Anda di halaman 1dari 2

Di awal tahun 2022 yang masih hangat ini ,aku ingin memberikan hadiah kecil untuk seseorang.

Mungkin tak seberapa, hanya beberapa baris kata. Namun semoga menyembuhkan rasa sesalnya tak
bisa mengajakku melihat kembang api di tahun baru, tahun yang membuat kami bertemu, 2021.
Akupun ingin mendeskripsikannya, yang ia kutemui dan mengubah caraku memandang dunia yang
tak sesempit bola mataku ini. Bagiku osok yang akhirnya memberi warna padaku yang kadang hanya
putih, hitam atau bahkan abu. Ia seseorang yang sangat sederhana, namun sampai kini tak
terdefinisi secara sempurna olehku, meski tak serumit itu dirinya.

Awalku bertemu dengannya, aku kesal. Aku sangat kesal dengannya. Mendengarkan jawabannya
kala wawancara, rasanya aku ingin membanting layar laptop ku dan meninggalkan pertemuan
malam itu. Rasanya, disana membuat aku merasa pengetahuanku ditelanjangi . Aku tak mengerti
apa - apa. Tapi memang itu yang aku inginkan. Namun entah mengapa, di kemudian hari ia adalah
seseorang yang menghadirkan seulas senyum yang ku elak begitu lama.

Di waktu selanjutnya, mungkin sesuai rencana semesta , kami bertemu lagi dalam suatu
perkemahan. Mungkin, kisah kami sebatas patok tenda? Ternyata tidak. Alasan kami ada disana pun
sama. Bahkan orang - orang mengolok kami berdua, karena alasan itu. Menyenangkan rasanya malu
- malu pipiku merah karena digoda. Diamnya kala itu, membuatku ingin menyelaminya lebih lama.

Ternyata, setelah perjalanan rumit dan hanya sebatas pandangan mata, aku menemukan alasan
mengapa aku begitu tertarik padanya. Hari itu kami memutuskan bertemu. Setelah dua atau tiga
pertemuan yang secara tidak sengaja membuat kami ada dalam satu atmosfer yang sama. Aku mulai
menerima ia tak semenyebalkan itu hingga membuatku ingin mendaratkan sepatu dikepalanya yang
besar itu. Pertama, karena menurutku ia selalu memiliki cara yang tak biasa. Entah dalam
memperlakukan aku, atau memang isi kepalanya. Jujur awalnya aku cukup terkesan dengan respon
alami tubuhku yang nyaman dengannya bahkan setelah duduk berdua lima jam di salah satu cafe
dekat kampus sahabatku di Jogja. Ah, ternyata dia sangat menyenangkan. Tak sedingin hujan
gerimis sore itu. Harus ku akui, bagian ini paling sulit aku mengerti bahwa mengenalnya akan
semeyenangkan ini.

Yang kedua, ternyata orangnya sangat tenang dalam keaadaan sulit, membuat siapapun yang
bersamanya akan merasa bahwa ia akan baik – baik saja.

Katanya , puncak sosok milik kami berdua. Katanya, warung kopi milik kami berdua.

Aku melihatnya berkaca kaca, Karena satu puisi yang aku baca.

Kami memutuskan memilih menjalaninya apa Adanya.

Melihat senja, aku mendengar keseriusannya. Mau menemui mama.Mungkin, cerita ini akan aku
lanjutkan dengan pertemuan kami pada hari itu. Aku mulai memahami jika ia memang sosok
sederhana yang tidak ingin aku lewatkan kehadirannya. Sosoknya menarik, tanpa dia harus
membuat hatiku tergelitik. Ia tak perlu berkata – kata untuk terlihat sempurna.

Ah, sebentar. Izinkan aku mengingatnya.


Mungkin benar bahwa tidak semua orang bisa menangkap indahnya senja, atau betapa
bermaknanya percakapan dua manusia yang berbeda isi kepala. Aku tidak ingin berlelah – Lelah
berjuang meskipun rinduku butuh pulang.

Pesan yang aku ingat darinya bahwa setiap orang bisa berubah dan pikiran bisa berubah, ya benar.
Tapi aku tidak ingin berlama – lama pada sesuatu yang abu. Aku tidak siap berkawan dengan
perasaan kecewa lagi.

Sore itu, ia berpesan aku harus melanjutkan mimpi – mimpi besarku. Aku terlalu banyak bermimpi.
Termasuk berharap bahwa ia akan tetap menemani segala prosesnya. Ia bilang aku tidak boleh
kehilangan harapan, namun bagiku aku telah kehilangan. Aku kehilangan sesuatu yang hanya di
titipkan untukku.

Aku bukan menyerah, aku hanya melepaskan hal yang sedari awal terasa tidak mungkin aku gapai.
Jadi, seperti perjalanku sebelumnya, aku akan melepaskan harapan itu, dan menunggu semesta
memberinya atau menggantinya dengan sesuatu yang jauh lebih baik. Namun akujuga mengakui
bahwa Jogja membuatku mengingatnya. Ia adalah orang yang aku inginkan bukan orang yang aku
miliki, itu hal yang aku sadari.

Aku menuliskan ini untuk mengingatkan aku bahwa mimpi – mimpiku suatu saat perlu disirami. Dan
meskipun kisahnya sudah berbeda, ia akan hidup sebagai kata – kata. Ia akan hadir sebagai
penghibur. Menyeka airmata yang mungkin jatuh saat menuliskan ataupun membacanya suatu
ketika rindu terasa mencekik. Bahwa kadang cinta juga tak bisa selaras dengan cita. Aku sudah
menepati janjiku.

Suatu ketika, akan dating segala jawaban dari pertanyaan yang tidak terburu – buru, rasa yang hanya
akan menjadi cerita pada akhirnya.

Anda mungkin juga menyukai