Anda di halaman 1dari 48

Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

BAB II
KAJIAN TEORI

Kajian teori dalam penelitian gapura-gapura di Masjid Menara Kudus


dan Masjid Mantingan Jepara ini berdasarkan pada pola Arsitektur yang
mirip. Pola arsitektur yang mirip pada sebelum tahun berdirinya kedua masjid
tersebut adalah bangunan-bangunan pada masa Kerajaan Majapahit.
Bangunan-bangunan yang dimaksud dalam hal ini seperti pola-pola letak
bangunan kerajaan, bangunan keraton, gapura-gapura dan lain-lain. Dari
kerajaan Majapahit yang mengalami keruntuhan maka bangunan-bangunan
yang mirip berkembang ke daerah-daerah lain.
Didalam “Serat Kenda” tentang Runtuhnya Majapahit, tentara Demak
menyerbu Majapahit maka Majapahit dapat dikuasai oleh Demak sehingga
Prabu Brawijaya melarikan diri ke Bali dengan candrasengkala “sirna-ilang-
kerti-ning-bumi” yang diterjemahkan tahun 1400 saka atau 1478 Masehi
sehingga Majapahit menjadi negara bawahan Kesultanan Demak. (Mulyana
S. , 1983).
Setelah Hayam Wuruk wafat, kejayaan kerajaan Majapahit lambat laun
meredup dan mengalami kemunduran akibat konflik kekuasaan dan perang
saudara, juga perang Paregreg antara Majapahit dan Blambangan, dan
diduga kuat, pusat kerajaan berada di wilayah ini yang ditulis oleh Mpu
Prapanca dalam kitab “Kakawin Nagarakretagama” dan dalam sebuah
sumber Cina dari abad ke-15. Trowulan dihancurkan pada tahun 1478 saat
Girindrawardhana berhasil mengalahkan Kertabumi, sejak saat itu ibukota
Majapahit berpindah ke Daha. (Drs. I Made Kusumawijaya, M.Si, dkk)

Tesis 9
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

Didalam buku Kerajaan-kerajaan Islam Di Jawa, runtuhnya Kerajaan


Majapahit karena tentara Demak menyerbu Majapahit, sehingga Majapahit
kalah. Diberitakan juga bahwa raja Demak telah memerintahkan mengangkut
balok-balok dari salah satu gedung penting di istana Majapahit ke ibukotanya
sendiri, untuk dipasang pada salah satu bangunan di Demak. Hal serupa itu
telah diceritakan tentang Sunan Kudus dalam Serat Kendha. Agaknya ia
telah menyuruh mengangkut pintu-pintu gerbang halaman muka Keraton
Majapahit ke Kudus, untuk dijadikan pintu-pintu gerbang masjid. (HJ De
Graaf dan Th G Pigeaud, 1986).

Dimulai dengan runtuhnya Majapahit dengan Prabu Brawijaya yang


sempat melarikan diri ke arah timur yaitu daerah kelungkung Bali dan
berdirinya Kerajaan Demak (letaknya di barat) maka diikuti juga bentuk
bangunan-bangunannya, bangunan tersebut seperti gapura. Perkembangan
bangunan gapura dalam hal ini yang berkembang kearah timur (ke pulau
Bali) sebagai referensi dan kearah barat (ke Kerajaan Demak) kemudian
berkembang ke daerah Kudus dan Jepara, dari hal ini maka penulis tertarik
untuk menelitinya memfokuskan pada bangunan gapura.

Menurut HJ De Graaf dan Th G Pigeaund (1986) dalam buku


Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Kudus dan Jepara merupakan wilayah
kerajaan Demak yang terpisah oleh Pulau Jawa. Saat ini di Demak bangunan
peninggalan jaman dulu yang masih ada yaitu Masjid Agung Demak yang
gapuranya sudah tidak ada. Dari Demak berkembang ke Kudus dan Jepara
karena kedua daerah tersebut merupakan wilayah Kerajaan Demak,
bangunan yang masih ada di kedua daerah tersebut yaitu berupa Masjid
beserta gapura-gapuranya. Seperti komplek bangunan Masjid Menara Kudus
dengan berbagai bentuk gapura-gapura dan Masjid Mantingan Jepara juga
dengan berbagai bentuk gapura-gapura.

Tesis 10
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

Gambar 2.1
Sketsa arah perkembangan Majapahit kearah Timur dan Barat.

Sumber : Sketsa Peneliti

2.1. Perkembangan Konsep Gerbang Dari Majapahit

Seperti peneliti jelaskan diatas kajian teori dalam penelitian gapura-


gapura di Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara ini
berdasarkan pada pola Arsitektur yang mirip. Pola arsitektur yang mirip pada
sebelum tahun berdirinya kedua masjid tersebut adalah bangunan-bangunan
pada masa Kerajaan Majapahit.

2.1.1. Tata Kota Kerajaan Majapahit

Majapahit adalah kerajaan besar di pulau Jawa berpusat di Jawa


Timur, Indonesia, dan berdiri sekitar tahun 1293 hingga 1500 M dan
menguasai sebagian besar wilayah nusantara. Letak dan lokasi kerajaan
Majapahit berawal dari sebuah desa kecil di kawasan Hutan Tarik
ini. Pendiri pendiri kerajaan Majapahit ialah Raden Wijaya yang di
nobatkan dengan nama Kertarajasa Jaya Wardana. Berdasarkan kitab
negara Kartagama di masa keemasannya, Kerajaan Majapahit adalah
kerajaan dengan budaya keraton yang adiluhung, anggun dan canggih.
Cita rasa seni dan sastranya tinggi dengan sistem ritual keagamaannya
Tesis 11
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

yang rumit dua agama besar Hindu-Budha yang di anut masyarakatnya


hidup berdampingan dalam harmoni. Kejayaan kerajaan
Majapahit mencapai puncaknya di masa Raja Hayam Wuruk dan Patih
Gajah Mada pada abad ke-14. Sayang setelah Hayam Wuruk wafat
kejayaan kerajaan Majapahit lambat laun meredup dan mengalami
kemunduran akibat konflik kekuasaan dan perang saudara. (Drs. I Made
Kusumawijaya, M.Si, dkk).

Gambar 2.2
Letak Kerajaan Majapahit di Trowulan Mojokerto

Sumber : Google letak Trowulan

Trowulan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Mojokerto, Jawa


Timur, Indonesia. Kecamatan ini terletak di bagian barat Kabupaten
Mojokerto, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Jombang. Trowulan
terletak di jalan nasional yang menghubungkan Surabaya-Solo-
Yogyakarta. Di kecamatan ini terdapat puluhan situs seluas hampir 100
kilometer persegi berupa bangunan, temuan arca, gerabah, dan

Tesis 12
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

pemakaman peninggalan Kerajaan Majapahit. Diduga kuat, pusat kerajaan


berada di wilayah ini yang ditulis oleh Mpu Prapanca dalam kitab “Kakawin
Nagarakretagama” dan dalam sebuah sumber Cina dari abad ke-15.
Trowulan dihancurkan pada tahun 1478 saat Girindrawardhana berhasil
mengalahkan Kertabumi, sejak saat itu ibukota Majapahit berpindah ke
Daha.

Situs Trowulan merupakan satu-satunya situs perkotaan masa


klasik di Indonesia. Situs yang luasnya 11 km x 9 km, cakupannya meliputi
wilayah Kecamatan Trowulan dan Sooka di Kabupaten Mojokerto serta
Kecamatan Mojoagung dan mojowarno di Kabupaten Jombang. Sebagai
bekas kota, di situs Trowulan dapat dijumpai ratusan ribu peninggalan
arkeologi baik berada di bawah maupun di permukaan tanah yang berupa :
artefak, ekofak serta fitur.

Situs peninggalan Kerajaan Majapahit yang sangat menarik ini


diperoleh melalui penelitian yang panjang. Penelitian terhadap Situs
Trowulan pertama kali dilakukan oleh Wardenaar pada tahun 1815. Ia
mendapat tugas dari Raffles untuk mengadakan pencatatan peninggalan
arkeologi di daerah Mojokerto. Hasil kerja Wardenaar tersebut
dicantumkan oleh Raffles dalam bukunya “History of Java” (1817) yang
menyebut bahwa berbagai obyek arkeologi yang berada di Trowulan
sebagai peninggalan dari Kerajaan Majapahit. Kemudian di teliti oleh
peneliti-peneliti lain.

Hasil penggalian di situs Trowulan menunjukkan bahwa sebagai


tempat terakumulasinya aneka jenis benda yang bisa disebut kota ini, tidak
hanya berupa situs tempat tinggal saja, tetapi terdapat situs-situs lain
seperti situs upacara, situs agama, situs bangunan suci, situs industri,
situs perjagalan, situs makam, situs sawah, situs pasar, situs kanal dan

Tesis 13
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

situs waduk. Situs-situs ini membagi suatu kota dalam wilayah-wilayah


yang lebih kecil yang diikat oleh jaringan jalan. Namun sejauh ini peneliti
belum memberikan gambaran utuh mengenai keseluruhan Kota Majapahit
seperti diuraikan Prapanca dalam puja sastranya “Kakawin
Nagarakretagama”. (I Made Kusumajaya dkk, 2009)

Pelestarian yang dilakukan Direktorat Perlindungan dan Pembinaan


Peninggalan Sejarah dan Purbakala waktu itu telah menghasilkan rencana
induk pelestarian yang dimaksudkan untuk melindungi situs penting di
Trowulan. Tahun demi tahun situs bangunan digali, dipugar dan dipelihara
serta dimanfaatkan, seperti : Candi Tikus, Gapura Bajangratu, Candi
Brahu, Candi Gentong, Gapura Wringin Lawang dan Candi Kedaton.
Berdasarkan kegiatan arkeologis yang dilakukan, menunjukkan bahwa
Situs Trowulan merupakan situs penting dalam dunia arkeologi Indonesia.

2.1.2. Peranan, Bentuk dan Pola Gerbang di Kota Majapahit

Pendirian kerajaan Majapahit ini diawali dari keruntuhan kerajaan


Singasari akibat serangan Jayakatwang dari Gelang-gelang. Bhre Wijaya
ditunjuk untuk menghadapi serangan Jayakatwang ini yang datang dari
sebelah utara.
Kota pada masa itu bukanlah kota dalam arti kota modern,
demikian pernyataan (Pigeaud, 1962), ahli sejarah bangsa Belanda,
dalam kajiannya terhadap Nagarakretagama yang ditulis oleh Mpu
Prapanca. Ia menyimpulkan, Majapahit bukan kota yang dikelilingi
tembok, melainkan sebuah kompleks permukiman besar yang meliputi
sejumlah kompleks yang lebih kecil, satu sama lain dipisahkan oleh
lapangan terbuka. Tanah-tanah lapang digunakan untuk kepentingan

Tesis 14
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

publik, seperti pasar dan tempat-tempat pertemuan dan bangunan Candi-


candi sebagai tempat pemujaan.
Maclaine Pont, seorang arsitek Belanda, coba menghubungkan
gambaran kota Majapahit yang tercatat dalam Nagarakretagama dengan
peninggalan situs arkeologi di daerah Trowulan. Dengan kitab di tangan
kiri dan cetok di tangan kanan, ia menggali Situs Trowulan. Hasilnya
adalah sebuah sketsa tata kota Majapahit, setelah dipadukan dengan
bangunan-bangunan purbakala yang terdapat di Situs Trowulan. Bentang
kota Majapahit digambarkan dalam bentuk jaringan jalan dan tembok
keliling yang membentuk blok-blok empat persegi (Drs. I Made
Kusumawijaya, M.Si, dkk).

Gambar 2.3
Sketsa rekonstruksi Kota Majapahit oleh Maclaine Pont (1924)
berdasarkan Nagarakretagama dan hasil penggalian.

Sumber : Buku Mengenal Kepurbakalaan MAJAPAHIT di Daerah Trowulan

Tesis 15
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

Pada tahun 1981 keberadaan kanal-kanal dan waduk-waduk di


Situs Trowulan semakin pasti diketahui melalui studi foto udara yang
ditunjang oleh pengamatan di lapangan dengan
pendugaan geoelektrik dan geomagnetik. Hasil penelitian kerja sama
Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal)
dengan Ditlinbinjarah, UGM, ITB, dan Lapan itu diketahui bahwa Situs
Trowulan berada di ujung kipas aluvial vulkanik yang sangat luas,
memiliki permukaan tanah yang landai dan baik sekali bagi tata guna
tanah (Karina, 1986). Waduk-waduk Baureno, Kumitir, Domas, Kraton,
Kedungwulan, Temon, dan kolam-kolam buatan seperti Segaran,
Balong Dowo, dan Balong Bunder, yang semuanya terdapat di Situs
Trowulan, letaknya dekat dengan pangkal kipas aluvial Jatirejo.
Melalui pengamatan foto udara inframerah, ternyata di Situs
Trowulan dan sekitarnya terlihat adanya jalur-jalur yang berpotongan
tegak lurus dengan orientasi utara-selatan dan timur-barat. Jalur-jalur
yang membujur timur-barat terdiri atas 8 jalur, sedangkan jalur-jalur
yang melintang utara-selatan terdiri atas 6 jalur. Selain jalur-jalur yang
bersilangan tegak lurus, ditemukan pula dua jalur yang agak
menyerong.

Lebar kanal-kanal berkisar 35-45 meter. Kanal yang terpendek


panjangnya 146 meter, yaitu jalur yang melintang utara-selatan yang
terletak di daerah Pesantren, sedangkan kanal yang terpanjang adalah
kanal yang berhulu di sebelah timur di daerah Candi Tikus dan
berakhir di Kali Gunting (di Dukuh Pandean) di daerah baratnya. Kanal
ini panjangnya sekitar 5 kilometer.

Hal yang menarik, sebagian besar situs-situs di Trowulan


dikelilingi oleh kanal-kanal yang saling berpotongan, membentuk
Tesis 16
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

sebuah denah segi empat yang luas, dibagi lagi oleh beberapa bidang
segi empat yang lebih kecil. Di depan paling ujung terdapat Candi
Waringin Lawang dan di belakang selatan terdapat Candi Bajangratu.

2.1.3. Candi Peninggalan Kerajaan Majapahit sebagai Gapura

Gambar 2.4
Presfektif rekonstruksi Kota Majapahit oleh Maclaine Pont (1924)
berdasarkan Nagarakretagama dan hasil penggalian.

Sumber : Wacana jelajah perabatan

Candi Wringin Lawang Candi Peninggalan Kerajaan


Majapahit. Sebagai kerajaan besar, Kerajaan Majapahit tentu
meninggalkan beberapa bangunan yang khas. Beberapa peninggalan
Kerajaan Majapahit tersebut diantaranya ada yang masih bisa
dinikmati sampai sekarang. Peninggalan Kerajaan Majapahit tersebut
sebenarnya beraneka ragam, namun beberapa yang ditemukan

Tesis 17
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

kebanyakan berbentuk candi. Candi peninggalan Kerajaan Majapahit


yang ditemukan ini sangat penting sebagai salah satu sumber berita
sejarah Kerajaan Majapahit. Meski ada beberapa bagian yang sudah
tidak utuh lagi, namun candi peninggalan Kerajaan Majapahit cukup
banyak memberikan informasi terkait sejarah mahapahit.

Gapura Wringin Lawang yang terletak di Desa Jatipasar,


Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto dalam tulisan Raffles :
Histori Of Java I, 1815 disebut dengan nama Gapura Jati Pasar,
sementara berdasarkan cerita Knebel dalam tulisannya tahun 1907
menyebutnya sebagai Gapura Wringin Lawang.

Banyak ahli sejarah sepakat bahwa Gapura Wringin Lawang


adalah pintu gerbang masuk pada sebuah komplek bangunan yang
penting di Ibu Kota Majapahit. Dugaan yang cukup kuat menyebutkan
bahwa Gapura Wringin Lawang ini merupakan gerbang pintu masuk
ke kediaman Mahapatih Gajah Mada. Ada lagi yang menyimpulkan
bahwa Gapura Wringin Lawang adalah gapura masuk ke Kerajaan
Majapahit yang ada di sebelah utara. Namun demikian, gapura ini
belum bisa dikatakan sebagai pintu atau gapura utama masuk ke
Kerajaan Majapahit, karena pintu gerbang Istana Majapahit berpagar
besi dan kereta bisa masuk ke dalamnya.

Candi Wringin Lawang yang terletak di Desa Jatipasar,


Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto dalam tulisan Raffles :
History Oj Java I, 1815 disebut dengan nama Gapura Jati Pasar,
sementara berdasarkan cerita Knebel dalam tulisannya tahun 1907
menyebutkan sebagai Gapura Waringin Lawang (I Made Kusumajaya
dkk, 2009).

Tesis 18
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

Gambar 2.5
Candi Wringin Lawang

Sumber : Survay Peneliti tahun 2017

Candi Wringin Lawang terbuat dari bata, kecuali bagian anak


tangganya yang terbuat dari batu. Bentuk candi wringin lawang adalah
candi bentar (candi terbelag dua) dengan denah empat persegi
panjang berukuran panjang 13 m, lebar 11,5 m, sementara tinggi
bangunan 15,50 m dan orentasi bangunan mengarah timur-barat
dengan azimut 2790.

Jarak antara dua bagian gapura selebar 3,5 m dengan sisa-sisa


anak tangga pasa sisi timur dan barat. Diperkirakan anak tangga ini
semula dibatasi oleh pipi tangga. Dari hasil penggalian arkeologi pada
sebelah utara dan selatan candi waringin lawang terdapat sisa struktur
bata yang mungkin merupakan bagian dari tembok keliling.

Tesis 19
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

Candi wringin lawang diperkirakan dibangun dari abad 13 – 14.


Sebelum di pugar candi waringin lawang sisi utara sebagian tubuh dan
puncaknya telah hilang, tersisa tinggi 9 m. Namum candi waringin
lawang ini kini telah utuh kembali setelah di pugar pada tahun 1991
sampai dengan 1995.

Candi Bajangratu Candi peninggalan Kerajaan Majapahit ini


diperkirakan dibangun pada abad ke 14. Gapura Bajang Ratu ini juga
merupakan salah satu gapura besar pada zaman keemasan Kerajaan
Majapahit. Menurut badan purbakala Mojokerto, fungsi dari Gapuro
Bajang Ratu ini adalah sebagai pintu masuk ke bangunan suci untuk
memperingati wafatnya Raja Jayanegara yang didalam kitab
Negarakertagama disebut sebagai "kembali ke dunia Wisnu". Dugaan
seperti ini muncul karena adanya relief Sri Tanjung dan sayap gapura.
Relief Sri Tanjung sendiri melambangkan pelepasan untuk orang
meninggal. Dan budaya tersebut sampai sekarang ternyata juga masih
ada di Mojokerto di daerah Trowulan, yaitu jika melayat orang
meninggal diharuskan melewati pintu belakang. Namun demikian,
sebelum wafatnya Jayanegara, Candi bajang Ratu ini sudah ada dan
digunakan sebagai pintu belakang kerajaan.

Candi Bajangratu terletak di Desa Temon Kecamatan Trowulan


Kabupaten Mojokerto. Dilihat dari bentuknya Candi Bajangratu ini
bangunan pintu gerbang tipe Paduraksa yaitu gapura yang memiliki
atap. Bahan utama Candi Bajang Ratu adalah bata, kecuali lantai
tangga serta ambang pintu yang terbuat dari batu andesit. Denag
candi berbentuk segi empat berukuran 11,5 x 10,5 meter, tinggi 16,5
meter dan lebar lorong pintu masuk 1,40 meter. Secara vertikal Candi

Tesis 20
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

Bajangratu dapat di bagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, tubuh dan atap
(I Made Kusumajaya dkk, 2009)

Selain itu candi bajangratu mempunyai sayap dan pagar tembok


dikedua sisinya. Pada kaki candi terdapat hiasan panil yang
menggambarkan cerita “Sri Tanjung”, bagian atas tubuh terdapat
ambang pintu yang di atasnya terdapat hiasan kala dengan hiasan
sulur-suluran. Sedangkan bagian atapnya berbentuk bertingkat-tingkat
dengan puncaknya berbentuk persegi.

Gambar 2.6
Candi Bajangratu

Sumber : Survay Peneliti tahun 2017

Pada sayap kanan candi terdapat dinding berbentuk panil


sempit dihias dengan relief cerita Ramayana yang digambarkan

Tesis 21
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

dengan perkelahian raksasa melawan kera. Bingkai kanan kiri pintu


diberi pahatan berupa binatang bertelinga panjang.

Nama Bajangratu pertama kali disebut dalam Oudheikunding


Verslag (OV) tahun 1915. Menurut para ahli yang telah menemukan
penelitian bangunan ini, Candi Bajangratu dihubungkan dengan
wafatnya Raja Jayanegara pada tahun 1328. Dalam Kitab Pararaton
disebutkan Jayanegara wafat pada tahun 1328 “Sira ta dhinarmeng
kapopongan, bhisaka ring Crnggapura pratista ring Antawulan”.
Menurut Crom Crnggapura dalam Pararaton sama dengan Cri
Ranggapura dalam Negarakertagama, sedang Antawulan dalam
pararaton sama dengan Antarsasi dalam Negarakertagama.

Sehingga disimpulkan bahwa dharma (tempat Suci) Raja


Jayanegara berada di kapopongan alias Crnggapura atau Cri
Ranggapura. Pratistanga (bangunan Suci) berada di Antarwulan atau
Trowulan. Dengan demikian fungsi Candi Bajangratu diduga sebagai
pintu masuk ke sebuah bangunan suci untuk memperingati wafatnya
Raja Jayanegara yang dalam Negarakertagama disebut kembali ke
dunia Wisnu 1328 Saka. Dugaan ini didukung oleh adanya relief Sri
Tanjung dan Sayap Garuda yang mempunyai arti sebagai lambang
pelepasan.

Masa pendirian Candi ini tidak diketahui dengan pasti, namum


berdasarkan relief Ramayana, relief binatang bertelinga panjang dan
relief naga diperkirakan Candi Bajangratu berasal dari abad XIII-XIV.
Sejak didirikan Candi Bajangratu belum pernah dipugar, kecuali
usaha-usaha konsolidasi yang dilakukan oleh pemerintah Hindia
Belanda pada tahun 1915. Pada tahun 1989 Candi Bajangratu mulai
dipugar dan selesai tahun 1992.
Tesis 22
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

Dari penjelasan diatas Candi Waringin Lawang dan Candi


Bajangratu merupakan candi yang dibangun pada masa Kerajaan
Majapahit. Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan Hindu-Budha.
Sejarah Kerajaan masa Hindu-Budha di daerah Jawa Timur dapat
dibagi menjasi 3 periode. Periode Pertama adalah raja-raja kerajaan
Kediri yang memerintah sejak abad ke 10 M hingga tahun 1222 M.
Periode Kedua dilanjutkan oleh pemerintahan raja-raja dimasa
Singosari yang memerintah dari tahun 1222 M hingga tahun 1293 M.
Periode Ketiga adala masa pemerintahan raja-raja Majapahit yang
berlangsung dari tahun 1293 M hingga awal abad ke 16 M.

2.2. Perkembangan konsep Gerbang Ke Arah Timur ( Bali )

Didalam “Serat Kenda” tentang Runtuhnya Majapahit, tentara Demak


menyerbu Majapahit maka Majapahit dapat dikuasai oleh Demak sehingga
Prabu Brawijaya melarikan diri ke Bali dengan candrasengkala “sirna-ilang-
kerti-ning-bumi” yang diterjemahkan tahun 1400 saka atau 1478 Masehi.
Sehingga Majapahit menjadi negara bawahan Kesultanan Demak. (Mulyana
S. , 1983).

Prabu Brawijaya yang sempat melarikan diri ke Bali maka besar


kemunngkinan juga di ikuti oleh pengikutnya. Dengan adanya pengikut-
pengikut dari Prabu Brawijaya maka bangunan-bangunan bisa jadi di
bangun. Bangunan baru kemungkinan mirip dengan yang ada di Majapahit.

Gelombang migrasi (kedatangan) orang-orang Jawa (shiwa-Budha-


Majapahit) kedua terjadi seiring dengan runtuhnya kerajaan Majapahit oleh
Kerajaan Islam Demak (1518). Dengan runtuhnya Majapahit dan semakin
luasnya pengaruh Islam sebagian masyarakat dan elit majapahit (bahkan
Tesis 23
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

sebagian diantaranya juga para resi/tokohagama)yang tidak menerima


realitas ini memilih ke gunung (seperti kaum tengger) maupun menyebrang
ke Bali. (Mashad, 2014)

2.2.1. Struktur bangunan Pura mengikuti konsep Tri Mandala

Pura di daerah Bali kebanyakan menganut Konsep Hindu


seperti bangunan Pura dibuat pada udara terbuka yang terdiri dari
beberapa bagian atau lingkungan dan dikelilingi oleh pagar tembok.
Masing-masing lingkungan dihubungkan dengan gapura atau gerbang
dengan ukiran indah. Lingkungan yang dikelilingi tembok tersebut
memuat beberapa bangunan seperti pelinggih, tempat bersemayam
Hyang Widhi, meru yaitu menara dengan atap bersusun, serta bale
(pavilion atau pendopo).
Pura bukan hanya tempat untuk pemujaan atau sembahyang,
melainkan tempat suci. Pendirian Pura harus mengikuti beberapa
persyaratan sehingga menjadi tempat suci. Struktur bangunan Pura
mengikuti konsep Tri Mandala (tri = tiga, mandala = wilayah/daerah).
Tri Mandala ini merupakan perlambangan dari Tri Bhuwana, yaitu:
1. Nista Mandala (Jaba Pisan) – lambang bhur loka
2. Madya Mandala (Jaba Tengah) – lambang bhuwah loka
3. Utama Mandala (Jero) – lambang swah loka

Untuk memisahkan ketiga daerah tersebut terdapa batas dan


aksebilitas dengan berupa pagar sebagai pembatas dan gerbang
sebagai Aksebilitas ketiga daerah tersebut. (Kempres, 1959).

Tesis 24
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

Gambar 2.7
Struktur Pura

Sumber : Penyedia Informasi “ Hindu Alukta”

2.2.2. Gapura – gapura pada bangunan Pura

Candi bentar adalah sebutan bagi bangunan gapura berbentuk


dua bangunan serupa dan sebangun tetapi merupakan simetri cermin
yang membatasi sisi kiri dan kanan pintu masuk. Candi bentar tidak
memiliki atap penghubung di bagian atas, sehingga kedua sisinya
terpisah sempurna, dan hanya terhubung di bagian bawah oleh anak
tangga. (Laksmi K.Wardani, Ronald H.I. Sitindjak, Sriti Mayang Sari,
2015).

Bangunan ini lazim disebut "gerbang terbelah", karena


bentuknya seolah-olah menyerupai sebuah bangunan candi yang

Tesis 25
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

dibelah dua secara sempurna. Bangunan gapura tipe ini terutama


banyak dijumpai di Pulau Jawa, Bali, dan Lombok. Bangunan gerbang
terbelah seperti ini diduga muncul pertama kali pada zaman Majapahit.

Gambar 2.8
Sketsa candi Bentar

Sumber : Penyedia Informasi “ Hindu Alukta”

Di kawasan bekas Kesultanan Mataram, di Jawa Tengah dan


Yogyakarta, gerbang semacam ini juga disebut dengan "supit
urang" (capit udang), seperti yang terdapat pada kompleks Keraton
Solo, Keraton Yogyakarta, dan Pemakaman raja-raja Imogiri.
Meskipun makna supit urang biasanya mengacu kepada gerbang
dengan jalan bercabang dua, biasanya jalan dan gerbang yang
mengapit kiri dan kanan bangunan pagelaran keraton.

Pada aturan zona tata letak pura atau puri (istana) Bali, baik
candi bentar maupun paduraksa merupakan satu kesatuan rancang
Tesis 26
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

arsitektur. Candi bentar merupakan gerbang untuk lingkungan terluar


yang membatasi kawasan luar pura dengan nista mandala (jaba pisan)
zona terluar kompleks pura, sedangkan gerbang kori ageng atau
paduraksa digunakan sebagai gerbang di lingkungan dalam pura, dan
digunakan untuk membatasi zona madya mandala (jaba tengah)
dengan utama mandala (jero) sebagai kawasan tersuci pura Bali.
Maka dapat disimpulkan bahwa baik untuk kompleks pura maupun
tempat tinggal, candi bentar digunakan untuk lingkungan terluar,
sedangkan paduraksa untuk lingkungan dalam. (Tjandrasasmita,
2009).

Paduraksa adalah bangunan berbentuk gapura yang memiliki


atap penutup, yang lazim ditemukan dalam arsitektur kuno dan klasik
di Jawa dan Bali. Kegunaan bangunan ini adalah sebagai pembatas
sekaligus gerbang akses penghubung antarkawasan dalam kompleks
bangunan khusus. Bangunan ini biasa dijumpai pada gerbang masuk
bangunan-bangunan lama di Jawa dan Bali, seperti kompleks keraton,
makam keramat, serta pura dan puri, meskipun pada masa sekarang
ada pula rumah yang juga menggunakan gapura semacam ini.
(Laksmi K.Wardani, Ronald H.I. Sitindjak, Sriti Mayang Sari, 2015)

Pada dasarnya paduraksa adalah sebuah pintu gerbang, akan


tetapi secara disiplin gaya bangunannya mengikuti gaya
bangunan candi. Yaitu terdiri atas tiga bagian; kaki atau landasan
tempat tangga, tubuh bangunan tempat gawang pintu, dan atap
bersusun yang dilengakapi kemuncak atau mastaka. Paduraksa
dilengkapi dengan lawang (lubang gawang pintu) dan daun pintu.
Gawang pintu (kusen) serta daun pintu ini biasanya dibuat dari bahan
kayu berukir.

Tesis 27
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

Pada masa kemudian di Jawa Timur, terutama pada


era Majapahit, atap gapura paduraksa kian langsing dan tinggi
menjulang. Contoh gapura paduraksa gaya Majapahit adalah Candi
Bajangratu. Adanya gapura paduraksa menandakan bahwa kompleks
bangunan yang memiliki gerbang seperti ini adalah bangunan penting,
seperti tempat suci, atau istana.

Gambar 2.9
Sketsa candi Paduraksa

Sumber : Penyedia Informasi “ Hindu Alukta”

Pada aturan zona tata letak pura atau puri (istana) Bali,
baik candi bentar (gerbang terbelah) ataupun paduraksa merupakan
satu kesatuan rancang arsitektur. Candi bentar merupakan gerbang
untuk lingkungan terluar yang membatasi kawasan luar pura
dengan nista mandala (jaba pisan), zona terluar kompleks pura.
Gerbang (kori) ageng sebagai gerbang di lingkungan dalam pura

Tesis 28
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

menggunakan paduraksa untuk membatasi zona madya


mandala (jaba tengah) dengan utama mandala (jero) sebagai kawasan
tersuci pura di Bali. Hal ini juga berlaku untuk kompleks tempat tinggal.
(Tjandrasasmita, 2009).

Angkul-angkul atau Pamedal (kori). Angkul-angkul atau


sering juga disebut Pamedal/Kori yang merupakan salah satu bentuk
pamesuan (pintu keluar dari pekarangan), pintu masuk utama ke
pekarangan rumah adat Bali dengan berbagai ukiran dan ornamen
khas bali di bagian atas maupun samping kiri-kanan, juga sebagai
salah satu wujud arsitektur tradisional Bali yang telah berkembang
dengan pesat baik yang terjadi pada fungsi, estetika (bentuk dan
langgam) serta struktur. angkul-angkul rumah adat bali selain sebagai
kesan pertama saat memasuki rumah keluarga hindu bali, juga
merupakan struktur bangunan bali yang memiliki nilai magis. angkul-
angkul juga akan melengkapi konsep tri hitakarana yang diusung
masyarakat hindu dalam penerapannya pada bangunan tempat
tinggal. secara umum angkul –angkul rumah tradisional Bali memiliki
pintu kwadi dan aling – aling untuk menghindari sirkulasi langsung dan
akses langsung menuju tempat tujuan. (Laksmi K.Wardani, Ronald H.I.
Sitindjak, Sriti Mayang Sari, 2015)

Tesis 29
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

Gambar 2.10
Sketsa gerbang angkul-angkul

Sumber : Penyedia Informasi “ Hindu Alukta”

Candi Bentar, Paduraksa dan Angkul-angkul merupakan


artefak masa lampau yang mengandung nilai historis, seni, budaya,
dan religi. Jenis bangunan ini dapat ditemukan pada kompleks
keraton, masjid, makam-makam kuno dan rumah adat Bali. Candi
Bentar penempatannya di halaman depan sedangkan Paduraksa
ditempatkan di halaman tengah dalam kompleks keraton, masjid, dan
makam kuno. Bukti fisiknya masih dapat ditelusuri, baik
perkembangannya pada masa pra-Islam maupun pengaruhnya pada
budaya masa kini. Sedangkan Angkul-angkul merupakan pintu
gerbang pada rumah - rumah yang ada di Bali. Gerbang ini menyatu
dengan pagar rumah. Contoh Gerbang Angkul - Angkul yaitu pada
rumah - rumah yang ada di Bali.

Tesis 30
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

Pada masa peralihan Hindu ke Islam di Jawa, bentuk Candi


Bentar dari masa Majapahit berkembang ke Bali, dan seni bangunnya
berkembang pada masa kerajaan Islam, terutama di Jawa.

Jika diamati berdasarkan pengaruh Hindu pada tata letak


bangunan pura (istana) di Bali, maka Candi Bentar, Paduraksa dan
Angkul-angkul merupakan satu kesatuan yang saling terkait. Candi
Bentar merupakan gerbang untuk lingkungan terluar yang membatasi
kawasan luar pura dengan nista mandala (jaba pisan), sedangkan
gerbang Paduraksa digunakan sebagai gerbang dalam pura, dan
digunakan untuk membatasi zona madya mandala (jaba tengah)
dengan utama mandala (jero) sebagai kawasan tersuci di pura Bali
dan Angkul-angkul merupakan pintu gerbang pada rumah - rumah
yang ada di Bali . Dengan demikian, baik untuk kompleks pura
maupun tempat tinggal, Candi Bentar digunakan untuk lingkungan
terluar, sedangkan Paduraksa untuk lingkungan dalam sedangkan
Angkul-angkul untuk pintu gerbang rumah.

2.3. Perkembangan konsep Gerbang Ke Arah Barat

Didalam buku Kerajaan-kerajaan Islam Di Jawa, runtuhnya


Majapahit karena tentara Demak menyerbu Majapahit, sehingga
Majapahit kalah. Diberitakan juga bahwa raja Demak telah
memerintahkan mengangkut balok-balok dari salah satu gedung penting
di istana Majapahit ke ibukotanya sendiri, untuk dipasang pada salah
satu bangunan di Demak. (HJ De Graaf dan Th G Pigeaud, 1986).

Dari pengangkutan bagian-bagian bangunan yang akan di pindah


ke Demak juga kemungkinan terdapat bangunan baru yang akan

Tesis 31
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

dibangun, seperti gapura-gapura sebagai pintu masuk. Bangunan gapura


tersebut kemungkinan besar mirip bangunan gapura yang ada di
Majapahit.

2.3.1. Masjid Agung Demak

Sebelum menjadi Kerajaan Demak, awalnya adalah sebuah


kadipaten yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit,
setelah Kerajaan Majapahit dikalahkan Demak, kemudian ibukota
Majapahit dipindahkan ke Bintoro, Demak merupakan kerajaan islam
pertama yang ada di Pulau Jawa.
Yang mendirikan kerajaan demak adalah Raden Patah,
kerajaan demak mempunyai lokasi yang sangat strategis karena
negeri tersebut sangat dekat dengan pelabuhan Bergota dari kerajaan
Mataram Kuno dan Jepara, kedua tempat inilah yang telah membuat
Demak menjadi kerajaan dengan pengaruh sangat besar di Nusantara.

Seperti dalam “Serat Kenda” tentang Runtuhnya Majapahit,


tentara Demak menyerbu Majapahit maka Majapahit dapat dikuasai
oleh Demak sehingga Prabu Brawijaya melarikan diri ke Bali dengan
candrasengkala “sirna-ilang-kerti-ning-bumu” yang diterjemahkan
tahun 1400 saka atau 1478 Masehi. (Mulyana S. , 1983).

Dalam pemindahan ibukota dari majapahit ke Demak terdapat


hal-hal yang dulunya ada di Majapahit di bangun juga di Demak,
seperti Keraton, ruang terbuka ( alun-alun ) dan juga berupa bentuk
gapura. Ini yang kita sebut pola arsitektur yang mirip. Salah satu
peninggalan Kerajaan Demak yang masih ada adalah Masjid Agung
Demak. Dalam gambar Masjid Agung Demak terdapat gapura masuk
Tesis 32
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

yang disebut gapura kori agung. Gapura kori agung adalah gapura
yang beratap dan berpintu.

Gambar 2.11
Gapura Masjid Agung demak 1920-1939

Sumber : Koleksi Foto Tropenmuseum Asterdam

2.3.2. Batas dan Aksebilitas Kawasan Pada Rumah tradisional


Jawa (Kudus)

Rumah tradisional Kudus (Jawa) tidak merupakan bangunan


tunggal tetapi kesatuan beberapa masa bangunan yang berfungsi
Tesis 33
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

untuk tempat tinggal dan melakukan kegiatan sehari-hari di rumah.


Pola tata bangunan dalam tapak terdiri dari bangunan utama, halaman
terbuka serta bangunan pelengkap. Bangunan utama menghadap
kearah selatan, posisi bangunan pada sisi utara tapak. Bangunan
pelengkap biasanya menempati posisi di Selatan tapak berseberangan
dengan bangunan utama dan dipisahkan oleh halaman terbuka di
tengah tapak. Batas tapak berupa pagar tinggi dari pasangan batu
bata. Aksesbilitas ke tapak melalui regol di sisi samping atau depan
tapak. Regol berbentuk Gapura beratap dengan pintu ganda.
Seringkali regol ini merupakan satu-satunya pencapaian ke dalam
tapak. (Sardjono, 2009).

Pagar dan Regol pada rumah Kudus massif dan tinggi


sehingga tampilan rumah hampir tidak terlihat kecuali puncak atapnya.
Pintu masuk ditandai berupa regol beratap dengan daun pintu. Kondisi
keseharian daun pintu selalu dalam keadaan tertutup. Pada rumah
Jawa regol sering kali tidak berdaun pintu, sebagai gantinya diberi
aling-aling.

Tesis 34
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

Gambar 2.12
Karakteristik Rumah Tradisional Kudus

Sumber : Sardjono, A. B. (2009). TATA RUANG RUMAH TRADISIONAL


KUDUS.

2.4. Batas dan Aksebilitas dalam Kawasan Peribadatan Islam

Batas dalam kawasan peribadatan islam dalam hal ini kawasan


masjid kuno adalah pagar keliling atau pagar pembatas kompleks masjid.
Batas pada masjid kuno terbuat dari batu bata yang disusun sehingga
membentuk sebuah pagar.

Aksesbilitas dalam kawasan masjid kuno adalah Gerbang atau


pintu masuk utama kompleks masjid atau makam. Pintu gerbang ini juga
untuk memisahkan zona atau daerah tertentu pada suatu kawasan.

Mesjid kuno di Jawa abad 15 dan 16 mempunyai bentuk yang


sangat spesifik. Arsitektur abad ke 15 dan 16 merupakan arsitektur
transisi dari arsitektur Jawa-Hindu/Budha ke arsitektur Jawa- Islam. Masa
Tesis 35
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

transisi tersebut melahirkan bentuk-bentuk bangunan mesjid yang sangat


spesifik. (Hartono, 2007).

Masjid jawa berbeda pada dasarnya dari masjid seperti dibangun


di negara-negara muslim yang lain. Karakteristik yang terpisah dari
masjid jawa telah diuraikan sebagai berikut :

1. Denah lantai dasar bangunan nya adalah suatu (penyiku/


lapangan);
2. Tidak berdiri pada kutub, seperti halnya kaum tua hunian
Indonesia dan rumah doa lebih kecil Indonesia ( Jawa: langgar;
Orang Sunda: tadjug; di Bantam: bungkus) tetapi di suatu
landasan yang raksasa(masive);
3. Mempunyai suatu menunjuk atap, terdiri dari dari dua sampai lima,
pembatasan menaik;
4. Mempunyai suatu perluasan (bagi/kepada) yang barat atau
northwestern sisi, memperlengkapi mihrab;
5. Mempunyai suatu beranda, baik di depan atau di sampingan juga
disebut oleh Jawa surambi atau siambi, dan oleh Sundanese tepas
masjid;
6. Membuka (ruang;spasi) di sekitar mesjid terlampir oleh suatu
dinding dengan hanya satu pintu masuk, suatu gerbang di depan.
(Pijper, 1947).

Masjid mempunyai pengertian yang tertentu ; suatu perumahan,


suatu gedung atau suatu lingkungan tembok, yang dipergunakan sebagai
tempat mengerjakan sholat, baik untuk sholat lima waktu maupun untuk
sholat Jum’at atau sembayang hari raya. (Aboebakar, 1955).
Masjid sering dihubungkan dengan makam yang dalam
pembangunannya tidak direncana secara khusus seperti pada masjid-
Tesis 36
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

masjid di Mesir, Persia dan Turki. Masjid makam di Negara-negara islam


ini memang termasuk jenis masjid dengan desain bangunan khusus
sesuai fungsinya yang berbeda dengan jenis masjid lain seperti masjid Al
Jum’ah, masjid madrasah dan sebagainya. Masjid makam adalah masjid
yang memiliki tempat untuk makam yang menjadi bagian dari
keseluruhan bangunan masjid. (Yudoseputro, 1986).

Pada hakikatnya masjid memiliki makna yang lebih luas tidak


hanya sebagai tempat ibadah tetapi sebagai pusat kebudayaan dan
kemasyarakatan Islam. Peran masjid pada zaman Nabi Muhammad
SAW, ditunjukkan melalui pencerminan konsep masjid yaitu ; sebagai
pusat pengembangan total masyarakat muslim di segala aspek
kehidupan. Dan tidak hanya sebagai bangunan ibadah, berdoa atau
meditasi, namun juga merupakan tempat berinteraksi masyarakat
muslim. Hablum minallah (mendekatkan diri dengan Allah), hablum
minannas (berinteraksi dengan manusia sesamanya) serta hablum min
alamin (berinteraksi dengan alam lingkungannya).

2.5. Teritori dan Aksessibilitas dalam Arsitektur

Kajian teori teritori dan aksessibilitas dalam arsitektur ini penting


karena untuk membahas teritori dan aksessibilitas kawasan. Teritori untuk
membahas batas kawasan tersebut dan Aksessibilitas untuk membahas
akses masuk ke sebuah kawasan.

Tesis 37
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

2.5.1. Teori Teritori

Perilaku teritori melibatkan karakter-karakter (Altman,


Environmental and Culture, 1980) : (a) Bentuk pemilikan dan kontrol
melalui akses ke tempat tersebut, (b) variasi skala dari kecil ke besar,
(c) Pelayanan pada beragam fungsi, meliputi kebutuhan social dan
biologis, (d) Personalisasi atau atribut-atribut, (e) Kemungkinan
bertahan dari campuran tangan pihak luar.

Teritori menerapkan besaran dan perempatan, tidak hanya


tempat tetapi artefak dan ide-ide pula, dan itu ditandai dengan luasan
batas fisik dan tanda-tanda simbolik. (Lang, 1987). Dan garis
demarkasi dapat berwujud suatu tanda-tanda simbolik sebagai
petunjuk atau suatu bentuk yang berasosiasi pada kepentingan
kelompok etnik tertentu yang membutuhkannya.

Kemampuan tata letak lingkungan adalah penting dalam


memberikan privasi melalui control teritori sebagai pemenuhan
kebutuhan dasar manusia seperti : kebutuhan akan identitas, stimulan,
keamanan dan kerangka perhubungan (akses/pintu). Arti bahwa
teritori selain harus menjamin keselamatan/keamanan juga harus
menjamin interaksi, dan akses atau pintu harus berfungsi sebagai alat
control gabungan diantara kedua kebutuhan tersebut. (Sharkawy,
1979).

Sebagai awal teori teritori yang digunakan dalam desain ruang


publik, pertama kali teori dikembangkan oleh Altman seorang pakar
masalah perilaku. Awalnya dia mengembangkan teori “Behaviour
Constraint” atau yang biasa disebut dengan teori hambatan perilaku.
Premis asal teori ini adalah stimulasi yang berlebihan atau yang tidak

Tesis 38
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

diinginkan, mendorong terjadinya arousai atau hambatan dalam


kapasitas pemrosesan informasi. Akibatnya seseorang atau kelompok
merasa kehilangan kontrol terhadap situasi yang sedang terjadi. Hal
tersebut menjadi awal terbentuknya teori dan konsep teritori pada
desain lingkungan. Teritori merupakan suatu pembentukan wilayah
untuk mencapai privasi yang optimal yang diupayakan dengan
menyusun kembali setting fisik atau pindah kewilayah lain. (Altman,
1975).

Berdasar teorisasi tersebut diletakkan dasar pengertian


sekaligus batasan definisi tentang tempat privat dan tempat public
place pada pernyataan diatas menunjuk pada ruang dalam konteks
perilaku lingkungan yang dinyatakan dengan adanya batas fisik yang
dibangun melingkupi suatu ruang (terkadang dengan tujuan untuk
membatasi gerak, pandangan atau suara ). Ruang juga ditandai
(sebagai batas) oleh perilaku organisme yang diwadahinya.
Pertahanan atas serangan terhadap teritorial hendaknya tidak dibaca
secara harfiah. Karakter perilaku keruangan dalam suatu ruangan bisa
sangat beragam namun ada satu kesamaan mendasar yang disebut
‘teritoriality’.

2.5.2. Teori Aksessibilitas

Dari aspek dua individu, aksessibilitas berkaitan dengan privacy


dan territory yang tidak lepas dari sistem budayanya (perilakunya).
Dalam penjelasan tentang interaksi, memberikan pengertian
Functional distance dan functional centrality sebagai alat yang umum
dari suatu pola interaksi masyarakat. Functional distance mengacu

Tesis 39
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

pada tingkat kesukaran perjumpaan suatu gerakan dari suatu titik ke


titik yang lain. Functional centrality mengacu pada kemudahan
pencapaian pada fasilitas umum/bersama masyarakat. (Lang, 1987).

Aksesibilitas termasuk dalam hak seseorang dalam ruang


publik. Aksesibilitas adalah kemudahan untuk memasuki suatu ruang
tergantung pada fungsi ruang tersebut. Terdapat tiga konsep utama
dalam menentukan aksesibilitas, antara lain: (1) aksesibilitas fisik, (2)
aksesibilitas visual, (3) aksesibilitas simbolik. (Carr, 1973).

Aksesibilitas adalah memperhatikan kemampuan seseorang


menuju ke tempat orang lain, ke tempat kegiatan, ke sumber daya
yang ada, ke tempat pelayanan, ke tempat informasi, atau ke tempat
yang lain. (Lynch, 1960).

Aksesibilitas dapat disimpulkan adalah derajat kemudahan


dicapai oleh orang, terhadap suatu objek, pelayanan ataupun
lingkungan. Kemudahan akses tersebut diimplementasikan pada
bangunan gedung, lingkungan dan fasilitas umum lainnya.

2.6. Tipologi

Tipologi berasal dari dua suku kata yaitu Tipo yang berarti
pengelompokan dan Logos yang mempunyai arti ilmu atau bidang
keilmuan. Jadi tipologi adalah ilmu yang mempelajari pengelompokan
suatu benda dan makhluk secara umum. Tipologi (dalam Arsitektur dan
Perancangan Kota) adalah klasifikasi (biasanya berupa klasikasi fisik
suatu bangunan) karakteristik umum ditemukan pada bangunan dan
tempat-tempat perkotaan, menurut hubungan mereka dengan kategori
yang berbeda, seperti intensitas pembangunan (dari alam atau pedesaan
ke perkotaan) derajat, formalitas, dan sekolah pemikiran (misalnya,
Tesis 40
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

modernis atau tradisional). Karakteristik individu tersebut membentuk


suatu pola. Kemudian pola tersebut berhubungan dengan elemen-
elemen secara hirarkis di skala fisik (dari detail kecil untuk sistem yang
besar).
Tipologi adalah ilmu watak tentang bagian manusia dalam
golongan – golongan menurut sifat masing – masing. (Nasional, 2008).
Di dalam ilmu tipologi dikenal beberapa istilah yaitu type, model,
basic type, classifactory type, generic type, prototype, morfology dsb
(Moeno, 1986).
Studi tipo-morfologi arsitektur, merupakan pengkajian tipe-tipe
bentuk arsitektural dengan memperhatikan unsur-unsur pembentuk
(struktur/elemen/komponen) dan komposisinya, tanpa mengabaikan
unsur fungsi yang berlaku pada objek tersebut. (Prajudi, 1999).
Dari pembahasan atas berbagai aspek teoritis oleh para ahli
tipologi dapat disimpulkan bahwa dengan berlandaskan pada aspek
historical reason, aspek original context, dan aspek fungsionalisme, tipo-
morfologi dapat digunakan untuk mengklasifikasi objek serta mencari
kandungan esensial dari tipe, yang dapat diisitilahkan sebagai generic
dan genetic. Di dalam studi tipologi dikenal tiga tahapan yaitu tahapan
untuk menentukan bentuk dasar pada setiap objek, menentukan sifat
dasar berdasarkan bentuk dasar ; menjelaskan proses komposisi bentuk
dasar. (Sukada, 1989).
Tipologi arsitektur adalah kegiatan yang berhubungan dengan
klasifikasi atau pengelompokan karya arsitektural dengan kesamaan ciri-
ciri atau totalitas kekhususan yang diciptakan oleh suatu masyarakat atau
kelas sosial yang terikat dengan kepermanenan dari karakteristik yang
tetap atau konstan. Kesamaan ciri-ciri tersebut antara lain kesamaan
bentuk dasar,sifat dasar objek kesamaan fungsi objek kesamaan asal-

Tesis 41
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

usul sejarah/ tema tunggal dalam suatu periode atau masa yang terikat
oleh kepermanenan dari karakteristik yang tetap/ konstan.
Tipologi dapat digunakan sebagai salah satu metode dalam
mendefinisikan atau mengklasifikasikan objek arsitektural. Tipologi dapat
mengidentifikasi perubahan-perubahan yang terjadi pada suatu objek dan
analisis perubahan tersebut menyangkut bentuk dasar objek atau elemen
dasar, sifat dasar, fungsi objek serta proses transformasi bentuknya.
(Moneo, 1979)
Analisis tipologi dibagi menjadi 3 fase yaitu:
a. Menganalisis tipologi dengan cara menggali dari sejarah untuk
mengetahui ide awal dari suatu komposisi; atau dengan kata lain
mengetahui asal-usul atau kejadian suatu objek arsitektural.
b. Menganalisis tipologi dengan cara mengetahui fungsi suatu objek.
c. Menganalisis tipologi dengan cara mencari bentuk sederhana
suatu bangunan melalui pencarian bangun dasar serta sifat
dasarnya.

Tipologi dapat disimpulkan sebagai Berikut :

 Tipologi Arsitektur

Tipologi arsitektur, suatu kegiatan yang berhubungan dengan


klasifikasi atau pengelompokan karya arsitektural dengan kesamaan
ciri-ciri atau totalitas kekhususan yang diciptakan oleh suatu
masyarakat atau kelas sosial yang terikat dengan ke-permanen-an dari
karakteristik yang tetap atau konstan. Kesamaan ciri- ciri tersebut
antara lain kesamaan bentuk dasar,sifat dasar objek kesamaan fungsi
objek kesamaan asal-usul sejarah/ tema tunggal dalam suatu periode
atau masa yang terikat oleh ke-permanen-an dari karakteristik yang
tetap/ konstan.
Tesis 42
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

 Tipologi Bangunan

Pengertian Tipologi Bangunan, sebuah studi/ penyelidikan


tentang penggabungan elemen-elemen yang memungkinkan untuk
mencapai/ mendapatkan klasifikasi organisme arsitektur melalui tipe-
tipe. Klasifikasi mengindikasikan suatu perbuatan meringkas/
mengikhtiarkan, yaitu mengatur penanaman yang berbeda, yang
masing-masing dapat diidentifikasikan, dan menyusun dalam kelas-
kelas untuk mengidentifikasikan data umumnya dan memungkinkan
membuat perbandingan-perbandingan pada kasus-kasus khusus.
Klasifikasi tidak memperhatikan suatu tema pada suatu saat tertentu
(rumah, kuil, dsb.) melainkan berurusan dengan contoh-contoh konkrit
dari suatu tema tunggal dalam suatu periode atau masa yang terikat
oleh kepermanenan dari karakteristik yang tetap/ konstan.

 Analisis Tipologi

Tipologi dapat digunakan sebagai salah satu metode dalam


mendefinisikan atau mengklasifikasikan objek arsitektural. Tipologi
dapat mengidentifikasi perubahan-perubahan yang terjadi pada suatu
objek dan analisa perubahan tersebut menyangkut bentuk dasar objek
atau elemen dasar, sifat dasar, fungsi objek serta proses transformasi
bentuknya. (Moeno, 1986).

Melalui analisis unsur-unsur, Tipo-morfologi pada dasarnya


merupakan sarana yang digunakan untuk dapat menjelaskan fenomena
yang melatarbelakangi suatu konfigurasi bentuk arsitektur. Memalui Tipo-
morfologi juga akan diperoleh gambaran yang jelas dan teliti.
Berdasarkan telaah teoritik terdapat dua pendekatan yang digunakan
melakui studi klasifikasi dan studi genetik (Krier, 1986) mengidentifikasi
bentuk desar yang bersifat genetik, yaitu persegi (square), segitiga

Tesis 43
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

(triangle) dan lingkaran (circle) atau dapat tiga kategori lain yang solit
(masif), Skeletal (rangka) dan composite or mixed (gabungan solid dan
rangka)

Tipo-morfologi merupakan sarana yang digunakan untuk dapat


menjelaskan fenomena yang melatarbelakangi suatu
perubahan/pembentukkan ‘bentuk arsitektural’, melalui analisis unsur-
unsur pembentuknya. Melalui tipo-morfologi akan dapat memberikan
gambaran yang jelas dan teliti. Sesuai dengan tujuan penelitian maka
(Prajudi, 1999) :

o Berdasarkan telaah teoritik, terdapat dua pendekatan yaitu melalui


studi klasifikasi dan generik.
 Studi klasifikasi digunakan untuk mengetahui :
- Ragam bentuk (Wujud, dimensi, warna, tekstur, posisi,
orientasi, inersia visual dan skala)
 Studi generik digunakan untuk mengetahui :
- Bentuk dasar spasial (basic type) / bentuk yang paling
esensial dari arsitektur gapura, misalnya dari denah, tampak
dan perletakan.
- Sifat bentuk dasar tersebut (misalnya simetris, axis,)
- Prinsip susunan bentuk dasar (misalnya adanya irama,
transformasi, hirarki )

o Dalam studi klasifikasi dan generik akan dianalisis aspek bentuk


meliputi denah-tampak-perletakan dan unsur-unsur pembentuk
meliputi kepala-badan-kaki gapura dengan tanpa mengabaikan
faktor-faktor yang melatarbelakanginya sehingga dapat

Tesis 44
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

menjelaskan fenomena-fenomena yang berkaitan dengan


terjadinya keragaman bentuk gapura tersebut.

Latar belakang kesejarahan dapat dijadikan sebagai landasan


pertimbangan didalam studi tipo morfologi ini. Tetapi dalam kajian tipo
morfologi lebih lanjut, dapat terjadi ketidaksesuaian atau mungkin ditemukan
analisis baru yang berkaitan dengan latar belakang kesejarahan. Melalui
pendekatan tipo morfologi diharapkan dapat ditemukan pula hubungan antara
‘analisis bentuk’ dengan ‘analisis kesejarahan’.

2.7. Pengertian Gapura

Gapura adalah pintu besar untuk masuk pekarangan rumah (taman,


dsb); pintu gerbang; Gapura (pintu gerbang) yang dibuat sebagai tanda atau
pernyataan hormat (untuk menghormati tamu, peristiwa penting, dsb).
(Nasional, 2008).

Gapura bila ditilik dari asal katanya, dari bahasa Sanskerta "Go" berarti
lembu dan "pura" berarti depan; dalam hal ini berarti area lembu yang
dipasang di depan kraton atau tempat suci agama Hindu. Lembu merupakan
kendaraan dewa Syiwa. (Suwarna, 1987)

Gapura adalah suatu struktur yang merupakan pintu masuk atau


gerbang ke suatu kawasan atau wilayah. Gapura sering dijumpai
di pura dan tempat suci Hindu, karena gapura merupakan unsur penting
dalam arsitektur Hindu. Gapura juga sering diartikan sebagai pintu gerbang.
Dalam bidang arsitektur, gapura sering disebut dengan entrance,
namun entrance itu sendiri tidak bisa diartikan sebagai gapura. Simbol yang
dimaksudkan di sini bisa juga diartikan sebuah ikon suatu wilayah atau area.
Secara hirarki sebuah gapura bisa disebut sebagai ikon karena gapura itu
Tesis 45
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

sendiri lebih sering menjadi komponen pertama yang dilihat ketika kita
memasuki suatu wilayah. (Dallapiccola, 2004).

Dalam istilah Jawa, pintu gerbang biasa disebut dengan gapura.


Orang Jawa memberikan arti dengan gapura ditranskrip dengan bahasa Arab
'ghafura' (Al-gaffar) yang berarti Yang Maha Pengampun. Dengan demikian
dapat dipersepsikan gapura manakala seseorang telah memasuki suatu
tempat/area/kawasan/wilayah yang didapatkan tidak lain adalah kesenangan,
kegembiraan, kenyamanan, dan seluruh rasa yang memberikan ketenangan
batin. (Muhajat, 2014).

Dari ketiga teori diatas maka gapura dapat disimpulkan sebagai pintu
masuk dan sebagai ikon karena gapura itu sendiri lebih sering menjadi
komponen pertama yang dilihat ketika kita memasuki suatu wilayah, serta
dipersepsikan gapura manakala seseorang telah memasuki suatu tempat /
area / kawasan / wilayah yang didapatkan tidak lain adalah kesenangan,
kegembiraan, kenyamanan, dan seluruh rasa yang memberikan ketenangan
batin.

2.7.1. Gapura Candi

Gapura Candi adalah suatu struktur yang merupakan pintu


masuk atau gerbang ke bangunan Candi, biasanya terdapat
Kalamakara dan Dwarapala.

Kalamakara merupakan hiasan berupa kepala kala yang


berada di atas pintu candi. Kalamakara dianggap sebagai penolak
bala hal - hal buruk di candi dan pengingat kepada siapa saja yang
memasuki candi tentang masa kematian, selain itu kalamakara
memiliki filosofi siapapun yang memasuki bangunan yang memiliki
kalamakara di atap pintu harus hati-hati, dan apabila tidak hati - hati

Tesis 46
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

dan berbuat nista di dalamnya maka akan dimakan kala.


Kalamakara berbentuk kepala monster yang memiliki rupa
campuran dari ikan, naga, buaya, singa, macan dan hewan - hewan
lain. Kalamakara pada candi Hindu dan Buddha memiliki
perbedaan, pada kalamakara candi Hindu kepala kalamakara
terdapat rahang sedangkan pada candi Buddha bentuk kalamakara
tidak berahang. (Santiko, 1999)

Dwarapala merupakan patung penjaga yang terletak di depan


pintu candi. Dwarapala berbentuk makhluk yang memegang gada
dengan posisi berdiri. Dwarapala menggambarkan penjaga candi.
(Santiko, 1999)

2.7.2. Gapura Masjid

Gapura masjid adalah suatu struktur yang merupakan pintu


masuk atau gerbang ke bangunan Masjid. Biasanya gapura ini
berbentuk Candi Bentar, Paduraksa dan Angkul-angkul. Biasanya
gapura pada masjid terdapat hiasan-hiasan dengan meniru flora
dan fauna, tidak boleh menggambarkan makluk yang bernyawa.
Pada gapura masjid biasanya terdapat condrosengkolo untuk
melambangkan tahun pembuatannya. Gapura Masjid merupakan
salah satu ciri bangunan masjid kuno nusantara.

2.8. Sejarah Perkembangan Candi

Perkembangan Candi di Nusanrata berawal dari Kerajaan


Mataram Kuno yang berpusat di Jawa Tengah. Di zaman ini muncul dua
dinasti yaitu Dinasti Sanjaya yang bercorak Hindu didirikan oleh Sanjaya

Tesis 47
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

pada tahun 732 M, sedangkan Dinasti Syailendra yang bercorak Budha


didirikan oleh Bahanu pada tahun 752. Kemudian Candi-Candi didirikan
oleh zaman para penguasa Mataram Kuno (abad XIII-X), pada zaman
para Raja-Raja Jawa Timur (abad X-XII) , dan pada zaman Kerajaan
Majapahit (1293-1478). (Wendoris, 2008).

Pada Dinasti Sanjaya (732-930) bangunan Candi mulai ada,


adapun Candi-Candi tersebut bercorak Hindu antara lain Candi Badut di
Malang Jawa timur, Candi Cangkung di Garut Jawa Barat, Candi-Candi
Siwa di Dieng Jawa Tengah, Candi Gedung Songo di Ungaran Jawa
Tengah.

Pada Dinasti Syailendra (752-850) bangunan Candi bencorak


Budha mulai ada, adapun Candi-Candi tersebut antara lain Candi
Ngawen di Magelang Jawa Tengah, Candi Mendut di Magelang Jawa
Tengah, Candi Pawon di Magelang Jawa Tengah, Candi Borobudur di
Magelang Jawa Tengah, Candi Kalasan di Kalasan Yogyakarta, Candi
Sari di Kalasan Yogyakarta dan Candi Plaosan di Klaten Jawa Tengah.

zaman para penguasa Mataram Kuno (abad XIII-X) bangunan


Candi antara lain Candi Prambanan corak Hindu dan Siwa di Prambanan
Klaten Jawa tengah, Candi Sajiwan corak Hindu Budha di Prambanan
Klaten Jawa tengah, Candi Sambisari corak Hindu dan Siwa di Kalasan
Yogyakarta, Candi Keraton Boko di Prambanan Klaten Jawa tengah,
Candi Banyunibo corak Budha di Yogyakarta, Candi Ijo corak Hindu di
Yogyakarta dan Candi Barong corak Hindu di Prambanan Klaten Jawa
tengah.

Pada zaman para Raja-Raja Jawa Timur (abad X-XII) bangunan


Candi antara lain Candi Sewu corak Budha di Prambanan Klaten Jawa

Tesis 48
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

tengah, Candi Lumbung corak Budha di Prambanan Klaten Jawa tengah,


Candi Jago di Tumpang Malang, Candi Kidal di Pakis Malang, Kompleks
Candi Gunung Tua corak Budha Tantrayana di Tapanuli Selatan,
Kompleks Candi Padas Tampak Siring corak Budha Siwa di Camara Kaki
Gunung Agung Bali dan Kompleks Candi Muara Takus corak Budha di
Sungai Kampar Riau.

Dan pada zaman Kerajaan Majapahit (1293-1478) bangunan


Candi antara lain Candi Singasari corak Budha Siwa di Malang, Candi
Jawi corak Budha Siwa di kaki Gunung welirang Jawa Timur, Candi
Panataran di Blitar Jawa Timur, Candi Rimbi di Jombang Jawa Timur,
Candi Wringin Lawang bercorak Hindu Budha di trowulan Jawa Timur,
Candi Bajang Ratu bercorak Hindu Budha di trowulan Jawa Timur dan
Candi Sukun corak Hindu di Gungng Lawu Karanganyar Jawa Tengah.

2.9. Susunan Candi

Berdasarkan bagian-bagiannya, bangunan candi terdiri atas tiga


bagian penting, antara lain, kaki, tubuh, dan atap. (Maryanto, 2007)
1. Kaki candi merupakan bagian bawah candi. Bagian ini
melambangkan dunia bawah atau bhurloka. Pada konsep Buddha
disebut kamadhatu. Yaitu menggambarkan dunia hewan, alam
makhluk halus seperti iblis, raksasa dan asura, serta tempat manusia
biasa yang masih terikat nafsu rendah. Bentuknya berupa bujur
sangkar yang dilengkapi dengan jenjang pada salah satu sisinya.
Bagian dasar candi ini sekaligus membentuk denahnya, dapat
berbentuk persegi empat atau bujur sangkar. Tangga masuk candi
terletak pada bagian ini, pada candi kecil tangga masuk hanya

Tesis 49
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

terdapat pada bagian depan, pada candi besar tangga masuk


terdapat di empat penjuru mata angin. Biasanya pada kiri-kanan
tangga masuk dihiasi ukiran makara. Pada dinding kaki candi
biasanya dihiasi relief flora dan fauna berupa sulur-sulur tumbuhan,
atau pada candi tertentu dihiasi figur penjaga seperti dwarapala.
Pada bagian tengah alas candi, tepat di bawah ruang utama
biasanya terdapat sumur yang didasarnya terdapat pripih (peti batu).
Sumur ini biasanya diisi sisa hewan kurban yang dikremasi, lalu
diatasnya diletakkan pripih. Di dalam pripih ini biasanya terdapat abu
jenazah raja serta relik benda-benda suci seperti lembaran emas
bertuliskan mantra, kepingan uang kuno, permata, kaca, potongan
emas, lembaran perak, dan cangkang kerang.

2. Tubuh candi adalah bagian tengah candi yang berbentuk kubus


yang dianggap sebagai dunia antara atau bhuwarloka. Pada konsep
Buddha disebut rupadhatu. Yaitu menggambarkan dunia tempat
manusia suci yang berupaya mencapai pencerahan dan
kesempurnaan batiniah. Pada bagian depan terdapat gawang pintu
menuju ruangan dalam candi. Gawang pintu candi ini biasanya
dihiasi ukiran kepala kala tepat di atas-tengah pintu dan diapit pola
makara di kiri dan kanan pintu. Tubuh candi terdiri dari garbagriha,
yaitu sebuah bilik (kamar) yang ditengahnya berisi arca utama,
misalnya arca dewa-dewi, bodhisatwa, atau Buddha yang dipuja di
candi itu. Di bagian luar dinding di ketiga penjuru lainnya biasanya
diberi relung-relung yang berukir relief atau diisi arca. Pada candi
besar, relung keliling ini diperluas menjadi ruangan tersendiri selain
ruangan utama di tengah. Terdapat jalan selasar keliling untuk
menghubungkan ruang-ruang ini sekaligus untuk melakukan ritual

Tesis 50
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

yang disebut pradakshina. Pada lorong keliling ini dipasangi pagar


langkan, dan pada galeri dinding tubuh candi maupun dinding pagar
langkan biasanya dihiasi relief, baik yang bersifat naratif (berkisah)
atau pun dekoratif (hiasan).

3. Kepala candi atau atap adalah bagian atas candi yang menjadi
simbol dunia atas atau swarloka. Pada konsep Buddha
disebut arupadhatu. Yaitu menggambarkan ranah surgawi tempat
para dewa dan jiwa yang telah mencapai kesempurnaan
bersemayam. Pada umumnya, kepala atau atap candi terdiri dari tiga
tingkatan yang semakin atas semakin kecil ukurannya. Sedangkan
atap langgam Jawa Timur terdiri atas banyak tingkatan yang
membentuk kurva limas yang menimbulkan efek ilusi perspektif yang
mengesankan bangunan terlihat lebih tinggi. Pada puncak atap
dimahkotai stupa, ratna, wajra, atau lingga semu. Pada candi-candi
langgam Jawa Timur, kemuncak atau mastakanya berbentuk kubus
atau silinder dagoba. Pada bagian sudut dan tengah atap biasanya
dihiasi ornamen antefiks, yaitu ornamen dengan tiga bagian runcing
penghias sudut. Kebanyakan dinding bagian atap dibiarkan polos,
akan tetapi pada candi-candi besar, atap candi ada yang dihiasi
berbagai ukiran, seperti relung berisi kepala dewa-dewa, relief dewa
atau bodhisatwa, pola hias berbentuk permata atau kala, atau sulur-
sulur untaian roncean bunga.

Tesis 51
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

Gambar 2.13
Bagiai-bagian Candi

Sumber : idsejarah.net

2.10. Bentuk dalam Arsitektur

Bentuk-bentuk arsitektur adalah suatu perwujutan dari organisasi


ruang yang merupakan hasil dari suatu proses pemikiran. Proses ini
didasarkan atas pertimbangan fungsi dan usaha pernyataan dari
ekspresi. (Blundell-Jones, 1999).

Bentuk-bentuk arsitektur memiliki unsur-unsur : garis, lapisan,


volume, tekstur dan warna. Kombinasi atau perpaduan dari kesemua
unsur akan menghasilkan ekpresi bangunan ini menghasilkan suatu

Tesis 52
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

pengungkapan maksud dan tujuan bangunan secara menyeluruh. (Eppi


P. Suriadjaja dkk, 1986).

Bentuk adalah suatu pokok bagi perancangan, dimana dibutuhkan


kepekaan untuk memilih, menguji dan manipulasi unsur-unsur bentuk-
bentuk dasar juga organisasi ruang dan perubahan yang terjadi sehingga
berkait satu sama lain, bermakna, ditunjang pengorganisasian ruang,
struktur dan kesatuan yang tepat. (Ching, 1994).

Ciri-ciri pokok yang menunjukan suatu bentuk dipengaruhi oleh


keadaan bagaimana cara kita memandangnya. Selain itu, bentuk juga
merupakan sarana pokok yang memungkinkan kita mengenal dan
melihat latar belakang, persepsi kita terhadap satu dan yang lain, sangat
tergantung dari derajat ketajaman visual dalam arsitektur. Bentuk dapat
dikenali karena ia memiliki ciri-ciri visual. (Ching, 1994) Ciri-ciri visual
sebagai berikut :
Wujud yaitu ciri-ciri pokok yang menunjukkan bentuk yang merupakan
hasil konfigirasi tertentu dari permukaan-permukaan dan sisi-sisi suatu
bentuk.
 Dimensi yaitu panjang, lebar dan tinggi. Demensi-demensi ini
menetukan proposinya, sedangkan skala tertentu oleh
perbandingan ukuran relatifnya terhadap bentuk-bentuk lain
disekelilingnya.
 Warna yaitu corak, intensutas dan nada pada permukaan suatu
bentuk merupakan atribut yang paling menyolok yang membedakan
suatu bentuk terhadap lingkungan. Warna juga mempengaruhi
bobot visual suatu bentuk.
 Tekstur yaitu karakter permukaan suatu bentuk. Tekstur
mempengaruhi perasaan kita pada waktu menyentuh, juga pada

Tesis 53
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

saat kualitas pemantulan cahaya menimpa permukaan bentuk


tersebut.

Sifat bentuk mempunyai sifat-sifat tertentu yang menilai pola dan


komposisi unsurnya :
 Posisi yaitu letak relatif suatu bentuk terhadap suatu lingkungan
atau medan visual.
 Orientasi yaitu posisi relatif suatu bentuk terhadap bidang dasar,
arah mata angin atau terhadap pandangan seseorang yang
melihatnya.
 Inersia Visual yaitu derajad konsentrasi dan stabilitas suatu bentuk.
Inersia suatu bentuk tergantung pada geometri dan orientasi
relatifnya terhadap bidang dasar dan garis pandangan kita.
 Skala yaitu Proporsi tertentu yang digunakan untuk menetapkan
pengukuran dan dimensi-dimensi
Dengan uraian teori diatas dapat dipahami bahwa fisik bentuk
menentukan ekspresi bangunan, menghasilkan citra tertentu yang
merupakan aspek silosofis desain yang menentukan kekhasan desain.
Dengan demikian bentuk memiliki peran mendasar dalam setiap
keputusan pada proses perancangan arsitektur.

II.11. Kesimpulan Kajian Teori


Untuk mengkaji faktor yang mempengaruhi budaya keragaman
bentuk gapura pada Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara
penulis merujuk kajian teori pada pola arsitektur yang mirip pada
sebelum tahun berdirinya kedua masjid tersebut adalah bangunan-
bangunan pada masa Kerajaan Majapahit. Bangunan-bangunan yang

Tesis 54
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

dimaksud dalam hal ini seperti pola-pola letak bangunan kerajaan,


bangunan keraton, gapura-gapura dan lain-lain. Dari kerajaan Majapahit
yang mengalami keruntuhan maka bangunan-bangunan yang mirip
berkembang ke daerah-daerah lain.
Maka perlu di dibahas perkembangan konsep gerbang dari
Majapahit yaitu gerbang Candi Wringin Lawang dan Candi Bajang Ratu.
Kemudian dari Majapahit berkembang ke arah timur yaitu ke Bali. Dan
dari Majapahit berkembang ke arah barat yaitu Demak seiring runtuhnya
Kerajaan Majapahit dan berdirinya Kerajaan Demak.
Dan untuk mengkaji ragam (tipe) bentuk gapura pada Masjid
Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara maka reori yang penulis
gunakan adalag teori yang membahas tentang Lay Out dan bentuk. Teori
Lay Out ini adalah membahas tentang batas dan aksebilitas dalam
kawasan dan teritori dan aksessibilitas dalam arsitektur. Kemudian teori
bentuk adalah membahas tentang tipologi, pengertian gapura, susunan
candi dan bentuk dalam arsitektur.

Tesis 55
Keragaman Gapura Masjid Menara Kudus dan Masjid Mantingan Jepara

DEMAK (1479 M) GAPURA MAJAPAHIT BALI (1380-1460)


Ke Barat Ke Timur
(1293-1478 M) - Candi Bentar
- Kori Agung - Candi Waringin Lawang - Paduraksa
- Regol - Candi Bajangratu - Alung-alung

KUDUS (1549 M) JEPARA (1559 M)


 Batas dan Aksebilitas dalam Kawasan
 Faktor budaya yang  Faktor budaya yang Peribadatan Islam
mempengaruhi ? mempengaruhi ?  Teritori dan Aksessibilitas dalam
 Lay Out ?  Lay Out ? Arsitektur
 Bentu-bentuk ?  Bentu-bentuk ?  Tipologi
 Gapura Candi dan Gapura Masjid
 Susunan Candi.
 Bentuk dalam Arsitektur

Gambar 2.14
Sketsa arah perkembangan Gapura Majapahit kearah Timur dan Barat.

Sumber : Sketsa pribadi

Tesis 56

Anda mungkin juga menyukai