Anda di halaman 1dari 2

KOTA TRADISIONAL INDONESIA

Salah satu ciri paling menonjol kota-kota tradisional di Indonesia, khususnya Jawa, adalah
keberadaan keraton, alun-alun, masjid, pasar, dan tembok atau beteng mengelilingi kota.
Kota 'Keraton' Yogyakarta yang didirikan oleh Sultan Hamengkubuwana I (sebelumnya
bernama Pangeran Mangkubumi) merupakan salah satu contohnya. Di depan kompleks
Keraton terdapat alun-alun (utara), di bagian belakang (selatan) juga ada alun-alun. Di
sebelah barat alun-alun utara terdapat masjid agung (kauman). Dulu, kota keraton ini
dikelilingi oleh tembok (beteng) yang beberapa pojoknya (pojok beteng) masih kokoh
berdiri. Kota keraton Surakarta (yang lebih dulu muncul) modelnya juga sama. Kota-kota
keraton yang lebih awal, seperti Kotagede dan Plered, juga Kartasura memiliki model atau
bentuk yang sama/serupa. Selain keraton (istana raja), niscaya terdapat alun-alun, masjid,
pasar, dan tembok kota. Di dalam tembok kota itu, terdapat kampung-kampung 'kekaryaan'
yang pada masanya dulu berfungsi sebagai penyangga kehidupan istana.

Pada era tradisional, terdapat perbedaan yang mencolok antara kota-kota di pedalaman
yang bertumpu pada pertanian dan kota-kota di kawasan pantai yang bertumpu pada sektor
perdagangan. Kota Banten masa lampau (era kerajaan) merupakan salah satu kota dagang
yang tergolong besar. Para pedagang berasal dari berbagai tempat dengan latar belakang
etnik yang berbeda-beda. Banyak di antara mereka datang dari tempat-tempat yang jauh.
Karena pelayaran untuk kegiatan dagang kala itu mengandalkan sistem angin musim, maka
para pedagang dari luar perlu bermukim selama beberapa bulan untuk menanti arah angin
yang cocok. Kondisi demikian berlangsung dari tahun ke tahun sehingga muncul kampung-
kampung pedagang luar Banten yang bersifat semi-permanen. Para pedagang secara
berkelompok sesuai latar belakang asal/etniknya memiliki pemukimannya masing-masing.
Setiap kampung pedagang memiliki yurisdiksi, petinggi, aparat keamanan, dan sarana
ibadah masing-masing.

Kota yang dikelilingi tembok, baik di pedalaman maupun di pesisir praktis merupakan ciri
menonjol pada era kerajaan abad ke-16 dan 17. Karena di dalam kota tinggal para elit
penguasa dan masyarakat kekaryaan penopang utamanya, maka bisa diperkirakan salah
satu fungsi penting tembok kota adalah untuk pertahanan dari kemungkinan serangan
musuh. Perlu diketahui, pada zaman kerajaan, berperang antar kerajaan merupakan
kelaziman. Setiap kerajaan yang (merasa) kuat akan menuntut kesetiaan (+ upeti) dari
kerajaan-kerajaan yang lebih kecil (lemah). Bila tuntutan tidak dipenuhi, maka solusi
praktisnya adalah menggerakkan armada/pasukan perang.

Pembangunan tembok suatu kota istana dimaksudkan agar kota itu bisa menjadi tempat
tinggal raja yang aman dan nyaman. Perlindungan terhadap raja dan keluarganya
merupakan keutamaan, karena raja berada di puncak herarkhi dengan kekuasaan besar
bahkan absolut. Dalam konsepsi tradisional, raja bukan hanya junjungan tetapi juga
panutan. Mengalir darinya kewibawaan dan kebijaksanaan, mengalir balik kepadanya
kepatuhan dan kesetiaan. Ancaman bagi raja, juga ancaman bagi kawula. Bila kerajaan
diserbu musuh dan kalah dalam peperangan, kawula bisa menjadi pampasan perang. Oleh
karena itu, konsep manunggaling kawula lan gusti (menyatunya rakyat dan raja/penguasa)
diintroduksi secara kuat dalam kultur tradisional Jawa.
Selain untuk keamanan, tembok kota istana juga bisa dimaknai sebagai bagian dari
perangkat kultus kemegahan raja. Terkandung dalam kultus kemegahan itu antara lain:
kesemarakan istana, harta kekayaan yang berlimpah, rakyat yang banyak, wilayah
kekuasaan yang luas, pasukan perang yang tangguh, kepemilikan aneka benda pusaka, dll.
Tembok kota istana yang berbiaya mahal bisa menjadi salah satu simbol mengenai
kemampuan sang raja atau kerajaan dalam memobilisasi dan mengoordinasi aneka
sumberdaya.

Kota-kota tradisional Jawa memiliki pakem (ciri khas) yang relatif tetap/sama dari zaman ke
zaman atau pun dari satu tempat ke tempat lain. Kota-kota itu terutama, khususnya yang di
pedalaman, merupakan pusat pemerintahan. Karena raja dan pusat kerajaan secara kultural
merupakan kiblat bagi para penguasa daerah (bupati) dan kabupatennya, maka model kota
keraton juga menjadi referensi bagi model kota kabupaten. Kota-kota ini praktis merupakan
replika (tiruan) dari kota keraton dalam ukuran yang lebih kecil. Sisa-sisa tata-kota
kabupaten tradisional masih tampak di beberapa tempat hingga saat ini.

Dalam perspektif Jawa tradisional, tempat tinggal raja disebut negara atau kutha negara .
Selain raja dan keluarganya, kota berdinding tembok tebal ini dihuni a.l. oleh para
bangsawan (staf kerajaan) dan para abdi dalem (pegawai raja). Secara sosiokultural,
kehidupan di dalam beteng dan di luar beteng merupakan dua kehidupan yang berbeda
secara mencolok.

Kota tradisional dalam konteks Jawa/Indonesia identik dengan kota praindustrial. Fungsi
utamanya adalah sebagai pusat pemerintahan dan keagamaan, bukan sebagai pusat
aktivitas komersial. Memang, di kota-kota tradisional ini juga bermukim para ahli atau empu
yang profesinya sebagai tukang/perajin. Namun, apa yang mereka kerjakan bukan dalam
konteks melayani pasar melainkan yang utama untuk menopang kebutuhan
istana/penguasa. Spesialisasi pekerjaan di kota-kota istana juga terjadi, tetapi spesialisasi
yang sebagian besar terlepas dari pasar, spesialisasi yang mengabdi kepada kepentingan
patron atau tuan pemilik kuasa. Oleh karena itu, tata sosial pada kota-kota istana lazimnya
merupakan tata sosial yang tanpa/minim kelas menengah yang benar-benar
independen/bebas.

Kota-kota istana di Jawa, seperti Demak, Pajang, Kotagede, Plered, Kartasura, Surakarta, dan
Yogyakarta ditopang oleh kawasan luas pertanian di luar tembok kota. Kerajaan-kerajaan
pemilik kota istana ini praktis hidup dari sektor pertanian. Bahkan, dalam konsepsi
tradisional, seluruh tanah adalah milik raja, termasuk yang didiami dan digarap oleh petani.
Para pejabat/pegawai raja juga digaji dalam bentuk tanah lungguh atau tanah jabatan, yang
pengerjaannya dilakukan oleh petani yang mendiami tanah itu. Memang, di dalam tembok
kota tidak ada lahan pertanian. Namun, dari dalam tembok kota itulah muncul para
pemegang hak kuasa atas lahan pertanian (+ penduduk yang tinggal di atasnya). Artinya,
eksistensi kota-kota tradisional itu mengait sangat erat dengan sektor agraris.

Disarikan dan dikembangkan secara bebas dari Pengantar Sejarah Kota karya Purnawan Basundoro yang
diterbitkan oleh Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2016 dan sejumlah sumber bacaan.

Anda mungkin juga menyukai