Anda di halaman 1dari 25

Junianto, Konsep Mancapat-Mancalima dalam Struktur Kota Kerajaan Mataram Islam 107

KONSEP MANCAPAT-MANCALIMA DALAM STRUKTUR KOTA


KERAJAAN MATARAM ISLAM
Periode Kerajaan Pajang Sampai Dengan Surakarta

Junianto
Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Merdeka Malang
junianto@unmer.ac.id

ABSTRAK

Unsur-unsur kota tradisional di Jawa pada masa kerajaan Mataram Islam, antara lain berupa Keraton, Alun-alun, Masjid,
Pasar dan sejumlah permukiman Abdi-dalem. Susunan unsur-unsur kota tersebut, didasari keyakinan kosmologi Jawa
yang bersumber dari kepercayaan Hindu-Budha. Kerajaan Mataram Islam bermula di Pajang dan berakhir di Surakarta
dan Yogyakarta. Perpindahan kota kerajaan Mataram Islam mulai dari Pajang, Kotagede, Plered, Kartasura, hingga
Surakarta, menunjukkan gejala pergeserah struktur kotanya. Kajian ini bertujuan mengidentifikasi pergeseran atau
perubahan struktur kota kerajaan Mataram Islam, dalam implementasi konsep mancapat-mancalima. Gambaran struktur
kota kerajaan Mataram islam, dilakukan dengan metode deskriptif-ideographik, melalui analisis dokumen peta atau denah
dan keterangan sejarah. Penggunaan metode ini, dimaksudkan untuk menggambarkan makna struktur atau susunan
unsur-unsur kota kerajaan Mataram Islam, yang menjadi struktur kota awal. Identifikasi konsep mancapat-mancalima
yang menjadi ciri kota Jawa, cukup signifikan sebagai struktur kota awal dalam menelusur perkembangan kota sekarang.

Kata Kunci: konsep struktur kota tradisional, mancapat, kota surakarta

ABSTRACT
The elements of a traditional city in Java during the Islamic Mataram kingdom, including the Palace, Alun-alun, Mosque,
Market and a number of Abdi-dalem settlements. The composition of the elements of the city, is based on Javanese
cosmological beliefs originating from Hindu-Buddhist beliefs. The Islamic Mataram Kingdom began in Pajang and ended
in Surakarta and Yogyakarta. The movement of the Islamic Mataram royal city starting from Pajang, Kotagede, Plered,
Kartasura, to Surakarta, showed symptoms of a shift in the structure of the city. This study aims to identify shifts or changes
in the structure of the Islamic Mataram royal city, in the implementation of the mancapat-mancalima concept. The
description of the structure of the Islamic city of Mataram, carried out with a descriptive-ideographic method, through
analysis of map documents or floor plans and historical information. The use of this method, is intended to illustrate the
108 MINTAKAT Jurnal Arsitektur, Volume 20 Nomor 2, September 2019, 107-131, p-ISSN 1411-7193|e-ISSN 2654-4059

meaning of the structure or arrangement of elements of the Islamic Mataram royal city, which became the initial city
structure. The identification of the mancapat-mancalima concept that characterizes the city of Java is quite significant as
the initial city structure in tracking the city's current development.

Keywords: traditional city structure concept, mancapat, Surakarta city

PENDAHULUAN
Kerajaan Mataram Islam, berdiri setelah kerajaan bentuk’ yang sangat kuat terhadap pola struktur
Demak berakhir. Pusat kerajaan tersebut berawal di kota. Penelusuran struktur kota awal (tradisional)
Pajang, yang berada di wilayah sebelah barat Kota bertujuan mendapatkan identitas “kota Jawa” dan
Surakarta. Seiring pergantian penguasa, pusat unsur-unsurnya, yang signifikan berpengaruh dalam
kerajaan berpindah-pindah, mulai dari Pajang, pola transformasinya.
Kotagede, Plered, Kartasura, hingga berpindah di
Pemahaman masyarakat tentang “kota”, berbeda
Surakarta. Jejak perpindahan pusat kerajaan
antara yang satu dengan lainnya, juga dari kurun
Mataram Islam tersebut, menunjukkan unsur-unsur
waktu satu dengan lainnya. Dalam masyarakat Jawa
kota yang sama, berupa Keraton, Alun-alun, Masjid,
tradisional misalnya, pemahaman ‘kota’
Pasar, rumah-rumah bangsawan dan permukikan
diabstraksikan dengan sebutan kutha, yakni suatu
abdi-dalem.
lingkungan berpagar bata atau tembok. Lingkungan
Sistem kekuasaan raja di Jawa, memiliki bentuk yang di dalam tembok tersebut, merupakan tempat tinggal
bercorak sakral, dalam konsepsi wahyu atau dikenal pimpinan ‘negara’ atau wilayah, para pejabat, serta
dengan “Dewa – Raja” (Santoso, 1984). Berlatar para abdi (pegawai). Pemahaman kutha tersebut,
legitimasi sakral tersebut, konsepsi kota-kota yang kemudian mengalami perubahan, seiring munculnya
tumbuh dari sebuah pusat kerajaan, niscaya simbol-simbol pengganti unsur-unsur fisik.
berlandaskan konsepsi religius-budaya. Keraton dan Pengertian kutha, selanjutnya diartikan sebagai
raja dalam hal pranata kehidupan masyarakatnya, papan padunungan atau tempat pimpinan ‘negara’
berperan menjadi pusat kebudayaan. Kekuasaan raja atau wilayah, tanpa harus dibatasi tembok.
bersifat mutlak dan tidak mengenal institusi hukum Penggambaran kota, juga bisa dilihat secara
yang independen. Seiring berjalannya pemerintahan morfologis. Morfologi kota merupakan pendekatan
Keraton dan kehidupan masyarakat kota dengan secara fisik, dengan mengkaitkan latar sejarah
puncak kekuasaan raja, terbangunlah pola struktur pembentukan unsur-unsur kota tersebut. Sebagai
kota, yang berciri khas unik (Junianto, 2017:27). artefak, kota memiliki bentuk fisik yang berlatar
Sistem kekuasaan raja tersebut, mempunyai ‘daya ungkapan peradaban-kebudayaan masyarakat
Junianto, Konsep Mancapat-Mancalima dalam Struktur Kota Kerajaan Mataram Islam 109

penghuninya. Dari jejak pusat-pusat kerajaan Jawa, tidak bisa lepas dengan pusat-pusat kerajaan
Mataram Islam, kota Surakarta berbeda jaman Mataram Islam lainnya. Namun demikian, pusat-
dengan sebelumnya. Pajang, Kotagede, Plered dan pusat kerajaan Mataram Islam pra-kolonial,
Kartasura, merupakan kota-kota kerajaan Mataram sebenarnya lebih besar dilatarbelakangi oleh
Islam pra-kolonial. Kota Surakarta berdiri pada masa kebudayaan pra-Islam.
kolonial Hindia Belanda, tumbuh berkembang
Pusat-pusat kerajaan Mataram Islam yang menjadi
dalam kolase aneka budaya, sangat menarik untuk
fokus penelitian ini, berawal dari perpindahan
dikaji perbandingan struktur kotanya dengan Pajang,
Keraton Pajang ke Kotagede, sekitar tahun 1587.
Kotagede, Plered maupun Kartasura.
Kota-kota bekas pusat kerajaan tersebut, secara
Perkembangan kota Surakarta, niscaya berbeda
keseluruhan mempunyai ciri yang sama sebagai kota
dengan pusat kerajaan Mataram Islam lainnya.
kerajaan Islam. Ciri yang umum adalah adanya Alun-
Penelitian kota-kota bersejarah, seperti halnya jejak alun dengan Masjid di sebelah baratnya, serta
pusat kerajaan Mataram Islam, perlu dilakukan, Keraton. Walaupun mengikuti pola kota kerajaan
mengingat peran kerajaan tersebut dalam budaya Mataram Islam secara umum, namun pada
Jawa dan pranata kehidupan tradisional. Hal tersebut kenyataan terdapat perbedaan satu dengan lainnya.
juga karena perkembangan kota semakin pesat, Perbedaan tersebut terjadi dan dilatarbelakangi oleh
khususnya di kota Surakarta dan Kotagede. struktur sosial masyarakatnya yang berbeda. Pada
Perkembangan kota sebuah keniscayaan, sebagai kasus kota Surakarta, telah banyak pengaruh dari
upaya pemenuhan penciptaan ruang kehidupan yang fasilitas pemerintah Hindia Belanda. Pengaruh
lebih baik. Disisi lain, pemahaman sejarah awal budaya pra-Islam di Kotagede, juga menunjukkan
pembentukan kota sangatlah penting, sebagai titik pola bentuk struktur kota yang berbeda dengan kota
tolak perencanaan masa datang. lainnya. Rapoport (dalam Catanese, 1986)
merumuskan kesimpulan umum, bahwa kota selalu
Kerajaan Mataram Islam merupakan jejak yang
mempunyai struktur dan bentuk. Perbedaan satu
sangat penting di Jawa, mengingat semasa
dengan lainnya, hanyalah pada sifat penataan, hirarki
kejayaannya pernah menguasai sebagian besar
dan morfologinya.
wilayah Indonesia saat ini, Selain itu, kurun waktu
pemerintahan yang sangat lama, menanamkan Implementasi konsep mancapat-mancalima dalam
budaya yang cukup kuat. Surakarta merupakan salah struktur kota kerajaan Mataram Islam, terpancang
satu kota kerajaan Mataram Islam, yang tumbuh pada sejarahnya dan dalam latar budayanya
berkembang bersamaan dengan kolonial Hindia (Murtiyoso, 1993). Kajian terhadap implementasi
Belanda. Penelusuran konsep kosmologi mancapat- konsep ini dan maknanya, sangat penting bagi upaya
mancalima di kota Surakarta, yang berlatar spiritual pemahaman karakter kota-kota bersejarah tersebut.
110 MINTAKAT Jurnal Arsitektur, Volume 20 Nomor 2, September 2019, 107-131, p-ISSN 1411-7193|e-ISSN 2654-4059

Dengan mengetahui struktur kota awal terbentuknya tersebut membentuk suatu lingkaran, sekaligus
suatu kota, akan menentukan arah perkembangan menjadi ciri kota Surakarta.
kota tersebut kemudian hari. Kolase unsur-unsur
Kosmologi keraton Surakarta, secara imajiner
kota dalam strukturnya, dapat dibaca sebagai latar
berupa lingkaran-lingkaran, dengan pusatnya adalah
budaya dan dalam konteks unsur-unsur kota
keraton (Behrend, 1982). Lingkaran-lingkaran
tersebut. Berdasarkan hal tersebut, terdapat
tersebut secara konsentrik menunjukkan tingkatan
permasalahan yang menarik untuk dikaji, yaitu :
area yang hirarkis. Keraton dianggap sebagai pusat
pertama, struktur kota kerajaan Mataram Islam,
‘dunia’ atau makrokosmos. Bangsal Prabayasa
tersusun dari unsur-unsur apa saja (?); kedua, apa
sebagai tempat kedudukan raja, berbentuk bangunan
makna konsep mancapat-mancalima dalam struktur
Joglo, melambangkan Meru, dan raja dianggap
kota tersebut (?).
sebagai titisan dewa berperan menjaga
KOTA KERAJAAN MATARAM ISLAM keseimbangan alam. Konsep tersebut sejaran
Fenomena sebuah kota, terlebih berlatar sejarah dengan kajian Santoso (1984) perihal tata ruang
kerajaan besar, merupakan hal yang komplek dan ‘negara’ Mataram Islam. Ruang kota Surakarta
memerlukan kajian dari bebagai disiplin ilmu. Dalam berdasar konsep kosmologi, terbagi menjadi dua
kajian sejarah, Suratman (1989) meneliti kehidupan kutub yang bersifat sakral dan profan (Santoso,
dunia keraton Surakarta antara tahun 1830-1939. 1984). Daerah di sebelah utara alun-alun Utara
Penelitian disertasi tersebut, mengungkap gambaran dianggap bersifat profan, sedangkan daerah di
kehidupan orang-orang di dalam keraton dan juga sebelah selatan alun-alun Utara bersifat sakral.
masyarakat Surakarta yang terkait dalam sistem
Konsep mancapat-mancalima dalam struktur kota
kehidupan kehidupan keraton tersebut. Dalam
kerajaan Mataram Islam pada kajian ini, merupakan
kajian ini, dipaparkan berbagai aspek kehidupan,
content analysis terhadap makna struktur kota awal
meliputi aspek sosial, ekonomi, politik, kultural dan
yang berlatar magis sakral. Unsur-unsur kota yang
juga unsur-unsur kotanya. Pola komunitas keraton,
tersusun berdasar konsep kosmologi, menunjukkan
terjadi struktur yang menyangkut berbagai dimensi.
penggambaran budaya yang bernilai historis tinggi.
Dalam bidang Arkeologi, Sumarlina (1993) meneliti Kajian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran
pola tata kota Surakarta, pada awal berdiri dan makna konsep mancapat-mancalima dalam struktur
perkembangannya. Dalam kajian tersebut, kota kerajaan Mataram Islam, sekaligus menjadi ciri
digambarkan bahwa pola tata kota Surakarta khasnya. Penelitian yang mendasari kajian ini,
direncanakan berdasarkan konsep kosmologi. bersifat mendeskripsikan latar belakang budaya
Keraton sebagai pusat, dikelilingi oleh permukiman terjadinya tata fisik struktur kota bekas pusat
yang menyebar ke arah empat mata-angin. Pola kerajaan Mataram Islam. Mendeskripsikan atau
Junianto, Konsep Mancapat-Mancalima dalam Struktur Kota Kerajaan Mataram Islam 111

menggambarkan, merupakan keinginan untuk Daerah lingkaran kedua ini, sering disebut ‘negara’,
melihat fenomena pada keseluruhan latar yang sebagai tempat bermukim kaum bangsawan, pejabat
menjadi kasus penelitian (Muhadjir, 1990:138). tinggi keraton, Masjid, Alun-alun, serta bangunan-
bangunan penting lainnya. Lingkaran ketiga, disebut
Penataan ruang pada masa kerajaan Mataram Islam,
negara agung (tanah suci). Wilayah negara agung dibagi
mengenal suatu hubungan yang mempunyai struktur
menjadi sejumlah tanah gadhuh yang berstatus hak
tertentu antara negara agung (pusat) dan
guna pakai. Lingkaran ke-empat dalam sistem hirarki
mancanegara. Penerapan secara ketat perihal
tata ruang negara Mataram, disebut daerah
penataan tersebut, terjadi pada masa abad ke-16
mancanegara. Wilayah mancanegara ini, dipimpin oleh
hingga abad ke-18 (Santoso, 1984). Tata ruang
beberapa orang bupati yang merupakan bawahan
‘negara’ Jawa masa kerajaan Mataram Islam, terbagi
langsung dari Patih Dalem (Santoso, 1984).
dalam sistem lingkaran, dengan empat radius
berbeda secara hirarkis (Soemardjan, 1991). Raja Pengertian “lingkaran pusat” dalam hirarki tata
berkedudukan sebagai pusat sistem, secara simbolik ruang kerajaan Mataram tersebut, lebih bersifat
sebagai satu-satunya segala kekuasaan dan ruang kosmis yang abstrak. Semua kekuatan magis
kewibawaan. Raja dianggap memiliki segala dan kosmis, dilambangkan dalam bentuk pusaka
sesuatunya di dalam ‘negara’. Kehormatan dan kerajaan. Pusat kosmis, dengan demikian memiliki
kedudukan, keadilan dan wibawa, kebijaksanaan dan arti kekuatan magis (pusaka) tersebut. Lingkaran
kesejahteraan, kesemuanya menjelma dalam diri pusat, berupa ‘Dalem’ (Keraton) diartikan sebagai
sang raja. tempat pusaka, bukan sekedar tempat tinggal raja.
Pemisahan keruangan antara Dalem Keraton dengan
Secara keruangan, raja identik dengan Keraton, yang
bagian-bagian lainnya di dalam negara, didasari oleh
secara kosmologis merupakan lingkaran pusat bagi
sifat kesakralan tersebut. Berdasar konsep demikian,
‘negara’. Dalam lingkaran pusat tersebut, menjadi
kedudukan Keraton, Alun-alun dan Masjid,
tempat tinggal raja bersama keluarganya. Keraton
merupakan bagian yang sakral dari wilayah negara.
selain berfungsi sebagai tempat tinggal raja. Juga
Dalam wilayah negara, pada bagian lainnya bersifat
sebagai tempat kedudukan administrasi dalam
profan duniawi. Dalam wilayah profan ini, terdapat
(parentah jero). Administrasi dalam merupakan
antara lain Kepatihan, pasar, permukiman abdi-dalem
lembaga pengatur lingkungan di dalam benteng
termasuk prajurit, serta permukiman penduduk.
Keraton dan juga sekaligus menjadi penghubung
antara raja dengan administrasi luar atau parentah jaba Penataan ruang ‘negara’ Mataram Islam, dapat
(Junianto, 2016). dianggap sebagai dua sistem hirarkis yang tumpang
tindih (superimposed). Sistem lingkaran yang pertama,
Dalam struktur tata ruang ‘negara’ Mataram Islam,
terdiri dari tiga garis imajiner keruangan yang
sebagai ibukota berada di lingkaran (imajiner) kedua.
112 MINTAKAT Jurnal Arsitektur, Volume 20 Nomor 2, September 2019, 107-131, p-ISSN 1411-7193|e-ISSN 2654-4059

dianggap sakral, yaitu lingkaran batas Dalem, KEHIDUPAN DAN SIMBOLISME


lingkaran batas komplek Keraton dan batas negara MASYARAKAT JAWA
agung. Sistem lingkaran kedua, juga terdiri dari tiga Pada masa kerajaan Mataram islam, masyarakatnya
garis imajiner keruangan, bersifat profan duniawi. kental dengan latar budaya Jawa, yang merupakan
Lingkaran profan ini, meliputi lingkaran batas kulturasi sejak lama, sebelum kerajaan Islam.
komplek Keraton (parentah jero), lingkaran batas Masyarakat Jawa beranggapan bahwa kehidupan di
‘negara’ (pusat birokrasi kerajaan) dan lingkaran batas dunia merupakan bagian dari kesatuan eksistensi,
mancanegara. Superposisi dari kedua sistem lingkaran yang mencakup segalanya. Dalam kesatuan tersebut,
tersebut, melambangkan azas penataan ruang negara semua gejala mempunyai tempat dan berada dalam
Mataram Islam (Santoso, 1984). hubungan yang saling melengkapi dan terkoordinasi
satu sama lain (Mulder, 1985:19). Keyakinan
masyarakat Jawa ini, menjadi konsep dasar dalam
upaya masyarakat menuju keselarasan tatanan.
Keselarasan tersebut, tidak hanya manusia
(mikrokosmos) dengan makrokosmos, tetapi juga
keselarasan di dalam diri manusia itu sendiri.
Kegiatan manusia, diutamakan untuk
mempertahankan keselarasan ini di dalam
lingkungan hidupnya. Gangguan terhadap
mikrokosmos dan makrokosmos, dianggap juga
sebagai gangguan atas alam semesta.
Dalam ajaran-ajaran Jawa, dikenal penuh dengan
simbolisme, yang memacu angan dan renungan.
Ajaran tersebut, juga terkandung dalam mitologi
wayang purwa, yang diilhami oleh Mahabarata.
Kehidupan di dunia dianggap hanya merupakan
pencerminan semata. Kehidupan harafiah, diyakini
sebagai suatu bayangan dari kebenaran dan kejadian-
Gambar 1 : Lingkaran Tata Ruang Negara Mataram kejadian yang lebih tinggi. Dalam konsepsi tatanan
Sumber : Santoso, 1984 kehidupan di ’dunia’ tersebut, berkaitan dengan
tatanan kehidupan negara (Mangunwijaya,
1988:129).
Junianto, Konsep Mancapat-Mancalima dalam Struktur Kota Kerajaan Mataram Islam 113

Negara dalam pandangan masyarakat Jawa pada mengenal sistem klasifikasi simbolik. Sistem-sistem
masa kerajaan, dapat berarti Keraton. Negara klasik tersebut, adalah seperti dikenal dengan klasifikasi
semacam ini, menurut Gesick (1989), tidak simbolik berkategori dua, tiga, empat, lima, tujuh
diperintah atau diatur dengan sangat sistematik. dan sembilan. Sistem klasifikasi simbolik dalam
Masyarakat hidup dalam kekuatan alam simbolik, kehidupan masyarakat Jawa, dapat ditelusuri
demi menjaga keutuhan tatan negara. Tatanan berdasarkan pada sistem kategori dua, tiga, lima dan
kehidupan masyarakat tradisional Jawa, juga sembilan (Ronald, 1988 : 65). Disisi lain, manusia
dipengaruhi oleh sistem religi yang bersumber dari Jawa mengenal juga sistem klasifikasi simbolik yang
Keraton. Pandangan masyarakat Jawa terhadap berdasarkan pada kategori empat, enam dan delapan.
masalah-masalah dasar dalam hidupnya, senantiasa
Sistem klasifikasi simbolik berkategori dua, dalam
dikaitkan dengan sistem religiusnya. Masyarakat
pandangan manusia Jawa, menggambarkan adanya
Jawa, sebelum masuknya Hindu dan Budha, telah
hal-hal berlawanan. Sifat-sifat berlawanan dapat
meyakini adanya kekuasaan di luar matra dirinya.
berupa antara lain baik-buruk, keras-lemah, positip-
Keyakinan ini seringkali dinamakan Agama asli yang
negatip, dan sebagainya. Sistem simbolik berkategori
bersifat animisme. Segala keberhasilan dan
dua ini, seringkali digunakan dalam perwujudan
kegagalan dalam hidup, diyakini sebagai karunia atau
bangunan. Sistem klasifikasi simbolik berkategori
kemurkaan dari kekuasaan tersebut.
tiga merupakan pengembangan kategori dua. Sifat-
Kekuasaan tersebut, seringkali dilaitkan dengan sifat berlawanan yang terdapat dalam kategori dua,
kekuasaan alam. Dengan alasan ini, masyarakat Jawa dikembangkan dengan penambahan di pusatnya.
beranggapan bahwa manusia hidup harus berusaha Keberadaan pusat tersebut dimaksudkan sebagai
untuk membina hubungan harmonis dengan alam penetral terhadap sifat berlawanan, agar tercapai
(Koentjaraningrat, 1992). Dalam menjalani hidup keseimbangan.
dengan keyakinan tersebut, masyarakat Jawa
114 MINTAKAT Jurnal Arsitektur, Volume 20 Nomor 2, September 2019, 107-131, p-ISSN 1411-7193|e-ISSN 2654-4059

Gambar 2. : Sistem Klasifikasi Simbolik Tradisional Jawa.


Sumber : Tanudjaya, 1991: 40.

Sistem klasifikasi simbolik berkategori empat, Sistem klasifikasi simbolik berkategori enam berasal
menunjuk kepada arah mata angin. Dalam dari kepercayaan Islam. Hal ini menyangkut enam
masyarakat Jawa, sistem simbolik ini sering dasar kepercayaan, yakni kepercayaan terhadap
dipadukan dengan sistem simbolik berkategori lima, Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari kiyamat, dan
dikenal dengan nama mancapat dan mancalima. Sistem Takdir. Klasifikasi simbolik berkategori enam ini,
klasifikasi simbolik ini dikembangkan dari tidak banyak dipergunakan oleh masyarakat Jawa
pandangan manusia Jawa akan kosmos. Keempat tradisional umumnya. Sistem klasifikasi simbolik
penjuru mata angin, diyakini sebagai tempat berkategori tujuh, berkaitan dengan sistem simbolik
bertahtanya para dewa. Sistem klasifikasi simbolik berkategori enam, dengan tambahan satu unsur
berkategori lima, mengandung arti kemantapan dan sebagai pusatnya.
keselarasan dunia. Klasifikasi simbolik berkategori
Sistem klasifikasi simbolik berkategori delapan,
lima ini, dalam masyarakat Jawa dikenal sebagai
merupakan pengembangan kategori empat. Sistem
konsep mancalima. Mancalima merupakan
ini dikembangkan dari konsep empat mata-angin,
pengembangan sistem klasifikasi simbolik
dengan penambahan kombinasi arah antaranya.
berkategori empat, dengan penambahan satu titik
Sistem seperti ini, banyak ditemukan pada
pusat (Tjahjono, 1988 : 40).
masyarakat Jawa, yang dipengaruhi oleh kepercayaan
Hindu-Budha, serta budaya Cina. Ajaran Hindu
Junianto, Konsep Mancapat-Mancalima dalam Struktur Kota Kerajaan Mataram Islam 115

mengenal pola Mandala, yang terdiri atas delapan tempat tinggal Raja. Raja dengan Keraton-nya,
kali delapan divisi. Budaya Cina mengenal delapan secara simbolis dianggap sebagai tempat
penjuru mata angin. Sistem klasifikasi simbolik mengikatkan diri. Masyarakat Jawa tradisional,
berkategori sembilan, dikembangkan dari konsep merasa tidak mempunyai eksistensi diri, jika tidak
empat mata angin. Dari konsep empat mata angin, mengikatkan diri dengan kerajaan. Kerajaan dalam
berkembang dengan penambahan kombinasi arah ikatan demikian, sering disebut sebagai pusat
antaranya, serta penambahan satu unsur sebagai kebudayaan.
pusatnya. Konsep ini dipakai juga dalam masyarakat
Bentuk pengikatan diri masyarakat Jawa tersebut,
tradisional Bali. Masyarakat Jawa, banyak
adalah dengan mengikuti segala sesuatu yang dianut,
mempergunakan konsep simbolik berkategori
dilakukan, dan menjadi tata hidup serta tata nilai, di
sembilan ini, sebagai simbolisasi konsep wali sanga.
lingkungan kerajaan. Sebagai contoh adalah bahasa,
PROSES PEMBENTUKAN UNSUR-UNSUR tata cara adat memperingati kelahiran, perkawinan
KOTA KLASIK JAWA serta kematian, pakaian, dan bahkan membangun
Kota-kota pada masa kerajaan, yang menjadi pusat- rumah tinggal. Dengan berlatar belakang keyakinan
pusat kerajaan Mataram Islam, pada umumnya tersebut, terjadi “permukiman” Jawa yang memiliki
mempunyai sifat a-historis. Bentuk inti kota pusat secara imajiner (Junianto, 2016). Sebagai
semacam ini, tidak terdiri atas sejumlah rumah atau pusatnya adalah raja, atau manifestasi simbolik dari
kelompok rumah yang terkonsentrasi pada suatu raja.
tempat. Kota juga bukan sekedar terdiri atas rumah
Dalam implementasi tata permukiman masyarakat
dan gedung-gedung, jalan dan taman yang terencana
Jawa, dikenal hirarki ruang. Tempat tinggal
dalam kaidah seni bangunan. Sebuah kota klasik
seseorang yang menjadi menifestasi dari raja,
Jawa pada masa kerajaan Mataram Islam, tersusun
menjadi pusat kesatuan permukiman, berstatus
atas bangunan dan taman yang diatur berlandaskan
paling tinggi. Ruang-ruang lainnya, membentuk
adat-istiadat yang bersumber dari Keraton (Santoso,
lingkaran-lingkaran imajiner, secara berhirarkis
1984).
berstatus semakin rendah. Sistem tata nilai tersebut,
dalam permukiman Jawa, kemudian dikenal bentuk
Dalam masyarakat Jawa tradisional, masih meyakini
Magersari, yang secara harafiah berarti mengindung
adanya kekuatan “pusat” berupa Keraton, yakni
kepada “sesembahan” (Junianto, 2016)..
116 MINTAKAT Jurnal Arsitektur, Volume 20 Nomor 2, September 2019, 107-131, p-ISSN 1411-7193|e-ISSN 2654-4059

Gambar 3. : Pola hunian Magersari pada Rumah Tinggal Bupati


Pada masa Pemerintahan Kerajaan Mataram Islam.
Sumber : Kartodirdjo, 1993

METODE PENELITIAN ideographik, bertujuan menggambarkan makna


Kajian ini bersifat kualitatif, berdasarkan penelitian susunan unsur-unsur (struktur) kota yang dijadikan
dengan menggunakan metode deskriptif- latar penelitian, yakni jejak kota kerajaan Mataram
ideographik. Penggunaan metode deskriptif- Islam. Data-data akan dikumpulkan melalui
Junianto, Konsep Mancapat-Mancalima dalam Struktur Kota Kerajaan Mataram Islam 117

berbagai sumber data, untuk kemudian dirumuskan HASIL DAN PEMBAHASAN


deskipsi dan selanjutnya disusun suatu eksplanasi.
Peradaban Islam-Jawa yang dikembangkan oleh para
Penelitian ini dimulai dengan melihat keseluruhan ‘wali’, dalam banyak hal merupakan kelanjutan dan
‘latar’ yang ada, sebagai kajian historis. Setelah pembaruan Hindu-Jawa kuno. Hal tersebut terbukti
melalui kajian historis, ditemukan unsur-unsur dari kisah kehidupan dan perekonomian rakyat Jawa
pembentu struktur kota yang menggambarkan ciri di daerah pedesaan pada awal jaman Islam, sekitar
kerajaan Mataram Islam. Untuk mendapatkan abad ke-16, yang ditemukan di dalam kisah orang-
makna dari konsep mancapat-mancalima dalam orang saleh (Graaf, 1989). Dalam keterangan kisah-
struktur kota kerajaan Mataram Islam, ditelusur dari kisah tersebut, berkaitan pula dengan keberadaan
masing-masing tempat, mulai Pajang, Kotagede, para pedagang Cina, yang pada umumnya
hingga Surakarta. mempunyai hubungan akrab dengan keraton-
keraton pribumi. Dalam perekonomian rakyat dan
Proses pembahasan dilakukan melalui dua tahapan
pergaulan masyarakat desa, para Cina-Indo waktu
berbeda, namun secara komprehensif. Dalam rangka
itu, seperti juga kemudian hari, mempunyai
menelusuri susunan (struktur) unsur-unsur fisik
kedudukan tersendiri.
pembentuk kota pada masa kerajaan Mataram Islam
di Jawa, dilakukan dengan menganalisis data dan Golongan masyarakat menengah beragam Islam,
keterangan sejarah. Data-data tersebut, berupa menempati kedudukan penting dalam struktur
dokumen peta, denah, toponim dan peninggalan masyarakat pada masa kerajaan. Mereka berbeda
fisik seperti ruang terbuka, bangunan, jalan, sungai, dari golongan Keraton disatu pihak, dan berbeda
serta tanda-tanda lainnya. Keterangan sejarah adalah dari golongan tani di pihak lain (Soeratman, 1989).
gambaran kehidupan masyarakat dan penguasanya, Golongan menengah Islam, cukup beralasan untuk
pada jaman kerajaan Mataram Islam tersebut. dianggap banyak berperan dalam pembaruan
Keterangan sejarah dipergunakan untuk peradaban Jawa, di wilayah perdagangan dan di
memberikan makna terhadap implementasi konsep lingkungan spiritual luar Keraton. Pada masa itu,
mancapat-mancalima dalam struktur kota kerajaan sekitar abad ke-16, perekonomian dan pergaulan
Mataram Islam. Untuk mengkaji konsep mancapat- rakyat di luar Keraton terpengaruh oleh agama Islam
mancalima dalam struktur kota peninggalan kerajaan yang cenderung egaliter. Hal demikian berbeda
Mataram Islam tersebut, dilakukan dengan dengan masyarakat pra-Islam di Jawa yang berkasta
gambaran lima kasus. Kelima kasus tersebut, yakni sakral dan berjiwa ningrat.
Pajang, Kotagede, Plered, Kartasura dan Surakarta,
Pada awal abad ke-16, ibukota keraton Majapahit
menggambarkan implementasi unusr-unsur kotanya.
yang menganut Hindu-Jawa, direbut oleh pasukan
Islam fanatik dari Jawa Tengah. Beberapa waktu
118 MINTAKAT Jurnal Arsitektur, Volume 20 Nomor 2, September 2019, 107-131, p-ISSN 1411-7193|e-ISSN 2654-4059

kemudian, penguasa Islam dari Demak, seorang bangsawan, kemudian para abdi dalem, para pengiring
keturunan Cina, diakui sebagai Sultan. Setelah dan para abdi (Soeratman,1989).
kekuasaan Sultan Demak diambil alih oleh raja
Kota Kerajaan Pajang
Pajang, titik berat ketatanegaraan bergeser di Jawa
Kerajaan Pajang terletak di wilayah Surakarta,
Pedalaman. Sejak abad ke-17, pedalaman Jawa
tepatnya berada di tepi sebelah barat kota Surakarta
Tengah menjadi pusat politik dan kebudayaan
saat ini. Kraton Pajang dilingkungi oleh tembok
Keraton Jawa.
keliling yang meliputi istana kerajaan dan alun-alun.
Kaitan sejarah yang cukup berarti terhadap Di sebelah kanan istana terdapat bangunan rumah
pembentukan kerajaan Mataram Islam, dimulai sat tinggal untuk kesatuan pengawal istana dan serdadu.
berdirinya keraton Pajang, di sebelah barat kota Tatanan ini menunjukkan areal yang bersifat profan
Surakarta. Pada masa pemerintahan kerajaan Pajang, dan bersifat sakral. Dapat diartikan bahwa penguasa
sekitar tahun 1550, daerah Surakarta masih dikenal (raja) memegang kedua sumber kekuasaan tersebut,
sebagai desa Sala, berperan sebagai penghasil beras yaitu berupa keagamaan dan militer. Raja menjadi
yang cukup besar, untuk konsumsi masyarakat dan pimpinan agama, sekaligus pemimpin bala
Keraton. Setelah pemerintahan keraton Pajang tentaranya.
berakhir, kemudian berpindah ke Kotagede. Setelah
Tumenggung sebagai pimpinan pemerintahan atas
keraton Mataram di Kotagede berakhir, untuk
nama raja, berada di sebelah barat kota (kraton).
sementara pindah di Kerta, dan selanjutnya
Tempat tinggal putra mahkota berlokasi di depan
berpindah di Plered pada tahun 1613. Pada tahun
pasar. Unsur-unsur lain seperti kepatihan, pasar, pos
1679, keraton Mataram di plered pindah ke
pengawas pasar, terletak di sebelah utara alun-alun.
Kartasura. Kegiatan ekonomi semakin ramai, karena
beberapa unsur asing terlibat dengan berbagai Pusat kerajaan mmenjadi pusat keramaian dan
kepentingan. Unsur asing tersebut adalah bangsa kegiatan kota. Unsur-unsur kota yang menonjol di
Belanda (VOC) dan Cina. Setelah kerajaan di kota kerajaan Pajang ini, berkaitan dengan kegiatan
Kartasura mengalami beberapa pemberontakan, dan pemerintahan kerajaan, ekonomi dan permukiman.
terakhir pemberontakan Cina, akhirnya berpindah di Pola jalan berfungsi menghubungkan
Sala (th.1744). Pembangunan kraton di Sala yang masing-masing kegiatan tersebut. Peran sungai
selesai pada tahun 1746, merubah sistem kehidupan dalam aktifitas perdagangan, sangat besar. Ciri-ciri
masyarakat Sala. Semula, berupa sebuah desa Sala pada keadaan kota tersebut antara lain :
dengan pimpinan masyarakatnya Kiai Sala, berubah
 Terjadi pertukaran (perdagangan) hasil bumi
menjadi kerajaan dengan masyarakat tersusun secara
dan barang, baik intern dengan desa-desa di
hirarkis. Raja sebagai puncaknya, diikuti lapisan
Junianto, Konsep Mancapat-Mancalima dalam Struktur Kota Kerajaan Mataram Islam 119

sekitar kerajaan maupun ekstern dengan daerah Setelah berdirinya kerajaan Pajang pada akhir abad
lain. ke-16, sekaligus merupakan tanda berakhirnya
kerajaan Islam yang berpusat di pesisir Utara Jawa
 Kegiatan (kehidupan) masyarakat lebih
(Demak), yang kemudian bergeser masuk ke
mengutamakan keagamaan, dalam hal ini agama
daerah pedalaman dengan kehidupan masyarakat
Islam, sehingga bangunan kerajaan tidak
bercorak agraris. Seperti pada umumnya kerajaan
menonjol (gigantik).
dengan masyarakat agraris, sehingga penghasilan
 Masyarakat di dekat pusat kerajaan bekerja utama masyarakatnya merupakan aspek-aspek
sebagai pengrajin tenun, yaitu di Laweyan, pertanian. Pada masa kerajaan Pajang tersebut,
berperan mendukung perdagangan kerajaan kehidupan dalam sistem ekonomi mereka sudah
Pajang. menggunakan uang dalam proses jual beli. Wilayah
kerajaan Pajang, merupakan lahan subur,
 Perdagangan intern terjadi di Pasar, sedangkan mengingat letak geografis kerajaan ini, berada
perdagangan diantara dua aliran sungai, yaitu sungai Pépé dan
ekstern terjadi di Bandar sungai Bengawan Sala, Déngké. Keadaan tersebut mendukung kesuburan
yaitu di Semanggi. tanah wilayah Pajang dan menjadi faktor
 Kehidupan desa (desa Sala) sebagai penunjang pendukung berkembangnnya sistem Agraris di
kehidupan ekonomi kerajaan, yaitu dari hasil kerajaan ini. Pada masa pemerintahan Pajang
buminya. sekitar abad ke 16-17 M, kerajaan ini menjadi salah
satu lumbung padi terbesar dan sudah meng-
ekspor beras keluar wilayah mereka (Graaf, 1989)
120 MINTAKAT Jurnal Arsitektur, Volume 20 Nomor 2, September 2019, 107-131, p-ISSN 1411-7193|e-ISSN 2654-4059

Gambar 4. : Peta orientasi kerajaan Pajang terhadap Desa Sala (Surakarta)


Sumber : http//wawasansejarah.com/kerajaan-pajang/

Keterangan:
1.Alun-alun
2.Masjid
3.Pasar
4.Siti Inggil
5.Dalem Keraton
6.Rumah Pangeran
7.Rumah Pejabat Keraton
8.Rumah Abdi-Dalem.

Gambar 5. : Peta Kota kerajaan Pajang


Sumber : Museum Radya Pustaka Surakarta.
Junianto, Konsep Mancapat-Mancalima dalam Struktur Kota Kerajaan Mataram Islam 121

Pos Penjaga Pasar Pasar


Masyarakat
Masyarakat Pengrajin /
Petani Pedagang

Masjid Alun-Alun Rumah


Pangeran

Rumah Rumah
Dalem Keraton
Pejabat Keraton Pegawai Keraton

0
1
2
0 = Dalem
1 = Komplek Keraton
2 = Negara

Gambar 6. : Lingkaran Tata Ruang kota kerajaan Pajang.


Sumber : hasil analisis.

Kota Kerajaan Kotagede Pada tahun 1586 Panembahan Senopati, putra Kyai
Kotagede merupakan ibu kota kerajaan Mataram Ageng Pamanahan, memproklamirkan kedudukan
Islam yang pertama kali. Kota ini didirikan pada sebagai raja. Setelah berhasil menundukkan
masa kekuasaan kerajaan Pajang (sebelum th.1586), pemerintahan Pajang, kadaulatan sebagai raja
oleh Kyai Ageng Pamanahan. Pendiri Kotagede ini Mataram diakui. Kedudukan Kotagede sebagai pusat
adalah seorang pegawai pemerintah yang pemerintahan kerajaan Mataram, berlangsung hanya
terpandang, di kerajaan Pajang. Karena dianggap sampai tahun 1625. Terletak di sebelah tenggara
berjasa, ia mendapat kepercayaan mengurus daerah (sekitar 4 km) dari kota Yogyakarta sekarang.
Mataram. Pada awalnya Kotagede ini berfungsi
Kotagede sebagai ibukota kerajaan menunjukkan
sebagai pusat administrasi, sehubungan dengan
struktur kota yang berciri organis (tidak teratur).
tugas Kyai Ageng Pamanahan.
Jaringan jalan yang tidak teratur (organis) merupakan
122 MINTAKAT Jurnal Arsitektur, Volume 20 Nomor 2, September 2019, 107-131, p-ISSN 1411-7193|e-ISSN 2654-4059

ciri utama permukiman di daerah pedesaaan. pengrajin. Masyarakat pengrajin tersebut banyak
Kondisi demikian berkaitan dengan Kotagede bukan yang bermukim di sekitar Keraton.
sebagai ibu kota kerajaan, pada awalnya. Hal yang
Pola jalan yang berarah ke timur dan barat, berperan
menunjukkan orientasi secara jelas hanyalah jalur
utama secara ekonomis, menghubungkan
jalan Utara-Selatan. Pasar terletak di sebelah selatan
permukiman masyarakat pedagang, pengraiin dan
jalur jalan arah Timur-Barat, hal ini berbeda dengan
petani. Pola jalan kearah utara berperan utama secara
kota Mataram-lainnya. Komplek masjid (dengan
administratip, menghubungkan Kotagede dengan
makam, dan pemandian) terletak di sebelah barat
keraton Pajang. Pasar sebagai pusat kegiatan
kampung Alun-alun sekarang. Letak kraton yang
perekonomian kota. Kraton dikelilingi oleh tembok,
diperkirakan sebagai kampung Kedaton sekarang,
sedangkan permukiman para abdi-dalem berada di
berada di sebelah selatan alun-alun. Sebelah barat
luar tombok keraton. Rumah-rumah para abdi-dalem
pasar, tardapat komplek permukiman
dan pejabat tinggi keraton tersebut, banyak terdapat
pedagang/pengrajin. Masyarakat Kotagede pada
di dekat keraton.
masa kerajaan, benyak yang berprofesi sebagai

Keterangan:
1.Alun-alun
2.Masjid
3.Pasar
4.Dalem Keraton
5.Permukiman Abdi-dalem
6.Permukiman Pengrajin
7.Permukiman Pedagang
8.Kebonan.

Gambar 7. : Peta Kota kerajaan Kotagede


Sumber : Nakamura, 1983:234.
Junianto, Konsep Mancapat-Mancalima dalam Struktur Kota Kerajaan Mataram Islam 123

Pasar
Masyarakat
Masyarakat Pengrajin /
Petani Pedagang

Masjid Alun-Alun

Rumah
Dalem Keraton
Abdi Dalem
0
1
Kebonan 2
0 = Dalem
1 = Komplek Keraton
2 = Negara

Gambar 8. : Lingkaran Tata Ruang kota kerajaan Kotegede.


Sumber : hasil analisis.

Kota Kerajaan Plered pemerintahan Sultan Agung, kerajaan Mataram yang


memperluas pengaruh sampai Jawa Timur,
Plered sebagai ibu kota kerajaan Mataram, dibangun
memindahkan pusat kekuasaan dari Kotagede ke
pada masa kejayaan Sultan Agung, sekitar tahun
Kerto. Setelah kekuasaan diperintah Amangkurat I,
1625. Terletak sekitar 5-7 km sebelah Timur
anak Sultan Agung, kemudian memindahkan
Yogyakarta. Bersamaan dengan pembangunan
Keraton dari Kerto ke Pleret pada tahun 1647.
keraton di Plered, dibangun pula komplek makam di
Imogiri. Imogiri terletak sekitar 3 km sebelah selatan Gambaran kota Plered dijelaskan dengan rinci dalam
Plered, merupakan daerah perbukitan. Pada masa laporan perjalanan Van Goens pada tahun 1655
124 MINTAKAT Jurnal Arsitektur, Volume 20 Nomor 2, September 2019, 107-131, p-ISSN 1411-7193|e-ISSN 2654-4059

(dalam: Jo Santoso, 1984: --- ), dari Semarang ke sekitar 300 x 400 m, dengan Masjid di sebelah
Plered. baratnya. Didalam komplek masjid terdapat makam.
Dalam perjalanan menuju Plered sekitar 18 - 19 mil Desa Kauman yang sekarang ada di sekitar masjid,
dari kota pelabuhan Semarang, terletak pintu gerbang diperkirakan dihuni oleh para pemuka agama dan
pertama, disebut Selimbi. Pada pintu gerbang ini pegawai masjid. Rumah-rumah para pangeran terletak
terdapat sebuah benteng, yang dihuni sekitar di sebelah utara alun-alun, menuju gerbang Kaliajir. Di
1500 - 1600 orang. Dengan dijaga oleh para prajurit sekitar desa Segarayasa, dulu terdapat danau buatan,
keraton, semua yang lewat gerbang dicatat oleh juru tulis. terletak di sebelah selatan keraton. Di tengah danau
Sekitar 1 - 1,5 mil dari gerbang Selimbi, terbentang (Segarayasa) tersebut terdapat sebuah pulau,
daerah Mataram yang subur, sawah sangat luas hingga dipergunakan untuk meditasi dan sembahyang raja.
batasnya tidak tampak. Desa-desa sangat subur banyak
ditemui sepanjang jalan. Diantara sawah-sawah ditemui
perbukitan yang ditanami pohon buah-buahan.
Diperkirakan pintu gerbang Selimbi merupakan pintu
masuk wilayah negara agung Mataram. Jalan antara
gerbang Selimbi dan gerbang Tadie (gerbang masuk
kedua), berjarak sekitar 7 mil. Setelah gerbang kedua
terlihat pegunungan mengitari pusat kerajaan Plered.
Digambarkan oleh Van Goens bahwa desa-desa diantar
kedua pintu gerbang tersebut, padat penghuni. Setiap
desa berpenduduk sekitdr 100 - 150 orang, bahkan ada
yang berpenghuni sekitar 1000 - 1500 orang. Pusat
kerajaan dicapai setelah melalui garbang ketiga, yang
dinamakan Kaliajir. Dari gerbang ini terdapat jalan Gambar 9: Batu Umpak di Situs Plered,
menuju istana raja, sepanjang 2 mil. Antara gerbang bekas umpak bangunan Keraton
Kaliajir dan istana raja, banyak ditemui rumah para Sumber: https://www.thearoengbinangproject.com/jejak-
pangeran dan berbagai residen. Pagar kota diperkirakan mataram-di-situs-kerto-pleret/
berukuran luas 2 x 2 mil, dengan ketinggian tembok
sekitar 6 – 7 meter. Di dalam tembok keraton terdapat
bangsal kencana, rumah jaga Gedong Kemuning, masjid
keraton Suranata, Gedong Kedondong dan sumur
Guleng tempat memandikan keris pusaka. Di sebelah
utara komplek keraton terdapat alun-alun berukuran
Junianto, Konsep Mancapat-Mancalima dalam Struktur Kota Kerajaan Mataram Islam 125

Keterangan:
1.Alun-alun
2.Masjid
3.Pasar
4.Siti Inggil
5.Dalem Keraton
6.Rumah Pangeran
7.Rumah Pejabat
Keraton
8.Segarayasa
9.Permukiman Abdi-
dalem

Gambar 10. : Peta Kota kerajaan Plered


Sumber : Museum Radya Pustaka Surakarta
126 MINTAKAT Jurnal Arsitektur, Volume 20 Nomor 2, September 2019, 107-131, p-ISSN 1411-7193|e-ISSN 2654-4059

Pasar

Rumah
Pejabat

Masjid Alun-Alun Rumah


Pangeran

Permukiman
Keputran Dalem Keraton
Abdi Dalem
0
1
Segarayasa 2
0 = Dalem
1 = Komplek Keraton
2 = Negara

Gambar 11. : Lingkaran Tata Ruang kota kerajaan Plered.


Sumber : hasil analisis.

Kota Kerajaan Kartasura Seperti halnya masa kerajaan sebelumnya, pusat


kegiatan berada di sekitar keraton. Kartasura terletak
Pada tahun 1674 teriadi pemberontakan di Plered
di bagian barat, luar kota Surakarta sekarang.
oleh pasukan daerah pesisir dan Madura.
Kegiatan ekonomi semakin ramai, karena beberapa
Pemberontakan dipimpin oleh Trunojoyo. Raja
unsur asing terlibat, dengan berbagai
Amangkurat I yang memerintah waktu itu melarikan
kepentingannya. Unsur-unsur asing tersebut adalah
diri hingga meninggal di Tegalwangi. Amangkurat II
Kolonial (Belanda), Cina dan Arab. Perkembangan
sebagai putra mahkota dibantu oleh Belanda, berha-
selanjutnya, yang berperan kuat adalah bangsa
sil mengalahkan pemberontak. Selanjutnya ia
Belanda, dengan pemerintahan Kolonialnya.
dinobatkan sebagai raja, dengan membangun ibu
Unsur-unsur kota masih diwarnai oleh kegiatan
kota baru di Kartasura.
ekonomi, pemerintahan dan permukiman.
Diantaranya yang paling berkembang adalah
Junianto, Konsep Mancapat-Mancalima dalam Struktur Kota Kerajaan Mataram Islam 127

pusat-pusat kegiatan ekonomi. Peran sungai Segarayasa bermakna simbolis sebagai sumber
Bengawan Solo masih sangat berarti, dalam kehidupan. Alun-alun selatan sebagai pengganti
perdagangan internal maupun eksternal. Pasar yang Segarayasa, bersifat profan. Alun-alun utara, yang
terletak di bagian utara alun-alun, berfungsi utama menjadi satu kesatuan dengan masjid, dianggap
dalam perdagangan internal. bersifat sakral. Keraton dengan demikian
mempunyai dua orientasi, yaitu orientasi yang
Unsur-unsur kota di Kartasura lebih banyak
bersifat sakral dan bersifat profan. Poros jalan
berkembang daripada kota-kota kerajaan
utara - selatan bersifat sakral, sedangkan pola jalan
sebelumnya. Di sebelah luar Keraton terdapat
arah timur - barat bersifat profan. Jaringan jalan yang
banyak rumah-rumah pangeran dan pejabat tinggi
terbentuk, lebih dominan kearah timur - barat,
Keraton. Pada masa kerajaan Kartasura ini, mulai
menghubungkan tempat-tempat ekonomis seperti
terdapat alun-alun Selatan sebagai pengganti
Pajang, Laweyan, Sala, hingga Bandar Semanggi
Segarayasa.

Keterangan:
1.Alun-alun Utara
2.Masjid
3.Pasar
4.Siti Inggil
5.Dalem Keraton
6.Rumah Pangeran
7.Rumah Pejabat Keraton
8.Alun-alun Selatan
9.Benteng Belanda
10.Pecinan
11.Permukiman Abdi-dalem

.Gambar 12.: Peta Kota Kerajaan Kartasura


Sumber: Museum Radya Pustaka Surakarta.
128 MINTAKAT Jurnal Arsitektur, Volume 20 Nomor 2, September 2019, 107-131, p-ISSN 1411-7193|e-ISSN 2654-4059

Benteng
Belanda

Pasar Pecinan

Alun-Alun
Masjid Utara
Rumah Rumah
Siti Inggil Pejabat Keraton
Pangeran

Permukiman
Dalem Keraton
Abdi Dalem

0
Alun-Alun 1
Selatan 2
0 = Dalem
1 = Komplek Keraton
2 = Negara 4
Gambar 13: Benteng Keraton Kartasura 4 = Mancanegara
Sumber:
http://tarabuwana.blogspot.co.id/2012/01
/petilasan-kraton-kartosuro

Gambar 14. : Lingkaran Tata Ruang kota kerajaan


Kartasura. Sumber : hasil analisis.

Kota Surakarta Masa Kerajaan Setelah Kartasura yang memiliki dua buah alun-alun,
Perpindahan kerjaan Mataram dari Kartasura ke demikian juga Surakarta. Kedua alun-alun di
Surakarta akibat adanya pemberontakan orang Surakarta, yaitu Utara dan Selatan, memiliki luas
Tionghoa melawan Belanda tahun 1740. sama besar, sekitar 400 x 300 meter. Alun-alun
Pemberontakan ini hingga merusak keraton. Dengan tersebut berupa lapangan pasir halus, masing-masing
bantuan Belanda, Paku Buwana berhasil merebut di tengahnya ditanami dua buah pohon Beringin.
kembali keraton. Sebagai imbalan, Belanda minta Komplek keraton terletak diantara kedua alun-alun
(dengan perjanjian) penempatan tentaranya, tersebut.
sehingga benteng Belanda (Vastenberg) turut
Keraton bagian dalam (Dalem) terpisah oleh tembok
direncanakan di Surakarta.
setinggi 3 m, dengan tembok keraton yang kedua
(benteng). Di dalam benteng keraton ini, Dalem
Junianto, Konsep Mancapat-Mancalima dalam Struktur Kota Kerajaan Mataram Islam 129

terpisah dengan bangunan keraton lainnya. Di antara Komplek keraton beserta alun-alun menunjukkan
tembok keraton yang pertama dan kedua, dihuni ciri bagian kota yang sakral. Di bagian ini kekuasaan
oleh para pangeran yang duduk dalam pemerintahan raja (susuhunan Paku Buwana) merupakan
dan para abdi dalem. Ciri menonjol dalam struktur kekuasaan yang absolut. Permukiman orang asing
kota Surakarta pada masa ini adalah peralihan daerah yang beragama lain dan daerah eksteritorial seperti
perkotaan dan daerah pedesaan, yang begitu Mangkunegaran dan 'kota Eropa' terdapat di bagian
menyatu. Informasi tentang batas awal kota pada belahan utara kota. Kedudukan Mangkunegaran
masa itu memang belum ada. Diduga akibat dari menunjukkan pengakuannya atas status raja
ketidak jelasan batas kota, sehingga kota Surakarta Mataram, yaitu Paku Buwana dan Hamengku
berkembang secara tidak teratur (organis). Dua buah Buwana. Hal ini terlihat dari struktur tata ruang
jalan yang cukup lebar, memanjang kearah Mangkunegaran yang berbeda dengan struktur
Timur - Barat, membelah kota Surakarta menjadi kerajaan Mataram (Kasunanan).
belahan Selatan dan Utara. Istana (keraton), masjid
Agung, dan rumah para pangeran, terletak di sebelah
selatan kota. Bagian selatan dari belahan ini
berkembang ke arah barat.
Di bagian utara dari belahan jalan tersebut, terdapat
sarana-sarana profan, seperti Kepatihan dan pasar.
Di sebelah kanan dari poros jalan Utara - Selatan,
ditempatkan permukiman orang asing (Cina,
Belanda dll). Bagian ini selanjutnya berkembang ke
arah timur. Juga di belahan utara ini, Yang berada di
bagian barat poros jalan Utara-Selatan, terdapat
permukiman orang Bali (Kebalen). Keberadaan istana
Mangkunegaran merupakan hal Yang khusus,
mengingat pendiriannya berdasarkan perjanjian
tahun 1757 antara Paku Buwana III dan Raden Mas
Said. Dalam perjanjian ini Mas Said bersedia
menghentikan pemberontakan, dengan imbalan
mendapat wilayah seluas 4000 cacah, serta ijin
Gambar 15.: Peta Kota Kerajaan Surakarta
membangun istana di Surakarta.
Sumber: Museum Radya Pustaka
Surakarta
130 MINTAKAT Jurnal Arsitektur, Volume 20 Nomor 2, September 2019, 107-131, p-ISSN 1411-7193|e-ISSN 2654-4059

Benteng
Kepatihan Belanda

Pasar Pecinan

Kampung
Alun-Alun Arab
Masjid Utara
Rumah
Siti Inggil Pejabat Keraton

Rumah Permukiman
Dalem Keraton
Pangeran Abdi Dalem

0
Alun-Alun 1
Selatan 2
0 = Dalem
1 = Komplek Keraton
2 = Negara 4
4 = Mancanegara

Gambar 16.: Lingkaran Tata Ruang Kota Kerajaan Surakarta


Sumber: hasil analisis.

KESIMPULAN permukiman Abdi-dalem dan Pasar. Unsur-


unsur kota tersebut, tersusun dalam
Dari hasil kajian dan pembahasan tersebut, dapat
konsepsi tradisional sakral dan profan.
diambil beberapa kesimpulan, sebagai berikut:
2. Transformasi konsep mancapat-mancalima
1. Terdapat unsur-unsur yang utama dalam struktur kota kerajaan Mataram
pembentuk struktur kota kerajaan Islam, tersusun dalam superposisi antara
Mataram Islam, berupa : Dalem Keraton, pola grid sumbu “Utara-Selatan” dan
Alun-alun, Masjid, tempat tinggal “Timur-Barat”, dengan lingkaran-
Pangeran dan pejabat Keraton,
Junianto, Konsep Mancapat-Mancalima dalam Struktur Kota Kerajaan Mataram Islam 131

lingkaran imajiner. Sumbu “Utara-Selatan” Muhadjir, N. (1990) Metode Penelitian Kualitatif


bersifat sakral, sedangkan sumbu “Timur- (Yogyakarta: Rake Sarasin).
Barat” bersifat profan. Sebagai pusat Santoso, J. (1984), Konsep Struktur dan Bentuk Kota di
adalah Dalem Keraton, yang bermakna Jawa s/d Abad XVIII (Disertasi).
simbolik sebagai pengendalidan sekaligus Soeratman, D. (1989), Kehidupan Dunia Kraton
penyelaras tatanan kehidupan di “Negara Surakarta 1830-1939 (Yogyakarta: Tamansiswa).
Agung”. Sumarlina, N.S. (1993) Pola Tata Kota Surakarta Awal
dan Perkembangannya (Yogyakarta: Fakultas Sastra
UGM).
DAFTAR PUSTAKA Tanudjaja, C.J.S. (1991) Suatu Telaah Tentang Saka
Bangunan Tradisional Jawa di Kotamadya Yogyakarta
Behrend, T.E. (1982), Kraton and Cosmos in Traditional
(Bandung: Pasca Sarjana S2 Arsitektur, ITB).
Java (Tesis: ---)
Tjahjono, G. (1988) Cosmos, Center, and Duality in
Catanese, A.J dan Snyder, J.C. (1986) Pengantar
Javanese Architectural Tradition: The Symbolic
Perencanaan Kota (Jakarta: Terjemahan, Erlangga).
Dimensions of House Shapes in Kotagede and
Graaf, H.J.D dan Pigeaud, Th.G.Th (1989) Kerajaan
Surroundings (Berkeley: University of California).
Kerajaan Islam di Jawa (Jakarta: Grafiti Pers).
Gesick, L. (1989) Pusat, Simbol dan Hirarki Kekuasaan
(Jakarta: terjemahan Ongkhokham, Yayasan
Obor)
Junianto (2017) Pengaruh Kerajaan Islam Terdahap Pola
Bentuk Kota Pasuruan (Makassar: Jurnal Plano
Madani, Volume 6 Nomor 1).
Koentjaraningrat (1992) Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama).
Kartodirdjo, S. (1993) Perkembangan Peradaban Priyayi
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press).
Mangunwijaya (1988), Wastu Citra (Jakarta:
Gramedia).
Murtoyoso, S. (1993) Sejarah Arsitektur Kota di
Kawasan Budaya Pesisir (Surabaya: Seminar
Pelestarian Arsitektur Kota).

Anda mungkin juga menyukai