Anda di halaman 1dari 25

https://open.spotify.

com/playlist/23UvBevW1vK
8pzTv69ugeG?si=c17541108a2647f7
Rendra Abaskara

Dulu, saat usia Rendra menginjak 6 tahun, dia mulai merasakan jika sang Papa

membedakan dirinya dengan ketiga saudaranya. Namun, selayaknya anak kecil pada umunya,

kala itu Rendra tidak mengambil pusing semuanya. Rendra hanya tahu sekolah-bermain

dengan ketiga saudaranya. Hingga seuatu ketika saat Nasa−kembaran bungsunya jatuh

dari sepeda yang membuat kepalanya berdarah sampai dilarikan ke rumah sakit, dia baru

sadar jika dirinya yang dituntut untuk menjadi anak yang baik.

“Kamu gimana sih, Kak? Adeknya jatuh sampai berdarah itu gimana ceritanya?”

tanya sang Papa dengan nada marah didalamnya.

Hanya dia yang dimarahi kala itu karena memang Rendra lah yang memberi izin Nasa

untuk bersepeda, sedangkan Kevin dan Gara memilih bermain bola di lapangan dengan

teman lainnya.

“Jawab Papa, Kak! Jangan nunduk!”

Sentakan itu mampu membuat Rendra bungkam seribu bahasa karena baru kali ini

dia dibentak sebegitu kerasnya, di koridor rumah sakit pula.

“Kakak,” ucap lirih Rendra, tidak tahu harus berkata apa.

“Kalau kamu enggak bisa ngelindungi Nasa, gimana buat Kevin sama Gara? Kamu ini

anak pertama kak, inget!”

Ah dua kata ini lagi, anak pertama membuat Rendra sempat muak tapi dia hanya

diam.

“Iya pa, kakak minta maaf,” ucap Rendra sangat lirih.

Sang papa mendekat ke si sulung, lalu dia cengkram kuat tangan si sulung hingga

membuat Rendra mengadu kesakitan. Sungguh, cengkraman sang papa benar-benar

menyakiti tangannya.

“Kalau minta maaf itu tatap orangnya, kak!”


“Iya pa maaf, ampun!”

“Bilang yang keras kak!”

Belum sempat Rendra meminta maaf dengan mengadu, tiba-tiba sang mama datang.

“Mas! Kamu itu apa-apaan sih?!” sang Mama langsung memeluk Rendra dengan

mengucapkan berbagai kalimat menenangkan.

“Ya gini kalau manjain anaknya terus, jadi enggak bertanggung jawab!”

Rendra mulai menutup matanya takut, memang bukan hal pertama dia dibentak sang

Papa, tetapi baru kali ini sang Papa benar-benar menyelipkan berbagai nada amarah, tanpa

ingin meredakan sedikit pun. Rendra, mulai takut. Entah apa yang dilakukan sang Mama

karena kali ini dia tidak mendengar sang Papa lagi membuatnya membuka mata.

“Kakak nggak papa?” tanya Mama seraya memutar tubuh Rendra dengan pelan,

matanya menjelajah segala arah tubuh Rendra dan bernapas lega setelahnya. Senyum

manis masih terpatri jelas di wajah anggun nan cantik milik sang Mama membuat Rendra

ikut memberikan senyum tipisnya.

“Mama nggak marah? Kan aku udah nyelakain adek,” ucap Rendra begitu pelan yang

masih terdengar jelas oleh sang Mama. Tangan lentik mulai terulur untuk mengelus rambut

halus anak berusia 6 tahun itu.

“Ngapain marah? Ini namanya musibah, Kak. Enggak ada yang tahu kalau adek

bakalan jatuh kayak gini,” tangan sang Mama masih betah berada di puncak kepala Rendra

membuat hatinya lega luar biasa.

“Maafin Papa, ya? Emang Papa orangnya panikan, keras, makanya waktu tahu adek

masuk rumah sakit, jadi marah gini.”

Rendra hanya mengangguk untuk membalas perkataan sang Mama.

“Tapi kalau kakak mau marah, enggak papa loh! Kakak berhak marah, berhak sebel

sama Papa, tapi jangan lama-lama, ya? Nanti adek sama Mama sedih kalau ngambeknya

lama-lama.”
Rendra tersenyum kecil, selalu seperti ini. Jika sang Papa memarahinya, maka yang

meminta maaf adalah sang Mama, tetapi sang Mama tidak melarang dirinya atau ketiga

saudaraya untuk tidak marah ke sang Papa.

“Kakak harus minta maaf dulu ya Ma?” tanya Rendra. Kini mereka sudah duduk di

depan ruang ICU untuk menanti jahitan sang adik.

“Menurut Kakak siapa yang salah?” balik tanya sang Mama.

Rendra berpikir sejenak, jelas bagi dirinya sang Papa yang salah karena datang-

datang langsung memarahi tanpa bertanya bagaimana keadaan atau sekedar bertanya

bagaimana kejadian tadi siang hingga sang adik masuk rumah sakit.

“Papa,” gumam Rendra yang langsung melotot karena takut sang Mama salah paham.

“Aku juga salah kok!” lanjutnya membuat sang Mama tertawa geli sembari mencubit pipi

gembul anak berusia 6 tahun itu.

“Oke, papa ya yang salah.”

Rendra menggeleng keras, takut sang Mama akan mengadukan hal ini ke sang Papa

membuat sang Mama benar-benar gemas.

“Kalau papa yang salah, kakak mau minta maaf, nggak?”

Hening sejenak. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Rendra kecil kala itu.

“Kalau nggak mau minta maaf dulu enggak papa kok, emang papa yang salah. Tapi

kak, mama pernah cerita nggak sih kalau orang yang minta maaf dulu itu orang yang punya

hati mulia sekali.”

“Kayak mama?” tanya Rendra cepat.

Sang Mama mengangguk dan tertawa kecil. “Iya.”

“Ya udah, aku mau kayak Mama aja! Aku bakalan minta maaf duluan sama papa,” ucap

Rendra kecil dengan nada ceria yang mampu membuat senyum sang Mama kian melebar.

“Tapi kakak ikhlas nggak? Kalau masih ngambek, nggak papa, it’s okey. Kadang Mama

minta maaf ke papa kalau udah nggak ngambek, bisa seharian.”


“Iya? Berarti kakak kalau minta maaf dua hari lagi atau waktu kakak udah nggak

ngambek, boleh?”

“Boleh dong!”

“Oke! Kakak minta maaf nunggu ngambeknya selesai, ya?”

“Siap jagoan kecil Mama!”

Saat usia Rendra menginjak 7 tahun, Rendra kecil semakin paham akan posisinya.

Ternyata dia adalah anak sulung di sini, ternyata hanya dia yang tidak boleh sedih berlarut-

larut karena ketiga adiknya akan semakin sedih jika ia ikut sedih. Hingga hari yang paling

menyeramkam datang dalam hidup Rendra datang. Hari pemakaman sang Mama, hari dimana

dia tidak akan melihat sang mama lagi, hari dimana mataharinya akan pergi membuat

harinya gelap seketika. Namun, Rendra kecil kala itu hanya mampu menatap keadaan

Papanya yang masih menangis di sebelah sang Mama yang cantik dengan gaun putihnya.

Sedangkan Kevin, Gara, dan Nasa yang dipeluk oleh oma, opa, dan tantenya. Rendra kecil

melihat dari kejauhan. Matanya bengkak karena menangis dari kemarin, tetapi dia teringat

ucapan sang Mama jika kita kehilangan seseorang, harusnya kita tidak boleh sedih. Tuhan

lebih sayang orang yang diambil, jadi buat apa sedih? Kata sang Mama suatu ketika tatkala

Kevin menangis karena anjing kesayangannya meninggal.

“Ren,” panggil Damar, adik kedua Papanya.

Rendra hanya tersenyum tipis dan mengangguk kecil pada omnya membuat Damar

menghela napas, tanpa berkata-kata, Damar langsung memeluk Rendra.

“Nangis aja nggak papa, ada Om di sini, jangan ditahan.”

Seketika matanya blur, tergantikan air mata yang mulai menetes, ternyata

perkataan sang mama tempo hari tidak bisa dia terapkan di suasana ini. Ternyata, semua

tentang mama masih membekas di anak berusia 7 tahun itu. Ternyata, sang mama sangat

berpengaruh untuk hidupnya.


“Mama Om, Mama,” raung Rendra membuat Damar semakin mengeratkan peluknya.

Tak hentinya Damar mengelus punggung Rendra kecil dan merapalkan kalimat menangkan

yang semakin membuat Rendra menangis karena teringat sang mama.

Nyatanya, segala tentang sang mama masih belum bisa Rendra ikhlaskan. Rendra

kecil mulai menangis tanpa henti dia mengeluarkan seluruh hatinya ke om keduanya. Dia

benar-benar sedih karena kehilangan mataharinya.

“Nanti nggak ada yang belain kakak lagi ya Om? Nanti kakak nggak bisa ngadu kalau

lagi sedih, nanti kakak enggak bisa−” ucapan Rendra terhenti karena tangisnya yang

teredam peluk Damar. Tangisan yang siapa saja yang mendengar pasti tahu jika dia berada

di titik tersedih. Tangisan meraung seakan mengadu jika setelah ini, tidak ada lagi Rendra

si jagoan Mama. Tidak ada.


Kevin Abaskara

Kevin kecil adalah Kevin yang selalu mengikuti segala jenis olahraga, bahkan ketika

dia berusia 6 tahun dia sudah bisa bermain bola, basket, dan voli membuatnya kerap kali

diajak sang papa jika ada kumpul bersama rekan kerjanya. Kevin kecil tidak terlalu

memusingkan hal itu karena dia bisa mendapat banyak teman dari pertemuan ini. Kevin kecil

juga anak yang pandai menangkap semua pelajaran dan mengikuti bela diri taekwondo di

teman sang papa membuat namanya semakin melambung di kalangan rekan kerja sang papa.

Namun, pada hari itu, semuanya menjadi berbeda.

Kevin yang notabennya memang pandai, tiba-tiba diajak bertengkar dengan

temannya, tetapi Kevin tolak dengan baik karena menurutnya itu hal yang sangat tidak

penting. Hingga dia mendengar jika adik pertamanya−Gara kena pukul temannya membuat

amarah Kevin naik. Tanpa banyak bertanya, dia langsung melayangkan tinju ke lawan Gara

membuatnya langsung jatuh. Kevin kecil yang tidak terima melihat pelipis Gara sedikit

membiru, langsung memukul pelipis temannya juga agar impas. Memang, tindakannya

semata-mata untuk melindungi adiknya, tetapi hal itu dipandang berbeda oleh sang papa

membuatnya langsung dipanggil ke ruang kerja. Kevin tahu, apa yang akan terjadi setelah

ini.

“Papa izinin kamu ikut taekwondo itu buat ngelindungi diri sendiri sama ngelindungi

saudaramu, bukan buat mukulin anak lain!”

Mungkin karena Kevin adalah satu-satunya anak yang pandai bela diri, maka dari itu

sang papa lebih militer dalam mendidiknya, seperti saat ini Kevin sudah dihukum untuk

mengangkat satu kaki dengan kedua tangan yang berada di telinganya, tidak sampai situ,

terkadang sang papa akan menyabetnya dengan tongkat jika kaki Kevin turun.

“Kamu itu, anak papa yang paling bisa dibanggain di semua temen papa, tapi waktu

kejadian tadi, temen papa langsung bilang kalau kamu anak nakal.”

Kevin meneguk ludahnya, kalau boleh jujur dia sudah tidak tahan berdiri dengan

satu kaki, tetapi dia juga tidak mau kakinya memerah karena tongkat sang papa. Kevin

menunduk dalam-dalam, takut tatapan intimidasi sang papa.


“Emang kamu mau disebut anak nakal, iya bang?” tanya sang papa padanya. Dengan

takut, dia melirik sang papa dan mulai menjawab, “enggak pa.”

“Nah, kalau gitu kamu harusnya nurut, bukannya malah jadi anak nakal kayak gitu!”

“Tapi pa abang mukul karena−”

Belum sempat Kevin meneruskan perkataannya, sang papa sudah memukul kakinya

kirinya yang sempat menyentuh lantai membuat Kevin mengaduh kesakitan. Sungguh, Kevin

tidak akan memukul anak lain lagi! Dia sudah bersumpah pada dirinya sendiri.

“Mau alasan apa lagi kamu?!”

“Ampun pa! Abang cuma mau ngelindungin mas aja soalnya mas dipukulin dulu,” ujar

Kevin cepat sembari meringis tatkala sang papa kembali memukul kakinya.

“Alasan saja!”

“Ampun pa, abang janji nggak akan ngulangin! Serius pa!”

Kevin benar-benar ingin menangis karena hukuman sang papa kali ini lebih lama

dibanding biasanya, dia sadar jika dia sudah mempermalukan sang papa, tapi apa boleh

buat? Kevin kecil hanya ingin melindungi adiknya, tidak lebih.

Tiba-tiba pintu terbuka menampilkan wajah sang mama yang sedikit memerah

seperti habis berlari, dengan cekatan dia berjalan ke arah Kevin dan menurunkan kakinya

berlahan. Namun, Kevin menggeleng karena takut pada sang papa.

“Nggak apa-apa, ada mama,” bisik sang mama lembut yang mampu meluluhkan Kevin.

Kakinya pun perlahan turun dengan kedua tangannya juga.

“Kamu ngapain sih?!” ucap sang papa.

“Kamu yang apa! Kamu mending keluar sana sama Gege, ditunggu di depan, Gara

masih di kamarnya sama Rendra Nasa, enggak mau ketemu kamu.”

Detik berikutnya, sang papa mengembuskan napas kasar dan memilih beranjak,

meninggalkan anak berusia enam tahun itu dengan mamanya.


Sang mama kini tersenyum tulus ke Kevin sembari menuntunnya untuk duduk di sofa

ruang kerja sang papa. “Ini dingin kok bang, jadi nggak apa-apa ya kalau mama olesin ini ke

kaki abang?” tanya sang mama, tangannya menaikkan kaki anaknya dan ditaruhnya ke paha

sang mama.

“Abang sendiri aja ma,” tolak Kevin. Bukan karena apa-apa, dia hanya terbiasa

sendiri.

Sang mama menggeleng keras. “Apa sih ban? Mama aja. Aduh sakit nggak ini abang?

Tadi papa mukulnya kenceng ya? Maaf ya mama dating telat, tadi habis lihat mas, mama

lari ke apotek depan komplek soalnya salepnya habis.”

Kevin terdiam, ingin menangis tapi malu.

“Abang gimana rasanya? Udah enakan belum?”

“Udah mama, makasih ya?”

Sang mama tersenyum kecil dan mengelus rambut anak keduanya ini.

“Abang, makasih ya udah belain masnya. Makasih udah ngelindungi mas, hebat sekali,

anaknya siapa sih?”

Kevin melirik ke arah sang mama yang benar-benar melihatnya dengan mata

berbinar.

“Anak mama,” jawabnya membuat sang mama bertepuk tangan dan mengacungkan

dua jempol.

“Keren!”

Kala itu, Kevin kecil langsung memeluk leher sang mama karena ingin

menyembunyikan air matanya yang tiba-tiba menetes tanpa seizinnya membuat sang mama

terkekeh, tetapi juga membalas erat pelukan anak keduanya ini.

“Cup cup cup, nangis aja abang kalau mau nangis, nggak usah malu, di sini cuma ada

abang sama mama aja kok.”


Hening, tidak ada suara hingga beberapa detik setelahnya ada isak lirih dari Kevin

kecil. Kalau boleh jujur, orang yang paling lembut diantara keempatnya menurut sang mama

adalah Kevin. Namun, semua itu dapat tertutupi karena anak keduanya ini jarang

berekspresi, padahal jika di dekat sang mama, Kevin ini banyak manjanya, banyak

mengadunya.

“Ma, abang salah banget ya tadi mukulin anak temen papa? Abang minta maaf ya

ma, tapi abang kayak gitu karena tadi abang dia mukulin mas duluan ma. Abang nggak

terima.”

Sang mama mengangguk-anggukkan kepala seraya mengelus lembut punggung Kevin.

“Kalau kata abang, mukulin orang itu salah nggak?”

Diam sejenak, tidak ada jawaban yang keluar dari bibir mungil Kevin kecil.

“Kalau kata mama sih salah kan mukulin orang, emang abang mau jadi tukang pukul

gitu? Hii serem abang,” ucap Mama dengan nada bercanda di belakangnya.

Kevin tertawa sejenak.

“Tapi kalau kasus abang, mama setuju-setuju aja sih, kan bang mau balesin mas ya?

Cuma salah aja balesnya, masa jelek dibales jelek, jelek dibales bagus harusnya.”

“Kenapa gitu?” tanya Kevin kecil.

“Jelek dibales jelek, hasilnya jelek, kayak abang yang kena marah papa jelek. Jelek

dibales bagus, nanti hasilnya bagus abang. Nanti abang kayak superhero yang selametin

orang.”

Lagi, Kevin kecil tertawa mendengar penuturan sang mama.

“Abang pasti bosen denger ini dari mama, tapi mama mau ngingetin lagi ya kalau

abang jago bela diri ini buat kebaikan ya abang sayang. Iya tadi kebaikan juga kok, tapi

kalau bisa jangan digunain kayak gitu ya?”

Kevin mengangguk di sela peluk sang mama yang menghangatkan itu.


“Sama maafin papa ya abang? Pasti udah hapal kamu ini, tapi mah mama pokoknya

nggak bosen buat ngingetin jagoan mama ini biar selalu jadi orang baik! Maafin papa yang

jelek itu ya? Tapi kalau mau ngambek dulu nggak apa-apa, ambekin aja papa abang.”

Kevin tertawa dan mengangguk, dia semakin mengeratkan peluknya dan

mendengarkan semua celotehan sang mama. Hanya dengan mama, dia merasa aman.

Pelukan oma terasa asing di tubuh Kevin kecil yang saat itu berusia 7 tahun. Sang

oma terus menyelipkan kalimat penenang yang sejujurnya membuat hati Kevin lega karena

masih ada oma yang sayang padanya. Namun, tatkala matanya menatap peti sang mama,

perasaan lega itu hilang digantikan perasaan takut yang teramat dalam. Kevin kecil ingin

sekali bangun dari mimpi buruknya, tetapi ketika matanya terpejam dan merapalkan

berbagai doa, hatinya masih gelisah hingga matanya kembali terbuka dan semuanya masih

sama. Masih ada sang papa yang memegang tangan lembut sang mama, masih ada Gara dan

Nasa yang menangis pilu membuat Kevin tak bisa melihatnya dan ada juga Rendra yang dari

kejauhan menangis meraung di pelukan omnya. Ah, ternyata bukan mimpi ya?
Gara Abaskara

Main-main-main-sekolah. Kira-kira begitulah skala prioritas Gara kecil yang lebih

senang bermain dengan saudara atau teman sebayanya dibanding belajar. Menurutnya

belajar itu hal yang membosankan berbeda dengan bermain yang termasuk hal

menyenangkan. Saat berusia 6 tahun, Gara kecil pernah tidak masuk sekolah hanya karena

dia ingin menangkap ikan di sungai dengan teman sekompleknya membuat sang papa marah

besar, tetapi Gara tetaplah Gara, dia tidak pernah takut kecuali dengan Tuhan dan sang

Mama. Gara kecil adalah anak yang sangat ceria dengan berbagai teman di penjuru sekolah

maupun sekolah, mungkin terkesan melebihkan, ya? Namun ini benar adanya. Gara tipe anak

yang mudah bergaul dengan siapa saja karena pembawaannya yang menyenangkan.

Gara kecil selalu memiliki 1001 cara untuk mengundang gelak tawa di sekitarnya dan

dia memiliki berbagai macam ide untuk menjahili ketiga saudaranya, terutama si bungsu.

Gara juga memiliki tingkat keingintahuan yang tinggi seperti tadi ketika dia mendengar

keributan di belakang kompleknya, dia langsung pergi ke sana sendiri. Dari kejauhan dia

melihat ada beberapa anak rekan sang papa yang tengah memalak seseorang, bak seorang

penyelamat, Gara kecil langsung menghentikan aksi tersebut. Namun, sayang seribu sayang,

Gara lupa kalau dia tidak bisa bela diri, hingga dia pun terjatuh dan ditolong oleh abangnya.

Gara sadar, perbuatannya ini berimbas besar pada saudaranya terlihat dari raut

wajah sang mama yang khawatir.

“Mama samperin abang aja,” cicit Gara kecil. Di sampingnya ada Rendra dan Nasa

yang senantiasa menemani, tanpa ingin ikut campur pembicaraan karena mereka sendiri

tidak tahu bagaimana kronologi Gara dan Kevin.

“Kamu udah nggak apa-apa mas? Atau ada yang sakit?” tanya sang mama sembari

mengecek seluruh tubuh Gara dengan penuh khawatir.

Gara hanya menggelengkan kepala. “Yakin?” tanya sang mama.

Hening, tidak ada jawaban. Kalau boleh jujur, kepala Gara sangat sakit, tetapi dia

tahu jika abangnya lebih membutuhkan sang mama dibanding dirinya.


“Yakin nggak ada yang sakit mas? Nanti mama tinggal ya ini?” tanya sang mama

memastikan lagi.

Rendra melihat jika pelipis Gara sedikit membiru membuatnya menekan pelipis

saudaranya itu. Dia tahu jika Gara masih merasa sakit, tetapi saudaranya ini pasti akan

mengalah untuk Kevin.

“AW! JANGAN DITEKEN GITU!” seru Gara, sedangkan Rendra mendengus kecil.

“Katanya nggak apa-apa, bohong ya kamu mas?” tanya Rendra kecil membuat mata

Gara berkaca-kaca.

“Mama sakit habis diteken kakak,” adu Gara manja membuat sang mama tertawa

geli dan langsung memeluk si kecil sembari meniup pelipisnya.

“Hush hush, pergi sakitnya mas, pergi ya.”

“Ih kayak anak kecil,” ujar Nasa polos.

Sang mama tertawa, “emang masih kecil, kan?”

“Aku udah gede tahu ma!” sahut Gara tidak terima.

“Kalau udah gede nggak bakal ditiup gitu.” Nasa menjulurkan lidah meledek kembali

sang mas yang masih tersungut sebal.

“Iri ya kamu sama aku?!”

Rendra tertawa. “Masa mau iri sama anak yang benjol gitu dek?” tanyanya yang

langsung dijawab gelengan Nasa.

“MAMA, SEMUANYA PADA NYEBELIN!” lagi-lagi Gara mengadu pada sang mama.

“Udah jangan digodain masnya kasihan lagi sakit. Mama mau minta tolong ambilin

salep di kotak p3k boleh kak, dek?” tanya sang mama lembut membuat Rendra dan Nasa

mengangguk serentak dan pergi meninggalkan Gara.

“Masih sakit mas?” tanya sang mama.

“Masih mama, masih sakit sekali.”


Tangan lentik sang mama mulai mengelus pelipis Gara dengan lembut dan penuh hati-

hati.

“Ma, kira-kira abang marah sama mas nggak?” tanya Gara lirih.

Sang mama menghentikan elusannya dan beralih menepuk punggung si kecil. “Kalau

menurut mas, tadi abang keren nggak?”

Gara mengangguk semangat.

“Keren sekali! Tadi abang bum bum bum, mukul anak nakal itu!”

“Kira-kira kenapa tuh abang mukul anak itu?” tanya sang mama, nadanya sangat

lembut membuat orang yang mendengarnya merasa aman dan nyaman.

“Soalnya tadi mas juga dipukul anak itu?” jawab Gara yang terdengar seperti tanya.

Sang mama mengangguk. “Artinya abang sayang sama mas, kalau abang sayang sama

mas, kira-kira abang marah nggak?”

Gara terdiam, tidak menjawab karena jujur dia sendiri tidak tahu apa jawabannya.

Dia benar-benar takut jika sang abang membencinya.

“Enggak marah dong mas, abang enggak akan pernah marah sama mas.”

“Beneran?” tanya Gara, matanya benar-benar memancarkan tanya.

Sang mama hanya mengangguk mantap. “Tapi mas jangan lupa minta maaf sama

abang ya?”

“Pasti mama!”

“Keren, jagoan mama kok keren semua gini ya?”

Gara tertawa. “Kalau gitu mama kea bang aja! Aku kan udah jagoan, jadi enggak apa-

apa kalau sendiri. Tapi nanti panggilin kakak sama adek ya mama, mas pengen main sama

mereka, hehehe.”

“Siap jagoan mama! Nanti kalau papa ke sini, boleh?”

Hening, tidak ada jawaban.


“Kalau sebentar boleh.”

Sang mama mengangguk paham dan segera berpamitan untuk pergi menghampiri si

anak kedua. Namun, sebelum beranjak, sang mama mencium pelipis dan tangan Gara yang

sempat luka karena terjatuh.

Beberapa menit setelah sang mama pergi, tiba-tiba pintu terbuka, Gara kira itu

adalah kedua saudaranya, tetapi yang terlihat adalah sang papa dengan wajah sedikit

merah padam.

“Mas.”

“Iya aku salah, maafin aku papa, jangan hukum abang, mas yang salah.” Lantas, Gara

langsung berlutut kecil ke arah sang papa yang baru saja masuk kamar.

“Papa sudah tahu, kenapa kamu jadi anak nakal? Kasihan abang kamu.”

Suara dingin sang papa menandakan jika Gara akan dimarahi habis-habisan.

“Mas, papa enggak pernah ajarin kamu bela diri karena papa tahu cuma abang yang

bisa. Tapi kenapa hari ini abang malah mukulin temannya demi mas? Itu perbuatan enggak

baik, abang jadi anak nakal.”

Gara menggeleng. “Abang enggak pernah jadi anak nakal!”

“Mas, papa sayang sekali sama kalian. Jadi, habis ini jangan buat ulah ya? Jangan

sampai abang kayak gini lagi, mas bisa jaga diri ‘kan? Papa enggak mau abang diejek anak

nakal lagi sama yang lainnya.”

“Iya papa, maafin mas papa, maafin mas.”

Sang papa menghela napas, tangannya langsung mencengkram Pundak Gara kecil.

“Jangan jadi anak nakal ya, jangan buat saudara mas jadi anak nakal juga. Paham?”

Gara kecil langsung mengangguk sembari menunduk.

“Bagus, nanti minta maaf sama abang, kasihan dia.”


Lagi, Gara hanya bisa mengangguk hingga sang papa pergi dari kamarnya membuat

Gara kecil bernapas lega.

Bisik penuh ketenangan selalu Gara dengar dari mulut opanya. Matanya menatap

kosong ke arah sang mama, kala itu Gara masih berusia 7 tahun, tetapi dia sudah dipaksa

untuk menghadapi kesedihan yang teramat dalam. Seseorang yang selalu menjadi

tempatnya mengadu kini sudah diambil Tuhan, wajah sang mama masih sangat cantik dengan

dress warna putih. Matanya terus menatap sang mama, sedikit harapan agar perempuan itu

bangun.

“Mama wangi ya opa?” tanya Gara kecil dengan nada polosnya membuat sang opa

yang menahan tangis hanya bisa mengangguk.

“Tapi kenapa pergi? Harusnya kalau mama cantik sama wangi, mama harus peluk mas

dulu, biar mas ikutan wangi.”

Gara merasakan jika pelukan sang opa semakin erat, tetapi dia tidak bisa merasakan

kehangatan di dalamnya. Air matanya entah hilang kemana karena sedari tadi hanya ia yang

belum menangis.

“Kenapa aku belum nangis ya opa? Apa karena aku nggak sayang mama?”

Sang opa menggelengkan kepala. “Gara sayang sekali sama mama, makanya Gara

enggak menangis.”

“Gara sayang sekali, tapi kenapa mama enggak mau sama Gara di sini? Jadi, mama

yang enggak sayang Gara ya?”

“Mama … Mama marah karena Gara nakal ya? Mama capek sama Gara ya? Mama−”

ucapan Gara kecil berhenti tatkala isakan tangis mulai menghiasi. Nyatanya, Gara kecil

sangat kehilangan sang mama. Seseorang yang selalu menjadi tempatnya mengadu.

“Kalau mama pergi, Gara ngadu sama siapa lagi, ma?”

Nasa Abaskara
Menjadi bungsu diantara ketiga saudaranya membuat Nasa kecil selalu dijaga oleh

ketiganya, bahkan tak segan Nasa jarang memiliki teman jika menurut Rendra, Kevin, dan

Gara anak itu bukan anak yang baik. Pernah Nasa kecil diajak bermain sepeda tatklaa dia

belum bisa mengendarai sepeda membuat semua saudaranya pusing 7 keliling untuk

membujuk Nasa kecil agar tidak bermain sepeda. Nasa adalah sosok ceria dan senang

berteman dengan siapa saja membuat ketiga kakaknya harus benar-benar tahu dengan

siapa si bungsu bermain.

Nasa kecil adalah anak yang manja, entah ke mama, papa, atau bahkan ketiga

saudaranya, dia selalu merengek jika tidak izinkan untuk membeli sesuatu membuat ketiga

kakaknya yang berpikir bagaimana cara agar Nasa kembali ceria. Seperti saat ini, Nasa

benar-benar merengek ingin mengendarai sepeda dengan temannya, tetapi Rendra tidak

mengizinkan dengan alasan Nasa masih belum terlalu bisa bersepeda. Sedangkan Kevin dan

Gara tengah bermain sepak bola di lapangan dekat rumah mereka.

“Adek bisa kok naik sepeda!” seru Nasa kekeh membuat Rendra kecil

menggelengkan kepala. Mereka kembar, tetapi tanggung jawab Rendra lebih besar karena

dia tahu ‘posisi’ sebagai sulung.

“Kenapa kakak jahat sama adek!” seru Nasa kembali dengan mata yang berkaca-

kaca.

“Boleh naik sepeda tapi kakak bonceng,” ucap Rendra final.

Nasa menggelengkan kepala. “Enggak seru!”

“Ya udah, jangan naik sepeda,” ucap Rendra kecil sembari menutup pintu garasi.

Nasa mengerucutkan bibir kesal, lantas dia tarik lengan kakaknya yang lebih kecil

darinya.

“Ya udah ayo!”

Rendra tersenyum dan mulai mengeluarkan sepeda dari garasi, dia taruh sepedanya

di sebelah gerbang. “Jangan dipakai, kakak mau nutup pintu dulu,” peringat Rendra.
Bukan Nasa namanya jika langsung menuruti perkataan sang kakak, dengan gesit,

Nasa mengambil sepeda kecilnya dan mulai mengendarai sepeda.

“Dadah kakak! Adek dulu ya!”

Rendra berlari, ingin mengejar Nasa yang mengayuh dengan kecepatan cukup tinggi.

“NASA BERHENTI, JANGAN−” belum juga peringatan Rendra selesai, dari

kejauhan dia sudah melihat Nasa jatuh tertabrak sepeda dari arah berlawanan. Darah

mulai terlihat dan tangisan Nasa kian terdengar, Rendra sudah jauh dari kata kakak yang

baik.

Beberapa saat setelahnya, Nasa kecil bangun dari tidur lelapnya, sisi kepala kirinya

di perban karena ada bekas jahitan di sana membuat kepalanya terasa sedikit nyeri.

“Mama …” rengek Nasa, tangannya memegang perban, tangisnya mulai pecah.

“Iya sayang, mama ada di sini, enggak kemana-mana,” ucap sang mama menenangkan.

Dia rengkuh tubuh kecil Nasa sembari menyalurkan kehangatan di dalamnya.

“Mama, kepala adek sakit,” rengek Nasa kembali membuat sang mama langsung

mengelus kepala si bungsu dengan lembut.

“Cup cup cup, cepet pergi sakitnya adek, cepet pergi.”

Nasa memeluk erat leher sang mama. “Mama, adek nakal ya mama soalnya nggak

nurut sama kakak?” tanya Nasa lirih membuat sang mama menggelengkan kepalanya.

“Enggak adek, adek enggak nakal cuma lagi bandel aja,” canda sang mama sembari

terkekeh kecil, Nasa langsung memanyunkan bibirnya.

“Kakak pasti sebel sama adek ya?” tanya Nasa kembali.

Sang mama tertawa kecil, lantas tangan lembutnya terus mengelus rambut hitam

kecoklatan Nasa membuat si bungsu nyaman walaupun kepalanya masih terasa nyeri.

“Kakak emang pernah sebel sama adek?” tanya sang mama menggunakan nada lembut

yang dijawab gelengan si bungsu.


“Nah, itu udah tahu.”

“Tapi adek udah bikin kakak dimarahi papa,” gumam Nasa kecil sembari semakin

menenggelamkan kepalanya ke pundak sang mama, takut salah bicara.

“Kok bisa adek nebak gitu?”

Nasa mengangkat bahunya. “Kan papa suka marah-marah sama kakak,” jawab Nasa

polos.

Sang mama terkekeh, ternyata anaknya ini sudah tahu tabiat jelek papanya.

“Mama bukan mau marahin adek ya,” ucap sang mama di awal karena takut si bungsu

merasa dimarahi.

“Tapi mama cuma mau kasih tahu ke adek, kan sekarang adek tahu kalau papa suka

marah-marah ke kakak, jadi adek harus nurut sama kakak ya? Kakak itu sayang sekali sama

adek, enggak pernah kesel sebel sama adek, makanya adek harus nurut apa kata kakak.

Kalau adek mau sepedahan, boleh minta ke mama atau papa aja, ya? Kakaknya itu kan sama

gedenya kayak adek, jadi kakak takut kalau ngajarin adek, terus juga nanti kalau jatuh,

jadi sakit, ‘kan?”

Nasa kecil diam mendengarkan ucapan sang mama dengan seksama, setelah selesai,

Nasa kecil mengangguk patuh.

“Adek janji bakalan nurut terus sama kakak, adek nggak mau kakak dimarahin papa

soalnya papa jelek kalau marah.”

Sang mama terkekeh, “iya adek, janji nurut terus ya?”

“Janji!”

Hening, tidak ada yang berkata lagi karena mata Nasa mulai berat, elusan tangan

mama terlalu nyaman untuknya. “Selamat tidur jagoan mama.”

Setelah satu jam tidur, Nasa memegang kepalanya yang agak nyeri, matanya mulai

mengerjap pelan berusaha menyesuaikan dengan pancaran lampu kamar rumah sakit.

“Adek.”
Nasa menoleh ke arah kiri, ternyata ada sang papa yang sudah duduk di sana dengan

tenang.

“Masih sakit kepalanya?” Nasa menggangguk membuat sang papa menghela napas

dan duduk di sebelah Nasa tidur.

“Adek, lain kali jangan bandel kalau dibilangin kakak, jadi gini, ‘kan? Kakak itu

khawatir sama adek, nggak kakak aja, ada papa mama abang sama mas, kakak nggak bolehin

adek sepedaan ya karena ini, nanti adek jatuh terus sakit. Lain kali adek harus dengerin

omongan kakak, jangan bandel, paham?”

Nasa kecil meringis pelan, kepalanya masih agak nyeri tapi sang papa sudah

memarahinya.

“Paham Nasa? Papa enggak mau dengar kamu nggak nurut lagi sama kakak, papa juga

enggak mau dengar kamu pengen yang aneh-aneh, kasihan kakak kamu. Kasihan juga mama,

belum abang sama mas kamu, jangan aneh-aneh lagi ya?”

Nasa kecil langsung membuang muka. “Iya papa.”

Sang papa menghela napas, lalu tangan besarnya mulai menyentuh kepala si bungsu

dan mengelusnya pelan.

“Maafin papa, papa sayang sekali sama adek, tapi papa nggak suka kalau adek nggak

nurut sama kakak, abang, mas, papa atau mama. Jangan gitu lagi ya.”

Nasa kecil menganggguk tanpa mau menoleh ke arah sang papa membuat sang papa

mengecup keningnya dan pergi meninggalkan Nasa yang berkaca-kaca karena rasa bersalah.

Tangisan pilu mulai terdengar dari bibir kecil Nasa membuat Caca kian mengeratkan

pelukan, Nasa menangis tanpa memperhatikan sekitar karena memang hatinya tengah sakit.

Nasa yang kala itu berusia 7 tahun masih belum bisa menerima rasa kehilangannya terhadap

sang mama. Orang yang sangat berharga dalam hidupnya, maka dari itu dia melampiaskan

dalam tangis. Rengekannya juga mulai terdengar menyesakkan bagi Caca yang masih saja

memeluk serta mengecup kening si bungsu.

“Nggak mau dipeluk Tante, maunya dipeluk mama,” racaunya untuk kesekian kali.
“Mama kenapa diem aja di situ, mama kenapa nutup mata terus, harusnya mama

bangun.”

“Kemarin mama janji enggak bakal kemana-mana, tapi kenapa sekarang malah pergi,

mama udah nggak sayang adek lagi ya?”

“Adek janji enggak akan nakal, adek bakalan nurut, tapi mama nggak boleh pergi.”

“Mama …”

Caca mengeratkan peluknya. “Nasa, mama udah bahagia.”

Nasa kecil lantas menggelengkan kepala dengan kuat. “Gimana bisa mama bahagia

kalau adek sendiri enggak bahagia?”

Kembali ke Nasa yang sudah menginjak usia 19 tahun, kini dia sudah menghempaskan

dirinya ke sofa ruang tamu dan memejamkan mata sejenak.

“Loh? Sudah sampai dek?”

Nasa menoleh dan mendapati sang papa yang tengah tersenyum lebar membuat

Nasa segera menegakkan badan. “Iya dong! Udah kangen papa,” ujarnya dengan berdiri dan

memeluk sang papa sekilas.

“Mana kakak abang sama mas?” tanya sang papa.

“Ada di depan, tadi barang bawaan kakak sama abang buanyak soalnya beli makanan

dari Bandung katanya mah khusus buat papa, terus mas bantuin hehehe.”

Sang papa menggelengkan kepala, detik berikutnya sudah ada tiga anaknya dengan

teriakan Gara yang menggema di seluruh ruangan.

“HALO PAK BOS TERCINTA TERSAYANG TER TER SEMUA, AKU KEMBALI KE

RUMAH!”

Rendra yang notabennya di sebelah kanan Gara langsung menjitak kepala adiknya.

“Berisik.”
“Abang pulang pa,” sapa Kevin dengan memeluk sang papa, dilanjutkan Rendra dan

Gara setelahnya.

“Bawa apa aja ini?” tanya sang papa heran.

Kevin dan Rendra langsung mengembangkan senyuman dan mulai menjelaskan

jajanan yang ada di Bandung, sebenarnya jajanan ini bisa ditemui di Jakarta, tetapi

namanya juga anak rantau, jadi mereka beli saja agar terasa vibes rantaunya.

“Padahal Jakarta Bandung tapi oleh-olehnya udah kayak Jakarta-Singapura,”

gumam Gara yang masih terdengar jelas di Kevin dan Rendra.

“Jakarta Bandung udah termasuk rantau ya!” seru Rendra.

“Papa, adek mau kos dong, boleh nggak?” tanya Nasa yang kini sudah duduk di

samping sang papa yang tengah makan jajanan dari dua anaknya.

Kevin mengerutkan dahi. “Apartemennya kenapa?” tanyanya mewakili sang papa.

“Males satu apartemen sama orang itu,” jawab Nasa sembari mengarahkan dagunya

ke Gara.

“IDIH, MAS JUGA MALES SAMA ADEK!”

Rendra menghela napas lelah.

“Kenapa lagi sih?”

Nasa berdecak. “Kemarin mas bawa temennya yang sekecematan ke apartemen

terus buat rame terus apartnya nggak dibersihin!”

“Jangan hiperbola, literally gue Cuma bawa lima orang, terus yang berantakan cuma

kamar gue!” elak Gara.

“YA TAPI YANG BAGIAN BERSIHIN KAN ADEK!”

“Pokoknya mau kos aja!”

Kevin dan Rendra serentak langsung menggelengkan kepala. “Nggak.”

“Kenapa sih? Kakak sama abang aja kos!”


“Anak TK kalau dibiarin kos sendiri mah takut diculik,” ledek Gara yang langsung

mendapatkam lemparan sandal dari si bungsu.

Sang papa hanya bisa tertawa melihat perdebatan keempat anaknya, terutama tiga

anaknya yang melarang si bungsu untuk kos. Semenjak kuliah di tempat yang hitungannya

jauh dari rumah, mereka memang saling melarang satu sama lain.

“Udah di apartemen aja sama mas, lebih enak daripada kos, iya kan kak, bang?”

tanya sang papa.

“Iya, bisa masak sendiri, ada yang beresin, nggak rame kayak kos,” ucap Rendra

mengompori.

“Iya aku berjanji krucil tidak akan membawa teman yang sekecamatan it uterus aku

juga tidak akan memberantakkan apart, aku janji seribu janji bukan seribu alasan.”

Ucapan Gara mampu membuat Kevin terkekeh. “Iya dek, apart aja ya.”

Nasa mengembuskan napas. “Ya udah nggak jadi pindah, padahal adek pengen kayak

abang.”

“Ha? Kenapa?” tanya Kevin bingung,

“Punya tetangga depan kos cantik terus sering numpang mandi di kosan,” ucap Nasa

polos membuat Rendra dan Gara mendelik pasalnya tidak ada yang tahu tentang kejadian

ini kecuali Nasa.

“HAH?! ABANG?!”

Kevin menepuk dahinya.

“Waduh, cepet juga ya move on dari Zia,” ujar sang papa.

“SIAPA CEWEK CANTIK ITU ABANG, SIAPA YANG BISA MEMBUAT HATIMU

TERKETUK SETELAH ZIA YANG DIRIMU CINTA DENGAN SEPENUH HATI?!” tanya

Gara lebay.

“Anjir, yang kuliah di Bandung sama lo kan gue, kenapa gue nggak tahu kalau lo punya

cewek setelah Zia?!” kali ini Rendra yang bersuara.


Kevin menghela napas dan langsung melihat ke arah Nasa. “Hadeh.”

Dering ponsel membuyarkan kegiatan Rendra dan Gara yang menodong berbagai

pertanyaan ke Kevin.

“TANTE VC! AYO VC VC SAMA BUMIL!” teriak Nasa.

“WOY GESER, MAU LIHAT BUMIL!”

“Dih, lo yang geseran anjir, gue duluan yang di sini!”

“STOP JANGAN REBUTAN INI HP DI TARUH DI TENGAH KAN BISA.”

Kevin menghela napas lega membuat Rendra dan Gara langsung menoleh ke arahnya.

“Nanti kita introgasi lagi.”

Sapaan sang tante dari seberang mampu mengalihkan pandangan keempatnya,

mereka langsung menyambut tantenya dengan penuh ceria, apalagi Nasa yang dulu

notabennya sangat manja pada sang tante membuat dia seringkali rindu dengan Caca.

Senyum riang Caca mampu membuat kembar tahu jika tantenya Bahagia, terlebih saat

Januar muncul dengan topi badut membuat gelak tawa mewarnai hari itu, ah ternyata sang

tante tengah ngidam. Hari itu adalah hari terindah kembar diiringi senyuman dan canda

tawa walaupun mereka dan tante tersayangnya terlampau jauh oleh jarak yang memisahkan.

Selesai.

Ini alurnya maju mundur ya, dari yang awalnya mereka umur 6 sama 7 tahun terus tiba-

tiba kelempar ke usia 19 tahun. Tenang, nanti bakal ada cerita mereka pas kelas 12 – kuliah

kok, terus kalau kepo tentang tante Caca sama Januar, nanti ada part special di novel soon

ya [hehehe] sama kembar juga pastinya. Jadi anggap aja ini spoiler kecil buat season 3 +

novel, okeee? See you di next pdf lagi [kalau ada].

• Buat yang udah dapet PDF-nya boleh kali wtp sama tag aku ya [misal mau wtp atau

ss atau gimana, tag aku pokoknya!!!]

• See u di book version buat kisah mereka di season 1 tapi ada beberapa extra part

tentang mereka, heheheh


bonus kembar.

Anda mungkin juga menyukai