Anda di halaman 1dari 16

RAMADHAN DAN KENANGAN PERASAAN

Bunga Suci Romadhona

Selalu tentang Ramadhan. Dalam hidupku, bulan Ramadhan selalu menyuguhkan


memori-memori indah yang membuatku rindu tiap kali mengingatnya.
Sebenarnya aku sedang malas bernostalgia. Namun, mau tak mau aku harus belajar
mengenang dan mengikhlaskan. Mungkin mengenaskan, bocah 10 tahun jatuh hati pada
sahabat lelakinya yang usianya selisih 2 tahun lebih tua darinya. Awalnya mungkin memang
cinta monyet. Namun, menakjubkannya cinta monyet itu bertahan hingga si bocah cadel itu
berusia 18 tahun. Sewindu memendam rasa dan pedihnya yang dicinta tak pernah sadar jika
sejak lama, gadis berlesung pipi ini menyimpan rindu mendalam padanya.
Ini sepenggal kisah, bagaimana cinta dalam diam mesti kandas dalam hitungan jam.

P
P
P
Bunga Suci Romadhona
Ci, ke markas, sekarang!
Cepetan!

Pukul 07.00 WIB, smartphoneku telah diserang ratusan notifikasi chat Whatsapp dari
Ama, sahabatku yang begitu ganas mengirim pesan bernada paksa. Dari 914 chat yang
dikirim, isinya hanya ‘P’ dan ‘Cepetan!’
"Bikin rusuh aja." Aku tertawa sekilas. Setelah membaca pesan tak jelas dari Ama,
aku segera merias diri, memberi sedikit sapuan bedak di pipi chubby dan lipbalm di bibir
pecah-pecahku. Tak lupa, memakai kerudung hitam Saudia favoritku.
Kebetulan saat itu aku baru selesai mandi dan membersihkan rumah. Jadi, tak ada
omelan dari Mama saat aku pamit menuju rumah Ama, sahabat lima langkah dari rumahku.
Kuintip lagi smartphone yang sedari tadi meraung-raungkan pesan dari orang yang
sama.
Ama
P
P

1
Just read doang?
Buruan ke markas!
Lemot ah keong, dasar!
Aku geleng-geleng kepala. Sahabatku yang satu itu memang sedikit pedas kosa
katanya.
Ada apa sih, Ma?
PENTING!
Apa emangnya?
Entah faktor greget, kali ini Ama membalas langsung dengan voice note.
‘Abii nyuruh pasukan DRM nyuci sejadah masjid buat lebaran, abis itu ada yang
wajib dibicarain. Cepetan sini, bawel!’
Daripada dirundung penasaran, aku segera meluncur ke rumah Ama, markas tempatku
dan para sahabat DRM (Dewan Remaja Masjid) bercengkrama.
Tiba di lokasi, aku pun disambut hangat oleh sang nona rumah berwajah garang itu,
tepat di depan gerbang.
"Sebelum masuk, atur nafas dulu, tarik nafas, tahan, hembuskan." Perintah Ama dan
polosnya aku menuruti saja yang diucapkan gadis berjilbab hijau itu.
Bunga Suci Romadhona
"Peraturan pertama, ulurkan tangan kanan!"
Kuulurkan tangan, Ama segera menggenggamnya erat.
"Kedua, pejamkan mata, jangan ngintip! Kalo ngintip, bisul di ketek!"
Baiklah, aku memang penurut ulung. Peraturan kedua terlaksana.
"Selanjutnya, ikuti langkah Ama. Jangan buka mata sampai Ama bilang buka.
Terakhir, jangan kabur! Deal?" Ucap Ama, serius.
Kali ini, aku patut curiga.
"Mau nyuci karpet kok gini banget, Ama." Aku manyun.
"Udah jangan bawel, jalan pelan-pelan, lurus, terus.."
Aku patuh. Ama terkekeh. "Jalan terus.. dan.. sampai. Silahkan buka mata."
Kubuka mata. Tepat saat mataku terakomodasi sempurna, objek terjelas yang terekam
bola mataku adalah..
Dia, lelaki bermata tipis yang duduk menyilangkan kaki di teras depan rumah Ama. Si
ganteng kalem yang memakai kaos abu monyet bertulis #jombloelegan dan celana cutbray.
Sang ketua sekaligus perintis DRM (Dewan Remaja Masjid) An-Nuur, himpunan remaja di

2
Ds. Bumiwangi yang berada di bawah naungan DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) An-
Nuur.
Dia, pagi tersejuk yang pernah aku temui.
Meski saat itu ke-13 anggota DRM telah hadir meramaikan perkumpulan, hanya dia
yang memenuhi kapasitas penglihatanku.
Aku mengucek mata.
Aku harus segera sadar. Terlalu lama terpana melihat Reza, cenderung membutakan
mata hati.
"Selamat pagi, Suci." Para sahabat DRM menyambutku.
Anehnya, Reza membisu. Ia menundukkan kepala, seperti menimbun beban pikiran
yang entah mengapa membuatku merasa gelisah seketika.
"Ada apa ini sebenarnya? Tumben semuanya hadir." Aku memicingkan mata, heran.
Jika benar sekarang adalah jadwal mencuci sejadah masjid, mengapa semua anggota
ikut hadir? Biasanya tak semua anggota datang jika acaranya hanya cuci-mencuci begini.
Selalu saja ada beribu alasan untuk absen. Terlebih hari Minggu, pagi-pagi, bulan Ramadhan
pula.
"Duduk dulu, biar gak panik." Amel yang duduk di samping Reza, beralih tempat,
Bunga Suci Romadhona
mempersilahkanku untuk duduk di dekat Reza.
Aku was-was. Apa yang sebenarnya direncanakan Ama, dkk? Mengapa Reza terlihat
pucat? Sementara Amel menepuk-nepuk pundak Reza seperti menyemangatinya agar tetap
kuat. Dina yang akhir-akhir ini terlibat perang dingin denganku nampak menangis tersedu-
sedu. Hendar, soulmate terbaik Reza, mencoba menenangkan Dina. Dan Ama sibuk berkode
wajah dengan para anggota DRM yang lain.
Omong-omong tentang cuci karpet, sepertinya itu hanya omong kosong Ama agar aku
tak curiga. Nyatanya, semua karpet telah dijemur oleh Abi dan Ummi Ama di lapang
samping rumah mereka.
"Ada apa ini sebenarnya?" Aku masih terpatung di tempat.
"Duduk dulu, Ci." Ucap Ama setenang mungkin. "Kamu udah janji gak akan kabur,
kan?"
Berbicara janji, aku tak mampu berkutik. Aku memilih duduk di dekat Ama walau
anggota lain memintaku duduk berdampingan dengan Reza.
"Oke, semua udah kumpul. Za, bisa kita mulai?" Ama melirik Reza. Reza menarik
napas berat, "Siap."

3
"Gak usah tegang gitu mukanya, Ci. Kalem aja. Rilex." Amel merangkul pundakku.
Bukannya menenangkan, malah menambah tingkat kegelisahanku.
"Ekhm, Assalamualaikum. Selamat pagi, semuanya." Reza membuka ketegangan.
"Waalaikumsalam Warohmatullah, pagi." Semua membalas salam Reza.
"Terima kasih semuanya sudah hadir. Sebenarnya aku juga bingung harus
memulainya dari mana. Ini di luar rencana. Aku pikir ini privasi, tak perlu semua anggota
mengetahui. Tapi, karena ini menyangkut solidaritas kita ke depannya, jadi aku ingin, emm.."
Reza nampak frustasi. Ia melirik Ama sementara yang dilirik nampak nyengir domba.
Ama mengacungkan dua jari perdamaian.
Memang, katanya, semua rencana Reza gugur karena kehebohan Ama menyebarkan
pesan berantai hingga semua anggota DRM penasaran dan memaksakan datang.
"Baiklah, berhubung kita sudah bersahabat dari kecil, hampir sewindu kita bersama,
walau terpisah oleh jenjang sekolah, kita tetap dipersatukan oleh ikatan DRM. Jadi, sayang
rasanya kalau persaudaraan kita pecah hanya karena.. emm.."
Semua nampak tak sabar, kecuali aku yang semakin gusar.
"Ini.." Reza menarik nafas lebih panjang. "Tentang.." Reza menguatkan diri,
meyakinkan bahwa ini keputusan terbaik baginya dan untuk..
Bunga Suci Romadhona
"Suci."
Merasa namaku terbawa-bawa, akupun terpaksa menatap Reza.
Apa yang sedari tadi kukhawatirkan akhirnya terjawab. Tak ada yang bisa membuat
Reza yang terkenal hangat, enjoy, dan ceria menjadi kaku, baku, dan tak nyaman selain
masalah perasaan.
Aku mengenal Reza sejak zaman bocah ingusan. Aku hafal benar tabiat Reza yang
satu ini.
"Kalau ini tentang perasaan, lebih baik aku gak ikutan." Aku berdiri, hendak undur
diri.
Tapi Ama menahanku pergi. "Ci, hargai usaha Reza, bisa enggak?" Katanya, keras.
"Oke, maaf Ci, sebelumnya. Aku gak ada maksud menyakiti siapapun di sini. Tapi,
waktu malam.."
"Stop, please!" Aku tak sanggup mendengar pernyataan Reza lebih jauh. Aku sangat
yakin ini perihal diriku dan perasaan yang selama ini mengacaukan ketentraman persahabatan
kami.

4
"Ini demi kebaikan kita, Ci. Aku merasa, ada yang berbeda dari sikap kamu akhir-
akhir ini. Terlebih sejak awal Ramadhan, empat minggu yang lalu." Reza menjeda
ucapannya.
"Tentang kamu dan Dina yang berselisih, aku tidak pernah menyangka jika itu semua
karena.. aku."
Merasa namanya disebut, Dina yang tersohor pandai memanipulasi keadaan, semakin
menderaskan air mata.
"Ci, semalam, Ama memintaku mengobrol empat mata. Demi menghindari fitnah,
aku mengajak Hendar. Dan.. Ama menceritakan semuanya. Sumpah, aku tak menyangka
kamu memendam perasaan sejauh itu padaku.
Ci, kita bersahabat sejak kecil. Aku memang menyayangimu, sebagai sahabat,
selebihnya sebagai keluarga.
Aku menganggapmu seperti saudara kandungku sendiri, Ci.
Sebelumnya, terimakasih kamu telah menyimpan perasaan lebih itu padaku. Tapi
maaf, aku tak bisa membalasnya.
Kamu sahabatku, saudaraku, keluargaku. Dan kuanggap semua anggota DRM di sini
pun begitu.
Bunga Suci Romadhona
Jadi, maaf Ci.."
"Cukup!" Aku sudah tak kuat. Bendungan air mataku hampir pecah namun aku
bersikeras menahannya, berusaha menampilkan wajah "baik-baik saja" di hadapan semua
sahabatku walau kenyataannya, hatiku biru lebam, terpukul, sakit tanpa darah.
"Ma-maaf Ci, kalo kamu cemburu liat a-aku deket terus sama Reza. Aku nganggap
Reza se-seperti kakak kandungku. Ka-kamu kan tahu, aku kesepian, aku cuman pengen
punya kakak. Itu aja." Dina sesenggukan. Hendar yang duduk di sampingnya, terus
menenangkan.
Aku tahu, aku memang memiliki konflik hebat dengan sahabat sedikit manjaku itu.
Aku hanya tak tahan dengan sikap lengket Dina terhadap Reza, terlebih sepanjang bulan
Ramadhan ini. Padahal Dina tahu, sepanjang persahabatan kami, aku memendam perasaan
mendalam pada Reza.
Mencuri perhatian Reza di hadapanku berarti mencari mati. Seharusnya, sebagai
sahabat yang baik, Dina bisa menghargai perasaanku, menjaga sikap, dan terbuka. Apa
susahnya bilang jika ia juga memendam rasa? Kalau toh iya, aku bersedia bersaing secara
sehat, jangan sampai melukai hati sahabat.

5
Suasana menghening. Hanya terdengar isak tangis Dina yang semakin dipikirkan
semakin membuatku kebingungan. Seharusnya akulah yang menderaikan air mata. Aku yang
patah hati, aku yang merasa terkhianati.
Sebelumnya pun Reza bilang khawatir aku akan menangis tersedu sedan hingga
pingsan. Tapi nyatanya, Reza justru menyaksikan adegan sebaliknya. Reza sepertinya tahu,
aku hanya berusaha tegar, sok tangguh, menebar senyum palsu seakan hatiku sekuat beton.
"Hahaha.." Saat semua meresapi bagaimana remuknya cinta yang tak balas ditepuk,
aku sengaja tertawa, mencacah keheningan yang tercipta.
"Kalian kenapa sih, aku biasa aja. Haha. Kalem aja kali. Jangan bawa perasaan
segala."
Aku yakin, Reza pasti tak mengerti apa isi otak dan hatiku yang baru saja ia tolak di
hadapan para sahabat. Bisa-bisanya aku melawak disaat yang lain merasa, sesungguhnya
akulah yang layak dihibur oleh mereka.
"Di, siapa juga yang marah sama kamu. Kalo kamu emang suka sama Reza, apa
masalahnya bagiku? Maaf kalo kamu merasa aku menjauhimu. Tapi sungguh, aku tak
mungkin sesadis itu pada sahabatku." Saat itu aku hanya berpikir, tak ingin terlihat lemah dan
cengeng di hadapan para sahabatku.
Bunga Suci Romadhona
"Ah iya, aku harus membantu Mama bikin ketupat buat lebaran. Lagian, karpetnya
juga udah dicuci, kan?" Sambil tersenyum lebar, aku bangkit, hendak pulang.
"Emm, oh iya Za, kalem aja. Ama emang suka melebih-lebihkan cerita. Haha. Aku
biasa aja, kok. Semuanya, aku pulang dulu, ya!"
Kali ini, tak ada yang mencegahku pergi.
Di satu sisi, Reza takjub pada ketegaranku.
Di sisi lain, aku menumpahkan segala luka tak berdarah, di kamarku, menyendiri,
berusaha menangis sebisu mungkin agar Mama tak khawatir.
Entah sejak kapan aku menanam perasaan kurang ajar itu pada Reza. Entah sampai
kapan aku mampu bertahan memelihara perasaan yang katanya anugerah itu. Jelasnya,
selama jenjang pubertas, aku tak mampu berpaling ke lain hati.
Entah ini yang namanya kesetiaan yang mutlak atau kebodohan yang hakiki. Seumur
hidup, aku hanya ingin menjaga hati untuk satu lelaki yang pada kenyataannya tak pernah
melirikku sebagai wanita. Bertahan tanpa balasan. Mengejar untuk kepastian yang
meruntuhkan penantian.
Selama ini, aku sadar, hanya aku yang menangggung beban rindu berkepanjangan.

6
Sendirian. Tanpa balasan. Menyedihkan.



HUKUM 1 RELEVAN :
GAYA 143 N
Bunga Suci Romadhona

Langit tak lagi membiru. Gelombang surya mulai ganas memburu waktu. Berlari
memanggang awan hingga berubah kemerahan. Aku sadar, hari tak lagi muda. Sudah
seharusnya
Bunga Sucibagiku mencicipi perpulangan. Meski bel telah berbising sedari tadi, dan matahari
Romadhona
telah bersiap melepas hari, seperti biasa, Pak Guru Fisika yang kami cintai belum memberi
restu untuk mengembalikan kami ke habitat masing-masing. Kira-kira menunggu lima belas
menit, akhirnya beliau ikhlas memulangkan kami.
Terlambat lima belas menit, sudah pasti. Kupercepat langkah menuju Kebun Biologi
di belakang sekolah, untuk memenuhi janjiku pada seseorang. Aku tahu seseorang itu -pasti-
sudah penat menungguku. Kukejar waktu seganas surya sang pemburu waktu. Aku harus
cepat, sebelum langit bermetamorfosis kembali menjadi warna merah berlapis biru.
Kudapati dirinya sedang dalam kebosanan. Duduk berayun di antara kekayuan
pembatas tanaman, dengan wajah kaku dan tak bergairah. Kucoba persabar nafas sebelum
menanggapi kemarahannya atas ketidakdisiplinanku.
“Maaf, tadi kelasku ikut remidial fisika dan itu membuatku terlambat menemuimu.”
Aduku penuh penyesalan.
“Oh. Mana bukunya?”
Tanpa banyak kata atau tanda tanya, ia langsung menggusurku pada inti pertemuan
kali ini. Kuambil saja buku catatan Bahasa Indonesianya dari dalam tas. Ada sedikit keraguan

7
saat aku hendak mengijabkan buku yang kupinjam darinya itu kembali padanya. Pasalnya,
suatu misi rahasia terbesarku telah kuselipkan dalam buku itu.
Dengan wajah datar, ia menerima buku itu, tanpa seucap kata qobul atau seulas
senyum. Selepas itu, ia pergi meninggalkanku. Sendiri, bersama harapan tinggiku pada
pertemuan yang jarang ini.
“Nuansa!” lelaki beku itu menghadapkan wajah sejuknya padaku. “Terimakasih. Saya
pikir, kamu memang peminjam buku yang baik.”
Aku terpaku. Ingin rasanya aku mengucapkan sesuatu. Namun saying, klakson
angkutan kota mendahuluiku. Dia memalingkan wajah kalemnya dariku, lalu pergi bersama
gemuruh knalpot angkot juga kabut pembakarannya. Sekali lagi, waktu membiarkanku
menyaksikan kepergiannya.. lagi.
***
Menjelang dua hari setelah pertemuan seminggu sekali kemarin, lelaki es batu itu
kembali menemuiku. Langsung ke kelas, diwaktu isrirahat ini.
“Aaaa.. ada Relevaaan!” ujar kawan hawa sekelasku yang -memang- ikut terjerat oleh
pesona lelaki penabur pesona ini.
“Ada apa?” pekikku saat menghampirinya di ambang pintu.
Bunga Suci Romadhona
Lelaki dingin besuhu -100oC itu hanya melihatku dengan wajah ‘es’nya.
“Sekarang, temui saya di perpus.”
Menemuinya? Sekarang? Sebentar..
Sebelum sempat aku bertanya ‘ada apa?’, lagi-lagi ia telah pergi menuju
perpustakaan.
Ada apakah gerangan? Jangan-jangan..
“Saya sudah membaca kertas ini.” PLAAK!
Relevan menghempaskan kertas luapan batinku yang sengaja kuselipkan di antara
buku catatan Bahasa Indonesianya itu. Aku tertunduk.
“Apa maksudnya?” tanyanya.
“Sst!” melihat ekspresi dan suara lantangnya, membuatku bingung dan takut terkena
marah penjaga perpustakaan. Terlebih malu saat orang-orang di sekeliling juga menyaksikan
argumen hati yang terselubung ini.
“Sebaiknya jangan membicarakan hal ini di sini, tidak enak didengar yang lain.”
Tanpa menunggu hitungan detik, Relevan segera menarik tanganku keluar, menuju
halaman belakang perpustakaan.

8
“Apa maksudmu menyelipkan surat payah ini pada saya?” gertaknya. Aku mencoba
menghimpun nafas. Sejenak, rasa sesal merasukiku karena surat itu. Baru saja aku hendak
angkat bicara, tibalah bel masuk menyeru-nyeru untuk memastikan kami kembali meraup
ilmu.
“Saya tunggu di Kebio, pulang sekolah!”
Aku mengangguk. Oh, ya ampun..
***
Buana petang kembali menemaniku saat pertemuan seperlunya ini digelar. Saat tiba di
Kebun Biologi (KEBIO), tempat favorit anak-anak IPA dan sebagian anak Bahasa yang
mencari ketenangan dan kedamaian, aku kembali mendapati Pangeran IPA itu sedang berdiri
tegap dengan tangan yang tersimpan di saku.
“Ekhm..” mendengar suaraku, Relevan segera membalikkan badan dan berjalan
mendekatiku.“Pegang ini!” pekiknya sembari menyerahkan kertas warna hijau –suratku- itu
kembali ke genggamanku. “Baca!” perintahnya. Aku terkejut, “Baca?”
“Cepat!”
Kulirik sekeliling, sepertinya sudah sepi, aman. Kupegang erat surat itu dan mulai
membacanya..
Bunga Suci Romadhona
Relevan.. Ana Uhibbu Ilaika.
Kata-kata itu yang kutemukan saat pertama kali menemui wajahmu. Setelah lama Tuhan
mempersuntingkan waktuku dengan waktumu, firasatku mengatakan jika.. Benar, kata-kata itu telah
dipinjamkan Tuhan untukku bagi denganmu. Relevan.. Ana Uhibbu Ilaika.. wa Anta?
Nuansa

Relevan tersenyum janggal, seperti tak percaya akan apa yang telah kubacakan. Memalukan.
“Nuansa Islami, mengapa kamu membuat surat itu?”
Aku tertunduk, tak menjawab.
“Asal kamu tahu, hampir semua wanita di sini pun pernah mengungkapkan hal yang
sama denganmu. Bahkan dengan cara yang teramat bodoh hingga aneh pernah mereka
lakukan. Dan sekarang, giliranmu?”
Aku tertunduk makin dalam.. Dasar Bodoh! Bodoh!
“Bodoh!” Relevan mengangkat alisnya, “Aku bingung, apa tujuan wanita-wanita itu,
termasuk kamu, melakukan hal ini. Hal bodoh, percuma, dan sia-sia!” gertaknya.
“Memangnya kenapa? Apa masalahnya? Menyukai seseorang di usia seperti inikan
normal-normal saja!” balasku, mencoba membela diri.

9
“Memang, namun waktunya saja kurang tepat. Bahkan yang saya bingung, di sini
wanita yang terang-terangan mengakui jika mereka menyukai laki-laki itu. Saya tidak suka
wanita seperti itu. Tidak sabaran, terlalu terbuka, tidak tahu malu!”
“APA?”
Mendengar ungkapannya yang begitu menusuk dan menyayat hati itu, luapan rasa
marah sekaligus sesal tiba-tiba mengerubungiku. Perasaan yang mendidih itu menggerayam
hingga ke otakku, lalu uapnya membanjiri kelopak mataku. Seketika mataku memerah, dan
otakku mengelam sekelam sore hari ini. Melihat matanya yang tepat di hadapan wajahku,
rasanya mensugestikan agar aku segera mencekik dan mencakarinya!
“Aku pikir hatimu akan setampan parasmu. Ternyata aku salah, yang kamu tampilkan
di luar nyatanya berbeda dengan yang ada di dalam!”
“Kamu terkejut?” Relevan berjalan mengelilingiku. “Itu artinya kamu menyukai saya
hanya dari luar, tidak pernah mencari tahu bagaimana saya yang sebenarnya. Saya sudah tahu
itu. Semua wanita di sinipun tak jauh berbeda denganmu.”
“AKU-BERBEDA-DENGAN-MEREKA!” kukepal jemariku, menahan air mata yang
telah mengantri di pelupuk mata. “Dari awal melihatmu, awalnya aku memang tertarik
dengan wajahmu. Namun, setelah cukup lama mengenalmu, aku tahu, sikapmu baik dan itu
Bunga Suci Romadhona
membuatku yakin jika aku memang tidak salah telah menyukaimu!” lanjutku. Relevan
tersenyum sinis, “Kamu menyukaiku? Benarkah?”
“Ya! Dan alasanku mengirim surat itu padamu karena aku ingin kamu sadar, jika di
luar sana ada wanita yang setia mendukungmu, namun wanita itu selalu kamu sia-siakan dan
tak pernah kamu pedulikan!”
“Benarkah?”
“Menurutmu?”
Relevan melipat lengannya di dada, “Lalu?”
“Kenapa lalu?”
“Lalu kenapa?” balasnya. Tak terasa air mataku mulai terjatuh dari mata airnya.
Sementara hari menjelang petang dan permasalahan batin ini rasanya belum mencapai babak
penyelesaian.
“Hanya dengan pernyataan seperti itu saja kamu menangis?” ujarnya, “Pengecut.”
Ayolah, aku sudah tidak tahan! “AKU BUKAN PENGECUT!”
“Benarkah?”
“Ya, aku bisa membuktikannya!”

10
“Buktikanlah.”
Aku menatapnya, murka.”CUKUP, RELEVAN PRIBADI ISLAMI…”
“Hari ini belum seberapa. Kamu belum tahu bagaimana saya yang sebenarnya. Kamu
yakin dapat menaklukkan saya?”
“Jangan banyak bicara, cepat katakan kamu mau aku melakukan apa?”
Relevan mendekatiku, sangat dekat. Lalu ia berkata, “Minggu depan, kalahkan saya
dalam seleksi Olimpiade Fisika. Jika kamu masuk seleksi, pintalah satu hal yang kamu
inginkan dari saya. Namun, jika kamu gagal, enyahlah dari kehidupan saya.”
Deug.. Setega itukah?
“Setuju?” Relevan menjulurkan lengannya.
Walau ragu, aku membalas, “Baiklah.”

Menghadapi akad yang telah dibuat kemarin, hatiku benar-benar was-was. Mengapa
tidak? Dalam seminggu aku mesti melahap semua bab tentang FISIKA dari mulai kelas X,XI,
hingga XII. Ini gila, kawan! Olimpiade Fisika? Mendengar namanya saja membuat maagh-ku
kambuh! Ditambah otak pun meledak tatkala melihat 30 pesaingku di sekolah ini yang
notabene lihai
Bunga Suci berfisika semua. Lalu aku? Anak Olimpiade saja bukan, nilai fisikaku lumayan
Romadhona
sih yaa lumayan, sedangkan di papan pengumuman nama ‘NUANSA ISLAMI’ telah
terpampang. Apa daya? Akan kupaksakan otakku ini agar bisa!
“Semangaaat!” pekikku saat memulai pertempuran dengan soal fisika kelas XI.
Ibuku, Bu Mutmainah, guru Bahasa Jepang di SMA tetangga. Dan Ayahku, Pak
Johari, guru Fisika di SMAku. Mereka mengintipku dari ambang pintu kamar. “Ternyata dia
bersungguh-sungguh mengikuti olimpiade itu. Seharusnya Ayah membantunya.” bisik Ibu
pada Ayah. Bukannya membantu justru Ayah malah mematikan lampu kamarku. Semuanya
jadi gelap gulita. “Nuansa, cepat tidur! Istirahatlah!” kata Ayah, datar.
“Pak Johari, hidupkan lagi lampunyaa!” teriakku. Tak ada balasan. “Ayaaah!”

Sudah tiga hari berturut-turut. Di bawah kendaliku, soal fisika tetap membuatku
berlutut. Takluk. “Sebuah benda dilemparkan horizontal dari puncak menara setinggi 80 m
dengan kecepatan 2 m/s. Jarak tempuh benda tersebut dalam arah mendatar dihitung dari
kaki menara adalah..? Dimana g = 10 m/s 2?” sudah 5 kali aku mengulang, tetap saja jawaban
yang benar tak pernah kutemukan. “OH, DAMN IT!” aku murka.

11
“48 m.”
48 m? Aku melirik kanan-kiri, tiada siapapun di perpustakaan ini.
“Itu jawabannya. 48 m.” Relevan tiba-tiba muncul di balik rak buku di belakangku.
“Bagaimana bisa?”
“Kamu tinggal mengalikan kecepatan dengan akar kuadrat dari dua kali ketinggian
per percepatan gravitasi. Itu saja, apa sulitnya?”
“Aku butuh bukti, bukan teori!”
Relevan menatapku. Lalu ia duduk tepat di hadapanku. “Berikan bukumu!”
rampasnya. Dalam sekilat, Relevan berhasil mengerjakan kesepuluh soal di buku fisika itu.
Aku tertegun, 3 hari aku dibuat galau oleh soal-soal itu. Dan tak kurang dari 5 menit, Relevan
menyikat habis seluruhnya? Aku terkesima, “Luar biasa.”
“Seleksi Olim tinggal 3 hari lagi. Mengerjakan soal ‘termudah’ saja kamu kesulitan?
Ada baiknya kamu segera ‘angkat tangan’ saja. Menyerahlah, sebelum saya meminta
lembaga untuk menyuruhmu ‘angkat kaki’ dari sekolah ini.” Pekiknya, pedas.
“Apa hakmu mengganggu hakku? “
“Apa kamu lupa atau benar-benar tidak tahu? Kamu sedang berurusan dengan putra
seorang Ibu Kepala Sekolah.”
Bunga Suci Romadhona
Mataku membulat, “Dasar angkuh! Apa kamu tidak tahu aku ini siapa?”
“Kamu adalah putri tunggal Pak Johari, guru fisika favorit saya. Benar, bukan?”
Relevan melipat tangannya di dada. “Saya mengenalmu lebih dari kamu mengenal dirimu
sendiri. Lalu katamu, kamu jauh lebih mengenal saya dari siapapun? Itu aneh. Jujur saja, saya
terkejut saat tahu ternyata kamu menyukai saya. Itu lelucon terlucu dalam hidup saya. Ya,
semacam hiburan sebelum masuk olimpiade.” Ungkapnya. “Sudahlah, menyerah saja.
Lagipula, sampai kapanpun kamu tidak akan pernah bisa mengalahkan saya.”
“Dan..” Relevan berdiri, “Jika kamu masih nekad juga, kerjakanlah soal ini. Akan
saya koreksi nanti.” Relevan menyerahkan selembar kertas warna hijau berisi soal fisika
padaku.
“Sepertinya kamu khawatir tersaingi olehku.” ejekku. Tanpa basa-basi, segera kuhajar
soal itu hingga babak belur. “Beres!” kerlingku.
“Secepat itu?” Relevan menatapku.
“Aku tak sebodoh yang kamu kira, lagipula soal ini mudah bagiku. 143, apa
jawabanku benar?”
“Besarannya?”

12
“Oh, ya.. 143 N.. Newton. Benar, bukan?” tukasku. Relevan hanya tersenyum, entah
apa maksudnya.
“Jawab saja olehmu, besok.” Ujar Relevan sembari pergi keluar perpustakaan. Aku
terpatung, bingung. Berani sumpah, aku yakin 99,9% jawabanku benar. 35,75 m x 4 t = 143
N. Lalu? Sudahlah, abaikan!
***
Dan tiga hari kemudian.. tibalah saatnya hari Seleksi Olimpiade MIPA Tingkat
Sekolah. Hanya akan ada 1 perwakilan terbaik yang diambil dari tiap cabang olimpiade. Ah,
apa mungkin aku memenuhi kriteria?
Yang kutahu, selama di arena lomba, jemariku bergemerutuk. Tungkai kakiku
melepuh. Senyumku membeku. 40 soal PG merajamku selama 120 menit. Hingga akhirnya..
aku terbebas dari dekapan maut itu. Sekarang, waktunya kutunggu hasil kerja kerasku selama
seminggu yang lalu.

Hari ini upacara. Dan di akhir nanti, akan ada pengumuman pemenang Seleksi
Olimpiade. Tibalah saatnya amanat dari Ibu Kepala Sekolah, yang saat ini diwakilkan kepada
Wakapsek
Bunga SuciBidang Kurikulum, Pak Jalal. “… Saya dititipi amanat berupa rekaman audio dari
Romadhona
Bu Iis. Coba Ketua Osis, Relevan! Tolong putar melalui handphonemu, file dari Bu Iis, yang
kemarin dikirimkan beliau untuk diputar di perangkat audio sekolah.” Relevanpun
mengangguk, menyanggupi.
Saat pemutaran audio..
Relevan.. Ana uhibbu ilaika wa iyyaka uhibbu. Kata-kata itu yang kutemukan saat
pertama kali menemui wajahmu.
Rasanya aku kenal suara itu, kata-kata itu.
Setelah lama Tuhan mempersuntingkan waktuku dengan waktumu, firasatku
mengatakan jika.. benar, kata-kata itu telah dipinjamkan Tuhan untukku bagi denganmu.
Rantaian kata itu banyak mengundang gelak tawa para siswa-siswi serta guru di sana.
Relevan, ana uhibbu ilaika. Wa anta?... .Nuansa
Gebrakan tepuk tangan menyudahi rekaman suara gadis menyedihkan itu, yang
kusadari itu adalah.. suaraku!
Peserta upacara tertawa-tawa. Ejekan-ejekan bertebaran di sekelilingku. Sumpah, aku
ingin mati saja waktu itu! Memalukan sekali rasanya! Hingga akhirnya selepas upacara,

13
Relevan segera berlari menghampiriku, “Nuansa, saya bisa menjelaskan.. Rekaman itu, saya
tidak bermaksud.. saya tak sengaja mengirim file yang salah ke audio sekolah. Saya..”
PLAAAK! Kutampar Relevan seketika. “Dasar licik! Kenapa bisa suaraku waktu itu
kamu rekam? Jika kamu sangat membenciku, katakan saja, jangan begini caranya!” kataku
sebelum akhirnya berlari dari lapangan.
Masih kudengar tawa caci di seantero sekolah, terlebih di sepanjang koridor kelas.
Aku tak lagi mempedulikannya, meski cacian itu menerkamku hingga bel pulang tiba.
Ketika aku hendak pulang, aku terkejut melihat para hawa dari mulai pucuk, batang,
hingga akar, mendakwa Relevan di tempat parkir. Mereka menggugatnya seakan ia adalah
tersangka yang terbukti merampas kuncup emas milik Monas. “Ada apa ini?’ terobosku
menghalau barisan pertahanan para hawa yang mulutnya berlarian menebar kata-kata yang
tak enak ditelan. “RELEVAN PEMBOHONG! RELEVAN MUNAFIQ!” hajar mereka.
Aku terperangkap di antara mereka, para penggemar yang terbakar api cemburu.
Tubuhku tergilas teriakan mereka yang menciutkan harga diri. Dari sini, aku dapat
menyaksikan terbelenggunya Relevan yang terdampar di depan bersama seorang wanita yang
mengintograsinya tanpa ampun. Saat itulah aku sadar, Relevan merupakan latar belakang dari
demonstrasi qolbu sore ini.
Bunga Suci Romadhona
“Rel, ada apa di antara kamu dan wanita ‘cantik’ itu?” tanya Kak Rani, tetua fans
Relevan, berkumandang.
Di pusat pencekikan harga diri seorang lelaki itu, Relevan segera bertindak, “Ya, saya
memang menyukainya. Apa itu masalah untuk kalian? Uruslah urusan kalian sendiri, jangan
pernah mencampuri urusan orang lain. Permisi.” Lelaki virion hati itu mulai beranjak pergi,
dengan langkah ringan seperti tak menanggung beban sedikitpun. Sempat ia menemui
pandanganku, namun bahu gagahnya melabrak tubuh imutku. Aku membeku untuk beberapa
waktu.
Relevan menyukaiku? Sejak kapan? Bukankah dari awal ia sangat membenciku?

Sinar-sinar kecil mulai berjuntai di bilik timur langit. Awan baru saja berembun dan
burung-burung baru terbangun-bersiap mengepak hari. Hari ini, entah mengapa semua guru
mengucapkan 'selamat' padaku, termasuk ayahku.
“Kabar jalanan bilang, seorang siswi cengeng yang dipermalukan di hari
bersejarahnya ternyata dapat mengalahkan pesaingnya di bidang fisika. Apa itu benar? Ah,
saya tak percaya.”

14
Aku berhenti berjalan, “Tunggu sebentar, apa maksudmu?”
“Kamu lulus seleksi. Nilaimu mungkin unggul 0,05 poin dari juara ketiga. Bukannya
sombong, mestinya saya yang lulus karena nilai saya nyaris sempurna. Namun, tak ada
pilihan lain. Saya tak bisa ikut olimpiade itu karena lusa saya mesti ke Kanada untuk
mengikuti Internasional Mathematic Olympiad-ku yang sempat tertunda
pemberangkatannya.” Relevan mendekatiku, sangat dekat. “Nuansa, saya rasa ini adalah hal
terbodoh, percuma dan sia-sia. Namun hal bodoh ini yang menyadarkan saya akan sesuatu.
Ini asing dan aneh bagi saya, namun.. satu hal saja. One Four Three Nuansa.”
Tunggu. ONE FOUR THREE. Aku mengenalnya. Angka-angka itu.. 1 4 3
Jawabanku atas soal fisika Relevan waktu itu. Angka yang ternyata mewakili suku kata dari..
I LOVE YOU. Ini semacam kode. 143 N. One Four Three N.. Nuansa? I Love You
Nuansa? Apa itu untukku? Benarkah ini? Ini tidak masuk akal.
“Bukannya sudah saya katakan? Saya sudah mengenalmu lebih dari kamu mengenal
dirimu sendiri. Itu artinya, saya sudah lama mengagumimu. Apa ini? Biasanya wanita lebih
peka pada masalah hati.” ujarnya. Ah, aku terpana.
“Jujur saja, ini jawabanku. Suhu dalam derajat Reamur apabila diketahui suhu dalam
derajat Fahrenheit sama dengan 64,22oF.”
Bunga Suci Romadhona
Relevan tersenyum kecil, “Itu namanya soal, bukan jawaban.”
“Jawabanku ada di soal itu.”
“14,32oR.” Jawab Relevan, cepat sekali.
Aku terperangah, “Secepat itu?”
Relevan tersenyum.”1 4 3 2 R. Unik.”
Ah, Apakah mesti seperti ini cara menyatakan perasaan kepada orang jenius? Rumit
sekali rasanya.
“Umm.. bicara tentang perjanjian.. jadi, siapa yang menang?”
“Kamu.” Relevan tersenyum, “Aku mengalah untuk menang.” lanjutnya.
Aku terpana. “Apa katamu barusan? A K U?” Aku tersenyum takjub. Relevan yang
formal dengan ungkapan ‘SAYA’ ditiap kalimatnya baru saja berkata ‘AKU’?
“Ya, Aku,” Ungkap Relevan dengan senyum menawannya yang sangat langka.
Langit sedang benar-benar membiru. Gelombang surya begitu tenang menabur waktu.
Berjalan, meniup awan hingga bergumpal bersih, putih, dan indah. Aku tahu, hari sedang
menikmati keindahan masa mudanya.

15
“Rel, kamu punya hutang satu permintaan dariku. Satu saja.. bisa tidak kamu menjadi
satu-satunya untukku?”
“Emm, akan saya pertimbangkan.”
Aku tertawa.

Bunga Suci Romadhona

16

Anda mungkin juga menyukai