Kesimpulan
Pendahuluan
• Berdasarkan segi geografis-kultural dan geografis-ekonomis, kota di Jawa pada masa
prakolonial dikelompokkan menjadi kota perdagangan di daerah pesisir dan pusat-pusat
kerajaan yang bersifat sakral yang berada di tengah daerah pedalaman yang agraris.
• Teknologi pelayaran yang berkembang menyebabkan permukiman di pesisir terlibat dalam
proses perkembangan maritim di Asia Tenggara, sebaliknya antara dataran yang subur di
pedalaman terbatas pada akses jalan tembusan yang melewati lembah. Jalan-jalan ini
dijadikan lokasi strategis untuk mendirikan gerbang penarikan bea dan pos penjagaan
sehingga berakibat negatif bagi perkembangan perdagangan antar daerah.
• Faktor terpenting sebagai alasan kerajaan Jawa jaya adalah kekuatan ekonomi dari
‘daerah inti’ yang disebut pusat kerajaan (kraton). Hal ini terkait dengan surplus bahan
makanan dan komoditas ekspor utama. Sebuah daerah dapat menjadi ‘daerah inti’
apabila terdapat beberapa ‘daerah permukiman alam‘ yang berdekatan yang diperoleh
dengan cara penaklukan. ‘Daerah inti’ ini disebut sebagai negara agung sementara daerah
lain disebut ‘mancanegara’.
• Runtuhnya sebuah dinasti di Jawa adalah akibat pembangkangan daerah-daerah
‘Mancanegara’ terhadap dominasi pusat.
Konsep Form Follows Worldview
• Tata ruang tradisional selalu dipengaruhi oleh pola pikir dan pola hidup
manusia pada zamannya sementara pola pikir manusia dipengaruhi cara
pandangnya terhadap dunia (worldview) serta realitas yang tampak dan
tidak tampak. Maka dari itu tata ruang tradisional disebut penganut
Form Follows Worldview
• Robert Heine Geidern (1972): “kesamaan konsep tata ruang tradisional
di Asia Tenggara terletak pada kepercayaan tentang kesejajaran antara
makrokosmos dan mikrokosmos”
Konsep Makrokosmos dan Mikrokosmos
• Makrokosmos merupakan gambaran atau citra dunia. Gambaran ini
diwujudkan pada tatanan mikrokosmos dalam penataan wilayah, ibukota,
kompleks keraton maupun bangunan pada umumnya.
• Tujuannya adalah untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan manusia.
Apabila tidak tercapai akan timbul kehancuran (chaos)
• Penataan ruang dilakukan oleh seorang “pemberi wujud” berdasarkan
klasifikasi yang digariskan dalam kosmografi.
• Pedoman dalam kosmologi di masing-masing wilayah kerajaan yang bersifat
sentralistik, berpedoman pada nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat
setempat. Penataan ibukota sebagai pusat magis kerajaan harus ditata dalam
bentuk fisik yang merupakan gambaran ‘makrokosmos’ dalam bentuk kecil
(mikrokosmos) yang akan menghasilkan lingkungan yang ‘sakral’.
• Lingkungan yang tertata adalah lingkungan yang ‘sakral’ sementara lingkungan
yang tidak tertata merupakan lingkungan yang kacau (chaos) yang dianggap
sebagai ruang ‘profan’.
Pola Ruang Kota Yogyakarta
Indikator: benteng di
sekeliling kawasan kraton. Di luar benteng, HB I Di lingkaran paling
• Benteng selebar 4-6 meter, menempatkan 9 bergodo (
Kota Yogyakarta Pengalaman Sultan HB tinggi 6-8 meter berbentuk bujur batalion ) di selatan kota atau
luar adalah kawasan
dibangun dalam I, sebagai seorang sangkar adalah konsep baru Tata di belakang dan di samping Masjid Pathok
situasi yang rawan panglima perang Ruang kota di Jawa. Bangunan benteng Kraton. Sebaran Negoro, yang
benteng yang dilengkapi dengan lokasi kampung prajurit Pola ruang yang
ancaman peperangan sangat menentukan selokan (jagang) tersebut adalah diperkirakan
tembok pertahanan, mirip tersebut, jika diposisikan menggambarkan
dari ke 4 kekuatan konsep pembangunan dengan lokasi kraton merupakan
dengan tembok-tembok kota di konsep kota militer.
yang bersaing, kota Yogyakarta: Eropa menggambarkan gelar perang pertahanan terluar
Surakarta, Yogyakarta, faktor pertahanan • Di dalam benteng, dibangun tradisonal Jawa seperti di dari sistem
Taman Sari (istana air), yang pewayangan, yaitu gelar
Mas Said dan VOC. pertimbangan utama diperkirakan selain tempat Garudo Nglayang atau Sapit pertahanan ibukota
rekreasi merangkap benteng Urang kerajaan
pertahanan terakhir
Konsep “Pengendalian Pemerintahan dan
Pertahanan Kota”
• Pangeran Mangkubumi sangat sadar bahwa sumber kekuatan
utama lahiriah dalam memimpin negara adalah loyalitas
sentono dalem dan ulama dengan santrinya
• Strategi alokasi atau distribusi fungsi ruang dalam wilayah
kesultanan untuk memperoleh loyalitas, para pangeran dan
abdi yang berjasa diganjar tanah lungguh (apanage). Tetapi
para pangeran/pejabat pemegang tanah lungguh harus tinggal
di wilayah Kutho Negoro, untuk kepentingan pengendalian
dan pengawasan.
• HB I juga menciptakan konsep Masjid Pathok Negoro
• Konsep tersebut adalah strategi untuk memperoleh dukungan
dari ulama dan santrinya.
• Dari sudut pandang politik kenegaraan, konsep masjid Pathok
Negoro adalah sebagai bagian dari strategi HB I untuk
mengelola kekuatan-kekuatan yang mendukung tegaknya
negara Ngayogyokarto Hadiningrat. Fungsi agama sebagai
sandaran kekuatan negara.
• Dari sudut budaya, struktur tersebut menggambarkan konsep
Mandala yaitu penggambaran keharmonisan antara
makrokosmos dengan mikrokosmos (rakyat dan pusat
kekuasaan).
Konsep Kosmologi Yogyakarta – Catur Sagotra atau Catur Gotro Tunggal
merupakan konsep kosmologi Jawa, yaitu
pemikiran tentang teranyamnya 4
komponen kehidupan dalam satu kesatuan
ruang. Konsep tersebut merupakan
gambaran kondisi yang harmonis dari alam
Kraton semesta, yaitu terintegrasinya mikrokosmos
dan makrokosmos dalam satuan ruang
kehidupan.
– Keempat gotro (masa) tersebut menyatu
dalam satu kawasan, dihubungkan oleh
Konsep ruang jalan, berfungsi sebagai inti kota.
Alun- CATUR Masjid – Keempat komponen tadi mewakili fungsi-
SAGOTRA
alun Yogyakarta Gede fungsi penting dalam kehidupan kota, yaitu
pemerintahan/pemimpin (kraton), religi,
etika dan moral (masjid), ekonomi (pasar)
dan budaya (alun-alun).
– Pola kepemimpinan yang mengacu pada
religi, ekonomi dan budaya merupakan
Pasar cerminan dari konsep memayu hayuning
bawono, yang saat ini dikenal sebagai
konsep pembangunan yang berkelanjutan.
Konsep Psiko-kosmik di Bali
• Konsep Tri Hita Karana dapat dilihat dalam komponen perumahan Bali dan
pemukiman adat dalam bentuk 1) penataan ruang dan 2) klasifikasi elemen.
• Zonasi penataan ruang dibagi menjadi:
– Tempat-tempat suci (parahyangan);
– Daerah pemukiman (pawongan); dan
– Pendukung utilitas/pemukiman (palemahan).
• Klasifikasi elemen, unsurnya terdiri dari:
– Parahyangan yang ditunjukkan oleh tiga candi/tri kahyangan (mewakili hubungan
antara manusia dan Tuhan, terletak pada bagian suci di suatu daerah)
– Pawongan (mewakili hubungan antar manusia)
– Palemahan yang ditunjukkan oleh wilayah pemukiman (mewakili hubungan antara
manusia dan lingkungan)
• Dewata Nawa Sanga adalah symbol dari
proses keseimbangan kosmologi