Anda di halaman 1dari 6

NAMA : MAURA ZANETA GAVIOTA E.

KELAS/NO : XII MIPA 2/19

SEJARAH TUGAS : DARI KONFLIK MENUJU KONSENSUS

1. Buatlah sebuah analisa mengapa Papua merupakan salah satu daerah rawan konflik
sosial dan bagaimana cara untuk menyelesaikannya.
Konflik sosial yang terjadi di Tanah Papua pada beberapa tahun belakang ini tidak
terlepas dari pokok permasalahannya, yaitu konflik sosial yang di picu oleh perbedaan suku,
budaya dan golongan atau kelompok, sesuai dengan karakteristik dan dianggapnya sebagai
salah satu permasalahan yang dapat merugikan dan mengganggu bahkan melanggar aturan
dan norma yang berlaku pada suku-suku yang ada. Masalah persinahan atau perselingkuhan,
pembunuhan, kematian tidak wajar, dan rasa dendam yang mendalam merupakan salah satu
penyebab perang suku di daerah pedalaman Papua.
Rasialisme dan stigmatisasi terhadap masyarakat Papua menyebabkan dehumanisasi yang
melanggengkan sikap negatif dan perseteruan. Aparat keamanan, termasuk kepolisian dan
TNI, memiliki jejak kekerasan disertai pelanggaran HAM yang mendalam di tanah Papua,
terlebih pada masa DOM. Hingga kini, cara-cara koersif dan kekerasan masih menjadi
rujukan penanganan konflik yang melibatkan masyarakat Papua, baik di Papua maupun di
luar Papua. Bahkan masyarakat sipil–seperti anggota organisasi masyarakat (ormas) pun
terlibat. Kekerasan yang dipelihara akan menjadi residu konflik. Kekerasan langsung
memang lekat dengan konflik Papua, tetapi kekerasan struktural juga menjadi masalah
mendasar di sini. Ketimpangan akibat pembangunan ekonomi dan kegagalan pembangunan
menjadi akar konflik yang berlarut di Papua. Meski kini pemerintahan Jokowi mulai
menggalakkan pembangunan di Papua, tetapi pembangunan hanya dimaknai secara fisik dan
membiarkan pelanggaran HAM terjadi di dalamnya. Selain itu, hubungan pemerintah pusat
dan Papua tidak harmonis karena ketidakselarasan pemaknaan integrasi dan konstruksi
identitas politik di antara keduanya.
Cara yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan konflik ini, yaitu
menegakkan hukum atas tindakan rasis terhadap masyarakat Papua, menyelenggarakan
dialog setara-partisipatif antara pemerintah pusat dengan tokoh-tokoh dan representasi
masyarakat papua untuk menemukan strategi pemecahan masalah yang terjadi di Papua,
berkomitmen dan mengaplikasikan program menurunkan tensi kebijakan militerisme dalam
penanganan Papua.
2. Dengan menggunakan berbagai sumber cetak atau elektronik carilah raja-raja di
Nusantara yang lebih memilih bergabung dengan negara Republik Indonesia setelah
pernyataan kemerdekaan Indonesia.
a. Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII
Mataram, sebuah kerajaan Islam di Jawa bagian tengah-selatan aktif pada akhir abad ke-16.
Pusatnya di daerah Kota Gede, kemudian pindah ke Kerta, Plered, Kartasura dan Surakarta.
Kedaulatan Mataram terganggu dengan intervensi Belanda. Akibatnya, timbul gerakan anti-
penjajah di bawah pimpinan Pangeran Mangkubumi yang mengobarkan perlawanan terhadap
Belanda. Untuk mengakhiri perselisihan tersebut dicapai Perjanjian Giyanti atau Palihan
Nagari. Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada 13 Februari 1755 menyatakan bahwa
Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Surakarta dipimpin oleh Susuhunan Paku Buwono
III, sementara Ngayogyakarta dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar
Sultan Hamengku Buwono I.
Perjanjian Giyanti ini kemudian diikuti pula dengan pertemuan antara Sultan Yogyakarta
dengan Sunan Surakarta di Lebak, Jatisari pada 15 Februari 1755. Dalam pertemuan ini
dibahas peletakan dasar kebudayaan bagi masing-masing kerajaan. Kesepakatan yang dikenal
dengan nama Perjanjian Jatisari ini membahas tentang perbedaan identitas kedua wilayah
yang sudah menjadi dua kerajaan yang berbeda. Bahasan di dalam perjanjian ini meliputi tata
cara berpakaian, adat istiadat, bahasa, gamelan, tari-tarian, dan lain-lain. Inti dari perjanjian
ini: Sultan Hamengku Buwono I memilih untuk melanjutkan tradisi lama budaya Mataram.
Sementara itu, Sunan Pakubuwono III sepakat untuk memberikan modifikasi atau
menciptakan bentuk budaya baru. Pertemuan Jatisari menjadi titik awal perkembangan
budaya yang berbeda antara Yogyakarta dan Surakarta. Pada 13 Maret 1755 Hadeging
Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat dikumandangkan. Selanjutnya, Sultan Hamengku
Buwono I memulai pembangunan Keraton Yogyakarta pada 9 Oktober 1755. Dukungan
terhadap republik semakin penuh ketika Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka
Paku Alam VIII mengeluarkan amanat pada 5 September 1945 yang menyatakan bahwa
wilayahnya yang bersifat kerajaan adalah bagian dari Negara Republik Indonesia.
b. Syarif Kasim II
Syarif Kasim II bergabung dengan kaum pejuang dan dipercaya sebagai penasihat
pemerintah Karesidenan Aceh. Sultan masih menyuarakan dukungannya terhadap RI dari
Aceh, termasuk dengan membujuk raja-raja di Sumatra untuk berpihak kepada Republik.
Setelah masa damai, Syarif Kasim II sempat tinggal Jakarta kendati tidak menempati
posisi khusus di pemerintahan. Itu terjadi lantaran ia harus kembali ke Riau untuk mengurusi
harta peninggalan leluhurnya yang ternyata masih ada di Singapura. Di Riau, sultan menetap
di bekas kediaman almarhumah istrinya, Latifah.
Syarif Kasim II bolak-balik ke Singapura selama beberapa tahun dan sempat tinggal di
negeri bekas jajahan Inggris itu. Namun konfrontasi Indonesia dengan Malaysia yang terjadi
pada awal 1960-an membuat Syarif Kasim II gagal membawa pulang harta warisannya.
Lantaran tidak ingin terseret dalam konflik, Syarif Kasim II pulang ke Siak. Ia menghabiskan
masa tua di kampung halamannya hingga meninggal pada 23 April 1968.

3. Pingsan Gara-gara Sultan ini merupakan salah satu penggalan tulisan dari SK
Trimurti tentang sosok Sulatan HB IX. Kepribadian HB IX seperti apa yang mesti
teladani oleh generassi muda sekarang,jelaskan alasannya.
a. Nasionalisme
Dulu, sebelum kemerdekaan, Belanda saja takut pada Sultan. Pemerintahan Belanda di
tanah Jawa tidak akan bisa berjalan, tanpa menghormati pentingnya peran kesultanan di mata
rakyat. Dulu di jaman kolonial, umumnya para Sultan kedudukannya disegani Belanda.
Walau begitu, Sultan Yogya ketika itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, tidak mau
dimanfaatkan hanya sebagai simbol dan boneka. Walau akrab dan punya banyak teman
Belanda, tapi itu tidak menghilangkan prinsip politiknya sebagai bangsa Indonesia dan
menolak bekerja sama dengan Belanda. Pindahnya ibukota RI ke Yogya, adalah atas prakarsa
Sri Sultan Hamengkubuwo IX.
b. Rendah hati dan Merakyat
Sultan Hamengku Buwono IX terkenal merakyat. Banyak kisah menarik yang terjadi
antara Sultan dan masyarakat Yogyakarta. Sultan bahkan membuat seorang wanita pedagang
beras pingsan. Hal ini pernah disaksikan langsung oleh SK Trimurti, istri dari Sayuti Melik,
pengetik naskah proklamasi. Dalam buku ‘Takhta Untuk Rakyat’ wanita yang merupakan
Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia itu menceritakan bagaimana dirinya mengalami
langsung sikap ringan tangan Sultan.
Kejadiannya berlangsung pada tahun 1946, ketika pemerintah Republik Indonesia pindah
ke Jogjakarta. Ceritanya berawal ketika wanita pedagang beras ini memberhentikan jeep
untuk menumpang ke pasar Kranggan. Setelah sampai di Pasar Kranggan, sang pedagang
wanita ini meminta sang sopir untuk menurunkan semua dagangannya. Setelah selesai dan
bersiap untuk membayar jasa, dengan halus, sang sopir menolak pemberian itu. Dengan nada
emosi, wanita pedagang ini mengatakan kepada sang sopir, apakah uang yang diberikannya
kurang. Tetapi tanpa berkata apapun sang sopir berlalu menuju ke arah selatan.
Seusai kejadian itu, seorang polisi datang menghampiri dan bertanya kepada pedagang
wanita itu apakah pedagang wanita itu tahu siapa sopir tadi. Sang pedagang wanita menjawab
dengan nada emosi bahwa itu hanya seorang sopit dan ia tidak tahu siapa sopir itu tadi. Sang
polisi lantas memberitahu bahwa sopir tadi adalah Sultan Hemengku Buwono IX. Wanita
pedagang itu pingsan setelah mengetahui sopir yang dimarahinya karena menolak menerima
uang imbalan dan membantunya menaikan dan menurunkan barang dagangan, adalah Sultan
Hamengku Buwono IX.
Sultan yang gemar menyetir sendiri ini memang senang memberikan tumpangan.
Berkali-kali orang yang mau nunut alias numpang terkejut karena yang ditumpanginya
adalah mobil Sultan Yogyakarta sekaligus menteri negara. Sultan sendiri cuek-cuek saja. Dia
malah senang bisa membantu masyarakat.

c. Pribadi yang Sederhana, Demokratis dan Berkharisma


Sri Sultan HB IX adalah pribadi yang sederhana, demokratis, berkharisma dan tanggap
terhadap rakyatnya. Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah salah satu pahlawan nasional
berpengaruh Yogyakarta dan kemerdekaan Indonesia.
Sejak kecil HB IX harus keluar Keraton untuk menempuh pendidikan dengan Belanda.
Kehidupan dengan Belanda membentuk pribadinya yang mandiri dan cerdas terhadap
pengetahuan budaya barat. Hal yang menarik adalah saat beliau dinobatkan menjadi Sultan
Keraton Yogyakarta pada tanggal 8 Maret 1940 dalam pidatonya, Sultan mengatakan bahwa
ia akan mempertemukan jiwa Barat dan Timur agar dapat bekerja dalam suasana harmonis.
Sultan berkata bahwa meski ia telah mengenyam pendidikan barat, ia tetap orang Jawa.
Kesederhanaan Sultan HB IX pun sangat nampak ketika ia selalu mengunjungi rakyat-
rakyatnya baik yang ada di pasar, desa, atau tempat lainnya. Bahkan ia selalu memberikan
kebebasan kepada rakyatnya untuk mengutarakan pendapat di alun-alun. Dalam perjuangan
melawan penjajah, Sultan HB IX adalah sosok nasionalis. Ia selalu menyorakkan
kemerdekaan RI seperti keikutsertaan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 membantu Bung
Karno dan Bung Hatta. Tak hanya itu, saat masa penjajahan Jepang, Sultan melarang
pengiriman romusha dengan mengadakan proyek lokal saluran irigasi Selokan Mataram.
Sultan yang pernah menjadi wakil presiden NKRI, juga pernah menyumbangkan dana 6
juta gulden kepada Indonesia sebagai modal awal terbentuknya negeri ini. GBPH
Joyokusumo, anak Sultan HB IX menambahkan, sosok ayahnya yang paling dikenang adalah
komitmennya menjaga agar masing-masing budaya tidak saling mengalahkan. Khususnya
budaya Timur jangan sampai kehilangan jati dirinya
d. Dermawan dan peduli pendidikan
Dalam bidang pendidikan, Sultan HB IX pernah menjadi salah satu founding father
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Sultan HB IX juga ikut mendukung penggabungan
pendidikan tinggi yang tersebar di berbagai wilayah di Klaten, Surakarta, maupun yang ada
di Yogyakarta, menjadi satu perguruan tinggi yaitu UGM. Peran sultan HB IX terhadap
pendirian UGM sangat besar baik secara historis, sosiologis, politik, kultural, idenasional-
ideologis, faktual, material-fisikal dan spasial-lokasional.
Secara nyata Sultan HB IX juga memberikan bantuan dalam penyediaan sarana dan
prasarana. Beberapa di antaranya adalah menyediakan tempat perkuliahan di Sitihinggil dan
Pagelaran Kraton serta gedung lainnya di sekitar kraton. Ia pun menyediakan tanah kraton
(sultan ground) untuk pendirian kampus UGM yang baru di wilayah Bulaksumur dan
sekitarnya.
4. Tuliskan syair lagu RAYUAN PULAU KELAPA karya Ismail Marzuki dan pesan apa
yang bisa kita terima dari lagu tersebut.
a. Syair :
Tanah airku Indonesia
Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang ku puja sepanjang masa
Tanah airku aman dan makmur
Pulau kelapa nan amat subur
Pulau melati pujaan bangsa
Sejak dulu kala
Melambai-lambai nyiur di pantai
Berbisik-bisik raja klana
Memuja pulau nan indah permai
Tanah airku Indonesia
b. Pesan :
Lagu Rayuan Pulau Kelapa merupakan lagu yang menceritakan juga menggambarkan
keelokan dan keindahan alam Indonesia, baik dari kepulauannya, pantai, hingga flora di
Indonesia. Lagu ini juga mewakili perasaan mereka yang menyanyikan lagu Rayuan Pulau
Kelapa ini kepada Indonesia, dimana melalui lagu ini kita bisa mengungkapkan betapa cinta
dan bangganya kita lahir serta tumbuh di Tanah Air Indonesia ini.
5. Jelaskan dengan singkat :
a. Frans Kaiseipo
Frans Kaisiepo lahir di Wardo, Biak, 10 Oktober 1921. Frans Kaisiepo dikenal juga
sebagai Gubernur Irian Barat pada 1964 hingga 1973. Sejak muda, Kaisiepo sudah
dikenal sebagai aktivis gerakan kemerdekaan Republik Indonesia di wilayah Papua.
Kaisiepo menjadi tokoh penting dalam pergerakan anti Belanda waktu itu. Bersama
rekan-rekannya, ia berjuang untuk menyatukan wilayah Papua ke pangkuan Indonesia
setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
b. Silas Papare
Silas Papare adalah seorang yang berjuang penyatuan Irian Jaya (Papua) ke dalam
wilayah Indonesia. Silas Papare lahir di Serui, Papua, 18 Desember 1918. Ia
menyelesaikan pendidikan di Sekolah Juru Rawat pada tahun 1935 dan bekerja sebagai
pegawai pemerintah Belanda. Kegigihannya dalam berjuang untuk kemerdekaan Papua
membuatnya sering berurusan dengan aparat keamanan Belanda. Usahanya untuk
mempengaruhi Batalyon Papua untuk memberontak pada akhirnya membuat ia harus
masuk penjara di Jayapura.
c. Marthen Indey
Marthen Indey merupakan putra Papua yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia sebagai pahlawan Nasional Indonesia bersama dengan dua putra Papua lainnya
yaitu Frans Kaisiepo dan Silas Papare. Marthen Indey memahami nasionalisme ketika ia
ditugaskan di Tanah Merah (Digul). Kelompok Marthen Indey menyiapkan
pemberontakan melawan Belanda di Irian Barat pada akhir Desember 1945. Kemudian,
Marthen menjadi anggota Komite Indonesia Merdeka pada bulan Oktober 1946. Pada
tahun 1962, Marthen Indey merumuskan kekuatan gerilya dan membantu menyelamatkan
anggota RPKAD di Irian Barat selama TRIKORA.
d. Sultan Syarif Kasim II
Sultan Syarif Kasim II adalah sultan ke-12 Kesultanan Siak Sri Indrapura yang mendapat
gelar/penghargaan sebagai Pahlawan Nasional. Beliau dinobatkan sebagai sultan pada
umur 21 tahun menggantikan ayahnya Sultan Syarif Hasyim. Tidak lama setelah
proklamasi beliau menyatakan Kesultanan Siak sebagai bagian wilayah Indonesia, dan
menyumbangkan harta kekayaannya sejumlah 13 juta gulden untuk Pemerintah Republik
Indonesia, setara dengan 214,5 juta gulden (tahun 2014) atau 120,1 juta USD atau Rp
1,47 trilyun.
e. Opu Daeng Risaju
Opu Daeng Risaju adalah salah satu perempuan hebat yang tak hanya sekedar pemikiran
tapi juga perlawanan nyata, berjuang hingga di ujung senja. Meskipun seorang
bangsawan, beliau tak pernah mengenyam pendidikan formal. Tapi satu yang pasti, ia
memiliki pemikiran yang luas dan gigih memperjuangkan hak kaum tertindas.
Merupakan pejuang dan pelopor berdirinya PSII di Luwu. Rela melepas gelar
kebangsawannya dan memilih bercerai dengan suaminya daripada harus menghentikan
kegiatan politiknya. Sebuah pengorbanan yang tidak sedikit, karena penolakan kegiatan
yang dilakukannya justru berasal dari keluarganya sendiri.

Anda mungkin juga menyukai