Anda di halaman 1dari 10

Love In Tokyo

Sang mentari terlihat begitu cerah menyambut berakhirnya musim semi. Tak
terlihat satu pun air yang jatuh dari langit kota Tokyo ini. Semangat pagi pun telah
merasuk ke dalam gadis tinggi berparas cantik yang tengah mempersiapkan diri
menuju ke sekolah barunya.

Sejak ayahnya dipindah tugaskan dari Prefektur Fukuoka ke Prefektur Tokyo. Gadis
yang akrab di sapa Aira ini pun harus ikutan pindah juga. Dan inilah hari pertama Ia
masuk ke sekolah barunya. Ia terlihat sangat bahagia. Walau sebenarnya ada sedikit
rasa kesal dihatinya karena harus pindah rumah. Bagi Aira, Fukuoka bukan hanya
sekedar kota kelahirannya saja, tapi Fukuoka juga menyimpan banyak kenangan.
Disana ia memiliki banyak teman yang sangat Ia akungi. Disana juga Ia bertemu
dengan lelaki tampan yang mampu memikat hatinya dalam sekejap. Akung, lelaki
itu lekas pergi sebelum Aira sempat berkenalan dengannya.

Jam tangan bewarna ungu yang melingkar di tangan kirinya telah menunjukkan
pukul 08:20 itu artinya 10 menit lagi, kelas akan dimulai. Sedangkan Aira masih
dalam setengah perjalanannya. Kecemasan sangat terlihat jelas diwajahnya. Ia
segera mempercepat kayuhan sepedanya. Bulir demi bulir keringat pun mulai
menetes jatuh dari dahinya. Terkadang Ia mengusap keringatnya yang sudah
membasahi poninya itu.

Tak lama, gerbang kayu hitam yang begitu tinggi dan kokoh telah terlihat jelas.
Senyum Aira pun langsung terukir diwajahnnya yang tampak begitu lelah. Ia
langsung menuju ke loker sepatu untuk mengganti sepatunya dengan uwabaki.
Aira berjalan dengan cepat menyusuri liku lorong sekolah sambil membawa
selembar kertas kecil bertuliskan nama kelasnya. Sampai-sampai Ia tidak
memperhatikan orang-orang yang berada di sekelilingnya. Dan..
“Bruukk!!”
Aira bertabrakan dengan salah satu siswa disana. Dengan cepat Aira berdiri dan
merapikan tasnya yang agak berantakan.
“Gomennasai. Maaf aku tidak sengaja. Umm..apa anda tau dimana kelas Satsuki
Nikeba” tanya Aira
“Daijoubu. Kalau mau ke kelas Satsuki Nikeba kau tinggal lurus lalu belok kanan,
tepat di samping ruang komputer” jawab Lelaki itu.
Aira pun langsung berlari melewati arah yang di ucap lelaki tadi tanpa bilang
terimakasih sebelumnya. Dan lelaki itu pun hanya mendengus kesal karena perilaku
kohainya. Tapi, karena pesona kecantikan yang tepancar dari wajahnya itu,
kekesalan tadi seakan hangus dalam sekejap.

Aira sampai pada kelas tepat pada waktunya. Ternyata Ia mendapat teman yang
cukup merespon dengan kehadirannya. Dan mungkin kebahagiaan di Fukuoka,
dapat terulang kembali di Tokyo.
“Aira, nanti malam ayo kita ke bazaar!” ajak Nami, seorang teman barunya.
“Hmm.. Boleh. Tapi emangnya kau mau beli apa disana?” balas Aira sambil
memasukkan bukunya ke dalam tas.
“Pokoknya antarkan aku ya kesana. Nanti aku traktir udon.” tawar Nami lagi.
“Umm..baiklah..”
“Oke, nanti malam aku tunggu di persimpangan jalan Ikebuya jam 07:15 ya. Bye
Aira.”
“Bye Namida.“

Aira datang tepat pada waktunya. Nami pun telah ada disana. Udara Tokyo malam
hari memang terasa dingin. Tapi mungkin ini tidak dirasakan oleh Aira, karena
malam ini ia akan pergi dengan sahabat barunya. Ya! Natsukawa Namida. Seorang
cewe cantik tapi sangat pemalu. Mungkin memang itu watak yang menjadi ciri khas
baginya.
“Nami kau mau beli apa sih? Kita udah memutari bazar 2 kali, dan belum ketemu
juga?” keluh Aira yang sudah mulai lelah.
“Aira, sebentar lagi. Ini aku sedang mencarinya..” jawab Nami sambil menebar
pandangan ke seluruh bazaar.
“Namida!” ucap seseorang dari belakang
“Hikaru-san! Sedang mancari buku juga ya?” balas Nami pada seorang lelaki tadi
yang bernama Hikaru.
Lelaki itu pun tersenyum manis, “Iya. Eh, bukankah kau yang menabrakku tadi pagi?
Namamu Migeishi Aira, benarkan?” tanyanya
“I-iya. Aku Migeishi Aira. Oh iya, maaf untuk kejadian tadi pagi..” balas Aira sedikit
gugup.
“Tidak apa-apa. Tadi pagi aku tidak sengaja melihat nama kau di nametag yang kau
pakai. Jadi, aku tau nama kau.” balas Hikaru. Sepetinya Aira mengenali wajah
Hikaru.
‘Benarkah? Apa mungkin Hikaru-san adalah lelaki tampan yang aku temui di
Fukuoka waktu itu?’ tanya Aira dalam hati sambil terus memperhatikan wajah
Hikaru yang sedang bercakap-cakap dengan Nami.
“Aira, ternyata kau sudah mengenal Hikaru-san ya? Kenapa tidak bilang sama aku?”
tanya Nami setelah Hikaru pergi.
“Ya, tadi pagi aku tidak sengaja menabrak dia. Kau kenal dia juga ya?” balas Aira
Nami tersenyum tipis, “Iya, dia itu senpai kita anak kelas 3. Besok aku ceritain lebih
banyak tentang Hikaru-san. Sekarang sudah malam, kita pulang yuk!” ajaknya.

“Tadaima!” ucap Aira seraya masuk ke dalam rumahnya.


“Okaerinasai, Aira cepat kemari. Ibu sudah buatkan makanan kesukaan kau.”
“Okonomiyaki!” Aira langsung duduk di meja makan dan menyantap lahap
okonomiyaki yang dibuat ibunya. “Wah.. Oishii. Lezat sekali!!.”
“Ibu kan yang memasaknya.” Ibu Aira membelai lembut rambut anaknya itu. Kasih
sayang yang tulus, tidak dapat tersembunyikan dari belaiannya.
“Aira, Sabtu nanti ibu, ayah dan Fume akan ke Fukuoka untuk ber-haNami bersama
nenek. Kau mau ikut?” ajak ibu
“Tentu saja aku mau ikut!” balas Aira yang masih asik mengunyah okonomiyaki nya.
Wajahnya terlihat begitu bahagia, seakan kepedihan takut untuk mendekatinya.

Hari demi hari berlalu, Aira dan Nami semakin mantap untuk menjalin persahabatan
di antara mereka. Aira pun semakin yakin bahwa Hikaru adalah lelaki yang telah
memikat hatinya di Fukuoka. Sempurna dan Bahagia, 2 kata yang mungkin
menggambarkan hati Aira saat ini. Ia merasa telah mendapat kebahagiaannya di
Tokyo. Fukuoka yang damai mungkin takkan Ia rindukan lagi. Karena ternyata di
Tokyo, kedamaian ini lebih ia rasakan.

“Aira , sebentar lagi keretanya akan berangkat.” Ucap ayah Aira pada gadis
kesayangannya.
“Iya sebentar lagi ayah.” Balas Aira yang sedang sibuk merapikan barang-
barangnya.
Yap! Keluarga Aira akan berangkat ke Stasiun Shinagawa untuk menuju ke
kampung halamannya, Fukuoka.
Ayah Aira memang sengaja memilih kereta Shinkansen untuk pejalanannya kali ini.
Sebagai salah satu kereta tercepat di dunia, Shinkansen dapat membawa keluarga
Aira ke Fukuoka dalam waktu 5 jam saja. Infrastruktur dalam Shinkansen pun sangat
bagus dan terkesan mewah. Tak ayal bagi Aira dan Fume bergembira menikmati
perjalanannya.

“Ooh.. Fukuoka. Aku kembali!” teriak Aira setelah sampainya di Fukuoka


“Sobo, Sofu aku rindu dengan kalian.” Ucap Fume yang langsung memeluk kakek
dan neneknya, pelukannya seperti sudah 1000 tahun tidak bertemu, begitu erat. Ibu
Aira hanya menggeleng pelan melihat tingkah laku anak-anaknya itu.

Maizuru Park. Sebuah taman yang dipenuhi pohon Sakura yang sedang bermekaran
dengan indahnya. Ini adalah salah satu taman yang digemari warga Fukuoka untuk
ber-haNami. Ini pula taman yang dipilih keluarga Aira untuk ber-haNami dengan
keluarga besarnya. Hanya canda dan gelak tawa yang menemani kebersamaan
mereka. Kebahagiaan penuh cinta damai.
“Sobo, silahkan di coba. Aku yang membuat okonomiyaki ini.” Ucap Aira sembari
menyerahkan okonomiyaki pada neneknya.
“Sobo, lebih baik coba Takoyaki buatanku ini. Pasti lebih enak dari okonomiyaki
Aira-chan.” Ucap Fume tak mau kalah.
“Fume..Takoyakinya kan yang memasak Ibu..” Balas Aira.
“Tapi Fume juga ikut membantu Ibu memasaknya!” Fume pun merengut kecil,
setelah beradu argumen dengan kakaknya itu. Ia juga memalingkan wajahnya dari
Aira.
“Fume, jangan marah lah. Aku hanya bercanda. Takoyakinya enak kok. Jika kau
terus merengut seperti itu, kau akan mirip dengan Sofu.” Rayu Aira yang di balas
gelak tawa dari Fume.

Aira pun menyempatkan diri untuk berkeliling di Maizuru Park ini. Walaupun belum
lama ia meninggalkan Fukuoka, tetapi ia sudah sangat rindu dengan suasana disini.
BRUUK!
“Doumu sumimasen.” Ucap seseorang yang makanannya tadi hampir jatuh tapi Aira
telah lebih dulu menangkap dengan tangkasnya.
“Iie komaimasen yo.” jawab Aira sambil melempar senyum termanisnya.
“Aira-chan!” - “Hikaru-san!”
Ucap mereka bersamaan. Pandangan mereka bertemu pada satu titik misteri.
Apakah itu sebuah titik permulaan? Dimana sekejap pandangan dapat berubah
menjadi sebuah anugerah? Cinta? Mungkin. Keduanya pun menatap tajam seperti
ada suatu hal yang merasuk ke dalam jiwa mereka. Namun, gemuruh angin yang
bertiup cukup kencang mampu membuyarkan pandangan mereka.
“Gomenne.” Aira menunduk malu.
“Iie. Aira-chan, ternyata kau disini juga.” Hikau berusaha mengembalikan kondisi
seperti sediakala.
”Iya, Hikaru-san juga sedang ber-haNami? Kebetulan kita ketemu di sini.“ balas Aira.
“Iya, keluargaku tinggal disini. Oh iya, Arigato gazaimasu. Kalau bukan karena kau,
makananku sudah tumpah.”
“Sama-sama.”
“Emm.. kau sudah makan? Kalau belum, kita makan bersama di pinggir danau itu
yuk. Biar aku yang traktir.”
Aira pun menampakkan senyumnya di tengah rona pipinya yang memerah.

Akhirnya mereka menuju danau itu untuk menyantap makanan yang baru saja
mereka beli. Banyak hal yang mereka perbincangkan disana, dari mulai hobi, cita-
cita sampai masalah hati. Salju-salju yang mulai mencair di tambah bunga sakura
yang sedang bermekaran nampaknya sangat kontras dengan sepasang manusia
yang terlihat begitu bahagia.
‘Tadinya aku tak percaya tentang kekuatan cinta. Tapi kini, kekuatan cintalah yang
mendorongku bertemu dengannya. Cinta itu benar-benar nyata. Dia duduk
dihadapanku. Menatapku dengan senyumnya. Seakan memberikan suatu
kepercayaan untuk terus menumbuhkan sebuah rasa. Cintakah?’ pikir Aira dalam
hati.

Pagi yang lumayan cerah, seirama dengan suasana hati Aira saat ini. Ya! Sejak
pertemuannya dengan Hikaru di Fukuoka, perlahan namun pasti benih-benih cinta
mulai tumbuh dan bersemayam di hati Aira. Ia pun jadi semakin dekat dengan
Hikaru dan lebih sering bertemu dengannya bahkan tanpa sepengetahuan Nami.
Hari ini Aira memilih berangkat sekolah dengan menggunakan mini bus. Karena
sepedanya sedang mengalami perbaikan di bengkel. Selama di bis, ia menghabiskan
waktunya untuk membaca novel yang telah lama ia beli bersama Nami.
Clerrk! Ia membuka sleting tasnya. Lagi-lagi suatu kecerobohan yang tampaknya
telah mengakar dalam diri Aira. Muka Aira seketika berubah menjadi merah
merona. Uups! Bukan karena ia sedang bertemu lelaki tampan. Tapi karena, “5
MENIT LAGI BEL AKAN BERBUNYI?”

“Aira, ini surat peringatan kau yang pertama. Kau janji tidak akan telat lagi?” tanya
bu Yamada sambil menyerahkan sebuah surat untuk Aira. Ucapannya yang terkesan
datar tapi dingin membuat suasana ruangan yang menyelimuti Aira semakin
tampak angker. Karena Aira yakin, bahwa setiap siswa yang baru saja keluar dari
ruangan ini pasti akan tersenyum mistis.
Aira pun hanya mengangguk pelan, “Iya bu..” jawabnya gugup.

“Kenapa? Telat ?” tanya Nami yang langsung duduk di sebelah Aira.


“Iya! Padahal aku selalu bangun pagi, tapi akhirnya telat-telat juga.” Aira
mendengus kesal.
“Hahaha.. Nih, sebaiknya kau minum dulu.” Nami memberikan segelas jus pada
Aira, “Eh tapi ngomong-ngomong sifatmu sangat berbeda dengan Hikaru-san. Dia
selalu datang paling awal di sekolah ini.”
“Hah? Masa sih? Oh iya, waktu aku haNami di Fukuoka kemarin, aku bertemu
Hikaru-san.”
“Benarkah? Huh, kau tak pernah cerita kepadaku.”
“Iya iya aku akan cerita. Eh tunggu, waktu itu kau berjanji bercerita juga tentang
Hikaru-san. Kau lupa ya?”
“Oh iya!.” Balas Nami sambil garuk-garuk kepala, “Jadi siapa yang mau cerita
duluan?”
“Ya sudah, kau dulu saja!” Nami menggangguk.

Nami pun mulai bercerita tentang Hikaru. Senyum dan tawa berhasil menyelinap di
antara kebersamaan mereka, menyatu dalam ruang rindu kebahagiaan.
“Dan akhirnya aku menyadari bahwa aku menyukai Hikaru-san. Tapi aku belum
mampu untuk mengungkapkannya.” ucap Nami mengakhiri cerita panjang
lebarnya.
JLEEB! Kata-kata itu seakan menjadi panah yang di balut dengan kain emas dan
dengan mudahnya menusuk dalam melewati rongga-rongga kebahagiaan di lubuk
hati Aira. Wajahnya yang sejak tadi sarat akan kebahagiaan, kini mulai berubah
seiring dengan senyumnya yang perlahan menghilang.
“Aira, kau kenapa?” tanya Nami khawatir sambil memperhatikan wajah Aira yang
seketika berubah menjadi putih pucat.
“Kau sakit?”
“Umm..eto~ aku tak apa-apa. Aku pulang dulu ya. Aku masih banyak urusan.” Aira
pun meninggalkan Nami yang masih terpaku di tempat duduknya.

Ia mempercepat langkahnya untuk keluar dari kelas yang mulai sepi akan
kerumunan manusia. Matanya jelas sekali mengisyaratkan bahwa ia benar-benar
terluka. Butir demi butir air mata pun mulai berjatuhan seirama dengan derap
langkah kakinya. Wajahnya terlihat begitu sembab, seakan menjelaskan pilu yang
tak berujung.
‘Kenapa? Kenapa disaat aku baru saja merasakan kebahagiaan memiliki seorang
sahabat dan orang yang aku suka, kini kegelisahan telah bersiap menghadang. Dan
kenapa aku harus mengetahui ini sekarang? Di saat cintaku telah tumbuh untuk
Hikaru-san.’ keluh Aira dalam hatinya.

Lukisan senyum dan tawa kini perlahan menjauhi Aira. Justru sebaliknya, wajah
muram yang sarat akan kepedihan mulai menghiasi wajah cantiknya. Hubungan
Nami dan Aira pun tampak menjauh. Apalagi saat Nami tau, bahwa Aira ternyata
menyukai Hikaru-san juga.

Hari-hari Aira tampak tak bewarna. Pelangi yang dulu selalu menghiasi kini mulai
memudar. Rasanya cukup sulit bagi Aira untuk memilih antara Hikaru, orang yang ia
suka ataupun Nami, sahabatnya sendiri. Ia dihadapi dilema hebat. Perasaan
bersalah terhadap Nami pun mulai membayang-bayangi pikirannya. Dan akhirnya
Aira memutuskan untuk tidak dulu menemui keduanya baik Hikaru maupun Nami.
“Aira-chan!” panggil seseorang yang baru saja berpapasan dengan Aira. Aira
menoleh sedikit ke belakang. Namun, ia malah meneruskan langkahnya.
“Aira-chan, tunggu!” panggil orang itu lagi. Tapi, Aira sama sekali tidak menggubris
panggilan kedua itu.
“Aira-chan, kenapa kau selalu menghindar ketika bertemu dengan ku? apa
salahku?” tanya orang itu yang ternyata adalah Hikaru.
Kini Aira benar-benar menghentikan langkahnya. Namun, ia tidak sedikitpun
menengok ke belakang. Sebenarnya, hati Aira terasa begitu sakit, karena harus
menjauhi Hikaru. Tapi apa daya, ia betul-betul bingung harus berbuat apa untuk
mengembalikan hubungannya dengan Nami seperti dulu lagi. Dan ketika Aira
mencoba untuk menengok ke belakang, sosok Hikaru telah lenyap seketika
menghilang dari pandangannya.

Di lain waktu, Nami yang telah merasa dikhianati oleh sahabatnya sendiri itu pun
semakin mendekati Hikaru. Nami selalu mencari perhatian dari Hikaru dengan
apapun caranya. Lama kelamaan, karena semangat yang telah tumbuh membara di
hati Nami, ia pun memberanikan diri untuk menyatakan cintanyanya pada Hikaru
pada jam pulang sekolah di taman belakang sekolah. Ia sengaja memilih tempat itu,
karena ia tahu pasti pada jam pulang sekolah Aira berada di tempat itu. Ia ingin
membuktikan pada Aira bahwa sekarang ia telah mampu menyatakan cintanya
pada Hikaru.
“Hikaru-san, ayo temani aku ke taman belakang sekolah.” ajak Nami sambil
menggandeng tangan Hikaru. Tapi Hikaru langsung melepas genggaman tangan
Nami.
“Untuk apa Nami? Kau bisa kesana sendiri.”
“Tapi aku ingin Hikaru-san ikut!”
“Baiklah!”
Dugaan Nami tepat. Aira sedang berada di tempat itu sambil membaca sebuah
komik yang ia genggam erat.
“Hikaru, aku menyukaimu. Daisuki desu yo!” ucap Nami yang sengaja berbicara
agak kencang. Mungkin supaya Aira mendengar itu.
“Maaf Nami. Aku tidak bisa. Dalam hatiku telah ada orang lain, dan itu bukan kau.
Gomenasai.” Balas Hikaru sambil melirik sedikit ke arah Aira lalu meninggalkan
Nami yang masih terpaku.
Entah kenapa perasaan Aira saat itu sedikit lega. Seperti satu beban telah melayang
jauh dari hidupnya. Ya mungkin karena Aira dapat memastikan bahwa Hikaru tidak
menyukai Nami. Dan mungkin masih ada kesempatan bagi Aira untuk mendapatkan
hati Hikaru.

Detik waktu terus bergulir seirama dangan bumi yang masih setia mengitari sang
surya. Kini musim gugur telah datang menerpa seluruh wilayah Tokyo. Bunga sakura
yang indah mulai berjatuhan memenuhi sisi jalan ibu kota. Tapi, gemuruh angin
yang kencang belum juga mampu membawa pergi kalut di hati Aira. Sampai
sekarang hati Aira masih di landa kalut yang tak kunjung usai. Kebahagiaan di Tokyo
tampaknya mulai pergi menjauhi hidup Aira. Tak ada lagi pelangi. Tak ada lagi
mimpi.

Aira mengetuk kuat kamar ibunya, ia langsung berlari menghampiri dan memeluk
erat ibunya yang mulai renta itu. butiran bening pun mulai menghujani pipinya lagi.
“Ibu, Aira ingin kembali ke Fukuoka!” ucap Aira dengan nafas yang tak beraturan
akibat isakannya.
“Ada apa?” tanya ibu sambil menyibakkan rambut yang menutupi wajah anaknya
itu.
“Aku sudah tidak mau tinggal di Tokyo. Pelangi telah menjauhi hidupku. Lembaran
kertas kosongku sudah menjadi kelabu. Aku ingin kembali ke Fukuoka.” Aira
semakin keras dalam isakannya.
“Sudah jangan menangis, ceritakan semuanya kepada ibu.”
Akhirnya Aira bercerita panjang lebar mengenai masalahnya terhadap ibunya,
ditemani tetesan air mata yang hampir menyapu seluruh wajahnya. Ibu Aira pun
hanya menggangguk pelan menandakan ia mengerti betul masalah yang sedang
dihaddapi putrinya yang tengah beranjak dewasa itu.


Angin malam yang begitu dingin menerpa tubuh Aira yang sedang duduk terpaku
menatap kosong ke arah jendelanya yang ia biarkan terbuka.
“Mengapa jalan takdir harus begini? Mengapa takdir tidak membiarkanku untuk
bahagia? dan mengapa orang yang aku sukai harus disukai juga dengan sahabatku
sendiri? Ya Tuhan.. Aku benar-benar tidak mengerti atas jalan takdir yang telah kau
tetapkan ini. Mengapa harus begini? Apa ini pertanda, aku tak dizinkan bahagia
disini, dan aku harus kembali ke Fukuoka, menjemput kebahagiaan yang mungkin
masih tersisa disana.”

Tak terasa musim semi sudah datang kembali menyapa benih-benih sakura yang
akan membuka katup-katup kelopaknya dan berbunga dengan indah.
Ujian untuk kenaikan kelas pun telah dilalui siswa di SMA Nakaura, tak terkecuali
dengan Aira. Dengan persiapan yang maksimal, Aira akhirnya meraih nilai tertinggi
dikelasnya.
Hati Aira memang bahagia, tapi tidak sepenuhnya. Karena ia telah memutuskan
untuk pindah ke Fukuoka tinggal bersama neneknya. Ya, seharusnya ia bahagia atas
keputusannya. Tapi entah mengapa ada perasaan sedih di hati Aira karena harus
meninggalkan kota Tokyo ini.

Hari ini Aira masih ke SMA Nakaura untuk mengecek barang-barangnya yang
mungkin masih tertinggal disana.
“Aira-chan, chotto!” ucap seseorang sambil menggenggam tangan Aira.
Orang itu pun berhasil menghentikan langkah Aira, tanpa ragu Aira menoleh ke
belakang untuk mengetahui siapa yang telah menggenggam tangannya itu.
“Hikaru-san!” ucap Aira serentak dengan matanya yang menatap tajam lelaki yang
ada dihadapannya.
“Aira-chan, kau mau kemana?” ucap Hikaru sambil melepas genggaman tangannya
yang melekat pada Aira.
“Aku.. Aku mau kembali ke Fukuoka.” Aira berkata gugup bercampur sedih, karena
mungkin ini pertemuan terakhirnya dengan Hikaru.
“Mengapa kau harus pindah?” tanya Hikaru ikut sedih.
Aira tak berkutik sedikit pun. Ia tak mungkin menceritakan alasan sebenarnya pada
Hikaru karena semua ini menyangkut tentang Hikaru. Ia pun sebenarnya ingin
cepat-cepat pergi. Tapi, Hikaru lebih dulu menggenggam tangannya kuat.
“Aira-chan, kenapa kau tidak menjawab?” Hikaru terus menekan Aira supaya
memberi jawaban padanya.
Tapi Aira tetap diam. Seakan tidak peduli akan pertanyaan Hikaru yang sudah
berkali-kali terucap dar mulut Hikaru. Air mata mulai mengalir di kedua pipi Aira.
“Memangnya kenapa kalau aku pindah? Apa kau punya masalah denganku?” Aira
akhirnya angkat bicara.
Kini berganti, Hikaru yang bungkam. Pandangannya seakan menyiratkan bahwa ada
kalut yang menyerang lubuk hatinya.
“Tidak Aira-chan. Aku hanya ingin kau tetap di sini menemaniku. Karena sungguh,
aku menyukaimu. Aira-chan, Daisuki.” Hikaru berucap tanpa ada keraguan.
Aira tersentak kaget. Ia benar-benar tak percaya bahwa ternyata Hikaru juga
menyukainya. Seketika matanya berbinar. Mimpinya menjadi nyata.
“Aku juga menyukaimu. Ta.. Tapi aku tak bisa.” Aira langsung melangkahkan kaki
beranjak meninggalkan Hikaru. Ia tak mungkin menyakiti perasaan Nami jika ia
menerima cinta Hikaru yang dicintai juga oleh sahabatnya itu.
“Tapi kenapa ?” Hikaru bersuara lebih keras hingga mampu menggema di seluruh
ruang perpustakaan yang kebetulan hanya berisi beberapa orang saja.
Aira yang belum sampai pintu keluar itu pun menghentikan langkahnya mencoba
untuk menenangkan hatinya yang sedang bergejolak.
“Apa ini semua karena Nami?” tanya Hikaru yang seakan mengetahui isi sebenarnya
di lubuk hati Aira.
“Kau tau, aku tak bisa memilih antara Nami ataupun kau. Aku sayang dengan kalian
berdua. Aku tak mau menyakiti hati siapapun. Jika memang harus ada yang
tersakiti, biarlah aku yang menanggung. Biarlah aku yang tersakiti demi kalian!”
ucap Aira ditemani air mata yang mulai menghujani pipinya lagi.
Ia pun langsung mengusap air matanya dia berlari keluar meninggalkan Hikaru yang
masih berdiri mematung.

Aira kembali terduduk di sebuah kursi taman belakang sekolah, sambil terus
menghapus air mata yang belum juga berhenti mengalir dari pelipis matanya. Ia
ingin berada disini dulu untuk lebih lama, sebelum akhirnya ia benar-benar pergi ke
Fukuoka.
“Aira!” ucap seseorang yang langsung duduk di samping Aira.
“Jangan menangis lagi..” ucap orang itu sambil menghapus air mata diwajah Aira.
“Nami!” ucap Aira yang langsung memeluk erat Nami.
“Gomenne... Gomenne Nami-chan...” isak Aira di pelukan Nami.
“Aira, kau tak punya salah denganku. Akulah yang banyak salah denganmu. Aku tak
pernah memikirkan perasaanmu. Aku memang egois..Gomenne..” Ucap Nami yang
mengeluarkan air matanya juga. “Aku sadar kalau Hikaru-san hanya menyukaimu.
Sekarang, mata hati telah kubuka. Kau dan Hikaru-san memang ditakdirkan untuk
bersama.” lanjut Nami.
“Nami..” Aira berusaha berucap, tapi Nami lebih dulu memotongnya.
“Sudah Aira, jangan bersedih lagi ya. Hikaru-san itu untuk kau. Lagi pula, aku sudah
punya pasangan sendiri.”
“Nami-chan..kau sudah punya pasangan? Siapa?”
“Kau sih, terlalu sibuk belajar. Aku ingin cerita kepadamu tapi kau selalu menjauh
dariku.”
“Gomenne..Nami-chan..”
“Yayaya..tak apa-apa.”
Senyum yang telah lama menghilang di wajah Aira, kini pun terpampang lagi.
Mungkin karena pelangi yang selama ini terhalang awan kelabu telah bersinar
kembali.


Malam ini tak begitu dingin. Ditemani bunga sakura yang selalu terlihat indah di
siang maupun malam hari. Lampu yang bersinar kelap-kelip pun menambah
indahnya suasana romantis pada sepasang manusia yang terlihat begitu bahagia.
Disana, Aira dan Hikaru sedang duduk di sebuah kursi panjang menatap kearah
langit yang dipenuhi bintang-bintang.
“Aira-chan, biarlah cinta kita tumbuh di kota Tokyo ini. Dan biarkan bunga sakura
yang indah itu menjadi perwakilan dari cinta kita yang abadi. Karena jika setiap
bunga sakura itu gugur, akan tumbuh bunga baru yang lebih indah lagi.” Aira
menatap Hikaru disertai senyumannya.
“Aira-chan, maukah kau menjadi pasangan hidupku?” Pipi Aira merona karena
sangat bahagia, kepalanya mengangguk tanpa ragu.
“Hikaru-san, aku..aku..aku sangat mencintaimu...”

Anda mungkin juga menyukai