Anda di halaman 1dari 5

Dahulu, manik mata itu berbinar lebih terang dari gemerlap bintang dilangit.

a
Dahulu, kurva senyuman itu melengkung lebih cerah dari hangatnya sinar mentari.
Dahulu, semangatnya menggebu bersama asa dan harapan di dalam dada.

Tapi kini yang terpampang nyata hanyalah seraut wajah  lusu, tatapan mata kosong dan
bibir pucat yang tak lagi merona. Air matanya sudah kering dan terhisap habis pada jiwa
yang telah mati. Yang ada di kepalanya hanya seputar; 'Untuk apa aku hidup?' atau
'Kapan ini semua akan berakhir?'

Kenapa rasa lelahnya bertahan sangat lama? Kenapa bebannya terasa lebih berat? Dan
kenapa ... semua itu seolah tak pernah habis?

Rasanya seperti ingin berteriak dan memberontak. Ingin marah dan menangis sangat
kencang, tapi mendadak merasa bingung dengan penyebabnya, selain karena merasa
lelah.

Dokter Andre selalu berkata, 'Tidak apa-apa jika ingin mengeluh. Tidak apa-apa jika
ingin beristirahat. Tidak apa-apa jika ingin menangis. Kau juga manusia, kok. Bukan
robot yang bisa melakukan banyak hal tanpa henti.'

Iya, Lisa paham. Sangat-sangat memahaminya, malah. Tapi bukankah orang- orang
disekelilingmu juga memberikan pengaruh besar pada hidupmu? Namun Lisa tidak
mengerti mengapa rasa sepi yang begitu mencekam itu seolah ingin menelannya hidup-
hidup. Ia juga tidak mengerti mengapa ia merasa seperti semua orang disekitarnya begitu
mati-matian .

 Apa itu hanya perasaannya saja? atau memang benar benar terjadi ?

Lisa selalu mencoba memerlakukan orang lain dengan baik. Ia menghargai semua
ungkapan kecil yang mereka ucapkan, kemudian ingin menunjukkannya pada semua
orang kalau ternyata masih ada segelintir orang yang menyayanginya.

'Apa itu benar? Apa mereka benar-benar menyayanginya? Apa mereka benar-benar ingin
berteman baik dengannya?' sekelumit pertanyaan itu selalu terlontar, nyaris setiap saat.

Tapi, kenapa rasanya begitu hampa? Kenapa rasanya begitu kosong dan gelap? Dimana
cahayanya? Dimana jalan keluarnya?

Sampai Lisa menyadari, bahwa pihak yang salah ada pada dirinya sendiri. Ia hanya
terlalu lemah dan tak lagi sanggup untuk berdiri tegak. Itu saja.
"Kau melamun lagi.." perawat laki-laki itu masuk ke dalam ruangan Lisa sembari
mendorong troli berisi santapan makan siang. Senyumnya begitu cerah dan bersahaja.
Lisa selalu menyukainya.

"Aku hanya sedang memikirkan beberapa hal, rei.." balas si gadis seraya tersenyum tipis.

Perawat bernama reyno malvindra itu meletakkan nampan berisi makanan, air mineral
serta obat-obatan di atas meja-- kemudian mendudukkan diri ditepi ranjang Lisa. "Kau
terlalu banyak berpikir. Sesekali biarkan otakmu beristirahat.."

Lisa masih duduk bersandar dengan tenang. Ia melirik pemuda itu, lalu terkekeh pelan.
"Aku juga inginnya begitu. Tapi otak sialan ini tetap tidak mau berhenti. Menyebalkan,
bukan?"

Reyno tersenyum lembut. "Kau tahu? Kau masih bisa menceritakan apapun padaku."
kemudian dia mengedipkan sebelah matanya dengan menggoda dan sarat akan candaan
didalamnya. "Aku akan menyimpan rahasia itu seumur hidupku."

Lisa tertawa pelan. Ia bergerak untuk menggeser duduknya menjadi disisi Reyno--
mengabaikan nampan berisi makanan yang dibawa oleh pemuda itu. "Aku ini aneh. Aku
bisa merasakan jiwaku bergejolak dan kepalaku nyaris meledak, tapi tetap tidak bisa
menceritakannya pada orang lain “.

Reyno menoleh pada Lisa. "Bukankah menceritakan bebanmu pada orang lain akan
membuatnya terasa sedikit lebih ringan?"

Lagi-lagi Lisa tersenyum tipis, seolah hanya lengkungan kecil nan kilat yang kini mampu
ia sematkan. Seakan senyumannya yang merekah indah sudah tak bisa lagi ia tunjukkan
pada siapa pun. "Tidak semua orang akan memberikan tanggapan seperti apa yang kau
inginkan. Terkadang, mereka bertanya bukan berarti mereka benar-benar peduli padamu.
Tapi karena mereka hanya merasa penasaran atas apa yang terjadi pada hidupmu."

"Jadi kau memukul rata semua orang? Kau berpikir kalau mereka benar-benar jahat?"

Lisa tertawa pelan. "Tentu saja tidak. Mana mungkin aku berpikir begitu. Aku hanya
sedang berhati-hati saja. Sebab tidak semua orang akan menyukai kita. Bahkan mungkin,
salah satu dari mereka tetap ada yang akan membenciku meskipun aku hanya bernapas."

"Kalau begitu, setidaknya kau harus mencari seseorang yang benar-benar bisa kau
percaya. Seseorang yang bisa memandangmu dari segala sisi. Seseorang yang bisa
memahami baik-buruknya dirimu. Dan seseorang yang bisa tetap ada disisimu meski
dunia menatap penuh kebencian padamu."
"Kkk.. Aku sudah menemukannya."

"Benarkah? Siapa?"

"Dokter Andre .."

Reyno lantas tertawa lepas. Sebuah tawa yang terdengar renyah dan ringan, seolah ia tak
memiliki beban berat dipundaknya. Tapi Lisa malah membenci tawa sejenis itu, sebab ia
tahu kalau seseorang akan berusaha menyembunyikan seluruh luka dan kesedihannya
melalui tawa yang seperti itu. "Jadi kau hanya mau berteman dengan dokter Andre? Ah,
aku kecewa. Kupikir, aku juga temanmu." ujar Reyno, berakting seolah ia benar-benar
kecewa.

"Kau juga temanku."

"Hm?"

"Aku hanya merasa malu jika membicarakan keluh kesahku padamu. Itu akan
membuatku semakin terlihat lemah dihadapanmu." kata Lisa.

Reyno terdiam. Ia menatap Lisa, memerhatikan raut wajah yang telah kehilangan banyak
cahaya dan harapan. Memerhatikan sorot mata yang memancarkan kekosongan dan
kesepian. Memerhatikan guratan-guratan yang menunjukkan betapa lelahnya gadis itu.
"Lisa..."

"Ya?"

"Apa kau tidak ingin keluar dari sini? Apa kau tidak merindukan teman-temanmu?"

Lisa kembali menyunggingkan senyum tipisnya disana. Ia lalu menatap keluar jendela,
memandangi sinar mentari yang mulai meredup akibat awan kelabu yang mulai berarak.
"Kau tahu, Rey? Hal yang membuatku enggan untuk menggoreskan dan menekan cutter-
ku lebih dalam lagi adalah  karena aku masih memikirkan mereka semua “.

"Aku... aku selalu teringat akan orang-orang yang menyayangiku ketika aku berpikir
untuk berhenti bernapas selamanya." lanjut gadis itu.

"Kalau begitu, berhentilah memikirkan orang-orang yang membencimu. Karena kau


masih memiliki lebih banyak orang yang menyayangimu sepenuh hati."

"Tapi aku hanya tidak mengerti kenapa setiap patah kata yang orang lain ucapkan
padaku, dapat memberikan pengaruh yang cukup besar untuk kehidupanku." ucap Lisa.
Pandangannya menerawang jauh, entah kemana.
"Aku tahu kalau mereka menertawakanku,
menatapku seolah aku ini sangat bodoh, dan membenci setiap hal yang aku lakukan.
Namun pada satu sisi, aku melihat orang lainnya berkata bahwa mereka menyayangiku.
Kemudian aku berpikir, apa aku pantas menerima semuanya? Apa aku pantas menerima
kebencian dan juga kasih sayang yang mereka berikan? Tapi, kenapa? Kenapa mereka
melakukannya? Kenapa mereka membenciku? Kenapa mereka menyayangiku?
Kesalahan atau kebaikan apa yang telah kulakukan ?” lanjut Lisa

Reyno menatap sendu pada gadis itu. Ia banyak belajar mengenai seberapa besar efek
yang ditimbulkan hanya dari satu kalimat yang kita ucapkan pada orang lain. Ia banyak
belajar tentang kesepian dan juga rasa lelah yang membelenggu.

Kalimat, 'Masih ada orang lain yang lebih menderita darimu.' bukanlah kalimat yang
seharusnya kau ucapkan pada semua orang. Sebab kita semua memiliki kekuatan yang
berbeda. Kita semua memiliki kondisi yang berbeda. Kita semua memiliki kesulitan dan
cara yang berbeda untuk menghadapinya.

"Tidak semua orang bisa mengerti bagaimana cara untuk menghargai satu sama lain.
Mereka cenderung memikirkan diri sendiri tanpa ingin tahu penderitaan apa saja yang
sudah kita lalui. Tapi, kita bisa mulai untuk menghargai diri kita sendiri." kemudian
Reyno meraih tangan kiri Lisa, menyingkap baju

lengan panjangnya. "Aku senang kau sudah tidak melampiaskannya disini. Meskipun
bekas-bekas ini akan sulit sekali untuk dihilangkan, setidaknya kau sudah berhenti
melukai dirimu sendiri."

Lisa tersenyum lemah. "Aku berhenti melakukannya semenjak berada disini. Sejak aku
bertemu dengan dokter Andre, dan sejak aku bertemu denganmu. Jadi, aku ingin berada
ditempat ini sedikit lebih lama lagi."

Reyno menatap sedih. Dari sekian banyak pasien yang bertemu dengannya, hanya Lisa
yang meminta untuk tinggal disini lebih lama dari yang seharusnya. "Tapi aku ingin kau
segera keluar dari sini. Aku ingin kau... sembuh.."

Lisa balas menatap Reyno  dengan lesu. "Aku sudah sangat lelah, rey. Dunia ini terlalu
luas dan menakutkan untuk diriku yang lemah. Aku... aku benar-benar kelelahan.."

Tidak terasa, setetes air mata Reyno mengalir begitu saja. Ia kemudian menarik Lisa ke
dalam dekapannya, memeluk tubuh rapuh itu dengan hati-hati. "Ya, Lisa. Aku mengerti.
Beristirahatlah. Kau harus beristirahat dengan baik untuk bisa mengisi energimu. Kau
harus melupakan banyak hal yang tidak semestinya kau khawatirkan. Kau akan bahagia
setelah ini. Percayalah. Percayalah padaku, hm? Kau harus percaya padaku”.
Lisa mengangguk pelan. Ia mengangguk meski tak yakin kalau kebahagiaan itu masih
tersisa untuknya. Ia mengangguk meski ia tak tahu kapan rasa lelahnya akan berakhir.
Dan ia mengangguk meski tak tahu apakah ia bisa bertahan dan bernapas lebih lama lagi
atau tidak.

Tapi disini, disebuah ruangan Rumah Sakit Jiwa didaerah pinggiran kota ini, Lisa merasa
bahwa mungkin ia bisa menepi dengan tenang untuk sementara waktu dari nyala api
dunia luar yang nyaris selalu menjilat dan membakar kulitnya habis-habisan.

Anda mungkin juga menyukai