Anda di halaman 1dari 24

Aku terbangun karena merasakan

lembutnya selimut yang bergesekan dengan

kulit telanjangku. Masih ada waktu 30

menit sebelum suamiku akan mengurungku

kembali.

Disini sangat nyaman dan tenang. Suara

debur ombak, bau asin dari air laut. Semua

terdengar dan tercium dari tempatku

berbaring. Hampir setahun kami menikah

dan baru kali ini mas Rama mengajakku

liburan.

Mas Rama selalu membantah setiap ada

yang menyebut perjalanan kami ini

honeymoon. Alasannya karena kami tak lagi

pengantin baru. Dan dia menambahkan

bahwa setiap saatpun kami sudah berbulan

madu. Dia mengatakan itu sambil memasang

seringainya padaku.

Suara perut yang memang minta diisi

membuatku harus bangkit. Aku mengambil

kemeja mas Rama yang tergeletak begitu

saja disamping ranjang. Selama disini aku

juga terpaksa memakai baju mas Rama.

Karena ibu mertua serta sepupu dari mas

Rama benar-benar merencanakan hal yang


bagus, menukar isi koperku dengan

memasukkan macam-macam lingerie

kedalamnya. Dan sebagai balasan mereka

hanya tertawa dan mengucapkan have fun

melalui telepon.

Nasi goreng yang sudah kutambahkan

dengan suwiran ayam, kacang polong dan

wortel telah siap disantap. Aku sangat

bersyukur karena mas Rama bukan tipe

orang yang memilih makanan. Dia juga suka

semua jenis sayuran.

Aku berpaling pada suara pintu yang

terbuka. Dan benar saja mas Rama datang

dengan kaos basah penuh keringat.

Suamiku begitu tampan dan sexy. Aku

selalu menikmati moment ini. Mas Rama

yang selesai berolahraga.

Aku tersenyum padanya seperti remaja

bodoh yang terpesona pada cinta pandang

pertama. Dia berjalan kearahku.

"Air atau jus" tawarku

"Air saja". Dia meminum airnya pelan sambil

menatap padaku. Aku menyergit bertanya

dengan tersirat padanya.


"Kau begitu mungil, kita harus membeli

beberapa baju untukmu". Jelasnya

"Mas selalu bilang aku kecil kalau pakai

kemeja mas kan". Aku mendengus, memang

kenyataannya aku tidak ada apa-apanya

jika berdiri disampingnya. Puncak kepalaku

saja hanya mencapai dadanya.

"Aku akan mandi sebentar". Dia mencium

keningku, lalu berjalan menaiki tangga

untuk masuk kekamar. Aku baru sadar jika

villa ini sangat luas juga. Kemarin begitu

sampai kami memutuskan untuk mengisi

perut dan langsung masuk kekamar karena

memang sudah larut.

Villa ini dua lantai dengan konsep terbuka.

Dilantai ini ada sebuah dapur yang menyatu

dengan ruang santai. Disekelilingnya penuh

dengan kaca, dipasangi dengan gorden

berwarna putih yang dibiarkan melambai

tertiup angin.

Pada bagian terasnya dipasang meja kecil

serta dua kursi kayu. Dan lantainya

terbuat dari kayu dengan undakan kecil.

Didepan rumah sudah langsung menghadap

pantai. Disini benar-benar surga.


"Diluar mendung, kita dirumah saja". Mas

Rama memelukku dari belakang. Dia

menempelkan sisi kepalanya di puncak

kepalaku.

"Mas sendiri yang bilang. Kita harus

membeli beberapa baju untukku"

"Besok saja" selanya "ayo sarapan". Dia

mencium pipiku dan menarikku menuju meja

makan.

"Terus rencana hari ini apa?" aku

tersenyum melihat mas Rama yang makan

dengan lahap. Dia menelan sisa nasi

gorengnya dan meminum airnya. Lalu

mengarahkan matanya padaku. Aku juga

menatapnya sambil tetap makan. Aku

takjub dengan kecepatan makannya. Atau

memang semua laki-laki makan dengan

cepat.

"Apalagi, kita bisa melihat pantai, nonton tv

dan bercinta". Aku langsung tersedak.

Sedangkan dia tetap datar, menyerahkan

segelas air padaku.

"Bukankah memang itu tujuan kita kesini".

Mas Rama ini benar-benar blak blakan

sekali. Aku berdiri dan membawa piring


kotor ke wastafel. Lalu mulai mencucinya.

"Terus bajuku?"

"Masih ada banyak waktu" jawabnya santai.

Aku berbalik untuk bertatapan denganya.

Dia masih duduk dengan menyangga

dagunya dengan tangan kiri. Sedangkan

tangan yang lain bermain mengetuk meja

pelan. Aku benar-benar mencintai pria ini.

Dia sangat jarang tersenyum. Tapi tetap

terlihat tampan. Dia termasuk pria yang

dingin dan gila kerja. Dia bekerja sebagai

pemimpin proyek sekaligus arsiteknya. Tak

jarang dia pergi, keluar kota atau bahkan

luar negeri. Dia sangat menikmati

pekerjaannya. Membangun sesuatu adalah

keahliannya. Dan aku juga senang saat

melihatnya disini. Dia akan bersamaku

penuh selama seminggu. Beruntungnya

diriku.

"Kemarilah". Aku tersadar dari lamunan

manisku tentangnya. Aku sudah berdiri

tepat disampinganya.

"Kenapa mas?" dia tidak menjawab

pertanyaanku. Berdiri, dia lalu

mengayunkanku dalam gendongannya. Aku


terpekik pelan. Aku berpegangan pada

bahunya yang keras dan kuat. Suamiku

yang tak banyak bicara dan lebih

mengutamakan tindakan.

"Kapan kau akan menambah berat badan?".

Aku tersenyum padanya. Dia selalu

menyuruhku untuk menambah berat badan.

Padahal aku tidak termasuk kurus, tapi

tidak gemuk juga. Orang- orang selalu

mengatakan kalau aku mungil.

"Mungkin saat aku mengandung"

"Semoga saja". Dia juga menunggu adanya

seorang bayi diantara kami. Itu juga

alasannya membawaku kemari.

Kami sudah memeriksakan diri ke dokter.

Hasilnya bagus. Kami mungkin memang

belum diberi kepercayaan. Seminggu yang

lalu aku dirawat dirumah sakit karena

kurang darah. Dia memang tak mengatakan

apa-apa. Tapi aku tahu jika suamiku ini

khawatir. Dan sedikit merasa bersalah

mungkin, karena sering meninggalkanku

untuk pekerjaannya. Aku tahu dia sangat

mencintaiku juga. Walau jarang

mengatakannya. Dia memang lebih suka


menunjukkan perasaannya dengan

tindakan. Jadi dia mengajakku liburan agar

aku juga bisa bersantai.

"Aku sebenarnya ingin bercinta di meja

dapur tadi"

"Apa?". Aku menganga menatapnya

"Kau mendengarnya". Dia menurunkanku

dipinggir ranjang lalu mencium hidung dan

pipiku. Sedangkan aku masih menatapnya,

terlalu terpesona padanya.

"Tapi kurasa disini akan membuatmu lebih

hangat". Dia berlutut didepanku, tangannya

melepaskan ikatan rambutku. Dia menyisir

pelan rambutku.

"Bolehkah aku memotong rambutku?". Dia

menyergit, lalu menggeleng pelan.

"Kanapa? Ini sudah terlalu panjang mas".

Aku mengumpulkan rambutku kesamping.

"Tapi aku suka rambutmu yang panjang".

Aku tersenyum padanya. Inilah yang akan

kami lakukan jika hanya berdua. Berbicara

kesana kemari sambil saling menyentuh.

Terkadang kami juga akan bekerja

dirumah bersama. Dia dengan desain

bangunannya dan aku dengan desain


bajuku. Aku adalah desainer. Aku juga

bekerja sama dengan Karina, sepupu mas

Rama. Dia mendesain tas dan aku yang

mendesain baju.

"Mas Rama bulan depan jadi ke Surabaya?".

Aku terdiam menunggu jawabannya. Dia

menghembuskan napas lalu menekuk

kakinya, duduk bersila dilantai. Dia

meletakkan kepalanya dipahaku.

"Kanapa kau tidak memakai parfummu?".

Aku memutar mataku. Mengalihkan

pembicaraan adalah salah satu hobbynya.

"Aku lebih suka aroma mas Rama". Dia

mendengus pelan lalu membenamkan

wajahnya diperutku.

"Aku suka kau yang seperti buah melon

atau cokelat. Begitu menggoda. Seakan aku

ingin memakanmu". Dia sering mengucapkan

hal itu padaku. Tapi efeknya tetap sama.

Darahku berdesir dan jantungku berdetak

lebih keras.

"Jadi nggak ke Surabayanya?"

"Gadis keras kepala". Aku tertawa

mendengar gerutuannya. Manis sekali

suamiku ini.
"Mas pikir aku lupa ya"

"Aku sudah menduganya". Kepalanya masih

dipahaku. Tanganku kini membelai lembut

rambut hitamnya.

"Aku masih belum tahu, kalau bisa

diwakilkan. Aku nggak pergi".

Kami sama-sama terdiam. Menikmati tenang

dan nyamannya villa. Jauh dari Jakarta.

Jauh dari bekerja. Hanya ada aku dan mas

Rama. Oh betapa egoisnya aku.

Diluar suara hujan mulai terdengar.

Memang sekarang lagi musimnya. Setiap

hari hampir tak pernah ada matahari.

"Tarissa". Aku menatap suamiku. Dia masih

diam, namun jari-jarinya mulai melepas

kancing kemejaku. Aku gemetar merasakan

jarinya yang bersentuhan dengan kulitku.

Dia mencium leherku, menggigitnya pelan.

Kemejaku sudah menggantung dikedua

lenganku. Kini dia bernapas di lekukan

antara kedua payudaraku. Tanganya

menelusuri sisi tubuhku menuju

punggungku.

Aku begitu merinding karena gairah. Dia

mendorongku pelan untuk berbaring.


Matanya menelusuriku yang setengah

telanjang.

"Uh mashhh". Aku meremas selimut kencang

saat mulutnya menemukan putingku dan

menggigitnya pelan. Tanganya yang lain

meremas payudaraku.

Mas Rama kembali berdiri untuk melepas

kaosnya. Dia juga melepas celana dalamku,

membuatku telanjang di depannya. Aku

menggigil saat mata kami bertemu. Bercinta

dengannya selalu begitu intens.

"Kau kedinginan?". Mas Rama menarikku

kepelukannya. Kini kami duduk berhadapan.

Aku telanjang sedangkan dia hanya

memakai celana piyamanya.

Dia mulai mencium dahiku, lalu hidungku.

Kemudian mencium bibirku pelan. Menghisap

bibir bawahku. Lidahnya yang hangat

menyapu lidahku.

Mas Rama menggeram tertahan. Dia

menidurkanku kambali. Tubuh tinggi

tegapnya melingkupiku. Menyembunyikanku

dalam dekapannya.

"Ahh, mas"

"Hush tenanglah. Bernapas Tarissa". Aku


gemetar, tanganku mencengkeram

lengannya. Mas Rama menyangga tubuhnya

dengan satu lengan. Lengannya yang lain

menelusuri tubuhku. Mulutnya memainkan

putingku lagi. Bisa kurasakan dia menggigit

putingku pelan lalu menyapunya dengan

lidahnya yang dingin.

Napasku terengah. Kepalaku seakan

berputar dan aku melayang. Aku menjerit

saat jari mas Rama membelai kewanitaanku.

Aku tak lagi bisa berpikir jernih. Yang aku

lihat hanya suamiku.

"Tarissa, istriku yang mungil. Kau selalu

hangat dan ketat dibawah sini".

Dia berbisik lalu menggigit cuping

telingaku. Aku kehilangan napas dan

dengan spontan mengangkat punggungku.

Saat satu jarinya menyelinap kedalamku.

Dia menggerakkannya pelan. Maju mundur.

"Mah-ss ahh". Aku mencengkeram erat

lengan mas Rama. Mencari pegangan. Aku

lemas. Keringat menghiasi dahi mas Rama

dan seluruh tubuhnya. Diluar hujan sangat

lebat. Namun disini sangat panas.

Dia melepas celananya. Mata kami


bertautan. Dia memposisikan tubuhnya

diantara diriku. Tangannya yang besar

menelusuri betis sampai pahaku. Lalu

menempatkannya dipinggulnya. Dia juga

terengah.

"Aku mencintaimu". Dia mulai memasukkan

kejantanannya padaku. Milik mas Rama

memenuhiku. Dia begitu besar dan keras.

Dia bergerak pelan didalamku. Keningnya

menyatu dengan keningku.

"Ngghhh". Hanya erangan dan lenguhan

yang terdengar.

"Shit, sangat ketat. Tarissaku yang manis".

Kami sama-sama berteriak saat orgasme

melanda kami. Aku lemas dan tak bertulang.

Mas Rama mencium keningku lalu bangkit.

"Minumlah". Dia menarikku duduk dan

menyerahkan gelasnya. Inilah yang selalu

dilakukannya saat selesai bercinta.

Memberiku minum. Saat kutanya mengapa,

dia menjawab datar "Kau selalu menahan

napasmu. Aku takut kau dehidrasi". Agak

tidak nyambung ya. Itulah suamiku.

Kami masih terdiam saling memeluk dibawah

selimut. Hujan belum berhenti juga. Pukul


09.35, masih begitu pagi. Tapi memang kami

tak bisa kemanapun.

"Jangan terlalu dipikirkan ,Sa". Aku

mendonggak menatap mas Rama. Dia

menatapku juga. Ibu jarinya menelusuri

pipiku.

"Kita pasti akan diberi momongan. Tapi

mungkin nanti". Aku mengangguk pelan

padanya. Memang itulah yang selalu aku

pikirkan. Dan mungkin agak memaksakan

kehendak. Kami menikah hampir setahun.

Sepupu mas Rama yang saja sudah

mengandung. Padahal baru delapan bulan

pernikahan.

Memang tak seharusnya manusia

memaksakan kehendakkan. Mas Rama

selalu mengingatkanku untuk bersabar,

berdoa dan berusaha.

"Sambil menunggunya, kita bisa pacaran

dulu". Aku tertawa dan memeluknya lebih

erat. Suamiku, aku sangat mencintaimu.

Sisa hari disini kami mungkin akan lebih

banyak menghabiskannya di atas ranjang.

Aku akan bahagia asalkan ada mas Rama

disisiku. Kami akan menunggu dengan sabar.


Datangnya anggota lain yang mungkin akan

mirip dengan mas Rama nantinya. Semoga.

Rama mengerang. Badannya terasa remuk,

tenggorokannya sakit, dan yang paling

menjengkelkan adalah kepalanya yang

digerakkan saja rasanya berat sekali.

Rama kembali mengerang, yang dia inginkan

hanya Tarissa. Lagipula kemana istrinya

tadi?

Suara pintu kamar terbuka. Tarissa masuk

sambil membawa nampan yang isinya

segelas air putih dan yang pasti semangkuk

bubur lagi. Rama menghembuskan napas

pelan. Dia sama sekali tak suka makanan

lembek itu.

"Makan buburnya dulu ya mas! Mumpung

anget"

Rama hanya menggeleng pelan. Matanya

masih terpejam lemah. Tarissa mendesah,

beginilah jika seorang Ramadhan sakit.

Manjanya mengalahkan balita. Tapi keras

kepalanya tetap juara.

"Mau kemana lagi kamu?"

"Ambil handuk sama air, buat basuh badan

mas"
"Jangan lama-lama ya"

"Iya"

Tarissa tersenyum sendiri. Kembali

memikirkan sikap suaminya yang begitu

berbeda ketika sakit.

Sejak kemarin dirinyalah yang jadi guling

hidup suaminya. Minta dipeluk, tak mau

ditinggal sendiri, sampai minta dibelai

kepalanya.

Rama memang jarang sakit, tapi sekalinya

sakit bisa jadi berhari-hari. Karena

kecapekan dan setiap pulang basah kuyup

diguyur hujan, akhirnya tumbang.

Tarissa membuka pintu kamarnya. Yang

terlihat sama seperti sebelum dia pergi.

Suaminya itu meringkuk dengan selimut

hanya sebatas pinggang.

Dia memeras handuk lalu duduk menghadap

suaminya. Tarissa membelai kepala Rama

pelan. Rasa panas dari kulitnya masih

terasa pada telapak tangannya.

"Kepalanya masih nyeri ya?"

Anggukan yang diberikan Rama membuat

Tarissa menghela napas. Dia menunduk

mencium dahi suaminya itu. Perlahan


dibasuhnya handuk basah pada pipi Rama

pelan.

"Lepas dulu bajunya"

Tarissa dengan telaten kembali membasuh

lengan sampai dada Rama. Sedangkan sang

empu masih terlalu lemah untuk mengelak.

Sebenarnya Rama benci saat seperti ini.

Saat dirinya tak berdaya hanya karena

sakit sialan ini. Tapi tak pernah jadi

masalah jika yang tahu kelemahannya ini

adalah Tarissa. Wanita itu akan dengan

senang hati merawat dan menemaninya

sampai kembali sehat.

"Oke, selesai. Sekarang mas harus makan

ya. Gak boleh ada penolakan lagi"

"Rasanya pahit "

"Terus makannya kapan? Tadi pagi cuma

minum susu aja kan. Mas mau yang lain,

nanti aku masakin"

"Sini ikut baringan Sa"

Walaupun dengan wajah kesal Tarissa

tetap menuruti kemauan suaminya itu. Dia

berdiri menuju lemari, mengambil kaos baru

untuk dipakai Rama. Lalu setelahnya ikut

berbaring berhadapan dengan Rama.


Rama mendesah merasa sakit kepalanya

sedikit berkurang setelah menghirup aroma

bayi dari cerukan leher istri mungilnya itu.

Tarissa sendiri terdiam sambil mengusap

punggung Ramadhan.

"Sayur asem kayaknya enak deh Sa!"

Ramadhan menatap Tarissa, lalu tersenyum

sendiri melihat istrinya itu mengerutkan

keningnya.

"Tadi kan kamu yang tanya, aku mau apa?"

Tarissa masih diam. Hanya menatap wajah

pucat suaminya. Mereka saling bertatapan

dalam diam. Lalu Rama menghembuskan

napasnya pelan, mendekap Tarissa lebih

erat dan mengecup keningnya sayang.

"Kalau gak mau masakin yaudah. Keningnya

gak perlu dibuat keriput begini"

Kali ini giliran Tarissa yang tergelak. Dia

membalas perlakuan Rama dengan

menggigit pergelangan tangan suaminya itu.

"Aku belum keriput kali mas. Tadi bingung

aja!"

"Kenapa?"

"Ya mas Rama tiba-tiba pengen makan

sayur asem"
"Kenapa?"

Tarissa memutar bola matanya, dengan

gemas digigitnya hidung suaminya itu.

"Kamu ya! Sekarang jadi agresif begini"

"Mas sih bikin aku gemes. Mas Rama lagi

sakit. Harusnya makan yang anget-anget.

Gak yang asem"

"Kalau gitu kamu aja"

"Apanya?"

"Kamu kan selain bisa dimakan anget juga"

"Ck, mas Rama ih"

Ramadhan tertawa pelan melihat rona tipis

dikedua pipi istri mungilnya itu. Diciuminya

wajah cantik Tarissa. Mulai dari pelipis,

hidung, pipi dan agak berlama-lama pada

belahan bibir tipis istrinya.

"Kalau soto aja gimana?" Rama menggeleng

sambil menggesekkan hidungnya pada

hidung Tarissa.

"Maunya apa? Selain sayur asem!"

"Gak ada". Tarissa menghembuskan

napasnya pelan. Sebelah tangannya

menggenggam telapak tangan suaminya itu.

"Makan dong mas, nanti nggak turun lho

demamnya".
Rama hanya diam, menatapi Tarissa yang

memainkan jari-jari tangannya.

"Kamu keberatan ya?"

"Maksudnya?" Tarissa membenarkan

selimut Rama lalu mendekap suaminya itu.

Suhu tubuh Rama masih panas.

"Keberatan ngurus kalau lagi sakit begini"

"Kalo keberatan ya mana mungkin aku jadi

guling hidup begini"

"Sakit setiap hari enak kali ya"

Rama tergelak melihat ekspresi istrinya

setelah dirinya mengatakan hal itu.

"Kalo ngomong tuh yang baik aja dong, mas"

"Iya deh maaf ya istriku. Enak tau Sa.

Seharian sama kamu, santai. Libur seharian

lagi.

Kini mereka terdiam dalam situasi yang

nyaman. Memang saat seperti ini jarang

mereka lakukan. Saat Ramadhan libur dari

kantor, ia dan Tarissa lebih sering

berkunjung kerumah ibu Rama. Berangkat

pagi pulang setelah makan malam. Setiap

minggu selalu begitu.

"Mas?"

"Hm"
Tarissa tertawa mendengar suara

mengantuk suaminya itu, duh gemas.

"Apasih Sa?"

"Udah mulai ngantuk ya mas Rama"

"Hm, gara-gara obat tadi Sa. Kamu mau

ngomong apa tadi?"

"Kalau mas libur minggu depan, kita

kedokter ya?"

Rama terdiam sebentar, lalu mengubah

posisinya menjadi miring menghadap sang

istri. Rama tahu apa itu maksud kedokter

yang disebut istrinya tadi.

"Kita menikah udah hampir setahun mas.

Gak ada salahnya kita berusaha lebih keras

lagi kan"

"Iya istriku"

"Jadi nanti kita coba periksa dulu ya mas"

"Iya istriku"

Tarissa cemberut, lalu membelakangi

suaminya.

"Duh, kenapa lagi sih Sa?"

"Ya mas Rama tuh, kalo diajak ngomong

tentang bayi responnya datar gitu"

Ramadhan menghembuskan napasnya pelan,

lalu mendekap Tarissa dari belakang.


Mengecup leher istrinya pelan lalu berlama-

lama disana. Menghirup aroma istrinya yang

khas.

"Maksud aku bukan gitu, Sa. Aku juga ingin

punya anak. Tapi kamu sadar gak, kalo

keinginan kamu punya anak itu karena

dorongan dari keluarga kita."

Tarissa masih diam, tapi dia tidak

mengacuhkan perkataan suaminya.

"Aku ingin kita punya anak itu bukan

paksaan. Sekarang aku tanya deh, kamu

udah siap punya anak belum?"

Anggukan Tarissa membuat Rama

tersenyum. Masih tak mau bicara rupanya.

"Terus kanapa kok minta kedokter? Kita

kan bisa nunggu sambil pacaran"

"Ck, usaha kan gak ada salahnya mas. Kita

cek dulu. Nanti kalo ada masalah bisa

langsung ditangani kan"

Melihat wajah istrinya yang mulai memerah

membuat Rama menyerah. Dia hanya ingin

istrinya itu bahagia. Jadi jika Tarissa ingin

kedokter maka itulah yang akan terjadi.

"Sepi mas di apartement sendirian"

"Iya, kita kedokter minggu depan ya.


Semoga hasilnya bagus"

"Amin"

Pasangan suami istri itu kembali terdiam.

Rama dengan nyaman melesakkan

kepalanya dalam dekapan hangat istrinya,

sambil sesekali mengecupi kulit leher

Tarissa.

Entah karena suasana yang terlalu nyaman,

Tarissa juga mulai mengantuk. Matanya

sayup-sayup tertutup. Tangannya tak

berhenti mengelus rambut suaminya yang

kini didekapnya erat. Bagi Tarissa dia

seperti menidurkan bayi.

"Sa?"

Mata Tarissa terbuka, ternyata belum

tidur suaminya itu.

"Kenapa mas? Aku kira udah tidur."

"Kamu kali yang tidur, Sa"

Tarissa tertawa pelan, suaminya memang

benar.

"Sa? Mungkin kita kurang rajin kali

bikinnya. Makanya gak jadi-jadi"

"Maksudnya?"

"Ya bikin anak dong Sa, siapa tau kalo lebih

rajin ba.... Aduh sakit Sa"


Rama mengusap lengannya yang memerah,

bekas cubitan istrinya tadi.

"Aku lagi sakit Sa, malah dicubit sih. Tega

kamu"

"Ya kan mas sendiri yang mulai"

"Aku kan cuma kasih saran, siapa tau bisa

kita realisasikan"

Tarissa memutar bola matanya. Kesal. Siapa

tau bisa direalisasikan katanya. Bahkan

hampir setiap malam mereka begadang

melakukan itu . Benar-benar suaminya ini.

"Terus yang begadang setiap malam itu apa

namanya, suamiku?"

Ramadhan tertawa mendengar jawaban

spontan istrinya. Apalagi wajah istrinya

kini merona. Tambah cantik. Dengan gemas

dilumatnya bibir bawah Tarissa. Menyesap

belahan itu bergantian. Rasanya tak akan

pernah puas dengan rasa manis bibir

istrinya itu.

Helaan napas mereka bersatu. Dengan

gemas digigitnya pelan bibir Tarissa.

"Kamu cantik, Sa"

Tarissa tersenyum mendengar pujian

suaminya. Dia yakin wajahnya pasti


berantakan. Ditambah bibir yang pasti

bengkak. Kini ditatapnya wajah tampan

suaminya walaupun agak pucat. Mata tajam

itu juga sayu, bibirnya pun sama

bengkaknya dengan dirinya.

"Mas juga tampan, bikin tambah cinta deh"

Ramadhan tertawa keras, Tarissa pun ikut

tertawa. Merasa tersipu sendiri, padahal

dia yang memuji suaminya.

"Cinta kamu juga, Sa. Truly, madly, deeply"

Anda mungkin juga menyukai