Sinopsis Buku
Buku ini membahas tentang bagaimana seorang pemenang berpikir,
bagaimana cara seorang pemenang beraksi, bagaimana cara seorang
pemenang menyikapi keadaan di lingkungan sekitar. Dimana
masyarakat harus dapat merubah mind set, tidak hanya yang kaya yang
dapat berkuasa yang mempunyai harta dapat bebas membeli segalanya.
Dan tidak semua hal dipandang ketika telah menjadi sebuah hasil, kita
juga memerlukan latihan. Latihan itu berupa proses menuju kesuksesan,
tidak ada manusia yang secara tiba-tiba bisa menjadi sukses tanpa
adanya proses perjalanan panjang kecuali mereka yang berlatar belakang
mempunyai kekayaan berlebih.
Bayangkan saja jika seorang David Beckam yang sekarang telah sangat
sukses dalam bidang olah raga sepak bola. Namun dia selalu melakukan
Free Kick 700 kali per hari, proses itulah yang membuat dia menjadi
pemain sepak bola hebat.
Pada bab tujuh ini anggaplah yang menjadi sebagai pemenang di atas
pemenang itu ialah diri kita,
“Kalau Kita terlahir miskin bukan salah Kita, tapi kalau Kita mati
miskin, itulah salah Kita”. So, Don’t give to live this life, there’s a
will there’s a way .
Saya yakin dan percaya dengan adanya buku ini mampu menyadarkan
para pembaca untuk selalu berusaha menjadi pemenang di atas
pemenang, dengan membaca buku ini, kita dapat berpikir ulang
mengenai masa depan.
Kekurangan Buku: Ada beberapa penggunaan kata yang kurang tepat
contoh “saat saya usia 21 tahun” sebaiknya menjadi “ saat saya berusia
21 tahun atau saat usia saya 21 tahun”, ada juga beberapa bahasa yang
kurang dimengerti dan tidak ada footnote/catatan kaki.
Penerbit : Republika
Sinopsis
“Apalah arti memiliki, ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami?
Apalah arti kehilangan, ketika kami menangis terluka atas perasaan yang
seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati atas
sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apapun?
Wahai, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan
tak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu
dan melupakan jaraknya setipis benang saja.”
Tere Leye meracik cerita dengan begitu menarik. Belum lagi dengan
nuansa latar yang berbeda seperti kehidupan di atas kapal uap besar. Di
atas kapal juga terjadi interaksi sosial antar penumpang kapal. Juga
terdapat fasilitas-fasilitas umum seperti kantin, masjid, dan tukang jahit
kapal.
Ada pula tokoh yang bernama Ambo Uleng. Dia adalah seorang pelaut.
Hampir seluruh hidupnya dihabiskan di atas lautan. Ambo Uleng
rupanya menuruni sifat ayahnya yang seorang pelaut juga. Ia menaiki
kapal Blitar Holland tidak dengan tujuan apapun. Tidak untuk bekerja,
mengumpulkan uang, atau apapun. Ia hanya ingin pergi sejauh-jauhnya
meninggalkan tanah Makassar yang ia jalani melalui kisah pilunya.
Di sisi lain, ada seorang keturunan Cina. Ia sering mengajari ngaji anak-
anak di mushola kapal sepanjang perjalanan haji. Anak-anak biasa
memanggilnya Bonda Upe. Bonda Upe ini rupanya sedang memendam
masa lalunya sebelum memeluk Islam. Hingga tiap malam ia selalu
menangisi dosa-dosanya yang dulu.
Dari sini pula diceritakan Gurutta Ahmad Karaeng, ulama tersohor asal
Makassar yang mengikuti perjalanan haji. Beliau rutin melaksanakan
solat berjamaah bersama penumpang lain. Secepat itu pula Gurutta
meminta izin kepada kapten untuk mengadakan pengajian di atas kapal.
Beliau adalah sosok yang selalu memberikan jawaban terbaik atas
pertanyaan orang-orang. Namun ternyata ia sendiri telah memendam
lama sebuah pertanyaan yang tak mampu seorang pun menjawab.
Kelebihan dan kekurangan buku
Adapun kelebihan buku ini adalah alur ceritanya yang begitu menarik
dan mengalir untuk dibaca. Juga menyajikan nuansa latar yang berbeda.
Yakni peristiwa kehidupan yang terjadi di atas kapal ibarat kapal uap
besar itu adalah sebuah kampung. Sedang kekurangan buku ini terletak
pada sampul buku yang kurang begitu menarik. Tidak sebanding dengan
isinya yang begitu menarik untuk dibaca.