Anda di halaman 1dari 27

• 25417069 - Avid Wicaksono

• 25417091 - Lestari Masniari Siahaan


• 25417054 - Rizki Anisa
Outline
Pendahuluan

Konsep Form Follows Worldview

Penataan Struktur Elemen Kota

Asas Penataan Ruang Tradisional/Pre-Modern

Kesimpulan
Pendahuluan
• Berdasarkan segi geografis-kultural dan geografis-ekonomis, kota di Jawa pada masa
prakolonial dikelompokkan menjadi kota perdagangan di daerah pesisir dan pusat-pusat
kerajaan yang bersifat sakral yang berada di tengah daerah pedalaman yang agraris.
• Teknologi pelayaran yang berkembang menyebabkan permukiman di pesisir terlibat dalam
proses perkembangan maritim di Asia Tenggara, sebaliknya antara dataran yang subur di
pedalaman terbatas pada akses jalan tembusan yang melewati lembah. Jalan-jalan ini
dijadikan lokasi strategis untuk mendirikan gerbang penarikan bea dan pos penjagaan
sehingga berakibat negatif bagi perkembangan perdagangan antar daerah.
• Faktor terpenting sebagai alasan kerajaan Jawa jaya adalah kekuatan ekonomi dari
‘daerah inti’ yang disebut pusat kerajaan (kraton). Hal ini terkait dengan surplus bahan
makanan dan komoditas ekspor utama. Sebuah daerah dapat menjadi ‘daerah inti’
apabila terdapat beberapa ‘daerah permukiman alam‘ yang berdekatan yang diperoleh
dengan cara penaklukan. ‘Daerah inti’ ini disebut sebagai negara agung sementara daerah
lain disebut ‘mancanegara’.
• Runtuhnya sebuah dinasti di Jawa adalah akibat pembangkangan daerah-daerah
‘Mancanegara’ terhadap dominasi pusat.
Konsep Form Follows Worldview
• Tata ruang tradisional selalu dipengaruhi oleh pola pikir dan pola hidup
manusia pada zamannya sementara pola pikir manusia dipengaruhi cara
pandangnya terhadap dunia (worldview) serta realitas yang tampak dan
tidak tampak. Maka dari itu tata ruang tradisional disebut penganut
Form Follows Worldview
• Robert Heine Geidern (1972): “kesamaan konsep tata ruang tradisional
di Asia Tenggara terletak pada kepercayaan tentang kesejajaran antara
makrokosmos dan mikrokosmos”
Konsep Makrokosmos dan Mikrokosmos
• Makrokosmos merupakan gambaran atau citra dunia. Gambaran ini
diwujudkan pada tatanan mikrokosmos dalam penataan wilayah, ibukota,
kompleks keraton maupun bangunan pada umumnya.
• Tujuannya adalah untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan manusia.
Apabila tidak tercapai akan timbul kehancuran (chaos)
• Penataan ruang dilakukan oleh seorang “pemberi wujud” berdasarkan
klasifikasi yang digariskan dalam kosmografi.
• Pedoman dalam kosmologi di masing-masing wilayah kerajaan yang bersifat
sentralistik, berpedoman pada nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat
setempat. Penataan ibukota sebagai pusat magis kerajaan harus ditata dalam
bentuk fisik yang merupakan gambaran ‘makrokosmos’ dalam bentuk kecil
(mikrokosmos) yang akan menghasilkan lingkungan yang ‘sakral’.
• Lingkungan yang tertata adalah lingkungan yang ‘sakral’ sementara lingkungan
yang tidak tertata merupakan lingkungan yang kacau (chaos) yang dianggap
sebagai ruang ‘profan’.
Pola Ruang Kota Yogyakarta
Indikator: benteng di
sekeliling kawasan kraton. Di luar benteng, HB I Di lingkaran paling
• Benteng selebar 4-6 meter, menempatkan 9 bergodo (
Kota Yogyakarta Pengalaman Sultan HB tinggi 6-8 meter berbentuk bujur batalion ) di selatan kota atau
luar adalah kawasan
dibangun dalam I, sebagai seorang sangkar adalah konsep baru Tata di belakang dan di samping Masjid Pathok
situasi yang rawan panglima perang Ruang kota di Jawa. Bangunan benteng Kraton. Sebaran Negoro, yang
benteng yang dilengkapi dengan lokasi kampung prajurit Pola ruang yang
ancaman peperangan sangat menentukan selokan (jagang) tersebut adalah diperkirakan
tembok pertahanan, mirip tersebut, jika diposisikan menggambarkan
dari ke 4 kekuatan konsep pembangunan dengan lokasi kraton merupakan
dengan tembok-tembok kota di konsep kota militer.
yang bersaing, kota Yogyakarta: Eropa menggambarkan gelar perang pertahanan terluar
Surakarta, Yogyakarta, faktor pertahanan • Di dalam benteng, dibangun tradisonal Jawa seperti di dari sistem
Taman Sari (istana air), yang pewayangan, yaitu gelar
Mas Said dan VOC. pertimbangan utama diperkirakan selain tempat Garudo Nglayang atau Sapit pertahanan ibukota
rekreasi merangkap benteng Urang kerajaan
pertahanan terakhir
Konsep “Pengendalian Pemerintahan dan
Pertahanan Kota”
• Pangeran Mangkubumi sangat sadar bahwa sumber kekuatan
utama lahiriah dalam memimpin negara adalah loyalitas
sentono dalem dan ulama dengan santrinya
• Strategi alokasi atau distribusi fungsi ruang dalam wilayah
kesultanan untuk memperoleh loyalitas, para pangeran dan
abdi yang berjasa diganjar tanah lungguh (apanage). Tetapi
para pangeran/pejabat pemegang tanah lungguh harus tinggal
di wilayah Kutho Negoro, untuk kepentingan pengendalian
dan pengawasan.
• HB I juga menciptakan konsep Masjid Pathok Negoro
• Konsep tersebut adalah strategi untuk memperoleh dukungan
dari ulama dan santrinya.
• Dari sudut pandang politik kenegaraan, konsep masjid Pathok
Negoro adalah sebagai bagian dari strategi HB I untuk
mengelola kekuatan-kekuatan yang mendukung tegaknya
negara Ngayogyokarto Hadiningrat. Fungsi agama sebagai
sandaran kekuatan negara.
• Dari sudut budaya, struktur tersebut menggambarkan konsep
Mandala yaitu penggambaran keharmonisan antara
makrokosmos dengan mikrokosmos (rakyat dan pusat
kekuasaan).
Konsep Kosmologi Yogyakarta – Catur Sagotra atau Catur Gotro Tunggal
merupakan konsep kosmologi Jawa, yaitu
pemikiran tentang teranyamnya 4
komponen kehidupan dalam satu kesatuan
ruang. Konsep tersebut merupakan
gambaran kondisi yang harmonis dari alam
Kraton semesta, yaitu terintegrasinya mikrokosmos
dan makrokosmos dalam satuan ruang
kehidupan.
– Keempat gotro (masa) tersebut menyatu
dalam satu kawasan, dihubungkan oleh
Konsep ruang jalan, berfungsi sebagai inti kota.
Alun- CATUR Masjid – Keempat komponen tadi mewakili fungsi-
SAGOTRA
alun Yogyakarta Gede fungsi penting dalam kehidupan kota, yaitu
pemerintahan/pemimpin (kraton), religi,
etika dan moral (masjid), ekonomi (pasar)
dan budaya (alun-alun).
– Pola kepemimpinan yang mengacu pada
religi, ekonomi dan budaya merupakan
Pasar cerminan dari konsep memayu hayuning
bawono, yang saat ini dikenal sebagai
konsep pembangunan yang berkelanjutan.
Konsep Psiko-kosmik di Bali

• Konsep Psiko-kosmik dipahami sebagai hubungan antara bhuwana agung


(makrokosmos) dan bhuwana alit (mikrokosmos).
• Mikrokosmos terdiri dari 5 elemen dasar: (1) bumi; (2) air; (3) api; (4)
udara; (5) langit.
• Konsep psiko-kosmik ini dilandasi tujuan utama dari Hindu-Bali yaitu
moksa (pembebasan spiritual) di mana manusia (mikrokosmos) harus
menyelaskan diri dengan alam semesta (makrokosmos) karena keduanya
berasal dari elemen yang sama
Penataan Struktur Elemen Kota
• Dalam konsep penataan ruang di Jawa, konsep yang utama adalah hubungan antara
elemen-elemen pembentuk ruang bukan pada batas teritorialnya.
• Lingkungan binaan yang ditata dengan mencerminkan kosmos (dunia yang tertata).
Penataannya secara fisik dapat ditandai dengan pembangunan pagar/tembok keliling
dan gerbang/pintu masuk. Namun ada kalanya ruang tersebut hanya berupa batasan
non-fisik.
• Ciri penting dalam konsep tata ruang di Jawa adalah poros utama menurut arah mata
angin. Poros utama ialah poros utara-selatan . Poros ini merupakan alat penghubung
antara pusat kekuasaan yang sakral di Selatan dan wilayah administrasi dan
perdagangan yang profan di Utara.
Elemen Kota di Jawa
• Pusat
➢ Pusat/Axis Mundi/Center of the world → Digambarkan sebagai pusat dunia yang
menghubungkan dunia dimana kita hidup, dunia atas (surga) dan dunia bawah (dunia
hitam).
➢ Citra Dunia (Imango Mundi) → Lingkungan binaan ditata agar dapat menolak segala
kemungkinan serangan dari dunia jahat yang membuat kacau (chaos).
• Hirarki
Prinsip dasar penataan ruang yang sifatnya kontinuitas hingga abad ke-18, adalah
berdasarkan:
➢ Mikrokosmos Hirarkis → Penataan arsitektur untuk menandai perbedaan hirarki.
Misalnya pemakaian lantai yang semakin tinggi berarti semakin tinggi hirarkinya.
➢ Mikrokosmos Dualistis → Penataan yang mengusahakan terciptanya
keseimbangan/kerujukan antara dunia atas dan dunia manusia sebagai syarat
terbentuknya kesejahteraan manusia.
• Sumbu dan Orientasi
Sumbu merupakan batasan dalam ruang sakral sekaligus tuntunan dalam
penataan susunan massa bangunan. Pembagian ruang menjadi dua bagian
(pemaruhan) lebih mengarah pada masalah dunia atas dan dunia manusia
(hubungan vertikal) sementara pembagian menjadi empat bagian (pencaturan)
lebih mengarah pada pembanguan antar manusia di dunia (hubungan
horizontal)
Konsep Budaya Pembentuk Ruang Kota
Yogyakarta
Golong gilig : sesuatu yang utuh, menyiratkan semangat dan niat yang satu
atau menyatukan semua golongan. Diwujudkan dalam bentuk tugu Golong
gilig, diletakkan pada garis lurus imajiner dari kraton ke puncak Merapi,
berjarak 2,5 km dari kraton. Tugu atau yoni di utara adalah simbolisasi satu
tujuan, sawiji, yang tidak akan bergeser walaupun banyak rintangan
(sengguh, ora mingkuh).
Antara kraton dan tugu dihubungkan oleh jalan lurus, yang diberi nama
Margo Utomo, Malioboro, dan Margo Mulyo yang menyiratkan hubungan
antara cita-cita mulia harus ditempuh dengan cara yang mulia, untuk
menuju keutamaan, dengan berbekal ilmu pengetahuan ajaran para wali
dan leluhur.
Di bagian selatan, dalam garis lurus Merapi-Tugu-Kraton dibangun panggung
untuk mengamati binatang buruan di Hutan Krapyak yang berbentuk lingga.
Sumbu utama tersebut membentuk kesatuan simbol lingga – yoni, sebagai
wujud konsep manunggaling kawulo gusti.
Konsep Sangkan Paraning Dumadi, merupakan pesan moral untuk tidak
lupa diri, pengingat bahwa kehidupan itu berasal dari Tuhan kembali ke
Tuhan. Konsep tersebut diwujudkan dalam simbol-simbol ruang dan citra
kota di sepanjang poros Tugu-Kraton-Panggung Krapyak
• Poros Tugu-Kraton-Krapyak disebut
sumbu filosofi
– merupakan pesan bagi masyarakat Kota
Yogya untuk selalu menjunjung spirit
kemerdekaan/demokrasi-kerakyatan,
persamaan/solidaritas-kemanusiaan,
persatuan/kebhinekaan-kebangsaan dan
toleransi/budaya-ketuhanan.
• Tugu Golong-gilig, Kraton, dan Panggung
Krapyak yang disatukan oleh poros utara-
selatan, mengambarkan bersatunya
pemimpin dan rakyat
– Dalam kehidupan sehari-hari konsep ini
mewujud dalam pola hidup gotong royong
(konsep budaya Manunggaling Kawulo
Gusti)
Konsep Tradisi dan Budaya Pembentuk Ruang Kota Bali
• Manifestasi dari konsep pusat di Bali
mengambil konsep grand crossroad,
dimana dunia pertama/dunia para
dewa (bhurloka) dan dunia
ketiga/dunia setan (swahloka)
bertemu di dunia kedua/dunia
manusia (bhuwahloka)
• Fungsi permukiman Bali berada di
sekitar pampatan agung sebagai
cara mengakumulasi kekuatan
religious, sosio-ekonomi, dan politik
di satu tempat
• Pampatan Agung menjadi penanda
dan pembuat identitas bagi kota-
kota & permukiman di Bali
Asas Penataan Ruang Tradisional
Asas Penataan Ruang Kerajaan Jawa
• Asas Penataan Ruang dalam kerajaan Jawa dianggap sebagai dua sistem hirarkis yang
bertumpang tindih.
• Menurut Selo Soemardjan, tata ruang negara Jawa Mataram berbentuk suatu sistem
lingkaran dengan empat radius yang berbeda yang disusun secara hirarkis:
➢ Lingkaran pertama disebut Kraton yang merupakan tempat kediaman sultan dan
tempat kedudukan administrasi (parentah jero) yang berfungsi sebagai lembaga
penghubung antara sultan dan administrasi luar (parentah jobo).
➢ Lingkaran kedua disebut ‘negara/pusat kerajaan/ibukota’, tempat bermukim kaum
bangsawan dan pegawai tinggi negeri serta terdapat Masjid Agung dan alun-alun.
➢ Lingkaran ketiga disebut ‘negara agung’ yang dibagi menjadi tanah hak guna pakai
yang diurus oleh seorang pengurus tanah (patuh) yang diangkat oleh sultan.
➢ Lingkaran keempat disebut ‘mancanegara’ , yang memiliki sistem administrasi yang
berbeda dengan negara agung. Dipimpin oleh seorang patih yang bukan sanak saudara
sultan. Pada ‘mancanegara’ ini, sultan hanya mengangkat seorang bupati yang
merupakan bawahan patih.
Tata Ruang Konsentris Kota Yogyakarta
• Kraton adalah pusat pusaran kekuasaan,
tempat tinggal sultan dan keluarganya serta
beberapa kantor pangeran.
• Lapisan kedua adalah ibukota atau kutho
negara. Disini tinggal kaum bangsawan dengan
jabatan tinggi.
• Lapis berikutnya disebut negorogung atau
negoro agung, terletak kepentingan
kebendaan para bangsawan. Mereka disebut
patuh, dimana berlaku ketentuan bahwa
patuh tidak boleh tinggal di wilayah
lungguhnya, tetapi harus di kutho negoro. Agar
Sultan bisa mengawasi langsung aktivitas para
patuh.
• Lapis terluar disebut monconegoro, yaitu
wilayah yang tidak langsung “terawasi” Sultan,
karena letaknya jauh dari pusat kerjaan,
merupakan daerah yang paling lemah
ikatannya dengan Kesultanan.
Keberadaan Alun-alun dalam Tata Ruang Kerajaan Jawa

• Alun-alun selalu menjadi bagian dari kompleks kraton.


• Pada zaman prakolonial, alun-alun berfungsi sebagai:
(1) lambang berdirinya sistem kekuasaan raja terhadap rakyatnya;
(2) tempat semua upacara keagamaan yang penting;
(3) tempat pertunjukan kekuasaan militeris yang bersifat profan.
• Pada zaman kolonial, daerah mancanegara dan pesisir dikuasai oleh Bupati Kompeni.
Rumah Bupati dibangun untuk menjadi miniatur Keraton di Surakarta dan Yogyakarta.
Di depan rumah Bupati dibangun pendopo yang berhadapan langsung dengan alun-alun;
di sebelah barat terdapat Masjid Agung; di sebelah utara alun-alun dibangun kantor
Asisten Residen Belanda; di sekitar alun-alun terdapat pasar, stasiun bus dan daerah
pertokoan. Model alun-alun inilah yang berkembang sebagai prototipe identitas kota
Jawa.
Konsep Ruang Tradisional-Religius Bali

• Konsep Tri Hita Karana dapat dilihat dalam komponen perumahan Bali dan
pemukiman adat dalam bentuk 1) penataan ruang dan 2) klasifikasi elemen.
• Zonasi penataan ruang dibagi menjadi:
– Tempat-tempat suci (parahyangan);
– Daerah pemukiman (pawongan); dan
– Pendukung utilitas/pemukiman (palemahan).
• Klasifikasi elemen, unsurnya terdiri dari:
– Parahyangan yang ditunjukkan oleh tiga candi/tri kahyangan (mewakili hubungan
antara manusia dan Tuhan, terletak pada bagian suci di suatu daerah)
– Pawongan (mewakili hubungan antar manusia)
– Palemahan yang ditunjukkan oleh wilayah pemukiman (mewakili hubungan antara
manusia dan lingkungan)
• Dewata Nawa Sanga adalah symbol dari
proses keseimbangan kosmologi

• The Sanga Mandala membagi wilayah adat


desa sebagai daerah perkotaan menjadi
Sembilan ruang dengan atribut budaya-agama
yang berbeda, mulai dari yang paling suci
(ruang utamaning) ke yang paling profan
(ruang nista nistaning)
Desa Adat Bali

• Manusia mencapai keseimbangan yang harmonis antara mikrokosmos (manusia)


dan makrokosmos (lingkungan) dengan melakukan kehidupan sesuai dengan
konsep Hindu-Bali dalam sistem kosmik teritorial (desa adat)
• Elemen pusat di Gianyar terdiri dari:
– Pampatan Agung, memiliki peran ritual dalam sistem kepercayaan kosmo religious Bali;
– Puri Gianyar, sebagai objek konservasi bersejarah dan sarana untuk menjaga kesinambungan dan
budaya temporal; dan
– Alun-alun/lapangan, mencerminkan kekosongan ruang dalam desain pemandangan kota
• Fungsi penggunaan lahan dan permukiman adalah hasil dari pandangan
dunia/kardinal kompas lokal (luan-teben, kaja-kelod, dan kangin-kauh)
Kesimpulan
Bangunan, jalan, tugu, lapangan, dan wujud fisik komponen kota lain yang
menjadi ikon kota menjadi penanda dari kebudayaan dan peradaban kota
yang bersangkutan.
Komponen ruang kota, baik itu penanda fisik (bangunan, monumen, jalan,
dsb) maupun fungsi dan konfigurasi ruang kota adalah tanda-tanda
peradaban/budaya yang mewujud (tangible).
Perjalanan budaya penduduk kota akan “terpetakan” dalam tata ruang
kotanya.
Konsep penataan ruang kota Yogyakarta sangat konsentris dengan kraton
sebagai pusat. Sedangkan penataan ruang Bali unsur agama dan budaya
menjadi penentu utama dengan pusat kota yaitu pampatan agung.
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai