Anda di halaman 1dari 10

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kota Surosowan menjadi ibu kota dari kerajaan Banten pada saat munculnya
Islam. Pusat kerajaan Banten yang pada mulanya di Banten Girang dipindahkan ke
Surosowan pada masa masuknya Islam karena dari segi politik dimaksudkan untuk
memudahkan hubungan antara pesisir utara Jawa dengan pesisir Sumatera Barat
melalui Selat Sunda dan Samudera Indonesia. Hal ini dilakukan karena pada masa itu
selat Malaka dan Kota Malaka sedikit banyaknya telah dikuasai oleh Portugis.
Perkembangan dan pertumbuhan kota Sorosowan ini tidak terlepas dari faktor
geografis. Sorosowan terletak di sekitar pantai, sehingga disekitar daerah tersebut
terjadi perdagangan dan pelayaran yang menyebabkan kota tersebut berkembang.
Dalam makalh ini akan dibahas letak geografis Sorosowan dan perkembangan dan
pertumbuhan kotanya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimankah letak geografis kota Sorosowan sebagai pusat kerajaan Banten?
2. Bagaimana sistem pemerintahan di kerajaan Banten?
3. Bagaimana kehidupan masyarakat dan pereknomiannya?
4. Bagaimana kehancuran kota Sorosowan?

BAB II
SUROSOWAN MASA ISLAM

A. Letak Geografis
Banten yang didirikan pada awal abad XVI dirancang menghadap ke laut
sebagai jalur utama komunikasi antar benua. Dalam konsep kota modern, Banten bisa
dibilang sebagai water front city. Berada pada sebuah teluk dengan panjang lintang 18
Km dan kedalaman sekitar 10 M, secara alamiah posisi Banten pada peta maritim
merupakan pelabuhan ideal pada persilangan dua jalur maritim internasional, yaitu
Selat Malaka dan Selat Sunda. Perairan teluk Banten selalu tenang berkat adanya
pulau-pulau dan batu-batu karang yang melindunginya. Sungai Cibanten yang
mengairi teluk tidak hanya menyediakan pelabuhan alam, melainkan juga menjadi
jalur komunikasi antara daerah pedalaman dengan jalur perdagangan di pesisir utara.
B. Sistem Pemerintahan
Kota banten dibangun di tepi teluk banten, yang lebarnya sampai 3 mil. Kota
itu panjangnya 850 depa. Di tepi laut kota itu panjangnya 400 depa dan kota ini
dibangun untuk visi maritim. Sebelumnya daerah aliran sungai Cibanten sudah lama
dijadikan tempat hunian yang bernama banten girang (kerajaan sunda-hindu) jauh
sebelum masa Kerajaan Islam berdiri dan didirikan di Banten.
Negeri banten girang ini merupakan negeri kuno sebelum islam masuk yang
pusatnya masih di banten girang, 10 km dari Laut Jawa di hulu Sungai Cibanten. 1 Hal
ini terungkap beradasarkan hasil penggalian arkeologi selama empat tahun (19881992).2 Ibukota Kerjaan Banten Girang, yang sempat disinggahi, bahkan dijadikan
tempat berdiam oleh Sunan Gunung Jati dan Hasanuddin dalam waktu cukup lama,
sebelum mendirikan atau memindahkan Ibukota Kerajaan ke tempat yang kelak
menjadi Ibukota Kerajaan Islam Banten yang bermula berpusat di Banten Girang dan
kemudian berpindah ke kawaaan pantai yaitu surosowan dan mengalami puncak
keemasannya pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. 3Dalam sejarah
kerajaan banten sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) memilih tempat untuk
dibangunnya sebuah kota di delta Cibanten, beliau memberikan petunjuk kepada
anaknya (Maulana Hasanuddin) agar di tempat itu dibangun istana, alun-alun kerajaan
dan pasar tempat iu.
1 Claude Guillot, Banten, Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, Jakarta: PT Gramedia, 2008, hal. 12
2 Ibid,hal. 16
3 Kosoh. S Dan Suwarno K, Sejarah Daerah Jawa Barat, Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan
Dan Sastra Indonesia Dan Daerah, 1979, Hal. 94

Pada pendirian awalnya kota banten menerapkan konsep Kerajaan dan ruang
yang mendasari tata-kota Jawa kuno. Dalam melaksanakan pembangunan Ibukota
Kerajaan Banten tersebut, penentuan letak bangunan-bangunan dan bagian-bagian
penting dari kota kerajaan berdasarkan petunjuk Sunan Gunung Jati, hingga tak
diragukan lagi, tata-kota Kerajaan Banten sangat dimungkinkan memiliki kesamaan
dengan tata-kota Kerajaan Islam Demak, dimana bagian gedung di Majapahit secara
sengaja dipindah dan dipasangkan sebagai elemen bangunan baru di Kerajaan
Demak..
C. Kehidupan Masyarakat dan Perekonomian
Bila ditinjau dari segi politik dan ekonomi kedudukan raja menepati tempat
tertinggi dalam status sosialnya karena merupakan penguasa tertinggi dalam
pemerintahan. Ada penggolongan masyarakat kota banten dapat dibagi atas:
a. Golongan raja beserta keluarganya: para raja/sultan yang bersemayam di kraton
melaksanakan dan mengatur pemerintahan dan kekuasaanya. Hubungan antara
bangsawan, para pejabat kerajaan dan masyarakat umumnya sangat terbatas
dengan bangsawan. Adanya pemisah antara lapisan atas dan bawah, dimana raja
masih dianggap utusan gusti allah yang bersifat magis-religius. Keluarga raja yang
ada di karton tidak mudah berhubungan langsung dengan masyarakat di luar
tembok kraton. Tembok kraton merupakan pemisah anatara keluarga raja dengan
lapisan-lapisan penduduk kota pusat kerajaan itu.
b. Golongan elit: golongan yang mempunyai kedudukan di atas seperti
bangsawan/priyai, ulama dan pedagang. Priyai hanya memikirkan kepentingan
mereka, tanpa memikirkan penduduk, sedangkan ulama berperan sebagi penasehat
raja, dan memainkan peranan penting dalam bidang politik dan budaya.
c. Golongan non elit: golongan ini berada pada lapisan bawah, seperti masyarakat
kecil, pedagang, nelayan, tentara bawahan dan petani.
d. Golongan budak: golongan budak ini terdiri dari orang-orang yang harus bekerja
berat, menjual tenaganya dan mengerjakan pekerjaan kasar.4

4 Sartono kartodirdjo, sejarah nasional Indonesia III, jakrta: departemen pendidikan dan kebudayaan,
1975, hal. 176

Kehidupan ekonomi rakyat banten jelas tidak mempunyai basis agraris,


melainkan perdagangan dan pelayaran. Karena itu, maka kota banten yang berada di
tepi pantai baik kekuasaan politik dan ekonomi dipegang oleh golongan penguasa
pemerintah yang pada hakekatnya mendominir perdagangan sebagai pemilik modal.
Pengawasan terhadap perdagangann dan pelayaran merupakan kekuasaan mereka
yang memungkinkan kerajaan memperoleh penghasilan dan pajak yang besar. Banten
merupakan pusat perdagangan yang sangat ramai dan dikunjungi para pedagang
asing.5
D. Kota Surosowan
Pembangunan dan pendirian Ibukota Kesultanan Banten juga bercirikan
sebuah kota yang menerapkan konsep Kota Mandala, di mana pusat Kota dari Ibukota
Kerajaan Islam Banten adalah sebuah lapangan yang dinamakan Paseban, yang dalam
versi teks Sajarah Banten disebut sebagai Darparagi, yang kira-kira seperti alun-alun
di kota-kota masa kini. Alun-alun kerajaan, yang disekitarnya terdapat Istana/kraton,
Masjid Agung, Srimanganti (tempat menunggu raja), dan Pasar yang dikelilingi oleh
kanal-kanal yang dibentuk oleh delta Sungai Cibanten. Inti dari kota pusat kerajaan
adalah kraton tempat raja bersemayam dan di kota kadipaten ialah kediaman adipatiadipati. Kraton-kraton menghadap ke utara, kompleks bangunan yang termasuk
kraton dipisahkan dari bangunan lain oleh tembok keliling/sungai buatan. Sedangkan
mesjid didirikan di barat alun-alun yang letaknya di pusat kota dipergunakan untuk
sembahyang jumat, dan sembahyang jumat dan sembahyang hari raya islam, maka
mesjid serupa dimanakan mesjid agung. Sedangkan pasar di banten ada yang terletak
di pusat kota ada juga yang terdapat di perkampungan para pedagang, seperti pasar
yang terletak di pacinan dan di karanghantu.6
Paseban atau darparagi berfungsi sebagai tempat tampilnya Sultan di hadapan
rakyatnya dalam situasi-situasi dan moment-moment sosial-politik penting. Darparagi
atau Paseban itu, terletak di tengah-tengah jalur antara pasar, tempat rakyat saling
bertemu, dan istana atau kediaman Sultan. Darparagi atau Paseban, terletak di utara
istana dan memanjang hingga ke sungai, yang telah membuatnya menjadi pusat
politik. Di lapangan yang diberinama Darparagi atau Paseban inilah, setiap hari
5 Kosoh. S Dan Suwarno K, Sejarah Daerah Jawa Barat, Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan
Dan Sastra Indonesia Dan Daerah, 1979, Hal. 96
6 Ibid., hal. 95

Sabtu rakyat Banten dapat menyaksikan Sultan dan para pembesar Kesultanan Banten
dengan gagah-berani dan riang berlomba dalam permainan kekuatan dan ketangkasan
dengan menggunakan senjata sembari mengendarai kuda masing-masing, sebuah
ajang adu ketangkasan dan kekuatan yang diberinama Sasapton, dan Sultan Banten
yang paling menggemari olahraga ketangkasan dan kekuatan ini adalah Sultan Ageng
Tirtayasa. Di sebelah selatan paseban terdapat bangunan Sri Manganti yang
diperuntukkan bagi para tamu raja atau tamu sultan ketika mereka datang, masuk, dan
menunggu sebelum diterima oleh Sultan Banten.
Kemudian, ketika memasuki kompleks istana yang sesungguhnya terdapat
sejumlah pelataran dan bangunan yang dinamakan dengan nama Made, sebuah
kampung yang diberi nama Candi Raras, kantor bendahara pribadi Sultan, Mesjid
Sultan yang memiliki menara, Meriam Ki Jimat, kandang kuda, serta tempat
penjagaan yang terdapat di setiap tempat tersebut.
Di luar istana/kraton dibangun kampung-kampung/kompleks-kompleks para
pendatang dan orang asing misalnya, perkampungan atau kompleks orang-orang
Tionghoa, yang meski beberapa di antara mereka merupakan para syahbandar dan
orang-orang kepercayaan terdekat Sultan, ditempatkan di luar benteng keraton. Hal
yang sama juga diberlakukan bagi kompleks orang-orang dari Benggala, Tamil,pegu,
siam, Persia, arab, turki dan India, dan dari Nusantara, seperti dari Bali, makasar,
banjar, banda, melayu Bugis, Cirebon, dari Palembang, dan yang lainnya. 7 Kampungkampung tadi ada yang ditempatkan di dalam pagar tembok kota, dan ada pula yang
diluarnya. Nama perkampungan yang ada di banten ada pula yang disarkan pada jenis
pekerjaan. Kota banten dilindungi oleh benteng-benteng, fenomena Kota atau Ibukota
berbenteng di Nusantara itu sendiri, seperti yang dikemukakan Daniel Perret dalam
artikelnya yang berjudul Kota Raja dalam Kesusasteraan Melayu Lama, dengan
merujuk hasil kerja arkeologis di Situs Banten Girang, baru ada di antara abad ke-9
dan ke-10, di mana Kota atau Ibukota Pertama Berbenteng di Nusantara adalah
Banten Girang.
Rupa-rupanya, visi Kota atau Ibukota berbenteng Kerajaan Islam Banten
memang masih memiliki kesinambungan dengan Ibukota-ibukota Kerajaan-kerajaan
Hindu di Nusantara, dan utamanya di Jawa. Di mana dengan fakta dan fenomena
tersebut, lanjut Daniel Perret, telah menunjukkan bahwa setelah kedatangan Islam,
wawasan dan kebudayaan pra-Islam tetap memainkan peranan penting dalam
7 J.C. Van Leur, Indonesia Trade And Society, Bandung, 1955, Hal. 132

pendirian dan pembangunan kotaraja atau ibukota Kerajaan-kerajaan Islam, di Jawa


khususnya, dan di Nusantara umumnya.
Secara umum, masih menurut Daniel Perret, fenomena parit yang mengelilingi
istana atau keraton, rupa-rupanya memang dibangun atas kebutuhan dalam situasi
perang dan usaha untuk melindungi diri dari serangan musuh dan kekuatan yang
sewaktu-waktu menyerang. benteng Kerajaan Islam Banten merupakan benteng yang
paling canggih dan yang paling kokoh sepanjang sejarah pendirian dan pembangunan
Ibukota kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.8
Setelah Kesultanan Banten telah membangun sebuah peradaban kota yang
ditandai dengan bangunan keraton, masjid, alun-alun, pasar, pelabuhan, dan kanalkanal sebagai sarana komunikasi di sekitar delta sungai Cibanten. Selain membangun
dan memperluas Kota Banten seiring dengan semakin besarnya penduduk pribumi
dan pendatang, para Sultan Banten juga membangun fasilitas lain untuk mendukung
vitalitas kota raja di delta Sungai Cibanten, yaitu berupa sarana komunikasi dalam
kota yang berupa kanal, bendungan, irigasi dan reservoir sebagai tempat cadangan air
bersih. Selain itu juga dibangun kebon alas, dimana kebon alas ini terletak Di sebelah
selatan Kota Banten yang dikenal dengan istilah Pupungkuran (daerah belakang Kota
Banten). Kebon Alas terletak di sebelah barat sungai Cibanten, yaitu berada di sekitar
Kampung Kenari sekarang (dekat Kasunyatan) sampai ke daerah persawahan di dekat
Tasik Ardi. Pada masa pemerintahan Sultan Abulmafakir Abdul Kadir (1624-1651),
Kebon Alas dilestarikan sebagai hutan kota dan dimanfaatkan juga untuk tempat
memelihara hewan peliharaan raja seperti kijang, kerbau, kuda, gajah, dan hewan
besar lain, yang dalam Babad Banten disebut Krapyak. Pada masa pemerintahan
Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682), di kawasan Kebon Alas ini dibangun tempat
peristirahatan raja dan kerabatnya yang disebut Tamansari. Taman sair berpusat pada
kolam buatan sebagai reservoir untuk mensuplai air bagi kebutuhan keraton dan kota
raja, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Tasikardi.
Menurut Cortemunde, seorang dokter bedah asal Denmark yang pernah
berkunjung ke kota Bantn (1673: 126): Dalam lawatannya bersama kapal niaga
Denmark ke Pulau Jawa, singgah ke Kota Banten. Ia menulis dalam catatan
perjalannnya, bahwa Sultan memiliki kawasan pedesaan yang berada di sebelah
selatan Kota Banten, yang dicirikan oleh keberadaan sebuah taman yang indah dan
8 Kosoh. S Dan Suwarno K, Sejarah Daerah Jawa Barat, Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan
Dan Sastra Indonesia Dan Daerah, 1979, Hal. 96

besar serta kaya pemandangan dengan semua pohon buah-buahan yang memiliki cita
rasa tinggi. Di kebun hutan (Kebun Alas) tersebut juga ditanami berbagai tumbuhan
langka. Di kawasan itu terdapat sebuah bangunan semacam pesanggerahan yang
dilengkapi dengan kolam pemandian. Keberadaan Kebon Alas, Tamansari, dan
Tasikardi. Selain itu menurut dicatat oleh pendatang Eropa lainnya yang datang
kemudian, yaitu: Heydt (1739) dan Stavorinus yang menyebutnya sebagai Grobiak
atau Grobbezak, penyebutan yang salah untuk kata Jawa Krapyak, yaitu tempat
khusus untuk pemeliharaan hewan besar, yang dapat dihubungkan dengan Kebon
Alas, Tamansari dan Tasik Ardi.9
Gagasan terpenting dari sudut pandang ekologis adalah: adanya pemikiran
untuk memelihara dan memanfaatkan zona belakang (pupungkuran) dari kota raja
sebagai Hutan Raya. Zona belakang kota ini berfungsi sebagai reservoir, kawasan
hijau (menanam pohon langka seperti Kenari), padang penggembalaan ternak sebagai
sumber pakan, tempat peristirahatan, dan rekreasi raja dan kerabatnya. Keseluruhan
lokasi tersebut dikenal sebagai Kebon Alas, Krapyak, Tamansari dan juga Tasikardi
dalam satu kesatuan ruang (kluster hijau) atau dalam konsep modern dapat
dikategorikan sebagai ruang terbuka hijau. Penggagas pertama adanya Hutan
Raya di Kesultanan Banten adalah Sultan Abulmafakir Abdul Kadir (1624-1651).
Keberadaan Hutan Raya ini kemudian diperluas lagi oleh Sultan Ageng Tirtayasa
(1651-1682) ke arah Tasikardi untuk membangun Tamansari yaitu istana air tempat
peristirahatan para Sultan Banten yang airnya dialirkan ke keraton setelah melalui
beberapa tempat penyaringan / penjernihan (pengindelan).
Gambaran fisik kota Banten dapat dilihat dari keseimbangan ekologis, yaitu di
satu sisi terdapat ekosistem manusia (kota raja) dan di sisi lain terdapat ekosistem
alam (kebon alas), keduanya berada pada bentang ruang yang sama, yaitu di sekitar
delta sungai Cibanten. Banten bukan hanya sebuah kota raja yang ditandai dengan
bangunan keraton lengkap dengan segala simbol kekuasaan, dan bukan pula hanya
sebuah emporium dimana terdapat dua pelabuhan besar (Pabean dan Karangantu)
dengan segala fasilitas dermaga dan pergudangan, melainkan juga kota yang ditata
memenuhi fungsi ekonomis (orde teknis) dan sekaligus simbolis (orde kosmis).

Bahan-Bahan Bangunan
9 Sunjayadi, Menyibak Kegemilangan Masa Lalu Banten, dalam http://sunjayadi.com/?p=167.
Diakses 9 april 2014

Untuk bangunan kraton sebagian dipergunakan bahan dari batu bata, terutama
untuk pagar dan bagiab-bagian fondasi, tetapi sebagian bagunanya dibuat dari kayu
dan bahan-bahan lain yang tidak tahan lama, misalnya untuk tiang/ruangan. Rumah
atau bangunan kraton sudah tidak berpanggung.10
Konsep Kota Banten Era Islam
Konsep dan orientasi pendirian dan pembangunan Ibukota Kesultanan Banten
adalah penjelmaan wawasan dan kosmologi Negara Konsentris Jawa, meski secara
ekonomi bervisi sebagai Negeri Niaga Maritim yang memadukan potensi dan
kekayaan agraris, yang semakin menguatkan hipotesis bahwa Banten sepanjang
sejarahnya sejak zaman Kerajaan Hindu Banten Girang hingga Kerajaan Islam
Banten, merupakan negeri yang memadukan wawasan dan kosmologi Dunia Jawa
dan Dunia Melayu. Pilihan ekonomi yang diambil Kerajaan Islam Banten untuk
menjadi Negeri Niaga Maritim, meski secara politik bersifat Jawa, yang
menyebabkan para Sultan berlaku tak ubahnya penerima hasil yang pasif dari niaga
maritim tersebut ketimbang sebagai pelaku yang aktif, ketika perkampungan dan
kompleks-kompleks para pendatang dan orang asing dibangun dan ditempatkan di
luar istana atau di luar keraton.
E. Kehancuran Kota
Istana Surosowan dibangun Panembahan Hasanuddin, sultan pertama Banten
(1526-1570 M). Sebutan Surosowan sebagai nama keraton, berkembang menjadi
nama wilayah kekuasaan. Bahkan, kemudian, nama resmi kerajaan Islam di Banten
adalah Negeri Surosowan.
Pada mulanya kompleks keraton tidak semegah seperti tercermin dari
reruntuhannya. Namun, pada masa Sultan Abdulfatah (Sultan Ageng Tirtayasa), dalam
kaitan jalinan persahabatan internasional, sejumlah teknisi Eropa diundang. Selain
dilibatkan dalam pembuatan kapal-kapal niaga, mereka juga dilibatkan dalam
perbaikan kompleks Keraton Surosowan.
Istana megah itu kemudian dibuat lebih indah dan lebih tahan dari berbagai
serangan. Di dalamnya dibangun pancuran dan kolam pemandian. Di sekelilingnya
dibangun tembok terbuat dari bata merah yang cukup tebal. Pada sudut-sudut benteng

10 Ibid., hal. 97

dibangun menara penjaga (bastion). Jalan masuk ke istana, berbentuk busur, diberi
dinding bata pada kedua tepinya untuk menghindari pengintaian dari luar.
Dalam sejarahnya, keraton ini mengalami beberapa kali kehancuran. Antara
lain ketika terjadi peperangan antara Sultan Ageng Tirtayasa dan anaknya sendiri,
Sultan Haji, yang bekerja sama dengan penjajah Belanda. Meski kemudian diperbaiki
lagi, perlawanan dari rakyat terhadap Sultan Haji terus berlangsung dan membuat
keraton rusak lagi.
Akan tetapi, kerusakan yang paling parah terjadi pada masa Sultan Aliuddin II
(1803-1808). Ketika Herman Willem Daendels meminta Sultan agar mengirimkan
seribu pekerja rodi untuk membangun jalur jalan Anyer-Panarukan. Selain itu, juga
meminta agar Patih Mangkubumi Wargadiraja diserahkan dan ibu kota kesultanan
dipindahkan ke Anyer karena di sekitar Surosowan akan dibangun benteng Belanda.
Tentu saja permintaan tersebut ditolak mentah-mentah. Terjadilah peperangan
hebat yang berakhir dengan penaklukan Surosowan dan penangkapan Sultan Aliudin
II lalu dibuang ke Ambon. Sementara Patih Mangkubumi Wargadiraja dihukum
pancung. Perlawanan rakyat Banten tidak berhenti. Pada 1809, Daendels
menghancurkan dan membakar Sorosowan. Puncak kerusakan keraton tersebut terjadi
pada tahun 1813.
Penyebab kemunduran Kerajaan Banten berawal saat mangkatnya Raja Besar
Banten Maulana Yusuf. Setelah mangkatnya Raja Besar terjadilah perang saudara di
Banten antara saudara Maulana Yusuf dengan pembesar Kerajaan Banten. Sejak saat
itu Banten mulai hancur karena terjadi peang saudara, apalagi sudah tidak ada lagi
raja yang cakap seperti Maulana Yusuf.

BAB III
KESIMPULAN
Pada masa masuknya Islam pusat kerajaan Banten di pindahkan dari Banten
Girang ke Surosowan yang dekat dengan pantai. Hal ini dimaksudkan agar

10

mempermudah hubungan antara pesisir utara Jawa dengan pesisir Sumatera Barat
melalui Selat Sunda dan Samudera Indonesia. Hal ini dikarenakan Selat Malaka
dengan Kota Malaka sedikit banyak telah dikuasai oleh Portugis.
Tata kota pusat kerajaan atau kota- kota diluar pusat kerajaan, kota pelabuhan,
tempat penguasa yang berkedudukan

sebagai adipati dan bupati pada dasarnya

menunjukkan persamaan. Wertheim berpendapat bahwa tata kota dibuat secara


tradisional direncanakan oleh penguasa yang lebih tinggi. Tata kota yang masih asli
itu mudah dikenal pada denah kota keraton kuno di Jawa yaitu adanya alun- alun yang
terletak di tengah- tengah kota, bangunan- banguna terpenting didirikan secara
tradisional dan jalan- jalan lurus berpotongan membentuk bujur sangkar. Letak
keraton pada masa islam di Banten mengarah ke utara.

Anda mungkin juga menyukai