Anda di halaman 1dari 20

Dalam asaku selalu ingin kugapai dia. Dia yang kucinta. Dia yang kudamba.

Tapi, entah sampai kapan tangan ini akan kembali bertaut ingin engkau yang menggapainya. Membawaku ke dalam dekapan hangat seribu tahun lamanya. Tapi, tidak ada dekapan yang sama berartinya saat kau yang mencoba. Maaf, maaf, maafkanku, Sasuke . . . . BUKAN KISAH KITA . . Kurousa Hime Naruto Masashi Kishimoto . . H. Sakura, U. Sasuke, U. Itachi, H. Hinata, N. Menma, OC And Many more . Drama. Hurt/Comfort. Friendship. Romance. Family Rate T-M Alternative Universe.Original Character. Typo(s). Tema Pasaran. Nama yang di bold menjadi sudut pandang orang tersebut. Mencoba untuk lebih baik. .

. Enjoy Reading . DLDR . Hyuuga Hinata Aku adalah seorang Ibu dari satu anak. Aku bahagia. Seharusnya itu yang harusnya kualami andaikan suamiku tidak meninggal. Meski begitu kata aku bahagia akan selalu ku dendangkan setiap hari agar bisa menjalani kepurapuraanku untuk kehidupan rumah tangga kami. Setelah Narutosuami tercintaku meninggal, aku menerima lamaran Uchiha Sasuke, sahabat baik dari Naruto. Aku harus menerimanya. Meski Sasuke bilang aku tidak mencintainya tapi pikirkanlah nasib anakku yang berada dalam kandunganku. Anakku butuh seorang Ayah. Aku tidak ingin dia tidak emmiliki Ayah untuk dibanggakan atau yah, apapun itu. Aku hanya mementingkan anakku saja. Anakku dari hasil buah cintaku dengan Naruto. Anak kami harus bahagia meski dia tidak tahu menahu bahwa Sasuke bukan Ayah kandungnya. Asalkan Sasuke bisa memberikan perlindungan layaknya seorang Ayah pada anakku tidak masalah. Aku hanya butuh itu. Aku tidak butuh yang lainnya. Meski aku harus mengorbankan temanku yang lain, yaitu Haruno Sakura. Kedengarannya memang jahat, tapi aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya ingin anakku yang bahagia. Tidak bolehkah aku berpikir egois seperti itu? Lagipula mana ada yang mau menolak bukan jika ditawari begitu? Aku butuh sandaran untuk hidup kami. Terserah kalian mengatakannya apa, memanfaatkan Sasuke? Tentu benar aku sangat memanfaatkannya. Dia begitu mencintaiku. Mencintai kami. Hanya dia yang bisa menolong kami dari keterpurukan tapi dia tidak bisa menolong aku dari rasa cintaku kepada Naruto. Aku tidak bisa mencintai Sasuke. Aku begitu emncintai Naruto sejak bangku sekolah dasar. Cintaku kepada Naruto hanya ada kata cinta pertama dan terakhir dalam hidupku. Tidak boleh ada yang menggantikan Naruto dalam hatiku. Aku kasihan. Aku kasihan pada Sasuke yang begitu mencintaiku. Setiap matanya memandangku, setiap tubuhnya berbicara padaku, itu terlalu menyakitkan bagiku. Tuhan, aku tidak mencintai Sasuke.

Selama 6 tahun kehidupan rumah tangga kami, aku dan Sasuke belum pernah berhubungan layaknya suami istri. Hanya sekedar kecup saja rasanya menyakitkan. Aku tidak bisa. Terserah, Mikoto-Kaasama berbicara jelek tentangku, aku tidak peduli. Yang kupedulikan hanya anakku yang aman pada Sasuke. Aku hanya menginginkan Naruto. Hanya Naruto. Naruto. Dan saat itulah aku melihatnya. Na Ruto? gumamku. Kuharap ini tidak hanya sekedar ilusi semata yang selalu kubayangkan bertahun-tahun lalu. Sosok yang kulihat begitu nyata bersama dengan ribuan orang yang berlalu-lalang di jalanan pinggir pertokoan. Punggungnya yang tegap yang selalu kutatap tidak ada yang berubah. Kecuali yang mungkin saja berubah adalah warna rambutnya. Tuhan, bisakah kau dekatkan aku dengannya? Bisakah aku menggapainya kalau ini bukan ilusi semata? Bisakah aku mempunyai harapan kembali bahwa orang yang kucintai tepat berada di depanku? Segera saja ku berlari mengejarnya. Tidak lagi mengejar bayang semu. Bertabrakan dengan beberapa orang yang berjalan melawan arah denganku tak kuhiraukan. Asalkan aku bisa melihat wajahnya kembali itu saja sudah cukup. Hei, tuan! panggilku pada sosok itu dengan lantang. Heeeei!! Narutoooo! panggil asaku. Sosok itu terus melangkah tanpa memedulikanku, tubuhku sudah lelah mengejarnya namun suaraku tak akan pernah lelah untuk terus memanggilnya. Asalkan dia menoleh, asalkan dia menoleh padaku asalkan dia Tiba-tiba saja aku terjengkak, setengah terduduk jatuh akibat tubrukan kencang dengan tubuh yang kalah besar denganku. Kesakitan yang menguar pada kedua lututku tak terasa. Yang ada sosok itu terus semakin menjauh, suaraku pun terus mencicit memanggil namanya. Na Ru, isakku iba. Kupejam kedua mata yang sudah deras mengalirkan air asin. Beberapa orang yang melihatku hanya memandang iba namun tak seorang pun yang mau mensejajarkan tubuhnya denganku yang sedang terduduk di jalanan kotor ini. Padahal Padahal hanya tinggal beberapa jengkal lagi aku bisa melihatnya. Aku bisa melihat Naruto, kenapa dia tidak mendengar panggilanku? Padahal aku kan Kau memanggilku? suara baritone yang sama persis dengan yang kudengar beberapa tahun lalu itu menangkap inderaku.

Dengan cepat kutadahkan wajah lembab ini padanya. Sungguh Tuhan, ini adalah sebuah keajaiban. Dia hidup! Dia hidup! Buktinya dia berada dalam jarak yang begitu dekat. Buktinya dia berbicara denganku. Buktinya hanya dia yang datang kepadaku. Dia adalah Narutoku, benar bukan Tuhan? I-iya, Naruto!! jawabku cepat dan langsung mencengkram erat lengannya yang terulur kepadaku. Kau Naruto, kan? Kau kemana saja? Orang bilang kau sudah meninggal padahal kau ada di depanku! cerocosku tak henti. Kedua alis hitamnya terangkat tinggi. Mata dengan iris menawan seindah langit biru itu memicing keheranan, dan bibirnya yang tipi situ terkatup rapat. Apa maksud anda? tanyanya keheranan. Aku tersentak. Kau Kau suamiku, Naruto, iya kan? kucengkram lengan kemejanya yang digulung hinggaa siku itu. Maaf, kupikir anda salah orang. Ucapnya sopan dengan nada yang datar. Dia memandang ke sekeliling kami dimana orang-orang memandnag kami penuh keheranan. Berdirilah, kau mempermalukan diri sendiri. Dengan patuh aku menerima uluran kedua tangannya untuk berdiri. Dia membawaku ke pinggir agar tidak menghalangi pejalan kaki. Kulihat wajahnya masih saja tampan seperti biasa. Hanya saja ada yang mengganjal dari sosok Naruto yang kupikirkan. Orang yang berada di depanku ini memiliki rambut hitam kebiruan dan lagi ada beberapa bagian yang lebih panjang dengan rambut gaya spike-nya. Meski begitu yang sama hanyalah warna matanya yang hangat, hidungnya yang mancung, bibir tipis yang selalu tersenyum tapi pada dia tidak ada, dan ketiga kumis kucingnya yang langka. Tanda lahir yang menggemaskan. Aku tidak mungkin salah mengenali suamiku sendiri, gumamku. Pria ini mendelik tak suka. Mengamatiku dari atas hingga bawah dnegan pandangan intimidasi. Maaf, aku tidak ingat pernah menikah dneganmu, Nyonya. Tegasnya dengan dingin. Tapi, kau Berhentilah membicarakan orang yang anda salah pahami, Nyonya. Namaku adalah Namikaze Menma, dan aku tidak punya waktu untuk mengurusi kegilaan anda. Menma segera berlalu dari tempatku. Mengacuhkanku yang masih terbengong, dia menghilang dalam kerumunan orang. Segera saja kukejar kembali. Tidak! Pasti dia adalah Naruto! Pasti! Dia hanya berbohong dengan mengatakan namanya Namikaze Menma, dia pasti Uzumaki Naruto! Dan dia pasti mengecat rambutnya! Demi Tuhan Naruto tidak mungkin berbicara sedingin itu padaku, dia pasti lupa kalau aku adalah isterinya, kan?

Ini semua lelucon yang menggelikan! Kulihat ia memasuki taksi dan terus kuikuti dengan membuntutinya kemanapun ia pergi. Aku ingin mendapatkan kepastiannya lagi. Dia pasti bercanda. Dia pasti Naruto, kan? Ternyata taksi yang kuikuti masuk ke dalam salah satu lobi Rumah Sakit besar. Ini aneh, untuk apa dia masuk ke dalam sana? Tanpa babibu segera ku ikuti lagi, langkahnya tidak besar-besar. Dia berjalan begitu santai dan perawatperawat yang melewatinya tersenyum ramah kepadanya. Saat dia berbelok memasuki ruangan yang besar dengan karpet yang berbeda, aku tahu aku memasuki sebuah ruang rawat. Menmaaku tidak akan mengakuinya dengan nama itu, ia menaiki lift. Berdecak kesal kulihat dia naik menuju lantai lima dan kuikuti dengan lift satunya lagi. Tak banyak orang memang yang datang ke ruangan besar itu. Mengingat ini adalah jam makan siang yang sudah lewat. Bukankah jam besuk sudah tidak bisa? Ujung bayangnya berbelok di kanan dan ku ikuti. Bersikap senormal mungkin agar tidak dicurigai perawat yang sedang berjaga di ujung pintu. Dengan panik tak kulihat bayangannya. Ke mana dia pergi? Ke mana?! Bagaimana kabarmu, jagoan? sebuah suara besar terdengar tepat di depan pintu. Aku menoleh asal. Kamar dengan name tag sebagai kamar VIP milik Yuki. Siapa itu? Kulihat dari kaca pintu ada dia bersama dengan seorang bocah seumuran dengan anakku yang tengah duduk bersila di atas kasur periksa. Kabarku baik, Menma-san. Ucap anak itu datar. Menma mengacak-acak rambut anak di depannya dengan gemas, cengirannya terlihat menampakkan sederatn gigi rapihnya yang indah dan itu semakin mebguatkanku akan cengiran Naruto. Mirip sekali. Sudah kubilang berapa kali panggil aku, Ayah! gemasnya. Si anak dengan rambut hitam itu hanya cemberut sembari menyilangkan kedua tangannya di dada. Aku tidak mau, ketusnya. Dasar anak keras kepala. Aku menjemputmu menggantikan Ibumu, kau harus segera pulang ke rumah dan mengerjakan tugas sekolahmu bersama kakakmu. Menma tampak senang menggendong anak itu turun dari kasurnya. Wajah yang kulihat datar tadi lebih banyak berekspresi kini. Iya, bawel. Acuh anak kecil itu. Ah, pasti anak kecil itu namanya Yuki, ya? Dia yang dirawat di sini adalah anak dari Menma? Jadi dia memang bukan Naruto? Jadi dia

Perasaan kecewa begitu menyelimuti hatiku. Aku masih tidak bisa menerimanya kalau pria yang di dalam itu bukan Naruto. Bagaimanapun mereka sangatlah mirip. Kenapa Tuhan kejam padaku? Aku hanya ingin Naruto bukan Sasuke. Dan ternyata dia sudah memiliki anak. Anak yang begitu mirip dengan Hinata? suara sopran indah memanggilku dengan tepukan keras di pundak. Kutolehkan cepat siapa yang mengejutkanku. Sa-Sakura? Wanita dengan rambut merah muda, mata emeraldnya yang meneduhkan juga senyuman manis terkembang. Wanita yang dulu kurebut suaminya. . . . Haruno Yuki Aku heran dengan pria di depanku ini. Dasar paman rubah. Lihat saja wajahnya sebelum ia masuk ke kamarku. Begitu kaku dan datar. Seperti habis membunuh orang tapi lihat setelah menutup pintu kamarku, cengirannya berubah sangat lebar. Wajah konyol dan jenakanya terlihat. Paman ini memang aneh. Belum lagi kumis kucing itu sangat aneh menempel pada wajahnya. Aku heran sejak kapan paman menjadi Ayahku? Kalau Ibu dan Aka-nii dengar, paman pasti akan dipukul hingga tulang rusuk paman retak. Ketusku. Pria dewasa konyol ini hanya mengacak kembali rambutku yang sudah rapih. Aku akan segera menjadi Ayahmu tentu saja. Katanya santai. Oh, ya? Kau berani mengatakan itu di depanku? lagi suara pria dewasa terdengar di kamarku. Pria dewasa yang mirip dengan Ayah kandungku itu baru saja keluar dari kamar mandi. Kau pembohong dengan menyatakan Sakura yang menyuruh Yuki untuk dijemput olehmu. Dasar pencari kesempatan! desisnya kesal. Oh, Tuan Keriput! nada suara paman rubah menjadi mengejek. Maaf saja aku bukan seorang pembohong. Apa yang kau lakukan di sini? Bukan urusanmu rubah. Uchiha Itachi yang dipanggil Tuan Keriput oleh Namikaze Menma hanya mengerling bosan.

Yah, jangan bilang mereka akan mulai bertengkar kembali di sini. Aku sudah cukup bosan dengan kelakuan dua orang paman yang selalu memperebutkan Ibu dengan cara mencuri perhatianku. Apa mereka tidak sadar kalau kelakuan mereka seperti anak sekolah dasar? Hei, kalian paman mesum, tolong jangan ribut. Kali ini kakakku yang menengahi. Kakak merah darahku ini memang pandai dan selalu menjadi penengah mereka. Kalian ini menggelikan sekali. Oh, mulut tajam siapa ya ini~ ketika Akashi-nii muncul pasti kedua paman ini akan kompak mengerjai kakak kesayangku. Mereka berdua sudah mencubit masing-masing pipi Akashi-nii. Dan akhirnya mereka berdua akan kembali kompak mengerjai Akashi-nii dan mencuri kesempatan untuk membawaku kabur. Kejadian seperti ini sudah berulang kali aku alami selama satu setengah tahun lalu. Kedua orang yang sama-sama mencintai Ibu. Memperebutkan hati Ibu selain Papa Gaara yang sudah tenang di surga sana. Meski begitu Ibu tidak bermaksud untuk memberi kesempatan kepada kedua orang ini dan bukan berarti Ibu menggantungkan mereka. Aku tahu Ibu menyayangi dua orang paman mesum ini tapi, hati Ibu sepertinya tidak akan memilih siapapun untuk bersanding dengannya. Kalaupun mungkin iya Ibu menginginkan seseorang mungkin itu adalah Ayahku, Sasuke. Aku tahu Ibu masih mencintai Ayah tapi, Ibu bilang hidup seperti ini sudah lebih membahagiakan. Ibu hanya ingin Akukami bahagia dalam keluarga kecil kami. Paman Menma, Paman Itachi, panggilku pelan, keduanya menoleh serentak tanpa melepaskan cubitan dari pipi Akashi-nii. Terma kasih. . . . Kau baik saja? Tanya wanita berambut merah muda yang tengah menaruh secangkir teh hangat di depan wanita berambut kebiruan legam. Ah, da-daijobu. Jawabnya gugup. Ia memeluk cangkir tehnya dnegan kedua telapak tangannya yang besar. Aku tidak menyangka bisa bertemu dengan Sakura-san di sini. Haruno Sakura menyesap kopinya sedikit kemudian tersenyum simpul. Aku sekarang bekerja di Rumah Sakit ini, sudah lama kuberitahu padamu bukan? Uchiha Hinata hanya mengangguk kaku. Maaf aku tidak membalas e-mailmu lagi sejak dua tahun yang lalu. Tidak apa-apa,

Keheningan menyelimuti keduanya. Saat ini kedua wanita itu tengah berada dalam coffee shop yang berada dekat dengan cafeteria Rumah Sakit. Dulu memang kedua wanita ini meski tidak bisa dibilang hubungan mereka sangat baik selalu berkomunikasi dengan menggunakan media elektronik demi kepuasan Hinata sendiri. Hinata merasa tidak enak pada Sakura, maka sebulan sekali ia pasti akan mengirimi Sakura e-mail meski e-mail tersebut hanya menceritakan konsultasi Hinata saja dan beberapa perkembangan Uchiha Natsu yang Sakura tahu sebagai anak dari mendiang Naruto. Sedang apa kau tadi? Tanya Sakura akhirnya. Hinata agak tergagap kembali, dia bingung menemukan jawaban apa yang tepat. Dia tidak mungkin kan mengatakan kalau dia ke Rumah Sakit karena mengikuti orang? Ah, aku Aku hanya, Kau hanya ingin tahu bukan kalau Paman Fugaku dirawat di sini? Hinata sedikit melongo namun cepat-cepat dia mengangguk mengiyakan. Be-benar. Ah, apa kau mau kuantarkan ke kamarnya? tawar Sakura berbaik hati, namun dijawab dengan gelengan cepat dari Hinata. Um, baiklah. Omong-omongan bagaimana dengan Sasuke? Ah, kami baik-baik saYa, Tuhan! Aku lupa kalau aku janjian dengan Sasuke! jengit Hinata. Cepatcepat ia mengubrak-abrik isi tasnya untuk mencari ponsel kesayangannya. Sakura hanya terkekeh ringan. Dia mengingat kembali bagaimana polosnya Hinata saat dahulu dan lagi sifat ceroboh Hinata ternyata tidak hilang sama sekali. Ma-maaf, Sakura-san, aku harus cepat-cepat menemui Sasuke-kun dulu. Aku takut dia marah. Paniknya, lalu dia melihat cangkir tehnya masih terisi penuh dan segera meronggoh tasnya kembali. Ie, aku yang akan bayar, Sakura dengan cepat menghentikan Hinata yang sudah mengeluarkan dompetnya. Cepatlah kau hubungi Sasuke, dia pasti mencemaskanmu, ne? ah, salam juga untuk anakmu! Terima kasih, Sakura-san! Hinata menunduk dalam-dalam hingga keningnya terbentur meja. Awh, ma-maaf. Sampai jumpa lagi, Sakura-san! Sakura hanya melambai dengan kepergian Hinata. Sebelumnya ia memberikan beberapa plaster untu menutupi lukanya karena Sakura lihat lututnya sedikit berdarah, Hinata memakai dress lembut di atas lututnya sehingga terlihat oleh Sakura. Sakura menyesap lagi kopinya hingga tandas sembari memejamkan mata. Kau tidak bisa berbohong Hinata. Pasti kau melihat Menma-kun, ya? Menma-kun memang mirip dengan Naruto tapi dia bukan Naruto. Kelemahanmu terlihat Hinata

Seringai manis terlukis dalam bibir dengan lipstick merah muda pudar itu. . . . Uchiha Itachi Aku menatap jengkel dengan kepergian pria rubah yang usianya terpaut 3 tahun lebih muda dariku itu. Pria yang baru dua tahun kukenali sebagai musuhku sekaligus rekan kerjaku ini sangat menarik. Terkadang ekspresinya tidak dapat terbaca, mirip sekali dengan adikku yang kaku itu tapi kadang ekspresinya mengingatkanku akan mendiang sahabat baik adikku, yaitu Uzumaki Naruto. Apalagi dengan perawakannya dan dia benar-benar sangat mirip dengan Naruto hanya saja warna rambutnya itu yang berbeda. Memang orang bilang di dunia ini pasti akan ada yang mirip dengan kita. Mungkin Namikaze Menmalah yang copy-an dari Naruto. Sungguh pria rubah tengil itu membuatku geli. Ada beberapa kesamaan lain lagi dari selain orang yang kusebutkan. Menma memang seorang penjiplak. Sudah mirip dengan Sasuke dan Naruto dia juga mirip denganku dalam artian cinta. Kami sama-sama mencintai satu wanita yang sama. Wanita dengan dua orang anak. Wanita yang tegar dalam emnghadapi hidupnya yang berantakan karena adikku juga wanita yang entah kami tidak tahu apa alasannya sehingga kami begitu mencintainya. Kami mencintai Haruno Sakura. Sebenarnya aku sendiri sudah lama mencintai Sakura. Bukan, bukan saat ia menikah dengan Sasuke. Saat itu aku hanya melihatnya sebagai wanita biasa saja. Wanita yang mau-maunya selalu disiksa hatinya oleh adik dan ibu. Saat berita mengenai perceraian Sakura aku tidak terkejut sama sekali. Aku bersyukur dia telah lepas dari adik dan ibuku. Dia sudah terlalu banyak menderita tapi ternyata penderitaannya itu masih terus berlanjut. Kami bertemu lagi saat Sakura tengah mengandung lima bulan di Suna. Aku kaget bertemu dengannya. Baru ia bercerai dengan Sasuke masa ia sudah hamil? Aku tak lantas percaya Sakura menikah dengan orang yang saat itu berada di sisinya, Sabaku no Gaara. Mencurigai orang memang bukanlah hal yang terpuji memang. Tapi, rasa penasaran itu muncul begitu saja. Ada kekecewaan juga kesenangan saat melihat Sakura bersama dengan Gaara. Dan kekecewaan itu dikarenakan Sakura tengah hamil anak Sasuke bukan anak Gaara. Dan kesenangan itu adalah Sakura telah mendapat pria yang bisa memberikannya kebahagiaan dibanding dengan Sasuke juga aku sennag bisa melihat senyumannya lagi selain saat masih ia sekolah dulu.

Tapi, semuanya tak berlangsung lama. Tiga hari usai Sakura melahirkan anaknya, Gaara tewas dalam kecelakaan beruntun. Sakura kembali kehilangan harapan untuk bahagia. Aku iba. Iba kepadanya. Kasihan kepadanya. Dari rasa kasihannya itulah aku mencintainya. Aku mencintai Haruno Sakura. Awalnya hanya itu tapi ternyata aku tidak bisa menemukan alasanku sendiri mengapa bisa terjerat dalam pesonanya. Aku begitu menginginkannya untuk bahagia dalam sisiku. Aku hanya ingin dia menjadi milikku. Meski wajah ini akan mengingatkannya pada Sasuke, tidak apa. Dimanfaatkan olehnya taka pa. asal Sakura menjadi milikku. Malam itu aku sempat menyentuhnya. Malam beberapa tahun lalu. Saat hati kami lengah, saat hati kami harusnya dihangatkan. Aku menyentuh Sakura. Sedang apa kau di sini? ia terlonjak kaget dari kursinya. Wajah yang mendekati umur tiga puluhan itu tampak sebal mendapatiku berada di belakangnya dan berhasil mengagetkannya. Aku baru saja bertemu dengan Hinata. Ucapnya ketus karena melihat kekehanku. Oh, ya? Sedang apa dia di sini? aku mengambil kursi di depannya, dan masih ada secangkir teh penuh yang sedikit sudah mendingin. Dia sepertinya mengikuti Menma, untung saja aku belum masuk ke kamar Yuki. Dia menghela nafas sembari mengaduk-adukkan kopi. Dan untung dia tidak melihatku. Kuambil kopinya dari jemari lentiknya, Sakura sedikit melotot bukan karena kopinya berhasil kuambil. Ah, dimana kau meminum kopinya? tunjukku dengan sseringaian. Sakura menaikan alis merah muda tipisnya bingung dan menunjuk permukan cangkir kopinya. Di sini? tunjuknya ragu kemudian aku meminum kopi yang tinggal sisa setengah cangkir tersebut. Ciuman tidak langsung, seringaiku mengembang, kedua pipi Sakura merona kemerahan. Da-dasar mesum! dia memukuliku tanpa ampun sedang aku tertawa bahagia. Aku ingin tawamu akan selalu ada Sakura. Tapi, tidak harus dengan lelaki manapun. Harus denganku. Meski mungkin musuhku adalah adikku sendiri atau Menma. Dan meski keluargaku menentang kembali hadirnya dirimu dalam keluarga Uchiha.

Yuki berhak atas nama Uchiha. Dia terlalu jenius sangat mirip sekali dengan Sasuke, atau denganku eh? Dan Akashi pun sama halnya dengan Sasuke. Ambisius. Anak itu licik sekaligus jenius. Kulihat Sakura mengetuk-ketukan jarinya di meja. Wajahnya kelelahan. Air mukanya sama sekali tidak bagus, aku yakin dia pasti berjaga kemarin malam tapi aroma manis tubuhnya sama sekali tidak hilang, aku emnyukainya. Akhirnya diputuskan Sakura untuk meninggalkan coffee shop menuju ruangan kerjanya. Aku mengikutinya kemana dia pergi. Sakura sama sekali tidak keberatan dilihat dari bahasa tubuhnya. Memasuki ruangan yang cukup besar dengan mengeluarkan seorang perawat dalam ruangannya Sakura menyentuh jendela kaca besar di belakang kursinya. Musim semi memang sudah terlewatkan dengan mekarnya bunga sakura yang Nampak kini hanya bunga satsuki di sepanjang kebun belakang. Kutimpa punggung tangan Sakura yang menempel di jendela kaca. Kau kelelahan, ucapku halus tanpa mengalihkan pandangan bertanya Sakura. Istirahatlah dulu, Aku merasa baik, Itachi-nii, dia melepaskan tindihan tanganku. Berjalan menuju sofa empuk di sudut ruangan. Salah satu lengannya menumpu dagu lancipnya. Aku tidak bermaksud untuk memulai hal yang buruk. Aku tidak ingin, Kupeluk tubuh kecil itu lewat belakang, melingkarkan sebelah tanganku pada pinggangnya yang ramping dan menyusupkan kepalaku di sela leher jenjangnya. Aku tahu, Tidak, tidak. Dia menggeleng cepat. Matanya bergetar menatapku, seperti ketakutan. Aku tidak akan bermaksud untuk Kutaruh telunjuk tepat pada kedua katup bibirnya. Tersenyum miring, kuarahkan kepalanya pada dada bidangku. Ssh, tenanglah Sakura-chan, panggilan sayangku untuknya membuat ia terbuai. Kau memang tidak bermaksud untuk membalas apapun atau memanfaatkan siapapun. Tuhan hanya memberimu pikiran untuk menjalankan takdir yang semestinya. Dia mengisak pelan dalam dekapanku. Jemarinya meremas erat kemeja biru tuaku hingga kusut. Maafkan aku, Itachi-nii. Kumohon tolong aku, Katakanlah, Sakura-chan, aku mengecup cuping telinganya. Sakura semakin menenggelamkan kepalanya dalam dekapanku dan kedua lengannya melingkar kuat di leherku. Aku ingin kau kumanfaatkan. Dan senyuman lebar terhias dalam wajah tuaku. Akhirnya dia mengucapkannya. Tidak ada rasa sakit ketika mendengarnya. Aku sangat menantikan ini sejak dulu. Asalkan Sakura mau memanfaatkanku untuk kebaikannya maka aku pun aku melakukannya. Cinta memang bodoh, eh? .

. . Pria tampan dengan pesona memikat itu tampak melirik-lirik sadis pada pergelangan tangannya dimana jarum jam berdetik begitu lama berputar. Wajahnya datar meski begitu raut cemas bisa terlihat dengan jelas di kedua bola mata kelamnya. Sudah dua jam ia menunggui isterinya datang untuk menikmati makan siang mereka di sebuah restoran terbuka dengan memesan kursinya di jam makan siang yang padat. Tak mendapati sosok isterinya yang belum muncul di depan pintu restoran membuatnya cemas. Menghubungi ponsel isterinya itupun percuma karena tidak diangkat olehnya. Beberapa hipotesa keluar dalma otaknya. Pikiran negative juga muncul. Dia tahu seharusnya dia menjemput isterinya saja seusai dari membeli bunga tadi. Tapi, isterinya itu berkeras akan datang sendiri saja. Lagipula ini di Suna bukan Konoha memangnya isterinya paham jalanan di sini? Ah, semakin dipikirkan semakin pusing saja pria tampan yang sudah menajdi seorang Ayah ini. Tak lama kliningan bel pintu restoran terdengar keras, sosok wanita dengan rambut panjang yang acakacakan itu begitu jelalatan melihat ke sana ke mari. Dimana suaminya? Gumamnya cemas. Dan akhirnya dia mendapati belakang kepala suaminya yang ia yakini betul karena rambutnya itu mencuat melawan gravitasi. Model emo di usia mendekati kepala tiga. Ma-maaf, Sasuke-kun, lirihnya begitu tiba di depan suaminya. Uchiha Sasuke begitu terkejut melihat betapa berantakannya penampilan isterinya ini yang biasanya terlihat sangat anggun. Dressnya yang manis tampak sedikit kucel di bagian depannya, riasanya hancur berantakan karena penuh dengan peluh keringat belum lagi rambut-rambut yang menempel akibat keringatnya itu dan ada luka di kening dan juga lututnya. Kau baik-baik saja? Sasuke segera menarik kursi di depannya, mempersilahkan isterinya untuk duduk. Mengambil sapu tangan di saku kemejanya, dengan halus Sasuke menyeka keringat Uchiha Hinata. Minumlah, menyodorkan segelas air yang langsung ditegak Hinata membuat perasaannya lebih tenang. Maaf aku tersesat dan, Kau terjatuh? tebak Sasuke, dia masih berlutut di depan Hinata. Beberapa tamu yang melihat Sasuke dan Hinata melihatnya dengan pandangan merona. Lain kali hati-hati, Hinata mengangguk patuh. Sejujurnya ia tidak begitu nyaman dengan perlakuan lembut Sasuke. Sasuke terlalu lembut dengannya padahal, Hinata sudah terlambat datang sehingga membuat Sasuke menunggu selama dua jam lebih.

Hinata tahu Sasuke benci sekali menunggu tapi, melihat Sasuke tidak marah padanya malah memberikan tatapan khawatir membuatnya semakin bersalah. Maafkan aku. Lirih Hinata pelan. Butir-butir air mata ingin ia tumpahkan segera, wajahnya tertunduk. Sasuke merasa tercubit hatinya. Setiap kali ia memperlakukan Hinata dengan lembut pasti Hinata akan terisak. Entah ada salah apa dengan perlakuannya ini membuat Sasuke semakin sakit dengan perasaannya. Dihapusnya air mata yang menganak pada pelupuk mata Hinata dengan lembut. Tidak apa-apa, kau tidak salah. Sembari mengusap lembut rambut Hinata, Hinata memeluk pinggang Sasuke. Mereka berdua tidak bisa bersambut. Sasuke sadar, perasaanya tidak pernah bisa bersambut tapi bisakah Hinata sekali saja menyambutnya meski kepura-puraan? Dan Hinata bisakah ia melupakan Naruto? Selalu saja terpaku pada Naruto membuat Sasuke merasa kesakitan karena tidak bisa menjangkaunya. Bisakah mereka menjadi sepasang suami-isteri normal lainnya? Seperti saat Sasuke, Hinata dan Natsu berpura-pura untuk sebuah foto keluarga saat berpiknik? Bisakah? Lalu kenapa mereka bersama? Demi anak. Hanya itu. Hanya itu saja menyakitkan sekali bukan? . . . Haha! Apa-apaan rambutmu itu, Tuan Jenius? ejek suara cempreng yang Haruno Yuki tahu sebagai sahabat sejak dalam kandungannya itu. Yuki hanya mendengus kesal. Kedua pipinya merah pertanda marah. Ia memakan bentonya dengan cepat dan kasar. Bukan urusanmu, bodoh! ketusnya sebal. Nara Shin terus saja tertawa tiada henti hingga beberapa butir nasi yang dimakannya keluar. Yuki menatapnya dengan horror melihat tingkah bodoh sahabatnya itu. Hari ini dua pemain musik yang sedang terkenal akan kejeniusannya itu tengah memakan bekal makan siang mereka di dalam kelas Yuki dan Shin. Meski suara ribut anak-anak perempuan yang bercicit mengagumi mereka dari luar kelas dan dalam kelas sama sekali tidak dihiraukan mereka. Kali ini saudara kembar Shin datang dari kelas sebelah untuk ikut berkumpul memakan siang mereka, biasanya Akashi juga akan datang tapi sayang sepertinya Akashi sibuk untuk tugas dari senseinya. Kalau makanmu seperti itu akan kuadukan pada, Ibu. Tegur Shiki yang kalem. Dia begitu menikmati makanannya dengan tenang.

Shin cemberut menanggapi saudara kembarnya itu, Shiki, tidak asik. Cicitnya kecil. Ah, tapi, aku suka dengan potongan rambut barumu, Yuki. Yuki menaruh sumpitnya cepat dan menepuk-tepukan rambutnya yang baru. Tidak lagi mirip dengan sang Ayah kandung, Yuki akui ia memang sengaja tidak mengikuti gaya aneh yang sudah tumbuh di rambutnya itu. Kali ini rambutnya sedikit diluruskan ke depan. Ah, jadi seperti Yoshida Haru dalam anime kesukaan Ino-bachan, yaitu Tonari no Kaibutsu-kun. Belum lagi mata hitamnya itu dan juga pipi yang gembul yang kadang bersemu sangat menggemaskan. Dan kali ini bisik-bisik anak-anak perempuan di kelasnya memang menyangkut rambut barunya itu. Kau jadi lebih manis. Puji Shiki tanpa maksud apapun. Wajah Yuki memerah, Aku bukan anak perempuan! desisinya sebal. Shin dan Shiki hanya menggulirkan matanya bosan. Yuki terlalu manis mirip dengan Sakura-basan pikir keduanya dalam hati. Hari ini jangan lupa, ya kita latihan! seru Shin bersemangat seperti biasanya. Kedua sumpitnya ia jepit di giginya yang bolong itu. Kaa-chan akan menjemput kita! Yuki mengangguk mengerti sembari melihat isi bentonya yang tinggal menyisakan potongan daging hamburger dengan dua buat tomat ceri dan melahapnya dalam bulatan besar. Eng, sepertinya aku tidak ikut dengan Oba-chan, mulutnya masih sedikit penuh dengan kunyahan makanan. Shiki menatapnya dengan pandangan tidak suka, pasalnya berbicara sambil makan itu tidak sopan dan merepotkan, itu ajaran Shikamaru. Hehafa? kembali beberapa butir nasi keluar dari mulut penuh Shin dan mengenai lengan Shiki. Yuki menegak makanannya dan meminum sedikit susu kotak yang dibeli oleh Shin. Menma-jichan mau menjemputku, dia mau membelikanku mainan yang ia janjikan padaku! Yuki menyengir kuda hingga matanya menyipit artinya dia sangat senang sekali. Sou ka, kemudian keheningan kembali, mereka bertiga mulai membereskan bento dan mengikatnya pada kain pembungkus bento dengan motif yang lucu-lucu. Ah, omong-omong kalau disuruh memilih kau akan memilih siapa? Maksudmu? Yuki memasukan bentonya ke dalam laci mejanya. Jika kau disuruh memilih antara Menma-jichan dengan Itachi-jichan sebagai Ayahmu, mana yang akan kau pilih? Tidak keduanya, aku Yuki cepat. Shin memicingkan matanya sebal karena tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Kenapa?

Entahlah, aku tidak ingin repot-repot mengurusi itu. Lagipula ada atau tidaknya seorang Ayah, aku, Ibu dan Aka-nii akan tetap bahagia. Ucap Yuki tegas. Kau mengharapkan Ayah kandungmu? Tanya Shiki spontan. Yuki menggeleng kembali. kemarin aku bertemu dengannya, Wow! Lalu? Tanya Shin antusias, ia menaruh susunya begitu semangat hingga sebagian isinya keluar. Jorok sekali, sih? Dari tadi makan kau tidak bersih! cerocos Shiki sebal, dia mengelap bekas kelakuan jorok kembarannya itu. Dan Shin hanya mengangguk patuh pada kakaknya itu. Tidak ada kejadian yang mengesankan. Aku pikir Ino-bachan dan Kaa-chan memang benar, Benar soal apa? Tanya si kembar bebarengan. Mereka benar soal wajahku mirip dengan Ayah. Huh, genetik Uchiha menakutkan sekali. Yuki bergidik sendiri, dia tandaskan susu cokelatnya hingga habis. Itachi-jichan juga mirip denganmu. Ternyata keluarga Uchiha itu emmapa namanya, ya, Shin melihat Shin seperti bertelekomunikasi. Genetik, ucap Shiki pelan. Ya-ya-ya, genetiknya! pekik Shin senang. Yuki terkekeh melihat keakraban yang terjalin aneh dengan si kembar. Omong-omong Uchiha, ada anak Uchiha yang baru masuk ke kelasku hari ini. Dia tidak mirip dengan Uchiha selain warna rambutnya, dia malah mengingatkanku dengan Menma-jichan. Hah? Ada Uchiha Natsu di kelasku, dia anak Ayahmu, Yuki. . . . Pagi ini Uchiha Sasuke sudah sibuk di kantor bahkan hingga jam makan siang hampir tiba dia masih ada beberapa pertemuan dengan klien penting. Klien ini memang tidak sembarangan orang. Sasuke sudah menunggu begitu lama bagaimana pentingnya menjalin hubungan dengan si klien ini yang sudah dinantikannya. Anak perusahaannya yang berada di Suna yang sudah dialihkan jabatannya dari tangan Itachi ke tangannya kini harus ia kembangkan. Kakaknya sudah mencoba untuk menjalin kontrak dengan Namikaze yang sudah terkenal di Suna dan kini Sasuke akan memperpanjang masa kontraknya saja.

Tapi, yang membuat Sasuke kesal dan sibuk pagi ini adalah permintaan si Namikaze ini. Dia tidak ingin pertemuan dilakukan setelah jam makan siang, dia ingin Sasuke sudah siap stand by saat pukul 8 pagi padahal Sasuke ingin sekali mengantar, anaknya Uchiha Natsu menuju sekolah barunya pada pukul 9. Tapi, sudah lebih dari dua setengah jam Sasuke sudah berada dalam kantornya, pihak Namikaze sama sekali belum menghubunginya. Apa dia dikerjai? Menurut kakaknya pihak Namikaze atau anak dari Namikaze Minatoyang menjabat sebagai presedir menggantikan Ayahnya yang vakum itu sangat suka seenaknya datang untuk sebuah pertemuan penting. Tiba-tiba saja pintu ruangan kerja Sasuke terjeblak sempurna mengagetkan Sasuke yang tengah berkonsentrasi mengerjai proyek lamanya yang akan digagalkan. Dua orang berpakaian jas abu-abu rapih masuk ke dalam ruang kerjanya disusul di belakangnya sekertaris Sasuke yang tampak kebingungan menghadapi dua orang yang seenaknya masuk saja. Maaf aku masuk seenaknya. Ucap pria dengan rambut spike hitam kebiruan acuh, ia langsung menduduki kursi di depan Sasuke. Aku tidak suka berbasa-basi, langsung saja keintinya, Tuan Uchiha. Senyumnya begitu sinis terlihat oleh Sasuke. Sasuke berjengit sebal. Wajah di depannya ini sangat ia kenali sekali. Begituah, salah sangat mirip dengan mendiang sahabatnya. Bahkan senyum simpul dengan ketiga garis mirip kumis kucing itu sangat mirip. Sasuke seperti sedang kembali ke masa lalu. Na Ruto? gagapnya tak percaya. Pria di depannya mendengus geli. Aku sudah bosan dengan nama itu. Sudah beberapa orang yang melihatku dan memanggilku seperti itu. Aku bukan Naruto, Tuan Uchiha. Sarkastiknya. Sasuke segera melabilkan emosinya kembali. Maaf, panggil saja aku Sasuke. Baiklah Sasuke, perkenalkan aku Namikaze Menma. Dulu aku sudah berkontrak dengan Itachi, dan sekarang apa yang kau mau? Sasuke meneliti Menma. Menma memang berbeda dengan Naruto yang secara terbuka langsung ketebak dia orang yang hangat dan menarik perhatian siapa saja untuk merasa aman dengannya. Tapi berbeda dengan Menma, setiap perkataannya seperti arogan. Ia terlalu sombong dan wajahnya penuh keangkuhan. Mirip sekali denganmu bukan, Sasuke? Aku ingin memperpanjang kontrak kerja sama kita, Dan segeralah dimulai pembicaraan-pembicaraan yang membosankan itu. Meski alot Sasuke tidak begitu emnyukai bagaimana keputusan akhirnya yang didapat dari persetujuan mereka. Menma memang seenaknya saja apalagi Sasuke cukup jengkel karena Menma menghentikan diskusi mereka hanya untuk alasan

Menjemput anak? Tanya Sasuke tak percaya. Menma mengangguk cepat. Menaruh jasnya yang segera ia berikan pada tangan kanannya yang sedari tadi hanya diam berdiri di sisi sang heires Namikaze itu. Ya, Menma membalikan badannya, sebelah tangannya terangkat tinggi. Aku tidak ingin dicap sebagai pria tidak bertanggung jawab. Anakku pasti sudah pulang sekolah di Suna shougakkou. Tunggu! Sasuke berhasil mencengkram pundak Menma yang tingginya sejajar dengannya. Aku juga ingin ke sana, bagaimana kalau kita membicarakan masalah tadi juga sembari berangkat ke sana? Menma menggulingkan matanya bosa. Padahal niatnya dia tidak ingin membicarakan masalah pekerjaannya kembali, tak bisakah Uchiha satu ini tidak santai seperti kakaknya? Rutuk Menma dalam hati. Terserah. Putus Menma cepat meninggalkan Sasuke di belakang. . . . Pria tinggi itu mendekat ke arah dojo yang ramai dengan sorakan-sorakan bocah-bocah kecil yang begitu semangat berlatih judo. Pria dengan rambut kelamnya yang panjang dan sembarang asal di kuncir itu tengah tersenyum senang melihat bocah berambut merah terang tengah bergelut dengan lawannya. Dengan bantingan telak lawannya kalah dalam sekejap. Keringat bercucuran dan menembus hingga pakaian latihannya basah. Uchiha Itachi melambai-lambaikan tangannya ketika bocah merah yang memenangkan pertandingan kecil itu melihat kepadanya. Berlari kecil, bocah itu begitu senang Itachi datang melihat di dojonya. Tumben, Itachi-jichan mampir. Ucapnya dengan napas tersenggal. Itachi yang sengaja membawa handuk bersih itu segera mengusapkan keringat Haruno Akashi anak angkat dari wanita yang dicintainya. Aku datang untuk menjemputmu. Oh, ya? gumam Akashi yang tengah terbuai oleh perlakuan manis Itachi. Akashi sangat menyukai Itachi karena mengingatkannya dengan sosok Ayahnya yang telah meninggal. Bagaimana dengan Yuki? Dia akan dijemput oleh Menma. Huh, kita seperti memiliki dua orang Ayah saja. Gerutu Akashi tapi tidak ada nada kesal di dalamnya justru dia geli sendiri. Itachi hanya tersenyum dan mensejajarkan tingginya dengan Akashi.

Kau anak yang baik, Akashi. Dengar, permainannya akan dimulai. Itachi menatap mata green sea Akashi dengan serius. Sejurus kemudian Akashi pun mengangguk sama seriusnya dengan Itachi. Aku mengerti. . . . Kau anak baru itu? Uchiha Natsu terkejut bukan main saat dipanggil dengan nada datar dari arah belakangnya. Ia tengah berjongkok di depan tempat sepatu saat pulang sekolah. Menoleh dengan takut, ia mendapati anak seumuran dengannya dengan wajah manis melihatnya datar. I-iya, takutnya. Yuki yang tak sengaja menegur Natsu segera melunakan wajahnya, senyuman manisnya berkembang bak malaikat. Perkenalkan aku teman si kembar Shiki, namaku Yuki. Kau sekelas dengan Shiki, kan? Yuki menjulurkan lengan kecilnya. Natsu ragu saat tangan itu mengulur padanya, tapi Yuki yang masih tersenyum padanya membuatnya merasa nyaman. I-iya. Perkenalkan aku Uchiha Natsu. Katanya dengan wajah memerah. Ya, salam kenal Natsuboleh aku panggil seperti itu? Natsu menganngguk cepat. Yuki duduk di samping Natsu. Sedang menunggu jemputan, ya? Uum, Ibuku akan menjemputku. Kalau Yuki sendiri? Sama. Keheningan melanda keduanya. Sesekali Natsu meliriknya takut-takut, dia seperti mengenali sosok Yuki. Apa mereka pernah bertemu sebelumnya, ya? Ano Apakah kau pemain musik yang jenius itu? Kau bermain dengan saudara kembar Nara bukan? Wajah Yuki merona malu. Ya-ya. Kami memang duo pianis dan aku memainkan biola sebenarnya. Sugooooooi! kedua mata sewarna langit itu berbinar ceria membuat Yuki keheranan sendiri. Mirip dengan Menma-jichan, gumam Yuki dalam hati ketika melihat rambut durian hitam legam Natsu dan juga bola matanya selangit musim panas. Kemarin lusa aku menonton pertunjukan kalian bersama nenek! Kalian bermain sangat keren sekali! Aku kagum dengan kalian! girangnya lalu menggenggam erat kedua tangan Yuki. Tolong ajarkan aku bermain musik! Aku ingin hebat seperti kalian!

Eh? Natsu-chan! panggil suara lembut dari luar yang tengah berlari menghampirinya. Ibuuuuuu!! lambai Natsu girang, dia berlari keluar menyambut Ibunya. Yuki masih saja diam di tempatnya duduk, dengan wajah datar dia memperhatikan Natsu tengah memeluk seorang wanita yang sebaya dengan Ibunya. Wajahnya cantik persis seperti di foto yang Sakura berikan kepadanya. Menghela napas pendek Yuki berdiri dari duduknya. Menepukkan bokongnya yang berdebu dan memasang wajah manis seperti yang ia lakukan seperti tadi. Ia memang mahir tersenyum. Konichiwa, oba-san. Sapa Yuki sopan, ia berojigi membuat Hinata gelagapan menghadapi Yuki yang sangat sopan padanya. Ko-konichiwa mo, balas Hinata, ia melirik pada putranya untuk mendapat penjelasan. Dia teman baruku, namanya Yuki! ucap Natsu di belakang tubuh Ibunya. Hinata mengamati anak ini dengan seksama, rasanya ia pernah melihatnya dan namanya taka sing. Sekilas bayangan saat di rumah sakit itu terlintas, Kamu kan, Sudah lama menunggu jagoan? Yuki memicing tidak suka dengan seringaian khas milik pria di depannya itu. Hinata tampak kaget sekali melihat kedatangan Menma dan juga suaminya yang berada di belakang Menma. Sasuke tampak kaget karena Menma mengatakannya pada Yuki, anak yang baru saja dikenalnya dan angat mirip dengannya itu ternyata adalah anak dari. Ayo, Ayah antar pulang, Yuki. . . . Tsudzuku . Arena Bacotan Ceria Haloooooooooo!

Terima kasih yang sudah membaca chapter kemarin temans! Maaf akhirnya jadi begini dan maaf aku ga bisa balas review kalian dulu. Soalnya aku sibuk mau ujian selama 3 minggu ke depan dan maaf sekali baru akan bisa diupdate 1 bulan lagi hehe Dan terima kasih atas teman fanficers atas partisipasinya yang udah mengikuti polling dan polling ulang IFA 2012!! Tanpa kalian IFA 2012 ga akan sukses lhoooo!! Banzaaaaaaiii!!! Dan sampai berjumpa lagi di chapter 5 yang mendebarkan!

Anda mungkin juga menyukai