Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Dari 39 Raja-Raja Muna yang telah memerintah dikerajaan muna tidak semua
memiliki catatan sejarah yang dapat diungkap . Untuk itu dalam tulisan ini penulis
hanya mengungkap beberapa orang saja dengan perjuangannya masing-masing serta
masa pemerintahan dan sistem pemerintahannya..

Pengungkapan ini bertujuan untuk menjadi pembelajaran pada geberasi agar mereka
mengenal sejarah kejayaan nenek moyang mereka serta bagaimana perjuangan
mereka dalam membesarkan Kerajaan Muna dan kegigihan mereka dalam mengusir
penjajah belanda dari Kerajaan Muna.Pengungkapan sejarah ini juga bertujuan untuk
menumbuhkan rasa bangga sebagai generasi Muna karena ternyata raja-raja Muna
masa lalu telah menggoreskan tinta emas dalam catatan sejarah, baik sejarah ditingkat
Lokal Sulawesi tenggara maupun ditingkat nasional.Raja-Raja Muna dan segenap
masyarakatnya masa lalu juga tidak pernah tunduk dengan imperialisme dan
liberalisme.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. kerajaan Muna Pra Islam


Kerajaan Muna pra islam berangsuung selama 208 tahun ( 1417 -1625 ). Dalam
kurung waktu tersebut kerajaan Muna dipimpin oleh 10 orang raja. Pada masa
pemerintaha pra islam tersebut tercatat terjadi beberapa peristiwa yang dilakkkan oleh
Raja-Raja Muna yang terukir tinta emas dalam lembaran sejarah dunia.
Sayangya akibat kooptasi VOC Belanda dan Kesultana Buton serta terlambatnya
pembudayaan tulis dan kurangnya minat masyarakat Muna dalam menulis sejarah
maka goresan sejarah Putera Muna tersebut dicatat sebagai sejarah Buton. Akibatnya
erajan Muna kurang dikenal dalam pergaulan kerajaan-kerajaan nusantara.

B. RAJA RAJA WUNA PRA ISLAM


1. Raja Muna I La Eli alieas Baidhuldhamani Gelar Bheteno Ne Tombula, (1417
1467).
La Eli alis Baidhudhamani gelar Bheteno Ne Tombula adalah Raja Muna Pertama.
Dalam tradisi lisan masyarakat Muna diceritakan bahwa La Eli alias Baidhuldhamani
adalah manusia sakti yang ditemukan di dalam rumpun bambu ( ada juga yang
menceritakan dari dalam ruas bambu) oleh sekelompok orang yang sedang mencari
bambu untuk keperluan pembuatan bangsal pada pesta yang akan digelar oleh Mieno
Wamelai salah seorang pemimpin kampung di Muna. Karena penemuannya di dalam
rumpun bambu tersebut, setelah dinobatkan menjadi Raja Muna I diberi gelar
Omputo Bheteno Ne Tombula ( Yang Dipertuan Yang Muncul Dari Bambu ).
Selengkapnya Baca Halaman Bheteno Netombula. Bheteno Ne Tombula memilikki
dua orang Putra yakni La Aka Alias Kaghua Bangkano Fotu Gelar Sugi Patola dan
Runtu Wulae dan satu orang putri yaitu Wa Ode Pogo. Kaghua Bangkano Fotu/ La
Aka kemudian menjadi raja Muna II sedangkan Runtu Wulae kembali ke Luwu untuk
menjadi Raja di Negeri leluhurnya tersebut. Wa Ode Pogo menurunkan golongan
kaomu yang berfungsi sebagai Legislasi dan Yudikatif di kerajaan Muna. La Marati
Bonto Balano I ( Sejenis MPR ) yang berfungsi sebagai lembaga yang memilih dan
melantik Raja Muna pertma adalah keturunan Wa Ode Pogo.

2
2. Raja Muna II La Patola/ La Aka / Kaghua Bangkano Fotu Gelar Sugi Patola
( 1467 1477 ).

Kaghua Bangkano Fotu adalah salah seorang dari dua orang putra Bheteno Ne
Tombula dengan Permaisurinya Wa Tandi Abe. Saudara Kaghua Bangkano Fotu yang
bernama Runtu Wulae kembali ke Kerajaan Luwu negeri leluhurnya untuk menjadi
raja dinegeri tersebut.

3. Raja Muna III La Mbona Gelar Sugi Ambona ( 1477 1497 )


4. Raja Muna IV La Patani gelar Sugi Patani ( 1497 1512 )
5. Raja Muna V Sugi La Ende (1512-1527 )
6. Raja Muna VI Sugi Manuru ( 1527-1538 ).

Pada masa pemerintahan Sugi manuru, penyebaran agama Islam gelombang pertama
mulai masuk di Muna dibawah oleh Syekh Abdul Wahid ). Penyebaran islam saat itu
masih sangat lambat karena pengaruh kepercayaan animisme yang dianut sebelumnya
oleh masyarakat Muna masih melekat dengan sangat kuatnya. Pada gelombang
pertama penyebaran agama islam di Muna hanya ada beberapa orang kerabat kerajaan
yang tertarik untuk mempelajari ajaran Islam yang diajarkan oleh Syekh Abd. Wahid
tersebut. Salah satu diantaranya adalah La Kilaponto Putra Raja Muna VI Sugi
Manuru, yang kemudian menjadi Raja Muna VII menggantikan ayahandanya. Hal
lain yang menghambat meluasnya penyebaran agama islam di Muna adalah karena
belum cukup satu tahun menjadi Raja Muna, La Kilaponto telah dilantik menjadi
Raja Buton VI menggantikan mertuanya yang telah meninggal dunia. Setelah menjadi
raja buton, La Kilaponto kemudian pindah ke Baubau pusat kerajaan Buton.
Bersamaan dengan itu Syekh Abd. Wahid guru agama beliau juga turut dibawah ke
Buton sehingga penyebaran agama islam di muna terhenti, sedangkan di Buton
berjalan begitu pesat. Bahkan agama islam begitu mempengaruhi istnah sehingga
Buton berubah menjadi kesultanan dan hukum islam menjadi hukum negara dengan
syultan pertamanya adalah La Kilaponto dengan Gelar Sultan Kaimuddin Khalifatul
Khamis.

7. Raja Muna VII La Kilaponto gelar mepokonduaghono Ghoera ( 1538-1541).


La Kilaponto adalah penganut Islam yang taat. La Kilaponto memeluk islam sebelum
menjadi raja Raja Muna. Dia mengenal islam dari penyebar agama islam pertama di
kerjaan muna Syekh Abdul Wahid ( 1527). Nila-nilai islam begitu tertancap dalam
hatinya sebab beliau mempelajari islam dari usia yang sangat mudah. Karena

3
ketaatannya terhadap islam, sehingga ketika menjadi Raja buton beliau menjadikan
hukum islam sebagai hukum negara dan bentuk negara di rubah menjadi Kesultanan.
La Kilaponto juga di kenal sebagai manusia yang fenomenal karena beliau perna
menjadi raja di lima kerajaan besar yang ada di Sulawesi tenggara dalam Waktu yang
bersamaan. La Kilaponto juga merupakan pemimpin yang kharismatik dan
berwibawa sehingga disegani oleh kerajaan-kerajaan tetangga termasuk juga
pemerintah kolonial belanda. La Kilaponto yang dikenal sangat sakti dan piawai
dalam strategi perang, membuat Belanda tidak mampu mengintervensi Kesultanan
Buton juga Kerajaan-kerajaan yang pernah dipimpin oleh La Kilaponto. La Kilaponto
sebenarnya telah membaca gelagat tidak baik yang ditunjukan oleh Belanda. Olehnya
itu selama berkuasa La Kilaponto menjalankan politik Kesetaraan dengan pemerintah
Kolonial Belanda. La Kilaponto tidak berupaya untuk melakukan konfrontasi dengan
Belanda. Hubungan pemerintahan kolonial belanda sebatas hubungan dagang dan
diplomatis. Hal ini berkaitan dengan falsafa hidup yang dianut Oleh Lakilaponto yang
pernah diajarkan oleh Ayahandanya Sugi Manuru yaitu Pobini-biniti Kuli. Arti
harafia dari ajaran tersebut adalah saling tenggang rasa dan saling menghargai. Jadi
menurut La Kilaponto selama Pemerintah Kolonial Belanda tidak mengganggu
kehormatan dan kedaulatan Negeri Buton dan negeri tetangganya khususnya
Kerajaan Muna yang merupakan negeri leluhurnya dan beliau pernah menjadi Raja di
Negeri tersebut, maka La ilaponto tidak akan menyerang Belanda. Disaat La
Kolaponto masih hidup belanda sudah mecah belah miliki keinginan untuk
menguasai kesultanan Buton untuk dikuasai, namun karena segan dengan La
Kilaponto keinginan itu di urungkan. Hal ini berkaitan dengan letak strategis
Kesultanan Buton sebagai pintu gerbang Kerajaan-Kerajaan di Tumur dan barat
Nusantara. Untuk mewujudkan keinginannya itu Belanda melakukan politik ocupasi
dan pecah belah. Olehnya itu mereka melakukan strategi kerja sama perdagangan.
Selama itu mereka terus melakukan pendekatan dengan aparat Kesultanan Buton.
Politik pecah bela Belanda mendapatkan hasil setelah La Kilaponto Mangkat dan di
gantikan oleh Putranya dengan Putri Raja Jampea yang bernama La Tumparasi.
Keberhasilan Politik adu domba belanda itu di tandai dengan di gulingkannya Sultan
Kaimuddin II dari tahtanya karena bersikap tegas perlawanan dengan kolonial
belanda oleh sarana Wolio.

8. Raja Muna VIII -La Posasu gelar Kobangkuduno ( 1541-1551).


9. Raja Muna IX Rampeisomba ( 1551-1600).
10. Raja Muna X Titakono ( 1600- 1625 )

4
Pada masa pemerintahan La Titakono, penyebar Islam gelombang kedua yakni Firus
Muammad masuk di Muna. Pada gelombang kedua penyebaran isalam ini belum
mampu mengislamkan Raja Muna, sehingga pengaruh islam belum masuk ke istana.
Walaupun La Totakono BELUM memeluk Islam namun beliau sangaat menghargai
nilai-nilai islam. Sebagai bukti penghormatan beliau pada islams, pada masa
pemerintahannya masjid pertama dibangun di Muna ( 1614 ). Pembangunan masjid
itu diikuti oleh pembagunan pusat pendidikan islam. Seiring dengan itu ajaran islam
sedikit demi sedikit mulai dipelajari masyarakat Muna. Salah satu murid dari Firus
Muamad adalah La Ode Saaduddin putra dari Raja Muna X Titakono. Setelah
Titakono mangkat, La Ode Saaduddin di nobatkan menjadi Raja Muna XI. Selain
membangun masjid, Raja Titakono membentuk lembaga baru dalam sturktur
pemerintahan kerajaan muna yaitu Bonto Bhalano. Bonto Bhalano adalah sebuah
lembaga sejenis Majelis Permusyawaratan Rakyat yang bertugas memilih dan
mengangkat Raja Muna.

RAJA RAJA MUNA PASCA AGAMA ISLAM

1. Raja Muna XI La Ode Saadudin ( 1625-1626 )

La Ode Saaduddin adalah Raja Muna pertama yang memeluk islam. Pada masa
pemerintahan beliau agama islam mulai mengalami perkembangan. Agama islam
bukan saja di pelajari dikalangan istana tetapi mulai diajarkan pada massyarakat luas.
Pusat pendidikan agama islam yag didirikan oleh ayahandanya Raja Muna X
Titakono mulai kedtangan banyak murid untuk belajar.
2. Raja Muna XII -La Ode Ngkadiri gelar Sangia Kaindea ( 1626-1667)-
Periode pertama. Pada tahun 1643, gelombang ke tiga penyebaran agama islam
masuk di Muna di bawah oleh Syarif Muhammad.

3. Raja Muna XIII Wa Ode Wakelu ( Permaisuri raja La Ode Ngkadiri )- ( 1667-
1668).
Wa Ode Wakelu menjadi raja menggantikan suaminya La Ode Ngakadiri karena di
jatuhkan oleh oleh Belanda.

4. Raja Muna XIV La Ode Muh. Idris. (1668-1671).

5
La Ode Muh. Idris adalah raja yang dikirim oleh Belanda dari Kesultanan Buton
setelah berhasil menjatuhkan La Ode Ngkadiri Raja Muna XII.

5. La Ode Ngkadiri ( Periode Kedua) ( 1671 )


Pemerintahan La Ode Ngkadiri di periode Kedua ini di bawah pengaruh kekuasaan
kolonial belanda.
6. Raja Muna XV La Ode Abd. Rahman gelar Sangia Latugho ( 1671-1716 )
7. Raja Muna XVI La Ode Husaini gelar Omputo Sangia ( 1716-1767 )
8. Raja Muna XVII La Ode Muh. Ali ( 1767)
9. Raja Muna XVIII L a Ode Kentu Koda gelar Omputo Kantolalo (1758-1764 )
10. Raja Muna XIX La Ode Harisi (1767 ? )
La Ode Harisi memperkenalkan prutra mahkota dalam suksesi raja di kerajaan Muna.
11. Raja Muna XX La Ode Umara I gelar Omputo ne Gege,

La Ode Umara I , Raja Muna XX adalah raja yang dihukum gantung oleh sarano
Wuna karena telah melakukan sebuah kesalahan yang besar. Keputusan untuk
menjatuhkan hukuman gantung tersebut merupakan vonis peradilan yang dinamakan
mintarano bhitara ( yang memangku kekuasaan peradilan- MA? ). Tidak diceritakan
apa yang menjadi kesalahan Raja sehingga mendapatkan vonis tersebut. Hal ini
berkaitan dengan adab masyarakat Muna yang tabuh untuk menceritakan aib
saudaranya apa lagi itu seorang raja. Sidang majelis yang menyidangkan Raja La Ode
Umara berlangsung tertutup dan semua orang yang terlibat dalam persidangan
tersebut disumpah untuk tidak menyebarkan apa yang dilihat dan didengar dalam
persidangan. Diperkirakan kesalahan yang dilakukan raja La Ode Umara yang
menyebabkan dia mendapat hukuman gantung tersebut adalah menyangkut
kesusilaan.
12. Raja Muna XXI La Ode Murusali gelar sangia gola

13. Raja Muna XXII La Ode Ngkumabusi

14. Raja Muna XXIII La Ode Sumaili Gelar Omputo ne Sombo.

Pada masa pemerintahan La Ode Sulaili terjadi pemberotakan yang dilakukan oleh
Wa Ode Kadingke Cucu dari Sangia La Tugho. Pemberotakan itu dipicu oleh
perlawanan terhadap sistem adat dalam hal kawin-mawin. Wa Ode Kadingke
menolak denda adat yang begitu besar yang dibebankan pada suaminya Daeng

6
Marewa dari Suku Bugis. Menurut adat saat itu, apabila ada perempuan keturunan
yang berdara Kaomu ( Keturunan Raja ) akan menikah dengan orang yang bukan
suku Wuna maka laki-laki tersebut akan dikenakan denda adat berupa membayar
mahar sebesar 400 Boka. Menurut pandangan Wa Ode Kadingke yang berkeyakinan
keislamannya cukup tinggi denda tersebut bertentangan dengan hukum islam sebab
menurut hukum islam mengenai besaran mahar itu ditentukan oleh wanita yang akan
menikah dan tidak membebani pihak laki-laki. Pemberontakan itu semakin meluas,
karena Waode Kadingke sangat mahir dalam strategi perang. La Ode Sumaili tidak
mampu meredam pemberontakan tersebut,bahkan akibat pemberontakan itu Wa Ode
Kadingke bersama suaminya Daeng Marewa mendirikan Kesultanan Tiworo di
bagian barat Pulau Muna. Ketidak mapuan La Ode Sumaili menumpas pemberotakan
tersebut oleh sarano wuna dianggap sebagai suatu kesalahan besar yang dilakukan
oleh Raja La Ode Sumaili, olehnya itu La Ode Sumaili harus mendapat hukuman
yang setimpal. Dalam sebuah Rapat dewan sara diputuskan La Ode Sumaili untuk
dihukum gantung. Itulah sebabnya La Ode Sumaili digelar Omputo Negege artinya
Raja yang dihukum gantung.

15. Raja Muna XIV LA Ode Saete gelar Sorano Masigi ( 1816-1830 ).

La Ode Saete merupakan Raja Muna yang dipilih oleh sarano (dewan adat ) Wuna.
Pada waktu yang bersamaan, Kolonial belanda menunjuk la Ode Wita dari
Kesultanan Buton Sebagai Raja Muna sehingga pada waktu itu terjadi dualisme
kekuasaan di Muna. Untuk mengurangi intervensi Kolonial Belanda Raja La Ode
Saete kembali meindahkan pusat pemerintahan dekat dengan masjid Muna di Kota
Lama Muna sekaligus melakukan konfrontasi dengan Belanda yang berkoalisi dengan
Kesultanan Buton. Semasa kepemimpinan La Ode Sumaili sebagai raja Muna, terjadi
beberapa kali perang terbuka antara Kerajaan Muna dan Kolonial Belanda yang
dibantu dengan Kesultanan buton. Dalam perang tersebut Pasukan Belanda dan dan
Buton terus mengalami kekalahan. Belanda dan sekutunya Buton kewalahan
menghadapi Pasukan Kerajaan Muna. Konfrontasi antara Belanda dengan sekutunya
Buton melawan Kerajaan Muna terus berlanjut sampai La Ode Saetei Mangkat pada
tahun 1830.

7
16. Raja Muna XXV La Ode Bulae gelar Sangia Laghada (1830-1861 )
Setelah La Ode Suaete Mangkat, Dewan adat Sarano Wuna mengadakan rapat untuk
melakukan pemilihan Raja penggantinya. Dalam rapat tersebut disepakati untuk
mengangkat La Ode Bulae sebagai Raja Muna. La Ode Bulae dalam mejalankan
pemerintahan melajutkan kebijakan pendahulunya La Ode Saete untuk konfrontasi
dengan Kolonial Belanda dan Sekutunya Buton. Dalam sebuah perang, Belanda dan
sekutunya Buton berhasil menangkap La ode Bulae dan membawahnya
kepersidangan pengadilan di Makassar. Dalam persudangan pengadilan tersebut, La
Ode bulae dinyatakan bersalah dan dibuang di Pulau Nusa Kambangan, kemudian
diasingkan ke Bengkulu.

17. Raja Muna XXVI La Aka (1861-1864)

La Aka adalah Bonto Balano pada masa pemerintahan La Ode Bulae. Beliau
sebenarnya tidak berhak menjadi raja karena berasal dari keturunan Walaka, namun
karena terjadi kekosongan kekuasaan di Kerajaan Muna akibat di asingkannya Raja la
Ode Bulae oleh Kolonial belanda dan sekutunya Buton di Pulau Nusa Kambangan
dan Bengkulu, maka kekuasaan diambil alih oleh Bonto Balano sambil menunggu
pemilihan yang dilakukan oleh sarano Wuna. Karena itulah La Aka dikenal sebagai
bukanlah Raja yang aktual / difinitif.

18. Raja Muna XXVII La Ode Ali gelar sangia Rahia (1864-1870)
19. Raja Muna XXVII LA Ode Huse
20. Raja Muna XXIX La Ode Tao
21. Raja Muna XXX La Ode Ngkaili ( 1903-1906)

Pada masa Pemerintahan La Ode Ngkaili Pusat pemerintahan Kerajaan Muna di


pindahkan dari Kota Muna ke Raha oleh penguasa Kolonial Belanda. Pemindahan
pusat pemerintahan tersebut dibawah tekanan militer Kolonial Belanda setelah
pasukan Kerajaan Muna mengalami kekalahan dalam sebuah pertempuran melawan
pasukan koalisi Belanda- Buton. Bersamaan dengan pemindahan ibu kota kerajaan,
pemerintah Kolonial Belanda mengutus seorang raja dari Kesultanan Buton yaitu la
Ode Maktubu untuk menggulingkan Raja La Ode Ngkaili yang sedang berkuasa dan
diangkat oleh Sarano Wuna.

8
22. Raja Muna XXXI La Ode Maktubu (1906 - 1914)

Setelah pasukan koalisi Belanda Buton memenangkan pertempuran pada tahun 1906
dan berhasil menggulingkan Raja Muna XXX La Ode Ngkaili, penguasa VOC
Belanda di Makassar mengutus seorang dari Kesultanan Buton yakni La Ode
Maktubu untuk menjadi Raja di Kerajaan Wuna. La Ode Maktubu adalah Putara
Sultan Buton La Ode Salihi. Intervensi Pemerintahan Belanda dan Pengkoptasian
Kesultanan Buton terhadap Kerajaan Muna mendapat perlawanan dari seluruh rakyat
Muna. Sebagai wujud dari perlawanan itu adalah pada waktu yang bersamaan Sarano
Wuna mengadakan rapat untuk mengakat La Ode Umara sebagai Raja Muna
menggantikan Raja La Ode Ngkaili yang telah digulingkan oleh koalisi Belanda-
Buton, serta tidak mengakui La Ode Maktubu Sebagai Raja. Besarnya dukungan
rakyat terhadap keputusan Sarano Wuna yang tidak mengakui La Ode Maktubu
sebagai raja Muna, memaksa La Ode Maktubu meninggalkan Muna dan kembali ke
Buton. Karena tidak kuasa melawan sendiri keperkasaan prajurit Kerajaan Muna,
akhirnya La Ode Maktubu Kembali Ke Buton dan pengadukan perinstiwa tersebut
pada sekutunya Belanda. Pengaduan Kesultanan Buton atas sikap Pemerintahan
Kerajaan Muna mengusir utusan Kesultanan Buton, ditanggapi serius oleh
pemerintah kolonial belanda sehingga dikirim pasukan militer untuk memerangi
kerajaan Muna.

Raja Muna XXXII La Ode Umara II (1906)Setelah la ode maktubu tidak mendapat
pengakuan dari sarano Wuna serta diusir dari kerajaan Muna, pemerintah Kolonial
Belanda Mengutus La Ode umara gelar Sangia Bariyah. Strategi yang dilakukan
pemerintah Kolonial ini cukup berhasil sebab selain La Ode Umara yang memiliki
garis keturunann dari Muna yaitu putra dari Kenepulu Bula , La Ode Umara juga
masih menjabat sebagai Sultan Buton. Setelah situasi kembali kondusif dan
pemerintah belanda semakin dalam kukunya tertancap di kerajaan Muna, La Ode
Maktubu Kembali di lantik menjadi Raja Muna sampai tahun 1914
23. Raja Muna XXXIV La Ode Pulu (1914-1918)

Pada masa pemerintahan la Ode Pulu, intervensi politik Kolonial Belanda di Kerajaan
Muna semakin kuat. Pada akhir masa pemerintahan La Ode Pulu ( 1918 ) Pemerintah
Kolonial belanda dan Kesultanan Buton ( Sultan Buton Saat itu La Ode Muh. Asikin )

9
secara sepihak melakukan perjanjian yang dikenal dengan Korte Verklaring pada 2
Agustus 1918. Isi perjanjian tersebut adalah Belanda hanya mengakui ada dua
pemerintahan setingkat swapraja di Sulawesi tenggara yaitu Swapraja Laiwoi dan
Swapraja Buton. Dengan demikian menurut perjanjian tersebut secara otomatis muna
menjadi bagian dari Kesultanan Buton/ Underafdeling. Sebagai Raja yang berdaulat
dan diangkat oleh Sarano Wuna, La Ode Pulu melakukan perlawanan dan tidak
mengakui perjanjian tersebut. Akibatnya la Ode Pulu di asingkan Nusa Kambangan.
Selama dua Tahun pasca pemerinyahan La Ode Pulu, Kerjaan Muna berada dalam
Kekuasaan Kolonial Belanda sampai dewan Adat ( Sarano Wuna mengadakan rapat
dan mengangkat La Ode Afiuddin sebagai Raja.

24. Raja Muna XXXIV La Ode Afiuddin ( 1920-1824)

La Ode Afiuddin yang diharapkan Belanda akan bekerja sama ternyata bersikap sama
dengan Raja sebelumnya La Ode Pulu. Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918 juga
tidak diakui dan terus melakukan perlawanan. Akibatnya belanda kembali mengambil
alih pemerintahan di kerajaan muna.25. 1924-1926.pada tahun ini oleh pemerintah
Kolonial belanda dianyatakan bahwa Kerajaan Muna berada dibawah pemerintahan
darurat militer Belanda. Semua urusan administrasi diambil alih oleh Belanda.
26. Raja Muna XXXV La Ode Rere (1926-1928 )

Setelah dua tahun pemerintahan darurat militer belanda di berlakukan di kerajaan


Muna, Sarano Wuna melakukan sidang untuk kembali mengangkat Raja Muna. Pada
saat itu oleh sarano wuna disepakati La Ode Rere Sebagai Raja Muna. Sama halnya
dengan Raja La Ode Pulu dan La Ode Afifuddin, Lam Ode Rere juga tidak mengakui
perjanjian Korte Verklering akibatnya Belanda kembali menjatuhkan La Ode rere dari
keududkannya sebagai Raja Muna.

27. 1928-1938,

terjadi kevakuman pemerintahan di Kerajaan Muna. Belanda sebagai penguasa


Kolonial mengabil alih untuk mengendalikan pemerintahan sambil menunggu sidang
dewan Sara untuk menjjuk Raja baru.

10
28. Raja Muna XXXVI La Ode Dika gelar Omputo Komasigino ( 1930- 1938 ).
Pada masa pemerintahan La Ode dika dilakukan pemugaran masjid agung di Kota
Muna menjadi semi permanen. Sebagian dari bahan pembuatan masjid tersebut
dibantu oleh Jules Couvreur seorang kontrolir Belanda yang bertugas di Muna saat itu
. Sebagai mana raja muna yang lain, La Ode Dika tidak mau tunduk dengan belanda
dan koloninya Buton. La Ode Dika juga tidak mengakui isi perjanjian Korte
Verklaring sebab perjanjian itu dianggap ilegal. Sikap pperlawanan La Ode Dika
tersebut diperlihatkan saat berkunjung di istana kesultanan Buton. Di hadapan Sultan
Buton Muhammad Hamidi, la Ode Dika tidak mau memberi hormat, tapi justeru
mengancungkan telunjuk seakan memberi ancaman pada Sultan Buton. Apa yang
yang dilakukan La De Dika tersebut oleh Sultan Buton dilaporkan pada Penguasa
Kolonial Belanda di Makassar. Akibatnya La Ode Dika di panggil menghadap
Perwakilan pemerintah kolonial Belanda di makassar untuk mendengar langsung
keputusan Pemerintah Kolonial yang memecat dirinya dari jabatan Raja Muna.
Sepulangnya dari makassar, La ode Dika langsung meninggalkan kamali/Istana
kerajaan Muna. Seluruh urusan administrasi kenegaraan diserahkan pada sekretaris
kerajaan yakni La ode Sabora . Sayangngnya kamali/ istanaa tersebut pada masa
pemerintrahan Drs. La Ode kaimuddin sebagai Bupati Muna yang juga merupakan
putra dari La ode Dika di Rubah menjadi gedung Pertemuan ( Gedung wamelai).

29. 1938-1941

Pemerintahan Kerajaan Muna sepenuhnnya di kendalikan oleh Kolonial belanda.


30. !941 1946

Pemerintahan Kerjaan Muna benar-benar lumpuh sebab Belanda telah keluar dari
kerajaan muna karena takluk dengan pemerintahan militer Jepang. Pada masa itu
pemerintahan dijalankan oleh pemerintahan Militer Jepang dari Batalion Laut yang
bermarkas di Manado.

31. 1946-1947.

Setelah Jepang menyerah dari Pasukan Kualisi, seluruh personil Jepang


meninggalkan Muna dan digantikan dengan pasukan Nica.
32. Raja Muna XXXVII La Ode Pandu ( 1947-1956).

11
Setelah terjadi kekosongan kekuasaan di kerajaan Muna, pemerintah Belanda di
Makassar mengangkat La Ode Pandu sebagai pejabat Raja Muna pada tahun 1947
dan dilantik pada tahun itu juga di depan Masjid Muna di Kota lama Muna.
Pelantikan La Ode Pandu dihadiri oleh utusan pemerintah belanda. La Ode Pandu
meninggal akibat ditembak gerombolan Di/II di Posunsuno saat melakukan
kunjungan di Wasolangka.

33. 12 Desember 1956

Muna menjadi bagian dari Propinsi Sulawesi Tenggara sebagai Kabupaten bersama 3
Kabupaten lainya yaitu, Kendari Kolaka dan Buton.

12
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Kerajaan Muna pra islam berangsuung selama 208 tahun ( 1417 -1625 ). Dalam
kurung waktu tersebut kerajaan Muna dipimpin oleh 10 orang raja. Pada masa
pemerintaha pra islam tersebut tercatat terjadi beberapa peristiwa yang dilakkkan oleh
Raja-Raja Muna yang terukir tinta emas dalam lembaran sejarah dunia.
Sayangya akibat kooptasi VOC Belanda dan Kesultana Buton serta terlambatnya
pembudayaan tulis dan kurangnya minat masyarakat Muna dalam menulis sejarah
maka goresan sejarah Putera Muna tersebut dicatat sebagai sejarah Buton. Akibatnya
erajan Muna kurang dikenal dalam pergaulan kerajaan-kerajaan nusantara.

13

Anda mungkin juga menyukai