1. Buatlah sebuah analisa mengapa Papua merupakan salah satu daerah rawan konflik
sosial dan bagaimana cara untuk menyelesaikannya.
Konflik sosial yang terjadi di Tanah Papua pada beberapa tahun belakang ini tidak
terlepas dari pokok permasalahannya, yaitu konflik sosial yang di picu oleh perbedaan suku,
budaya dan golongan atau kelompok, sesuai dengan karakteristik dan dianggapnya sebagai
salah satu permasalahan yang dapat merugikan dan mengganggu bahkan melanggar aturan
dan norma yang berlaku pada suku-suku yang ada. Masalah persinahan atau perselingkuhan,
pembunuhan, kematian tidak wajar, dan rasa dendam yang mendalam merupakan salah satu
penyebab perang suku di daerah pedalaman Papua.
Rasialisme dan stigmatisasi terhadap masyarakat Papua menyebabkan dehumanisasi yang
melanggengkan sikap negatif dan perseteruan. Aparat keamanan, termasuk kepolisian dan
TNI, memiliki jejak kekerasan disertai pelanggaran HAM yang mendalam di tanah Papua,
terlebih pada masa DOM. Hingga kini, cara-cara koersif dan kekerasan masih menjadi
rujukan penanganan konflik yang melibatkan masyarakat Papua, baik di Papua maupun di
luar Papua. Bahkan masyarakat sipil–seperti anggota organisasi masyarakat (ormas) pun
terlibat. Kekerasan yang dipelihara akan menjadi residu konflik. Kekerasan langsung
memang lekat dengan konflik Papua, tetapi kekerasan struktural juga menjadi masalah
mendasar di sini. Ketimpangan akibat pembangunan ekonomi dan kegagalan pembangunan
menjadi akar konflik yang berlarut di Papua. Meski kini pemerintahan Jokowi mulai
menggalakkan pembangunan di Papua, tetapi pembangunan hanya dimaknai secara fisik dan
membiarkan pelanggaran HAM terjadi di dalamnya. Selain itu, hubungan pemerintah pusat
dan Papua tidak harmonis karena ketidakselarasan pemaknaan integrasi dan konstruksi
identitas politik di antara keduanya.
Cara yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan konflik ini, yaitu
menegakkan hukum atas tindakan rasis terhadap masyarakat Papua, menyelenggarakan
dialog setara-partisipatif antara pemerintah pusat dengan tokoh-tokoh dan representasi
masyarakat papua untuk menemukan strategi pemecahan masalah yang terjadi di Papua,
berkomitmen dan mengaplikasikan program menurunkan tensi kebijakan militerisme dalam
penanganan Papua.
2. Dengan menggunakan berbagai sumber cetak atau elektronik carilah raja-raja di
Nusantara yang lebih memilih bergabung dengan negara Republik Indonesia setelah
pernyataan kemerdekaan Indonesia.
a. Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII
Mataram, sebuah kerajaan Islam di Jawa bagian tengah-selatan aktif pada akhir abad ke-16.
Pusatnya di daerah Kota Gede, kemudian pindah ke Kerta, Plered, Kartasura dan Surakarta.
Kedaulatan Mataram terganggu dengan intervensi Belanda. Akibatnya, timbul gerakan anti-
penjajah di bawah pimpinan Pangeran Mangkubumi yang mengobarkan perlawanan terhadap
Belanda. Untuk mengakhiri perselisihan tersebut dicapai Perjanjian Giyanti atau Palihan
Nagari. Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada 13 Februari 1755 menyatakan bahwa
Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Surakarta dipimpin oleh Susuhunan Paku Buwono
III, sementara Ngayogyakarta dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar
Sultan Hamengku Buwono I.
Perjanjian Giyanti ini kemudian diikuti pula dengan pertemuan antara Sultan Yogyakarta
dengan Sunan Surakarta di Lebak, Jatisari pada 15 Februari 1755. Dalam pertemuan ini
dibahas peletakan dasar kebudayaan bagi masing-masing kerajaan. Kesepakatan yang dikenal
dengan nama Perjanjian Jatisari ini membahas tentang perbedaan identitas kedua wilayah
yang sudah menjadi dua kerajaan yang berbeda. Bahasan di dalam perjanjian ini meliputi tata
cara berpakaian, adat istiadat, bahasa, gamelan, tari-tarian, dan lain-lain. Inti dari perjanjian
ini: Sultan Hamengku Buwono I memilih untuk melanjutkan tradisi lama budaya Mataram.
Sementara itu, Sunan Pakubuwono III sepakat untuk memberikan modifikasi atau
menciptakan bentuk budaya baru. Pertemuan Jatisari menjadi titik awal perkembangan
budaya yang berbeda antara Yogyakarta dan Surakarta. Pada 13 Maret 1755 Hadeging
Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat dikumandangkan. Selanjutnya, Sultan Hamengku
Buwono I memulai pembangunan Keraton Yogyakarta pada 9 Oktober 1755. Dukungan
terhadap republik semakin penuh ketika Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka
Paku Alam VIII mengeluarkan amanat pada 5 September 1945 yang menyatakan bahwa
wilayahnya yang bersifat kerajaan adalah bagian dari Negara Republik Indonesia.
b. Syarif Kasim II
Syarif Kasim II bergabung dengan kaum pejuang dan dipercaya sebagai penasihat
pemerintah Karesidenan Aceh. Sultan masih menyuarakan dukungannya terhadap RI dari
Aceh, termasuk dengan membujuk raja-raja di Sumatra untuk berpihak kepada Republik.
Setelah masa damai, Syarif Kasim II sempat tinggal Jakarta kendati tidak menempati
posisi khusus di pemerintahan. Itu terjadi lantaran ia harus kembali ke Riau untuk mengurusi
harta peninggalan leluhurnya yang ternyata masih ada di Singapura. Di Riau, sultan menetap
di bekas kediaman almarhumah istrinya, Latifah.
Syarif Kasim II bolak-balik ke Singapura selama beberapa tahun dan sempat tinggal di
negeri bekas jajahan Inggris itu. Namun konfrontasi Indonesia dengan Malaysia yang terjadi
pada awal 1960-an membuat Syarif Kasim II gagal membawa pulang harta warisannya.
Lantaran tidak ingin terseret dalam konflik, Syarif Kasim II pulang ke Siak. Ia menghabiskan
masa tua di kampung halamannya hingga meninggal pada 23 April 1968.
3. Pingsan Gara-gara Sultan ini merupakan salah satu penggalan tulisan dari SK
Trimurti tentang sosok Sulatan HB IX. Kepribadian HB IX seperti apa yang mesti
teladani oleh generassi muda sekarang,jelaskan alasannya.
a. Nasionalisme
Dulu, sebelum kemerdekaan, Belanda saja takut pada Sultan. Pemerintahan Belanda di
tanah Jawa tidak akan bisa berjalan, tanpa menghormati pentingnya peran kesultanan di mata
rakyat. Dulu di jaman kolonial, umumnya para Sultan kedudukannya disegani Belanda.
Walau begitu, Sultan Yogya ketika itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, tidak mau
dimanfaatkan hanya sebagai simbol dan boneka. Walau akrab dan punya banyak teman
Belanda, tapi itu tidak menghilangkan prinsip politiknya sebagai bangsa Indonesia dan
menolak bekerja sama dengan Belanda. Pindahnya ibukota RI ke Yogya, adalah atas prakarsa
Sri Sultan Hamengkubuwo IX.
b. Rendah hati dan Merakyat
Sultan Hamengku Buwono IX terkenal merakyat. Banyak kisah menarik yang terjadi
antara Sultan dan masyarakat Yogyakarta. Sultan bahkan membuat seorang wanita pedagang
beras pingsan. Hal ini pernah disaksikan langsung oleh SK Trimurti, istri dari Sayuti Melik,
pengetik naskah proklamasi. Dalam buku ‘Takhta Untuk Rakyat’ wanita yang merupakan
Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia itu menceritakan bagaimana dirinya mengalami
langsung sikap ringan tangan Sultan.
Kejadiannya berlangsung pada tahun 1946, ketika pemerintah Republik Indonesia pindah
ke Jogjakarta. Ceritanya berawal ketika wanita pedagang beras ini memberhentikan jeep
untuk menumpang ke pasar Kranggan. Setelah sampai di Pasar Kranggan, sang pedagang
wanita ini meminta sang sopir untuk menurunkan semua dagangannya. Setelah selesai dan
bersiap untuk membayar jasa, dengan halus, sang sopir menolak pemberian itu. Dengan nada
emosi, wanita pedagang ini mengatakan kepada sang sopir, apakah uang yang diberikannya
kurang. Tetapi tanpa berkata apapun sang sopir berlalu menuju ke arah selatan.
Seusai kejadian itu, seorang polisi datang menghampiri dan bertanya kepada pedagang
wanita itu apakah pedagang wanita itu tahu siapa sopir tadi. Sang pedagang wanita menjawab
dengan nada emosi bahwa itu hanya seorang sopit dan ia tidak tahu siapa sopir itu tadi. Sang
polisi lantas memberitahu bahwa sopir tadi adalah Sultan Hemengku Buwono IX. Wanita
pedagang itu pingsan setelah mengetahui sopir yang dimarahinya karena menolak menerima
uang imbalan dan membantunya menaikan dan menurunkan barang dagangan, adalah Sultan
Hamengku Buwono IX.
Sultan yang gemar menyetir sendiri ini memang senang memberikan tumpangan.
Berkali-kali orang yang mau nunut alias numpang terkejut karena yang ditumpanginya
adalah mobil Sultan Yogyakarta sekaligus menteri negara. Sultan sendiri cuek-cuek saja. Dia
malah senang bisa membantu masyarakat.