com/playlist/23UvBevW1vK
8pzTv69ugeG?si=c17541108a2647f7
Rendra Abaskara
Dulu, saat usia Rendra menginjak 6 tahun, dia mulai merasakan jika sang Papa
membedakan dirinya dengan ketiga saudaranya. Namun, selayaknya anak kecil pada umunya,
kala itu Rendra tidak mengambil pusing semuanya. Rendra hanya tahu sekolah-bermain
dengan ketiga saudaranya. Hingga seuatu ketika saat Nasa−kembaran bungsunya jatuh
dari sepeda yang membuat kepalanya berdarah sampai dilarikan ke rumah sakit, dia baru
sadar jika dirinya yang dituntut untuk menjadi anak yang baik.
“Kamu gimana sih, Kak? Adeknya jatuh sampai berdarah itu gimana ceritanya?”
Hanya dia yang dimarahi kala itu karena memang Rendra lah yang memberi izin Nasa
untuk bersepeda, sedangkan Kevin dan Gara memilih bermain bola di lapangan dengan
teman lainnya.
Sentakan itu mampu membuat Rendra bungkam seribu bahasa karena baru kali ini
“Kalau kamu enggak bisa ngelindungi Nasa, gimana buat Kevin sama Gara? Kamu ini
Ah dua kata ini lagi, anak pertama membuat Rendra sempat muak tapi dia hanya
diam.
Sang papa mendekat ke si sulung, lalu dia cengkram kuat tangan si sulung hingga
menyakiti tangannya.
Belum sempat Rendra meminta maaf dengan mengadu, tiba-tiba sang mama datang.
“Mas! Kamu itu apa-apaan sih?!” sang Mama langsung memeluk Rendra dengan
“Ya gini kalau manjain anaknya terus, jadi enggak bertanggung jawab!”
Rendra mulai menutup matanya takut, memang bukan hal pertama dia dibentak sang
Papa, tetapi baru kali ini sang Papa benar-benar menyelipkan berbagai nada amarah, tanpa
ingin meredakan sedikit pun. Rendra, mulai takut. Entah apa yang dilakukan sang Mama
karena kali ini dia tidak mendengar sang Papa lagi membuatnya membuka mata.
“Kakak nggak papa?” tanya Mama seraya memutar tubuh Rendra dengan pelan,
matanya menjelajah segala arah tubuh Rendra dan bernapas lega setelahnya. Senyum
manis masih terpatri jelas di wajah anggun nan cantik milik sang Mama membuat Rendra
“Mama nggak marah? Kan aku udah nyelakain adek,” ucap Rendra begitu pelan yang
masih terdengar jelas oleh sang Mama. Tangan lentik mulai terulur untuk mengelus rambut
“Ngapain marah? Ini namanya musibah, Kak. Enggak ada yang tahu kalau adek
bakalan jatuh kayak gini,” tangan sang Mama masih betah berada di puncak kepala Rendra
“Maafin Papa, ya? Emang Papa orangnya panikan, keras, makanya waktu tahu adek
“Tapi kalau kakak mau marah, enggak papa loh! Kakak berhak marah, berhak sebel
sama Papa, tapi jangan lama-lama, ya? Nanti adek sama Mama sedih kalau ngambeknya
lama-lama.”
Rendra tersenyum kecil, selalu seperti ini. Jika sang Papa memarahinya, maka yang
meminta maaf adalah sang Mama, tetapi sang Mama tidak melarang dirinya atau ketiga
“Kakak harus minta maaf dulu ya Ma?” tanya Rendra. Kini mereka sudah duduk di
Rendra berpikir sejenak, jelas bagi dirinya sang Papa yang salah karena datang-
datang langsung memarahi tanpa bertanya bagaimana keadaan atau sekedar bertanya
bagaimana kejadian tadi siang hingga sang adik masuk rumah sakit.
“Papa,” gumam Rendra yang langsung melotot karena takut sang Mama salah paham.
“Aku juga salah kok!” lanjutnya membuat sang Mama tertawa geli sembari mencubit pipi
Rendra menggeleng keras, takut sang Mama akan mengadukan hal ini ke sang Papa
Hening sejenak. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Rendra kecil kala itu.
“Kalau nggak mau minta maaf dulu enggak papa kok, emang papa yang salah. Tapi
kak, mama pernah cerita nggak sih kalau orang yang minta maaf dulu itu orang yang punya
“Ya udah, aku mau kayak Mama aja! Aku bakalan minta maaf duluan sama papa,” ucap
Rendra kecil dengan nada ceria yang mampu membuat senyum sang Mama kian melebar.
“Tapi kakak ikhlas nggak? Kalau masih ngambek, nggak papa, it’s okey. Kadang Mama
ngambek, boleh?”
“Boleh dong!”
Saat usia Rendra menginjak 7 tahun, Rendra kecil semakin paham akan posisinya.
Ternyata dia adalah anak sulung di sini, ternyata hanya dia yang tidak boleh sedih berlarut-
larut karena ketiga adiknya akan semakin sedih jika ia ikut sedih. Hingga hari yang paling
menyeramkam datang dalam hidup Rendra datang. Hari pemakaman sang Mama, hari dimana
dia tidak akan melihat sang mama lagi, hari dimana mataharinya akan pergi membuat
harinya gelap seketika. Namun, Rendra kecil kala itu hanya mampu menatap keadaan
Papanya yang masih menangis di sebelah sang Mama yang cantik dengan gaun putihnya.
Sedangkan Kevin, Gara, dan Nasa yang dipeluk oleh oma, opa, dan tantenya. Rendra kecil
melihat dari kejauhan. Matanya bengkak karena menangis dari kemarin, tetapi dia teringat
ucapan sang Mama jika kita kehilangan seseorang, harusnya kita tidak boleh sedih. Tuhan
lebih sayang orang yang diambil, jadi buat apa sedih? Kata sang Mama suatu ketika tatkala
Rendra hanya tersenyum tipis dan mengangguk kecil pada omnya membuat Damar
Seketika matanya blur, tergantikan air mata yang mulai menetes, ternyata
perkataan sang mama tempo hari tidak bisa dia terapkan di suasana ini. Ternyata, semua
tentang mama masih membekas di anak berusia 7 tahun itu. Ternyata, sang mama sangat
Tak hentinya Damar mengelus punggung Rendra kecil dan merapalkan kalimat menangkan
Nyatanya, segala tentang sang mama masih belum bisa Rendra ikhlaskan. Rendra
kecil mulai menangis tanpa henti dia mengeluarkan seluruh hatinya ke om keduanya. Dia
“Nanti nggak ada yang belain kakak lagi ya Om? Nanti kakak nggak bisa ngadu kalau
lagi sedih, nanti kakak enggak bisa−” ucapan Rendra terhenti karena tangisnya yang
teredam peluk Damar. Tangisan yang siapa saja yang mendengar pasti tahu jika dia berada
di titik tersedih. Tangisan meraung seakan mengadu jika setelah ini, tidak ada lagi Rendra
Kevin kecil adalah Kevin yang selalu mengikuti segala jenis olahraga, bahkan ketika
dia berusia 6 tahun dia sudah bisa bermain bola, basket, dan voli membuatnya kerap kali
diajak sang papa jika ada kumpul bersama rekan kerjanya. Kevin kecil tidak terlalu
memusingkan hal itu karena dia bisa mendapat banyak teman dari pertemuan ini. Kevin kecil
juga anak yang pandai menangkap semua pelajaran dan mengikuti bela diri taekwondo di
teman sang papa membuat namanya semakin melambung di kalangan rekan kerja sang papa.
temannya, tetapi Kevin tolak dengan baik karena menurutnya itu hal yang sangat tidak
penting. Hingga dia mendengar jika adik pertamanya−Gara kena pukul temannya membuat
amarah Kevin naik. Tanpa banyak bertanya, dia langsung melayangkan tinju ke lawan Gara
membuatnya langsung jatuh. Kevin kecil yang tidak terima melihat pelipis Gara sedikit
membiru, langsung memukul pelipis temannya juga agar impas. Memang, tindakannya
semata-mata untuk melindungi adiknya, tetapi hal itu dipandang berbeda oleh sang papa
membuatnya langsung dipanggil ke ruang kerja. Kevin tahu, apa yang akan terjadi setelah
ini.
“Papa izinin kamu ikut taekwondo itu buat ngelindungi diri sendiri sama ngelindungi
Mungkin karena Kevin adalah satu-satunya anak yang pandai bela diri, maka dari itu
sang papa lebih militer dalam mendidiknya, seperti saat ini Kevin sudah dihukum untuk
mengangkat satu kaki dengan kedua tangan yang berada di telinganya, tidak sampai situ,
terkadang sang papa akan menyabetnya dengan tongkat jika kaki Kevin turun.
“Kamu itu, anak papa yang paling bisa dibanggain di semua temen papa, tapi waktu
kejadian tadi, temen papa langsung bilang kalau kamu anak nakal.”
Kevin meneguk ludahnya, kalau boleh jujur dia sudah tidak tahan berdiri dengan
satu kaki, tetapi dia juga tidak mau kakinya memerah karena tongkat sang papa. Kevin
takut, dia melirik sang papa dan mulai menjawab, “enggak pa.”
“Nah, kalau gitu kamu harusnya nurut, bukannya malah jadi anak nakal kayak gitu!”
Belum sempat Kevin meneruskan perkataannya, sang papa sudah memukul kakinya
kirinya yang sempat menyentuh lantai membuat Kevin mengaduh kesakitan. Sungguh, Kevin
tidak akan memukul anak lain lagi! Dia sudah bersumpah pada dirinya sendiri.
“Ampun pa! Abang cuma mau ngelindungin mas aja soalnya mas dipukulin dulu,” ujar
Kevin cepat sembari meringis tatkala sang papa kembali memukul kakinya.
“Alasan saja!”
Kevin benar-benar ingin menangis karena hukuman sang papa kali ini lebih lama
dibanding biasanya, dia sadar jika dia sudah mempermalukan sang papa, tapi apa boleh
Tiba-tiba pintu terbuka menampilkan wajah sang mama yang sedikit memerah
seperti habis berlari, dengan cekatan dia berjalan ke arah Kevin dan menurunkan kakinya
“Nggak apa-apa, ada mama,” bisik sang mama lembut yang mampu meluluhkan Kevin.
“Kamu yang apa! Kamu mending keluar sana sama Gege, ditunggu di depan, Gara
Detik berikutnya, sang papa mengembuskan napas kasar dan memilih beranjak,
ruang kerja sang papa. “Ini dingin kok bang, jadi nggak apa-apa ya kalau mama olesin ini ke
kaki abang?” tanya sang mama, tangannya menaikkan kaki anaknya dan ditaruhnya ke paha
sang mama.
“Abang sendiri aja ma,” tolak Kevin. Bukan karena apa-apa, dia hanya terbiasa
sendiri.
Sang mama menggeleng keras. “Apa sih ban? Mama aja. Aduh sakit nggak ini abang?
Tadi papa mukulnya kenceng ya? Maaf ya mama dating telat, tadi habis lihat mas, mama
Sang mama tersenyum kecil dan mengelus rambut anak keduanya ini.
“Abang, makasih ya udah belain masnya. Makasih udah ngelindungi mas, hebat sekali,
Kevin melirik ke arah sang mama yang benar-benar melihatnya dengan mata
berbinar.
“Anak mama,” jawabnya membuat sang mama bertepuk tangan dan mengacungkan
dua jempol.
“Keren!”
Kala itu, Kevin kecil langsung memeluk leher sang mama karena ingin
menyembunyikan air matanya yang tiba-tiba menetes tanpa seizinnya membuat sang mama
“Cup cup cup, nangis aja abang kalau mau nangis, nggak usah malu, di sini cuma ada
kecil. Kalau boleh jujur, orang yang paling lembut diantara keempatnya menurut sang mama
adalah Kevin. Namun, semua itu dapat tertutupi karena anak keduanya ini jarang
berekspresi, padahal jika di dekat sang mama, Kevin ini banyak manjanya, banyak
mengadunya.
“Ma, abang salah banget ya tadi mukulin anak temen papa? Abang minta maaf ya
ma, tapi abang kayak gitu karena tadi abang dia mukulin mas duluan ma. Abang nggak
terima.”
Diam sejenak, tidak ada jawaban yang keluar dari bibir mungil Kevin kecil.
“Kalau kata mama sih salah kan mukulin orang, emang abang mau jadi tukang pukul
gitu? Hii serem abang,” ucap Mama dengan nada bercanda di belakangnya.
“Tapi kalau kasus abang, mama setuju-setuju aja sih, kan bang mau balesin mas ya?
Cuma salah aja balesnya, masa jelek dibales jelek, jelek dibales bagus harusnya.”
“Jelek dibales jelek, hasilnya jelek, kayak abang yang kena marah papa jelek. Jelek
dibales bagus, nanti hasilnya bagus abang. Nanti abang kayak superhero yang selametin
orang.”
“Abang pasti bosen denger ini dari mama, tapi mama mau ngingetin lagi ya kalau
abang jago bela diri ini buat kebaikan ya abang sayang. Iya tadi kebaikan juga kok, tapi
nggak bosen buat ngingetin jagoan mama ini biar selalu jadi orang baik! Maafin papa yang
jelek itu ya? Tapi kalau mau ngambek dulu nggak apa-apa, ambekin aja papa abang.”
mendengarkan semua celotehan sang mama. Hanya dengan mama, dia merasa aman.
Pelukan oma terasa asing di tubuh Kevin kecil yang saat itu berusia 7 tahun. Sang
oma terus menyelipkan kalimat penenang yang sejujurnya membuat hati Kevin lega karena
masih ada oma yang sayang padanya. Namun, tatkala matanya menatap peti sang mama,
perasaan lega itu hilang digantikan perasaan takut yang teramat dalam. Kevin kecil ingin
sekali bangun dari mimpi buruknya, tetapi ketika matanya terpejam dan merapalkan
berbagai doa, hatinya masih gelisah hingga matanya kembali terbuka dan semuanya masih
sama. Masih ada sang papa yang memegang tangan lembut sang mama, masih ada Gara dan
Nasa yang menangis pilu membuat Kevin tak bisa melihatnya dan ada juga Rendra yang dari
kejauhan menangis meraung di pelukan omnya. Ah, ternyata bukan mimpi ya?
Gara Abaskara
senang bermain dengan saudara atau teman sebayanya dibanding belajar. Menurutnya
belajar itu hal yang membosankan berbeda dengan bermain yang termasuk hal
menyenangkan. Saat berusia 6 tahun, Gara kecil pernah tidak masuk sekolah hanya karena
dia ingin menangkap ikan di sungai dengan teman sekompleknya membuat sang papa marah
besar, tetapi Gara tetaplah Gara, dia tidak pernah takut kecuali dengan Tuhan dan sang
Mama. Gara kecil adalah anak yang sangat ceria dengan berbagai teman di penjuru sekolah
maupun sekolah, mungkin terkesan melebihkan, ya? Namun ini benar adanya. Gara tipe anak
yang mudah bergaul dengan siapa saja karena pembawaannya yang menyenangkan.
Gara kecil selalu memiliki 1001 cara untuk mengundang gelak tawa di sekitarnya dan
dia memiliki berbagai macam ide untuk menjahili ketiga saudaranya, terutama si bungsu.
Gara juga memiliki tingkat keingintahuan yang tinggi seperti tadi ketika dia mendengar
keributan di belakang kompleknya, dia langsung pergi ke sana sendiri. Dari kejauhan dia
melihat ada beberapa anak rekan sang papa yang tengah memalak seseorang, bak seorang
penyelamat, Gara kecil langsung menghentikan aksi tersebut. Namun, sayang seribu sayang,
Gara lupa kalau dia tidak bisa bela diri, hingga dia pun terjatuh dan ditolong oleh abangnya.
Gara sadar, perbuatannya ini berimbas besar pada saudaranya terlihat dari raut
“Mama samperin abang aja,” cicit Gara kecil. Di sampingnya ada Rendra dan Nasa
yang senantiasa menemani, tanpa ingin ikut campur pembicaraan karena mereka sendiri
“Kamu udah nggak apa-apa mas? Atau ada yang sakit?” tanya sang mama sembari
Hening, tidak ada jawaban. Kalau boleh jujur, kepala Gara sangat sakit, tetapi dia
memastikan lagi.
Rendra melihat jika pelipis Gara sedikit membiru membuatnya menekan pelipis
saudaranya itu. Dia tahu jika Gara masih merasa sakit, tetapi saudaranya ini pasti akan
“AW! JANGAN DITEKEN GITU!” seru Gara, sedangkan Rendra mendengus kecil.
“Katanya nggak apa-apa, bohong ya kamu mas?” tanya Rendra kecil membuat mata
Gara berkaca-kaca.
“Mama sakit habis diteken kakak,” adu Gara manja membuat sang mama tertawa
“Kalau udah gede nggak bakal ditiup gitu.” Nasa menjulurkan lidah meledek kembali
Rendra tertawa. “Masa mau iri sama anak yang benjol gitu dek?” tanyanya yang
“MAMA, SEMUANYA PADA NYEBELIN!” lagi-lagi Gara mengadu pada sang mama.
“Udah jangan digodain masnya kasihan lagi sakit. Mama mau minta tolong ambilin
salep di kotak p3k boleh kak, dek?” tanya sang mama lembut membuat Rendra dan Nasa
hati.
“Ma, kira-kira abang marah sama mas nggak?” tanya Gara lirih.
Sang mama menghentikan elusannya dan beralih menepuk punggung si kecil. “Kalau
“Keren sekali! Tadi abang bum bum bum, mukul anak nakal itu!”
“Kira-kira kenapa tuh abang mukul anak itu?” tanya sang mama, nadanya sangat
“Soalnya tadi mas juga dipukul anak itu?” jawab Gara yang terdengar seperti tanya.
Sang mama mengangguk. “Artinya abang sayang sama mas, kalau abang sayang sama
Gara terdiam, tidak menjawab karena jujur dia sendiri tidak tahu apa jawabannya.
“Enggak marah dong mas, abang enggak akan pernah marah sama mas.”
Sang mama hanya mengangguk mantap. “Tapi mas jangan lupa minta maaf sama
abang ya?”
“Pasti mama!”
Gara tertawa. “Kalau gitu mama kea bang aja! Aku kan udah jagoan, jadi enggak apa-
apa kalau sendiri. Tapi nanti panggilin kakak sama adek ya mama, mas pengen main sama
mereka, hehehe.”
Sang mama mengangguk paham dan segera berpamitan untuk pergi menghampiri si
anak kedua. Namun, sebelum beranjak, sang mama mencium pelipis dan tangan Gara yang
Beberapa menit setelah sang mama pergi, tiba-tiba pintu terbuka, Gara kira itu
adalah kedua saudaranya, tetapi yang terlihat adalah sang papa dengan wajah sedikit
merah padam.
“Mas.”
“Iya aku salah, maafin aku papa, jangan hukum abang, mas yang salah.” Lantas, Gara
langsung berlutut kecil ke arah sang papa yang baru saja masuk kamar.
“Papa sudah tahu, kenapa kamu jadi anak nakal? Kasihan abang kamu.”
Suara dingin sang papa menandakan jika Gara akan dimarahi habis-habisan.
“Mas, papa enggak pernah ajarin kamu bela diri karena papa tahu cuma abang yang
bisa. Tapi kenapa hari ini abang malah mukulin temannya demi mas? Itu perbuatan enggak
“Mas, papa sayang sekali sama kalian. Jadi, habis ini jangan buat ulah ya? Jangan
sampai abang kayak gini lagi, mas bisa jaga diri ‘kan? Papa enggak mau abang diejek anak
Sang papa menghela napas, tangannya langsung mencengkram Pundak Gara kecil.
“Jangan jadi anak nakal ya, jangan buat saudara mas jadi anak nakal juga. Paham?”
Bisik penuh ketenangan selalu Gara dengar dari mulut opanya. Matanya menatap
kosong ke arah sang mama, kala itu Gara masih berusia 7 tahun, tetapi dia sudah dipaksa
untuk menghadapi kesedihan yang teramat dalam. Seseorang yang selalu menjadi
tempatnya mengadu kini sudah diambil Tuhan, wajah sang mama masih sangat cantik dengan
dress warna putih. Matanya terus menatap sang mama, sedikit harapan agar perempuan itu
bangun.
“Mama wangi ya opa?” tanya Gara kecil dengan nada polosnya membuat sang opa
“Tapi kenapa pergi? Harusnya kalau mama cantik sama wangi, mama harus peluk mas
Gara merasakan jika pelukan sang opa semakin erat, tetapi dia tidak bisa merasakan
kehangatan di dalamnya. Air matanya entah hilang kemana karena sedari tadi hanya ia yang
belum menangis.
“Kenapa aku belum nangis ya opa? Apa karena aku nggak sayang mama?”
Sang opa menggelengkan kepala. “Gara sayang sekali sama mama, makanya Gara
enggak menangis.”
“Gara sayang sekali, tapi kenapa mama enggak mau sama Gara di sini? Jadi, mama
“Mama … Mama marah karena Gara nakal ya? Mama capek sama Gara ya? Mama−”
ucapan Gara kecil berhenti tatkala isakan tangis mulai menghiasi. Nyatanya, Gara kecil
sangat kehilangan sang mama. Seseorang yang selalu menjadi tempatnya mengadu.
Nasa Abaskara
Menjadi bungsu diantara ketiga saudaranya membuat Nasa kecil selalu dijaga oleh
ketiganya, bahkan tak segan Nasa jarang memiliki teman jika menurut Rendra, Kevin, dan
Gara anak itu bukan anak yang baik. Pernah Nasa kecil diajak bermain sepeda tatklaa dia
belum bisa mengendarai sepeda membuat semua saudaranya pusing 7 keliling untuk
membujuk Nasa kecil agar tidak bermain sepeda. Nasa adalah sosok ceria dan senang
berteman dengan siapa saja membuat ketiga kakaknya harus benar-benar tahu dengan
Nasa kecil adalah anak yang manja, entah ke mama, papa, atau bahkan ketiga
saudaranya, dia selalu merengek jika tidak izinkan untuk membeli sesuatu membuat ketiga
kakaknya yang berpikir bagaimana cara agar Nasa kembali ceria. Seperti saat ini, Nasa
benar-benar merengek ingin mengendarai sepeda dengan temannya, tetapi Rendra tidak
mengizinkan dengan alasan Nasa masih belum terlalu bisa bersepeda. Sedangkan Kevin dan
“Adek bisa kok naik sepeda!” seru Nasa kekeh membuat Rendra kecil
menggelengkan kepala. Mereka kembar, tetapi tanggung jawab Rendra lebih besar karena
“Kenapa kakak jahat sama adek!” seru Nasa kembali dengan mata yang berkaca-
kaca.
“Ya udah, jangan naik sepeda,” ucap Rendra kecil sembari menutup pintu garasi.
Nasa mengerucutkan bibir kesal, lantas dia tarik lengan kakaknya yang lebih kecil
darinya.
Rendra tersenyum dan mulai mengeluarkan sepeda dari garasi, dia taruh sepedanya
di sebelah gerbang. “Jangan dipakai, kakak mau nutup pintu dulu,” peringat Rendra.
Bukan Nasa namanya jika langsung menuruti perkataan sang kakak, dengan gesit,
Rendra berlari, ingin mengejar Nasa yang mengayuh dengan kecepatan cukup tinggi.
kejauhan dia sudah melihat Nasa jatuh tertabrak sepeda dari arah berlawanan. Darah
mulai terlihat dan tangisan Nasa kian terdengar, Rendra sudah jauh dari kata kakak yang
baik.
Beberapa saat setelahnya, Nasa kecil bangun dari tidur lelapnya, sisi kepala kirinya
di perban karena ada bekas jahitan di sana membuat kepalanya terasa sedikit nyeri.
“Iya sayang, mama ada di sini, enggak kemana-mana,” ucap sang mama menenangkan.
“Mama, kepala adek sakit,” rengek Nasa kembali membuat sang mama langsung
Nasa memeluk erat leher sang mama. “Mama, adek nakal ya mama soalnya nggak
nurut sama kakak?” tanya Nasa lirih membuat sang mama menggelengkan kepalanya.
“Enggak adek, adek enggak nakal cuma lagi bandel aja,” canda sang mama sembari
Sang mama tertawa kecil, lantas tangan lembutnya terus mengelus rambut hitam
kecoklatan Nasa membuat si bungsu nyaman walaupun kepalanya masih terasa nyeri.
“Kakak emang pernah sebel sama adek?” tanya sang mama menggunakan nada lembut
“Tapi adek udah bikin kakak dimarahi papa,” gumam Nasa kecil sembari semakin
Nasa mengangkat bahunya. “Kan papa suka marah-marah sama kakak,” jawab Nasa
polos.
Sang mama terkekeh, ternyata anaknya ini sudah tahu tabiat jelek papanya.
“Mama bukan mau marahin adek ya,” ucap sang mama di awal karena takut si bungsu
merasa dimarahi.
“Tapi mama cuma mau kasih tahu ke adek, kan sekarang adek tahu kalau papa suka
marah-marah ke kakak, jadi adek harus nurut sama kakak ya? Kakak itu sayang sekali sama
adek, enggak pernah kesel sebel sama adek, makanya adek harus nurut apa kata kakak.
Kalau adek mau sepedahan, boleh minta ke mama atau papa aja, ya? Kakaknya itu kan sama
gedenya kayak adek, jadi kakak takut kalau ngajarin adek, terus juga nanti kalau jatuh,
Nasa kecil diam mendengarkan ucapan sang mama dengan seksama, setelah selesai,
“Adek janji bakalan nurut terus sama kakak, adek nggak mau kakak dimarahin papa
“Janji!”
Hening, tidak ada yang berkata lagi karena mata Nasa mulai berat, elusan tangan
Setelah satu jam tidur, Nasa memegang kepalanya yang agak nyeri, matanya mulai
mengerjap pelan berusaha menyesuaikan dengan pancaran lampu kamar rumah sakit.
“Adek.”
Nasa menoleh ke arah kiri, ternyata ada sang papa yang sudah duduk di sana dengan
tenang.
“Masih sakit kepalanya?” Nasa menggangguk membuat sang papa menghela napas
“Adek, lain kali jangan bandel kalau dibilangin kakak, jadi gini, ‘kan? Kakak itu
khawatir sama adek, nggak kakak aja, ada papa mama abang sama mas, kakak nggak bolehin
adek sepedaan ya karena ini, nanti adek jatuh terus sakit. Lain kali adek harus dengerin
Nasa kecil meringis pelan, kepalanya masih agak nyeri tapi sang papa sudah
memarahinya.
“Paham Nasa? Papa enggak mau dengar kamu nggak nurut lagi sama kakak, papa juga
enggak mau dengar kamu pengen yang aneh-aneh, kasihan kakak kamu. Kasihan juga mama,
Sang papa menghela napas, lalu tangan besarnya mulai menyentuh kepala si bungsu
“Maafin papa, papa sayang sekali sama adek, tapi papa nggak suka kalau adek nggak
nurut sama kakak, abang, mas, papa atau mama. Jangan gitu lagi ya.”
Nasa kecil menganggguk tanpa mau menoleh ke arah sang papa membuat sang papa
mengecup keningnya dan pergi meninggalkan Nasa yang berkaca-kaca karena rasa bersalah.
Tangisan pilu mulai terdengar dari bibir kecil Nasa membuat Caca kian mengeratkan
pelukan, Nasa menangis tanpa memperhatikan sekitar karena memang hatinya tengah sakit.
Nasa yang kala itu berusia 7 tahun masih belum bisa menerima rasa kehilangannya terhadap
sang mama. Orang yang sangat berharga dalam hidupnya, maka dari itu dia melampiaskan
dalam tangis. Rengekannya juga mulai terdengar menyesakkan bagi Caca yang masih saja
“Nggak mau dipeluk Tante, maunya dipeluk mama,” racaunya untuk kesekian kali.
“Mama kenapa diem aja di situ, mama kenapa nutup mata terus, harusnya mama
bangun.”
“Kemarin mama janji enggak bakal kemana-mana, tapi kenapa sekarang malah pergi,
“Adek janji enggak akan nakal, adek bakalan nurut, tapi mama nggak boleh pergi.”
“Mama …”
Nasa kecil lantas menggelengkan kepala dengan kuat. “Gimana bisa mama bahagia
Kembali ke Nasa yang sudah menginjak usia 19 tahun, kini dia sudah menghempaskan
Nasa menoleh dan mendapati sang papa yang tengah tersenyum lebar membuat
Nasa segera menegakkan badan. “Iya dong! Udah kangen papa,” ujarnya dengan berdiri dan
“Ada di depan, tadi barang bawaan kakak sama abang buanyak soalnya beli makanan
dari Bandung katanya mah khusus buat papa, terus mas bantuin hehehe.”
Sang papa menggelengkan kepala, detik berikutnya sudah ada tiga anaknya dengan
“HALO PAK BOS TERCINTA TERSAYANG TER TER SEMUA, AKU KEMBALI KE
RUMAH!”
Rendra yang notabennya di sebelah kanan Gara langsung menjitak kepala adiknya.
“Berisik.”
“Abang pulang pa,” sapa Kevin dengan memeluk sang papa, dilanjutkan Rendra dan
Gara setelahnya.
jajanan yang ada di Bandung, sebenarnya jajanan ini bisa ditemui di Jakarta, tetapi
namanya juga anak rantau, jadi mereka beli saja agar terasa vibes rantaunya.
“Papa, adek mau kos dong, boleh nggak?” tanya Nasa yang kini sudah duduk di
samping sang papa yang tengah makan jajanan dari dua anaknya.
“Males satu apartemen sama orang itu,” jawab Nasa sembari mengarahkan dagunya
ke Gara.
“Jangan hiperbola, literally gue Cuma bawa lima orang, terus yang berantakan cuma
Sang papa hanya bisa tertawa melihat perdebatan keempat anaknya, terutama tiga
anaknya yang melarang si bungsu untuk kos. Semenjak kuliah di tempat yang hitungannya
jauh dari rumah, mereka memang saling melarang satu sama lain.
“Udah di apartemen aja sama mas, lebih enak daripada kos, iya kan kak, bang?”
“Iya, bisa masak sendiri, ada yang beresin, nggak rame kayak kos,” ucap Rendra
mengompori.
“Iya aku berjanji krucil tidak akan membawa teman yang sekecamatan it uterus aku
juga tidak akan memberantakkan apart, aku janji seribu janji bukan seribu alasan.”
Ucapan Gara mampu membuat Kevin terkekeh. “Iya dek, apart aja ya.”
Nasa mengembuskan napas. “Ya udah nggak jadi pindah, padahal adek pengen kayak
abang.”
“Punya tetangga depan kos cantik terus sering numpang mandi di kosan,” ucap Nasa
polos membuat Rendra dan Gara mendelik pasalnya tidak ada yang tahu tentang kejadian
“HAH?! ABANG?!”
“SIAPA CEWEK CANTIK ITU ABANG, SIAPA YANG BISA MEMBUAT HATIMU
TERKETUK SETELAH ZIA YANG DIRIMU CINTA DENGAN SEPENUH HATI?!” tanya
Gara lebay.
“Anjir, yang kuliah di Bandung sama lo kan gue, kenapa gue nggak tahu kalau lo punya
Dering ponsel membuyarkan kegiatan Rendra dan Gara yang menodong berbagai
pertanyaan ke Kevin.
Kevin menghela napas lega membuat Rendra dan Gara langsung menoleh ke arahnya.
mereka langsung menyambut tantenya dengan penuh ceria, apalagi Nasa yang dulu
notabennya sangat manja pada sang tante membuat dia seringkali rindu dengan Caca.
Senyum riang Caca mampu membuat kembar tahu jika tantenya Bahagia, terlebih saat
Januar muncul dengan topi badut membuat gelak tawa mewarnai hari itu, ah ternyata sang
tante tengah ngidam. Hari itu adalah hari terindah kembar diiringi senyuman dan canda
tawa walaupun mereka dan tante tersayangnya terlampau jauh oleh jarak yang memisahkan.
Selesai.
Ini alurnya maju mundur ya, dari yang awalnya mereka umur 6 sama 7 tahun terus tiba-
tiba kelempar ke usia 19 tahun. Tenang, nanti bakal ada cerita mereka pas kelas 12 – kuliah
kok, terus kalau kepo tentang tante Caca sama Januar, nanti ada part special di novel soon
ya [hehehe] sama kembar juga pastinya. Jadi anggap aja ini spoiler kecil buat season 3 +
• Buat yang udah dapet PDF-nya boleh kali wtp sama tag aku ya [misal mau wtp atau
• See u di book version buat kisah mereka di season 1 tapi ada beberapa extra part