Anda di halaman 1dari 5

Ar-Rahman di Bibir Ayah

oleh GG (komplek VI)

Sambil menyeka ingus yang menggantung di lubang hidungnya, Naurah menjejalkan


pakaian-pakainnya ke dalam sebuah koper kecil berwarna hitam. Sesekali ia mengusap air
mata yang tak berhenti menggenangi pipi dengan ujung kerudung abu-abu yang
dikenakannya. Keputusannya sudah bulat. Pokoknya ia ingin segera keluar dari rumah ini.

Sayup-sayup, suara ayah yang melantunkan Surah Ar-Rahman terdengar dari ruang
tengah. Sebetulnya suara itu terdengar begitu merdu. Menyentuh hati siapapun yang
mendengarnya lewat bening kalam suci. Namun Naurah memilih untuk tidak peduli. Cinta
Naurah pada ayahnya sudah lama mati.

Usai mengepak barang-barang terakhirnya, Naurah memanggul ranselnya di bahu,


lantas menyeret kopernya ke luar kamar. Ayah yang tengah mengaji di atas sofa langsung
menutup Al-Qur’annya. “Pergi sekarang?” Beliau bertanya.

Langkah Naurah refleks terhenti.

Gadis itu sempat berpikir bahwa ayahnya akan menahannya pergi, memohon-mohon
padanya dengan air mata berlinang dan sebagainya. Namun, rupanya beliau hanya berkata
pendek. “Hati-hati.”

Naurah mendengus. Gadis itu kembali melengos menuju pintu rumah.


“Assalamualaikum.”

...

Sepanjang perjalanan, Naurah hanya melamun tatapan menerawang ke luar jendela


kereta. Air matanya telah mengering sejak tadi. Namun selelah apapun dirinya setelah
menangis, dirinya tetap tidak bisa tidur. Pikirannya melayang-layang menapaki hari-hari
terakhirnya bersama Ayah yang suram. Kini, untuk pertama kalinya ia akan pergi begitu
jauh meninggalkan Bandung, dan kemungkinan besar takkan kembali lagi. Kota yang
menjadi saksi bisu eksistensi Naurah selama delapan belas tahun sejak ia lahir.

Sejak ibunya meninggal dunia sebulan yang lalu akibat terkena serangan jantung,
ayahnyna berubah sama sekali. Senyumnya, pendar hangat tatapannya, dan segala yang
berhubungan dengan kasih sayang menghilang dari diri Ayah begitu saja. Ayah berubah
menjadi sosok yang begitu dingin.
Satu-satunya yang tak berubah dari Ayah hanyalah lantunan surah Ar-Rahman yang
senantiasa dibacanya dengan merdu setiap senja. Hal ini masih bisa dimengerti Naurah,
sebab mendiang ibunya yang penuh kasih itu menghembuskan napas terakhirnya sesaat
sebelum mentari tenggelam. Namun, pada segala sikap dingin Ayah Naurah memilih
menyerah. Anak mana yang sanggup tinggal berdua dengan orang tua yang bahkan tak
menganggap dirinya ada?

“Turun di mana, Mbak?”

Naurah tersadar dari lamunannya. Rupanya yang menegurnya barusan adalah


seorang wanita muda berhijab lebar yang duduk di sebelahnya.

“Surabaya.” Naurah menjawab pendek. Kota yang menjadi tujuan terakhir dari kereta
ini.

“Tujuannya mana?”

Naurah tak menjawab. Sejujurnya ia sendiri pun tak punya ide sama sekali mengenai
apa yang akan dilakukannya setiba di kota besar itu nanti. Sejak ibunya tiada, keinginan
Naurah untuk kuliah menguap begitu saja. Mungkin nanti ia akan segera menyewa kos-
kosan termurah dan mencari pekerjaan secepat mungkin. Meski Naurah sendiri tahu
semuanya takkan semudah itu. Sejengkalpun Naurah tidak mengenali kota Surabaya. Uang
yang dimilikinya pun terbatas, dan bahkan ijazah SMA-nya belum keluar. Bagimana ia akan
mendapatkan pekerjaan dengan mudah?

Si hijab lebar tersenyum. Rupanya ia melihat sorot keputusasaan yang terpancar dari
mata sayu Naurah.

“Ikut saya ke Jombang, mau ?” tawarnya. Melihat tatapan sang wanita yang
memancarkan kebaikan, akhirnya Naurah mengangguk. Entahlah, ia sudah pasrah pada
takdir Tuhan. Semoga pilihannya barusan benar.

Wanita itu mulai memperkenalkan diri. Namanya Ata, usianya 20 tahun. Ia


merupakan mahasiswi di salah satu universitas di Jombang. Yang membuat Naurah minder,
Ata ternyata putri seorang kiai yang memimpin salah satu pondok pesantren di kota
tersebut.

“Kalau kamu sendiri asal mana ?” tanya Ata begitu ia menutup cerita tentangdirinya.
Mau tak mau Naurah pun menceritakan semuanya. Mulai dari ibunya yang pergi untuk
selama-lamanya, ayahnya yang berubah, bagaimana ia merasa begitu tertekan dengan
semuanya hingga memutuskan untuk pergi dari rumah.
Ata tampak prihatin. Wanita itu merengkuh tubuh kurus Naurah, menyalurkan rasa
hangat yang sudah lama tidak Naurah rasakan. ” Naurah ikut saya, ya? Nggak apa-apa, nanti
tinggalnya sama keluarga saya. Anggap saja keluarga sendiri ya.”

Naurah tak mampu berkata apa-apa. Perlahan, air matanya kembali menetes. Ia
sungguh merindukan kehangatan seperti ini. Kehangatan kasih sayang yang tulus. Dan pagi
ini, di atas kereta yang terus berderak ini, Tuhan mengembalikan rasa hangat itu pada
Naurah.

Mungkin dengan ini ia bisa melupakan ayah.

...

Satu tahun telah berlalu sejak Naurah meninggalkan Bandung. Kini ia telah menjadi
mahasiswi di universitas yang sama dengan Ata. Tentu saja Buya Ali, ayah Ata yang
membiayainya. Kiai yang kaya raya itu begitu baik hati memperlakukan Naurah seperti anak
sendiri. Begitu pula dengan Ummi Ita dan Athiyyah, ibu dan adik Ata.

Pagi itu seusai subuh, Naurah tengah menyetorkan hafalan Al-Qur’annya pada Ummi
Ita. Kehidupan yang religius di lingkungan pesantren telah banyak mempengaruhi jiwa
Naurah, termasuk keinginan untuk menghafal Al-Qur’an.

“Shadaqallahul ‘adziim,” Naurah menyudahi bacaannya. Ummi Ita tersenyum.


Lihatlah, gadis belia yang dahulu mendatangi rumahnya dalam keadaan kacau, kini telah
menjelma menjadi sosok yang anggun.

“Nak, mendekatlah, Ummi ingin membicarakan sesuatu.” Ummi Ita menepuk-nepuk


karpet di sebelahnya.

Naurah menelan ludah. Tak biasanya Ummi mengajaknya bicara empat mata seperti
ini, kecuali untuk pembicaraan yang sangat penting. Saat itu Buya Ali sedang berada di luar
kota dan Ata di mushala pondok sedang menyimak hafalan para santriwati. Athiyyah yang
tengah sakit masih tidur di kamar. Hanya ada keduanya di ruangan besar ini. Meski
demikian, Naurah tetap mendekat.

Ummi Ita menatap Naurah penuh kasih. “Nak, Ummi tahu kamu begitu menyayangi
keluarga ini. Kami pun begitu menyayangimu. Sungguh, bagi Ummi, Naurah sudah seperti
anak kandung Ummi sendiri.”
Naurah membeku. Ia tahu ke arah mana percakapan ini tertuju.

Tangan Ummi yang halus membelai lembut kepala Naurah yang dibalut hijab lebar.
“Nak, sudah lebih dari setahun kamu meninggalkan ayahmu. Ummi paham kamu kecewa
dengan sikap ayahmu. Tapi bagaimanapun, Anakku, beliau tetaplah orang tua kandungmu.
Setidaknya datanglah padanya untuk meminta maaf selagi beliau masih ada.”

“Naurah nggak bisa, Ummi...” Suara Naurah bergetar. “Naurah benar-benar nggak
tahan tinggal sama Ayah..”

Sambil tersenyum Ummi menggeleng. “Ummi tidak bermaksud mengusirmu, Sayang.


Kamu cukup memperbaiki hubunganmu dengan beliau. Setelahnya, kau boleh kembali lagi
ke sini, meneruskan kuliahmu hingga kau lulus.”

Mata Naurah memanas. Teringat kembali bagaimana sikap ayahnya selama ini yang
jauh dari kata hangat. Pada hari kepergiannya, ayahnya bahkan tak menggubrisnya, hanya
memandangnya tak peduli sambil berkata “hati-hati”.

“Hati-hati.”

Seketika tangis Naurah pecah. Ya Allah, betapa durhakanya dirinya selama ini.
Sungguh, ia baru menyadari betapa berartinya kata “hati-hati” yang diucapkan oleh ayahnya.
Lantunan surah Ar-Rahman yang mengalir merdu dari bibir Ayah terngiang di telinganya.

Maka nikmat Tuhanmu mana lagi yang kamu dustakan?

Ummi Ita membawa Naurah yang semakin tergugu ke dalam pelukannya. “Insya
Allah belum terlambat untuk kembali, Nak. Pulanglah. Ummi sudah memesankan tiket
kereta keberangkatan pagi ini untukmu. Sekarang kau bisa bersiap-siap.”

Masih dalam keadaan terisak, Naurah mengangguk, lantas ke kamar untuk


menyiapkan keperluannya. Sama seperti setahun yang lalu, pagi ini ia mengepak barang-
barangnya dengan air mata berjatuhan. Menyadari betapa bodoh dirinya selama ini.

Tuhan memang mengambil ibunya secara tiba-tiba. Tuhan memang merenggut


kebahagiaan keluarganya secara paksa. Tapi bukankah memang hak Tuhan untuk
melakukannya? Dan lagi, Tuhan masih menyisakan Ayah untuknya, meski dalam keadaan
yang tak lagi sama.

Tentu saja Ayah tetap menyayanginya, namun kini dengan cara yang berbeda. Karena
setelah mengalami kehilangan yang menyiksa, pastinya Ayah butuh waktu untuk dapat
menunjukkan kembali cintanya sepenuhnya. Dan Ayah hanya mampu menyampaikannya
lewat surah Ar-Rahman, yang sejak Naurah kecil tak pernah absen beliau baca setiap
menjelang senja.

Ar-Rahman, surah yang menguraikan betapa agungnya kasih Tuhan.

Hingga akhirnya, ketika matahari siap untuk tumbang di kaki langit kota Bandung,
Naurah turun dari taksi yang membawanya dari stasiun ke depan rumahnya. Dengan air
mata yang mengalir deras, gadis itu berlari menuju rumahnya, mengetuk pintu bertubi-tubi.
Namun, pintu tak kunjung dibuka. Suara merdu Ayah yang melantunkan Ar-Rahman
semakin terngiang di telinganya.

“Ayah, maafkan Naurah, Naurah pulang, Yah...”

...

Anda mungkin juga menyukai