Anda di halaman 1dari 13

Pakubuwana X

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Sri Susuhunan Pakubuwana X

Pakubuwana X
Sunan Surakarta
Masa jabatan
18931939
Didahului oleh Pakubuwana IX
Digantikan oleh Pakubuwana XI
Informasi pribadi
Lahir
GRM Sayiddin Malikul Kusno
1866
Surakarta
Meninggal
1939
Surakarta
Agama Islam
Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana X (lahir di Surakarta, 29
November 1866 meninggal di Surakarta, 1 Februari 1939 pada umur 72 tahun) adalah raja
Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1893 1939.
Daftar isi
1 Kisah Kelahiran
2 Masa Pemerintahan
3 Peran Politik
4 Akhir Pemerintahan
5 Kepustakaan
6 Pranala luar
Kisah Kelahiran
Nama lahirnya (asma timur) adalah Raden Mas Sayiddin Malikul Kusno, putra Pakubuwana IX yang
lahir dari permaisuri KRAy. Kustiyah, pada tanggal 29 November 1866. Pada usia 3 tahun ia telah
ditetapkan sebagai putra mahkota bergelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom
Hamangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram VI.
Konon, kisah kelahirannya menjadi cermin ketidakharmonisan hubungan antara ayahnya dengan
pujangga Ranggawarsita. Dikisahkan, pada saat KRAy. Kustiyah baru mengandung, Pakubuwana IX
bertanya apakah anaknya kelak lahir laki-laki atau perempuan. Ranggawarsita menjawab kelak akan
lahir hayu. Pakubuwana IX kecewa mengira anaknya akan lahir cantik alias perempuan. Padahal ia
berharap mendapat bisa putra mahkota dari KRAy. Kustiyah.
Selama berbulan-bulan Pakubuwana IX menjalani puasa atau tapa brata berharap anaknya tidak
lahir perempuan. Akhirnya, KRAy. Kustiyah melahirkan Sayiddin Malikul Kusno. Pakubuwana IX
dengan bangga menuduh ramalan Ranggawarsita meleset.
Ranggawarsita menjelaskan bahwa istilah hayu bukan berarti ayu atau "cantik", tetapi singkatan dari
rahayu, yang berarti "selamat". Mendengar jawaban Ranggawarsita ini, Pakubuwana IX merasa
dipermainkan, karena selama berbulan-bulan ia terpaksa menjalani puasa berat.
Ketidakharmonisan hubungan Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sebenarnya dipicu oleh fitnah
pihak Belanda yang sengaja mengadu domba keturunan Pakubuwana VI dengan keluarga
Yasadipura.
Masa Pemerintahan

Pakubuwana X bersama permaisuri tiba di Keraton Surakarta sepulang melaksanakan ibadah haji.
Sayiddin Malikul Kusno naik tahta sebagai Pakubuwana X pada tanggal 30 Maret 1893 menggantikan
ayahnya yang meninggal dua minggu sebelumnya. Pakubuwana X menikah dengan GKR. Hemas
(putri Sultan Hamengkubuwana VII) dan dikaruniai seorang putri yang bernama GKR. Pembayun.
Masa pemerintahannya ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil.
Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, Kasunanan Surakarta mengalami transisi, dari
kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik di Hindia-Belanda.
Dalam bidang sosial-ekonomi, Pakubuwana X memberikan kredit untuk pembangunan rumah bagi
warga kurang mampu. Di bidang pendidikan, ia mendirikan sekolah Pamardi Putri dan Kasatriyan
untuk kepentingan kerabat keraton. Infrastruktur moderen kota Surakarta banyak dibangun pada
masa pemerintahannya, seperti bangunan Pasar Gede Harjonagoro, Stasiun Solo Jebres, Stasiun
Solo-Kota (Sangkrah), Stadion Sriwedari, Kebun Binatang Jurug, jembatan Jurug yang melintasi
Bengawan Solo di timur kota, Taman Balekambang, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, rumah
pemotongan hewan ternak di Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma, dan rumah perabuan
(pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa.
Pada tanggal 21 Januari 1932, Pakubuwana X mendapatkan bintang kehormatan Sri Maharaja dari
Ratu Wilhelmina dari Belanda berupa Grutkreissi Ordhe Nederlanse Leyo dengan sebutan raja dalam
Bahasa Belanda, Zijne Vorstelijke Hoogheid.
Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Pakubuwana X
memberikan kebebasan berorganisasi dan penerbitan media massa. Ia mendukung pendirian
organisasi Sarekat Dagang Islam, salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia.
Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938) diadakan pada masa pemerintahannya.
Peran Politik
Pakubuwana X bersama Gubernur Jenderal A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer seusai acara
perjamuan dalam lawatan resmi di Istana Buitenzorg (sekitar tahun 1936-1939).
Selama pemerintahannya yang panjang, dalam menghadapi 10 orang gubernur jenderal dan 13
residen secara silih berganti, Pakubuwana X mampu menjauhkan pertentangan yang serius, bahkan
tampil seolah sebagai teman pemerintah Hindia Belanda. Tetapi kewibawaannya sebagai raja Jawa
di mata rakyat semakin meningkat. Loyatitasnya kepada Hindia Belanda memang tidak meragukan
Kontrak Politik yang ditandatanganinya ketika naik tahta sebagai Susuhunan pada tahun 1893.
Pakubuwana X sadar sebagai cucu Pakubuwana VI yang pada tahun 1831 dibuang Belanda ke
Ambon, ia merasa harus meneruskan perjuangan pendahulunya dalam mengusir penjajah.
Petunjuk bahwa Pakubuwana X mempunyai kecenderungan terlibat dalam aktivitas politik
dilaporkan oleh Residen Sollewijn Gelpke (1914-1918) kepada atasannya. Secara teratur ia
mendapati Pakubuwana X memerlukan terjemahan berita-berita penting dari De Locomotief, surat
kabar berbahasa Belanda yang terbit di Semarang. Khususnya berita mengenai Perang Dunia I,
Gelpke mendapati Pakubuwana X bersimpati pada Jerman sebagaimana banyak orang Indonesia
saat itu, termasuk orang-orang Sarekat Islam. Peranan Pakubuwana X sebagai imam bagi masyarakat
muslim di Surakarta, juga sangat diperhitungkan Belanda.
Sementara itu, Residen L.Th. Schneider (1905-1908) berpendapat bahwa potensi subversif
Pakubuwana X patut diperhitungkan. Schneider merupakan salah seorang yang pertama kali
mencurigai pengaruh perjalanan Pakubuwana X ke luar daerah. Walaupun perjalanan dan kunjungan
itu secara teoretis bersifat incognito, kunjungannya ke Semarang, Surabaya, Ambarawa, dan Salatiga
(antara tahun 1903 dan 1906) benar-benar dapat disebut sebagai kunjungan resmi. Kunjungan itu
dapat dianggap sebagai pencerminan tujuan politik Pakubuwana X yang hendak memperluas
pengaruhnya sebagai raja Jawa. Ia juga melawat ke Bali dan Lombok, serta Lampung.
Pada bulan Desember 1921, Pakubuwana X melakukan perjalanan ke daerah Priangan, diiringi oleh
52 bangsawan dan abdi dalem. Setelah singgah di Semarang, Pekalongan, dan Cirebon, Pakubuwana
X menetap cukup lama di Garut dan Tasikmalaya. Di Garut, ratusan orang berkumpul menanti
kehadiran Pakubuwana X, sehingga merepotkan polisi Belanda. Pada bulan Februari 1922,
Pakubuwana X mengadakan perjalanan lagi ke Madiun, disertai oleh 58 bangsawan dan abdi dalem.
Perjalanan itu resminya sekali lagi disebut incognito, tapi justru benar-benar membuat citra
Pakubuwana X semakin meningkat. Ia mengobral banyak hadiah tanda mata dengan lambang PB X.
Bupati-bupati menerima keris dengan hiasan permata, serta para wedana dan asisten wedana
memperoleh berbagai arloji emas.
Demi mendukung dan membangkitkan semangat nasionalisme masyarakat (Jawa), Pakubuwana X
terus mengadakan perjalanan ke daerah-daerah. Belanda keberatan, dengan alasan biaya. Padahal,
sebenarnya Belanda hendak membatasi popularitas Pakubuwana X. Sekalipun perjalanan itu bersifat
incognito, tetapi Pakubuwana X selalu mengesankan di mata rakyat sebagai Kaisar Tanah Jawa.
Setelah perjalanannya ke Jawa Barat dan Jawa Timur pada tahun 1922, yang bersamaan dengan
meningkatnya semangat radikalisme Budi Utomo, Pakubuwana X tidak mengadakan perjalanan lagi
pada tahun 1923. Baru pada tahun berikutnya, ia mengadakan kunjungan besar ke Malang.
Penampilannya yang mengalihkan perhatian rakyat disana menyebabkan Gubernur Jenderal Dirk
Fock bahkan menyuruh Residen Nieuwenhuys mempersilakan Pakubuwana X untuk segera pulang.
Alasannya, persyaratan incognito telah dilanggar. Setelah Nieuwenhuys pindah dari Surakarta,
Pakubuwana X mengadakan perjalanan lagi pada tahun 1927. Diiringi 44 orang bangsawan dan abdi
dalem, ia mengadakan kunjungan ke Gresik, Surabaya, dan Bangkalan selama seminggu. Jumlah
pengiringnya kala itu bahkan mencapai tiga kali lipat dari jumlah dalam persyaratan yang dibuat oleh
Belanda.
Akhir Pemerintahan
Pakubuwana X meninggal dunia pada tanggal 1 Februari 1939. Ia disebut sebagai Sinuhun Wicaksana
atau raja besar dan bijaksana. Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya, BRM.
Antasena, yang kemudian bergelar Pakubuwana XI.


Home
About Me

Buah Pena Syarif_Enha
Tuhan Saja Mengancam Hamba_Nya

Feeds:
Posts
Comments

Hujan Reda Sore Ini
Next Post
ILMU HIDUP DARI JAWA

July 18, 2012 by esenha

Oleh: Syarif_Enha

Masyarakat Jawa memiliki nilai-nilai khas yang tidak dimiliki oleh masyarakat di luar jawa, terutama
dalam budaya dan keagamaannya. Sejarah mencatat bahwa tidak ada agama yang datang ke tanah
Jawa dan mendapat penolakan. Masyarakat Jawa membuka tangan lebar-lebar untuk hal baru,
namun tetap kukuh dan tidak kehilangan pondasi awal yang mereka pijak.

Babad Tanah Jawi yang saat ini telah mulai banyak ditulis kembali dalam terjemah bahasa Indonesia,
menggambarkan bahwa Jawa memiliki akar kehidupan yang sangat terjaga, berawal dari Nabi Adam
hingga pada masyarakat Jawa sekarang ini. Alur ini diabadikan dari generasi ke generasi, menjadi
sebuah legenda yang memiliki satu alur pakem yang tak membatasi adanya penafsiran ulang.
Terlepas dari fakta kebenaran dari legenda tersebut, namun yang jelas ada usaha penggambaran
dunia Jawa yang pernah ada. Mengingat tidak ada karya yang bisa lepas sama sekali dari analisa
lingkungannya.

Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang sangat hierarkis, dari komunitas kerajaan, Abdi Dalem,
sampai masyarakat biasa. Meski saat ini batasan hierarki itu tidak lagi kentara meski tidak sama
sekali hilang. Penghoramatan kepada seseorang karena kedudukan dan status sosialnya masih
sangat kuat.

Di antara penguasa, bangsawan, saudagar dan rakyat, ada satu ruang penghubung dan diisi oleh
orang-orang memiliki dua ujung komunikasi, ke bawah dan ke atas. Ke bawah untuk menemukan,
menggali dan meramu aspirasi, sedangkan ke atas, mereka mampu menyampaikan dengan
sistematik suara-suara yang berasal dari bawah. Inilah ruang yang diisi oleh para pujangga.

Untuk menjadi seorang Pujangga (filsuf) tidak mudah. Dia harus memiliki kakuatan lahir dan batin.
Seorang pujangga setidaknya harus memiliki delapan kecakapan, (1) parameswara (ahli bahasa dan
sastra), (2) paramengkawi (ahli dalam penciptaan sastra), (3) awicarita (ahli dalam merangkai cerita
secara mengesankan), (4) mardawa lagu (ahli dalam tembang dan gending), (5) mardawa basa (ahli
dalam merangkai bahasa sehingga menghanyutkan pembaca), (6) mandraguna (ahli dalam
merangkai ilmu), (7) nawungkridha (peka perasaan sehingga mampu menangkap maksud orang lain),
dan (8) sambegana (sempurna hidupnya).

Dengan delapan kecakapan itu, karya-karya para pujangga dijadikan sebagai sebuah piwulang atau
pelajaran bagi masyarakat. Selain karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya adalah piwulangan,
juga karena gubahan bahasanya yang menyentuh dan indah.

Salah satu karya para pujangga Jawa adalah tembang macapat. Tembang macapat ini banyak
digunakan untuk menulis kitab-kitab jawa pada masa Mataram Baru, seperti Serat Wedhatama,
Serat Wulangreh, Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Kalatidha, dan sebagainya.Macapat ini berkembang
bersama dengan masuknya pengaruh Islam melalui para Sunan. Sehingga tidak heran jika karya-
karya para pujangga waktu itu diwarnai dengan nilai-nilai Islam. Macapat menjadi salah satu media
dakwah yang paling uatama para Ulama.

Tembang macapat ini memiliki sebelas macam. Kesemuanya melambangkan daur hidup manusia,
sejak dalam kandungan hingga masuk dalam bungkus kain kematian. Macapat adalah karya sangat
briliant dan aplikatif untuk bisa digunakan mengajarkan tata cara hidup kepada masyarakat.

Adapun kesebelas tembang macapat yang mengajarkan tata cara hidup manusia adalah sebagai
berikut:

1. Maskumambang

Tembang ini melambangkan bayi yang masih ada dalam kandungan. Mas berarti jabang bayi yang
belum diketahui apakah laki-laki atau perempuan karena masih kumambang, yaitu belum lahir,
masih dalam kandungan.

Ini adalah masa awal persiapan manusia hidup di dunia. Dimana kedua orang tuanya sangat
berperan terhadap kualitas dari si jabang bayi. Perilaku orang tua ketika sang bayi masih dalam
kandungan, sedikit banyak membawa pengaruh kepada kualitas dan sifat sang anak.

2. Mijil

Mijil berarti kelahiran, yaitu lahirnya jabang bayi ke alam dunia. Yaitu ketika bayi dalam kondisi yang
paling lemah sekaligus paling berkuasa, sehingga semua orang di sekitarnya harus mau melayani
semua kebutuhannya. Disinilah tantangan orang tua. Mereka harus mampu menangkap atau
sasmita dengan kemauan dan keadaan si bayi. Secara tidak sadar, pada masa inilah hubungan batin
antara anak dan orang tua itu dibangun.

Dalam penafsiran yang lain yang lebih kontemporer, mijil dapat dimaknai pula sebagai lahirnya
sebuah gagasan. Sehingga lahirnya gagasan cemerlang itu bukan akhir, melainkan permulaan, yaitu
mula untuk merealisasikannya. Ini mengajarkan kita untuk tidak hanya bicara, namun juga
melakukan apa yang kita bicarakan.

3. Kinanti

Berasal dari kata kanthi atau tuntun. Bermakna untuk bisa menghadapi dunia, seorang yang masih
kecil harus dituntun, diajari dan dididik. Tentu tidak untuk menjadi seperti ayah maupun ibunya,
namun menjadi dirinya sendiri yang memiliki satu garis edar kehidupannya sendiri.

Orang tua sebagai guru utama sang anak, harus mampu mengenalkan kepada anak-anaknya tentang
hakekat rasa, benda-benda, dan peristiwa, bukan hanya sekedar mengenalkan nama-nama dan
identitas. Diajarkanlah tentang dasar-dasar agama, moral dan ilmu pengetahuan. Pada masa-masa
ini, orang tua, keluarga dan lingkungan sangat menentukan kuatnya pondasi agama, moral, dan ilmu
serta ketahanan mental sang anak.

4. Sinom

Berarti masa enom atau muda. Masa muda adalah masa yang paling potensial untuk ngudi atau
menuntut ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya untuk bekal di kesokan hari. Pada masa inilah
ditanamkan cita-cita untuk bisa diraih dengan sungguh-sungguh.

Masa ini merupakan masa dimana anak muda ingin memuaskan rasa penasarannya, namun
pertimbangan-pertimbangannya sering masih kurang matang. Sehingga peran orang tua yang paling
utama selain memberikan dorongan adalah mengarahkan.

5. Asmarandana

Artinya, tumbuhnya rasa cinta atau asmara kepada lawan jenis, sebagai sebuah fitrah kemanusiaan
yang dikaruniakan Sang Hyang Widi kepada setiap insan. Cinta yang dituntun dengan moral dan
keimanan akan menjadi sebuah cahaya yang menerangi jalan keluar dari keruwetan hidup. Mampu
menjadi penabur kemaslahatan dunia sekitarnya.

Asmara yang tumbuh dengan perawatan yang benar akan menghasilkan keselamatan, kehormatan,
kemuliaan dan kebahagiaan. Namun jika asmara itu dibiarkan tumbuh liar, maka dia akan menjadi
sebuah bumerang yang justru akan membuahkan keruwetan, kehinaan dan kenistaan, baik diri
sendiri maupun orang-orang sekitarnya.

6. Gambuh

Berasal dari kata jumbuh atau sarujuk yang berarti bersatu. Dua insan yang telah sama-sama
ditumbuhi asmara harus segera disatukan untuk membentuk satu keluarga. Karena dengan demikian
akan menghindarkan dari berbagai godaan dan gangguan. Keluarga itu seperti sebuah serum yang
mengendalikan dan mengarahkan arah tumbuhnya asmara itu, agar tetap dalam kerangka tatanan
moral dan agama.

Masa ini sangat menentukan, karena sang anak yang kasmaran ini akan membuat sebuah keputusan
besar dalam hidupnya. Jika dia salah untuk menentukan pilihan, atau kesusu (terburu-buru) dalam
mempertimbangkan, atau keliru dalam menentukan tujuan, maka yang akan ditemui kemudian
adalah kepedihan hidup.

7. Dandanggula

Menggambarkan kebahagian yang sangat. Dandanggula berarti tempat yang berisi gula. Bermakna
tidak ada lain kecuali kebaikan. Oleh karena itulah tidak keliru jika Dandanggula ini menggambarkan
kebahagiaan dan kegembiraan.

Dalam fase ini, sang anak telah menjadi orang tua. Semua yang diharapkan telah terwujud. Dari
ketercukupan papan, pangan , sandang, keluarga dan momongan. Semua harapan terwujud.
Gambaran masa tua pun menjadi sangat indah karena sudah direncanakan begitu rupa dalam
kehangatan keluarga yang bersahaja.

8. Durmo

Bersal dari kata darma yang berarti memberi. Dengan perasaan ketercukupan maka akan tumbuh
keinginan untuk berbagi kebahagian kepada sesama. Ini adalah tahap manusia menyempurnakan
hidupnya. Ketika masih muda dan berjuang keras untuk hidup berkeluarga dan bahagia, dia selalu
bergulat dengan persoalan yang menuntutnya selalu bersabar. Pada giliran semua sudah tercukupi,
maka saatnya dia menyempurnakan dengan brsyukur kepada Gusti Allah Kang Maha Murah, melalui
tindak berbagi, berderma kebaikan kepada sesama.

9. Pangkur

Berasal dari kata mungkur yang berarti berpaling atau menghindari kadunyan (keduniaan). Pada
masa tua jika tidak mampu memalingkan diri dari hawa nafsu dan angkara murka, maka tindak
lakunya akan bubrah, alias tidak jelas. Karena semakin dia tua, keinginannya akan semakin aneh-
aneh, sehingga banyak menuntut kepada dunia diluarnya, karena energi yang dimilikinya sendiri
sudah banyak berkurang. Ini akan berakibat merepotkan orang-orang yang ada disekitarnya,
terutama anak-anak dan keluarganya. Disinilah mengapa kadang anak mantu tidak betah tinggal
bersama dengan mertua.

Manusia dalam tahap ini harus berusaha memungkuri atau membelakangi kehidupan dunia. Obsesi-
obsesi liarnya harus bisa ditaklukkan, dan berusaha memperbanyak amal budi untuk kehidupan
berikutnya.

10. Megatruh

Dari kata megat ruh, atau terputus nyawanya. Inilah akhir periode perjuangan manusia. Batas akhir
dia bisa menambah amal atau memperbanyak taubat.

Megatruh juga bisa dimaknai sebagai sebuah tingkatan makrifat tertinggi, yaitu mati sa jroning urip,
kemudian menjadi khusnul khotimah di akhir kehidupannya. Sejatine iku ora ana, seng ana iku dudu.

Terputusnya ruh ini menjadi akhir sekaligus awal kehidupan. Akhir hidup di dunia dan awal
kehidupan di alam yang baru. Jika terputus ruh, maka terputuslah semua pertalian dia dengan dunia,
hanya tinggal iman, amal dan buah perbuatannyalah akan yang ia bawa serta. Semua sudah bersifat
ruhani.

11. Pucung

Ini adalah tahap akhir kehidupan manusia, yaitu dibungkus dengan kain mori dipocong untuk
kemudian dikuburkan. Pocong memberikan pelajaran kepada manusia-manusia yang masih hidup,
bahwa semua di dunia yang dahulu di klaim menjadi miliknya, ternyata tidak ada yang dibawa
pulang, kecuali secarik kain yang membungkus dirinya. Hanya amal dan ibadahnya saja yang akan
menemaninya dalam kehidupan mendatang, dimana dia harus mempertanggungjawabkan
semuanya. Lahir dengan tidak membawa apa-apa, maka meninggal pun dengan tidak membawa
apa-apa.

Daur kehidupan seperti dalam tembang macapat itu pasti kita lalui. Dari dalam kandungan hingga
mati berkalang tanah. Namun kondisi kita dalam setiap jenjang tidak mesti sama. Ada yang gembira
ada yang sedih, ada yang ketercukupan ada yang kekurangan. Ada yang selamat, ada yang tersasar.

Setiap kita menginginkan kehidupan yang bahagia dunia dan akherat. Lahir dari rahim yang sehat,
dididik dengan kasih sayang, masa mudanya terarah, pasangan hidupnya saleh dan solehah,
keluarganya bahagia penuh kesetiaan, matinya khusnul khotimah.

Namun manusia hanya bisa berencana dan usaha. Barangkali ada saja bayi yang dikandung tetapi
tidak diinginkan. Berkali-kali berusaha digugurkan. Sudah lahir diterlantarkan, tidak dituntun, tidak
dididik. Ketika anak sudah menggelandang, menjelang muda mulai berbuat onar dan kejahatan.
Begitu berhasrat asmara, malah merusak pagar ayu dengan paksa. Sudah tua malah menjadi
penggoda pasangan orang lain. Matinyapun karena terlalu banyak minuman keras dan obat-obatan
terlarang.

Bagaimanapun juga, perbedaan kondisi dan posisi itulah yang akan menjadikan roda kehidupan itu
berjalan. Ada ide yang bergulir, ada rumusan teknis yang dirancang, ada pelaksana lapangan, ada
pengawas, ada penilai dan ada pengguna. Semua memiliki satu pertalian. Kekosongan bukan suatu
cela, namun itu adalah media bagi isi untuk memasukinya. Begitu Tuhan menata hidup dalam
hukum-hukumnya yang tidak kasat mata namun berjalan begitu rapih.

Yang terpenting bukan kita menjadi seperti apa dalam setiap tahap kehidupan itu, namun seberapa
besar usaha kita untuk selalu menjadi yang terbaik dalam setiap daur hidup kita. Tidak terkecuali jika
yang terbaik yang bisa kita lakukan adalah tetap bertahan untuk tidak terjatuh dalam kemunduran.

Melalui sebelas tembang macapat itu, kita belajar kehidupan, bagaimana menjadi anak, bagaimana
menjadi orang tua, dan lebih lagi bagaimana menjadi manusia. Berusahalah tetap berada dalam
tingkat kesadaran dan kewaspadaan. R. Ng. Ranggawarsita, seorang pujangga Jawa, dalam karyanya
Serat Kalatida, memperingatkan kepada kita semua,

//Amenangi jaman edan/ ewuh aya ing pambudi/ milu edan ora tahan/ yen tan melu anglakoni/
boya keduman melik/ kaliren wekasanipun/ ndilalah karsa Allah/ begja-begjane kang lali/ luwih
begja kang eling lan waspada//

Peringatan Ranggawarsita tersebut tentu sangat relevan dengan perintah Allah dalam Al Quran
kepada kita semua untuk selalu bersiaga, menjaga diri dan keluarga dari kerusakan hidup yang
berbalas neraka.

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan. (Q.S. At Tahrim: 6).

Salah satu kemahiran seorang menaiki kendaraan adalah berkait dengan penguasaan medan jalan.
Semakin sering dia melalui jalan itu, maka semakin mahir dia melaju kendaraannya. Dalam
kehidupan, tidak harus kita hidup dan mati berkali-kali untuk bisa menjalani hidup ini dengan benar,
tenang, dan gembira. Menimba sebanyak-banyaknya pengalaman dari siapapun dan apapun, adalah
kunci bagi kita untuk semakin mengenal lebih dekat tentang hidup.

Akhirnya kita harus menyadari bahwa jiwa atau ruh kita, setidaknya akan melalui lima alam
perpindahan, yiatu alam barzah, alam rahim, alam dunia, alam kubur dan alam akherat. Dengan
demikian, kehidupan di dunia ini yang kita lalui dengan susah payah, hanyalah satu episode dari
beberpa episode hidup kita. Namun satu episode itulah yang akan menentukan kondisi hidup kita
pada episode-episode berikutnya. Baik kita berperilaku di dunia, maka baik pula penerimaan kita
kelak. Karenaya, jangan pernah main-main dengan kehidupan dunia ini.

Semoga Allah SWT memberikan petunjuk kepada kita semua jalan-Nya yang lurus. Yaitu jalannya
orang-orang yang dilimpahkan nikmat atas mereka, bukan jalannya orang-orang yang dibenci lagi
berbuat dzalim. Amin.

Referensi:

Karsono H Saputra, 2005, Bahasa dan Sastra Jawa, Wedatama Widya Sastra, Jakarta.

Purwadi dkk, 2005, Ensiklopedi Kebudaya Jawa, Bina Media.

Ratnawati, 2002, Religiusitas dalam Sastra Jawa Modern, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, Jakarta.

Posted in budaya, Islam, refleksi, Sosial | Tagged hidup, jawa, makna, manusia | Leave a Comment

Anda mungkin juga menyukai