Anda di halaman 1dari 7

KABUT DI LELENBALA Oleh : Gabriela Nogo Retnaningtyas Bunga Naen

Pagi ini terasa dingin, lembab, dan berangin. Rasa dingin menusuk sampai ke tulang, meskipun aku sedang berada di depan tungku. Kukupas pisang rebus dan kupotong-potong. Teh manis, sepiring pisang rebus, dan sepiring jagung titi(1), itulah menu sarapan kami sekeluarga pagi itu. Saat aku terbangun tadi pagi, kulihat Ema(2) sementara titi jagung(3) di dapur. Matanya bengkak, dan aku yakin bukan karena asap api dari jagung yang sementara disangrai. Bukan pula karena baru bangun tidur. Hal itu pasti lebih karena pembicaraan kami berdua, tadi malam. Atau apapun yang dipikirkannya. Sudahlah Ema, biar kuteruskan saja titi jagungnya, kataku. Sudah selesai nak, katanya singkat, sambil membersihkan wato inang(4) dan wato anan(5) yang tadi di pakainya untuk membuat jagung titi. Jadi, kubuat teh dan sarapan, lalu membawanya ke meja kecil di depan dapur. Kami sarapan bersama dalam diam. Ema, aku dan dua adikku Alve dan Dino. Sementara kami sarapan, kabut melayang perlahan sampai ke tempat kami duduk berempat. Dino merapatkan kain sarung yang dipakainya, Alve merapatkan tubuhnya pada Ema. Ema.., panggil Dino. Kalau Ema belum ada uang, biar aku tidak usah sambut baru(6) dulu, katanya. Kuberi isyarat pada Dino agar dia menutup mulutnya. Ema minumlah teh itu sebelum dingin. Alve dan Dino habiskan sarapanmu dan pergi angkat air. Kakak sudah tadah tadi, kalian tinggal angkat saja, kataku. Baik kak Lisbeth, adik-adikku melompat bangun. Pada pagi yang berkabut dan sedingin ini, banyak orang yang enggan pergi ke mata air, jadi tadi kusempatkan untuk mengisi tiga ember air yang kuciduk dari mata air.

Seperginya Alve dan Dino, Ema bangkit. Aku mengumpulkan piring dan gelas, kuletakkan di tempat cuci piring dan menyusulnya. Ema, aku sudah mempertimbangkan pembicaraan kita semalam. Aku belum bisa memutuskannya, maafkan aku Ema. Aku mohon, Ema bisa mengerti, kataku. Ema menghapus air matanya dan memelukku. Iya nak, semua yang terjadi bukan semata tanggung jawabmu, katanya. Suaranya nyaris tak terdengar. Perutku mendadak terasa mual. Cepat-cepat kuambil pisau dan baskom dari dapur, menyambar sehelai kain lap besar dan bergegas ke kebun. Kebun kami ada dua bidang, yang pertama dekat kampung dan yang kedua kurang lebih dua kilometer dari kampung. Aku memilih kebun yang lebih dekat, sekedar menjauhkan diri dari rumah. Bapak.., ratapku. Kalau kau masih ada tentu tidak seperti ini keadaannya, bisikku lagi. Saat memetik sayur daun ubi, daun pepaya dan labu jepang, air mataku tumpah. Tadi malam Ema memanggilku. Ia mengatakan bahwa tak ada cukup uang lagi untuk sekedar makan minum sehari-hari. Gagal panen yang terjadi di pulau Adonara kali ini membuat kami benar-benar tidak memiliki penghasilan. Kopi tidak berbuah, bunga pohon coklat runtuh sebelum waktunya, dan kemiri tidak mau berbuah. Entah penyakit apa yang menyerang pohonpohon kami itu. Hal itu membuat kehidupan di kampung kami benar-benar porak poranda. Aku mau merantau ke Malaysia. Kau, Lisbeth tinggalkan sementara sekolahmu, dan jaga adik-adik. Ema sudah meminjam uang untuk ongkos kapal ke Malaysia, kata Ema. Ema untuk hal sepenting itu, mengapa kau mengambil keputusan sendiri. Biar aku berhenti sekolah dan merantau. Ema yang jaga adik-adik di rumah. Atau tidak adakah jalan lain? tanyaku. Ina(7).. kau sudah besar. Sejak bapakmu meninggal empat tahun yang lalu, kau sendiri bisa melihat betapa berat kehidupan kita. Terlebih satu tahun terakhir tidak ada hasil kebun. Jangankan untuk sekolahmu, adat kawin mawin dan kematian. Untuk makan sehari hari saja Ema harus berhutang, gali lubang tutup lubang. Satu kebun sudah tergadai. Apa lagi yang bisa kita kerahkan ?

Lalu, bagaimana hidupku dan adik-adik sepeninggal Ema? Apa yang bisa ku lakukan untuk menghidupi mereka? tanyaku. Ema tidak menjawab, hanya air matanya yang jatuh berkilau diterangi lampu pelita yang bersinar samar. Ema, tetaplah disini, susah senang kita hadapi bersama. Uang yang kau pinjam besar sekali bunganya, kapan terbayarkan? Untuk apa Ema menambah masalah? Ema tidak menjawabku, hanya berbalik masuk dan menutup pintu kamarnya. Tertutupkah juga hatinya untuk permintaanku? Aku lahir dan dibesarkan di pulau Adonara, tujuh belas tahun yang lalu. Pulau yang indah dengan bukit bukitnya yang teramat subur dengan hasil bumi berlimpah seperti kelapa ,kopi, coklat, kemiri dan cengkeh. Udara yang nyaman dan bersih, makanan alami yang nikmat, Ile Boleng gunung berapi yang terletak di Adonara Timur, terlihat cemerlang puncaknya dari kampungku, Lite Lelenbala. Tetapi itu dulu. Tepatnya setahun yang lalu. Entah kenapa, Tuhan menjatuhkan murkanya ke pulau ini. Bunga coklat mengering, yang sempat menjadi buah kala dibelah bijinya sudah menghitam. Kemiri tidak mau berbuah, juga kopi dan cengkeh hasilnya menurun drastis. Listrik belum mencapai desaku, juga sinyal telekomunikasi. Untuk penerangaan, kami menggunakan lampu pelita, ada juga yang menggunakan generator, namun hanya pada keluarga yang mampu. Ranting berderak. Kulihat Kopong, tetanggaku. Dia seorang lelaki Adonara yang kuat dan rajin bekerja. Umurnya mungkin mendekati empat puluh tahun, seorang duda dengan satu anak. Isterinya meninggal ketika melahirkan anaknya dulu. Apa yang kau lakukan disini Lisbeth? tanyanya. Aku menghapus airmataku. Aku tidak tahu Ama(8). Aku hanya sedang merasa menjadi seorang perempuan yang tidak berguna. Air mataku jatuh lagi. Ia berdiri mengamatiku. Kau sudah besar. Banyak hal dapat dilakukan seorang wanita dewasa, katanya. Apa masalahmu?, lanjutnya.

Aku mungkin akan meninggalkan sekolahku. Merantau atau mengurus adik-adikku di sini. Ema sudah memutuskan akan merantau ke Malaysia. Kalau begitu tak ada masalah bukan? Tiba-tiba dia tersenyum. Larilah(9) denganku. Kita bisa berdua bersama Lisbeth. Sudah lama aku tidak beristri lagi. Aku terpana. Lari? Kawin lari? Bersama Kopong? Pikirkan kata-kataku, katanya. Dikemasinya parang dan tuak putih bawaannya dan dia berlalu. Lama aku tertegun, bergidik. Sama sekali tidak terpikir olehku untuk dilamar dalam kondisi seperti ini. Dilamar? Saat umurku masih seperti ini? Oleh seorang duda? Dengan umur dua kali lipat dari umurku? Pada saat aku masih seorang siswa SMA? Bapak, dimana kau? Sorenya aku ke Waiwerang. Saat berpamitan, aku mencium Ema. Ema, pikirkan dulu kata-kataku. Jangan gegabah bertindak. Jangan melakukan apa pun tanpa sepengetahuanku, pamitku. Aku bersekolah di SMAN 1 Adonara Timur, yang terletak di desa Riang Bunga Kecamatan Adonara Timur yang beribukota di Waiwerang. Aku tinggal menumpang pada sepupu jauh bapakku, sehingga tidak ada biaya kontrak rumah. Sepupu bapak seorang nelayan, yang rumahnya unik di tepian pantai. Pantai itu memiliki nama yang romantis, Pantai Asmara, di wilayah Waiwerang bagian Timur. Pantai berbatu yang indah, berpasir putih, dengan lambaian pohon kelapa yang mendayu-dayu, ditambah lagi dengan kerindangan pohon asam dan mente. Sesuai namanya, suasananya memudahkan lidah-lidah yang kelu mengungkap perasaan dari lubuk hati terdalam. Samuel Igo Ama Tokan. Pantai Asmara. Dua hal yang tidak terpisahkan dan akan sangat sulit untuk aku lupakan. Kami sering berbagi tentang cita-cita dan impian untuk masa yang akan datang. Bersama, kami memikirkan hal yang akan kami lakukan setelah menyelesaikan sekolah nanti. Banyak program beasiswa yang akan membantu biaya kuliah kita. Kakak sepupuku berhasil mendapatkan beasiswa penuh di Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Atmajaya, Jogyakarta. Kita bisa mendapat informasi itu melalui internet , kata Igo pada suatu waktu. kita hanya mesti berprestasi di kelas dan di kegiatan lain di luar sekolah, sambungnya.

Tetapi, bagaimana dengan biaya bulanan kita nanti? tanyaku. Air pantai yang dingin merendam kaki kami di sela-sela batu. Tangan Igo menggenggam tanganku. Lisbeth, katanya. Aku tidak bisa menjanjikan apapun padamu. Tapi aku punya impian. Kita kuliah bersama, menghadapi kesulitan bersama, mencapai sukses bersama, dan bersama untuk selamanya, Igo memandangku. Maukah kau bermimpi bersamaku? Aku hanya tersenyum. Aku hanya mengeratkan genggaman tanganku. Demikianpun Igo. Mimpinya. Mimpiku. Mimpi kami bersama. Sesampai di tempat tinggalku di Waiwerang, Ida teman sekamarku menyodorkan sehelai amplop. Dari sekolah kepada sdr. Elisabeth Nini Laga. Isinya, bersama temanku Samuel Igo Ama Tokan, kami terpilih mewakili NTT untuk mengikuti olimpiade kimia tingkat nasional tahun 2011 di Manado, Sulawesi Utara. Semangatku bangkit. Apa pun hasilnya di tingkat nasional nanti, aku harus berusaha keras, belajar giat dalam mempersiapkan semuanya. Bersama Igo yang datang ke rumah sekitar jam tujuh, kami belajar menyelesaikan soalsoal setingkat olimpiade kimia. Juga mengidentifikasi materi-materi kimia yang masih kami rasakan lemah. Empat hari persiapan di sekolah, latihan-latihan soal, sebagian Igo mengunduhnya dari soal olimpiade kimia internasional, telah berhasil kami selesaikan. Bajubajuku sudah masuk ke dalam tas. Kumasukkan tiket pesawat Larantuka - Kupang ke saku celana panjang yang akan ku pakai besok. Kabar itu datang saat aku baru menaruh barang bawaanku yang sudah siap angkut di tempat tidur. Ida dan ayahnya, sepupu ayahku yang meyatakan kepadaku bahwa Ema sudah pergi dari rumah, bersamaan dengan kepergianku dari kampung ke Waiwerang. Ada yang mengatakan, Ema sudah ke Larantuka dan naik kapal laut menuju Nunukan. Ada yang mengatakan, Ema kawin lari dengan laki-laki yang berasal dari Maumere. Ada pula yang mengatakan, Ema pergi tanpa berpesan apapun termasuk pada adik-adikku yang sepeninggal Ema sekarang sakit di kampung. Malam itu juga aku kembali ke kampung. Kucium adik-adik. Kukatakan pada mereka, semua akan baik-baik saja. Setelah mereka tertidur, aku berjalan kaki ke rumah Kopong.

Sekelilingku gelap gulita. Seperti hatiku. Aku mengetuk pintu rumahnya. Dia sendiri yang membuka pintu. Aku telah memikirkan ucapanmu. Dan sekarang ini aku datang. Apa yang akan kau lakukan? Kopong menarikku ke dadanya. Tinggallah disini jadilah istriku, ibu anakku. Nanti baru aku atur untuk mengantar witi bala(10) ke rumah. Jadi, beginilah aku sekarang. Tiket pesawat Larantuka Kupang masih ada di saku celanaku. Besok pagi, pasti Igo akan menunggu di bandara Watowiti- Larantuka. Dan dia akan ke Kupang tanpaku. Tidak ada lagi olimpiade kimia. Tidak ada lagi sekolah. Tidak ada lagi impian itu. Tetapi aku tidak boleh menangis. Tinggal aku, wanita yang mencoba dewasa mengurus suami, anak tiri dan dua adikku. Lelenbala terasa senyap, dingin, dengan kabutnya yang serasa mulai merambati relung-relung dadaku. Catatan: 1. Jagung titi : Makanan khas Adonara, dibuat dari jagung yang digoreng tanpa minyak, lalu dipipihkan 2. Ema : panggilan untuk ibu membuat jagung titi Batu dengan permukaan rata, lebar, sebagai alas untuk memipihkan jagung 5. Wato anan : Batu bulat, dapat digenggam, sebagai alat untuk memukul jagung pada wato inang sehingga pipih dan tipis. 6. Sambut baru : 7. Ina 8. Ama 9. Lari : : : Upacara penerimaan Komuni Pertama bagi penganut agama Katolik Panggilan untuk wanita Adonara Panggilan untuk lelaki Adonara Kawin lari, wanita pergi tinggal serumah dengan pria tanpa sepengetahuan orang tua dan keluarga 10. Witibala : Maskawin untuk wanita Adonara, berupa gading berukuran panjang kurang lebih satu depa,dan sejumlah binatang (berjumlah ganjil, minimal tiga) berupa babi dan kambing.

3. Titi jagung : 4. Wato inang :

Anda mungkin juga menyukai