Anda di halaman 1dari 27

Aku menarik nafasku dalam dalam sebelum

mengatakannya "Aku hamil".

Perlahan dapat kulihat ekspresi Damar

yang berubah, senyumnya mulai memudar

digantikan dengan tatapan tak percaya. Tak

ada kata yang diucapkannya selama

beberapa menit, kami hanya saling

memandang. Ia menunduk dan mengacak-

ngacak rambutnya kemudian menatapku

lagi "Kita kan baru ngelakuin sekali Lin,

dan...dan lagian kita masih kuliah".

Aku terbelalak kaget, dadaku terasa sesak,

aku mengepalkan tangan mencoba

mengendalikan amarah yang mulai

memuncak "Jangan bilang kamu mau lari

dari tanggung jawab". Kataku sengit, nada

bicaraku mulai meninggi, kulihat beberapa

orang yang duduk didekat kami, menoleh

kearah kami. Damar kembali terdiam ia

seperti kehabisan kata-kata.

"Ini salahku". Aku menahan air mataku

yang hendak meloloskan diri "Seharusnya

aku tak pernah mempercayaimu Damar".

bulir air mata mulai berjatuhan, aku tak

bisa lagi melihat ekspresi Damar dengan


jelas. "Kau bahkan tahu bahwa ketika kita

melakukannya aku masih perawan". kataku

seperti berbisik, aku sudah putus asa, aku

meraih tisu kemudian mengusap air

mataku, kemudian menggenggam tisu itu

dengan kuat "Dasar pecundang". Aku

beranjak dari dudukku dan berjalan pergi

meninggalkannya.

Aku berjalan dengan cepat menuju

parkiran kafe. Kurasakan air mataku mulai

berjatuhan, ketika hendak membuka pintu

mobil sebuah tangan menarik lenganku, ia

memelukku dari belakang dan aku tahu

bahwa itu Damar. "Lepaskan Damar". aku

mencoba melepaskan diri dari pelukannya.

Beberapa orang diparkiran memperhatikan

kami dan itu membuatku tidak nyaman.

"Maafkan aku Lin". bisiknya, aku masih

mencoba meloloskan dari pelukannya, tapi

percuma saja, ia memelukku dengan erat

"Menikahlah denganku Lin". Aku berhenti

melawan. Ia merenggangkan pelukkannya.

Aku membalikkan badanku menghadap

padanya, kulihat sorot matanya yang juga

putus asa.
"Kau serius"? kataku sambil membuang

muka.

Ia terdiam sejenak "Ya, ayo menikah".

Aku memeluknya dengan erat, ada rasa

bahagia yang membuncah didalam dada.

Aku tak akan sendiri. Kami akan

membesarkan anak ini berdua.

***

Malam ini Damar mengundangku untuk

makan malam di rumahnya. Tentu saja

kami mempunyai tujuan untuk

menjelaskan kepada kakaknya bahwa kami

akan segera menikah. Damar hanya tinggal

dengan kakak laki-lakinya dan beberapa

pembantu. Orang tua Damar sudah lama

meninggal, tepatnya ketika ia berumur 8

tahun, kakaknyalah yang merawatnya dari

kecil. Di umur yang cukup terbilang muda

kakaknya harus menggantikan posisi kedua

orang tuanya sekaligus menjadi kakak

untuk Damar, tak heran jika ia terkadang

bersikap dingin dan keras pada Damar.

Sebelum mengetuk pintu aku merapikan

rambut ku dan menarik nafas "Semuanya

akan baik-baik saja". aku mengucapkannya


berulang-ulang kali.

Tok tok tok

Aku menunggu beberapa saat hingga pintu

terbuka. Damar muncul dengan wajah yang

juga tegang saat melihatku.

"Ayo masuk". ia mempersilakanku untuk

masuk.

Aku hanya mengangguk dan segera masuk.

"Siapa Dam"? Teriak kakaknya dari dalam.

Damar segera menggenggam tanganku

dan mengajakku untuk masuk, aku dapat

mencium bau masakan dari ruang tengah,

kurasa kak Rama sedang memasak. Ketika

sampai di dapur aku berdiri dengan tegang

menatap kak Rama membelakangi kami

yang sedang sibuk dengan masakannya.

"Kak". Panggil Damar.

"Hmmm". Kakaknya tak menoleh sedikitpun.

Damar hanya terdiam pasrah menunggu

kakaknya hingga selesai, begitupun juga

aku, aku masih berdiri, diposisi yang sama

ketika kami memasuki dapur. Kak Rama

memutar badannya dan tampak kaget

melihatku berdiri, namun segera bersikap

biasa saja, aku mengembangkan senyumku


semanis mungkin, namun ia

mengabaikanku begitu saja.

"Kau bawa siapa"? tanya kak Rama sambil

meletakkan masakkannya di meja makan.

"Kak ini Lintang pacar Damar". dapat

kurasakan suara Damar mengecil seperti

ketakutan.

Kak Rama mengalihkan pandangannya

padaku. Aku tersenyum dan mengulurkan

tanganku "perkenalkan saya Lintang kak,

saya sudah dengar banyak cerita tentang

kak Rama dari Damar". kataku. Ia tak

tersenyum dan hanya menyalamiku

dengan singkat.

Aku memperhatikan kakak beradik yang

sedang menikmati makanannya, bahkan

aku tak yakin mereka menikmati

makanannya, tak ada obrolan apapun

diantara mereka. Kurasakan Damar

menggenggam tangan kiriku dengan kuat

aku menatapnya kemudian mengangguk.

"Kak". Damar berdeham meredakan

kegugupannya "Kami mau nikah".

Kulihat kak Rama menghentikan makannya

dan menatap Damar kemudian menatapku


dengan tatapan dingin.

"Tentu". Jawabnya. Aku menghela nafasku

lega "Setelah kalian menyelsaikan kuliah

kalian".

"Nggak bisa kak, kami harus menikah

secepatnya".

Kak Rama meletakkan sedoknya lalu

bersandar "Ada apa dengan kalian"?

Jantungku berdegup tak karuan, aku

menundukkan kepalaku tak berani

menatap matanya.

"Aku akan menjadi seorang ayah kak".

Waktu terasa seperti berhenti berputar,

namun jantungku justru berpacu dengan

cepat. Tubuhku menengang ketika

mendengar seseorang menggebrak meja

dengan sangat keras. Aku tak begitu

memperhatikan, ketika aku sadar kak Rama

sudah menarik Damar ke halaman

belakang. Aku mematung menatap

kejadian itu tak percaya. Hingga akhirnya

aku berlari menyusul mereka berdua.

Ketika sampai di halaman belakang kulihat

beberapa pembantu wanita berteriak

meminta tolong, seorang satpam dan


tukang kebun datang dengan tergopoh-

gopoh melerai mereka berdua.

***

Setelah melalui proses panjang untuk

meminta restu dari kak Rama, kini giliran

meminta restu kepada keluargaku. Jujur

aku gugup sekali. Keluargaku menyambut

dengan hangat kedatangan mereka

berdua. Suasana meja makan juga cukup

hangat dan nyaman. Hingga akhirnya kak

Rama menyatakan maksud kedatangannya,

seketika ekspresi ayah dan ibu berubah

begitu juga kak Yuda. Damar harus

merasakan pukulan untuk kedua kalinya

dari kakakku, padahal memar bekas

dipukul kak Rama belum menghilang. Ada

rasa bangga terbesit dihatiku dengan

keberanian dan keteguhannya untuk

bertanggung jawab menikahiku. Mau tak

mau keluargakupun akhirnya menyetujui

pernikahan kami. Kami segera

merencanaakan pernikahan kami, rasanya

sungguh terburu-buru, kami diberi waktu 2

minggu untuk mempersiapkannya. Tamu

undanganpun hanya sebatas keluarga


dekat.

***

Aku tersenyum menatap halaman belakang

rumahku yang akan menjadi tempat

bersejarah sepanjang hidupku. Hingga

akhirnya berita buruk menimpaku. Damar

pergi sehari sebelum pernikahan kami.

Kuharap ia tak melarikan diri setelah

sejauh ini perjuangan kami. Berulang kali

aku memencet layar ponsel, mencoba

menghubungi Damar, mencari tahu

keberadaannya. Berulang kalipun tak ada

jawaban.

"Aaaaa".

Mataku terbelalak ketika mendengar

teriakan mama, aku segera berlari

kebawah. Dan aku mendapati kak Yuda

sedang memukul kak Rama, aku tak bisa

membiarkannya aku berlari menarik lengan

kakakku. Kak Yuda menepis tanganku

hingga aku terjatuh, ketika aku hendak

berdiri semuanya menjadi gelap dan lebih

nyaman.

***

Aku membuka mataku dengan perlahan-


lahan, aroma obat-obatan menyeruak ke

hidungku.

"Sayang, kamu sudah sadar, masih pusing"?

"Enggak ma, Lintang udah agak baikan".

jawabku.

Papa dan mas Yuda yang duduk di sofa tak

jauh dari tempatku berbaring segera

berdiri dan mendekatiku.

Akupun mulai menangis, awalnya hanya air

mataku saja yang keluar tapi kali ini aku

menangis sesenggukan, bahkan kurasa aku

menangis seperti anak kecil.

"Maafin Lintang". Aku mengucapkan maaf

disela-sela tangisku, Mama memelukku dan

mengelus-ngelus rambutku.

"Bajingan itu, aku tak akan pernah

memaafkannya". Geram kak Yuda.

"Saya berjanji pernikahan itu akan tetap

dilaksanakan". Suara kak Rama membuatku

diam dari tangisku, ia berjalan

mendekatiku, kulihat didagu kirinya ada

memar dan ujung bibirnya sedikit robek

yang kuyakini hasil pukulan kak Yuda.

"Omong kosong". tatap kak Yuda sengit.

"Saya sendiri yang akan bertanggung


jawab jika sampai adik saya tak kembali".

Kami menatap kak Rama tak paham.

"Tunggu dulu, apa maksudmu"?

"Jika adik saya tak kembali, saya yang akan

menikahi putri om, saya yang akan

bertanggung jawab".

Aku menatap kak Rama dengan tatapan tak

percaya, bagaimana mungkin aku menikah

dengannya. Sungguh tak masuk akal.

"Baik, setuju". Aku menoleh pada papa

yang begitu saja menyetujui pernyataan

konyol itu.

***

Sampai hari H tiba Damar tak kunjung

datang, ia menghilang bagai ditelan bumi,

dan entah mengapa aku harus

terperangkap kedalam pernikahan palsu ini.

"Saya, Rama, membawa anda, Lintang.

Untuk menjadi istri saya. Saya berjanji

untuk mencintai dan menghormati anda

sejak hari ini, untuk lebih baik, buruk,

untuk kaya, miskin, sakit dan kesehatan di

semua hari-hari kehidupan kita, sampai

kematian memisahkan kita".

Saya, Lintang, membawa anda...". suaraku


tercekat ditenggorokan, "Rama. Untuk

menjadi suami saya. Saya berjanji untuk

mencintai dan menghormati anda sejak

hari ini, untuk lebih baik, buruk, untuk

kaya, miskin, sakit dan kesehatan di semua

hari-hari kehidupan kita, sampai....". Aku

menelan ludahku dengan susah payah

"kematian memisahkan kita".

"Dengan ini, saya meneguhkan pernikahan

kalian...".

Kurasakan kak Rama mencium keningku

dengan lembut, seketika kudengar riuh

suara tepuk tangan dari keluarga dan tamu

undangan.

***

PRANG

Suara benda jatuh membangunkanku dari

tidur, aku segera beranjak dari kasurku

menuju ruang tengah. Kulihat tangan

mungil hendak memungut pecahan guci

keramik berukuran sedang di dekat televisi.

"Aster ja...". Belum sempat menyelsaikan

kata-kataku.

"Hayo anak ayah lagi ngapain"? Kak Rama

mengagetkan Aster, ia kemudian


mengangkat Aster kegendongannya.

bukannya menjawab Aster

menyembunyikan wajahnya dipundak kak

Rama. Aku menghampiri mereka, kak Rama

menyadari kedatanganku dan tersenyum.

"Maafin Aster ayah, Aster nggak sengaja

senggol hiks...hiks".

"It's allright little girl". Kak Rama mengelus-

ngelus punggung Aster.

"Are you okay baby"? Aster hanya

mengangguk menjawab pertanyaan

ayahnya. "Let me check your hand". Aku

memperhatikan mereka berdua. Mereka

lebih dekat dari perkiraanku sebelumnya,

bahkan kak Rama sangat menyayanginya

seperti anaknya sendiri, terkadang aku iri

melihat kedekatan Aster dengan kak Rama

ketimbang Aster denganku.

"Lain kali hati-hati sayang". aku ikut

mengusap kepala Aster. Ia nampak kaget

melihatku, kurasa kebiasaanku galak

padanya harus segera kukurangi.

***

"Masakan ayah enak". Puji Aster.

"Tentu, siapa dulu dong...". Jawab kak Rama


sambil tersenyum bangga.

Aku dan Bibi membereskan meja makan

sedangkan kak Rama dan Aster sedang

bersenda gurau sambil menonton televisi.

"Biar bibi aja yang bersihkan non".

"Bareng aja bi, biar cepet". kataku sambil

tersenyum.

Aku merasa tak pernah bekerja dirumah

ini, bersih bersih rumah dilakukan oleh

beberapa pembantu kak Rama. Dan untuk

memasak khusus untuknya sendiri, tentu

saja ia adalah chef terkenal sebelumnya

bahkan ia memiliki beberapa restoran

bintang lima salah satu restorannya

dikepalai olehnya sendiri, sampai akhirnya

ia memilih untuk menyerahkan dapur

restoran itu pada chef lain dan

penanggung jawab. Kak Rama terkadang

memantau bisnisnya dari rumah dengan

data-data yang diserahkan padanya,

mungkin sesekali ia akan mengunjungi

restorannya untuk memastikan beberapa

hal. Ia memiliki ruang khusus di rumah ini,

kami menyebutnya kantor ayah.

Aku memotong semangka menjadi


beberapa bagian dan membawanya ke

ruang televisi.

"Kenapa ayah sama bunda tidurnya

pisahan? Kata temen Aster, kalok ayah

sama bunda tidurnya pisah, itu artinya

ayah sama bunda lagi berantem". Suara

Aster menghentikan langkahku, jantungku

berdetak kencang, bagaimana mungkin

anak umur 4 tahun sepertinya...

"Ayah tidur satu kamar kok sama bunda".

Aku memperhatikan mereka dari belakang,

menguping pembicaraan mereka. "Ayah

cuma suka ketiduran aja di kantor, jadi

nggak bisa balik ke kamar deh".

***

Semenjak kejadian kemarin, aku

membujuk kak Rama untuk tidur

denganku. Awalnya kak Rama sempat ragu,

namun akhirnya dia menyetujui dengan

pertimbangan Aster. Malam pertama tidur

dengannya terasa asing, aku tak dapat

tidur semalaman. Aster yang melihat aku

dan kak Rama keluar dari ruangan yang

sama tampak riang sekali.

***
"Kak Rama? kau sudah tidur"? aku

menengok menatap punggungnya,

kemudian mengalihkan pandanganku ke

langit-langit kamar.

"Not yet". Kak Rama mengubah posisinya

menghadap kearahku.

Jantungku berdegup tak karuan, rasanya

aku gugup menatapnya, padahal aku

sudah terbiasa bersamanya selama

beberapa tahun. tapi getaran aneh ini

sungguh berbeda.

"A-aku boleh bertanya sesuatu"?

"Ya". Jawabnya sambil menutup matanya.

"Apa kakak sudah menemukan wanita".

suaraku tercekat, entah mengapa berat

sekali mengatakannya "Yang ingin kakak

nikahi".

"Hmmm". Ia menggumam lalu menarik

nafasnya, bersamaan dengan

menghembuskan nafasnya ia menjawab

"Ya".

Aku tak mengerti, rasanya hatiku hancur

bekeping-keping, seperti ada beban berat

di dada.

"Kenapa kakak nggak segera ngomong ke


aku? sesuai perjanjian kita berdua, kakak

bisa ceraikan aku kalok kakak udah nemu

wanita pendamping yang tepat buat kakak".

"Bagaimana dengan Aster"?

"Aster tentu akan bersamaku, dia akan baik-

baik saja".

"Kalau begitu kita tidak akan pernah

berpisah". katanya

Aku mengubah posisiku berhadapan

dengannya. lalu menatapnya yang sedang

menutup matanya.

"Aku nggak mau kalau sampai kakak nggak

bahagia hanya karena aku dan". Aku

menghentikan kalimatku "Aster".

Kak Rama membuka matanya, mata kami

saling bertemu, ia menatapku dengan

tatapannya yang tak dapat kumengerti.

"Bagaimana kau bisa menyimpulkan aku

tak bahagia"?

"A-aku hanya mmmp". belum sempat aku

menyelsaikan kalimatku kak Rama

mencium bibirku, ciumannya begitu dalam

dan menuntut.

Aku menarik nafasku dalam dalam ketika ia

menghentikan ciumannya.
"Kau tahu, aku sudah menahannya selama

ini dan kurasa aku sudah berada diambang

batasku, kita tidak akan tidur malam ini".

Kak Rama kembali menciumku, kali ini aku

membalas ciumannya bahkan aku memeluk

lehernya. Tangannya meraba payudaraku

yang masih dibalut dengan bra dan gaun

tidur berbahan satin dengan lembut. Ia

meremasnya dengan perlahan. Ia menciumi

leherku dengan gemas, meninggalkan

beberapa tanda disana. Dengan tidak sabar

kak Rama merobek gaun satinku kemudian

membuangnya. Dengan cekatan ia

membuka braku dan mulai menciumi

payudaraku. Aku menggigit bibir bawah ku

menahan desahan.

"Mendesahlah sedikit untukku". Katanya

sambil berbisik.

"mmmmh kak". satu desahan berhasil lolos

dari mulutku ketika kak Rama menjilat dan

menghisap putingku dengan kuat.

Aku menatapnya dengan tatapan sendu

ketika ia menggesek-gesekkan

kejantanannya di permukaan vaginaku.

"May I"? bisiknya.


Aku hanya mengangguk, Kak Rama

mendorong kejantanannya hinga ia masuk

dengan sempurna. Ia berhenti sejenak

membiarka vagina ku menyesuaikan diri.

"Aaaah". Aku mulai mengeluarkan desahan

ketika kak Rama mulai memompanya.

"Yeees say my name".

"Kak aaah Ramaaa".

Ia semakin mempercepat gerakkannya

hingga kurasakan kedutan nikmat di saraf-

saraf yang berpusat di bagian intimku.

"Akuuuh, i can't aaah".

"Come with me eeeengh".

Kami mendesah bersama saat mencapai

puncak kenikmatan. Kami berlomba

menghirup udara setelah beberapa saat

yang lalu bercinta. Aku menutup mataku

sambil tersenyum.

Suara burung gereja membangunkanku

dari tidur, aku membuka mataku kurasakan

sebuah tangan memeluk perutku. Aku

menatap kak Rama yang masih tertidur

dengan damai. Aku mencoba

menyingkirkan tangannya "Try to leave

me"? aku menengok padanya, ia mentapku


dengan tatapan menggoda.

"Aku tak akan pernah meninggalkanmu".

Kataku sambil memeluknya lagi.

"Ooowh kau memancingku beib". katanya

dengan tatapan mesum.

"Oh nooo, not now honey". cegahku.

"Why not". Kak Rama hendak menciumku

ketika sebuah ketukan mengagetkan kami.

"Bunda...Ayah".

Aku dan kak Rama saling menatap lalu

tertawa.

"Yes dear wait a minutes". Jawabku

setengah berteriak.

"Permisi tuan, non, maaf mengganggu,

didepan adaaaa".

"Ada siapa bik"? kataku masih sambil

tertawa bersama Aster dan kak Rama.

"Mmmmh tuan Damar".

Kurasakan badanku menegang mendengar

nama yang sangat kubenci selama ini.

"Kak Rama".

Suara itu, Damar ya suara itu suara Damar.

"Lintang?" Ia memanggil namaku begitu

melihatku.

***
"Jadi kemana saja kau selama ini"? Aku

menatap Damar yang tak berani menatap

kakaknya. Kak Rama tampak menahan

amarahnya, jika saja tak ada Aster di sini

tentu saja ia akan menghajarnya seperti

dulu.

"Maafkan aku kak". hanya kata itu yang

diucapkannya "Dan Lintang, maafkan aku".

katanya sambil menatapku.

"Bundaaaaa, bunda lihat Aster udah bisa

nulis sampai angka 10". Aster

menghampiriku sambil memamerkan

kemampuan barunya.

"Wow that's cool". pujiku.

"Apa dia anakku"?

Tubuhku menegang mendengar kata-

katanya.

"Bunda dia siapa"?

Aku tak sanggup menjawab pertanyaan

Aster. Aku merasa leherku seperti dicekik.

"Ayah dia siapa"?

"Ayah"? Damar menatap kak Rama dengan

tatapan tak percaya.

Aku merasakan tatapan kak Rama dan

Damar yang begitu tajam.


Kak Rama menatap Aster dan berkata "Hey

sweetie, he is your uncle".

"Uncle"? Aster menatap Damar kemudian

tersenyum dan menghampirinya, ia

mengulurkan tangannya untuk

bersalaman. Damar menerima uluran Aster,

namu kemudian memeluk Aster. Air mataku

mengalir begitu saja. Entah mengapa aku

tak bahagia melihatnya kembali.

***

"Bagaimana mungkin anakku sendiri

memanggilku dengan sebutan uncle"?

Damar menatap kami bergantian.

"Kami menikah". Kak Rama menjawab

dengan tenang.

"Apakah kalian gila? bahkan aku masih

hidup, bagaimanapun Aster adalah anakku

dan aku berhak atas dirinya". Damar sedikit

menaikkan nada bicaranya.

"Lintang kembalilah padaku, ayo kita

menikah". Ia menatapku dan

mengatakannya dengan mudah seolah ia

tak pernah membuat kesalahan dimasa lalu.

"Kenapa kau meninggalkanku"?

"Ak-aku mencari pekerjaan untuk kita,


untuk masa depan kita". Ia menjawabku

dengan gugup.

"Dengan meninggalkan tanggung

jawabmu"? tuntutku.

"Aku tid-".

"Seharusnya kau berpikir sebelum lari dari

tanggung jawabmu dimasa lalu". kataku,

aku mulai mengeluarkan air mataku

"Kau...meninggalkan banyak kekacauan di

hidupku". aku mulai menangis

sesenggukan "Dan kau membiarkan orang

lain membereskan kekacauanmu, dan

sekarang kau baru bertanya mengapa

begini"?

"Maafkan aku Lin, aku berjanji akan

memperbaikinya dan ak-aku masih

mencintaimu, jadi mari kita menikah".

"Jangan pernah kau berani mengacaukan

kami lagi atau aku akan membencimu

selamanya, aku mau memaafkanmu dan

menerimamu kembali sebagai kakak ipar

dan tidak lebih". Kataku sambil berjalan

meninggalkannya.

***

Aku menangis semalamam, kak Rama


memelukku sepanjang malam, ia hanya

diam tak mencoba menghiburku karena ia

tau yang kubutuhkan sekarang hanyalah

mengeluarkan semua rasa luka yang

kupendam dimasa lalu.

"hey honey, are you okay"? kak Rama

bertanya dengan mata masih tertutup, ia

merasakan aku menggeliat di dekapannya.

"I don't know. Kak"?

"Yes honey"?

"Kakak belum mengatakan siapa wanita

yang beruntung mendapatkan kakak".

Kak Rama membuka matanya "What do you

mean"?

"Kita pernah membahasnya bukan? kau

sudah menemukan orang yang ingin kau

nikahi"? Aku menjelaskannya lagi karena

kurasa kak Rama melupakannya.

"Ya, i know".

Jawabannya membuatku gemas "Aku siap

diceraikan". Kataku sambil menutup

mataku mencoba menahan air mata.

"Hei".

Aku tak berani menatap kak Rama.

"Buka matamu".
Dengan ragu aku membuka mataku

berharap aku dapat menahan air mataku

dan ternyata gagal.

"Are you cring"?

"No, hanya saja aku merasa mataku kering

dan pedih". Aku mengatur nafasku yang

mulai terganggu karena hendak menangis

"Kau tau ini adalah mekanisme mata untuk

melembabkan mat-". belum selesai

menyelsaikan kalimatku kak Rama melumat

bibirku.

"Stop it okay"? sambil menyatukan kening

kami.

"Stop what"?

"Berhenti mengatakan kau minta

diceraikan". Ia menarik nafas kemudian

tersenyum "Karena kaulah wanita yang

ingin kunikahi".

Aku menatapnya tak percaya dan anehnya

aku tersenyum, kemudian tertawa, padahal

mataku masih basah oleh tangisanku tadi.

"Are you happy"?

"Yes i am". jawabku mantap "and you"?

"Me too".

Kami mendekatkatkan wajah kami namun


tiba-tiba perutku rasanya mual sekali. Aku

menahan wajahnya dengan tanganku,

segera beranjak dari tempat tidur dan

berlari secepat mungkin ke toilet. Aku

memuntahkan beberapa cairan bening,

tentu saja aku melewatkan makan malam

kemarin.

"Honey are you okay"? Kak Rama menepuk

nepuk punggungku.

"Ya aku baik-baik saja, kurasa maagku

sedang kambuh".

"Sebaiknya aku segera menyiapkan

sarapan sekarang, aku akan cepat".

katanya "Istirahatlah dulu sayang". katanya

sambil menuntunku kembali ke kamar.

Aku merebahkan tubuhku, mencoba untuk

tidur kembali tapi tidak bisa.

***

"Apa tidak enak sayang"?

"Tidak, ini enak, hanya saja nafsu makanku

sedang turun".

"Bunda kenapa? bunda sakit"? Aster

menatapku dengan tatapan sedihnya.

"Tidak sayang bunda baik-baik saja".

kataku sambil tersenyum.


Aku menghabiskan setengah sarapanku

hingga akhirnya aku menyerah tak

sanggup menghabiskannya.

Ketika hendak berdiri rasanya dunia

berputar dan gelap, kurasakan sebuah

tangan menangkapku dan teriakan Aster

yang menggema.

***

Ketika membuka mata aku melihat Aster

yang tertidur disebelahku sambil

menggenggam tanganku dengan erat.

"sudah bangun sayang"? kulihat kak Rama

baru saja masuk ke kamar kami.

"Ya". kataku sambil tersenyum.

"Aku baru saja mengantar dokter keluar".

katanya.

"Oooh aku sudah bilang aku tak apa".

kataku sambil duduk.

Kak Rama menghampiriku dan duduk

dipinggiran ranjang "Dokter bilang kamu

stres akhir-akhir ini daaaan".

"Dan apa"?

"Aster will be have a friend".

"Maksudnya"? aku mengerutkan keningku.

Bukannya menjawab kak Rama malah


mengelus-elus perutku, kemudian

menciumku dan berbisik tepat ditelingaku

"Kau harus sehat, karena anak kita sedang

tumbuh disini".

Aku mengembangkan senyumku lalu

kupeluk kak Rama dengan erat.

"I love you Lintang".

"I love you more". balasku

Anda mungkin juga menyukai