Anda di halaman 1dari 76

Cinta Alifia Diantara Dua Benua

Oleh: Nurwanti Puji Lestari

Alifia baru saja akan meletakkan Alquran yang dibacanya di rak bukunya saat
Nayla dan Ismi menerobos masuk kamar kostnya.

“Alifia, ada yang like fotomu ” sahut Nayla

“Assalamuallaikum” sindir Alifia.

“Walaikumussalam” jawab Nayla dan Ismi bersamaan.

Ismi menghampiri Alifia seraya menunjukkan foto Alifia di aplikasi taaruf paling
bergengsi abad ini.

“Banyak yang like fotomu Fia” sahut Nayla seraya menunjukkan wajah lucu yang
dibuat-buatnya pada Fia.

“Foto yang mana?” sahut Fia seraya menghampiri meja belajar tuanya dan
meneguk air putih dari gelas yang biasa ia letakkan diatas meja itu sebelum tidur.

“Yang ini” sahut Ismi menunjukkan foto Fia lagi ke empunya.

“Oh” sahut Fia dingin.

“Banyak yang mengajukan meet up alias kopi darat Fia”

“Untuk apa?”

“Untuk bertemu dan melakukan perkenalan lah Non” jawab Nayla.

Alifia tersenyum dan berkata “Aku gak pernah ikutan aplikasi itu”

“Tapi kamu kan gak mau pacaran Fia” sahut Ismi

“Dan mau langsung menikah katanya” sambung Nayla.

“Bener banget” sambar Ismi.

“Besok aku sidang TA” balas Alifia seraya rebahan “Dari semalam udah belajar,
dan sekarang aku mau istirahat dulu sebentar ”
Nayla dan Ismi tepok jidat bersamaan, bisa-bisanya mereka lupa kalau Alifia
besok sidang.

“Maaf Non, aku lupa. Tapi tadi aku udah terlanjur bilang oke” sahut Ismi.

“Kamu ini, kok bisa?” malah Nayla balik bertanya.

“Terus gimana dong?” tanya Ismi sedikit khawatir dan berharap sahabatnya mau
menolongnya.

Nayla tersenyum dan menarik tangan Ismi lalu berkata “Ayo kita keluar dulu,
kasihan Fia mau istirahat”

Baru saja Fia mau memejamkan matanya, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari
luar. Dan sedetik kemudian pintu kamar Fia terbuka bersamaan dengan munculnya
Mbok Yem.

“Maaf non Fia, itu pesenan gojeknya sudah datang”

Fia terkejut dan langsung terbangun “Apa Mbok?”

“Itu mas gojeknya sudah nunggu dari tadi” balas Mbok Yem.

“Tapi saya gak pesan gojek Mbok”

“Wah Mbok gak ngerti non, coba non Fia lihat dulu” sahut Mbok Yem lalu berlalu
menuju dapur.

“Matur nuwun ngeh Mbok” sahut Fia seraya meraih bergo dan jaketnya lalu
keluar dari kamarnya berjalan menuju teras depan. Fia membuka pintu luar dan
mencari gojek yang di katakan oleh Mbok Yem.

-- 0 --

“ Alhamdulillah” ucap Fia setelah ketiga dosen pengujinya selesai


melaksanakan tugasnya. Tidak lupa Fia mengucapkan terima kasih kepada ketiga
dosen tersebut. Dua diantaranya adalah dosen pembimbing tugas akhirnya dan satu
lagi adalah dosen pengujinya. Pak Medila dan Pak Kertosentono mengucapkan selamat
tanpa menjabat tangan Fia dan langsung keluar ruangan.

“Selamat ya Fia” sahut Bu Rina salah satu dosen pembimbingnya .


“Terima kasih Bu” sahut Fia seraya menjabat tangan yang diulurkan oleh Bu
Rina.

“Sekarang kamu tinggal mikirin nikah aja Fia” tambah Bu Rina seraya tersenyum.

“Iya Bu, cuma masalahnya belum ada yang mau Bu”

“Lho itu yang nunggu diluar bukannya pacar kamu?” tanya Bu Rina.

Wajah Fia langsung berubah dengan alis sedikit berkerut seolah bertanya “Yang
mana Bu?”.

Bu Rina hanya tersenyum seraya keluar dari ruangan tanpa mengatakan apa-
apa perihal laki-laki yang menunggunya di luar. Fia mengiringi kepergian Bu Rina
dengan senyuman. Ia tidak segera keluar untuk melihat laki-laki yang dikatakan Bu
Rina, mana tahu saja Bu Rina hanya sedang bercanda. Jadi Fia sibuk merapihkan alat-
alat tugas akhirnya serta laptopnya.

“Jangan lupa kamu minum teh manis itu” sahut seorang pegawai bagian
adminisrasi jurusan.

“Eh Mbak Dewi”

“Eman-eman, itu teh paling mahal didunia” tambah Mbak Dewi seraya berusaha
menunjukkan dengan jari-jarinya nominal harga teh tersebut yang setara dengan harga
pendaftaran sidang TA .

“Iya Mbak” sahut Fia yang lalu duduk dan menyeruput teh yang jadi bahan
pembicaraan.

Mbak Dewi pun kemudian keluar dari ruang sidang setelah merapihkan
beberapa berkas kelengkapan sidang yang akan di gunakan untuk pengajuan
Yudisium. Dan Fia juga langsung mengikuti Mbak Dewi seraya membawa laptop dan
alat TA nya.

Baru saja Fia melangkahkan kakinya keluar dari ruang sidang, Fia dikejutkan
dengan kedatangan seorang Laki-laki yang menghampirinya dan berusaha menjabat
tangannya serta memberikan ucapan selamat.

“Selamat ya Fia” sahut laki-laki itu seraya mengulurkan tangannya.

“Terimakasih” jawab Fia seraya mengapitkan kedua tangannya di dadanya.

Laki-laki tersebut sedikit terkejut, kemudian berkata “Saya Arya”


“Oh iya” sahut Fia sambil lalu “Maaf saya tidak berjabat tangan” tambah Fia agar
lawan bicaranya tidak merasa tersinggung.

“Kita ada janji hari ini” sahut Arya tanpa tedeng aling-aling.

“Janji?” tanya Fia bingung.

Arya meraih ponselnya dan menunjukkan sebuah undangan dari aplikasi yang ia
gunakan. Kemudian Arya berkata “Kamu kemarin sudah setuju kalau hari ini kita kopi
darat. Bahkan aku juga mendapat undangan dari kamu untuk merayakan kelulusanmu”

Fia menatap ke arah Arya dengan serius, dan mulai berpikir bagaimana cara
menjelaskan kepada Arya bahwa bukan dirinya yang melakukan kontak dengan Arya.

“Bisakah kita bicara sebentar?” tanya Arya saat saat Fia terlihat bingung.

“Mas Arya, saya mohon maaf sebelumnya, bukan saya yang melakukan kontak
dengan mas Arya”

“Tapi ini foto kamu kan?” sahut Arya menunjukkan foto Fia.

“Betul, itu memang foto saya. Tapi saya gak pernah ikutan aplikasi itu” jawab Fia
lugas.

“Maksud kamu apa?”

Karena ada beberapa orang dosen dan mahasiswa yang lalu lalang dan mulai
memperhatikan Arya, akhirnya Fia pun memutuskan untuk cepat-cepat beranjak keluar
dari ruangan jurusan. Baru saja Fia mencapai pintu keluar, ia sudah berhadapan
dengan Bu Rina yang sedang berada di luar berbincang dengan salah satu pembicara
di acara festival loker yang diselenggarakan oleh fakultasnya.

“Fia kenalin ini keponakan Ibu” sahut Bu Rina cepat.

Dan betapa terkejutnya Fia saat ia melihat wajah keponakan Bu Rina yang
tengah asyik berbincang di teras kantor jurusannya. Laki-laki itu tersenyum padanya
dengan ringan.

“Oh iya Bu” sahut Fia seraya melangkah mendekati Bu Rina.

Baru saja Fia akan mencapai tempat Bu Rina, tiba-tiba ada beberapa orang
mahasiswi yang datang menyerbu Bu Rina agar bisa berkenalan dengan
keponakannya. Ada sekitar lima orang mahasiswi yang bergantian menyalami Bu Rina
dan keponakannya untuk berkenalan. Mereka terlihat sangat tertarik dengan
keberadaan dari keponakan Bu Rina tersebut. Fia berdiri disamping Bu Rina dan tidak
bermaksud untuk menginterupsi kegiatan mereka. Namun Fia pun merasa tidak sopan
jika harus pergi meninggalkan Bu Rina begitu saja. Sehingga Fia akhirnya
memutuskan untuk bergeser dua meter dari posisinya, mendekati salah satu kursi
panjang untuk meletakkan alat TA nya. Fia langsung mengeluarkan ponselnya dan
menghubungi Ismi tepat saat Arya berdiri didepannya.

“Mari aku bantu”

“Gak usah” jawab Fia cepat “Terimakasih”.

“Bagaimanapun aku udah ada disini kan, jadi paling nggak aku bisa bermanfaat
buat kamu”

Fia tersenyum walau pun menurut dia laki-laki yang ada dihadapannya ini sedikit
aneh. Maklum Fia tidak kenal banyak laki-laki dan sangat sedikit yang benar-benar
sering ngobrol dengannya. Wajahnya tampan bahkan terlihat seperti blasteran, alias
orang Indonesia hasil pernikahan campuran dengan warga negara asing.

“Saya mau telpon teman saya dulu, dia yang menggunakan aplikasi itu atas
nama saya” tambah Fia berusaha menjelaskan lagi pada Arya.

“Tapi saya kan udah sampai disini” balas Arya “Paling tidak kamu harus
memberikan kesempatan pada saya untuk lebih mengenal kamu bukan?”

Fia merasa sedikit kesal pada sahabatnya Ismi dan jug pada laki-laki bernama
Arya ini. Ini salah satu momen penting dalam hidupnya yang membahagiakan, tapi
mengapa ia harus melaluinya seperti ini. Fia menghela nafas agak panjang dan berkali-
kali istigfar dalam hati. Namun belum sempat Fia menjawab pertanyaan Arya, Bu Rina
kembali memanggil namanya. Sehingga Fia mempunyai kesempatan untuk menghindar
dari Arya.

“Iya Bu” sahut Fia seraya kembali menghampiri Bu Rina.

Bu Rina tersenyum dan berkata “Kenalin ini keponakan Ibu, namanya Bagas”

Bagas tersenyum dan mengulurkan tangan ke arah Fia “Bagas”

“Fia” balas Fia seraya mengapitkan kedua tangannya didepan dada.

Bagas tersenyum lalu melakukan hal yang sama seperti yang Fia lakukan.

“Kebetulan Bagas diundang sama staf HRD fakultas untuk menjadi pembicara”
sahut Bu Rina menjelaskan.

“Oh iya Bu” sahut Fia “Acara seminar di aula itu ya Bu”
“Iya. Acara festival kali ini kan fakultas mengangkat tema pemberdayaan tenaga
kerja dari mahasiswa teknik, jadi mereka juga mengundang beberapa alumni yang
sudah berhasil dalam pekerjaannya atau dalam usahanya untuk memberikan
pandangan kepada mahasiswa yang masih aktif tentang keadaan di tempat kerja atau
tentang apa yang dibutuhkan oleh perusahaan atau pelaku usaha. Kebetulan usaha
yang digeluti Bagas sudah cukup sukses.”

“Tante bisa aja” sahut Bagas khawatir lawan bicara tantenya berpikir macam-
macam.

“Kebetulan usahamu sudah cukup sukses jadi bisa menjadi motivasi untuk
mahasiswa yang lain.”

“Alhamdulilah” balas Bagas.

“Bagas juga masih single lho, kalau kamu penasaran” celetuk Bu Rina “Padahal
usianya sudah hampir tiga puluh” tambah Bu Rina yang kemudian bercerita panjang
kali lebar tentang keberhasilan usaha milik Bagas.

Fia hanya tersenyum mendengar perkataan Bu Rina, ia enggan mengomentari


perkataan Bu Rina dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Saat itulah ia
menyadari bahwa Arya masih berada di posisinya bersama alat tugas akhirnya. Laki-
laki itu hanya memperhatikan gerak-geriknya, dan entah kenapa Fia merasa wajah Arya
sangat familiar. Tapi Fia tidak dapat mengingat dimana ia bertemu dengan Arya.

“Fia kamu punya rencana setelah lulus kuliah?” tanya Bagas pada Fia.

“Ah saya rencananya mau melamar kerja” jawab Fia sedikit terbata.

“Kalau begitu kamu harus menerima ini” sahut Bagas seraya menyodorkan
secarik kartu nama miliknya.

Fia menerima kartu nama tersebut, dan membacanya sekilas. Dikartu itu tertulis
posisi Bagas sebagai kepala cabang wilayah Yogyakarta dari sebuah perusahaan yang
bernama PT. Buana Bagaskara. Tapi seingat Fia tadi Bu Rina mengatakan ini adalah
usaha milik Bagas.

“Coba saja kamu ngelamar kesana Fia, pasti dibantu sama Bagas” sambar Bu
Rina.

“Iya Bu” jawab Fia.

“Kamu punya kartu nama?” tanya Bagas.


“Maaf saya gak punya” jawab Fia cepat. Lagi-lagi Fia menatap kearah Arya yang
masih dengan tenang menunggunya.

“Bagas juga sedang merencanakan proyek untuk membangun pesantren di


beberapa wilayah Sleman dan Magelang” tambah Bu Rina.

“MasyaAllah” sahut Fia kagum.

“Fia Ibu mau ketemu sama Pak Budi sebentar. Tolong kamu bantu Bagas ya”
sahut Bu Rina cepat seraya berjalan masuk kedalam kantor jurusan Teknik Elektro.

“Oh iya Bu” jawab Fia. Fia lalu kemudian menghubungi Ismi kembali dengan
ponselnya namun Ismi tidak menjawab telponya.

“Saya berada di sini selama dua hari” sahut Bagas memecah keheningan
bersamaan dengan berbunyinya ponsel Fia.

“Maaf Mas Bagas saya mau menerima telpon dulu sebentar” sahut Fia menjauh
dari Bagas berjalan ke arah Arya.

“Assalamuallaikum” sapa Ismi.

“Walaikumussalam Ismi”

“Ada apa?”

“Ada Arya yang datang cari kamu” jawab Fia terus terang langsung di depan
Arya. Ismi tidak mengatakan apa-apa dan langsung memutuskan hubungan telponnya.

“Lho kok putus” sahut Fia.

“Dia mungkin lagi sibuk” jawab Arya sekenanya dengan suara yang
menenangkan. Wajah Arya menatap Fia dengan tenang dan penuh percaya diri.

Fia menatap Arya dan mendapati dirinya tidak merasa asing dengan laki-laki ini.
“Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Fia memberanikn diri.

“Mungkin” jawab Arya dengan tenang.

“Fia, ayo kita makan siang dulu” ajak Bagas yang ternyata sudah berada di dekat
Fia.

Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara-suara sedikit gaduh, yang ternyata
adalah suara Ismi dan Nayla yang heboh ingin mengucapkan selamat pada Fia. Kedua
sahabat Fia itu bergantian memeluk Fia.
“Maaf Mas Bagas, ini kenalkan teman-teman saya” sahut Fia seraya menunjuk
ke arah Ismi dan Nayla. Fia memperkenalkan Ismi dan Nayla pada Bagas dan Arya.
Dan mereka pun berbincang-bincang ringan menanyakan pertanyaan-pertanyaan
staandar seperti asal, tempat tinggal dan pekerjaan. Bagas dengan sangat mudah
dapat memulai percakapan sedangkan Arya lebih banyak diam.

“Mas Arya, Mas ojek yang waktu itu kan?” tanya Ismi langsung seraya
tersenyum.

“Iya ini Mas ojek yang ganteng itu lho Fia, yang suka ke kostan Fia” sambung
Nayla.

“lho Mbak masih inget sama saya” jawab Arya.

“Inget dong” tambah Ismi.

Tidak lama kemudian Bu Rina muncul kembali di tengah-tengah mereka dan


mengajak mereka semua untuk makan siang bersama. Bu Rina menatap ke Arya dan
memintanya untuk membawakan alat tugas akhir Fia. Hal ini membuat Fia langsung
tidak enak hingga berjalan ke arah Arya dan melarangnya untuk mengangkat alat
tersebut.

“Gak usah mas, biar saya yang mengangkatnya” sahut Fia dengan santun.

“Gak apa-apa saya sudah biasa” sahut Arya dengan ringan seraya berjalan
mengikuti Bu Rina dan yang lain. Fia akhirnya hanya mengikuti langkah Arya. Mereka
tertinggal dari yang lain, dan hanya berjalan dalam keheningan sebelum akhirnya Arya
memulai percakapan.

“Kapan kita bisa ketemu lagi?”

“Gak bisa ketemu lagi” jawab Fia terus terang.

Arya menghentikan langkahnya dan bermaksud untuk menatap langsung wajah


Fia “Kenapa?”

“Gak ada alasan” jawab Fia jujur.

“Apakah karena ini?” tanya Arya seraya menunjuk ke jaket ojek online yang ia
kenakan. Jaketnya sudah agak lusuh. Itu berarti Arya sudah lumayan lama menjadi
driver ojek online.

“Maksudnya?” Fia balik bertanya.

Arya hanya diam lalu bergegas menuju tangga mengikuti rombongan yang
sudah berada dilantai bawah dan hampir mencapai tempat parkir. Fia mengikuti Arya
juga dalam diam. Ia tidak berharap Arya salah paham tentang dirinya. Namun ia pun
malas untuk menjelaskan pada laki-laki yang baru dilihatnya ini.

Sesampainya di parkiran Bagas langsung membuka bagasi mobil agar Arya


memasukkan alat tugas akhir Fia.

“Terima kasih mas” sahut Bagas seraya memberikan uang tip untuk Arya.

“Gak usah Mas” sahut Arya tidak mau menerima uang itu.

“Oh ya sudah kalau begitu. Kami mau makan siang jadi kami duluan ya Mas”
tambah Bagas seraya memasukkan uang tersebut kembali ke sakunya.

Arya mundur sedikit dan menatap ke arah Fia. Ia tidak mengatakan apa-apa,
karena ia mengerti maksud dari Bagas. Seharusnya ia merasa kecewa terhadap Fia,
karena ternyata ia sama seperti kebanyakan perempuan yang dikenalnya. Namun
entah mengapa ia pun merasa tertarik pada gadis yang berdiri didepannya ini.

Fia menyadari tatapan sayu Arya, namun ia pikir lebih baik seperti ini sehingga ia
tidak perlu repot untuk menjelaskan pada Arya. Laki-laki itu akan kesal dan tidak akan
menghubunginya lagi.

“Terimakasih Mas Arya”

“Sama-sama” jawab Arya seraya menyerahkan satu kartu nama pada Fia “Ini
tadi jatuh dari alatnya Fia”

“Oh iya, terimakasih” sahut Fia seraya meraih kartu nama tersebut sambil lalu
dan tersenyum. Fia menatap Arya, dan ia malah menjadi tidak enak hati sendiri.
Seharusnya ia tidak merasakan apapun pada laki-laki yang baru saja berbicara dengan
nyaman menuduh dirinya telah menghindari meet up mereka hanya karena dia bekerja
sebagai ojek online.

Bagas langsung membuka pintu mobil bagian belakang, dan mengarahkan Fia
untuk menaiki mobil bersama dengan Ismi dan Nayla. Karena kebetulan Bagas
membawa mobil Honda city keluaran terbaru. Kemudian ia berjalan memutari mobil ke
arah depan dan masuk kedalam dibagian pengemudi. Fia pun kemudian menaiki mobil,
dan mobil pun kemudian beranjak pergi.
Fia mengerjakan sisa laporan yang harus ia selesaikan hari ini. Bu Ratna
sudah bolak-balik memeriksa laporannya agar tidak ada kesalahan sehingga tidak
mempengaruhi perhitungan biaya dalam proyek yang akan dilakukan oleh perusahaan
tempat Fia bekerja. Fia sebenarnya hanya menggantikan Reni yang semula ditunjuk
untuk menangani laporan ini. Namun dikarenakan Reni mendadak melakukan cuti,
maka laporan pun serta merta dialihkan pada Fia.

Semenjak lulus kuliah Fia sudah bekerja di perusahaann ini. Itu berarti Fia sudah
bekerja selama setahun. Perusahaan kecil yang bergerak di bidang garrmen ini
merupakan salah satu anak perusahaan dari sebuah korporasi yang memproduksi
berbagai jenis pakaian di Indonesia. Khusus perusahaan tempat Fia bekerja hanya
memproduksi kaos untuk kalangan remaja.

“Fia, satu jam lagi akan ada kunjungan dari kantor pusat” sahut Bu Ratna yang
sudah berdiri di salah satu ujung meja kerja Fia.

“Iya Bu, laporan sedang saya rapihkan” jawab Fia seraya merapihkan kertas
yang keluar dari printer dan memeriksa kesalahan yang mungkin saja ia lakukan.

“Saya tunggu dimeja saya segera” Bu Ratna berseru seraya kembali berjalan
kedalam ruangannya. Banyak hal yang harus diperhatikan oleh Bu Ratna sebelum
kedatangan para utusan dari kantor pusat. Bu Ratna baru saja mendapatkan
pemberitahuan mengenai kunjungan itu beberapa menit yang lalu. Sehingga ia harus
bergegas membereskan hal-hal yang masih bisa diselesaikan untuk menunjukkan
kredibilitasnya dihadapan atasannya nanti.

Selang beberapa menit, Fia selesai merapihkan laporannya dan segera


membawanya keruangan Bu Ratna. Ia menyerahkan laporan tersebut dan berdiri
didepan meja Bu Ratna. Bu Ratna memeriksa laporan tersebut sekilas dan
memperhatikan semua angka-angka yang tertera didalamnya dengan seksama. Wanita
yang sudah berusia hampir empat puluh lima tahun itu merupakan manager keuangan
diperusahaan ini. Posisinya tepat berada dibawah direktur regional yang diduduki oleh
Bagas.

“Oke kalau begitu, tolong semua laporan ini di susun sesuai dengan kategori
yang sudah saya berikan daftarnya kemarin” sahut Bu Ratna seraya menunjuk ke
beberapa laporan lain dimejanya.

“Baik Bu” sahut Fia seraya bergegas merapihkan laporan-laporan tersebut,


menyusunnya dan mencatat judul laporannya sesuai dengan urutannya di buku
kecilnya.
“Kita akan keruang Pak Bagas dulu” sahut Bu Ratna seraya beranjak dari
kursinya dan dan memberikan isyarat pada Fia untuk mengikutinya.

Fia bergegas membawa laporan-laporan dan berjalan mengikuti Bu Ratna,


namun ketika baru mau mencapai pintu keluar kantor divisi keuangan dirinya sudah
disambut oleh Pak Hendra yang sudah sepuluh tahun bekerja sebagai satpam di
perusahaan ini.

“Permisi Mbak Fia”

“Iya ada apa Pak” jawab Fia terlihat agak ripuh mengingat dirinya sedang
membawa beberapa berkas laporan.

“Ini ada paket untuk Mbak Fia”

Fia menerima sebuah paperbag dengan motif polkadot berwarna kombinasi hijau
dan putih kesukaannya dan lalu berkata “Terimakasih Pak”

“Ayo Fia” sahut Bu Ratna yang sudah mencapai pintu masuk kantor Bagas yang
menduduki posisi sebagai direktur regional.

“Iya Bu” sahut Fia bergegas mengikuti Bu Ratna yang sudah sepuluh meter
didepannya. Sekilas Fia membaca kartu nama yang disematkan pada paperbag
tersebut. Disana tertulis nama Rafka.

-- 0 --

Fia sedang buru-buru menghabiskan sarapan yang dibawanya dari rumah,


pada saat ponselnya berbunyi, yang menandakan ada sms masuk. Fia membuka
ponselnya dan melihat pesan sms pada kotak masuknya. Beberapa kata cemoohan
dan juga nama-nama binatang terukir dalam baris-baris kalimat pada pesan tersebut.
Intinya pesan tersebut berisikan alasan mengapa Fia tidak pantas bekerja
diperusahaan ini. Entah mengapa beberapa hari ini Fia selalu mendapatkan teror pesan
melalui sms yang bernada mengancam. Fia sendiri malas untuk meladeni sms
semacam itu karena memang ia tidak mau menghabiskan waktu yang berharganya
untuk hal yang sia-sia.

Setelah selesai sarapan Fia pun merapihkan kotak makannya dan


memasukkannya kedalam tas bekalnya didalam laci mejanya. Pada saat itulah
tangannya menyenggol paperbag yang diberikan Pak Hendra minggu lalu. Sekali lagi
Fia membaca sebuah nama yang tertulis pada kartu yang disematkan pada paperbag
tersebut.

“Rafka” gumam Fia sebelum ia membuka paperbag itu. Ada sebuah kotak
didalamnya yang terbalut kain beludru. Fia membuka kotak tersebut dan menemukan
sebuah pulpen yang indah. Fia meraba-raba bagian bawah dan bagian dalam
paperbag, namun ternyata pulpen indah itu tidak mengantarkan pesan apapun.

Fia spontan celingukan mencari pencerahan apakah ada seseorang dari divisi
keuangan yang mungkin bernama Rafka. Tapi seingat dia tidak ada yang bernama
Rafka dikantor ini, lalu timbullah pertanyaan siapa Rafka?. Fia geleng-geleng kepala
karena tidak menemukan ide tentang seseorang bernama Rafka. Fia menghembuskan
nafas sedikit lebih keras dan beristigfar. Lalu bergegas mencuci tangannya saat melihat
jam diatas mejanya menunjukkan pukul 08.00.

Baru saja ia mengeringkan tangannya dan berjalan kembali ke meja kerjanya,


Pak Hendra sudah menghampirinya seraya memperlihatkan paperbag berwarna kuning
dengan kartu tersemat bertuliskan huruf R.

“Assalamuallaikum Mbak Fia”

“Walaikumussalam Pak Hendra”

“Seperti biasa Mbak Fia, ini ada paket untuk Mbak Fia”

“Dari siapa Pak?” tanya Fia.

“Dari R” jawab Pak Hendra lugas dan jelas seraya tersenyum.

Fia tersenyum dan berkata “Terimakasih Pak” menyambut kepergian Pak


Hendra kembali ke poskonya di depan pintu masuk divisi keuangan. Fia kemudian
langsung membuka paperbag tersebut dan menemukan sebuah kotak persegi beludru
didalamnya. Kotak itu berisi sebuah bros indah berbentuk setangkai bunga angrek
berwarna hijau dengan kombinasi sedikit warna hitam pada bagian tengah.

“Serius amat Fia” sahut Bagas yang ternyata sudah berdiri didepan meja Fia
dari tadi.

Sontak saja Fia langsung berdiri “Maaf Pak, saya gak tahu kalau Bapak ada
disini”

“Gak papa Fia, santai aja” balas Bagas “Lagian ini juga masih pagi, jangan
terlalu serius lah” tambah Bagas seraya tersenyum.

“Baik Pak” masih dengan nada tidak enak.


“Bagaimana laporan penjualan Bazaar selama bulan Ramadhan kemarin?” tanya
Bagas langsung ke pokok tujuan.

“Sudah saya serahkan kemarin Pak ke Bu Ratna”

“Oke kalau begitu” sahut Bagas seraya meraih bros dimeja Fia “Baru beli?”

“Gak Pak, ini tadi ada yang kirim paket”

“Oh lewat paket” tambah Bagas “Tadi juga Tante Rina telpon, dia titip salam buat
kamu”

“Walaikumussalam, gimana kabarnya Bu Rina Pak?”

“Alhamdulillah baik” jawab Bagas lalu tersenyum “Tante ngajak kita makan siang
bareng hari ini, kamu mau kan?”

“Bu Rina ada disini Pak?” Fia malah balik bertanya pada Bagas.

“Iya, semalem datangnya. Makanya dia ngajak kita makan siang bareng” tambah
Bagas yang berharap Fia seantusias dirinya karena bisa makan siang bersama.

Sebelum Fia menyetujui acara makan siang bersama itu, tiba-tiba Bu Ratna
muncul dan berjalan terburu-buru menuju mereka.

“Maaf Pak, barusan saya dapat telpon dari sekertaris Pak Ahmad bahwa
Direktur pusat sudah berangkat kesini bersama dengan beberapa orang investor untuk
melihat bagian produksi. Kantor pusat ingin menarik lebih banyak lagi investor untuk
meningkatkan ekspor”

“Baik kalau begitu, kita harus mempersiapkan semuanya dengan matang hari ini.
Kerjakan tugas sesuai dengan yang saya instruksikan. Semua divisi harus bersiap lebih
awal, karena sepertinya mereka akan tiba lebih cepat dari yang kita rencanakan. Bu
Ratna hubungi semua manajer untuk rapat sekarang juga” sahut Bagas lalu berjalan
keluar ruang divisi keuangan menuju kantor pribadinya.

“Baik Pak” jawab Bu Ratna lalu segera meminta Fia untuk menghubungi tiga
manajer yang lain.

-- 0 --
Fia berjalan menghampiri Bu Ratna yang memintanya untuk datang ke ruang
meeting seraya membawa beberapa berkas dikedua tangannya. Ketika memasuki
ruangan yang dipenuhi oleh para petinggi di perusahaan dan para investor mata Fia
langsung tertuju pada sebuah jari yang mengenakan cincin dengan batu giok Bireun
berwarna hijau. Warna batu itu sama dengan warna bros anggrek miliknya yang baru
saja diterimanya.

Laki-laki itu duduk dan sedang memperhatikan Pak Direktur utama berbicara.
Padahal meeting belum dimulai namun kedatangannya sempat membuat beberapa
orang melirik pada Fia, terkecuali laki-laki dengan cincin batu giok Bireun itu.

Fia berjalan sedikit menunduk dan berusaha untuk tidak menarik perhatian. Ia
langsung menghampiri Bu Ratna dan menyerahkan berkas yang diminta oleh Bu Ratna.
Namun ketika Fia hendak keluar, Bu Ratna menahan Fia dan memintanya untuk
membantunya bahkan memberikan kursi disebelahnya untuk Fia duduk.

“Maaf Bu, apa nanti tidak jadi masalah jika saya berada di sini?” tanya Fia terus
terang karena tidak nyaman beberapa orang sudah mulai memperhatikan dirinya.

Bu Ratna tersenyum dan berkata “Justru kalau kamu pergi, nanti kita malah
dapat masalah” seraya memberitahukan dengan lirikan matanya jika pintu ruangan
sudah ditutup oleh asisten pribadi Direktur utama dari dalam.

“Oh” sahut Fia seraya buru-buru duduk dikursi sebelah Bu Ratna. Bu Ratna
membuka buku catatannya, sedang Fia hanya duduk mendengarkan ketika seseorang
mulai membuka meeting hari ini. Matanya kembali menangkap pantulan warna hijau
yang terpantul dari ujung meja yang berjarak lima meter darinya. Dan ternyata laki-laki
itu sekarang sedang menatap wajahnya, sehingga Fia pun langsung mengalihkan
pandangannya seraya berdzikir dalam hati karena terkejut dan malu.

Pertemuan pun dimulai, laki-laki setengah baya yang kemudian Fia tahu
bernama Ahmad membuka pertemuan dengan mengucapkan bismillahirahmanirahim.
Kemudian disusul dengan penjelasan proyek yang telah dikerjakan oleh beberapa
orang Direktur regional. Setelah dua orang Direktur regional dari anak perusahaan di
Bandung dan Makasar tibalah saatnya Bagas tampil untuk menjelaskan tentang apa
saja yang sudh dikerjakan oleh perusahaan tempat Fia bekerja.

“Jadi sebenarnya penjualan di bulan Ramadhan tahun ini merosot jika di


bandingkan tahun lalu?” tanya Pak Ahmad yang menurut Fia merupakan Direktur
utama perusahaan.
“Iya Pak” jawab Bagas segera dengan suara yang tenang. Bagas sudah tahu
pasti dirinya akan menjadi bulan-bulanan pada kunjungan kali ini.

“Kenapa?” tanya Pak Ahmad seraya membolak-balik buku laporan, namun pada
akhirnya karena kesal ia pun menutup laporan tersebut dan langsung menatap Bagas
dengan tajam.

“Untuk jumlah item yang terjual tahun ini mengalami peningkatan Pak, akan
tetapi dari segi laba penjualan tahun ini mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan
harga bahan pokok untuk kaos berkualitas mengalami kenaikan dikarena adanya reses
ekonomi di beberapa negara tujuan ekspor”

“Negara mana saja yang mengalami penurunan omset penjualan?” tanya Pak
Toni yang merupakan salah satu investor yang sudah cukup lama menanamkan
investasinya di perusahaan ini.

Bagas menatap Pak Feri manajer pemasaran dan lalu menjawab “Negara
Amerika serikat, Australia, dan Korea selatan. Selain ketiga Negara tersebut secara
keseluruhan omset penjualan tetap dan cenderung meningkat”

“Baik kalau begitu” tambah Pak Ahmad.

Setelah mendengar perkataan Pak Ahmad semua karyawan yang berada di


ruangan ini bisa bernafas lega, bahkan sebagian tersenyum. Pak Ahmad memang
terlihat begitu berkarisma, walau menurut Fia cerita yang ia dengar tentang Direktur
utama jauh lebih garang dari apa yang baru saja terjadi. Fia melihat ke arah Pak Ahmad
kembali dan laki-laki dengan usia di atas lima puluh tahun itu tersenyum pada laki-laki
dengan cincin giok itu.

“Baik bapak ibu rapat kita tunda selama 40 menit karena waktu sudah hampir
memasuki dzuhur. Kita akan melaksanakan isoma bersama-sama diruang mushola
sebelah, lalu kita lanjutkan dengan makan siang di ruang meeting dua. Disana sudah
tersedia berbagai hidangan yang khusus disiapkan untuk bapak ibu yang hadir
diruangan ini. Kemudian bapak dan ibu bisa kembali ke ruang ini lagi untuk melanjutkan
rapat kita. Bapak dan ibu akan dipandu oleh beberapa karyawan yang sudah kami beri
tugas untuk membantu bapak dan ibu.” sahut Pak Ahmad yang membuat Fia tersadar
apakah dirinya salah satu karyawan yang dimaksud.

Laki-laki bercincin giok Bireun itu berdiri dan keluar pertama kali lalu kemudian
disusul oleh beberapa orang yang berpakaian sangat necis. Mereka semua mengikuti
laki-laki tersebut menuju mushola. Beberapa investor yang sedang berhalangan
langsung menuju ruang meeting dua untuk menikmati makan siang.
Fia pun berdiri namun ia tidak pergi dan berkata “Maaf Bu Ratna, apakah masih
ada berkas yang harus saya ambilkan di kantor Bu?”

“Ayo kita sholat dulu dimushola, lalu makan siang” sahut Bu Ratna dengan lugas
yang membuat Fia pun langsung mengikutinya tanpa berkata apa pun.

Semua orang yang mengikuti rapat hampir berjumlah tiga puluh orang, sebagian
besar dari mereka pun mengikuti sholat berjamaah di mushola sebelah ruang rapat.
Banyak mukena yang sudah disiapkan oleh beberapa orang staf HRD.

Setelah sholat berjamaah mereka kemudian menuju ruang meeting dua. Fia
hanya berjalan mengikuti Bu Ratna saat Bagas ternyata sedang menunggunya di
koridor menuju ruang meeting dua.

“Fia”

“iya Pak”

“Sepertinya rencana untuk makan siang bareng Tante Rina hari ini gak bisa
dilaksanakan”

Fia tersenyum, ia tidak menduga bos nya masih mengingat rencana mereka tadi
pagi. Semua itu dikarenakan kesalahan informasi yang diterima oleh perusahaan.
Semula Direktur utama perusahaan hanya akan mengadakan kunjungan untuk menarik
investor. Tetapi malah jadi seperti meminta pertanggungjawaban beberapa Direktur
regional untuk melihat kemajuan yang sudah dicapai selama kepemimpinan mereka.
“Gak apa-apa Pak, lagi pula semua sudah disediakan oleh perusahaan”.

“Alhamdulillah kamu gak marah” tambah Bagas.

“Ya nggak lah Pak” sahut Fia cepat yang tidak ingin pikirannya menjadi liar. Saat
ini Fia hanya ingin bekerja dengan sebaik-baiknya, karena dirinya sekarang adalah
tulang punggung keluarga.

“Lain kali saya akan traktir kamu ya”

Seorang staf mendekati Bagas lalu kemudian menunjukkan Bagas ke sebuah


meja dimana para investor tengah berbincang tentang kemajuan perusahaan. Fia pun
memperhatikan jika Bu Ratna tengah asyik berbincang dengan tamu yang lain. Dan lalu
Fia menanyakan sebuah pertanyaan pada dirinya sendiri apa yang sebenarnya sedang
ia lakukan?. Fia tersenyum pada beberapa orang yang ia tahu bekerja di gedung yang
sama dengannya dan langsung balik kanan menuju ruangannya sendiri. Paling tidak
disana dirinya merasa lebih berguna.
Fia langsung berjalan menuju lift karena ruangannya berada tepat dua lantai di
atas lantai ini.

“Pergi kesuatu tempat?”

Fia terkejut melihat ada seorang laki-laki yang sudah berdiri didekatnya.
Bagaimana mungkin laki-laki dengan cincin giok itu sudah berada disampingnya.

“Ah saya hanya ketinggalan ponsel saya”

“Saya pikir kamu akan pergi setelah melihat saya” tambah laki-laki itu penuh
sarkasme.

Fia tersenyum dan berkata “Bukan Tuan, saya benar-benar ketinggalan ponsel”

“Semua orang sibuk dengan pekerjaannya kecuali kamu”

Fia merasa aneh mendapat sindiran dari laki-laki itu. Dia merasa laki-laki itu mirip
sekali dengan seseorang, namun ia tidak memiliki keberanian untuk menanyakan hal
itu. Dan sebelum Fia menjawab sindiran dari laki-laki itu pintu lift terbuka lalu Fia
berkata “Silahkan Tuan”

“Silahkan kamu lebih dulu”

“Saya permisi harus ke kamar kecil dulu Tuan” sahut Fia menghindari masalah.

“Kamu menghindari saya?” tanya laki-laki itu langsung yang membuat Fia begitu
terkejut.

“Tidak Tuan” sahut Fia yang semula akan pergi langsung diam membeku seraya
melihat ke arah laki-laki tampan yang menatap tajam padanya.

“Baiklah kalau begitu” sahut laki-laki tersebut masih menatap Fia. Namun
anehnya laki-laki itu tidak naik kedalam lift.

“Permisi Tuan” sahut Fia berlalu dari hadapan laki-laki itu melangkah menuju
toilet. Bagaimana pun kesalnya Fia, tapi ia sungguh-sungguh berusaha agar tidak ada
masalah yang timbul saat ia bekerja.

Beberapa menit kemudian Fia kembali ke tempat yang sama untuk menaiki lift.
Laki-laki itu tidak ada lagi disana. Fia baru saja sampai di mejanya ketika ponselnya
berdering. Fia langsung membuka laci tempat ponselnya terakhir ia letakkan. Terlihat
nama Bu Ratna dilayar ponselnya.

“Assalamuallaikum Bu” sahut Fia menerima panggilan.


“Walaikumussalam” jawab Bu Ratna “Fia kamu dimana?”

“Saya ambil ponsel saya Bu dimeja saya”

“Ini rapatnya sudah mau mulai, ayo cepat kesini sebelum pintunya ditutup”

“Baik Bu” sahut Fia walau dia sendiri kemudian kesal karena harus kembali ke
tempat dimana dia merasa tidak berguna. Fia berdiri mengucapkan bismillah dan
melangkah membawa ponsel, sebuah buku catatan dan pulpen. Ia berharap usahanya
untuk bekerja dengan sebaik-baiknya mendapatkan pahala dari Allah
Subhanahuwataala.

Setelah beberapa menit, Fia sudah berada di depan pintu ruang meeting namun
pintu ruangan sudah tertutup.

“Nona Fia, silahkan ikut saya keruangan meeting dua”

“Maaf saya sedang ditunggu Bu Ratna”

“Tapi Nona dipanggil Direktur utama” sahut laki-laki muda tersebut dengan datar.

“Maaf apa Anda tidak salah orang?” tanya Fia terus terang pada laki-laki yang
Fia tahu sedari tadi selalu bersama laki-laki bercincin giok tersebut.

“Tidak” jawab laki-laki tersebut cepat “Silahkan Nona” seraya menunjukkan jalan
yang baru saja beberapa menit yang lalu dilalui oleh Fia. Dalam hati ia bertanya-tanya
apa yang akan terjadi, namun untuk menguatkan hatinya Fia terus berdzikir dalam hati.

Baru saja Fia akan memasuki ruang meeting, namun laki-laki tersebut
memintanya untuk berbelok ke kanan menuju sebuah ruangan yang terpisah dari ruang
meeting dua. Ada sebuah meja dengan dekorasi piring yang sudah tertata rapih
lengkap dengan serbetnya. Meja itu terletak di bagian sudut tepat di sebelah jendela
kaca besar di ruangan itu.

“Silahkan duduk Nona” sahut laki-laki tersebut seraya menarik sebuah kursi
untuk Fia.

Fia mengucapkan terimakasih dan lalu duduk dikursi yang sudah ditarik tadi.
Beberapa saat Fia hanya duduk sendiri, tidak ada orang yang menemani bahkan suara
sekecil apapun tidak terdengar. Fia sempat berniat untuk pergi kembali ke ruangannya,
namun ia mengurungkan niatnya mengingat laki-laki tersebut merupakan orang
kepercayaan laki-laki bercincin giok itu. Dan sepertinya salah satu orang yang penting
dalam pertemuan tadi. Sehingga Fia khawatir jika apa yang ia lakukan akan
berpengaruh pada perusahaan atau pun keberadaannya di perusahaan ini.
Akhirnya Fia membuka aplikasi Alquran Indonesia dan mulai membaca surat Al
waqiah dan Arrahman. Kemudian terdengar ada beberapa orang yang sedang asyik
ngobrol di ruangan yang sama dengan Fia namun mereka terpisahkan oleh tirai.

“Jadi kapan Mas Bagas ketemu sama Ayah?”

“Besok masih ada rapat”

“Aku yang merekomedasikan Mas Bagas, setelah diangkat oleh Ayah menjadi
Direktur regional, Mas Bagas gak berubah pikiran bukan?”

“Nggaklah”

“Mana tau Mas Bagas ketemu sama perempuan lain…”

“Mungkin….”

Fia mendengar keduanya kemudian bercanda dan tertawa. Yang perempuan


memanggil nama Bagas, dan Fia memang mengenali suara laki-laki itu adalah Bagas.

“Maaf Nona, silahkan Nona ikut dengan saya” sahut laki-laki yang tadi
menjemputnya.

“Kemana?”

“Ke ruangan sebelah” jawab laki-laki itu cepat “Jika Nona membutuhkan sesuatu,
panggil saja saya Doni” seraya kembali berjalan agar Fia mengikutinya menyusuri
pembatas ruangan yang terhalang tirai beludru yang mewah. Laki-laki itu mengantarkan
Fia kesebuah meja yang sudah dihuni oleh empat orang. Salah satu orang tersebut
adalah laki-laki dengan cincin giok, lalu Bagas dan dua perempuan cantik dengan
rambut panjang yang di warnai gradasi pirang dan yang satunya rambut pendek
berwarna coklat.

Laki-laki bercincin giok itu berdiri saat melihat Fia, dan Fia dipersilahkan duduk di
kursi yang sudah ditarik oleh Doni. Namun Fia tidak segera duduk di kursi tersebut
karena kedatangannya membuat Bagas dan kedua perempuan cantik itu sedikit terkejut
dan berhenti bercanda.

“Maaf jika saya mengganggu” sahut Fia.

“Silahkan duduk disini Nona” sahut Doni seraya tersenyum.

“Terimakasih” balas Fia namun ia tetap berdiri di posisinya. Bagas sendiri


bertanya-tanya mengapa Fia ada disini.

“Nona…” tambah Doni agar Fia mau duduk dikursinya.


“Tidak apa-apa” sahut laki-laki bercincin giok tersebut “Terimakasih Doni, kamu
bisa kembali keruangan untuk mewakili saya”

“Baik Tuan” jawab Doni dan menunduk sedikit pada semua orang sebelum pergi
berlalu.

“Silahkan duduk” sahut laki-laki itu dengan tenang. Suaranya mengingatkan Fia
dengan seseorang, tapi gayanya sangat bertolak belakang dengan gambaran laki-laki
dalam ingatannya.

Apakah laki-laki ini yang memanggilnya?, tanya Fia dalam hati. Apakah benar
bahwa laki-laki itu adalah Arya si ojek online itu?, Fia tidak sanggup menanyakan hal
itu.

“Ayo Fia” sahut Bagas yang dapat memahami bahwa saat ini Fia sangat
canggung berada di sini. Namun perempuan cantik itu menegur Bagas agar tidak
mencampuri urusan kakak tirinya. Sehingga Bagas pun hanya bisa mengamati saja.

Fia pun akhirnya duduk di kursi yang dipersilahkan untuknya dengan canggung
karena tidak tahu untuk apa dirinya dipanggil. Baru saja Fia bertanya-tanya seorang
pelayan sudah menyodorkan piring berisi nasi dan semangkuk soto daging sapi.

“Silahkan Nona” sahut pelayan itu mempersilahkan.

“Terimakasih” balas Fia pada pelayan tersebut. Fia tidak merasa bahwa dia
pernah melihat pelayan tersebut sebelumnya. Mbak Yuli dari bagian HRD yang
memberitahunya jika perusahaan mereka bekerjasama dengan catering dari Bu Winda
dan semua pelayannya menggunakan seragam berwarna hijau pupus dan putih.
Sedangkan pelayan ini menggunakan seragam putih dan hitam.

“Makanlah” sahut laki-laki bercincin giok pada Fia karena sedari tadi Fia tidak
menyentuh makanannya.

“Terimakasih Pak” jawab Fia namun tetap tidak mau menyentuh makanannya.

Laki-laki itu kemudian berkata “Saya membawa pelayan saya sendiri”.


Perkataannya dimaksudkan untuk menjawab tatapan Fia pada pelayan itu. Dan itu
membuat Fia terkejut, betapa laki-laki itu dapat dengan mudah membaca pikirannya.

“Siapa tadi namanya?” tanya perempuan cantik berambut pendek itu pada Fia
memecah keheningan.

“Saya Alifia Bu” jawab Fia santun.


“Jangan panggil Bu, saya paling lebih tua beberapa tahun dari kamu. Panggil aja
Mbak Hani”

“Iya Bu, eh maaf Mbak Hani” sahut Fia

“Sudah lama kerja di sini?” tanya Mbak Hani yang merupakan kakak kandung
dari kekasih Bagas.

“Saya baru bekerja setahun disini Mbak”

Mbak Hani sedikit terkejut begitu juga perempuan cantik yang satunya. Mbak
Hani kemudian bertanya “Dulu sebelumnya Fia kerja dimana?”

“Saya baru pertama kerja disini Mbak” jawab Fia dengan suara tetap tenang.

“Oh begitu, habis lulus langsung ngelamar disini dan langsung diterima gitu?”

“Iya Mbak”

“Pasti IPK kamu besar ya, emang kamu kuliah di mana?”

“Di Universitas Islam Indonesia Mbak” sahut Bagas tidak tega melihat Fia
disudutkan oleh calon kakak iparnya.

“Lho satu almamater dong sama Mas Bagas?. Memangnya Fia kuliah jurusan
apa?”

“Iya Mbak” jawab Fia “Saya kuliah jurusan Teknik Eletro”

“Terus disini kerja dibagian apa?” tanya Mbak Hani

“Di divisi keuangan Mbak” jawab Fia cepat.

“Lho kok bisa?” tanya perempuan cantik itu mempertanyakan keputusan


perusahaan yang mau menerima Fia.

“Maaf Pak, waktu itu kami kekurangan orang di divisi keuangan. Jadi pas Fia
melamar kami langsung menerimanya dan menempatkannya di divisi keuangan” Bagas
berusaha menjelaskan.

Mbak Hani memperhatikan penjelasan Bagas begitu juga Anggy, perempuan


cantik yang merupakan kekasih Bagas. Namun keduanya tetap merasa bahwa
penjelasan Bagas kurang logis untuk mereka. Karena menjalankan perusahaan itu tidak
seperti main rumah-rumahan pakai acara coba-coba dulu. Mbak Hani bermaksud untuk
mengkomentari perkataan Bagas namun ia tidak ingin Bagas kemudian menjadi
berseberangan dengannya, juga Rafka yang walau pun terlihat tidak berminat terhadap
pembicaraan mereka tetapi yang memanggil Fia adalah Rafka, jadi tidak mungkin
Rafka tidak memiliki tujuan terhadap Fia.

“Oh begitu. Kalau gitu Fia kenal sama Rafka dimana?” tanya Mbak Hani yang
juga merupakan adik tiri Rafka, dan bekerja di bagian marketing kantor pusat..

“Maaf Mbak, Rafka siapa ya?”

“Rafka ini” sahut Mbak Hani seraya menunjuk ke laki-laki dengan cincin giok itu
dan tersenyum .

Apa?!, jadi laki-laki ini bernama Rafka. Apakah dia Rafka yang memberikan
pulpen dan bros itu?, tanya Fia dalam hati. Laki-laki itu hanya menatap kearah Fia dan
kembali menyantap makanannya. Padahal ia yang memanggil Fia, tapi sepertinya ia
sama sekali tidak menghiraukan percakapan antara Fia dan Mbak Hani. Fia bisa
merasakan bahwa ia sedang memiliki masalah besar saat ini karena tidak mengetahui
salah satu orang terpenting di perusahaannya.

“Kamu itu bagaimana sih, masa gak tau sama bos kamu sendiri” sahut Anggy
seraya mengibaskan rambut panjangnya. Anggy yang sangat perfeksionis itu
menunjukkan dengan jelas rasa tidak sukanya pada Fia. Walau ia adik Hani dan juga
hanya adik tiri Rafka, namun Rafka salah satu idolanya.

Fia merasa tidak enak hati dan serba salah sehingga ia berkata “Maafkan saya
Pak, saya betul-betul tidak tahu”

“Huh sudah terlambatlah” sahut Anggy sinis..

“Maaf Pak, dia ini karyawan baru disini. Jadi dia belum tahu siapa saja yang
berada di kantor pusat” Bagas membela Fia. Bagas merasa iba melihat kekasihnya
memperlakukan Fia.

“Mas Bagas apa sih” sahut perempuan itu seraya mencubit pipinya “Jangan
belain dia dong”.

“Bukan belain dia, tapi emang Fia ini baru kerja disini dan gak pernah ke kantor
pusat”

“Bukannya minggu kemarin kamu datang ke kantor pusat?” tanya Rafka yang
membuat semua orang menjadi terdiam. Berbagai macam pikiran yang timbul
dimasing-masing orang yang ada diruangan ini.

Fia terkejut dengan perkataan Rafka namun ia cepat menguasai dirinya dan
berkata “Maaf Pak, saya kurang memperhatikan”
“Karena kamu dari Teknik Elektro, saya mau berdiskusi tentang sebuah proyek
sama kamu”

“Maaf Pak, proyek yang mana ya?”

“Besok kamu datang ke kantor saya jam 9” jawab Rafka.

“Maaf Pak, kantor Bapak dimana?” tanya Fia tidak enak hati.

“Biar besok saya yang anter Fia Pak” sahut Bagas.

“Kamu besok masih harus mengurus tender dengan perusahaan dari Spanyol
bukan?” tanya Rafka pada Bagas.

Bagas menepuk jidat “Oh iya maaf Pak, saya lupa” dan langsung terkena cubitan
kedua dari Anggy calon tunangannya itu.

Suasana menjadi bertambah canggung sebelum Doni muncul dibelakang Fia


dan berkata “Maaf Tuan, mereka akan berkeliling kebagian produksi”

“Kamu besok datang ke kantor saya jam 9” sahut Rafka kemudian berdiri dan
berlalu begitu saja walau ia sempat melirik makanan Fia yang tidak tersentuh sama
sekali.

“Baik kalau begitu aku juga harus pergi” sahut Bagas “Maaf Mbak Hani saya
pergi dulu” seraya berdiri.

“Gak pamit sama aku sayang?” tanya Anggy merajuk.

“Oke aku pamit dulu ya” jawab Bagas lalu berkata “Ayo Fia, kita lanjutkan
pekerjaan kita” seraya pergi meninggalkan ruang meeting 2.

Fia berjalan mengikuti Bagas menuju ruang meeting 1, namun ia tidak memasuki
ruangan seperti Bagas. Tadi Bagas sudah memintanya untuk menunggu diluar, karena
ia ingin Fia menemaninya untuk mengantar para investor melihat tempat produksi.
Sekitar sepuluh menit Fia berdiri diluar ruang meeting 1 sebelum akhirnya Bagas
muncul dengan semua investor yang hadir.

Alhasil Fia tidak bisa berbicara dengan Bagas yang sibuk menjelaskan kepada
para investor tersebut. Baru saja Fia mau kembali ke ruangannya, Rafka dan Doni
sudah berdiri dibelakangnya. Doni kemudian langsung mengajak Fia untuk bergabung
dengan dirinya berjalan dibelakang Rafka. Laki-laki itu menatapnya dengan sinis saat
mereka beradu pandang di koridor sebelum akhirnya Fia berjalan mengikutinya.

-- 0 --
Fia meletakkan kartu nama yang diberikan oleh Doni kedalam saku tasnya.
Doni memberikan kartu nama itu saat ia berpamitan pergi kemarin sebelum menaiki
mobil bersama Rafka. Jika dia tidak salah membaca peta maka ia harus belok kekanan
menuju wisma kantor pusat dari perusahaan. Wisma dan seluruh gedung disekitarnya
merupakan milik dari perusahaan tempatnya bekerja.

Baru saja Fia memarkir motornya ditempat parkir seorang satpam sudah
menghampirinya dan menanyakan tujuan kedatangannya. Setelah Fia menjelaskan
tujuannya, satpam tersebut memberinya sebuah kartu pengunjung sementara dan
harus dikalungkan dilehernya. Barulah kemudian ia menaiki sebuah lift menuju lantai
lima belas.

Baru keluar dari lift dirinya langsung ditanya kembali tujuannya dan langsung
diantarkan kedepan pintu sebuah kantor yang cukup bersih dan rapih. Seorang
sekretaris kemudian mengetuk pintu dua kali lalu membuka pintu dan langsung masuk
untuk mengabarkan kedatangannya.

“Nona Fia, silahkan masuk” sahut sekertaris itu beberapa saat kemudian.

“Terimakasih” balas Fia lalu memasuki sebuah ruangan yang cukup mempesona
dilihat dari sudut mana pun. Satu set sofa berada sedikit kebagian barat dari ruangan
sedangkan sebuah meja kerja dan satu buah kursi dibagian depan dan belakang
berada disebelah kaca besar yang membentang dibagian utara. Fia melihat berbagai
macam koleksi buku yang memenuhi tembok bagian selatan. Diantaranya beberapa
buku hadits yang ditulis oleh imam-imam besar dimasa kejayaan Islam.

“Assalamuallaikum” sapa Fia dengan sopan.

“Walaikumussalam” jawab laki-laki itu dengan wajah datar seraya membalik


laporan ditangannya.

Fia tetap berdiri didepan meja kerjanya walau pun ada kursi didepannya. Laki-
laki itu masih melihat berkas laporan dengan seksama tanpa memperdulikannya. Fia
menunggu beberapa menit masih berada di posisinya.

“Duduklah” sahut Rafka tapi matanya tetap menatap ke laporan.

Fia kemudian duduk dikursi yang berada didepannya. Kursi itu bergaya modern
namun terbuat dari material kayu keling, posisinya tepat berhadapan dengan Rafka.
Tepat pukul 09.00, Rafka meletakkan laporan yang dipegangnya lalu berkata
“Kuliah dijurusan Teknik Elektro namun bekerja di divisi keuangan, apakah kamu yang
memintanya?”

“Saya mengikuti tes penerimaan karyawan, dan diterima. Karena ada keryawan
yang resign sehingga saya langsung ditempatkan di divisi keuangan. Dan karena saya
baru masuk, jadi saya ikuti aja”

“Masih mau bekerja di bagian teknik?” tanya Rafka dengan suara tenang.

“Jika berkenan, saya ingin bekerja di divisi keuangan saja”

“Kenapa?” tanya Rafka dengan wajah datar.

“Karena saya masih harus melakukan kegiatan lain setelah bekerja di


perusahaan”

“Kamu kerja di dua perusahaan?”

“Saya kerja part time pukul 19.00 sampai 22.00”

Rafka menatap Fia dengan dingin “Gaji kamu di divisi keuangan kurang?, atau
karena disana ada Bagas?”

“Saya sedang menabung Pak” jawab Fia jujur.

“Untuk menikah?” tanya Rafka penasaran walau tetap dengan suara datar.

“Bukan” jawab Fia langsung. Fia menatap bos perusahaannya yang kini
menatapnya dengan sinis.

“Oh jadi kamu sudah menikah?”

“Belum Pak” jawab Fia cepat.

“Belum ada yang sesuai dengan kriteriamu ya?” tanya Rafka dengan sarkasme.

Fia beristigfar terlebih dahulu sebelum kemudian berkata “Belum ada yang
melamar saya Pak”.

“Mungkin karena mereka tau kriteriamu terlalu tinggi dan tidak sesuai dengan
apa yang akan mereka peroleh”

Fia tidak mengerti, mengapa laki-laki yang baru bertemu dengannya kemarin
sudah memiliki penilaian buruk terhadap dirinya. Apakah aku telah melakukan
kesalahan?, tanya Fia dalam hati.
Dan tiba-tiba dari balik pintu masuk seorang perempun cantik mengenakan hijab
modis berwarna biru langit. “Mas Arya ada tamu siapa sih, kok aku gak boleh masuk
sama Mas Doni”

Apa?, barusan Fia mendengar perempuan itu memanggil Rafka dengan sebutan
Arya. Barulah Fia mengerti mengapa bosnya itu begitu tidak menyukainya. Berarti
selama ini dugaan Fia benar, jika Arya itu adalah driver ojek online yang menemuinya
dulu.

Rafka tidak menjawab pertanyaan perempuan itu, ia malas jika harus berurusan
dengan adik tirinya yang manja itu.

Perempuan itu menatap Fia dengan sinis dan bertanya “Kamu siapa?”

“Saya Fia Bu”

“Fia siapa?” tanya perempuan yang kini berdiri disamping Rafka.

“Saya karyawan di perusahaan kaos R” jawab Fia cepat.

“Kaos R ya” gumam perempuan bernama Nadia tersebut. “Mas Arya Mami
sebentar lagi datang, kita makan siang bareng”

“Maaf aku gak bisa” jawab Rafka langsung.

“Tapi ini permintaan Mami Mas”

“Aku harus bekerja dengan Fia” sanggah Rafka.

Nadia terlihat kesal lalu berkata “Besok keluarga calon suami Nadia mau datang
ke rumah. Karena Ayah sedang di Singapura, jadi Mas Arya harus hadir untuk
menggantikan Ayah”.

“Aku tidak bisa hadir” jawab Rafka dengan tegas dan jelas. Rafka tidak merasa
perlu untuk hadir, karena Nadia bukan adik tirinya langsung. Ayah Rafka menikahi
Mami sebagai istri ketiganya. Pada saat itu Mami adalah seorang janda beranak satu.

“Tapi Mas untuk biaya pernikahannya bagaimana?” tanya Nadia setengah


merengek.

“Itu tugas mempelai laki-laki bukan?” Rafka malah bertanya balik pada Nadia.

Nadia tersenyum tapi dia tidak kehabisan akal “Apa Mas Arya gak malu kalau
aku resepsi di gedung yang jelek. Nanti citra keluarga bisa tercoreng Mas”

“Ehmmm” gumam Rafka “Tapi aku punya satu syarat”.


Nadia tersenyum sangat manis karena merasa Rafka mau mengikuti
keinginannya “Apa syaratnya Mas?”

“Kamu harus mengajari dia bahasa Rusia” sahut Rafka seraya menunjuk ke arah
Fia.

Hal ini membuat Nadia dan Fia sama-sama terkejut. “Maksud Mas Arya?”

“Kalau dia bisa bicara bahasa Rusia sederhana maka aku mau bantu biaya
resepsi” jawab Rafka seraya kembali membuka laporan.

“Kapan Mas Arya kasih biayanya?” sahut

“Saat ia sudah bisa melakukan percakapan dalam bahasa Rusia sehari-hari”

Nadia terkejut dan berkata “Mas Arya serius?”

“Tentu saja” jawab Rafka tenang “Жизнь не становится легче, поэтому


взбодриться” tambah Rafka yang artinya hidup tidak semakin mudah, karena itu
semangatlah.

“Tapi Mas…” Belum sempat Nadia menuntaskan kalimatnya Rafka sudah


mengacungkan satu proposal kerjasama pada Fia.

“Kamu bisa bahasa Arab?”

“Sedikit” jawab Fia cepat.

“Tolong terjemahkan draft kerjasama ini” sahut Rafka meletakkan draft proposal
tersebut didepan Fia.

“Sekarang Pak?”

“Iya sekarang” jawab Rafka seraya menatap Fia. “Jika hari ini selesai
diterjemahkan maka hari ini proposalnya bisa kita periksa”

“Baik Pak, kalau begitu saya permisi” sahut Fia setelah meraih draft perjanjian
tersebut. Fia melangkah keluar dari ruangan Rafka dan bertemu dengan sekretaris
Rafka. Fia ingat tadi ia melihat ada ruang duduk lengkap dengan mejanya disalah satu
sudut ketika menuju ruangan Rafka. Namun baru beberapa langkah ia menjauhi meja
Doni, dirinya sudah dikagetkan oleh suara Doni dibelakangnya.

“Nona Fia silahkan ikut saya”

“Kemana Pak?”
“Keruang meeting” jawab Doni ramah “Nona bisa panggil saya Doni, karena saya
belum tua” lanjut Doni seraya tersenyum.

“Oh begitu” sahut Fia .

Doni tersenyum saat membuka pintu ruang meeting “Silahkan Nona”

“Kalau begitu panggil juga saya Fia, gak usah pake Nona”

“Mana saya berani Non” sahut Doni

“Kenapa emang?”

Lagi-lagi Doni tersenyum dan berkata “Silahkan Nona menterjemahkan disini,


jika sudah selesai Nona bisa memberitahu saya.”

“Terimakasih” sahut Fia kemudian masuk kedalam ruang meeting tersebut. Fia
berjalan menuju sebuah kursi di dekat jendela.

“Nona silahkan langsung menterjemahkannya ke dalam file” sahut Doni seraya


menyerahkan sebuah laptop yang diambilnya dari sebuah rak di sudut ruangan ini.

“Apakah ada passwordnya?” tanya Fia menduga biasanya fasilitas kantornya


selalu diberi password.

“Tidak ada Nona”

“Baik kalau begitu” sahut Fia seraya menyalakan laptop yang diletakkan Doni
dihadapannya.

“Saya ada dimeja saya jika Nona membutuhkan sesuatu” Doni pun pergi
meninggalkan Fia sendiri kembali ke mejanya.

-- 0 --

Setelah dua jam lamanya Fia kemudian muncul di depan meja Doni bermaksud
untuk menyerahkan file hasil terjemahannya. Akan tetapi Doni sedang tidak berada di
mejanya. Disana hanya ada Nia yang sedang menggantikan Doni.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Nia dengan sopan.

“Saya mencari Doni” jawab Fia.

“Pak Doni sedang pergi, ada yang bisa saya bantu?”


“Saya mau menyerahkan hasil terjemahan saya” jawab Fia tidak kalah santun.

Nia tersenyum dan berkata “Pak Doni sedang pergi dengan Bos dan tidak tahu
kapan kembali. Kamu boleh meninggalkan hasil terjemahannya disini”.

“Biar saya tunggu dulu Doni kembali”

“Maksudnya Pak Doni?” balas perempuan cantik itu sedikit sinis.

“Maaf, saya biasa memanggilnya Doni” sahut Fia.

“Kamu baru disini kan?” tanya Nia dengan wajah yang jutek.

“Iya”

“Kalau begitu kamu harus memanggilnya Pak Doni karena dia senior kamu
sekarang”

Fia malas untuk menjelaskan sehingga ia hanya berkata “Saya akan menunggu
Doni di sana” seraya menunjuk ke arah sebuah kursi yang biasa digunakan karyawan
untuk menerima tamu.

“Dan kamu juga harus memanggil saya Bu” balas Nia.

Baru saja Fia duduk beberapa detik, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Fia meraih
ponselnya dan melihat ada panggilan dari Bagas. Padahal tadi pagi Fia sudah
menjelaskan bahwa dirinya sedang berada di kantor pusat untuk memenuhi instruksi
Rafka.

“Halo assalamuallaikum” sapa Fia.

“Wallaikumussalam. Fia kamu dimana?” tanya Bagas langsung.

“Saya dikantor pusat Pak”

“Kamu mau pindah kesana?”

“Nggak Pak, saya sedang membantu menterjemahkan draft proposal” jawab Fia
yang malah membuat Bagas menjadi curiga.

“Draft proposal apa?” tanya Bagas ingin tahu “Saya menunggu laporan dari
kamu”

“Iya Pak, sebentar lagi juga saya pulang”

“Ya sudah, tunggu disana biar aku jemput” sahut Bagas begitu alami. Laki-laki ini
khawatir akan terjadi sesuatu pada Fia.
“Gak usah Pak, tadi saya bawa motor” jawab Fia langsung.

“Kenapa kamu gak bilang aku sebelumnya” sahut Bagas dengan suara
terdengar sedikit kesal.

“Maaf Pak. Saya yang salah tidak ijin dulu sama Bapak” sahut Fia yang jadi
merasa tidak enak pada Bagas.

“Ya udah kalau begitu, nanti kita sambung lagi telponnya. Saya mau bicara dulu
dengan Tante Rina sebentar”

“Iya baik Pak” sahut Fia dan Bagas pun memutuskan panggilan. Fia terkejut
ternyata Doni sudah berdiri didepannya.

“Nona silahkan ikut saya keruangan Tuan Rafka” sahut Doni sopan seraya
mempersilahkan Fia untuk mendahuluinya.

“Baik” sahut Fia seraya berdiri dari duduknya cxdan kemudian mengikuti Doni
dari belakang.

Sesampaiannya didepan ruangan Rafka, Doni meminta Fia untuk menunggu


sebentar sementara ia mencetak hasil terjemahan Fia. Kemudian Doni mengetuk pintu
lalu menunggu sesaat sebelum membuka pintu tersebut.

“Permisi Tuan, ini Nona Fia sudah menyelesaikan terjemahannya” sahut Doni.

“Mana hasilnya?” tanya Rafka seraya menyembunyikan kekagumannya pad Fia.

Doni kemudian meletakkannya draft terjemahan Fia diatas meja. Sementara itu
Rafka hanya menatap Fia yang masih berdiri didepannya. Perempuan itu tidak berani
mendekatinya, bahkan tidak berani menatapnya. Rafka memperhatikan hanya sesekali
peempuan itu menatapnya selebihnya perempuan itu akan menatap kearah lain.

“Duduklah” sahut Rafka dengan suara datar.

Fia tidak menjawab ia hanya duduk dikursi yang berada didepannya. Fia tidak
berani menatap Rafka, ia ingat betul kejadian satu tahun yang lalu.

“Silahkan Tuan” sahut Doni.

Rafka membaca setiap kata yang ditulis Fia tersebut dengan seksama.
Sementara itu Doni permisi untuk kembali ke mejanya mengerakan tugas yang harus ia
lakukan.

“Sudah berapa lama kerja di Kaos R ?” tanya Rafka.


“Satu tahun Pak” jawab Fia langsung.

“Punya hubungan apa sama direkturnya?” tanya Rafka sambil lalu masih
memperhatikan hasil ketikan Fia.

“Hubungan kerja” jawab Fia jujur.

“Selain itu?” tanya Rafka dengan suara lebih tegas.

“Tidak ada”

“Kamu tahu peraturan perusahaan yang melarang karyawan memiliki hubungan


istimewa bukan?”

“Saya tahu ”jawab Fia lebih serius namun dengan suara yang tetap tenang.

“Lalu apa pendapatmu tentang dia?”

Fia sedikit terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan Rafka, namun ia


harus cepat memberikan jawaban. Akan tetapi Fia sadar bahwa jawabannya akan
mempengaruhi penilaian kinerja Bagas sebagai atasannya di mata Rafka.

“Beliau sangat giat bekerja serta banyak membantu saya dan teman yang lain”
jawab Fia.

Rafka menatap Fia dan berharap menemukan kebohongan dimata Fia, namun
alih-alih mempertanyakan jawaban Fia, ia malah berkata “Mulai besok kamu pindah
kepusat, kamu bertugas membantu Doni”

“Tapi Pak…” belum sempat Fia menuntaskan kalimatnya Rafka sudah menyela
perkataannya.

“Kenapa, kamu gak mau pindah ke sini?”

“Saya belum menyelesaikan tugas saya disana” jawab Fia dengan tenang.

“Karena pekerjaan atau karena Bagas?”

“Pekerjaan” jawab Fia jujur.

Rafka tersenyum dan berkata “Menjadi istri dari seorang Direktur regional
memang salah satu kesempatan yang langka. Sayangnya dia calon adik iparku, jadi
gak mungkin hal itu akan terjadi”

“Maaf saya gak mengerti apa yang Bapak maksud” balas Fia.

“Benarkah?”
Rafka memperhatikan Fia tidak lagi menunduk atau mengalihkan pandangannya.
Perempuan itu cukup berani untuk menatapnya langsung secara terus menerus.
Apakah aku telah membuatnya tersinggung?, tanya Rafka dalam hati.

“Apakah sulit untuk meninggalkan pekerjaan kamu yang kedua?”

“Kedua pekerjaan saya Pak”

“Kamu akan saya gaji, sesuai dengan gaji yang kamu terima dari kedua
pekerjaan itu”.

Rafka menduga, jika ia terus memaksanya maka dipastikan pembalasannya


akan berakhir disini. Dan tentu saja hal ini tidak begitu menyenangkan.

“Bukankah ini kesempatan yang bagus untuk kamu bisa pindah kesini?”

Fia tidak berani berpikir yang macam-macam ia hanya berkata “Saya harus
pamitan dulu Pak”

“Tidak perlu, semua barangmu sedang dalam perjalanan kesini sekarang” sahut
Rafka sambil lalu seraya membolak-balik draft proposal kerjasama yang tadi
diterjemahkan Fia.

“Tapi Pak…”

“Sebentar saya sedang membaca proposal ini” sela Rafka yang membuat Fia
langsung terdiam.

Suasana hening berlangsung beberapa menit sampai akhirnya Doni mengetuk


pintu dan muncul dengan sebuah laporan.

“Permisi Tuan, ini meja dan kursinya diletakkan dimana?” tanya Doni seraya
meletakkan laporan di meja Rafka.

“Disebelah mejamu” jawab Rafka singkat lalu kembali menekuri draft proposal
Fia.

“Baik Tuan” sahut Doni lalu kembali keluar ruangan.

Fia hanya diam memperhatikan mereka berdua, semua sibuk melakukn


pekerjaannya tanpa memperdulikan keberadaan Fia. Dalam hati Fia terus berdzikir
berharap apa yang akan terjadi padanya bukanlah hal yang buruk.

“Apakah ada yang aneh dengan draft proposalnya?” tanya Rafka seraya
menatap Fia.
“Saya tidak tahu aneh apa nggak, hanya saja sepertinya ini bukan draft proposal
yang asli Pak”

“Kenapa?”

“Draft ini bukan ditujukan untuk perusahaan melainkan untuk rekanan kerja yang
lain” jawab Fia serius.

Rafka tersenyum mendengar jawaban dari Fia, ternyata gadis ini memang sedikit
luar biasa. Namun ia enggan untuk memberitahukan hal ini pada Fia, sehingga Rafka
hanya berdiam diri seraya membaca draft proposal tersebut.

Sepuluh menit kemudian ada yang mengetuk pintu dan muncullah dua orang
pria yang belum pernah Fia lihat sebelumnya bersama dengan Doni.

“Assalamuallaikum”

“Walaikumussalam” jawab Rafka dan Fia hampir bersamaan.

“Mohon maaf mengganggu Pak” sahut salah seorang dari mereka seraya
bercanda.

“Tidak mengganggu sama sekali, silahkan duduk” sahut Rafka seraya menjabat
tangan dua orang yang menghampirinya itu dengan nada bercanda.

Sontak saja Fia langsung berdiri dari duduknya dan langsung melipir ke pinggir.
Dua orang itu pun bermaksud untuk menjabat tangannya namun Fia hanya
mengapitkan kedua tangannya didepan dada. Rafka mengamati apa yang Fia lakukan
dalam diam.

“Silahkan duduk” sahut Rafka mempersilahkan kedua orang itu untuk duduk saat
salah satunya malah menatap Fia.

“Siapa nih?” tanya laki-laki yang memandangi Fia tersebut.

“Karyawan baru” jawab Rafka.

“Sudah punya pacar mbak?” tanya laki-laki itu lagi.

Fia sedikit terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh salah satu sahabat
Rafka yang bernama Furqon.

“Saya tidak pacaran Pak” jawab Fia sopan.

“Wah boleh dong minta nomor telponnya” sahut laki-laki yang satunya yang
bernama Erik.
“Mbaknya mau langsung nikah aja ya?” tanya Furqon penasaran pada Fia yang
membuat Rafka sedikit terkejut.

“Sudah-sudah kalian ini gak bisa lihat perempuan, main nyosor aja” sahut Rafka
seraya bercanda. Rafka memperhatikan Fia sedikit lega, sehingga ia pun berkata “Don
kamu beritahu Fia apa aja tugasnya disini”

“Baik Tuan, kami permisi” sahut Doni seraya mengangguk pada Rafka dan
mengkode Fia agar mengikutinya.

“Aku sungguh-sungguh pengen kenalan sama dia” sahut Erik setelah Doni dan
Fia keluar dari ruangan.

“Kenapa?” tanya Furqon.

“Dia mirip sekali dengan almarhumah istriku” jawab Erik.

“Tapi dia kan berhijab”

Erik tersenyum “Justru itu, cantik kan?”

Sontak saja perkataan Erik membuat Rafka sedikit waspada sehingga berkata
“Jangan macam-macam, dia sudah ada yang punya” sahut Rafka

“Siapa yang punya?” tanya Erik langsung antusias, namun Rafka tidak
menjawab pertanyaan itu, ia malah langsung mengalihkan ke pekerjaan yang akan
mereka lakukan.

“Ya bosnyalah yang punya” timpal Furqon yang notabene mengetahui cerita
tentang Rafka dan Fia.

“Beneran?” tanya Erik penasaran.

“Kayaknya begitu” sambung Furqon.

“Tapi tunggu dulu, bukannya dia yang pernah di bawa si Bagas ke proyek
pesantren kamu Furqon?”

“Masa iya?”

Rafka diam dan hanya mendengarkan dengan seksama. Namun dalam


benaknya bertanya-tanya apakah benar jika Fia memiliki hubungan khusus dengan
Bagas?.

-- 0 --
Tiga bulan kemudian…
“Assalamuallikum”

“Walaikumussalam Miss” jawab Fia.

“Fia setengah jam lagi kita ambil rekamannya ya. Tolong jangan gugup, kamu
harus membuat Rafka terpesona dengan bahasa Rusia mu itu” sahut Nadia seraya
berlalu keruang meeting tempat biasa mereka belajar bahasa Rusia.

“Baik Miss” jawab Fia seraya membuka jadwal yang telah disusunnya hari ini.
Kebetulan jam 09.00 Rafka sudah harus memeriksa draft proposal kerjasama dengan
salah satu supplier bersama Bagas.

“Mas Doni tolong nanti jam 09.00 Tuan diingatkan ada pertemuan dengan Mas
Bagas” sahut Fia bergumam seraya membolak-balik buku catatannya. Fia mengikuti
Doni memanggil Rafka dengan sebutan Tuan.

Doni baru saja mau menjawab, namun ia mengurungkan niatnya saat melihat
Rafka sudah berdiri dihadapan mejanya.

“Semenjak kapan kamu manggil Doni dengan tambahan Mas?” tanya Rafka
yang terganggu dengan panggilan tersebut.

Fia terkejut karena baru menyadari kehadiran Rafka dihadapannya, dan ia hanya
berkata “Maaf Pak saya kurang memperhatikan”.

“Jam berapa Bagas datang kesini?” tanya Rafka ketus dengan tatapan tajam
pada Fia.

“Jam sembilan Pak” jawab Fia lalu kembali menatap Rafka dengan sopan.

Gadis kecil ini sudah mulai berani menatapku, gumam Rafka dalam hati.
“Bukankah hari ini tes terakhirmu dengan Nadia?”

Fia tersenyum dan berkata “Iya Pak”.

“Panggil aku Mas Arya” sahut Rafka datar seperti mengatakan sesuatu yang
terdengar tidak luar biasa.

“Maaf Pak?” tanya Fia terlihat agak bingung.

“Kamu sudah mendengarnya dengan jelas, aku tidak akan mengatakannya


berkali-kali”
Fia tidak mengatakan apa-apa, ia hanya menatap Rafka dalam diam.

“Oke kalau begitu, biar Doni yang bertemu dengan Bagas. Dan kamu langsung
ke ruangan meeting bertemu dengan Nadia” sahut Rafka.

“Baik Pak, saya permisi” sahut Fia, lalu beranjak pergi menuju ruang meeting.
Dalam lima menit Fia sudah mengetuk pintu dan masuk langsung mendekati Nadia.

“Oh Fia, sini kamu duduk dikursi ini” sahut Nadia “Tio sedang menseting kamera
agar video yang dihasilkan cukup bagus untuk dilihat oleh Mas Arya”

“Iya Miss” sahut Fia seraya memperhatikan seorang laki-laki dengan wajah yang
sedikit tirus dan mata yang tajam itu mengatur kamera dan pencahayaan di ruangan.
Fia duduk dikursi yang ditunjuk oleh Nadia tadi seraya berdzikir dalam hati agar tidak
gelisah atau pun was-was.

“Kita mulai dua menit lagi ya Fia” sahut Nadia memperingatkan. “Omong-omong
brosmu sangat indah Fia, dimana kamu membelinya?”. Baru saja Nadia menutup
mulutnya, ia pun terkejut karena Rafka sudah berada disampingnya. “Lho Mas Arya kok
datang kesini?”

Rafka tersenyum dan menjawab “Biar aku tes langsung hasil bimbinganmu”. Lalu
kemudian dia melihat kearah bros yang ia berikan untuk Fia, dan hal itu membuat
dirinya bahagia. “Brosnya sangat indah, aku tahu kamu pasti cocok jika memakainya.
Ayo Tio langsung take rekamannya ya”

“Baik Tuan” sahut Tio tersenyum.

Giliran Fia yang bingung, ternyata memang Rafka yang telah mengirimkan paket
hadiah bros ini. Tapi bagaimana bisa?, tanya Fia dalam hati. Fia melirik keseberang
mejanya, masa bosnya sendiri yang harus mengujinya sih. Tapi Rafka benar-benar
duduk didepan Fia dan mulai mengajukan beberapa pertanyaan dalam bahasa Rusia
yang harus Fia jawab juga menggunakan bahasa Rusia. Mulai dari percakapan sehari-
hari sampai ke pembahasan tentang budaya Rusia dan kebiasaan disana.

Setelah tiga puluh menit berlalu Rafka akhirnya berkata “Oke Nadia, selamat
kamu sudah memenangkan hadiahmu”

“Wow terimakasih Mas Arya!” sahut Nadia kegirangan.

“Selamat juga buat kamu, yang sudah diterima dengan baik dalam keluarga ini”
sahut Rafka pada Fia.
Fia menduga maksud dari perkataan Rafka adalah keluarga besar
perusahaannya sehingga ia berkata “Baik Pak, terimakasih banyak atas kesempatan
yang telah diberikan”

“Jika Nadia menyukaimu, maka Mami juga, dan akhirnya Ayahku pun akan
setuju”

Fia bingung mendengar perkataan Rafka, namun akan sangat aneh jika ia
menanyakan maksud dari perkataan atasannya tersebut. Fia khawatir jika ia yang salah
mengartikan maksud atasannya itu.

-- 0 --

Sudah masuk waktu untuk makan siang, namun rapat yang diadakan diruang
meeting belum juga selesai. Fia kembali menengok catatannya, khawatir ada sesuatu
yang terlewatkan olehnya. Bagas berjanji untuk menemuinya setelah rapat, dan mereka
akan makan siang bersama.

“Fia kamu ditunggu Tuan diruangannya” sahut Doni yang bergegas menjalankan
tugasnya untuk mencari sebuah berkas.

“Ada apa?, bukannya Tuan sedang rapat dengan Pak Bagas?”

“Rapatnya sudah selesai sepuluh menit yang lalu” jawab Doni yang kemudian
kembali berlalu meninggalkan Fia saat sudah menemukan berkas yang dia butuhkan.

Lho Bagas kok gak kasih tau ya kalau emang rapatnya udah selesai, gumam Fia
dalam hati seraya berjalan menuju ruangan Rafka. Ia mengetuk pintu tiga kali lalu
membukanya dan berkata “Permisi Pak”

“Fia”

“Maaf, Bapak memanggil saya?” tanya Fia dengan nada sopan.

Rafka melirik kearah Fia sebelum kemudian kembali ke berkas yang sedang
diperiksanya “Besok Bagas akan bertunangan dengan Anggy, jadi untuk sementara
kamu jangan menemui Bagas lagi”

Fia terlihat sedikit terkejut beberapa saat sebelum kemudian bertanya “Kenapa
saya gak boleh menemui Pak Bagas lagi?”. Rafka memperhatikan air muka Fia.

“Saya tidak ingin acara pertunangan itu batal karena kamu” jawab Rafka datar
dan dingin.
“Maaf saya tidak mengerti Pak” sahut Fia benar-benar bingung.

“Hari ini adalah hari terakhir kamu bekerja disini. Kamu akan saya pindahkan ke
kantor cabang di Rusia” sahut Rafka seraya menandatangani sebuah dokumen.

“Tapi Pak…” belum sempat Fia menuntaskan kalimatnya, Rafka sudah berkata.

“Keadaan ekonomi saat ini sedang menurun, begitu juga yang dialami oleh
semua pelaku usaha di seluruh dunia. Ini waktu yang paling tepat untuk kamu belajar
disana”

Fia hanya diam seraya menatap Rafka. Laki-laki itu terlihat begitu gelisah.

“Kenapa, kamu gak mau dipindah ke cabang Rusia?” sahut Rafka seraya
menatap tajam pada Fia.

“Saya hanya bingung, kenapa tiba-tiba saya harus dipindahkan kesana” jawab
Fia jujur. Sikap Rafka yang biasanya selalu dingin padanya tidak membuat Fia kecil
hati. Bagi Fia itu malah lebih baik, sehingga hubungan mereka murni professional.

“Saya tidak perlu menjelaskan pada karyawan tentang keputusan yang saya
ambil” balas Rafka seraya melempar dokumen ke meja dihadapannya dengan keras.
Rafka terlihat sangat kesal pada Fia, Ia bahkan menatap Fia dengan tajam dan
wajahnya terlihat murka.

“Apakah saya telah melakukan kesalahan?”

“Kesalahanmu bermula, ketika kamu hanya mengganggapku sebagai seorang


ojek online setahun yang lalu”

“Apa?” tanya Fia tidak menduga Rafka akan mengungkit masalah satu tahun
yang lalu. Dia tidak menduga bahwa dirinya telah menyinggung atasannya ini. Tapi
memang saat itu ia tidak berusaha menjelaskan keadaannya kepada Rafka dengan
baik, sehingga ia tidak menyalahkan Rafka jika saat ini Rafka tidak menyukainya.

“Kamu memilih Bagas karena ia lebih sukses dariku bukan?. Selama ini pun
kamu berusaha terus mendekatinya dan menjeratnya?”.

“Saya tidak bermaksud demikian” sahut Fia agak tercekat karena tidak menduga
bahwa dirinya seburuk itu dimata Rafka.

“Sayang adikku telah memilihnya sehingga kau tidak boleh


mengganggunya”.balas Rafka sedikit lebih ketus.

“Ayah saya baru meninggal sebulan yang lalu, saya masih harus mengurus
surat kematian yang belum dikeluarkan, juga beberapa hal yang lain. Saya tidak
merasa itu ada hubungannya dengan Bagas. Walaupun beliau sudah sangat baik hati
mau membantu biaya pengobatan Ayah” sahut Fia berusaha menjelaskan kondisi yang
sebenarnya pada Rafka.

“Benarkah?” sahut Rafka tidak percaya, walau sebenarnya didalam hati ia


terkejut dan tidak menyangka jika Ayah Fia baru saja meninggal, dan anehnya dia
sendiri tidak pernah mendengar mengenai berita itu.

Rafka memindahkan Fia karena ia tahu sebenarnya Bagas mencintai Fia. Tidak
butuh waktu yang lama untuk melihat percikan cinta Bagas dan itu mulai mempengaruhi
hubungan Bagas dengan adik tirinya yang manja itu. Adiknya khawatir jika Bagas
meninggalkan dirinya. Dilain sisi Rafka juga belum dapat memutuskan apakah ia akan
meneruskan atau ia menyudahi balas dendamnya pada Fia, karena lama kelamaan Fia
bukan menjadi target balas dendamnya, melainkan menjadi tambatan hatinya.

Dan akhirnya Bagas pun memilih untuk mempertahankan Bagas sebagai adik
iparnya, karena itu ia harus menjauhkan Fia dari Bagas. Dan keputusannya ini berarti ia
harus mengorbankan Fia, dengan cara membuatnya pergi jauh. Namun Rafka tidak
menyangka jika keputusannya itu malah membuat dirinya gelisah tak menentu.

“Kamu harus pergi kesana sebagai perwakilan dari kantor pusat. Akan ada
pengaturan untuk semua hal termasuk apartemen, transportasi dan juga pengawal. Ada
banyak staf yang akan membantumu untuk melaksanakan tugas disana” sahut Rafka
walau sebenarnya hatinya pun berat untuk melakukan hal ini pada Fia. Tapi ia masih
butuh waktu untuk mengambil keputusan tentang Fia dalam hidupnya.

“Pengawal?” tanya Fia yang bingung mengapa harus ada pengawal yang
menjaganya.

“Bersiaplah, kamu akan pergi besok pagi, ini tiket pesawatmu” sahut Rafka
dengan suara yang datar dan wajah yang dingin. Ia terlihat benar-benar tidak ingin
melanjutkan pembicaraan ini, ia juga tidak ingin Fia membantah keputusannya. Belum
lagi masalah desakan pertunangan dirinya dengan Mariam. Rafka tidak ingin Fia
terseret kedalam masalah ini jika akhirnya ia memutuskan pertunangan tersebut.

“Tapi Pak…” sahut Fia namun kemudian ia mengurungkan niatnya untuk


bertanya lagi. Fia hanya meraih tiket pesawat yang disodorkan oleh Rafka. Entah
mengapa Fia merasa sepertinya ia sedang dibuang oleh seseorang. Laki-laki itu terlihat
marah, namun kenapa mata itu melihatnya dengan penuh rasa khawatir. Ada sesuatu
yang disembunyikan oleh Rafka darinya. Akan tetapi Fia pun enggan untuk
menanyakan hal tersebut pada Rafka. Fia sadar hal itu akan membuat dirinya tampak
lebih menyedihkan di mata Rafka.
-- 0 --

Dua tahun kemudian…


“Tolong kamu hubungi kantor Dubes Rusia di Indonesia untuk memastikan
pekerja kita yang masih berada disana”

“Baik Tuan” sahut Doni kemudian berlalu keluar ruangan untuk segera
menghubungi sahabat dekatnya yang kebetulan bekerja disana.

Rafka menatap nanar saluran televisi yang sedang memberitakan mengenai


situasi perang antara Rusia dan Ukraina yang pecah mulai dari tanggal 24 Februari lalu.
Ia kembai menatap meja kerjanya yang penuh dengan berkas tender yang harus
diperiksa dan ditandatangani.

Sepuluh menit berlalu, namun Rafka merasakan hatinya semakin tersiksa.


Setelah sekian lama ia mampu memendam rasa yang kian hari kian menyakiti dirinya
sendiri. Akan tetapi usahanya hancur begitu saja saat mendengar perang antara Rusia
dan Ukraina telah pecah dan sedang berlangsung.

Apakah dia baik-baik saja, apakah dia tidak terkena dampak peperangan itu?,
tanya Rafka dalam hati. Wajahnya kembali terbayang dipelupuk mata Rafka saat Fia
mempertanyakan keputusan Rafka yang melemparnya jauh ke Rusia pada saat Bagas
bertunangan lalu sebulan kemudian mereka menikah.

Hari itu Rafka mendengarnya berbincang ditelpon untuk makan siang bersama
dengan Bagas. Hatinya terasa sakit luar biasa mengetahui hal itu. Rafka langsung
marah besar dan murka, bahkan tidak berusaha menanyakan tujuan dari acara makan
siang itu, ia hanya merasa dipermainkan dan dikhianati oleh karyawan dan calon ipar
tirinya itu. Kemudian langsung mengambil kesimpulan dan membuat keputusan.

Terdengar ketukan di pintunya dan sedetik kemudian muncullah Doni


dihadapannya.

“Tuan, sebanyak 133 pekerja asal Indonesia akan dievakuasi dari Ukraina.
Namun saya belum mendapat informasi siapa saja nama-nama mereka tersebut.”

“Memangnya dia sedang apa di sana?, bukankah seharusnya di berada di


Moskow”
“Maaf Tuan saya tidak tahu”

Rafka menaik nafas panjang, ia bahkan membuka dasinya yang terasa begitu
menyekik lehernya “Siapa yang bertanggung jawab mengirimnya ke Ukraina?”

“Saya belum mengkonfirmasi hal itu Tuan”

“Kemana para pengawal itu?”

Doni menatap atasannya dan berkata “Nona Fia telah memberhentikan mereka
satu tahun yang lalu”

“Yang dua orang lagi?” sahut Rafka kesal.

Doni tidak mengetahui mengenai pengawal bayangan itu, mungkin Rafka sendiri
yang mengurusnya. Sehingga ia hanya berkata “Maaf Tuan, saya tidak tahu mengenai
hal itu”

Ya Allah, hamba mohon selamatkanlah dia, gumam Rafka dalam hati. Dia yang
sudah ku hindari dan kusakiti, bahkan dia hanya bisa pergi dan menerima keegoisanku
saja.

“Kapan para pekerja itu akan tiba?” tanya Rafka berusaha untuk tetap realistis.

“Tiga hari lagi Tuan” jawab Doni dengan santun, ia dapat menangkap
kekhawatiran di wajah orang yang terkenal paling dingin disejagat gedung perkantoran
tempatnya bekerja.

“Tolong urus semua kebutuhan untuk keberangkatan kita ke Ukraina”

“Tidak bisa Tuan, bandara disana sudah hancur karena serangan rudal”

“Cari jalur yang terdekat menuju Ukraina”

“Kebanyakan semua orang pergi meninggalkan Ukraina, apakah Tuan yakin


akan datang kesana?”

“Cari informasi secepatnya dari kedutaan Indonesia di negara sekitar Ukraina.


Mungkin masih bisa melalui jalan darat melalui perbatasan antar negara.” Sahut Rafka
tanpa mengindahkan pertanyaan Doni. Di benaknya hanya dipenuhi pertanyaan.
Apakah dirinya masih sempat untuk bertemu dengan Alifia.

“Baik Tuan” jawab Doni yang memahami betul bahwa Rafka tidak
memperdulikan perkataannya.

-- 0 –
Tidak sama dengan WNI yang lain yang diberangkatkan untuk dievakuasi
melalui jalan Kyiv, lalu ke Lviv, dan kemudian menyeberang ke wilayah Polandia. Alifia
bersama dengan beberapa orang WNI masih bertahan di Ukraina. Sembilan
diantaranya dikarenakan alasan keluarga, dan empat orang diantaranya ditahan karena
menggunakan dokumen turis saat bekerja di Ukraina. Sedangkan dirinya belum dapat
meninggalkan Ukraina dikarenakan dokumen yang ia miliki hilang dicopet pada saat ia
berangkat dari Moskow menuju Ukraina.

“Silahkan Anda mengisi formulir ini” sahut salah seorang petugas kedutaan
Indonesia di Ukraina.

“Baik” sahut Fia seraya meraih kertas formulir tersebut.

“Bisa dipercepat ya Mbak, karena sebentar lagi kita berangkat” sahut petugas itu
lagi.

Fia langsung buru-buru mengisi satu persatu pertanyaan yang ada dalam
formulir tersebut. Saat itu orang-orang yang semula bersamanya satu persatu dipanggil
untuk menaiki bis menuju Lviv.

“Maaf Mbak, Mbak gak bisa ikut rombongan karena Mbak belum siap dokumen
penyertanya”

“Kalau gak bisa sekarang, kapan saya bisa diberangkatkan Pak?”

“Masih ada petugas dari kedutaan yang akan membuka kantor. Kemungkinan
besar Mbak masih harus berada disini bersama mereka sampai menunggu
keberangkatan yang berikutnya”

Air muka Alifia berubah memucat dan penuh dengan tanda tanya, ia lalu berkata
“Apakah saya benar-benar tidak bisa ikut rombongan yang ini Pak?”

“Maaf Mbak, saya khawatir jika Mbaknya ikut nanti malah akan tertahan
diperbatasan”

Ya Allah, kuatkanlah diri hamba, sahut Fia dalam hati. Dirinya penuh dengan
rasa bimbang dan bingung. Namun ia sadar jika ia memaksakan diri untuk ikut maka
akan mempersulit yang lain.

“Mbak jangan khawatir, masih ada beberapa orang WNI yang masih dalam
perjalanan menuju kesini. Untuk dievakuasi kembali ke Indonesia, jadi Mbak bisa
tenang dan tetap berada disini menunggu mereka tiba”.
“Baik Pak”

“Semua kebutuhan Mbak akan disediakan oleh kedutaan, jadi Mbak gak boleh
pergi dari sini supaya tidak ketinggalan rombongan berikutnya”

“Baik Pak” jawab Fia seraya menyerahkan formulir yang tadi ia isi. Petugas itu
pun pergi kedalam kantornya sehingga ruangan lobby tempatnya berada terasa begitu
luas karena hanya di huni oleh dirinya dan beberapa orang petugas kedutaan.

Beberapa kali Fia dapat mendengar ledakan dari kejauhan. Fia membuka
Alquran miliknya, satu-satunya harta yang tersisa didalam tasnya. Sesekali Fia
menyeka air matanya yang keluar sendiri tanpa ia inginkan.

Sudah dua hari lamanya dirinya tidak mengkonsumsi makanan akibat perang
yang tiba-tiba pecah saat dirinya baru berada di negara ini kurang dari 24 jam, karena
harus melaksanakan tugas yang diberikan atasannya. Kemudian dompetnya dicopet
dan ia harus menghabiskan sisa uang yang ia miliki untuk pergi menuju kantor
kedutaan Indonesia.

Fia menyelesaikan bacaan Alqurannya, lalu berdzikir dalam hati. Ia juga berdoa
semoga Allah selalu melindungi dan menjaganya. Jika memang ia tidak bisa kembali ke
Indonesia, Fia pun memohon agar ia tetap di beri khusnul khotimah. Ponselnya mati
karena baterainya habis, ia bahkan tidak berpikir untuk mengisi baterainya. Karena ia
sebatang kara maka ia pikir tidak ada keluarga yang akan mencari dan merindukannya.

Fia tersenyum saat mengingat Bagas, laki-laki itu kini pastilah sudah menikah
dan memiliki putra. Dalam hati, Fia mendoakan semoga laki-laki baik hati yang telah
memberi pinjaman uang untuk operasi Ayahnya itu hidup bahagia dengan keluarganya.
Fia juga bersyukur telah melunasi hutangnya pada Bagas setahun yang lalu. Mulai dari
saat itulah Fia tidak lagi berhubungan dengn Bagas.

Sesaat kemudian, Fia pun mengenang sosok yang telah membekas dalam
hatinya. Namun air matanya malah keluar sehingga ia berjanji pada dirinya untuk tidak
memikirkan laki-laki itu lagi. Karena semua yang telah terjadi, laki-laki itu pastilah juga
tidak akan menganggapnya hadir didunia ini.

“Permisi Bu” sahut seorang petugas yang mengenakan seragam putih.

“Iya” sahut Fia.

“Saya Andre, yang memeriksa Ibu tadi” sahut laki-laki itu.

“Iya ada Pak?” tanya Fia penasaran.

“Mari silahkan Bu Fia ikut saya untuk menjalani tes lanjutan”


“Tes lanjutan?” tanya Fia bingung.

“Hasil tes Anda menunjukkan jika Anda positif Covid-19”

“Astagfirullah”

Petugas itu menarik tangan Fia, karena tubuhnya terlihat gontai dan berkata
“Karenanya kita harus melakukan tes kembali dan memeriksanya untuk memastikan
sebelum Anda akan kembali ke Indonesia”

Fia pun kemudian jatuh tak sadarkan diri sehingga langsung dilarikan ke rumah
sakit terdekat oleh beberapa petugas kedutaan yang tersisa.

-- 0 --

Fia tidak sadarkan diri selama satu minggu. Selama itu Fia berada diruang
isolasi terpisah dari pasien rumah sakit yang lain. Tepat hari kedelapan, Fia sudah
mulai membuka matanya namun tidak dapat mengenali tempatnya berada. Tangannya
masih terhubung dengan selang infus yang tergantung di tiang sebelah kiri kepalanya.

Beberapa saat ruangan sangat hening tidak terdengar suara apa pun. Kemudian
tiba-tiba terdengar beberapa orang yang sedang berbicara dengan bahasa Indonesia.
Fia langsung membuka matanya dan melihat beberapa orang sudah berada di dekat
ruang isolasinya.

“Assalamuallaikum” Fia mendengar seseorang mengucapkan salam padanya.

“Walaikumussalam” jawab Fia lemah.

Fia melihat seseorang memasuki ruang isolasinya. Disekeliling tempat tidur Fia
dipasang plastik yang memisahkan dirinya dengan mereka. Padahal mereka berada di
satu ruangan yang sama. Fia mendengar mereka berbicara dalam bahasa Rusia.
Kemudian ada yg membuka plastik isolasinya dan seorang laki-laki menghampirinya
tepat ke samping tempat tidurnya.

“Sayang bagaimana kabarmu?” tanya laki-laki itu dalam bahasa Rusia.

Fia menatap laki-laki itu, ia sungguh tidak menduga bahwa laki-laki itu datang
untuk mengunjunginya. Belum sempat Fia menjawab pertanyaan laki-laki itu, dirinya
sudah kembali tertidur akibat pengaruh obat yang diberikan.

-- 0 --
Lima hari kemudian Fia tiba-tiba terbangun disebuah kamar yang sangat indah.
Tidak ada lagi plastik disekeliling tempat tidurnya. Hanya tersisa selang ditangan
kanannya yang menandakan ia baru saja sakit.

“Bagaimana keadaanmu hari ini?” tanya Rafka dengan lembut.

Fia hanya menatap laki-laki itu dengan tatapan kebingungan dan tidak percaya.
Matanya yang sayu masih menatap mata elang laki-laki itu sesaat, kemudian cepat
mengalihkan kearah lain.

“Alhamdulillah sudah lebih baik Tuan” jawab Fia lalu berusaha tersenyum.

“Alhamdulillah” sahut Rafka lalu mendekati Fia dan coba menyentuh keningnya.
Namun Fia menghindar dari sentuhan tangan laki-laki itu walau hanya dengan gerakan
lambat. “ Aku hanya ingin memeriksa suhu badanmu”

“Saya terinfeksi Covid-19 Tuan. Sebaiknya Anda menjaga jarak dari saya” sahut
Fia tidak enak hati.

“Aku tahu” jawab Rafka lalu duduk disamping tempat tidur Fia dan berkata “Aku
telah meminta dokter untuk mengecek keadaanmu, dan hasilnya kamu sudah negatif”.

“Alhamdulillah” sahut Fia seraya tersenyum.

“Namun untuk keamanan, kita tidak dapat keluar dari sini saat ini. Kita akan
menunggu beberapa hari sebelum berangkat melalui Polandia”

“Kemana?” tanya Fia cemas.

“Untuk kembali ke Indonesia”

“Tapi dokumen saya semua hilang” sahut Fia terlihat khawatir.

“Lantas?” samber Rafka

“Saya tidak bisa pergi sebelum dokumen penyertanya selesai.” Jawab Fia.

“Biar aku yang mengurusnya, kamu fokus dengan pemulihan kesehatanmu dulu”
sahut Rafka seraya meraih ponsel dari saku kemejanya.

Fia baru menyadari Rafka tidak mengenakan pakaian formal seperti yang biasa
ia ingat. Rafka hanya mengenakan kemeja berwarna putih dan celana panjang
berwarna coklat tua. Fia memperhatikan Rafka terlihat lebih tirus dari terakhir mereka
bertemu. Ia ingat pada saat itu mereka bertemu di kantor ketika Fia merapihkan meja
kerjanya. Laki-laki itu terlihat begitu kesal padanya tanpa sebab, dan ia tidak akan
repot-repot untuk menanyakan penyebab itu.

Fia mendengar Rafka menelpon seseorang dalam bahasa Slavic. Fia perhatikan
ada beberapa kata yang tidak ia fahami. Rafka juga ternyata memperhatikan Fia
mengamatinya diam-diam, dan hal itu membuat hatinya senang.

“Aku menelpon keluargaku yang tinggal di Moskow” sahut Rafka setelah


menutup panggilan di ponselnya. Rafka mengamati wajah sayu yang terlihat tirus dan
lemah itu tengah menatapnya. Sehingga ia pun berkata “Mereka adalah saudara dari
Ayahku”

“Saya belum menghubungi perusahaan, untuk mengabarkan kepergian saya


kembali ke sana”

“Kembali kesana?” tanya Rafka.

Fia memperhatikan Rafka menatapnya dengan tajam, sepertinya ia tidak suka


dengan apa yang telah dirinya katakan.

“Saya diberikan tugas oleh Direktur regional untuk menghubungi salah satu
supplier di sini.”

“Kenapa kamu yang harus menghubungi?”

“Kebetulan saya yang menangani masalah dalam tender dengan supplier itu”

Dahi Rafka berkerut mendengar jawaban Fia. Ia sengaja menempatkan Fia di


Rusia, agar Fia dapat mempelajari kebiasaan dan kebudayaan yang dilakukan orang
Rusia. Sehingga akhirnya ia pun akan mampu memahami dengan baik tata cara dan
tata karma versi Rusia.

“Kau tahu kenapa aku mengirimmu kesini?”

“Tidak Tuan” jawab Fia dengan spontan dan santun.

“Benarkah?”

“Tuan tidak memberikan penjelasan ketika menyuruh saya pergi”

“Lalu kenapa kamu memecat semua pengawal itu?”

“Saya mau bekerja, mereka membuat saya tidak bisa bekerja dengan baik”

“Semuanya?”
“Mereka membuat saya tidak bisa bekerja. Semua orang jadi memperhatikan
dan saya menjadi risih”

“Aku hanya ingin menjagamu” sahut Rafka “Apa itu salah?”

Fia tidak menjawab, ia hanya menatap Rafka dengan bingung. Namun sebelum
Fia menemukan jawaban atas pertanyaan yang diajukan Rafka, Doni tiba-tiba muncul
dari balik pintu.

“Assalamuallaikum. Selamat pagi Tuan dan Nyonya” sahut Doni seraya


tersenyum.

“Walaikumussalam” jawab Fia dan Rafka bersamaan. Namun kemudian Fia


celingukan mencari seseorang yang Doni sebut sebagai Nyonya.

“Maaf Tuan, untuk apartemen dan semuanya sudah dilaksanakan”

Rafka tersenyum melihat Fia, lalu berkata “Maksudnya dirimu sayang”.

Fia terkejut mendengar perkataan Rafka, dan air mukanya langsung berubah.

Rafka lalu tanya pada Doni “Kapan kita bisa berangkat?”

“Lusa Tuan” jawab Doni cepat “Itu pun kita masih harus menunggu surat dari
kedutaan Tuan”

“Tolong minta mereka mempercepat pengurusan surat-suratnya. Minggu depan


kita akan mengadakan acara”

“Baik Tuan” jawab Doni lalu membuat catatan di bukunya.

“Maaf Tuan passport dan dompet saya hilang, mungkin karena itu sehingga
pihak Kedutaan lama untuk mengeluarkan surat penyertanya.

“Kau sudah mengatakannya tadi” sahut Rafka “Tenang saja, serahkan padaku
ya. InsyaAllah kita akan menemukan jalan untuk segera bisa keluar dari sini. Dan jika
kita masih tidak bisa keluar maka kita akan melakukan rencana B”

“Rencana B?” tanya Fia pada Rafka.

Rafka memperbaiki letak selimut Fia dan tersenyum kemudian berkata “Kita
harus menikah disini”

“Menikah?” sahut Fia terkejut.. Bahkan Doni pun terkejut walau tetap berusaha
menjaga jarak untuk tidak terlibat dengan pembicaraan yang dilakukan Rafka dan Fia.
“Iya menikah. Sehingga secara hukum kamu akan masuk kedalam keluargaku
bukan?” Rafka balik bertanya pada Fia.

“Tapi Tuan, kita sebaiknya tidak melakukan hal itu” sahut Fia dengan suara
sedikit tercekat.

“Kenapa tidak?”

Fia terkejut mendengar perkataan Rafka dan lalu menatap Rafka yang ternyata
sedang mengamatinya dengan mata elang yang selalu menatap tajam pada lawan
bicaranya.

Fia bermaksud untuk mengatakan bahwa seorang perempuan tidak mungkin


menikah jika alasannya hanyalah untuk memasukkan namanya kedalam kartu keluarga
seorang laki-laki. Butuh alasan yang jauh lebih besar dan lebih penting untuk
memutuskan bahwa seseorang itu bisa atau layak menikahi kita.

Akan tetapi Fia pun sangat menyadari bahwa tidak mungkin bagi laki-laki seperti
atasannya ini akan mau menikahi perempuan seperti dirinya. Sehingga jika ia
menjelaskan dengan panjang lebar Fia khawatir atasannya tersebut akan menuduhnya
memanfaatkan kesempatan.

Buru-buru Fia mengalihkan pandangannya ke arah jendela dan berkata “Saya


belum bisa pulang ke Indonesia Tuan”

“Karena?” tanya Rafka serius. Doni bahkan sampai terkejut melihat tingkah
atasannya yang diuar kebiasaan.

“Karena pekerjaan saya belum selesai” jawab Fia tetap dengan santun.

“Ok kalau begitu. Kamu istirahat saja dulu ya” sahut Rafka seraya tersenyum “30
menit lagi kita sarapan pagi bersama, tapi sebelumnya aku harus mengerjakan sesuatu
dulu” sahut Rafka kemudian berlalu pergi diikuti Doni. Rafka meminta Doni untuk
menghubungi sepupu jauhnya yang bernama Jared.

-- 0 --

Sore setelah shalat ashar, Doni mengantarkan Rafka dan Fia kesebuah
apartemen yang berada disalah satu kawasan elite di sana. Ada seorang wanita cantik
yang terlihat dengan wajah Eropa menyambut mereka di pintu dengan tersenyum.

“Selamat datang” sambut perempuan cantik itu dengan logat Indonesia.


“Assalamuallaikum” sahut Rafka lalu mencium tangan dan memeluk perempuan
tersebut.

“Walaikumussalam” jawab perempuan itu seraya membalas pelukan hangat


Rafka. Lalu kemudian ia melihat Fia, dan langsung bertanya “Wel wel ini siapa?”

“Ini calon istriku” jawab Rafka yang membuat Fia kebingungan dan melayangkan
tatapan seolah-olah ia bertanya, kenapa Tuan berbicara seperti itu?.

“MasyaAllah” sahut peremuan itu yang lalu menghampiri Fia.

“Namanya Alifia” sahut Rafka lalu berjalan mendekati Fia dan berkata “Fia,
kenalkan ini tante Irene”

“Tante” sahut Fia seraya menjabat tangan yang diulurkan oleh Tante Irene.

“Selamat datang Fia” sahut Tante Irene seraya memeluk calon keponakannya
tersebut.

“Terimakasih Tante” jawab Fia.

“Ayo masuklah, di luar sedang terlalu banyak debu” tambah Tante Irene agak
terbata-bata.

“Iya Tante” sahut Fia mengikuti Tante Irene memasuki apartemen.

“Tante, Fia sudah tinggal selama dua tahun di Moskow lho. Jadi Tante bisa
menggunakan bahasa Slavic dengannya”

“Oh masa, benar begitu Fia?” tanya Tante Irene seraya memberikan kode
kepada asisten rumah tangganya untuk menyajikan minuman.

“Iya Tante” jawab Fia

“Tapi jarang-jarang ada orang Indonesia disini. Nanti bahasa Indonesia Tante
bisa hilang” sahut Tante Irene.

“Tante Irene ini lahir di Indonesia, tapi langsung di bawa Nenek ke Rusia ketika
berumur delapan tahun” Rafka menjelaskan pada Fia.

“Oh Tante pernah tinggal di Indonesia juga?” tanya Fia.

“Iya di Bandung” sahut Tante Irene “Kapan kalian akan menikah?”

“Lusa” jawab Rafka.

“Wow keren, tapi sayang sepupumu baru bisa datang minggu depan”
“Syukurlah kalau begitu” sahut Rafka datar. Namun dibalik sikap dinginnya diam-
diam Rafka mengamati perubahan air muka Fia. Air mukanya berubah-ubah kadang
seperti terlihat bingung, sedih dan beberapa saat kemudian ia mulai tenang dan
tersenyum. Dan diantara perubahan sikapnya tersebut, anehnya ia tetap berusaha
tenang dan tidak bertanya sedikit pun mengenai hal-hal yang tidak ia ketahui.

Tiba-tiba Rafka baru saja menyadari, bahwa Fia sebenarnya sedang menjaga
jarak dengan dirinya. Rafka menghampiri Fia saat ia melihat Tante Irene mendekati Fia
dan berbisik padanya.

“Hayo Tante bisik-bisik apa?”

Tante Irene tersenyum dan berkata “Tante gak bilang apa-apa kok. Tante cuma
bilang kalau kamu hampir saja menikah dengan sepupumu Mia”. Dan beberapa detik
kemudian Tante langsung menutup mulutnya karena malu sudah jadi orang usil.

Karena wajah Tante Irene berubah menjadi lucu, Rafka pun akhirnya tertawa
begitu juga Tante Irene. Rafka menarik Fia kesebuah sofa mengikuti arahanTante
Irene. Kemudian meminta Fia untuk duduk di kursi sofa disebelah kanannya.

Tante Irene menyuguhkan minuman teh dan beberapa camilan khas yang
pastinya merupakan produk halal.

“Bagaimana kabarmu selama ini?”

“Alhamdulillah baik Tante”

“Beberapa kali Mia datang berkunjung kesini. Tentu saja sebenarnya ia ingin
melihat mu”.

“Aku tidak mengerti mengapa dia mencariku”

“Mungkin kangen” jawab Tante langsung, tapi saat matanya melihat Fia ia pun
kemudian menambahkan “Ia pikir mungkin kamu masih sendiri”

“Aku sudah mengatakan padanya dengan cukup jelas, bahwa aku tidak akan
meneruskan hubungan dengannya”

“Apakah karena keluarganya?”

“Salah satu alasannya” jawab Rafka cepat.

“Kamu tahu bukan, abang sepupuku yang satu itu emang sangat keras jika
berhubungan dengan agama. Tapi bukankah masalah perbedaan agama itu sudah
lama, seiring berjalannya waktu berlalu mungkin saja semua itu masih bisa dibicarakan”
sahut Tante Irene menjelaskan tentang kakak sepupunya yang merupakan orang tua
dari Mia.

“Banyak hal yang lain yang menjadi pertimbangan Tante”

Tante Irene kemudian menatap Fia dan meyadari bahwa gadis ini mengenakan
hijab seperti dirinya, lalu ia pun bertanya “Apakah kamu tidak mengalami persoalan
yang serupa dengan Fia. Aku bisa menduga jika ia seorang muslim”

“Tentu saja dia muslim” sahut Rafka seraya tersenyum.

“Maafkan Tante, jika bertanya yang macam-macam padamu. Tante khawatir jika
ia pun menduga Tante tidak menyukainya”

Rafka tersenyum dan menepuk-nepuk pundak Fia dengan lembut “Dia spesial
Tante, jadi gak mungkin dia akan terpengaruh oleh perkataan Tante”

Fia terkejut dengan perlakukan Rafka lalu langsung menengok ke arah Rafka
yang mengakibatkan tangannya tidak sengaja mengenai gelas teh hangat yang
disuguhkan Tante Irene dihadapannya.

“Tenang sayang” sahut Rafka seraya tersenyum seolah-olah sedang


menenangkan Fia. Ia lalu memberikan gelas miliknya pada Fia agar Fia meminumnya.

“Minumlah” sahut Rafka “Kami tidak menikah, karena aku ingin menikah
denganmu” sahut Rafka seraya menunjuk ke arah Fia.

Fia menerima gelas yang disodorkan oleh Rafka dan lalu meminumnya isinya
sedikit. Namun karena mendengar kalimat terakhir Rafka membuat Fia langsung
terbatuk-batuk.

Melihat tingkah Fia, Rafka tersenyum dan langsung meraih gelas yang
digenggam Fia “Apakah kamu baik-baik saja sayang?”

Fia melepaskan gelas yang dipegang tersebut dan mengangguk-angguk pelan.


Tante Irene yang memperhatikan perilaku mereka pun jadi tersenyum melihat.

“Mia akan sangat iri jika sekarang dia ada disini” sahut Tante Irene penuh
dengan sarkasme.

“Tante, aku sudah memutuskan hubungan kami lama sebelum akhirnya aku
berubah menjadi mualaf. Jadi seharusnya saat ini Mia pasti sudah jauh lebih kuat dari
sebelumnya, dan bahkan mungkin sudah berbahagia dengan yang lain.”

Mualaf?, Fia terkejut mendengar perkataan Rafka. Ia sama sekali tidak


menyangka jika sebelumnya Rafka memiliki keyakinan yang berbeda dengannya.
“Tidak ada yang memaksamu?” tanya Tante Irene.

“Tentu saja tidak ada yang memaksaku Tante” sahut Rafka dengan suara yang
ramah.

“Bagaimanapun aku senang akhirnya kau bisa menentukan pilihanmu dengan


tepat” sahut Tante Irene seraya tersenyum.

“Aku juga senang jika Tante Irene senang” sahut Rafka pada adik bungsu
Ayahnya itu.

“Apakah kamu telah melaksanakan sholat, puasa, zakat dan mengaji?”

“Tentu saja Tante. Rafka belajar dengan ustad Adi dan juga beberapa ustad lain
di Indonesia”

“Sejak kapan?”

“Alhamdulillah sudah tiga tahun” sahut Rafka seraya meraih cemilan yang
disodorkan oleh Tante Irene, ia kemudian memberikannya pada Fia. Awalnya Fia tidak
mengira bahwa Rafka akan memberikan cemilan itu padanya. Sampai beberapa detik
kemudian Rafka yang meraih tangan Fia dan menumpahkan cemilan itu ditelapak
tangannya.

“Fia, sekedar informasi Rafka itu dulunya atheis” sahut Tante Irene kepada Fia
yang dari tadi hanya diam mendengarkan.

“Itu dulu” sahut Rafka cepat, agar Fia tidak salah menilainya.

“Apakah agar bisa bersama dengannya?” tanya Tante Irene seraya menunjuk
Fia.

“Tidak” sahut Rafka dengan lugas.

“Benarkah?”

“Dia hanya salah satu motivasi, dari banyak motivasi yang aku temukan Tante”

“Alhamdulillah kalau begitu”

“Tante, aku sudah lama menunggunya, tapi ia tidak pernah berani


menghampiriku. Jadi terpaksa aku yang harus mendatanginya” tambah Rafka dalam
bahasa Slavic yang membuat Tante Irene tersenyum lebar.

“Sepertinya kamu sangat mencintainya?” tanya Tante Irene.


“Aku sangat membencinya, dia telah membuatku jatuh cinta dengan begitu
hebatnya” jawab Rafka seraya tersenyum namun kemudian ia menatap Fia dengan
sendu. Cinta itu tumbuh dengan begitu kuatnya hingga ia mau mengkorbankan apapun.
Tapi berkat cinta itu juga, Rafka mendapatkan hidayah untuk menerima Islam dalam
hidupnya. Allah Subhanahuwataala telah memberikan kesempatan terbesar dan
terindah untuk dirinya. Untuk memiliki dan merasakan iman yang tumbuh, untuk
mengenal sang Maha Pencipta, Tuhan satu-satunya pemilik alam semesta, Penguasa
dan raja yang sebenar-benarnya.

“Apakah dia tidak tahu?” tanya Tante Irene yang memperhatikan jika sedari tadi
Fia hanya menekuri cemilan yang diberikan oleh Rafka.

“Dia cukup pintar untuk tidak menunjukkan keadaannya padaku selama ini.
Dugaanku pasti dia pun akan menyembunyikan fakta bahwa ia mengetahui jika aku
mencintainya” sahut Rafka tepat saat Fia mengangkat wajahnya menatap ke arah
jendela.

“Bukankah kalian akan menikah?” tanya Tante Irene dengan bahasa Slavic.

“Tentu saja Tante” jawab Rafka langsung seraya tersenyum “Aku akan
membuatnya mau menikah denganku”

“Jadi rumor yang aku dengar selama ini sepertinya benar”

“Rumor apa itu Tante?” tanya Rafka seraya mengambil beberapa cemilan di
meja.

“Tante dengar Rafka mendirikan beberapa Islamic Centre di Moskow dan Ceko”

“Alhamdulillah Tante, aku juga bekerjasama dengan beberapa orang terkaya di


Rusia dan Indonesia untuk membangun pesantren di Volga dan Kaukasus Utara”.

“Alhamdulilah, semoga Allah Subhanahuwataala selalu memudahkan dan


melapangkan urusanmu”

“Aamiin ya Allah” sahut Rafka “Doakan terus ya Tante”

Tante Irene kemudian tersenyum dan sedikit terkejut saat ia melihat seseorang
memasuki ruang tamunya di antar oleh asisten rumah tangganya.

“Hai Mia” sapa Tante Irene yang sedikit terkejut tapi lalu berdiri dan menghampiri
Mia.

“Tante, bagaimana kabarnya?” tanya Mia menggunakan bahasa Slavic seraya


memeluk Tante Irene.
“Baik tentu saja. Bagaimana denganmu Mia?”

“Aku mendengar kabar jika Rafka akan tiba, sehingga aku bergegas datang ke
sini” jawab Mia jujur. Perempuan itu kemudian menemukan orang yang ia bicarakan
dan langsung menghamburkan diri ingin memeluk Rafka.

Di lain pihak Rafka tetap duduk dengan santainya dan hanya mengangkat
tangannya untuk mencegah Mia memeluknya. Matanya menatap tajam pada Mia dan ia
bahkan terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya atas kedatangan Mia hari ini.

“Rafka sayang bagaimana kabarmu?” tanya Mia berusaha mengalihkan


perhatian atas penolakan yang diterimanya.

“Baik, Alhamdulillah”

Mia memperhatikan wajah Rafka yang sudah ditumbuhi oleh janggut tipis
dibeberapa tempat. Dan ia kurang menyukai tampilan Rafka seperti itu. Tapi yang
menarik adalah kata terakhir yang diucapkan oleh Rafka barusan. Alhamdulillah,
apakah ia telah memeluk Islam?, tanya Mia dalam hati.

“Alhamdulillah, apakah kita sekarang sudah satu server?” tanya Mia dalam
bahasa Slavic.

“Alhamdulillah” sahut Rafka datar.

“Syukurlah, kalau begitu hilang sudah alasan penolakan keluargaku padamu”


sahut Mia dengan senang hati.

“Mia, kamu baru saja tiba. Istirahatlah dulu, cicipi makanan dan minuman yang
sudah Tante siapkan” sambar Tante Irene khawatir Mia terlalu banyak bicara ngelantur.

“Aku senang Tante” balas Mia dengan ceria.

“Tante tidak sempat menghubungimu untuk memberitahukan kedatangan Rafka.


Tapi bagaimanapun kamu sudah disini, jadi tidak pantas bagi Tante untuk tidak
menjamu dirimu”

“Untung saja ada yang memberitahuku Tante” sahut Mia yang tiba-tiba baru
tersadar bahwa ada seorang wanita yang sedang duduk didekat Rafka. “Dia siapa?”
tanya Mia seraya menunjuk ke arah Fia.

Fia yang sedari tadi hanya menjadi penonton yang baik lalu berdiri dan
menyodorkan tangannya “Selamat datang Nona, mohon maaf saya belum
memperkenalkan diri, nama saya Fia” sahut Fia dalam bahasa Slavic.
“Oh” sahut Mia dengan gaya khas orang Eropa yang langsung mengetahui jika
Fia bukanlah berasal dari ras mereka. “Maaf tangan saya kotor”

Fia tersenyum mendengar penolakan dari Mia dan langsung melangkah


menjauhi kursi yang tadi ia duduki. “Silahkan Nona duduk disini”.

“Apa maksudmu?” tanya Rafka dengan lugas pada Fia.

Fia tersenyum “Mohon maaf Tante, bolehkah saya numpang ke toilet” sahut Fia
dalam bahas Slavic dan dengan sopan santun ala orang timur.

“Silahkan Fia, toiletnya ada di ujung sebelah kanan“ sahut Tante seraya
menunjukkan tempat toiletnya.

“Aku akan mengantarmu” sahut Rafka saat Mia hendak duduk disampingnya.
Rafka melihat Fia sedikit limbung, ia khawatir dengan kondisi Fia yang belum pulih.
Selain itu Rafka benar-benar sadar jika Fia adalah wanita Indonesia yang memiliki sifat
sedikit lebih rumit jika dibanding dengan wanita dari Eropa.

“Tidak usah, terimakasih Tuan, saya bisa mencarinya” sahut Fia bergegas pergi.
Namun karena berjalan terburu-buru Fia tidak memperhatikan ada genangan air diujung
koridor saat berbelok ke kanan. Sepertinya asisten rumah tangga telah melewatkan
genangan air tersebut karena sibuk mempersiapkan jamuan untuk kedatangan Rafka.

Alhasil Fia pun terpeleset dan tubuhnya jatuh terjerembap ke lantai. Astagfirulah,
Fia berdzikir dalam hati, tidak ada sedikitpun suara mengaduh yang keluar dari
mulutnya. Fia langsung berusaha berdiri namun entah mengapa tubuhnya terlalu lemah
untuk melawan gravitasi Bumi. Sehingga ia pun hanya duduk bersandar ke dinding
rumah. Dalam hati ia membulatkan tekadnya benar-benar berusaha untuk berdiri
sebelum ia menyusahkan orang lain lagi.

Tiba-tiba Rafka datang dan langsung mengulurkan tangannya. Fia tidak


menyambut uluran tangan Rafka, ia hanya berpegangan ke lengan Rafka yang ditutupi
oleh pakaian.

“Sudah ke toilet?”

“Belum”

“Masuklah, aku akan menunggu disini” sahut Rafka seraya mengantarkan Fia
kedepan toilet. Fia pun langsung masuk kedalam toilet sedangkan Rafka hanya
menatapnya dengan sendu. Rafka mendengar suara benda terjatuh begitu juga Tante
Irene dan Mia, akan tetapi mereka tidak mendengar suara teriakan Fia. Namun dirinya
tetap bergegas menuju toilet dan menemukan Fia tengah duduk dilantai.
Beberapa saat kemudian Fia membuka pintu toilet dan sangat terkejut karena
mendapati Rafka tetap menunggunya di tempat ia semula.

“Mohon maaf Tuan, saya sudah merepotkan”

“Aku sudah membuat janji dengan dokter yang menanganimu kemarin. Besok
mereka akan kembali memeriksa keadaanmu, aku khawatir ada gejala lanjutan” sahut
Rafka tanpa basa-basi.

“Baik Tuan” sahut Fia kemudian melangkah keluar toilet dengan tertatih.

“Tubuhmu sangat lemah saat ini, jadi kamu harus mau menerima bantuan yang
diberikan orang lain” sahut Rafka sesaat sebelum kemudian ia menggendong tubuh
mungil Fia dan membawanya ke kursi tempatnya duduk semula.

“Apakah kami melewatkan sesuatu?” tanya Mia dalam bahasa Slavic dengan
wajah cemberut.

Tante Irene hanya tersenyum dan tidak berkomentar sedikitpun. Ia dapat


merasakan pergulatan batin yang terjadi diantara cinta segitiga itu.

“Tante, aku mohon maaf sebelumnya. Kami tidak bisa berada disini lama-lama,
Fia sedang dalam kondisi yang kurang baik. Besok kami akan melakukan pemeriksaan
lanjutan dengan dokter yang menangani penyakitnya kemarin”.

“Aku akan menghubungi dokter keluargaku kalau begitu” sahut Mia.

“Tidak perlu” sahut Rafka, “Aku sudah membuat janji pemeriksaan besok”

“Aku yakin karyawanmu ini sungguh sangat berarti untuk perusahaanmu, karena
itu kenapa kita harus menunggu besok. Kenapa tidak diperiksa hari ini dengan dokter
yang sudah terbukti handal?”

“Maaf Tuan, Nona saya jadi merepotkan” sahut Fia tidak enak hati.

“Tidak merepotkan sama sekali.” Sahut Mia tersenyum sangat manis.


“Bagaimana pun Rafka sangat peduli denganmu, itu berarti dia pribadi yang
bertanggungjawab yang bisa melindungi seluruh karyawannya”

Rafka memperhatikan apa yang sedang dilakukan Mia terhadap Fia, dan ia tidak
menyukai apa yang dilihat olehnya.

“Aku akan mengurus wanitaku sendiri. Tidak mungkin aku menyerahkan wanita
yang aku cintai untuk diurus oleh orang lain” sahut Rafka langsung dan tanpa tedeng
aling-aling.
Fia terkejut mendengar perkataan Rafka, dan langsung mendapatkan tatapan
aneh dari Mia. Perempuan cantik dengan rambut berwarna coklat keemasan itu tiba-
tiba mendorongnya kesamping karena posisinya menghalangi jalan Mia menuju Rafka.

“No Rafka” sahut Mia seraya berusaha memeluk Rafka dengan tersedu-sedu.

Fia merasa seperti sedang melihat privasi orang lain, bukannya cemburu Fia
malah malu dan bergeser sedikit menjauh serta memalingkan wajahnya ke arah lain.

“это все во благо” sahut Mia dalam bahasa Rusia yang artinya itu semua untuk
kebaikannya.

Rafka kemudian berkata “Biar aku saja yang memikirkan apa yang terbaik
untuknya”

“Tapi sayang, aku…” perkataan Mia terpotong oleh Rafka yang langsung berkata

“Aku dan Fia akan menikah lusa”

“Apa?!” suara Mia terdengar seperti meliuk-liuk di udara. Dan suasana pun jadi
terasa mencekam. Lalu Mia pun berteriak seraya terisak-isak mengatakan semua
penderitaanya selama empat tahun menunggu Rafka kembali.

Tante Irene kemudian menghampiri Fia dan mengajaknya untuk berpindah ke


sebuah kamar yang memang sudah ia siapkan untuk Fia. Ia mengatakan pada Fia agar
mereka berdua memberikan waktu bagi Rafka dan Mia untuk berbicara.

Setelah memasuki sebuah kamar, Tante Irene meminta Fia untuk beristirahat
sebentar sementara ia memanggil asisten rumah tangganya.

Fia duduk diatas sebuah tempat tidur yang bersprei putih dengan nuansa bunga-
bunga ala shabby chic. Secara keseluruhan tampilan interior yang dilihat Fia bergaya
elegan dan minimalis diseluruh penjuru rumah Tante Irene. Makanya dia tadi sedikit
agak terkejut ketika memasuki kamar ini dan menemukan interior yang sangat lembut
dan girly.

“Mereka sebelumnya sudah berhubungan cukup lama” sahut Tante Irene


membuka pembicaraan seraya duduk disamping Fia diatas tempat tidur.

Fia tersenyum, namun ia enggan untuk menanggapi pembicaraan mengenai


atasan dan kekasihnya ini. Fia khawatir jika ia terjebak dalam ghibah. Namun Tante
Irene terus saja bercerita tentang Rafka dan Mia. Bahwa mereka sudah berpacaran
selama tiga tahun dan bahwa keluarga Mia menentang hubungan mereka karena
perbedaan agama.
Mia adalah seorang muslimah, walau masih mengenakan pakaian yang ketat
dan seksi seperti perempuan-perempuan Eropa pada umumnya. Namun kedua orang
tuanya dengan tegas mengatakan tidak merestui hubungan mereka karena alasan
perbedaan keyakinan.

Karena patah hati maka Rafka pun kemudian memutuskan untuk meninggalkan
Rusia dan pindah ke Indonesia mengikuti keinginan kedua orangtuanya.

“Mereka putus sekitar empat tahun yang lalu” sahut Tante Irene membubuhi
ceritanya.

“Apakah Tuan sering berkunjung kesini Tante?”

“Rafka” sahut Tante membetulkan panggilan Fia terhadap Rafka. “Otomatis


sejak hubungan mereka putus, Rafka tidak pernah sekali pun datang kesini. Di sisi lain
Mia selalu berkunjung kesini menanyakan tentang Rafka. Bagaimanapun dia masih
termasuk saudara sepupu jauh Rafka, dan sebelumnya mereka adalah pasangan yang
sangat berbahagia” sahut Tante menjelaskan.

“Maaf Tante, saya biasanya tidak pernah berbicara mengenai privasi Tuan. Jadi
saya benar-benar tidak mengetahui apa yang terjadi diantara mereka berdua”.

“Benarkah?”

“Tuan mengirim saya untuk bekerja di Moskow sejak dua tahun yang lalu.
Tepatnya sebelum terjadi wabah Covid-19. Jadi semenjak saat itu saya benar-benar
tidak pernah berhubungan atau berbicara dengannya”

“Bukannya kalian akan segera menikah?” tanya Tante Irene dengan curiga. Ia
tidak mengerti mengapa perempuan cantik yang terlihat sangat sederhana ini begitu
membingungkan.

“Saya karyawan Tuan, dan saya sedang berada di Ukraina saat perang meletus.
Tapi dompet dan tas saya dicuri sehingga dokumen saya pun hilang. Akibatnya saya
kesulitan untuk mengikuti rombongan WNI yng dipulangkan ke Indonesia.”

“Apakah Rafka sedang berada di Ukraina?”

Fia diam sesaat mengingat-ingat apa yang mungkin terlewatkan olehnya.


Setelah beberapa saat akhirnya Fia pun menjawab pertanyaan Tante Irene “Saya
terbangun dan ternyata saya sudah dirawat selama seminggu karena terkena Covid-19”

“Lalu Rafka?”
Fia menatap Tante Irene dan berkata “Sudah berada di samping tempat tidur
saya” suara Fia sangat lirih. Sepertinya ada yang salah dengan apa yang telah terjadi.
Fia baru menyadari entah mengapa dia tidak dapat menemukan jawaban mengapa
Rafka berada di samping tempat tidurnya ketika dia siuman.

Tante Irene melihat tingkah Fia dan juga memperhatikan perubahan air
mukanya. Gadis ini rupanya masih sedikit kebingungan tentang peran dari
keponakannya tersayang dalam drama hidupnya.

“Aku datang segera setelah mendengar perang di Ukraina terjadi” sahut Rafka
yang tiba-tiba sudah berada dibelakang mereke.

“Tentu saja sayang, kamu pasti akan datang untuk menyelamatkannya bukan?”
sahut Tante Irene dengan ringan lalu tersenyum pada mereka berdua secara
bergantian dan berdiri dari duduknya “Tante tinggal dulu, Tante akan menyiapkan
makan malam untuk kita”

“Terimakasih Tante” sahut Rafka mendekati Fia dan Tante.

Tante Irene memeluk Rafka dan dapat merasakan tekanan udara diruangan
mendadak menjadi sedikit lebih sesak “Kamu harus menjelaskan dengan baik sehingga
ia dapat mengerti tentang apa yang terjadi. Dimana Mia?”

“Aku meninggalkannya, ia sedang menangis”

“Oke kalau begitu” sahut Tante Irene seraya berlalu keluar dari kamar “Tante
akan buka pintunya ya”

Rafka mendekati Fia dan berkata “Bagaimana keadaanmu?”

“Baik Tuan” jawab Fia dan tersenyum.

“Mengenai Mia, dia hanyalah….”

“Tuan tidak perlu menjelaskan pada saya” serobot Fia dengan suara datar
namun tetap santun.

Rafka menarik sebuah kursi sehingga mereka bisa berbicara berhadapan “Aku
pikir aku harus menjelaskan padamu. Sebentar lagi kita akan menikah, aku tidak ingin
kamu salah mengerti mengenai semua hal tentangku dimasa lalu”

“Tuan tidak perlu menikahiku” sahut Fia dengan suara yang cukup tegar.

“Mengapa?”
“Tuan sudah cukup banyak membantu saya. Jadi tidak perlu berkorban lebih
banyak lagi” jawab Fia lalu tersenyum.

“Aku melakukannya dengan sungguh-sungguh bukan karena ingin berkorban


untukmu” sambar Rafka dengan penuh percaya diri.

“Saya sudah pernah menyaksikan bagaimana Tuan akan mengorbankan


semuanya untuk orang-orang yang penting bagi Tuan. Karenanya saat ini Tuan tidak
boleh lagi berkorban untuk orang lain” sahut Fia seraya tersenyum. “Kebahagian Tuan
sudah ada didepan mata, tolong jangan menghindar lagi. Tuan harus menyambut
kebahagian itu dengan penuh suka cita”

“Apa maksudmu?”

“Nona Mia telah menunggu Tuan selama ini, saya pikir Tuan pun sudah
menantikan saat-saat seperti ini” tambah Fia lalu sedikit terbatuk-batuk.

“Bagiku cerita tentang aku dan Mia sudah lama berakhir. Aku sedang berbicara
tentang kita”

Fia tersenyum dan berkata “Tidak pernah ada kita”

“Bagaimana mungkin kamu mengatakan hal itu”

“Hubungan kita hanyalah sebatas atasan dan karyawan, itu kan yang dulu Tuan
katakan” sahut Fia tetap dengan sopan dan santun.

“Benarkah hanya itu yang kamu rasakan terhadapku?”

Fia tidak menjawab pernyataan Rafka, kepalanya terlalu pusing dan tiba-tiba ia
batuk lagi dan memuntahkan darah segar. Rafka langsung memeluk tubuh yang hampir
roboh ke lantai itu. “Fia… Fia…” Rafka berteriak memanggil-manggil Tante Irene dan
Doni. Tubuh Rafka bergetar hebat melihat Fia berlumuran darah. Ia tidak berharap Fia
akan pergi untuk selamanya meninggalkan dirinya. Tak lama Doni muncul dan mereka
pun langsung membawa Fia ke rumah sakit terdekat dalam keadaan pingsan.

Fia menjalani beberapa kali pemeriksaan dan cek darah dilaboratorium. Setelah
dua hari akhirnya tim dokter yang menangani Fia, mendiagnosis Fia mengalami gejala
asam lambung akut seperti kebanyakan pasien yang pernah menderita Covid-19.
Akibatnya selama beberapa hari kedepan Fia harus dirawat di rumah sakit. Sehingga
Rafka pun tetap berada di rumah sakit dan tidak pernah sekalipun meninggalkan Fia
kecuali untuk sholat lima waktu.

-- 0 --
“Aku mencintaimu sayang” ucap Rafka saat Fia akhirnya membuka matanya
dihari ketujuh dirinya di rumah sakit. Tante Irene dan Doni tengah berkunjung untuk
mengantarkan makanan dan pakaian bersih untuk Rafka.

Fia hanya tersenyum, namun matanya menitikkan air mata dalam diam. Rafka
pun menggenggam tangannya, ia menolak semua anjuran dokter yang memintanya
untuk menjaga jarak dengan Fia. Mereka khawatir jika Rafka pun akan terinfeksi oleh
virus yang berada di tubuh Fia.

“Maafkan saya Tuan” sahut Fia lirih.

Rafka tersenyum dan berkata “Apa yang harus aku maafkan?”

“Sebagai karyawan, saya terlalu merepotkan”

“Kamu bukan karyawan biasa” sahut Rafka mendekatkan dirinya ke wajah Fia.
Yang membuat Fia sedikit terkejut, karena jarak mereka terlalu dekat.

“Seharusnya Tuan tidak berada disini” sahut Fia berusaha mengalihkan


pembicaraan.

“Benarkah?” balas Rafka.

“Pergilah” sahut Fia lirih dan lemah.

“Kemana?”

“Kembali ke Indonesia” jawab Fia dengan sedikit kesal karena lawan bicaranya
sepertinya mempermainkannya.

“Berhenti memanggilku Tuan” sahut Rafka dengan lembut “Aku bukan Tuanmu,
dan kamu bukan karyawanku”

“Saya tidak pantas….” sahut Fia berusaha menyanggah perkataan Rafka, akan
tetapi Rafka telah menyerobot kesempatannya berbicara dengan berkata “Aku tidak
akan pergi, walaupun kamu yang memintanya” sahut Rafka tegas.

“Perusahaan membutuhkanmu begitu juga keluarga besarmu. Kamu memiliki


tanggungjawab yang luar biasa besar ketimbang harus menjagaku disini” sahut Fia, dan
Rafka memperhatikan jika Fia sudah mengganti panggilan dirinya.

“Aku tidak akan pergi!” sahut Rafka dengan penuh keyakinan.


“Aku tidak membutuhkanmu” sahut Fia dengan suara lirih karena mengantuk
akibat pengaruh obat. Usaha terakhir Fia agar Rafka menyerah pun sudah ia lakukan.
Namun laki-laki itu benar-benar luar biasa keras kepala mencintainya dan enggan
meninggalkannya.

“Kamu boleh tidak membutuhkanku, namun aku sangat membutuhkanmu.


Jangan pernah sekalipun pergi meninggalkan aku lagi” sahut Rafka dengan berlinang
air mata melihat perempuan yang selama ini telah ia hindari dan sakiti begitu menderita
akibat dari keegoisannya.

“Maafkan atas kesalahan ku selama ini. Aku tidak pernah bertanya padamu, aku
hanya meyakini prasangkaku padamu” tambah Rafka dengan linangan air mata.

“Aku memaafkanmu” sahut Fia lirih lalu tertidur kembali sesaat sebelum Tante
Irene muncul di pintu kamar tempat Fia dan Rafka berada.

“Assalamuallikum”

“Wlaikumussalam” jawab Rafka.

“Bagaimana pendapat dokter Rafka?” tanya Tante Irene.

Rafka membetulkan letak selimut Fia lalu berkata “Masih butuh beberapa waktu
jika ingin membawa Fia pulang. Mereka terus melakukan observasi virus Covid-19 yang
pernah menyerang Fia. Apakah memang itu yang membuat dirinya mengalami asam
lambung akut”

“Apakah ada keluarga yang harus diberi kabar tentang keadaan Fia?”

“Dia sudah tidak mempunyai sanak saudara lagi yang masih hidup di Indonesia”

“Kalau begitu bagaimana jika kalian menetap dulu di sini, mungkin di Moskow?”

“Aku akan memikirkannya” jawab Rafka seraya menggenggam telapak tangan


Fia.

“Jangan” sahut Tante Irene seraya menarik tangan Rafka.

“Kenapa Tante?”

Tante Irene menatap Rafka dan berkata “Kalian bukan muhrim atau pun
mahram. Itu adalah salah satu perbuatan zina. Menikahlah segera agar kalian
terhindar dari dosa”

-- 0 --
Rafka memikirkan terus perkataan Tante Irene ketika kedatangannya ke rumah
sakit untuk menjenguk Fia. Ia pun kemudian menelpon beberapa orang ustad untuk
menanyakan perihal masalah zina dan hal-hal yang menyebabkan terjerumusnya
manusia kedalam perbuatan dosa baik disengaja atau pun tidak disengaja.

Sehingga tepat pada hari ke tujuh Fia dirawat dirumah sakit dan sudah
berangsur pulih Rafka pun mengutarakan pemikirannya agar mereka tidak buru-buru
kembali ke Indonesia. Selain itu juga Rafka mengutarakan pada Fia keinginannya untuk
menikah dengan Fia di Moskow.

“Tuan, apakah Tuan sudah mempertimbangkan segalanya?” tanya Fia dengan


suara yang penuh dengan keraguan.

“Tentu saja sudah sayang” jawab Rafka dengan santuy.

“Ketika kembali ke Indonesia, banyak saudara Tuan yang akan menghujat


keputusan Tuan”

“Aku sudah memikirkannya” sahut Rafka mendekati sisi kanan tempat tidur Fia
sehingga Fia dapat melihat Rafka dengan sangat jelas. Bahkan apa yang dikatakan
oleh Fia merupakan salah satu dari sekian alasan mengapa Rafka mengirim Fia ke
Rusia.

“Kita tidak akan kembali ke Indonesia dalam waktu dekat. Kita akan menunggu
pemulihan dari penyakit yang kamu derita sayang. Setelah semuanya jelas maka kita
pun akan kembali jika kita masih ingin kembali. Dan selama proses pemulihan itu kita
akan menikah di sini”

“Apa?” sahut Fia terkejut dan bingung karena semua yang Rafka ucapkan
seperti orang yang sudah benar-benar matang memikirkan semuanya tanpa meminta
pendapatnya.

“Semua akan jauh lebih mudah” jawab Rafka “Untuk pengurusan surat-surat dan
semua administrasi rumah sakit, dan juga pastinya akan mempermudah semua hal
yang lain”.

Alifia tersenyum, tentu saja atasannya ini memang akan berpikir dengan sangat
praktis. Tapi Fia, tidak mungkin lupa jika Rafka orang yang sangat handal. Rafka akan
memikirkan dengan sangat teliti setiap detail yang kadang dilewatkan oleh bawahan
atau koleganya.
“Tuan, sebentar, tunggu dulu” sahut Fia ragu-ragu “Mengenai pernikahan, kita
tidak boleh terburu-buru. Saya benar-benar tidak bermaksud untuk mempersulit Tuan
atau pun perusahaan. Namun itu bukan berarti juga saya bisa seenaknya merugikan
Tuan, keluarga dan perusahaan Tuan” Fia membetulkan hijabnya sedikit sebelum
kemudian berkata “Saya akan baik-baik saja, setelah beberapa hari lagi saya akan
sehat dan bisa kembali bekerja”

“Lalu apa masalahnya?”

“Masalahnya itu akan muncul ketika, surat penyerta saya sudah keluar, atau
saya sudah berada di Indonesia. Semua surat-surat keterangan yang saya miliki akan
berubah. Dan pasti itu akan memberi dampak pada kehidupan Tuan”

“Maksudmu kita akan dituduh melakukan penipuan?”

Fia menatap atasannya yang sedang mengenakan kaos putih dan celana
berwarna hitam, lalu tersenyum dan berkata “Itu maksud saya Tuan. Saya khawatir
masalah ini akan mempengaruhi posisi Tuan di perusahaan”

“Jika itu masalahnya, kita bisa melakukan pembatalan pernikahan setelah kita
sampai di Indonesia dan itu pun jika kamu menginginkannya” sahut Rafka yang
membuat Fia benar-benar terkejut.

“Maksud Tuan?”

Rafka menatap Fia, dan ia pun berkata dengan penuh percaya diri sewajarnya
dan tidak berlebihan “Kita akan menikah untuk kebaikan semuanya. Kemudian ketika
sampai di Indonesia kita bisa melakukan pembatalan pernikahan”

Mendengar penjelasan Rafka, kenapa hati Fia terasa ngilu dan getir. Walaupun
ia paham maksud Rafka, namun tetap saja terasa begitu menyakitkan.

Rafka tahu jika sepertinya Fia bergerak kearah yang tidak sesuai dengan apa
yang ia harapkan. Namun saat ini Rafka hanya berpikir bagaimana caranya Fia
menyetujui rencana pernikahan ini sesuai dengan jalan pikiran Fia sendiri.

“Apa mungkin kamu punya pacar disini?” tanya Rafka langsung pada Fia, walau
sebenarnya ia mengetahui dengan pasti jika Fia tidak pernah dekat dengan laki-laki
manapun.

“Saya tidak punya pacar” jawab Fia langsung tetap dengan suara yang sopan
“Tapi saya sedang dekat dengan seseorang”

“Boleh aku tahu siapa?”


“Tuan tidak mengenalnya” jawab Fia lugas.

“Tapi kenapa ia tidak datang mencarimu?”

Fia langsung tersenyum malu “Itulah, sepertinya ia tidak memiliki perasaan yang
sama dengan saya Tuan”

“Jika ia mencintaimu pasti ia akan datang mencarimu” sahut Rafka dengan suara
yang lembut. Yang membuat keduanya menyadari bahwa Rafka yang telah mencari Fia
jauh-jauh dari Indonesia ke Ukraina.

“Katakan saja saya sedang tidak beruntung” shut Fia seraya tersenyum.

“Aku yang beruntung masih dapat bertemu denganmu” sahut Rafka dengan
suara yang penuh percaya diri namun terdengar begitu dalam. Sehingga keduanya
saling tatap namun Fia tidak ingin mempercayai apa yang baru saja ia dengar.

Fia dirawat di rumah sakit seminggu kedepan, dan selama itu pula Rafka
membujuknya terus menerus, hingga akhirnya Fia pun luluh dan menerima pinangan
dari Rafka. Dan pada hari ketujuh diminggu kedua, Fia yang masih terbaring di tempat
tidur dalam keadaan yang sangat payah pun menikah dengan Rafka secara resmi, sah
berdasarkan hukum agama dan hukum negara.

Baru saja menginjakkan kakinya kembali di tanah air tercinta Indonesia, Rafka
sudah mendapatkan kabar jika Ayahnya masuk rumah sakit dalam keadaan kritis.
Seketika itu juga Fia langsung menghentikan langkahnya, hanya beberapa detik saja ia
berhenti dan berpikir apa yang sebaiknya ia lakukan.

“Ayo Fia” sahut Rafka memanggil Fia sekedar untuk meyakinkan Fia agar
mengikutinya ke rumah sakit.

“Iya sebentar “ sahut Fia seraya berjalan sedikit cepat menghampiri Rafka. Rafka
lalu menautkan tangan mereka berdua.

“Kita harus cepat sampai rumah sakit” sahut Rafka sangat serius.

“Aku tahu, maafkan aku”

“Tidak apa-apa sayang, ini kali pertama kamu bertemu dengan mereka sebagai
istriku”

“Mengenai itu”
“Mereka akan marah padaku tapi itu sebentar saja. setelah itu mereka pun akan
setuju”

Fia menduga Rafka sedang membicarakan keputusan mereka untuk bercerai


setibanya di tanah air. Walau bagaimana pun ini adalah resiko yang sudah dapat ia
perkirakan sebelumnya. Akan tetapi Fia tidak menyangka secepat ini. Pernikahannya
baru genap satu bulan.

“Maafkan saya Tuan” sahut Fia.

Rafka terkejut mendengar jawaban Fia yang kembali memanggilnya Tuan.


Hatinya terasa ngilu, entah apa yang membuatnya telah melukai hati istrinya. Wanita itu
hanya memandang kedepan dan bahkan berusaha melepaskan tangannya.

Namun sebelum Rafka bertanya pada Fia, Doni sudah melesat memberitahunya
mengenai suatu masalah yang timbul dalam perusahaan. Dan mereka harus bergegas
menuju rumah sakit. Rencananya mereka akan tinggal dulu di Rusia beberapa bulan
untuk mengikuti perkembangan pesantren yang tengah Rafka bangun. Namun kemarin
Mami telpon jika kondisi Ayah memburuk, sehingga mereka pun langsung terbang
menuju tanah air.

Setelah berkendara selama tiga puluh menit akhirnya mereka tiba di rumah sakit
tempat Ayah Rafka dirawat. Semua anggota keluarga berada di luar depan pintu
operasi. Mereka berhamburan memeluk Rafka satu persatu pada saat Rafka muncul
dikoridor tersebut. Semua menangis, bersedih dan sangat khawatir dengan keadaan
Ayah Rafka.

-- 0 --

Fia membuka mukena yang baru saja ia gunakan untuk sholat ashar. Seraya
menyeka air matanya, Fia pun sudah membulatkan tekadnya untuk melakukan
keputusan yng sudah ia pikirkan matang-matang sedari tadi.

Perlahan ia masukkan mukena itu kedalam tasnya dan merogoh ponselnya


didalam tasnya itu. Ponselnya sedang dalam mode silent, sehingga ia tidak mengetahui
jika ada yang menghubunginya. Pada bagian layar Fia dapat melihat nama suaminya.

Fia memang sengaja meninggalkannya di koridor tempat seluruh keluarga


menunggu operasi mertuanya. Setelah menunggu selama satu jam, akhirnya operasi
jantung pun selesai dan dinyatakan berhasil. Tinggal menunggu perkembangan dan
observasi selama beberapa hari kedepan. Saat itu ia melihat kedatangan Mia beserta
beberapa orang keluarga Rafka dari Rusia. Mereka kebetulan sedang berada di
Indonesia menghadiri salah satu kerabat mereka yang melaksanakan resepsi
pernikahan. Fia juga melihat Mariam dan keluarganya datang. Fia ingat Mariam adalah
salah satu artis di tanah air yang pernah diisukan menjadi tunangan Rafka sebelum ia
berangkat ke Rusia.

Fia memasukkan kembali ponselnya, dan menguatkan dirinya yang masih jet lag
untuk kembali ke koridor, kembali ke kehidupan yang nyata. Perlahan ia mengenakan
sepatunya dan melangkah pergi dari mushola rumah sakit.

“Nyonya …. Nyonya…” sahut Doni yang ternyata sudah berada di depan Fia.

“Iya”

“Maaf Nyonya, Tuan sudah menunggu Nyonya dari tadi”

“Mas Doni, panggil saya Fia aja seperti biasa” sahut Fia mengalihkan
pembicaraan.

“Maaf Nyonya saya gak berani” jawab Doni jujur.

“Kita udah sampai di Indonesia, bukan di Rusia atau Ukraina lagi” balas Fia
seraya tersenyum.

“Tetap saja, saya rasa itu kurang sopan Nyonya”

“Tuan sudah sholat?”

“Sudah Nyonya, Tuan tadi sholat didalam kamar Tuan besar”

“Alhamdulillah” sahut Fia tersenyum.

“Nyonya sudah ditunggu Tuan “

“Dimana?” tanya Fia dengan ramah “Padahal tadi aku sudah ijin untuk sholat
dulu di mushola”

“Mari Nyonya ikut saya” sahut Doni sopan agar istri Tuannya mau mengikuti
dirinya menuju satu ruangan VIP di lantai 17 tepatnya dua lantai diatas lantai mereka
berada saat ini.

Setelah menaiki lift selama satu menit dan kemudian berbelok ke salah satu
ruangan VIP, barulah Fia dapat bertemu dengan Rafka dan seluruh keluarganya. Fia
melihat Mbak Hani, Anggy, Miss Nadia dan seorang wanita setengah baya yang terlihat
masih cantik duduk disebelah tempat tidur, sepertinya itu Mami. Juga ada Bagas dan
beberapa kerabat dekat lainnya. Dan yang pasti ada Ayahnya Rafka sedang berbaring
di tempat tidur rumah sakit.

“Assalamuallaikum” sahut Fia agak canggung.

“Walaikumussalam, kemarilah Fia” sahut Rafka yang duduk di kursi disebelah


tempat tidur. Fia berjalan menuju Rafka seraya menebarkan senyuman keseluruh
anggota keluarga Rafka yang hadir disana. Setibanya didepan Rafka, Rafka langsung
menggandeng tangannya dan berkata “Tanpa mengurangi rasa hormat, terlebih dengan
keadaan Ayah saat ini. Perkenalkan semua, ini adalah Alifia istriku”

Semua orang yang berada didalam ruangan itu menatap Fia dengan penuh rasa
tidak percaya, hanya sebagian yang tersenyum bahagia, hanya Miss Nadia dan Bagas
yang benar-benar terlihat tulus merestui mereka. Mia dan keluarganya terlihat sedikit
sinis, namun ketika Mia hendak mempertanyakan pernikahan mereka, Oom Alex
mengagalkannya dengan mengucapkan selamat pada Fia dan Rafka.

-- 0 --

Fia meletakkan tas tangannya dimeja kopi dengan sembarang. Ia merebahkan


tubuhnya yang terasa limbung disofa yang ada dihadapannya. Tubuhnya terlalu lelah
untuk berjalan ke tempat tidur.

Setelah ia menunggu selama lima jam di rumah sakit, Rafka memintanya untuk
istirahat lebih dulu, sedangkan ia masih berada disana untuk berkonsutasi dengan
dokter yang merawat Ayahnya.

Baru saja ia berbicara dengan Mia di lobby hotel sebelum ia diantar Doni menuju
kamar ini. Kebetulan Rafka juga menyewakan kamar untuk Mia dan keluarganya di
hotel ini. Wanita itu begitu gigih memperjuangkan cintanya pada Rafka. Bahkan wanita
itu juga mempertanyakan keputusannya bersama Rafka yang berencana untuk bercerai
setelah berhasil tiba di Indonesia.

Andai dirinya memiliki keberanian seperti wanita cantik itu, mungkin keadaannya
akan lebih baik dari ini. Mungkin ia tidak akan menjadi beban yang selalu saja
merepotkan orang lain dan seolah meminta mereka berkorban untuknya.

“Aku sengaja datang kesini untuk melihat kalian bercerai” sahut Mia dalam
bahasa Rusia.

“Rafka hanya membantuku saat di Rusia”


“Aku tahu itu. Aku hanya penasaran kapan kalian akan melaksanakannya”

“Sebaiknya kamu bertanya padanya bukan padaku” sahut Fia juga dalam
bahasa Rusia.

Mia tersenyum lalu berkata “Aku mengenalnya dengan sangat baik, ia tidak akan
tega untuk mengatakan hal yang sejujurnya saat di Rusia. Jadi aku datang hanya untuk
memastikan bahwa dirimu tahu persis apa kedudukanmu dimatanya”

“Kamu tidak perlu memberitahuku” balas Fia.

“Aku kesini untuk Rafka”

“Ia gak ada, sepertinya ia pulang kerumahnya” sahut Fia yang membuat Mia
akhirnya pergi meninggalkannya. Mia tidak mempercayai perkataan Fia, dan langsung
menghubungi Rafka melalui ponselnya.

Saat Mia pergi, Fia langsung menuju kamar diantar oleh Doni dan OB.
Sepanjang perjalanan itu Fia hanya diam dia tidak mengatakan apapun karena
menahan lelahnya.

Tiga puluh menit kemudian Rafka menghampiri Fia dan memindahkannya ke


tempat tidur. Sebenarnya Rafka sangat lelah, namun ia tidak mau berbaring disamping
Fia. Gadis yang sudah ia nikahi selama satu bulan ini, termasuk jenis yang langka.
Bukan karena rupanya yang manis dan cantik, melainkan prinsip yang ia pegang teguh.
Rafka buru-buru memalingkan wajahnya dari menatap istrinya, ia khawatir tidak dapat
melawan keinginannya yang terpendam.

Rafka berjalan ke sofa dan mulai menghubungi beberapa orang terkait dengan
proyek yang sedang ia kerjakan. Setelah tiga puluh menit berlalu, ia pun merebahkan
dirinya diatas sofa. Namun lima menit kemudian Rafka terbangun karena mendengar
suara dari arah tempat tidur. Rafka berjalan menghampiri tempat tidur, sembari
menatap wajah istrinya. Ia melihat Fia mengingau. Lalu Ia pun spontan merebahkan
tubuhnya yang sudah terlalu lelah dan tidur memeluk istrinya untuk pertama kalinya
agar Fia tenang dan kembali tidur nyenyak.

-- 0 --
Tepat pukul 05:00 Fia membuka matanya dan terkejut ketika menyadari ia
sedang berada di atas kasur. Dilihatnya sprei kasur disebelahnya berantakan , ia
langsung bertanya dalam hati apakah ia sendirian tidur diatas kasur tersebut. Sehingga
ia buru-buru terbangun dan mendapati dirinya telah bangun kesiangan.

“Selamat pagi” sahut Rafka hanya mengenakan kaos oblong dan celana panjang
berbahan denim.

“Tuan” sahutnya terkejut dan langsung meraba rambutnya, yang ternyata


hijabnya sudah ia tanggalkan. Namun seingat Fia, semalam ia masih mengenakan
hijab.

“Aku yang membukanya semalam” sahut Rafka ringan.

Ya Allah, gumam Fia dalam hati ia langsung berjalan cepat menuju sofa untuk
mencari hijabnya. Namun hijab itu tidak ada disana.

“Kenapa sayang?” tanya Rafka pura-pura tidak mengerti seraya berdiri didepan
Fia.

“Maaf Tuan saya kesiangan” sahut Fia terbata.

“Ayo cepat mandi, ambil wudhu terus sholat subuh dulu. Sebentar lagi kita
sarapan” balas Rafka tidak menghiraukan bagaimana canggungnya Fia tidak
mengenakaan hijab didepannya.

“I..Iya Tuan” sahut Fia lalu berjalan menuju kamar mandi.

Rafka membuka koper milik istrinya dan tercengang melihat apa yang ada
didalamnya. Bagaimana mungkin ia tidak memperhatikan selama ini jika istrinya hanya
membawa pakaian beberapa helai saja. Kemudian ia buru-buru menutup koper
tersebut, khawatir jika Fia mengetahuinya dan merasa rendah diri karenanya. Lalu
meraih ponselnya dan menghubungi beberapa koleganya untuk memesan beberapa
setel baju untuk Fia. Istrinya itu memang tidak pernah sekali pun mengeluh tentang
apapun. Rafka sudah berencana agar bisa merubah hal itu.

Lima belas menit sudah berlalu, Fia akhirnya keluar dari kamar mandi masih
mengenakan pakaian yang tadi ia kenakan. Fia membuka kopernya dan memilih salah
satu kulot berwarna hitam dan kaos lengan panjang berwarna abu-abu, juga hijab
berwarna abu-abu dengan garis salur tipis berwarna hitam dibeberapa bagiannya, lalu
langsung melaksanakan sholat subuh.
“Hari ini kita akan melihat beberapa rumah” sahut Rafka spontan seraya
bersandar ke meja rias saat dilihatnya Fia sudah menyelesaikan sholatnya.

“Rumah dimana Tuan?”

Rafka memperhatikan bahwa Fia tidak menanyakan rumah untuk siapa?. Rafka
tersenyum lalu duduk di tempat tidur seraya berkata “Terserah kamu maunya dimana”

Fia diam sejenak kemudian berdiri dan merapihkan sisir serta bedaknya ke
dalam tas tangannya. Tubuhnya masih lelah, namun ia tidak mengatakannya pada
Rafka. Fia tidak mau dirinya menjadi beban dan membuat Rafka lebih repot.

“Kamu sakit?” tanya Rafka langsung setelah memperhatikan air muka Fia.

“Tidak Tuan”

Tangan Rafka langsung memegang dahi Fia, yang membuat Fia terkejut.

“Maaf sayang, kemarin aku tidak memperhatikan keadaanmu, hanya sibuk


mengurus Ayah”

“Tidak apa-apa Tuan, saya tidak sakit ” sahut Fia mundur dengan halus.

Rafka langsung menarik tangan Fia “Jangan panggil aku Tuan”. Kemudian Rafka
menariknya hingga Fia duduk disampingnya. “Kamu masih lelah bukan, begitu juga
aku”

“Karena Tuan harus mengurus semuanya” sahut Fia sambil lalu.

“Panggil saja aku Rafka” sahut Rafka seraya menatap Fia “Aku suka caramu
memanggil namaku” tambahnya Rafka lalu tersenyum manis.

“Maaf Tuan, rasanya saya tidak sopan”

“Kamu bukan karyawanku, kamu adalah istriku. Dan saat ini aku masih harus
mengurus Ayah dan perusahaan, tunggulah beberapa hari lagi hingga keadaan Ayah
membaik. Saat ini aku benar-benar membutuhkanmu” sahut Rafka lalu menautkan
jemarinya dengan Fia.

“Saya akan menunggu sampai Ayah Tuan membaik”

“Setelah itu, kita akan mempersiapkan rumah dan lain sebagainya untukmu”

“Tidak perlu Tuan…” jawab Fia seraya melepaskan jemariny dari jari Rafka.

“Rafka” sahut Rafka


Fia kemudian mengulangi kalimatnya “Rafka tidak perlu mempersiapkan rumah”

“Kenapa?” tanya Rafka tetap dengan suara yang tenang.

“Saya berencana untuk kembali kekampung halaman saya”

Rafka terkejut dan menatap Fia dengan bingung “Kembali kekampung


halaman?”

“Saya mau mengunjungi pesantren di kampung halaman saya beberapa hari”

Rafka menatap istrinya, ia harus memikirkan sesuatu mengenai hal ini.


Sepertinya istrinya tengah bergelut dengan suatu permasalahan, dan itu ada sangkut
pautnya dengan dirinya. Doni sudah menceritakan padanya semalam mengenai
peristiwa di lobby dengan Mia. Karenanya hari ini ia benar-benar bahagia, karena apa
yang terjadi semalam sudah ia rencanakan sebelumnya. Ia bukan hanya berpikir praktis
dengan menempatkan Mia dan keluarganya di hotel yang sama dengannya. Tapi juga
ingin membangun kedekatan dengan Fia. Karena selama ini Rafka tidak pernah
menyentuh Fia sedikit pun.

“Oke kalau begitu biar aku antar” sahut Rafka dengan lugas.

“InsyaAllah saya pergi kesana lusa” sahut Fia yang menyadarkan Rafka jika Fia
bermaksud untuk berangkat sendiri.

“Kita akan pergi bersama” sahut Rafka dengan suara yang tenang tapi tegas.
“Doni sudah mengajukan cuti beberapa hari yang lalu. Aku minta tolong kamu
membantuku dulu” sahut Rafka seraya meraih ponselnya dan buru-buru kirim pesan
pada Doni untuk tidak datang ke hotel.

Beberapa detik kemudian pesan balasan dari Doni pun muncul “Tapi saya sudah
di lobby hotel Tuan”

“Balik ke kantor, dan selesaikan persiapan proyek yang semalam sudah kita
bicarakan”

“Baik Tuan” Doni membalas chat dari Rafka dan langsung pergi ke luar untuk
menaiki taksi.

Fia diam, ia benar-benar tidak ingin jika usahanya kali ini gagal. Akan tetapi Fia
pun menyadari dengan sangat baik, jika lawan biacaranya adalah seseorang dengan
skor IQ 135 dan kemampuan strategi bisnis yang handal.

Rafka tiba-tiba berbaring di tempat tidur dan memeluk pinggang Fia “Semalam
aku kurang tidur, bisa kah kau menemaniku disini sebentar”. Fia sedikit menggeliat ia
enggan berdekatan dengan Rafka, namun Rafka tetap memeluknya. Ia ingin Fia
terbiasa dengan kehadirannya.

“Bagaimana keadaan Ayah?”

“Mami dan Nadia menjaganya di rumah sakit. Anggy dan Bagas akan datang
pagi ini untuk bergantian dengan mereka. Aku sudah mengatakan kita akan ke sana
sore karena kita pun masih jet lag. Semalam aku sudah konsul dengan dokter, karena
operasi berhasil, maka masa kritis Ayah sudah terlewati”

“Maaf, sebentar lagi kita sarapan bukan?”

“Aku ingin memeluk istriku dulu pagi ini” jawab Rafka dengan suara yang lembut.
Rafka sudah mulai mengerti bagaimana cara berpikir istrinya yang sedikit rumit itu. Ia
tahu jika saat ini Fia sedang dalam keadaan bimbang karena merasa menjadi beban
untuknya. Karena itu Rafka akan menunjukkan padanya betapa ia mencintai Fia dan
tidak ingin berpisah darinya “Semalam aku pun tidur disini dengan memelukmu”.

Perkataan Rafka terakhir mengejutkan Fia, ia sudah menduganya saat melihat


sprei di sebelahnya berantakan. Namun ia pun bingung, mengapa Rafka melakukan itu
jika sebentar lagi mereka akan berpisah.

“Aku bertemu dengan Mia semalam” sahut Fia terdengar sedikit ragu-ragu.
Rafka tersenyum mendengar perkataan Fia, akhirnya istrinya mulai berani
mengutarakan isi hatinya.

“Mia akan menikah dengan Jared” sahut Rafka sambil lalu. Semalam dia sudah
berbicara dengan Jared, salah satu sepupu jauhnya yang tinggal di Moskow. Rafka
berencana menjodohkan keduanya, bahkan menawari Jared posisi CEO salah satu
perusahaannya disana.

“Benarkah?” tanya Fia terkejut.

“Itu belum resmi, dia akan datang ke sini untuk menemuiku sekaligus bertemu
dengan Mia”

“Tapi bagaimana denganmu?” tanya Fia serius.

“Aku sudah memiliki seorang istri yang aku cintai” jawab Rafka.

“Mia menanyakan tentang perceraian kita semalam”

“Lalu apa jawabmu?” tanya Rafka yang kemudian duduk dari tidurnya. Akhirnya
istrinya yang polos itu menanyakan hal yang sangat ingin ia jawab selama ini.

“Aku menyuruhnya untuk bertanya padamu”


“Benarkah?” tanya Rafka seraya tersenyum dan menatap wajah Fia yang terlihat
gelisah. Fia menatapnya dengan tidak enak hati, wajahnya yang terlihat tertekan
dengan keadaan inilah yang meluluhkan hati Rafka. Wanita ini tidak pernah meminta
apapun padanya, tidak uang, kekayaan bahkan cinta. Tapi wanita ini malah
membuatnya ingin memberikan semua itu dengan suka rela.

“Kita sudah tiba di Indonesia, maka sesuai dengan perjanjian yang telah kita
lakukan. Kita harus bercerai, maksudnya membatalkan pernikahan”

“Kenapa?” tanya Rafka sekenanya “Perjanjian yang mana?”

Ditanya langsung seperti itu Fia malah menatap Rafka dengan tidak percaya.
Laki-laki yang sudah membantu menjadi suaminya selama satu bulan ini menatapnya
dengan tatapan membingungkan.

“Kamu yang mengatakan itu” sahut Fia sedikit kesal.

“Aku hanya mengatakan bisa tapi aku tidak pernah berjanji unuk melakukannya
bukan?”

“Aku hanya ingin mempemudah semuanya” balas Fia

“Tentu saja” sahut Rafka” Tapi sebelumitu aku mau kau menjawab pertanyaanku
dengan jujur. Apakah selama satu bulan ini kamu menilai diriku tidak layak untuk
menjadi suamimu?”

Lagi-lagi Fia menatap Rafka dengan enggan sebelum akhirnya memalingkan


wajahnya “Apakah kau mau membuatku tampak bodoh?”

“Apakah aku telah menyakitimu dan tidak bisa menjadi imam yang baik untuk
keluarga kita?”

Mendengar pertanyaan Rafka, Fia hanya diam dan tidak menjawabnya. Rafka
yang saat ini memang jauh berbeda dengan bos nya yang dulu, namun Fia tidak
merasa bahwa dirinya pantas untuk meminta lebih setelah apa yang telah Rafka
berikan padanya.

Fia sudah mengetahui dengan baik kemampuan negosiasi Rafka, jika ia tidak
buru-buru pergi maka ia bisa menduga dengan cepat bahwa dirinya akan lebih
terjerembab ke dalam plot yang sudah Rafka siapkan. Fia berdiri dari duduknya, namun
ketika ia akan melangkah pergi Rafka menahan tangannya.

“Apakah kamu tidak menyadari bahwa kita tidak sekufu?” tanya Fia dengan
sangat percaya diri.
“Apakah kamu tidak bisa memaafkan aku?” balas Rafka yang menyadari jika
istrinya ini masih berkutat dengan perbedaan kasta yang membebaninya.

“Apa yang harus aku maafkan, justru aku yang harus berterimakasih padamu”

“Apakah kamu tidak bisa mencintaiku?” tanya Rafka tanpa babibu. Rafka tidak
akan membuat Fia menyerah untuknya.

“Kamu membuatku bingung” jawab Fia terus terang.

“Kenapa aku membingungkan?” tanya Rafka menggiring istrinya agar paham


dengan maksudnya.

“Berterimakasih dan mencintai itu dua hal yang berbeda”

“Aku berharap kau dapat mencintaiku” balas Rafka tanpa keraguan sedikit pun.

“Banyak yang bisa kau pilih dari jenis yang kau inginkan, hanya saja yang pasti
itu bukan aku” jawab Fia dengan suara yang sedikit bergetar. Cintanya pada Rafka
memberikan dorongan yang tertinggi untuk memberikan yang terbaik. Dan dirinya
bukanlah wanita yang pantas untuk mendampingi laki-laki ini. Hatinya terasa ngilu dan
nyeri namun ia tidak akan menyerah agar Rafka bahagia.

“Tapi aku hanya menginginkanmu” sahut Rafka lalu memeluk pinggang istrinya.

“Tuan, kau akan menyesal” sahut Fia lirih. Fia berharap dirinya tidak menjadi
serakah dan ingin memiliki Rafka. Tangan Fia berusaha melepaskan tangan Rafka
yang melingkar dipinggangnya.

“Apakah kau tahu jika Allah tidak menyukai perceraian?”

Mendengar pertanyaan Rafka membuat Fia berhenti berusaha melepaskan


tangan Rafka.

“Apakah kau menyesal menjadi istriku?” tanya Rafka seraya berdiri dan menatap
langsung ke mata istrinya. Fia tidak berani membalas tatapannya, ia memalingkan
wajahnya seraya berusaha menyembunyikan apa yang ada dalam hatinya. Namun
Rafka dapat merasakan cinta yang wanita itu berikan padanya begitu tulus sehingga
hanya memikirkan bahwa mereka tidak dapat bersama lagi sudah membuat hatinya
meradang.

Rafka menyentuh wajah istrinya, hal yang sudah lama ingin ia lakukan. Namun
Fia tetap mencoba memalingkan wajahnya, karena air matanya sudah memenuhi
pelupuk matanya. Dan Rafka pun tidak menunggu Fia untuk menjawab. Ia langsung
memeluk tubuh mungil istrinya yang begitu rapuh. Fia berontak berusaha melepaskan
pelukannya akan tetapi Rafka mencoba dengan sekuat tenaga untuk menerobos
tameng yang dibuat oleh istrinya itu. Ia tahu makhluk Allah Subhanahutaala yang satu
ini memang jodoh yang diberikan untuknya.

“Kau bisa memberiku waktu, agar kita berdua bisa mengambil keputusan yang
terbaik” sahut Fia tidak menyerah. Rafka menyadari jika Fia akan menggunakan jalan
memutar sehingga pada akhirnya semua akan terjadi sesuai dengan prediksinya.

“Apakah kau pikir aku Rafka Abbiya akan melepaskan mu Alifia Syazani begitu
saja?”

“Tentu saja “ jawab Fia cepat.

“Kita tidak akan bercerai, insyaAllah aku mencintaimu saat ini dan nanti. Aku
berharap kita bisa bersama di dunia dan akhirat” sahut Rafka yang membuat air mata
Fia tak terbendung lagi.

“Aku akan menjadi beban untukmu. Dan aku akan membenci diriku karenanya”
sahut Fia dengan suara sedikit bergetar.

“Akan ada banyak masalah untuk kita hadapi, terlebih dengan situasi ekonomi
seperti ini. Kita harus berjuang sampai keadaan kembali membaik. Karena itu aku
mohon padamu untuk berani mencintaiku dan menerima kekuranganku. Bisakah kau
melakukan itu?” .

Rafka menyadari jika Fia sangat keras kepala, sehingga ia memberikan


gambaran kondisi yang kurang menguntungkan bagi Fia jika berada disisinya untuk
memancing ketulusan hati Fia.

Perkataan Rafka tepat mengenai sasaran. Fia menatap mata suaminya dan bisa
merasakan ketulusan suaminya, sehingga ia pun mengangguk pelan. Rafka bersorak
kegirangan, ia memeluk erat Fia, keduanya tersenyum bahagia.

Anda mungkin juga menyukai