PRAKTIKUM
FISIKA DASAR II
Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Puji syukur tersebut teriring
dengan terselesaikannya perbaikan buku panduan praktikum Fisika Dasar II yang sejak
tahun 2006 belum mengalami revisi.
Buku panduan praktikum ini, pada dasarnya mengacu pada silabus mata kuliah Fisika
Dasar II untuk bab Gelombang-Optik dan Listrik-Magnet. Namun demikian buku panduan
ini masih jauh dari sempurna.
Secara umum buku ini terbagi ke dalam dua bagian utama yaitu bab mengenai optik
yang terdiri dari modul: indeks bias, cermin, sifat lensa dan cacat bayangan, mikroskop,
spektrometer, polarimeter, dan osiloskop. Sedangkan bab beriktutnya adalah listrik yang
terdiri dari 3 modul: arus bolak-balik, watak lampu pijar, dan transformator. Selain itu,
buku panduan praktikum ini juga dilengkapi pembahasan tentang metode statistik dalam
pengolahan data. Hal tersebut dimaksudkan agar mahasiswa memahami bagaimana
melakukan analisis yang lebih komprehensif terhadap data hasil praktikum dengan
menghitung faktor ketidakpastian dalam pengukuran. Angka penting juga disajikan agar
mahasiswa memahami bagaimana menulis hasil kuantitatif dari praktikum yang telah
dilakukan.
Pada penulisan buku panduan praktikum Fisika dasar II ini, kami mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang membantu perbaikan-perbaikan. Ucapan terima kasih
terutama ditujukan kepada Ketua Jurusan Fisika Bapak Prof. Dr. Agus Setyo Budi, dan
kepada Dr. Esmar Budi, Hadi Nasbey, M.Si, Iwan Sugihartono, M.Si, serta seluruh tim
dosen Fisika Dasar di lingkungan civitas akademik Jurusan Fisika FMIPA Universitas
Negeri Jakarta. Tak lupa kami sampaikan juga terima kasih kepada Sifa Alfiyah selaku
asisten dosen yang turut membantu dalam proses penulisan perbaikan buku panduan
praktikum ini.
Akhir kata kami haturkan semoga buku panduan praktikum Fisika Dasar II ini dapat
bermanfaat bagi seluruh mahasiswa yang sedang mengambil mata kuliah Praktikum Fisika
Dasar II.
1
DAFTAR ISI
2
TATA TERTIB
3
Lembar Data Pengamatan
Praktikum Fisika Dasar
Prodi Pend. Fisika FMIPA Universitas Negeri Jakarta
4
METODE STATISTIK DALAM PENGOLAHAN DATA
Metode least Square merupakan metode yang banyak digunakan untuk melihat
kecenderungan linier dari suatu data pengamatan. Misalkan kita memiliki sejumlah data
pengamatan yaitu:
𝑥 ⟶ 𝑥1 , 𝑥2 , 𝑥3 , … , 𝑥𝑛 (1)
𝑦 ⟶ 𝑦1 , 𝑦2 , 𝑦3 , … . , 𝑦𝑛
a
y x x xy
2
(3)
n x x
2 2
n xy x y
b (4)
n x 2 x
2
x
2
s s
a y
n x x
2 2
(5)
n
s s
b y
n x x
2 2 (6)
1
x
2
y 2 2 xi xi yi yi n xi yi 2
i i
s y n 2 yi
2 2
n x x
(7)
2 2
5
r x, y
s xy
x x y y
i i
(8)
ss x x y y
2 2
x y i i
n xi yi xi yi
r x, y
n x x n y
(9)
yi
2 2 2 2
i i i
Distribusi Normal
1) Susun data dari terkecil misal A sampai yang terbesar misal Z. Kemudian tentukan
Z – A.
2) Tentukan jumlah kelas K, pilih bilangan ganjil: 3, 5, 7, 9, ... untuk jumlah data
lebih besar dari 40, bila ragu-ragu gunakan persamaan
𝑍−𝐴
3) Hitung interval kelas yaitu =
𝐾
4) Susun tabel interval kelas dengan menentukan frekuensi 𝑓 (jumlah data yang
memenuhi kelas). Gunakan angka pertama kelas pertama lebih kecil dari A dan angka kelas
𝑍−𝐴
terakhir lebih besar dari Z. Misal A = 0.0803, Z = 0.1278 dan K = 19 maka nilai =
𝐾
0.0025
Kelas 𝑓𝑖
0.0800 – 0.0825 ....
0.0826 – 0.0850 ....
...
6
...
...
...
...
0.1256 - 0.1281 ....
5) Bila bentuk grafik mendekati simetri, tentukan data tengah, missal 0.0800-0.0825
dan nyatakan dengan 𝑥𝑖
6) Untuk harga 𝑥𝑖 besar atau sangat kecil, penyelesaian dapat dipermudah dengan
menggambar harga 𝑥𝑖 baru berbentuk bilangan bulat dari 0, 1, 2, 3, ... dst.
𝑖𝑓 𝑖 𝑥 𝑖 −𝑥 𝑍−𝐴
𝐹 = 𝑥∗ + (11)
𝑁 𝐾
2− 2 1 2
𝑖𝑓 𝑖 𝑥 𝑖 −𝑥 𝑖𝑓 𝑖 𝑥 𝑖 −𝑥 𝑍−𝐴
𝑆= (12)
𝑁 𝑁−1 𝐾
7
Hasil akhir X = F ± S
Catatan
Harga S > 0 hanya bila grafik distribusi berbentuk normal atau simetris. Bila tidak simetris
lakukan seleksi data, buang data yang diperkirakan membuat simpangan besar. Kemudian
susun kembali kelas interval baru sampa berbentuk simetris.
Perhatikan hasil pengukuran ketebalan buku tebal sebagai berikut: x1 = (12,1± 0,5 ) mm
dan x2 =(12,0 ± 0,06) mm. Yang pertama mengandung arti bahwa tebal yang benar berada
dalam selang 11,6 mm 12,6 mm, sedangkan yang kedua berarti tebal yang benar berada
dalam selang 11,94 – 12,06 mm.
Pengukuran ketebalan tebal pertama, dinyatakan dengan tiga angka penting, sedangkan
pengukuran kedua dinyatakan dalam empat angka penting. Semakin teliti suatu besaran
kita ketahui, semakin banyak angka – angka berarti dapat diikut sertakan dalam
pelaporannya. Hal ini menjadi lebih jelas lagi dengan memperdalam pengertian tentang
ketelitian suatu pengukuran.
Pernyataan x = x ± x, menyatakan ktp mutlak dari besaran x dan mengambarkan mutu
alat ukur yang pakai. Sedangkan x/x dengan mengalikan dengan 100 %, menyatakan
ketelitian pengukuran (ktp) relatif yang dikaitkan dengan ketelitian pengukuran. Makin
kecil ktp relatif, makin teliti pengukuran tersebut.
Dari contoh di atas x /x = (0,5/12,1)x100% = 4,1% untuk tebal pertama, dan x/x
=(0,06/12,06)x100% = 0,5 % untuk tebal kedua. Dikatakan bahwa pengukuran ketebalan
kedua memiliki ketelitian sebesar kira-kira 10x dari ketelitian pengukuran ketebalan
pertama.
8
ATURAN PRAKTIS
Contoh
x = 1202 ± 10% berarti (1202 120,2). Dengan 2 AP hasil pengukuran ini harus ditulis
x = (1,2± 0,1) x 103
x = 1202 ± 1% berarti (1202 ± 12,02). Dengan 3 AP hasil pengukuran ini harus ditulis
x = (1,20 ± 0,01)x 103.
x = 1202 ± 0,1% berarti (1202 ± 1,202). Dengan 4 AP hasil pengukuran ini harus ditulis
x = (1,202 ± 0,001) x 103.
9
FORMAT LAPORAN AKHIR
Penulisan laporan
1. Laporan ditulis di kertas HVS ukuran A4 boleh bolak-balik
2. Ditulis menggunakan tulisan tangan yang rapi
3. Pembuatan grafik hasil pengolahan data dilakukan di kertas milimeter blok dengan
skala yang presisi
Judul praktikum
Nama :
NIM :
Jurusan / Prodi :
Kelompok :
Nama Percobaan :
Tanggal Percobaan :
Tanggal Pengumpulan :
Nama Asisten :
2. Halaman berikutnya:
a. Tujuan
b. Alat dan bahan
c. Teori Dasar
d. Cara kerja
10
2. Data percobaan
3. Pengolahan data
4. Analisis dan pembahasan
5. Kesimpulan dan saran
6. Daftar pustaka
11
OPTIK (O)
12
O1: INDEKS BIAS
A. TUJUAN
1. Menentukan indeks bias berbagai larutan dengan berbagai konsentrasi.
2. Menentukan sudut kritis larutan.
C. TEORI DASAR
Apabila seberkas cahaya mengenai bidang batas antara dua medium yang berbeda, maka
berkas cahaya itu akan dipantulkan (refleksi) dan biaskan (refraksi). Pada gejala refleksi
maupun refraksi tersebut berlaku hukum Snellius :
a) Apabila seberkas cahaya datang pada bidang batas antara dua medium dengan
indek bias masing-masing n dan n maka cahaya tersebut akan dipantulkan dan
dibiaskan.
b) Berkas cahaya pantul sebidang dengan berkas cahaya dating, dan memiliki sudut
pantul sama dengan sudut datang atau dapat dituliskan (i) = (p), dimana (i)
adalah sudut datang dan (p) adalah sudut pantul.
c) Sedangkan bila cahaya tersebut dibiaskan, maka berlaku:
sin i n'
(1)
sin r n
n'
disebut indeks bias relatif dari medium kedua terhadap medium pertama.
n
Jika sudut bias r = 90, sehingga sin r = 1, maka sudut datang i disebut sudut kritis (ic).
Sehingga, bila seluruh berkas cahaya yang datang pada bidang batas antara medium
tersebut akan dipantulkan semuanya/sempurna.
13
n n
p r normal
Refractometer
Jika berkas cahaya datang dari zat antara dengan indeks bias n dan mengenai sisi prisma
(indeks bias n) dengan sudut hampir 90 maka diperoleh persamaan berikut:
1. Pada saat cahaya masuk prisma, berdasarkan persamaan 1) berlaku:
n = n sin r1 (2)
2. Pada saat cahaya masuk prisma, berdasarkan persamaan 1) berlaku:
n sin r2 = n sin i2 (3)
3. Sedangkan
= r1 + i2 (4)
14
n
r1
sin r1
n'
sin r2 (5)
n
Pada prisma, besaran-besaran seperti n, dan sudut kritis prisma (r1) merupakan besaran
tertentu yang besarnya tergantung pada bahan dan jenis prisma, dan nsin(-r1) merupakan
suatu ketetapan (sebut saja k). Maka
k
sin r2 (6)
n
k
dengan k = nsin(-r1) atau n . Indeks bias n dapat dihitung jika r2 diketahui.
sin r2
C. CARA KERJA
Refractometer sederhana
1. Isilah bejana dengan larutan dengan konsentrasi tertentu.
2. Tempatkanlah standar S didinding bagian belakang bejana.
3. Ukurlah A dan X sebagai sudut datang.
4. Buatlah S, O dan A terlihat jika diamati melalui larutan (A akan berpindah ke A
jika diamati melalui larutan).
5. Ukurlah x dan x yang menunjukkan kedudukan titik A dan A.
6. Ukurlah sudut bias sebagai A dan X.
15
7. Ubahlah letak S dan catat kedudukan A dan A serta X dan X seperti langkah 6 dan
7.
8. Lakukan percobaan diatas untuk bermacam-macam konsentrasi, misalnya 50%,
40%, 30%, 20% dan 10%.
Refractometer Abbe
1. Catatlah temperatur di ruang anda kerja.
2. Aturlah lensa refractometer sehingga garis silang dan skala tampak jelas.
3. Bersihkanlah prisma dengan kain lunak dan bersih.
4. Teteskan cairan yang akan diukur indeks biasnya (beberapa tetes) pada prisma
penerang, kemudian rapatkan kembali prisma penerang dan pengukur.
5. Putarlah pemutar disebelah kanan sehingga batas gelap terang tepat pada garis
silang. Bacalah skalanya!
D. PERHITUNGAN
1. Hitung indeks dan sudut kritis masing-masing larutan pada percobaan
Refractometer sederhana !
2. Hitung indeks bias masing-masing larutan pada percobaan Refractometer Abbe !
3. Berdasarkan data hasil percobaan yang telah anda lakukan, buatlah grafik
hubungan antara indeks bias dengan konsentrasi larutan serta hubungan antara
sudut kritis dengan konsentrasi larutan!
E. PERTANYAAN
1. Jelaskan mengapa apabila seberkas cahaya sampai pada batas antara dua medium
transparan akan terjadi refleksi dan refraksi!
2. Jika seberkas cahaya datang dari ruang hampa menuju zat antara, apa yang terjadi?
Jelaskan berdasarkan persamaan 1)!
3. Bagaimana pendapat anda tentang hubungan antara indeks bias relatif dengan
indeks bias mutlak dalam percobaan ini?
4. Bagaimana pendapat anda pengukuran indeks bias dengan Refractometer Abbe?
16
O2: C E R M I N
A. TUJUAN
1. Menentukan jarak titik api (fokus) cermin cekung dan cembung.
2. Menentukan jarak benda dan jarak bayangan pada cermin cekung dan cermin
cembung.
3. Mengambil kesimpulan sifat-sifat bayangan yang dibentuk oleh cermin cekung dan
cembung.
C. TEORI DASAR
Cermin membentuk bayangan melalui proses pemantulan. Bayangan yang dibentuk dapat
berupa bayangan nyata ataupun maya. Kedua bayangan tersebut dapat dilihat oleh mata,
tetapi hanya bayangan nyata yang dapat difokuskan di layar.
Pada cermin cekung, berkas cahaya sejajar yang datang akan dipantulkan dan dikumpulkan
pada suatu titik tertentu. Bayangan yang dibentuk akan mempunyai jenis dan ukuran
berbeda tergantung pada posisi dari obyek benda terhadap bidang pantul cermin. Berbeda
dengan cermin cekung, cermin cembung tidak dapat memfokuskan cahaya pada layar, oleh
sebab itu metode tidak-paralak harus digunakan untuk menentukan jarak titik api cermin
tersebut.
17
walaupun anda telah menggerakkan kepala ke kiri dan ke kanan. Prinsip ini akan
digunakan untuk mengetahui letak bayangan cermin cembung.
Bayangan yang dibentuk oleh cermin cembung akan disejajarkan dengan bayangan yang
lain yaitu bayangan dari cermin datar. Jika tidak ada gerakan relatif antara kedua bayangan
itu berarti keduanya terletak pada posisi yang sama. Telah diketahui bahwa jarak bayangan
cermin datar selalu sama besar dengan jarak bendanya. Dengan demikian letak bayangan
cermin cembung pun akan dapat diketahui.
Secara matematis, jarak titik api cermin dapat ditentukan dengan persamaan berikut:
1 1 1
(1)
f s s'
dimana f adalah jarak titik api cermin, s adalah jarak benda (jarak antara cermin dengan
benda), dan s adalah jarak bayangan (jarak antara cermin dengan bayangan benda di
layar).
D. CARA KERJA
Observasi sifat bayangan cermin cekung dan cermin cembung
1. Letakkan cermin cekung sedekat mungkin dengan mata.
2. Gerakkan cermin menjauh dari mata sampai sejauh panjang lengan dari muka.
3. Selidiki perubahan bayangan mata selama pergerakan cermin, catat hasil
pengamatan anda!
4. Ulangi langkah 3 dengan menggunakan cermin cembung.
5. Letakkan benda (kisi yang diterangi sumber cahaya) pada jarak tertentu didepan
cermin cekung. Dengan menggunakan layar, dapatkan bayangan yang jelas dari
benda itu.
6. Catat jarak benda, jarak bayangan dan sifat bayangan.
7. Lakukan langkah 5 untuk beberapa kali pengukuran dan catat hasilnya.
s Cermin
cekung
s
Benda Layar
s
s
3. Dengan menggerakkan mata dari satu sisi ke sisi yang lain, sebagaimana dijelaskan
pada metode tidak-paralak, akan diketahui apakah bayangan cermin datar terletak
pada posisi yang sama dengan bayangan cermin cembung. Jika posisinya belum
sama, geserlah cermin datar sehingga dua bayangan itu bersetuju (coincide).
19
4. Sekarang dapat diketahui letak bayangan cermin cembung, yaitu sebesar d cm di
belakang cermin datar. Dengan mengukur d dan s akan dapat diperoleh s dari
cermin cembung.
5. Catat data yang diperoleh.
6. Ulangi percobaan beberapa kali dengan mengubah posisi paku atau jarum terhadap
cermin cembung.
E. PERHITUNGAN
1. Hitunglah jarak titik api cermin cekung!
2. Hitunglah jarak titik api cermin cembung!
F. PERTANYAAN
1. Apa yang dimaksud dengan metode tidak-paralak?
2. Tunjukkan dengan gambar diagram pembentukan bayangan yang dibentuk oleh
masing-masing cermin!
3. Dengan menggunakan gambar, jelaskan pembentukan bayangan yang dihasilkan
oleh cermin cekung dan cermin cembung pada saat jarak benda:
a. lebih pendek dari jarak titik api.
b. sama dengan titik api.
c. lebih besar dari jarak titik api.
4. Berdasarkan jawaban anda pada pertanyaan 3, berikan kesimpulan bagaimana sifat
bayangan yang dibentuk oleh cermin cekung dan cermin cembung!
5. Jika anda meletakkan cermin cekung di depan muka anda. Jelaskan bagaimana
bayangan mata anda pada saat cermin tersebut digerakkan. Bagaimana juga
bayangan mata anda jika yang digunakan adalah cermin cembung?
6. Terangkan kesimpulan umum sehubungan dengan bayangan yang dibentuk oleh
masing-masing cermin!
7. Berilah contoh penggunaan cermin cekung dan cermin cembung berkaitan dengan
sifat-sifatnya!
8. Plot hubungan antara jarak benda dan jarak bayangan pada cermin cekung dan
cermin cembung. (Jarak bayangan pada sumbu-Y dan jarak benda pada sumbu X).
9. Hubungan 1/f = 1/s + 1/s adalah suatu bentuk persamaan x + y = konstan. Buktikan
bahwa diagram hubungan antara 1/s dan 1/s berupa garis lurus!
20
O3: SIFAT LENSA DAN CACAT BAYANGAN
A. TUJUAN
1. Memahami sifat pembiasan cahaya pada lensa.
2. Menentukan jarak fokus lensa.
3. Mengamati cacat bayangan (aberasi) dan mengetahui penyebabnya.
4. Mengurangi terjadinya cacat bayangan.
C. TEORI DASAR
Menentukan jarak fokus lensa positif (konvergen)
Sebuah benda O diletakkan disebelah kiri lensa positif, dan bayangan O yang terbentuk
disebelah kanan lensa dan dapat diamati pada sebuah layar. Jika M merupakan perbesaran
bayangan (perbandingan panjang O dan O), dan L adalah jarak antara benda dan
bayangan, maka jarak fokus lensa f, dapat ditentukan dari persamaan berikut:
s'
f (1)
1 M
F
layar
O F
F
L
21
Cara lain untuk menentukan jarak fokus lensa positif adalah sebagai berikut:
Sebuah benda O diletakkan pada jarak L dari layar. Kemudian lensa positif yang akan
ditentukan jarak fokusnya digeser-geser antara benda O dan layar sehingga diperoleh dua
kedudukan (misalnya kedudukan 1 dan kedudukan 2) dimana lensa memberikan bayangan
yang jelas pada layar. Bayangan yang satu diperbesar dan yang lain diperkecil.
+ +
O’ layar
O
r
Jika r adalah jarak antara dua kedudukan itu, jarak fokus lensa dapat ditentukan sebagai
berikut:
L2 r 2
f (Bessel) (2)
4L
+ - s’
O’ Layar sekarang
O
s
Layar mula-mula
Bayangan pada layar itu merupakan bayangan maya dari lensa negatif. Karenanya pada
keadaan ini, jarak dari layar ke lensa negatif disebut jarak benda s. Sekarang, layar digeser
ke belakang menjauhi lensa untuk memperoleh bayang baru. Dalam keadaan ini jarak dari
22
layar sampai lensa negatif disebut jarak bayangan s’. Jarak fokus lensa negatif dapat
ditentukan dengan persamaan:
s . s'
f (3)
ss
Jarak fokus lensa bersusun
Jika dua lensa tipis dengan jarak fokus masing-masing f1 dan f2 digabungkan (dirapatkan),
maka akan diperoleh satu lensa gabungan yang fokusnya adalah fgab, dan dapat diperoleh
dengan persamaan berikut:
1 1 1
(4)
f gab f1 f 2
Cacat Bayangan
Rumus-rumus persamaan lensa yang telah diberikan di atas dapat diturunkan dengan syarat
hanya berlaku untuk sinar “paralaksial“. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi, maka akan
terjadi cacat bayangan (aberasi).
D. CARA KERJA
Menentukan jarak fokus lensa positif
1. Ukur tinggi anak panah yang digunakan sebagai benda.
2. Susun sistem optik berturut-turut sebagai berikut:
a. benda dengan lampu dibelakangnya,
b. lensa positif lemah (+), lensa posistif kuat (++), dan
c. layar.
3. Ambilah jarak benda ke layar (L) lebih besar dari 1 meter. Ukur dan catat jarak
benda.
4. Pasang lensa positif lemah (+) diantara benda dengan layar. Geser-geserlah lensa
hingga mendapat bayangan yang tegak dan jelas pada layar; catat kedudukan lensa
dan dan ukurlah tinggi bayangan pada layar.
5. Geserlah kembali kedudukan lensa hingga didapat bayangan lain yang jelas ( jarak
benda ke layar jangan diubah ).
6. Ulangi langkah-langkah tersebut dengan L yang berbeda.
7. Ulangi langkah-langkah percobaan 4 untuk lensa positif kuat(++).
23
Menentukan jarak fokus lensa negatif
1. Untuk menentukan jarak fokus lensa negatif buatlah bayangan yang jelas dari
benda O pada layar dengan pertolongan lensa positif. Kemudian letakkan lensa
negatif antara lensa positif dengan layar dan ukurlah jarak lensa negatif ke layar.
2. Geserlah layar sehingga terbentuk bayangan baru yang jelas pada layar. Ukur lagi
jarak lensa negatif ke layar.
3. Ulangi langkah-langkah tersebut beberapa kali.
E. PERHITUNGAN
1. Tentukanlah jarak fokus lensa positif lemah (+) dan lensa positif kuat (++) dengan
persamaan 2!
2. Tentukan pula dengan menggunakan persamaan (1)!
3. Terangkan cara mana yang lebih teliti!
4. Tentukan jarak fokus lensa negatif dengan menggunakan persamaan (2)!
24
5. Tentukan jarak fokus lensa gabungan (bersusun) dengan menggunakan rumus
Bessel dan rumus berikuta; 1/fgab = 1/f+ + 1/f++ dimana f+ dan f++ merupakan hasil
perhitungan soal di atas. Sesuaikan kedua hasil tersebut? Jelaskan mengapa!
F. PERTANYAAN
1. Apa yang dimaksud dengan sinar paralaksial?
2. Buktikan rumus (1) sampai dengan (4)!
3. Dari rumus Bessel (2), bagaimana L dapat dipilih agar dapat terjadi 2 bayangan
yang diperbesar dan diperkecil pada layar?
4. Mengapa untuk menentukan jarak fokus lensa negatif harus menggunakan bantuan
lensa positif?
5. Apakah yang dimaksud dengan aberasi khromatis?
6. Apakah yang disebut dengan astigmatisma?
7. Terangkan terjadinya cacat bayangan yang terjadi pada percobaan di atas!
8. Cacat bayangan dapat dikurangi dengan menggunakan diafragma yang kecil.
Mengapa? Adakah cara lain untuk mengurangi cacat bayangan? Terangkan!
25
O4: MIKROSKOP
A. TUJUAN
1. Mengenal mikroskop dari segi praktis.
2. Memahami prinsip kerja mikroskop.
3. Terampil menggunakan mikroskop.
C. TEORI DASAR
Kita semua tahu bahwa mikroskop merupakan alat yang dirancang untuk melihat benda-
benda kecil. Mikroskop dibangun dari susunan lensa yaitu lensa obyektif dan lensa okuler.
Benda yang diamati diletakkan pada jarak sedemikian rupa dari lensa obyektif (biasanya
lebih jauh sedikit dari titik api lensa obyektif) sehingga bayangan yang dibentuk lensa
obyektif akan jatuh tepat di titik api lensa okuler.
h h
tan
d 25
h'
tan '
f2
dengan adalah sudut yang terbentang pada mata oleh bayangan terakhir yang terlihat
melalui mikroskop. Sedangkan adalah sudut yang terbentang pada mata tanpa alat oleh
benda pada jarak titik dekat d = 25 cm. Sedangkan h : tinggi benda, h: tinggi bayangan
oleh lensa obyektif, dan f2 : jarak titik api lensa okuler. Sehingga perbesaran total
mikroskop adalah:
26
h' d
M (1)
h f2
h'
dimana m1 adalah perbesaran lateral oleh lensa obyektif,
h
d 25
sedangkan m 2 adalah perbesaran sudut oleh lensa okuler.
f2 f2
tan ' 25
M tan ' (2)
tan h
dimana h adalah panjang benda. Jika bendanya adalah rambut, maka h dapat diperoleh
dengan mengukur diameter rambut dengan menggunakan mikrometer. Sementara itu h’
dapat diukur dengan menggunakan dua mata. Satu mata melihat rambut dengan mikroskop
sedang mata yang lain melihat garis skala mistar yang ada di luar mikroskop. Dengan
demikian diameter rambut yang terukur dengan mikroskop dapat diukur dengan mistar.
Jika a adalah jarak rambut sampai mata, maka tan = h/a dapat diketahui. Perlu
diketahui, untuk mikroskop yang lebih canggih, kita tidak perlu menggunakan cara ini
karena kaca telah dilengkapi dengan skala. Tetapi cara manual seperti yang kita lalukan
tetep perlu untuk menekankan pada kita semua akan pentingnya suatu proses pengukuran.
27
0,61o
R
n sin (3)
Dimana:
R = jarak dua benda yang mulai dapat dipisahkan oleh lensa (= jarak minimal),
o = panjang gelombang cahaya yang dipakai untuk ruang hampa,
n = indeks bias antara dimana benda berada,
= ½ sudut puncak kerucut cahaya yang masuk lensa obyektif.
n sin dinamakan apertur numerik (AN). Lihat gambar berikut:
benda
Suatu alat optik dikatakan mempunyai daya pisah yang besar bila jarak dua benda yang
mulai dapat dipisahkan oleh alat tadi sangat pendek. Atau daya pisah makin besar jika R
makin kecil.
D. CARA KERJA
1. Siapkan seperangkat mikroskop dan benda kecil yang akan diamati
2. Letakkan mikroskop dekat dengan sumber cahaya dan aturlah arah cermin di bawah
mikroskop sehingga mikroskop mendapat cahaya yang cukup.
3. Letakkan sehelai rambut atau benda kecil lain di atas meja obyek, tumpangi dengan
kaca agar kedudukannya tidak berubah. Putarlah pengatur lensa obyektif hingga
posisi lensa hampir menyinggung meja obyek. Hati-hati jangan sampai menumbuk
kaca.
4. Dengan mata melihat obyek dengan mikroskop, putar-putarlah pemutar lensa
obyektif dengan perlahan-lahan untuk mendapat fokus hingga bayangan rambut
tampak jelas dan tajam.
5. Letakkan mistar pada meja disamping miroskop.
E. PERHITUNGAN
28
Hitunglah perbesaran total mikroskop yang anda gunakan!
F. PERTANYAAN
1. Gambarkan pembentukan bayangan pada mikroskop!
2. Terangkan langkah-langkah secara lengkap bagaimana mendapatkan perbesaran
total mikroskop pada persamaan (1) dengan menganalisis diagram pembentukan
bayangan!
3. Mengapa tidak terjadi perbesaran lateral untuk lensa okuler pada waktu mata
melihat tanpa berakomodasi?
4. Mana yang lebih menguntungkan, melihat dengan mikroskop tanpa berakomodasi
atau berakomodasi sekuat-kuatnya? Mengapa!
29
O5: SPECTROMETER
A. TUJUAN
1. Menentukan sudut puncak prisma.
2. Menentukan indeks bias prisma dengan metode devoasi minimum.
3. Memahami prinsip kerja spectrometer dan terampil menggunakannya.
C. TEORI DASAR
Spectrometer merupakan alat yang dipakai untuk mengukur sudut simpangan (deviasi)
suatu berkas cahaya akibat adanya pemantulan, pembiasan, interferensi, difraksi dan
hamburan. Alat tersebut mempunyai 4 komponen utama yaitu :
Kolimator
Kolimator pada dasarnya merupakan tabung yang dilengkapi dengan sebuah lensa
akromatis pada salah satu ujung yang menghadap prisma dan sebuah celah yang dapat
diatur lebarnya. Celah tersebut digunakan untuk memperoleh berkas cahaya sejajar yang
mempunyai sudut simpangan sama untuk tiap sinar. Kedudukan celah dapat diatur dengan
tombol pada kolimator. Kolimator ini diletakkan pada tiang statis ke dasar spectrometer.
Teleskop
Komponen ini terdiri dari lensa obyektif yang menghadap ke meja spectrometer dan
sebuah okuler yang posisinya terhadap lensa obyektif dapat diatur. Okuler sendiri terdiri
dari dua lensa (lensa mata dan lensa medan) yang posisinya dapat diatur satu sama lain.
Sebagai rujukan, untuk menentukan posisi bayangan celah dengan tepat digunakan benang
silang dipasang pada bidang tegak lurus pada sumber cahaya antara lensa mata dan lensa
medan dalam okuler.
Teleskop ini diletakkan pada tangkai yang dapat diputar terhadap sumbu spectrometer. Jika
dasar spectrometer horizontal, maka sumbu spectrometer vertikal dan teleskop berputar di
bidang horizontal dengan sumbunya terus menuju ke pusat rotasi yang terletak pada garis
30
sumbu. Sedangkan posisi teleskop terhadap kolimator atau posisi rujukan lainnya dapat
dibaca pada kedua nonius yang berlawanan posisinya dan ikut berputar dengan teleskop.
Prisma
Prisma merupakan bagian terpenting dari spectrometer diletakkan pada meja spectrometer.
Meja Spectrometer
Meja spectrometer mempunyai sumbu rotasi berimpit dengan sumbu rotasi teleskop. Meja
ini dapat diatur posisinya dengan cara menaikkan atau menurunkan atau dapat diputar
dengan melonggarkan sekrupnya kemudian menguatkannya. Pengaturan ini dapat pula
digunakan untuk mengatur tegaknya bidang pemantul.
Dengan mengukur deviasi minimum yang terjadi untuk suatu cahaya monokromatis
tertentu yang digunakan, indeks bias prisma dapat ditentukan berdasarkan formula berikut:
sin 12 (Dm )
n
sin 12 (1)
dimana n adalah indeks bias prisma, Dm adalah deviasi minimum dan adalah sudut
puncak prisma.
D. CARA KERJA
Persiapan
1. Arahkan teleskop untuk melihat benda yang jauh sehingga terlihat jelas. Perlu
diketahui bahwa berkas sinar yang masuk teleskop dalam keadaan sejajar.
2. Letakkan teleskop dan kolimator dalam satu garis lurus dan atur keduanya agar
tegak lurus terhadap sumber cahaya.
3. Sinari celah dengan sumber cahaya dan atur lebarnya, sehingga gambar celah
terlihat dengan jelas pada teleskop.
4. Atur ketinggian meja prisma sehingga pengukuran dapat dilakukan dengan mudah.
31
2. Dekatkan celah kolimator dengan sumber cahaya.
3. Atur posisi prisma agar pantulan cahaya dari kolimator dapat dilihat okuler
teleskop di dua tempat, yaitu pada kedudukan I dan kedudukan II.
4. Cacat sudut pergeseran kedudukan . Buktikan bahwa besarnya sudut puncak
prisma sama dengan .
5. Ulangi langkah 1 – 4 beberapa kali untuk meperoleh harga rata-rata dari sudut
puncak prisma.
E. PERHITUNGAN
1. Tentukan sudut puncak prisma!
2. Tentukan indeks bias prisma dengan metode deviasi minimum!
F. PERTANYAAN
1. Berdasarkan referensi yang relevan, sebutkan cara lain dalam menentukan indeks
bias prima. Jelaskan dengan singkat!
2. Turunkan rumus: Dm = (n-1) yang kita gunakan dalam percobaan ini!
32
3. Jelaskan apa perbedaan pemakaian dua rumus berikut:
4. Rumus pertama Dm = (n-1)
5. Rumus kedua n sin½ = sin½(Dm + )
6. Dalam setiap percobaan, hasil yang diperoleh tidak selalu sama dengan perhitungan
numerik, artinya selalu ada kesalahan atau error. Jelaskan apa saja yang
menyebabkan hal itu terjadi!
33
O6: POLARIMETER
A. TUJUAN
1. Memahami prinsip kerja polarimeter.
2. Menentukan kadar gula suatu larutan.
C. TEORI DASAR
Apabila suatu berkas cahaya yang terpolarisasi linier melalui suatu larutan gula, atau
larutan lain yang mempunyai sifat optis aktif, maka bidang polarisasi dari sinar itu akan
terputar dengan sudut tertentu, masalnya . Besarnya tergantung pada 4 faktor yaitu: (1)
panjang larutan yang dilalui sinar; (2) kadar larutan; (3) panjang gelombang sinar dan (4)
suhu.
Untuk mengukur sudut ini dipakai polarimeter Laurent atau polarimeter ½ bayangan.
Pada alat ini terdapat 5 komponen penting yaitu: polarisator, lempeng ½ dari Laurent,
tabung tempat larutan, analisator yang dapat diputar, dan teropong. Secara skematis posisi
masing-masing komponen tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Sinar
natural
Teropong
Polarisator Lempeng ½ Tabung tempat Analisator
larutan
34
Polarisator dan lempeng ½ dipasang sedemikian rupa sehingga bidang utama polarisator
membentuk sudut yang kecil terhadap sumbu optik lempeng. Sudut ini disebut sudut
bayangan. Sekitar setengah dari berkas sinar yang melewati polarisator akan masuk
lempeng ½ dan sisanya bergerak diluar lempeng. Bidang polarisasi dari sinar yang
melalui lempeng terputar. Jika mula-mula bidang polarisasi trletak disebelah kiri sumbu
optik dengan sudut , maka setelah keluar dari lempeng ½, bidang polarisasi ini terletak
disebelah kanan dengan sudut juga. Bidang polarisasi sinar yang di luar lempeng tentu
saja tidak berputar. Sekarang terdapat suatu berkas sinar dengan dua polarisasi masing-
masing disebelah kiri dan disebelah kanan sumbu optik lempeng dan masing-masing
membentuk sudut .
Jika analisator diputar dengan teropong, maka kita lihat bahwa medan penglihatan
berubah-ubah. Umumnya setengah kelihatan lebih gelap daripada setengah bagian yang
lain. Pada suatu keadaan, kedua bagian itu kelihatan sama. Dalam keadaan tabung berisi
aquadest, keadaan sama gelap berarti bidang polarisasi analisator tegak lurus dengan
sumbu optik lempeng. Keadaan ini dipakai sebagai nol dari polarimeter. Kalau aquadest
diganti dengan larutan gula, maka pada kedudukan ini daerah penglihatan sama gelap lagi.
Hal ini disebabkan karena bidang polarisasi telah terputar. Untuk merubah keadaan sama
gelap lagi, maka analisator harus diputar sehingga bidang utamanya tegak lurus pada garis
yang membagi dua sama sudut antara bidang polarisasi berkas sinar. Besarnya sudut putar
ini sama dengan besarnya sudut putar dari bidang polarisasi sinar.
35
Keterangan:
KL : bidang polarisasi sinar yang keluar dari polarisator.
MN : bidang polarisasi sinar yang keluar dari lempeng ½.
AB : sumbu optik ½.
PQ : kedudukan sumbu optik analisator yang memberikan keadaan sama gelap untuk
aquadest.
PQ : kedudukan sumbu optik analisator yang memberikan keadaan sama gelap untuk
larutan gula.
D. CARA KERJA
Menentukan titik nol
1. Bersihkan gelas penutup tabung dengan hati-hati.
2. Bersihkan tabung dengan hati-hati lalu kocok dengan aquadest.
3. Isilah tabung dengan aquadest sampai penuh. Untuk mencegah gelembung udara
memasuki tabung, geser gelas penutup dari tepi lalu gelas dikunci dengan skrup
(bagian tengah gelas jangan sampai tersentuh tangan).
4. Masukkan tabung dalam polarimeter.
5. Atur jalannya sinar dengan meluruskan polarimeter terhadap sumbu optis sehingga
sinar masuk melalui teropong. Fokuskan teropong sehingga celah nampak gelap
terang.
6. Putarlah analisator (dengan pegangannya yang memiliki skala nonius) ke kiri dan
ke kanan sampai diperoleh keadaan yang sama gelapnya, lalu baca skala utama dan
skala noniusnya. Angka yang terbaca ini menyatakan titik nol polarimeter.
36
7. Ulangi langkah 6 berulang-ulang dan catat titik nol polarimeter (lakukan
pengulangan sebanyak 8 kali).
E. PERHITUNGAN
1. Hitunglah daya putar jenis dari masing-masing larutan!
2. Buatlah grafik hubungan antara konsentrasi larutan dengan daya putar jenis
berdasarkan data percobaan anda! Kesimpulan apa yang dapat anda tarik dari grafik
itu?
F. PERTANYAAN
1. Bagaiman kalau tabung berisi dengan aquadest ? Apakah bidang polarisasi juga
akan terputar? Mengapa demikian, jelaskan jawaban anda !
2. Mengapa umumnya digunakan cahaya lampu natrium dalam percobaan ini?
37
LISTRIK (L)
38
L1: OSILOSKOP
A. TUJUAN
1. Mengetahui fungsi osiloskop.
2. Memahami prinsip kerja osiloskop.
3. Merancang dan menerangkan terjadinya pola Lissayous.
4. Menghitung frekuensi suatu sumber tegangan dengan menggunakan pola
Lissayous.
C. TEORI DASAR
Osiloskop atau disebut osiloskop sinar katoda (cathode ray osciloscope, disingkat CRO)
merupakan alat yang digunakan untuk melihat dinamika besaran sebagai fungsi waktu
secara visual. Dengan menggunakan osiloskop ini harga suatu besaran dapat dilihat setiap
saat sepanjang waktu berjalan terus.
Dengan mengukur besarnya pergeseran atau ingsutan bintik terang yang ditimbulkan oleh
berkas elektron yang mengenai layar dari kedudukan normalnya, maka besarnya signal dari
suatu sumber dapat ditentukan. Bintik terang ini sama halnya jarum penunjuk pada
voltmeter. Simpangan/pergeseran bintik terang dibuat ke arah vertikal sedangkan
pergeseran mendatar sebanding dengan laju pertambahan waktu.
Simpangan arah vertikal dapat ditera dalam volt/skala atau volt/cm. Sementara itu,
simpangan arah mendatar dapat ditera dalam detik/skala atau detik/cm. Dengan peneraan
39
ini menunjukkan bahwa osiloskop tidak hanya dapat digunakan untuk memperlihatkan
gambar signal sebagai fungsi waktu, tetapi yang lebih penting dapat digunakan sebagai alat
ukur parameter-parameter pad signal antara lain: selang waktu (time duration), periode
ayunan maksimum, amplitudo, fase, frekuensi dan sebagainya.
Dengan melepas tegangan lejang (sweep voltage) yaitu tegangan yang menjulur atau
melejang bintik terang menjadi garis lurus, maka simpangan dapat diberikan dari luar atau
sebagai input kedua. Dalam hal ini ada dua signal yang saling tegak lurus dalam waktu
sama. Dengan demikian hubungan kedua signal dapat diperlihatkan langsung sebagai
fungsi waktu. Jika kedua signal tersebut adalah input dan output suatu sistem, atau satuan
kerja elektronis, maka gambar yang tampak pada layar memperlihatkan watak
sistem/satuan kerja tersebut. Perlu diketahui bahwa pada penjuluran bintik terang menjadi
garis lurus, pada dasarnya merupakan pergerakan berkas elektron dengan cepat dan terus-
menerus ke arah kanan.
A1 A2 A3 A4
40
Elektroda paling kiri disebut senapan elektron (electron gun) yang dapat melontarkan
elektron ke kanan dalam berkas yang sempit. Senapan elektron tersebut terdiri dari katoda
K sebagai silinder sumber elektron, dan kisi Wehnelt W yang berbentuk silinder untuk
pengatur intensitas arus elektron. Elektron-elektron dipercepat dan diarahkan oleh
sejumlah anoda, A1 s/d A4, yang memberikan medan listrik agar elektron melintasi ruang
diantara lempengan simpangan datar, D1 dab D2. Sedangkan anoda utama A5 yang diberi
tegangan tinggi (ribuan volt) digunakan agar elektron mempunyai energi gerak yang cukup
tinggi, sehingga pada saat mengenai layar pendar, akan menghasilkan bintik terang dengan
intensitas tinggi.
41
Pembangkit tegangan basis waktu (Time based generator)
Tegangan ini berbentuk gigi gergaji. Berkaitan dengan basis waktu ini terdapat beberapa
pengaturan yang berhubungan dengan sinyal parameter yang dibangkitkan, yaitu
parameter-parameter tegangan gergaji sebagaimana terlihat pada gambar. Pengaturan yang
dapat diubah adalah:
a. Pengaturan frekuensi bertingkat, f = 1/T.
b. Pengaturan laju lejang dvs/dt = vs/Ts.
c. Pengaturan kedudukan horosontal (malar) berarti mengubah V dc.
Vs
Ts
Disamping pengaturan tersebut, ada pengaturan intensitas secara otomatis yang disebut
sebagai modulasi intensitas. Intensitas diturunkan pada waktu berkas elektron ditarik kekiri
dari simpangan maksimumnya. Tegangan modulasi disebut tegangan pemadam (blanking
voltage). Modulasi ini dapat juga dilakukan oleh sinyal dari luar melalui pangkalan input
belakang, yang merupakan input Z. Sebagai perbandingan, pada pesawat televisi, input Z
ini adalah berupa sinyal video (gambar), sedangkan ke arah X dan Y adalah berupa sinyal
lejang, sehingga seluruh permukaan layar dijelajahi elektron. Pada input Z, bintik terang
dimodulasi oleh sinyal video, sehingga terjadi terang dan gelap yang membentuk gambar.
Pola Lissayous
Jika 2 buah osilasi dengan frekuensi sama atau berbeda saling tegak lurus, digabungkan
bersama-sama akan membentuk kurva yang disebut pola lissayous. Nama ini dipergunakan
untuk mengingat Jules Antonie Lissayous yang memperagakan kurva-kurva ini pertama
kali tahun 1857.
42
Vo Vm
D. CARA KERJA
Petunjuk umum pengoperasian osiloskop
1. CRO hanya boleh dihidupkan pada waktu akan digunakan. Matikan CRO untuk
pemakaian yang tertunda. Istirahatkan lebih dari 5 menit.
2. Sebelum menghidupkan osiloskop, sebaiknya periksa dulu sumber tegangan
AC yang digunakan apakah sesuai dengan tegangan yang diperlukan untuk
menghidupkan CRO.
3. Gunakan intensitas lebih rendah dari batas maksimumnya. Bila tidak
diperlukan, tetapkan saklar AC-DC pada kondisi AC.
4. Turunkan bla bal. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kerusakan pada layar
pendar, karena elektron terus-menerus jatuh di titik yang sama dengan
intensitas tinggi.
5. Atur tombol pada posisi tengah-tengah untuk mendapatkan bintik terang atau
jejak elektron (bila tidak nampak pada layar).
43
5. Pastikan posisi input untuk Ch1 (Y) atau Ch2 (X). Jika Ch1 (Y) akan digunakan,
atur posisi tombol mode pada Ch1 (Y) dan tombol source pada posisi Ch1 (Y)
dan sebaliknya jika Ch2 (X) yang digunakan, atur posisi tombol mode dan
tombol source pada posisi Ch2 (X).
6. Misal pilih saja Ch2 (X) yang akan dikalibrasi terlebih dulu, atur seperti langkah
e.
7. Tetapkan posisi AC-DC pada kondisi AC.
8. Jepitkan ujung probe pada titik CAL pada osiloskop.
9. Penjepit probe pada posisi ground.
10. Atur posisi gambar pada layar dengan memutar tombol posisi (atas-bawah) dan
tombol posisi (kanan-kiri) pada channel yang anda gunakan.
11. Jika gambar yang tampil bergerak, posisikan tombol “level” pada posisi tengah-
tengah.
12. Hitung tegangan dan frekuensi tampilan dengan rumusan berikut:
Perhitungan frekuensi
f = 1/T, dimana T = jumlah kotak satu gelombang variabel sweep time/div.
Hitung besar tegangan Vp-p dan frekuensi kalibrasi. Apakah hasilnya sesuai dengan yang
tertera pada titik CAL. Jika sesuai, osiloskop siap digunakan, jika belum sesuai atur tombol
CAL (merah) pada variabel volt/div untuk menyesuaikan tegangan dan tombol CAL
(merah) pada variabel sweep time/div untuk menyesuaikan perioda atau frekuensi.
Lakukan kembali kalibrasi pada Ch1 (Y).
Catatan:
a. Tombol variabel voltage/div untuk mengatur jumlah tampilan secara vertikal
b. Tombol sweep time/div untuk mengatur jumlah tampilan secara horizontal
c. Tegangan yang terukur pada osiloskop adalah tegangan maksimum
45
7. Lakukan untuk perbandingan.
8. Bandingkan data anda dengan referensi yang ada.
E. PERHITUNGAN
1. Hitung besar tegangan dan frekuensi yang terukur dengan osiloskop dan tegangan
yang terukur dengan voltmeter. Bandingkan!
2. Beri komentar pola Lissayous yang anda peroleh berdasarkan referensi lain.
F. PERTANYAAN
46
L2: ARUS BOLAK-BALIK
A. TUJUAN
1. Mengukur besaran-besaran fisis arus bolak-balik.
2. Mengukur impedansi arus bolak-balik.
3. Menemukan keadaan resonansi rangkaian arus bolak-balik.
4. Memahami karakteristik arus bolak-balik.
C. TEORI DASAR
Arus Bolak-Balik
Aarus bolak-balik adalah arus listrik yang berubah-ubah secara periodik. Bentuk yang
paling sederhana dari arus bolak-balik itu secara matematis adalah sinusoida, seperti
berikut ini.
47
Dari gambar 1 dapat dilihat bahwa jumlah muatan listrik yang lewat dalam selang waktu
antara t dan t + dt adalah :
𝑑𝑞 = 𝑖 𝑡 𝑑𝑡 (1)
Dengan osciloskop dapat diukur besarnya I m dan T dari arus bolak-balik itu. Tetapi
dengan ampermeter yang dapat diukur adalah arus efektifnya (ief). Arus efektif dari arus
bolak-balik adalah arus yang setiap periodenya menghasilkan sejumlah kalor efek joule
yang sama dengan kalor dalam hal ini adalah kalor yang terjadi akibat efek joule.
Hubungan lef dengan Im diberikan oleh persamaan;
Im
I ef (2)
2
Terhadap arus yang berubah-ubah i(t) = Im.Sin(t) induktor mumi L akan menghasilkan
di
GGL sebesar E = L sehingga ujung AB pada gambar 2. Mempunyai beda potensial :
dt
V r.i E (3)
48
di
V r.i L (4)
dt
V r. I m Sin (.t ) .L.I mCos(.t ) (5)
Dari persamaan itu berarti arus bolak-balik akan mengalami pergeseran fase sebasar
2
radian atau 900 bila melewati induktor.
Berdasarkan diagram fasor seperti yang dilukiskan pada gambar 3, dapat diperoleh:
Z r 2 xL2 (7)
xL .L (8)
tg xL (9)
r
XL disebut reaktansi induktif dan Z disebut impedansi rangkaian, satuannya Ohm ().
49
Gambar 4. Rangkaian kapasitor arus bolak balik
dQ C.dV (10)
VAB pada gambar 4 mempunyai persamaan
V VCm sin(.t )
s
(11)
VCm I m X C
(12)
XC 1
.t (13)
Dari persamaan-persamaan tersebut terlihat bahwa arus bolak-balik yang melalui kapasitor
C mengalami keterlambatan fase sebesar radian atau 900.
2
D. CARA KERJA
Mengukur Besaran Fisis Arus Bolak-Balik
1. Nyalakan "Var.extra low voltage transformers" dengan menghubungkannya dengan
sumber arus PLN. Nyalakan pula osciloskop dengan cara yang sama. (Tanyakan
pada asisten jika mendapat kesulitan).
2. Ukur tegangan keluaran yang bertuliskan 12 V AC dari "transformers" itu
menggunakan osciloskop. Catat Vpp dan frekuensinya. (Vpp adalah tegangan
puncak ke puncak dengan nilainya = 2 Vm)
50
3. Sekarang ukur tegangan keluaran "transformer" itu menggunakan multimeter AC,
gunakan batas ukur lebih besar dari 12 V. Ulangi dengan membalik "probe"
multimeter AC tersebut, (probe adalah tangkai-tangkai penyambung).
3. Dengan multimeter ukurlah tegangan VL, VR, dan tegangan sumber V. Ukur
pula arusnya melalui milliamperrneter. Hitunglah nilai dari XL dan impedansi
Z.
Rangkaian R-C
1. Susun rangkaian arus searah seperti pada gambar 6 dengan C = 1 F dan R=
3900 .
2. Ukurlah menggunakan multimeter tegangan kapasitor Vc, VR, dan tegangan
yang keluar dari sumber V. Hitunglah impedansi Z dari rangkaian R-C
tersebut.
51
Gambar 6. Rangakain R-C seri
Rangkaian R-L-C
1. Susun rangkaian arus bolak balik seperti pada gambar 7 menggunakan hambatan,
induktor, dan kapasitor sebelumnya.
E. PERTANYAAN
1. Gambarkanlah diagram fasor dari rangkaian R-L seri dari hasil percobaan tersebut
dan jelaskan makna Fisika-nya.
2. Gambarkanlah diagram fasor dari rangkaian R-C seri dari hasil percobaan tersebut
dan jelaskan makna Fisika-nya.
3. Gambarkanlah diagram fasor dari rangkaian R-L-C seri hasil percobaan tersebut
dan jelaskan makna Fisika-nya.
52
L3: WATAK LAMPU PIJAR
A. TUJUAN
1. Memahami Hukum Ohm.
2. Memperagakan untai pengukuran arus dan tegangan suatu lampu pijar.
3. Membuat interpretasi bagan listrik.
4. Membuat interpretasi Grafik hubungan antara;
a. Tegangan yang terpasang dengan Arus yang mengalir.
b. Tegangan yang terpasang dengan tahanannya.
c. Tegangan yang terpasang dengan Daya yang diserap.
5. Menentukan Tahanan dalam Lampu.
6. Memahami Karakteristik Watak lampu pijar.
C. TEORI DASAR
Pengaruh Suhu pada Tahanan
Arus yang mengalir dalam suatu penghantar besarnya sebanding dengan tegangan (beda
potensial) antara ujung-ujung penghantar tadi atau dinyatakan dengan persamaan:
V
I ( Hukum ohm)
R (1)
dengan I = arus; dan V = tegangan; dan R adalah bilangan tetap yang dinamakan tahanan
dari penghantar. Penghantar yang mengikuti Hukum Ohrn dinamakan penghantar yang
Linier. Pada umumya tahanan berubah dengan berubahnya temperatur Untuk penghantar
dari logam, besarnya tahanan bertambah besar jika temperatur makin tinggi.
53
terdissipasi. Besarnya tenaga yang terdissipasi tiap detiknya, atau daya yang terdissipasi
adalah P = V.I (Watt) atau Joule/detik.
Bagan 1
Pada bagan 1 dapat di analisis ada kesalahan pembacaan ampermeter , karena yang terukur
adalah jumlah dari arus yang lewat lampu dan yang lewat voltmeter.
54
Arus yang terbaca berlebihan :
r
x 100% dengan r tahanan lampu; R tahanan Voltmeter
R
Jika kesalahan yang kita kehendaki maksimal sebesar a % maka haruslah :
r
x 100% a%
R
Bagan 2
Pada bagan 1 dapat di analisis ada kesalahan pembacaan Voltmeter, karena yang terukur
adalah jumlah dari tegangan pada lampu dan ampermeter.
Pemilihan Bagan
Jika
r
maka dipilih bagan 1, sebaliknya
R r
jika
r
maka dipilih bagan 2
R r
55
r
Untuk mengetahui besamya dan dan dapat dilakukan pengukuran seperti dalam
R r
prosedur percobaan. Dengan menganggap tahanan dalam dari sumber dapat diabaikan
maka dapat dibuktikan bahwa :
r V II I V II
I I 1 (2)
R V I V I
dan
V II
II
1
r V V V I
(3)
I II
r
Harga terhadap dibandingkan. Kemudian dipilih bagan yang lebih baik untuk
R r
ketiga contoh tegangan di atas.
Daya Listrik
Daya listrik adalah tenaga listrik persatuan waktu. Kalau tenaga dinyatakan dengan Joule
dan satuan waktu dalam detik maka satuan daya listrik adalah ”watt” atau joule per sekon.
Daya pada arus bolak balik merupakan fungsi waktu, karena itu apa yang sering disebut
daya pada arus bolak balik pada hakekatnya adalah daya rata-rata selama satu periode.
T
1
Secara matematis daya rata-rata dapat di ekspresikan P V .i.dt
T 0
dengan V dan I harga efektif dari tegangan dan arus, sedang adalah beda fase antara V
dan I. Pada percobaan ini dianggap tidak ada perbedaan fase ( = 0). Sehingga : P V .I
Dengan demikian hubungan P = f(V) dapat kita buat berdasarkan pengamatan di atas.
56
D. CARA KERJA
Pemilihan Bagan
r
Untuk mengetahui besarnya dan yang digunakan untuk pemilihan bagan, dapat
R r
dilakukan pengukuran-pengukuran sebagai berikut :
1. Tegangan sumber (variak) diukur pada waktu lampu dan ampermeter tidak terpasang
(voltmeter dipasang langsung pada ujung output dari variak). Misal 25 volt.
Pembacaan voltmeter ini = V.
2. Ampermeter dipasang seri dengan lampu dan dihubungkan dengan ujung variak.
Arus yang lewat lampu diukur tanpa mengukur tegangan (voltmeter tidak terpasang).
Misalkan pembacaan ampermeter = I.
3. Setelah pengukuran V dan I didapat, buatlah rangkaian seperti bagan 1. Misal
pembacaan voltmeter (ujung-ujung ampermeter dengan sumber) = VI dan pembacaan
ampermeter = I'.
4. Kemudian buatlah rangkaian seperti bagan 2. Misalkan pembacaan voltmeter (ujung-
ujung sumber) = V" dan pembacaan ampermeter = I".
r
5. Catatlah hasil pengukuran V, I, V', I', V ", I " untuk mendapatkan nilai, dan
R r
(rumus dalam teori). Tentukan bagan yang akan digunakan dalam percobaan watak
lainpu pijar.
E. PERHITUNGAN
1. Hitunglah data percobaan E - 1 untuk mengetahui bagan yang dipilih!
2. Tentukan besar Hambatan ( R ) dan Daya (P) pada percobaan yang anda lakukan!
57
3. Buatlah grafik hubungan antara I = f(V), R = f(V), dan P = f(V)!
F. PERTANYAAN
1. Sebutkan Perbedaan fungsi pengukuran pada bagan I dan bagan II ?
2. Apa yang dimaksud dengan penghantar yang linier ?
3. Dari Hukum Ohm, gambarkan grafik hubungan V-I, V-R, V-P ?
4. Jabarkan semua rumus yang anda pakai!
5. Dari hasil percobaan, I=f(V) ternyata tidak lancar, mengapa ?. Berikan
penafsiramnu!
6. Sebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar Hukum Ohm berlaku!
58
L4: RESISTOR DAN HUKUM OHM
A. TUJUAN
C. TEORI DASAR
I II III IV V
59
Gambar 2. Urutan cincin warna pada resistor(lanjutan)
Berdasarkan kebutuhan dalam rangkaian yang berbeda, maka bentuk dari sebuah
resistor dapat berbeda pula, hal ini terkait dengan daya yang mampu bekerja pada resistor
tersebut. Untuk daya yang rendah, berkisar antara 0,25 Watt – 1 Watt umumnya memiliki
bentuk yang kecil, sedangkan untuk daya yang yang cukup besar, berkisar 2 Watt - 25
Watt, umumnya memiliki bentuk yang lebih besar. Ilustrasinya seperti pada gambar
berikut.
60
a b c d
Gambar 4. Beberapa bentuk resistor variable: a,b :Trimpot, c: Multiturn, d:potensio meter
61
tanpa warna 20 %
Besarnya ukuran resistor sangat tergantung Watt atau daya maksimum yang mampu
ditahan oleh resistor. Berikut ini adalah contoh perhitungan :
Urutan cincin warna (resistor 4 cincin warna): merah kuning biru emas
Merah Ungu Biru Emas Hasilnya
2 7 X 106 5% 27M 5 %
Urutan cincin warna (resistor 5 cincin warna): coklat merah hitam jingga coklat
coklat Merah Hitam Jingga Coklat Hasilnya
1 2 0 X 103 1% 120K 1 %
Rangkaian Resistor
Rangkaian resistor secara seri akan mengakibatkan nilai resistansi total semakin
besar. Di bawah ini adalah contoh resistor yang dirangkai secara seri.
62
Gambar 7. Rangkaian resistor secara paralel
Hukum Ohm
Sekitar tahun 1825, George Simon ohm yang berasal dari Jerman, melakukan
serangkaian percobaan. Percobaan itu menunjukan bahwa tidak ada penghantar listrik yang
sempurna, Artinya setiap jenis zat mempunyai sifat penghambat arus listrik. Ohm
menunjukan bahwa untuk bahan yang sama, kawat panjang memiliki hambatan lebih besar
dari pada kawat pendek. Selain itu, dalam suatu rangkaian, makin besar hambatan makin
besar pula potensial yang diperlukan untuk mengalirkan aliran listrik.
Hukum Ohm yang berbunyi “besar arus listrik yang mengalir melalui sebuah penghantar
selalu berbanding lurus dengan beda potensial yang diterapkan kepadanya”. Sebuah benda
penghantar dikatakan mematuhi hukum Ohm apabila nilai resistansinya tidak bergantung
terhadap besar dan polaritas beda potensial yang dikenakan kepadanya. Secara matematis
hukum Ohm diekspresikan dengan persamaan
V I R (3)
Adapun keterangan dari persamaan tersebut adalah:
V = Beda potensial (tegangan ) kedua ujung penghantar ( Volt )
R = Tahanan atau hambatan ( Ohm )
I = Kuat arus yang mengalir dalam penghantar ( Ampere )
Namun demikian, perlu ditekankan bahwa hubungan ”V = IR” bukanlah merupakan
sebuah pernyataan hukum Ohm. Sebuah penghantar menuruti hukum ini hanya jika pada
beda potensial dan kuat arusnya sebanding. Hukum ohm adalah sebuah sifat spesifik dari
bahan-bahan tertentu dan bukan merupakan suatu hukum umum mengenai
keelektromagnetan.
63
D. CARA KERJA
1. Pasanglah rangkaian listrik seperti gambar (seri dan paralel) diatas dan
beritahukan kepada Assisten lebih dahulu untuk diperiksa sebelum rangkaian
tersebut dihubungkan dengan sumber teganagan
3. Aturlah potensio pada catu daya sehingga amperemeter menunjukan pada angka
tertentu ( I1) catatlah penujukan pada Amperemeter dan voltmeter serta besarnya
resistor yang digunakan
Hambatan tetap
1. Pasanglah rangkaian listrik seperti gambar diatas (seri dan paralel) dan beritahukan
kepada Assisten lebih dahulu untuk diperiksa sebelum rangkaian tersebut
dihubungkan dengan sumber tegangan
2. Setelah diperiksa, aturlah saklar dalam posisi terhubung (ON )
3. Atur ujung Voltmeter pada hambatan dengan nilai tertentu (R1) dan catatlah
besarnya arus dan tegangan
4. Pada resistor yang sama, lakukanlah 7 variasi nilai tegangan dan catat besar
tegangan dan arus yang diperoleh.
5. Ulangi langkah 2-4 dengan mengganti resistor (R2)
6. Ulangilah hingga 3 variasi hambatan.
E. PERTANYAAN
64
L5: HUKUM KIRCHOFF
A. TUJUAN
1. Mempelajari Kirchhoff
2. Menghitung besar resistansi ekivalen dari suatu rangkaian resistor hubungan
campuran
3. Membuat analisa rangkaian listrik resistor dengan Hukum Kirchhoff.
C. TEORI DASAR
Hukum I Kirchhoff “Jumlah kuat arus listrik yang masuk kesuatu titik simpul sama
dengan jumlah kuat arus listrik yang keluar dari titik simpul tersebut“. Hukum I Kirchhoff
secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut
∑ IMasuk = ∑ IKeluar (1)
Hukum II Kirchhoff digunakan pada rangkaian tertutup, karena ada rangkaian yang tidak
dapat disederhanakan dengan rangkaian seri dan parallel. Hukum II Kirchhoff berbunyi
“Didalam sebuah rangkaian tertutup, jumlah aljabar gaya gerak listrik (ε) dengan
penurunan tegangan (IR) sama dengan nol“. Hukum II Kirchhoff secara matematis dapat
dituliskan sebagai berikut
∑ε + ∑IR = 0 (2)
D. CARA KERJA
1. Tentukanlah R ekivalen dan hitunglah terlebih dahulu nilai untuk I1, I2, V1 dan V2
lalu buatlah rangkaian seperti dibawah ini dan lakukanlah pengukuran dengan
multimeter. Bandingkanlah hasil pengukuran dan perhitungan yang anda lakukan.
65
2. Hitunglah R ekivalen dan hitunglah terlebih dahulu nilai untuk It, I1, I2, V1 dan V2
lalu buatlah rangkaian seperti dibawah ini dan lakukanlah pengukuran dengan
multimeter. Bandingkanlah hasil pengukuran dan perhitungan yang anda lakukan.
3. Hitunglah kuat arus di I dan beda potensial V2. Buatlah rangkaian seperti gambar
dibawah dan lakukanlah pengukuran. Bandingkan hasil perhitungan dengan
pengukuran yang anda lakukan.
66
4. Hitunglah kuat arus di I1, I2, I3 dan beda potensial di titik A dan B (V AB). Buatlah
rangkaian seperti gambar dibawah dan lakukanlah pengukuran. Bandingkan hasil
perhitungan dengan pengukuran yang anda lakukan.
67
L6: TRANSFORMATOR
A. TUJUAN
1. Memahami prinsip kerja transformator.
2. Menentukan nilai kerugian panas dalam, lilitan, faktor lipat tegangan dan
faktor regulasi.
C. TEORI DASAR
Prinsip kerja transformator atau disingkat trafo, dapat dijelaskan dengan gambar 1. Trafo
terdiri dari 2 jenis kumparan, yaitu kumparan primer dan sekunder yang dililitkan pada
susunan pelat besi lunak yang disebut teras trafo (transformer cofe).
Kumparan primer yang berjumlah lilitan Np adalah tempat daya listrik dimasukkan ke
trafo, sedangkan lilitan sekunder berjumlah N s merupakan tempat daya listrik diambil dari
trafo oleh beban. Jika kumparan primer dihubungkan ke sumber daya (sumber AC) maka
di teras dibangkitkan fluks magnetik. Berhubung kumparan sekunder juga memiliki teras
68
ini, maka kumparan sekunder juga meliliti fluks magnetik teras yang dibangkitkan oleh
kumparan primer. Fluks di teras selalu berubah-ubah sesuai dengan arus primer sehingga
pada kumparan sekunder akan dibangkitkan ggl induksi (sesuai hukum Faraday).
Besarnya ggl sebanding dengan banyaknya lilitan, sehingga kalau tegangan kumparan
primer Vp. dan tegangan kumparan sekunder V s, maka secara ideal berlaku persamaan
N s Vs
(1)
N P VP
Pada umumnya kumparan sekunder di trafo tidak hanya satu, tetapi terdiri dari beberapa
kumparan. Namun, besar tegangan tiap kumparan selalu sebanding dengan jumlah lilitan
dari masing-masing kumparan.
Trafo ideal adalah trafo yang hampir tidak mempunyai kerugian daya, ini berarti bahwa
daya yang diberikan pada kumparan primer senilai dengan daya yang diberikan pada
kumparan sekunder, atau secara matematis dinyatakan
V p I p Vs I s
(2)
Persamaan itu biasa dinyatakan dalam bentuk
V p I p cos( p ) Vs I s cos( s )
(3)
dengan cos s merupakan faktor daya primer, sedangkan cos p , merupakan faktor daya
sekunder. Pada persamaan (1), bila N s, < Np, sehingga Vs < Vp maka trafo disebut step
down, dan sebaliknya disebut step up.
Daya keluaran suatu transformator biasanya lebih kecil daripada daya masukan, Hal ini
disebabkan kehilangan daya dalam bentuk panas yang tidak bisa dihindarkan.
Kehilangan-kehilangan ini terdiri atas panas yang timbul pada lilitan primer dan sekunder
yaitu IR2 (kerugian tembaga), pemanasan dalam inti akibat histeresis dan arus eddy
(kerugian inti).
Secara teoritis dapat dituliskan kerugian tembaga
Kr I p2 rp I s2 rs
(4)
69
Np
2
Kt I rp
2
p rs I s2 Rtp (5)
s
N
Ns
2
Kt I rs
2
rp I p2 Rts (6)
s
N p
dengan Rtp, dan Rts adalah tara primer dan tara sekunder.
2
N
Rtp rp p rs (7)
Ns
2
N
Rts rs s rp (8)
N
p
Besar Rtp dapat dihitung dengan membuat kumparan sekunder dihubungkan pendek dan
daya masuk (Rp) serta arus (Ip) diamati sehingga diperoleh persamaan
Rp
Rtp
I p2
(9)
Vp
lmpedansi tara primernya adalah Z p sehingga reaktansinya dapat dihitung dengan
Ip
X p Z p2 Rtp2
(10)
Pada umumnya, nilai V s bergantung pada beban. Jika V so = tegangan sekunder tanpa
beban, sedangkan Vsb = tegangan sekunder dengan beban penuh, maka didefinisikan faktor
regulasi (R) sebagai
VSO VSb
R
Vsb (11)
Secara teoritis faktor regulasi dapat dihitung dengan mengukur tegangan kumparan primer
dan sekunder pada saat kumparan sekunder tanpa beban, maka r dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut
Ns
V p Vs
Np Vs V p
r
Vs Vp
(12)
D. CARA KERJA
Susunlah peralatan ditunjukkan pada gambar 2.
70
Gambar 2. Skema rangkaian percobaan transformator
Sebelum menentukan nilai kerugian panas dalam lilitan, faktor lipat tegangan, dan faktor
regulasi :
1. Buatlah untai seperti gambar 2.
2. Ukurlah besar Vp, Vs, dan Ip dalam keadaan tanpa beban.
3. Ukurlah besar Vp, Vs, dan Ip dalam keadaan ada beban (beban diberikan oleh
asisten). Ukurlah arus dan tegangan sekundernya.
4. Tentukan nilai kerugian panas dalam lilitan, faktor lipat tegangan dan faktor
regulasi
E. PERHITUNGAN
Hitung faktor lipatan , kerugian, faktor regulasi dengan beban dan tanpa beban dari trafo!
F. PERTANYAAN
1. Turunan rumus untuk mencari perbandingan tegangan pada trafo!
2. Jelaskan cara kerja Trafo!
3. Jelaskan dengan hukum Faraday adanya hubungan antara adanya tegangan
primer dan munculnya tegangan sekunder!
71
DAFTAR PUSTAKA
Tim Dosen Fisika Dasar Jurusan Fisika FMIPA UNJ, “Panduan Praktikum Fisika Dasar
II”, Laboratorium Fisika Dasar, Jurusan Fisika FMIPA, UNJ, 2006
Djoko Triyono, Lingga Hermanto, Dede Djuhana, Iwan Sugihartono, “Panduan Praktikum
Fisika Lanjutan”, Laboratorium Fisika Lanjutan Departemen Fisika, FMIPA, Universitas
Indonesia, 2007
Halliday, Resnick, Jearl Walker, “Principles of Physics 9th”, John Wiley, 2011
72