja.

Setelah selesai melukis aku mengumpulkan hasil lukisan ku pada Kak Ryan. Ia tersenyum
pada ku tapi aku tetap berusaha bersikap biasa saja di hadapan nya.
“Lukisannya bagus dek, ini siapa?” tanya Kak Ryan
“Ayah aku kak” ucapku dan berlalu meninggalkan nya

Aku keluar ruangan sambil menarik tangan Aini dengan hati yang sangat berbunga-bunga.
“Kamu kenapa to? Keliatan nya seneng banget” tanya Aini kebingungan
“Kak Ryan.. Kak Ryan bilang lukisan aku bagus” jawabku berbunga-bunga
“Dasar lebay.. baru dipuji begitu saja sudah heboh begitu”
“Biarin aja, sewot mulu ih” ejek ku pada Aini

Di kejauhan tampak seorang wanita yang sepertinya aku sudah kenal. Ya, wanita itu adalah
Kak Kirana. Wanita terpopuler di sekolah ku. Dia cantik dan baik hati. Ia sering
memenangkan lomba-lomba modelling yang diadakan oleh pemerintah di kota ku. Tapi
kenapa dia bisa ada di sekolah padahal sore ini tidak ada ekskul modelling
“Saaayaaang…” ucap wanita itu sambil melambaikan tangan ke arah ku.
Dan saat aku berbalik arah ternyata sudah ada Kak Ryan yang membalas lambaian tangan itu
sembari tersenyum. Aku shock! Aku yang melihat dan mendengarkan semua itu tak sadar
meneteskan air mata. Aku pun berlari sekencang-kencang nya. Hatiku terasa sangat perih.
Keadaan ini memaksa ku harus sadar bahwa cerita cinta ini bukanlah sinetron yang awalnya
suka dan berakhir dengan pacaran. Ini cinta yang nyata. Biarlah cinta tetap tersimpan dalam
diam. Dan mulai sejak saat itu ku putuskan untuk menyimpan rapat-rapat cinta untuk Kak
Ryan dan mencoba bersikap seolah kejadian yang kulihat hanyalah sebuah mimpi buruk yang
akan hilang saat aku terbangun nanti.

Cerpen Karangan: Intan Cahaya


Blog: http://bqintan.blogspot.com
Hay nama gua Baiq Intan Cahaya Ning Putri. Gua sekarang sekolah di SMAN 1
SUKAMULIA NTB. Follow @Inthan47 atau Add Facebook Baiiq Intan Pevensie :)

Hujan
Teng teng teng bel pulang sekolah berbunyi, waktunya semua siswa pulang sekolah, tiba-tiba
byurrr hujan lebat pun turun terpaksa aku harus menunggu hujan reda, tapi sepertinya terasa
bosan hanya duduk melihati butiran-butiran air yang jatuh dari langit itu, akhirnya aku jalan-
jalan di sekitar sekolah yang tak terkena hujan. Aku merasa tenang karena tak ada yang
mengacaukan pikiran selain melihat air yang jatuh dari langit, tapi aku melihat seseorang
perempuan di depan kelasnya duduk sendiri menikmati air hujan yang dingin yang jatuh dari
langit melewati atap sekolahan. Aku segera mendekatinya dengan perlahan.

“hai kamu kok mainan air hujan? nanti sakit loh”. tanya ku dengan ramah. Dia tak menjawab
perkataan ku hanya ada senyum kecil yang mengembang di bibirnya.
“aku boleh duduk gak sambil nemenin kamu?”. tanya ku lagi dengan menunjuk tempat di
sebelahnya.
“boleh saja”. balasnya sambil melihat ke langit penuh tetesan air.
“kok kamu malah mainan air hujan, nanti kalo kamu sakit gimana? orangtua kamu mesti
cemas”. tanya ku sambil melihat wajahnya yang tertutup kerudung putih itu.
“kamu tau gak, hujan ini ngingetin aku sama orang yang aku sayang. Kami biasanya hujan-
hujanan sambil tertawa ria, tapi semua itu telah sirna. Dia pergi bersama orang lain, hati ku
terasa sakit dan air mata ku yang menetes ini rasanya sangat dingin. oh ya kenalkan namaku
Fafa”. Ucap Fafa sambil meneteskan air mata dan senyum kecilnya.
“namaku Bara, kamu gak usah sedih kaya gitu masih banyak orang mau sama kamu dan setia
sama kamu”. hiburku dengan suara pelan dan senyum kecil, tiba-tiba dia menatapku dalam-
dalam. Hatiku rasanya tak karuan, aku membalas tatapannya dengan senyuman tiba-tiba dia
menarikku menuju ke tengah lapangan yang sedang terkena hujan. Baju ku basah semua, tapi
aku merasakan hal yang berbeda. Hati ku merasa aku sudah kenal dekat dengannya. Kami
bermain air hujan sambil tertawa ria dan tidak peduli dengan apa pun.

Aku ingin sekali mengatakan isi hatiku padanya, dengan berani aku memegang kedua
tangannya “fafa, aku tau kita baru kenal dan kita baru ketemu saat hujan turun tapi hati ku
langsung mengatakan bahwa kau orang yang pantas di hatiku. Kaulah cinta pertama ku, jadi
maukah kamu jadi pacarku?”. ucap ku dengan nada suara yang sedikit pelan sambil
memegang tangannya yang dingin karena terkena hujan.

“emm gimana ya, tapi kamu setia gak sama aku?”. balas Fafa sambil tersenyum. “ya iyalah,
kamu orang pertama yang buat aku sebahagia ini”. jawab ku dengan menatap fafa. “emm iya
deh aku mau jadi pacarku”. ucap Fafa. Aku pun memeluk Fafa erat-erat dan sejak itu kami
sering bersama, suka maupun duka kami alami bersama dan hujan inilah yang
mempertemukan kami.

SELESAI

Cerpen Karangan: Muhammad Khalif Trisyanto


Facebook: facebook:Muhammad Khalif

Cinta Pertamaku
Bermodalkan kulit sawo matang, dan senyum yang mempesona ialah Fathir, seorang pria
yang ku kagumi sejak kelas 8 smp, memiliki tinggi badan yang ideal bak seorang atlet basket,
dan mempunyai kecerdasan yang membuat ia semakin menjadi pria yang di idolakan setiap
wanita, ingin sekali rasanya aku berkenalan dengannya, walaupun hanya dikatakan sebagai
teman, akan tetapi segelintir hasrat ini ingin melampaui dari itu, aku berserah diri kepada
tuhan, biarlah ia yang menentukan takdir hidupku.
Letak ruangan kelasku memang berhadapan dengan lapangan sekolah, jadi tak heran jika dari
jendela saja kami dapat melihat aktivitas-aktivitas siswa yang berada di lapangan, kamis
merupakan hari yang paling kutunggu, mengapa? Ya karena pada hari ini pria idaman ku
memiliki jadwal berolahraga, tak sabar rasanya ingin melihat keahliannya dalam memainkan
bola basket, yang terkenal lincah itu, sejenak aku memperhatikan guru yang sedang mengajar
di depan kelas, akan tetapi aku lebih sering melihat ke arah jendela yang berarti aku sedang
memperhatikan pria itu, sampai-sampai temanku menanyakan siapa yang aku perhatikan di
balik jendela itu. “siapa yang sedang kamu lihat Reta?” tanya Dita, “enggaaak ppappa kok
Dit”. Jawab ku dengan perasaan gugup, “oh aku tahu, pasti kamu lagi liatin dia yaa?”,
“sssiapa bilang aaaku llagi liatin pohon” aku pun semakin tidak dapat mengelak. “ngaku aja
deh nggak papa kok” rayu Dita, “hmm iya Dit aku lagi ngeliatin dia, aku pengen banget kenal
sama dia”, “oh Fathir, kamu mau kenalan? Sini nanti aku bantu” sahut Dita, “nggak usah Dit,
aku malu”. “alah nggak papa lagi, kita kan Cuma mau kenalan”, “iya deh terserah kamu, tapi
janji ya cuma kenalan aja”, “siap mbak” kata Dita.

Tak lama bel istirahat pun berbunyi, tanda pelajaran ke 3 dan ke 4 usai, seperti biasa aku
bersama Dita pergi ke kantin untuk mengisi perut yang keroncongan, tak sengaja aku
menabrak sisi sebelah kanan tangannya yang sedang memegang air minum, dan air minum
itu mengenai wajahku, dengan segera ia membersihkan wajahku yang basah dengan sebuah
sapu tangan yang ia ambil dari saku pakaian, dan membersihkan secara perlahan, “maaf, ini
semua salah ku” aku pun meminta maaf, “nggak papa kok, ini juga salahku yang jalannya
nggak liat ke depan, oh iya kalau boleh tahu, nama kamu siapa?” ia pun mengajakk
berkenalan, sampai akhirnya bel pun berbunyi menandakan waktu istirahat telah usai.

Waktu pun menunjukkan pukul 12.30 Wib, yang artinya waktu pulang sekolah pun tiba, Dita
yang awalnya berjalan denganku kini telah di jemput oleh sang kekasih, akhirnya tinggal lah
aku sendiri menapaki jalan yang panjang dengan ditemani teriknya cuaca di siang hari, dari
belakang tubuhku ini terdengar suara knalpot motor yang secara perlahan membuntuti ku,
lantas aku memutar arah tubuh ku “loh, kok kamu ada disini?”, ia pun menjawab “aku nggak
tega sama kamu, jalan kaki, di hari yang terik seperti ini, sini aku antar”. Ia pun segera
menarik tanganku sebagai rasa sangat perduli dengan kondisiku, dan akhirnya aku diantar
pulang hingga sampai ke rumah.

Seminggu berlalu hubungan kami pun semakin dekat, melalui via sms dan facebook kami
lebih mengenal satu sama lain.
Hingga tiba waktunya ia
menyatakan perasaanya kepadaku
melalui setangkai mawar yang ia
berikan ketika pulang sekolah,
“Reta, mau kah kamu menjadi pacar
sekaligus penyemangatku?”, aku
pun tak dapat berkata dan hanya
dapat menganggukkan kepala, dan
dari situlah dimulai cerita cinta
pertamaku.

Cerpen Karangan: Tria Monica


Blog: triamonica07.blogspot.com
My First Love
Hay, perkenalkan. Aku Gabby Fadilla, panggil saja Dilla. Hari ini hari pertamaku duduk di
bangku Sekolah Menengah Atas (SMA).

“Hey! Apa kau baik-baik saja?” Teriak seseorang. Aku tak mengenalnya. Tapi, mengapa dia
menyapaku? Atau setidaknya menegurku?
Aku hanya mengangguk. Yap! Selama orangtuaku bercerai aku tak pernah berbicara. Ayah
sangat kasar pada ibu, sehingga ibu meninggalkan ayah. Aku merasa terpuruk dengan
keadaan itu hingga akhirnya aku memutuskan untuk tidak berbicara atau membuang kunci
mulutku ke dasar laut.

“Sungguh indah pemandangan disini? Mengapa kau tak masuk? Semua -…” tak sempat ia
melanjutkan kata-kata nya. Aku sudah duluan meninggalkan nya.

Akhirnya aku menemukan kelasku. Dengan segera aku menuju ke bangku deretan kedua dari
belakang. Setelah aku menyimpan tas ku, aku segera duduk memperhatikan sekelilingku.
Semua orang tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing. Kebanyakan dari mereka
menceritakan kehidupannya masing-masing.

“Hey, kita bertemu lagi!” Ucap pria yang tadi. Ia menyimpan tasnya di laci bangku
sebelahku. Kemudian ia duduk.

Anak-anak pun segera duduk di bangku masing-masing karena guru sudah datang. Bu guru
itu pun duduk lalu mengambil sebuah buku absen siswa dari tasnya.

“Sejak tadi, kita belum saling mengenal. Namaku Iqbaal” Mengulurkan tangannya, aku hanya
terdiam menatap uluran tangannya

“Gabby fadillah!” Kata Bu guru yang ternyata sudah mulai sejak tadi mengabsen kami.

“Wahh, nama yang bagus -…”


Jantungku berdegup kencang, baru kali ini aku dipuji dengan cara memuji namaku.

“Kalau begitu aku panggil kau dengan nama Gabby saja”


Aku menggelengkan kepalaku, ia pun mengerti.

“Kalau Dilla?”
Akhirnya dia tahu, segera ku anggukan kepalaku pertanda iya.

Hari berlalu dengan cepat, kami sudah sangat dekat. Bahkan ada yang bilang bahwa kami itu
bersaudara padahal jelas-jelas kami hanya sebagai sebatas sahabat. Tapi, aku menganggapnya
lebih dari sahabat.

Hari ini cuaca mendung, tidak seperti biasanya aku pulang bareng Iqbaal. Aku
meninggalkannya di kelas karena ia masih sibuk dengan pekerjaannya. Dan kebetulan cuaca
mendung. Segera kulangkahkan kakiku dengan cepat.
“Hey tunggu! Mengapa kau meninggalkanku!” Teriak Iqbaal, dari kejauhan. Lebih tepatnya
di belakangku tapi cukup jauh.

Aku terhenti sejenak untuk menunggunya berjalan datang kepadaku.


Saat ia sudah di hadapanku, aku tersenyum melihat ke arah langit.

“Ohh mau hujan yah? Ya udah ayo jalan!” Kami pun melangkahkan kaki kami kembali.
Di tengah perjalanan, ia sedikit berbincang. Tiba-tiba ia menanyakan hal yang tidak pernah
kuduga
“Bolehkan aku mendengar suaramu? Setidaknya satu kata saja” Aku kembali terhenti,
menatapnya nanar. Sebenarnya aku ingin melakukannya tetapi tidak bisa.
“Aku -…” Ucapku, dengan suara sangat kecil sembari menunduk.
Ia tersenyum “Ayo, kamu mau bilang apa?”
“Aku menyukaimu!” Aku kaget dengan sendirinya, pipiku merah bagaikan tomat yang baru
dipetik dari kebunnya. Aku membekap mulutku kemudian berlari.
“Akhirnya kau -…” Lirih Iqbaal

“Bodoh! Mengapa aku mengatakannya?” Perasaanku campur aduk. Senang bisa


mengatakannya dan Sedih karna hal ini bisa menghancurkan persahabatanku.

Keesokan harinya, aku sengaja tak menunggunya saat pulang. Aku malu, sangat malu. Aku
juga takut dia akan marah padaku akan hal yang kemarin.
Tanpa diduga-duga, dia kembali menghampiriku. Awalnya aku kira dia akan memarahiku,
tapi ternyata dugaan ku salah besar.
Dia memelukku dan mengatakan “Aku juga menyukaimu. Aku cinta sama kamu! Kamu mau
jadi pacarku?” Aku melepas dekapannya, lalu berkata “Aku mau” Dan aku pun kembali
mendekapnya.

Dia adalah MY FIRST LOVE

Selesai

Cerpen Karangan: Yuni Afrianty Alfadilla


Facebook: Yuni Afrianty Alfadilla

Luka Lama Yang Terbuka Kembali

Aku lelah, aku lemah, aku tak sanggup bertahan bagiku ia adalah masa lalu yang harus
dilupakan. Aku gak sadar waktu menunjukan pukul 01:00 mataku terjaga semalaman itu
karena aku memikirkan sesuatu, sesuatu yang tak layak untuk difikirkan sesuatu yang harus
segera dihapus dan dilupakan. aku gak mau berlarut memikirkan ini bahkan sampai tidak
tertidur. raya adalah masa laluku yang kelam dia adalah cinta pertamaku semasa sma.
Aku dan dia putus sejak 1 tahun yang lalu sewaktu perpisahan di sma. sejak itu aku gak
pernah melihat dia lagi. satu minggu lagi akan ada reuni di sma, aku teringat akan masa masa
indah bersamanya yang terukir jelas di kota kecil ini Banjarmasin.

Aku ingat dikala kami tersipu malu ketika kami ketahuan berduaan di kelas aku ingat betul
akan wajah kagetnya saat itu, dan sewaktu ketika duduk di taman kota menikmati indahnya
sore Banjarmasin, dan aku ingat waktu itu tergambar jelas di wajahnya perasaan akan selalu
bersama dan perasaan akan saling menjaga perasaan masing-masing, dan perasaan ingin
bersama menikmati sisa hidup kami yang singkat ini.

Hari sabtu 11 january 2014 itulah saat di mana reuni sma yang ke 23 dimulai aku bergegas
menuju motor ku. fikiranku sibuk menerka nerka apa yang akan terjadi nanti ketika aku
bertemu dangan nya, sepanjang jalan menuju sma aku terus memikirkan raya, apakah dia
masih ingat denganku atau tidak.

Setibanya aku langsung masuk ke aula tempat digelarnya reuni,


“hey… rian…” seseorang laki menepuk pundakku, aku berbalik badan aku kaget ternyata dia
yoga teman karib ku “hey ga… gimana kabar…?” kami bercengkrama kira kira lebih dari 30
menit tak sadar aku teucap menanyakan kabar raya ke yoga, katanya raya sudah punya pacar.

Karena perutku mulai lapar maklum buru buru gak sarapan pagi. aku membalikkan badan aku
kaget dia berada di belakangku, “hey… kak rian..” sapanya dengan seyum yang menurut aku
senyum yang beda dari kebanyakan wanita, menurut ku dia banyak berubah dia agak
kurusan, dan makin cantik tentunya
“kamu gak berubah ya kak tetep aja sukanya ngegombalin cewek…”
“ku dengar kamu sudah punya pacar ya?”
“ia kak.. kakak sudah ketemu kok…”
“siapa…?”
Aku agak sedikt kaget dengan kenyataan ini sendiri raya pacaran sama sahabat karibku
sendiri. jujur di sana masih ada rasa cemburu, aku benar benar tidak tahan dengan rasa
cemburu ini tak ku sangka sahabat karibku mencintai raya dan itu bermula sejak kami
pacaran aku benar tak kuat menahan rasa ini rasa akan kesakitan yang teramat dalam.

Jam menunjukan pukul 13:00 aku segera bergegas ke motorku tanpa pamit pada raya dan
yoga itu karena aku harus bergegas meneken kontrak pada suatu penerbit buku, saat itu aku
sadar bahwa cinta pertama kita itu gak pernah kemana mana dia selalu stay on di hati kamu,
tidak ada kebahagiaan lagi di hatiku kini luka lama terbuka kembali

Cerpen Karangan: Akhmad Al Amin


Blog: Http://aloralora.blogspot.com
Nama: Akhmad Al Amin
Ttl: anjir Pasr 12 Mey 1996
Kota Tinggal Di Banjar Masin

Anda mungkin juga menyukai