Nim : 19406244002
Prodi : Pendidikan Sejarah 19 B
Matkul : Wisata dan Budaya dalam Kajian Sejarah
menunjukkan eksistensinya ditengah perpolitikan Indonesia hingga saat ini. Eksistensi Kraton
Yogyakarta ini telah diakui dan disyahkan oleh Negara Indonesia yang tercantum dalam Pasal
18B ayat (1) UUD 1945, kemudian lebih diperkuat lagi pada Undang-Undang nomor 13 Tahun
2012 tentang Keistimewaan DIY. Kesultanan Yogyakarta telah mengalami pasang surut
gelombang zaman dalam perkembangannya selama lebih dari dua setengah abad berlalu. Kraton
Yogyakarta lahir di masa kejayaan kekuasaanVOC. Berlanjut dan bertahan di masa pendudukan
kedaulatan politiknya sekaligus mengembangkan kebudayaan Jawa tidak bisa dilepaskan dari
perjuangan para Sultan yang bertakhta. Kerajaan Mataram yang merupakan cikal bakal dari
kraton Yogyakarta berpusat di Kotagede, posisinya berada di tenggara Kota Yogyakarta saat ini.
Hingga berjalannya waktu, kewibawaan dan kedaulatan Kerajaan Mataram terganggu oleh
intervensi pemerintah Kolonial Belanda yang berusaha menguasai wilayah kraton dalam segala
segi. Kondisi yang tidak menentu ini mengakibatkan munculnya gerakan anti-penjajah di bawah
pimpinan Pangeran Mangkubumi. Gerakan ini mengobarkan perlawanan tidak hanya kepada
penjajah Belanda melainkan juga kepada para tokoh lokal yang menjadi kaki tangan Belanda dan
Gejolak itu berbuntut pada pelaksanaan Perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari. Perjanjian
Giyanti yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 menyatakan Kerajaan Mataram
dibagi menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat, dan Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat. Surakarta dipimpin oleh Susuhunan Paku Buwono III, sementara Ngayogyakarta
atau lazim disebut Yogyakarta dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar
Sultan Hamengku Buwono I. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, wilayah
Kasultanan Yogyakarta mengalami pasang surut. Terutama terkait dengan pengaruh pemerintah
kolonial Belanda maupun Inggris. Pada tanggal 20 Juni 1812, ketika Inggris berhasil menyerang
dan masuk wilayah keraton, Sultan Hamengku Buwono II dipaksa turun dari tahta kekuasaannya.
Digantikan Sri Sultan Hamengku Buwono III yang yang dipaksa menyerahkan sebagian daerah
wilayah kekuasaannya untuk diberikan kepada Pangeran Notokusumo yang merupakan putera
Hamengku Buwono I yang diangkat oleh Inggris sebagai Adipati Paku Alam I.
pemerintahan Kesultanan dalam kraton secara intensif dengan maksud memasukkan birokrasi
berhaluan barat modern. Untuk membiayai birokrasi tersebut maka pada pada tahun 1945
Anggaran perbelanjaan Kraton Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua yaitu anggaran untuk
Parentah Ageng Karaton dan anggaran untuk Parentah Nagari yang selalu dalam
kontrol pemerintah Hindia Belanda. Untuk anggaran belanja dan mengurus keperluan istana,
setiap tahun Sultan mendapat uang ganti rugi yang disebut Daftar Sipil yang ditetapkan dalam
kontrak politik y sebelum Sultan dinobatkan menjadi raja oleh kendali Belanda. Dengan
demikian Sultan benar benar tersingkir dari pemerintahan Nagari hamper tidak memiliki
Perubahan besar dalam pemerintahan Kraton Yogyakarta terjadi pada saat yang mulia Sultan
Hamengkubuwono IX (HB IX) naik takhta pada tahun 1940, khususnya selama
pendudukan Jepang tahun 1942-1945. Secara perlahan namun pasti perjalanan Sultan
oleh tentara Jepang. Badan tersebut dinamakan dengan Paniradya yang masing-masing dikepalai
kekuasaan Pepatih Dalem Kraton melainkan langsung berada di bawah kekuasaan Sultan.
selaku kepala pemerintahan.Dsini Sultan berperan ganda dalam menjalankan tugasnya. Disatu
sisi beliau sebagai Raja, disisi lain beliau adalah seorang Gubernur yang mempunyai wewenang
dan kekuasaan yang sangat penting dalam menjaga eksistensi Kraton Yogyakarta agar tetap
berdaulat.
Sultan Hamengku Buwono IX memiliki peran sentral dalam menjaga hubungan antara
masyarakat di bawah kekuasaanya, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Dalam insitusi
kerajaan, posisi seorang Sultan mempunyai pengaruh kuat dalam mempertahankan eksistensi
Kraton, sebab selain sebagai Raja, secara konstitusional, Sultan juga ditetapkan sebagai
Gubernur. Selain itu, Kraton Yogyakarta secara konstitusional mempunyai kekuasaan yang
otonom berhak mengatur sendiri pemerintahannya yang secara intrinsik tidak bisa diintervensi
oleh sistem kekuasaan lain, termasuk oleh pemerintah pusat. Otonomi di Kraton Yogyakarta ini
konteks politik Indonesia. Yogyakarta memiliki peran besar dan tersendiri dalam sejarah
Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dengan tegas mengungkapkan posisi Kraton
Yogyakarta di dalam negara republik baru yaitu Indonesia . Dukungan terhadap republik baru
ini semakin penuh ketika Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII
memaklumatkan amanat pada tanggal 5 September 1945 yang menyatakan bahwa wilayahnya
yang bersifat kerajaan adalah merupakan bagian dari Negara Republik Indonesia.