Anda di halaman 1dari 4

MENARI DI ATAS KETAKUTANKU

                 Karya ellioth

“KAPAN kalian mengerti?” ucap dalam benak Rere Danika Addison.


Sekian lama Rere bekerja keras, berlatih untuk membuktikan dirinya bisa seperti yang lainnya
yang selalu mereka banggakan di depan Rere. Besok adalah final pertandingan karate tingkat
provinsi Sulawesi Selatan, melawan kota makassar yang tak pernah terkalahkan semenjak kelas 6
SD, dan ini adalah kesempatan yang tak boleh dia sia-siakan.
Keesokan harinya...
“Kamu pasti bisa Re, dia memiliki skill yang tidak jelas! Dan kamu masih lebih baik darinya”.
Muhammad Dirgantara, memberi semangat dan sikapnya benar-benar terbuka, sebuah peralihan
yang begitu mendadak. “Makasih Ga, tapi dia tak pernah terkalahkan, bagiku itu berat Ga, dan
sangat mendadak” jawab Rere khawatir yang tak biasanya Dirga yakin akan kemenanganku. Benar,
Dia tak terkalahkan 7 kali berturut-turut! Dia adalah Poppy    lawan karate Rere, yang tak pernah
Rere kalahkan. Ya Tuhan, kesempatan Rere hilang! Dan untuk kesekian kalinya Rere gagal.
“Latihan! Latihan! Latihan! dan Latihan!” kata Papa di depannya dengan tatapan dalam. Rere
tidak ingin menyerah, dia tekadkan dalam hati demi membuktikan kalau dia bisa dan untuk
menghilangkan ejekan-ejekan yang selalu membuat dia takut dan putus asa.
Silang beberapa bulan, seleksi Kejuaraan Nasional di Makassar, dia dipilih untuk mewakili Kab.
Pangkep. Difinal, Rere bertemu dengannya, lagi. Dan kini keadaan berbalik.
“Papa, Mama, Dek Cecen, Kak Tia, aku menang!” ujarnya dengan berlari ke arah mereka, lalu
mencium tangan Mama, Papanya.
“Kebetulan! Itu-pun kamu tak bisa kalahkan rekor ku!” ucap Kak Tia dengan nada tegas.
“Ngng?! Terserah!” wajahnya memanas. Suaranya yang sedikit parau.
Hampir setitik air terjatuh dari pelupuk mata Rere. Tapi buru-buru ia seka. Empat tahun sudah
cukup untuk membuat bendungan di pelupuk matanya. Bendungan beton. Tak teruntuhkan. Bahkan
oleh banjir bah sekalipun.
Rere menutup matanya, seolah-olah menahan rasa sakit hatinya. Mukanya memucat, tetapi
dia menggelengkan kepala dengan ketegasan yang mengejutkan.
“Biarin! Aku tak peduli! Aku pasti bisa”. 

|
Setiap kehidupan punya nilai
yang terlalu berharga
untuk disia-siakan
Mengingat sebuah kata mutiara dari Yasunari Kawabata seorang sastrawan yang bijaksana
yang mendapatkan Penghargaan Nobel, memacu semangat di dalam hati. Semangat yang
memberontak dalam dada. Semangat baru, semangat perubahan. Batinnya berkecamuk.
Mimpi dan cita-citanya, saat ini bulan bagian terlalu tinggi. Bisa. Bisa dan bisa, pikirnya
menjalar merata. Semangat dari dalam membuat ia semakin yakin akan kemenangan pada
pertandingan kali ini.
“Aaa...Papa, Mama, Dek Cecen, Kak Tia, aku menang!!!” Teriak Rere sangat senang.
“Oya? Haha.. Itu untung-untungan!” Kak Tia meliriknya dengan muka sirik.
“Kak, sampai kapan? Berhenti mengejekku! Apa mau Kakak? Aku kalah, Kak Tia ejekin, saat
menang diejekin pula! Sebenarnya apa mau Kakak?”  jelas Rere dengan mata membelalak, merah
karena marah. Bahunya terguncang. Tetapi, warna merah yang datang cepat, perginya pun cepat.
Air matanya mengalir di wajah yang kini pucat.
 Kak Tia hanya diam, tidak bisa berkata apa-apa.

|
Pada pertandingan berikutnya, Rere tidak bisa mengulang kemenangannya.
“Papa, Mama, Dek Cecen, Kak Tia, aku.. kalah!” Ucapnya sedih terbata-bata.
“Sudah kuduga, kamu tidak akan bisa! Itu hanya kebetulan dan untung-untungan
saja.  Sudahlah. Kamu kalah!”
“Sudah Tia, sudah. Biarkanlah dia.” Kata Mamanya.
Semenjak saat itu tak ada lagi yang memperhatikan keadaannya. Rere tak tahu keinginan
mereka. Rere sudah menang, tetapi mereka masih saja menganggap dia tak berdaya, lemah, kurus,
bodoh, kolot, apalah yang mereka keluarkan dari mulutnya. Mereka tak sadar, mereka
mengacuhkan diri Rere, menganggap Rere tidak ada dalam hidupnya. Mereka seakan menutup mata
menjauhkan pandangan terhadapnya. Rere selalu bertanya-tanya, apa yang harus dia lakukan agar
Papa dan Mamanya bisa tersenyum melihat kemenangannya, sama saat melihat kemenangan Kak
Tia.
Apakah ini kepedihan yang muncul karena menyadari betapa dirinya sangatlah lemah? Atau
karena ia harus bisa tahan dalam keadaan seperti itu? Sudah sejauh itu dirinya dicela, pikir Rere.
Rere menyerah, putus asa. Dari sini dia mengambil keputusan untuk mengikuti tes kelas Akselerasi,
dan ternyata lolos. Salah satu faktor lolosnya Rere di kelas Akselerasi hanya karena untuk berhenti
karate, karena dengan berhenti, menurutnya dengan cara ini dia tidak lagi dicela.

|
Lampu kuning berkedip-kedip di tengah kamar Rere. Rere salah. Ia tersentak. Kaget dan
sedih. Tangis memecah keheningan di tengah malam di kamarnya saat belajar. Celaan-celaan itu
semakin sering terdengar di kupingnya.  Bagaimana tidak! Ia justru tambah dicela karena Rere
dianggap, setelah duduk di kelas Akselerasi hanya membuat dirinya sombong dan angkuh. Rere
sangat tidak setuju, akan dirinya dikatakan bahwa ia sombong dan angkuh, ia hanya sibuk, tidak
lain. Pernah suatu hari, tepat di hari ulang tahunnya, sahabat Rere mengirimkan pesan singkat
padanya..
“Kamu sombong yah Re sekarang? Mentang-mentang sudah di kelas aksel, kamu hanya
merayakan ulang tahunmu dengan teman-teman kelasmu saja!” Kata sahabatnya.
Rere berdiri kaku dan menatap sms dari sahabatnya itu. Parasnya yang menunjukkan
kesungguhan justru tampak polos seperti sebuah topeng, dan itu menyatakan apakah sahabatnya
marah karena ulah Rere?
“Hah? Aku? Aku tidak sombong. Tidak, tidak seperti itu” kata Rere berusaha menjelaskan.
“Sudahlah Re, saya kecewa dengan sikapmu. Kamu sudah melupakan kami berdua,
sahabatmu sejak SMP. Saya kecewa!”
“Aduh, tolong dengarkan saya dulu. Jangan salah sangka. Saya bukannya melupakan kalian
berdua, tadi Mama saya tiba-tiba datang membawa kue ulang tahun ke kelas saya saat pelajaran
Bhs.Indonesia. Saya tidak ingin memanggilmu, tapi ada guru saya saat itu” Panjang lebar smsnya
tak kunjung mendapat tanggapan dari sahabatnya itu. Dia tak tahu harus berbuat apa, “Apa yang
salah denganku? Kapan aku bersikap acuh pada kalian? Kenapa semua menyalahkanku? Kapan aku
benar dimata kalian? Baik di depan orang tua maupun teman-temanku, aku selalu salah!” Teriak
Rere sekencang-kencangnya, melampiaskan semua emosi dan tanya yang berkecamuk di otaknya.
Rere merasa tiba-tiba ingin menangis. Dia benar-benar terperangah, dan itu mengingatkannya lagi
bahwa dia pun baru saja bertengkar dari sahabatnya itu.
Seminggu, sebulan, bahkan setahun. Dia lalui hidupnya dengan kesedihan. Rere tidak bisa
senang, dia orangnya memang care, sehingga dia tak bisa melepaskan penat dalam batinnya itu.
Seperti biasa di kamar, di tempat tidur, dia menangis memikirkan semua masalahnya yang tak
kunjung usai. Dia bingung, dia putus asa, bahkan dia pernah berfikir untuk mengakhiri hidupnya
agar tak merasakan semua itu. Dia takut akan masa depan, masa yang akan datang. Diaa tak tahu
harus bagaimana. Dia sangat luka, sangat terluka sebab, mereka menari diatas ketakutannya.

|
Menurut Rere, hanya dia yang mengerti perasaannya selama ini. Meskipun ada yang
mengerti, tapi tidak sepenuhnya. Tidak ada tempat lain, dia hanya bisa mencurahkan isi hatinya
pada sebuah notebook, saksi bisu hidupnya. Rere pernah menuliskan sesuatu di notebooknya.

Jum’at
Mama.. Papa.. maafkan Rere, Rere belum bisa menjadi anak yang membanggakan kalian.
Rere bodoh! Rere sudah berusaha untuk melakukan semampu Rere untuk membanggakan kalian,
bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun. Tapi entah kenapa Rere selalu salah, Rere tidak tau dimana
letak kesalahan Rere.
Sepertinya hanya Rere yang tidak bisa membanggakan kalian. Tatapan kalian pada Kak Tia
selalu dengan tatapan bangga. Tatapan kalian pada Dek Cecen penuh dengan kasih sayang. Tapi
tatapan kalian pada Rere? Rere merasa asing. Bisakah kalian mengerti?
Kalaupun kalian merasa Rere ini anak yang tidak berguna, biarkan Rere merasakan tatapan
bangga dan penuh kasih sayang seperti yang kalian berikan pada saudara-saudara Rere. Karena
kalian adalah tempat Rere kembali saat dunia mengucilkan Rere. Rere menyayangi kalian, papa..
mama..”

RDA

Tanpa disadari, air mata Rere sudah membasahi pipinya. Dia menangis sejadi-jadinya.

|
Disekolah...
“Rere, tugas matematika kelompok kita ada di notebook kamu kan?” kata teman kelompok
Rere.
“Hah? Emang iya? Aduh aku lupa membawa notebookku nih, gimana dong?” kata rere panik.
“Hmm, ya sudah. Mau di apakan lagi.. untungnya print out-nya juga sudah ada di Pak Guru”.
“Maaf yah?! Aku benar-benar lupa. Soalnya tadi aku cepat-cepat ke sekolah, dan aku-nya telat
bangun”. Rere merasa bersalah.
“Iyaa... santai saja lagi”.
Sesampainya dirumah...
“Rere, tadi kamu lupa membawa notebookmu kan?” Kata Mamanya
“Oh iya Ma, soalnya tadi pagi aku buru-buru kesekolah”.
“Sini, duduk dekat mama. Maafkan Mama yah sayang? Maaf kalau kamu merasa kasih sayang
Mama dan Papa tidak adil untuk kamu. Mama bangga sama kamu, Mama sayang sama kamu seperti
mama menyayangi kakak dan adik kamu. Itu hanya perasaan kamu saja sayang, mama tidak
pernah membanding-bandingkan kasih sayang mama. Kamu hanya perlu berfikir positif agar kamu
bisa menghilangkan prasangka buruk kamu pada Mama dan Papa” kata mama sambil memeluk Rere
dan mengusap-usap rambutnya.
Rere tidak bisa berkata apa-apa, ternyata Mama membaca curahan hati rere di notebooknya
itu. Terjawab sudah pertanyaan besar dalam benak rere, dia lega. Papa dan Mama menyayanginya!
Tak perduli seberapa sering dia menangis karena perlakuan orang tuanya, yang dia tau kedua orang
tuanya menyayanginya.  Itu sudah lebih dari cukup. Kasih sayang orang tua tidak pernah ada
bandingannya, tidak akan sama dengan orang lain.

Anda mungkin juga menyukai