0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
30 tayangan13 halaman
Pakubuwana X memerintah Kasunanan Surakarta dari 1893 hingga 1939. Ia berusaha memodernisasi Surakarta dengan membangun infrastruktur dan lembaga pendidikan, namun tetap melestarikan tradisi keraton. Pakubuwana X juga berperan dalam politik dengan mendukung organisasi nasionalis dan menjalin hubungan dengan pemerintah kolonial Belanda.
Pakubuwana X memerintah Kasunanan Surakarta dari 1893 hingga 1939. Ia berusaha memodernisasi Surakarta dengan membangun infrastruktur dan lembaga pendidikan, namun tetap melestarikan tradisi keraton. Pakubuwana X juga berperan dalam politik dengan mendukung organisasi nasionalis dan menjalin hubungan dengan pemerintah kolonial Belanda.
Pakubuwana X memerintah Kasunanan Surakarta dari 1893 hingga 1939. Ia berusaha memodernisasi Surakarta dengan membangun infrastruktur dan lembaga pendidikan, namun tetap melestarikan tradisi keraton. Pakubuwana X juga berperan dalam politik dengan mendukung organisasi nasionalis dan menjalin hubungan dengan pemerintah kolonial Belanda.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sri Susuhunan Pakubuwana X
Pakubuwana X Sunan Surakarta Masa jabatan 18931939 Didahului oleh Pakubuwana IX Digantikan oleh Pakubuwana XI Informasi pribadi Lahir GRM Sayiddin Malikul Kusno 1866 Surakarta Meninggal 1939 Surakarta Agama Islam Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana X (lahir di Surakarta, 29 November 1866 meninggal di Surakarta, 1 Februari 1939 pada umur 72 tahun) adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1893 1939. Daftar isi 1 Kisah Kelahiran 2 Masa Pemerintahan 3 Peran Politik 4 Akhir Pemerintahan 5 Kepustakaan 6 Pranala luar Kisah Kelahiran Nama lahirnya (asma timur) adalah Raden Mas Sayiddin Malikul Kusno, putra Pakubuwana IX yang lahir dari permaisuri KRAy. Kustiyah, pada tanggal 29 November 1866. Pada usia 3 tahun ia telah ditetapkan sebagai putra mahkota bergelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram VI. Konon, kisah kelahirannya menjadi cermin ketidakharmonisan hubungan antara ayahnya dengan pujangga Ranggawarsita. Dikisahkan, pada saat KRAy. Kustiyah baru mengandung, Pakubuwana IX bertanya apakah anaknya kelak lahir laki-laki atau perempuan. Ranggawarsita menjawab kelak akan lahir hayu. Pakubuwana IX kecewa mengira anaknya akan lahir cantik alias perempuan. Padahal ia berharap mendapat bisa putra mahkota dari KRAy. Kustiyah. Selama berbulan-bulan Pakubuwana IX menjalani puasa atau tapa brata berharap anaknya tidak lahir perempuan. Akhirnya, KRAy. Kustiyah melahirkan Sayiddin Malikul Kusno. Pakubuwana IX dengan bangga menuduh ramalan Ranggawarsita meleset. Ranggawarsita menjelaskan bahwa istilah hayu bukan berarti ayu atau "cantik", tetapi singkatan dari rahayu, yang berarti "selamat". Mendengar jawaban Ranggawarsita ini, Pakubuwana IX merasa dipermainkan, karena selama berbulan-bulan ia terpaksa menjalani puasa berat. Ketidakharmonisan hubungan Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sebenarnya dipicu oleh fitnah pihak Belanda yang sengaja mengadu domba keturunan Pakubuwana VI dengan keluarga Yasadipura. Masa Pemerintahan
Pakubuwana X bersama permaisuri tiba di Keraton Surakarta sepulang melaksanakan ibadah haji. Sayiddin Malikul Kusno naik tahta sebagai Pakubuwana X pada tanggal 30 Maret 1893 menggantikan ayahnya yang meninggal dua minggu sebelumnya. Pakubuwana X menikah dengan GKR. Hemas (putri Sultan Hamengkubuwana VII) dan dikaruniai seorang putri yang bernama GKR. Pembayun. Masa pemerintahannya ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, Kasunanan Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik di Hindia-Belanda. Dalam bidang sosial-ekonomi, Pakubuwana X memberikan kredit untuk pembangunan rumah bagi warga kurang mampu. Di bidang pendidikan, ia mendirikan sekolah Pamardi Putri dan Kasatriyan untuk kepentingan kerabat keraton. Infrastruktur moderen kota Surakarta banyak dibangun pada masa pemerintahannya, seperti bangunan Pasar Gede Harjonagoro, Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Stadion Sriwedari, Kebun Binatang Jurug, jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota, Taman Balekambang, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma, dan rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa. Pada tanggal 21 Januari 1932, Pakubuwana X mendapatkan bintang kehormatan Sri Maharaja dari Ratu Wilhelmina dari Belanda berupa Grutkreissi Ordhe Nederlanse Leyo dengan sebutan raja dalam Bahasa Belanda, Zijne Vorstelijke Hoogheid. Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Pakubuwana X memberikan kebebasan berorganisasi dan penerbitan media massa. Ia mendukung pendirian organisasi Sarekat Dagang Islam, salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938) diadakan pada masa pemerintahannya. Peran Politik Pakubuwana X bersama Gubernur Jenderal A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer seusai acara perjamuan dalam lawatan resmi di Istana Buitenzorg (sekitar tahun 1936-1939). Selama pemerintahannya yang panjang, dalam menghadapi 10 orang gubernur jenderal dan 13 residen secara silih berganti, Pakubuwana X mampu menjauhkan pertentangan yang serius, bahkan tampil seolah sebagai teman pemerintah Hindia Belanda. Tetapi kewibawaannya sebagai raja Jawa di mata rakyat semakin meningkat. Loyatitasnya kepada Hindia Belanda memang tidak meragukan Kontrak Politik yang ditandatanganinya ketika naik tahta sebagai Susuhunan pada tahun 1893. Pakubuwana X sadar sebagai cucu Pakubuwana VI yang pada tahun 1831 dibuang Belanda ke Ambon, ia merasa harus meneruskan perjuangan pendahulunya dalam mengusir penjajah. Petunjuk bahwa Pakubuwana X mempunyai kecenderungan terlibat dalam aktivitas politik dilaporkan oleh Residen Sollewijn Gelpke (1914-1918) kepada atasannya. Secara teratur ia mendapati Pakubuwana X memerlukan terjemahan berita-berita penting dari De Locomotief, surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Semarang. Khususnya berita mengenai Perang Dunia I, Gelpke mendapati Pakubuwana X bersimpati pada Jerman sebagaimana banyak orang Indonesia saat itu, termasuk orang-orang Sarekat Islam. Peranan Pakubuwana X sebagai imam bagi masyarakat muslim di Surakarta, juga sangat diperhitungkan Belanda. Sementara itu, Residen L.Th. Schneider (1905-1908) berpendapat bahwa potensi subversif Pakubuwana X patut diperhitungkan. Schneider merupakan salah seorang yang pertama kali mencurigai pengaruh perjalanan Pakubuwana X ke luar daerah. Walaupun perjalanan dan kunjungan itu secara teoretis bersifat incognito, kunjungannya ke Semarang, Surabaya, Ambarawa, dan Salatiga (antara tahun 1903 dan 1906) benar-benar dapat disebut sebagai kunjungan resmi. Kunjungan itu dapat dianggap sebagai pencerminan tujuan politik Pakubuwana X yang hendak memperluas pengaruhnya sebagai raja Jawa. Ia juga melawat ke Bali dan Lombok, serta Lampung. Pada bulan Desember 1921, Pakubuwana X melakukan perjalanan ke daerah Priangan, diiringi oleh 52 bangsawan dan abdi dalem. Setelah singgah di Semarang, Pekalongan, dan Cirebon, Pakubuwana X menetap cukup lama di Garut dan Tasikmalaya. Di Garut, ratusan orang berkumpul menanti kehadiran Pakubuwana X, sehingga merepotkan polisi Belanda. Pada bulan Februari 1922, Pakubuwana X mengadakan perjalanan lagi ke Madiun, disertai oleh 58 bangsawan dan abdi dalem. Perjalanan itu resminya sekali lagi disebut incognito, tapi justru benar-benar membuat citra Pakubuwana X semakin meningkat. Ia mengobral banyak hadiah tanda mata dengan lambang PB X. Bupati-bupati menerima keris dengan hiasan permata, serta para wedana dan asisten wedana memperoleh berbagai arloji emas. Demi mendukung dan membangkitkan semangat nasionalisme masyarakat (Jawa), Pakubuwana X terus mengadakan perjalanan ke daerah-daerah. Belanda keberatan, dengan alasan biaya. Padahal, sebenarnya Belanda hendak membatasi popularitas Pakubuwana X. Sekalipun perjalanan itu bersifat incognito, tetapi Pakubuwana X selalu mengesankan di mata rakyat sebagai Kaisar Tanah Jawa. Setelah perjalanannya ke Jawa Barat dan Jawa Timur pada tahun 1922, yang bersamaan dengan meningkatnya semangat radikalisme Budi Utomo, Pakubuwana X tidak mengadakan perjalanan lagi pada tahun 1923. Baru pada tahun berikutnya, ia mengadakan kunjungan besar ke Malang. Penampilannya yang mengalihkan perhatian rakyat disana menyebabkan Gubernur Jenderal Dirk Fock bahkan menyuruh Residen Nieuwenhuys mempersilakan Pakubuwana X untuk segera pulang. Alasannya, persyaratan incognito telah dilanggar. Setelah Nieuwenhuys pindah dari Surakarta, Pakubuwana X mengadakan perjalanan lagi pada tahun 1927. Diiringi 44 orang bangsawan dan abdi dalem, ia mengadakan kunjungan ke Gresik, Surabaya, dan Bangkalan selama seminggu. Jumlah pengiringnya kala itu bahkan mencapai tiga kali lipat dari jumlah dalam persyaratan yang dibuat oleh Belanda. Akhir Pemerintahan Pakubuwana X meninggal dunia pada tanggal 1 Februari 1939. Ia disebut sebagai Sinuhun Wicaksana atau raja besar dan bijaksana. Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya, BRM. Antasena, yang kemudian bergelar Pakubuwana XI.
Home About Me
Buah Pena Syarif_Enha Tuhan Saja Mengancam Hamba_Nya
Feeds: Posts Comments
Hujan Reda Sore Ini Next Post ILMU HIDUP DARI JAWA
July 18, 2012 by esenha
Oleh: Syarif_Enha
Masyarakat Jawa memiliki nilai-nilai khas yang tidak dimiliki oleh masyarakat di luar jawa, terutama dalam budaya dan keagamaannya. Sejarah mencatat bahwa tidak ada agama yang datang ke tanah Jawa dan mendapat penolakan. Masyarakat Jawa membuka tangan lebar-lebar untuk hal baru, namun tetap kukuh dan tidak kehilangan pondasi awal yang mereka pijak.
Babad Tanah Jawi yang saat ini telah mulai banyak ditulis kembali dalam terjemah bahasa Indonesia, menggambarkan bahwa Jawa memiliki akar kehidupan yang sangat terjaga, berawal dari Nabi Adam hingga pada masyarakat Jawa sekarang ini. Alur ini diabadikan dari generasi ke generasi, menjadi sebuah legenda yang memiliki satu alur pakem yang tak membatasi adanya penafsiran ulang. Terlepas dari fakta kebenaran dari legenda tersebut, namun yang jelas ada usaha penggambaran dunia Jawa yang pernah ada. Mengingat tidak ada karya yang bisa lepas sama sekali dari analisa lingkungannya.
Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang sangat hierarkis, dari komunitas kerajaan, Abdi Dalem, sampai masyarakat biasa. Meski saat ini batasan hierarki itu tidak lagi kentara meski tidak sama sekali hilang. Penghoramatan kepada seseorang karena kedudukan dan status sosialnya masih sangat kuat.
Di antara penguasa, bangsawan, saudagar dan rakyat, ada satu ruang penghubung dan diisi oleh orang-orang memiliki dua ujung komunikasi, ke bawah dan ke atas. Ke bawah untuk menemukan, menggali dan meramu aspirasi, sedangkan ke atas, mereka mampu menyampaikan dengan sistematik suara-suara yang berasal dari bawah. Inilah ruang yang diisi oleh para pujangga.
Untuk menjadi seorang Pujangga (filsuf) tidak mudah. Dia harus memiliki kakuatan lahir dan batin. Seorang pujangga setidaknya harus memiliki delapan kecakapan, (1) parameswara (ahli bahasa dan sastra), (2) paramengkawi (ahli dalam penciptaan sastra), (3) awicarita (ahli dalam merangkai cerita secara mengesankan), (4) mardawa lagu (ahli dalam tembang dan gending), (5) mardawa basa (ahli dalam merangkai bahasa sehingga menghanyutkan pembaca), (6) mandraguna (ahli dalam merangkai ilmu), (7) nawungkridha (peka perasaan sehingga mampu menangkap maksud orang lain), dan (8) sambegana (sempurna hidupnya).
Dengan delapan kecakapan itu, karya-karya para pujangga dijadikan sebagai sebuah piwulang atau pelajaran bagi masyarakat. Selain karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya adalah piwulangan, juga karena gubahan bahasanya yang menyentuh dan indah.
Salah satu karya para pujangga Jawa adalah tembang macapat. Tembang macapat ini banyak digunakan untuk menulis kitab-kitab jawa pada masa Mataram Baru, seperti Serat Wedhatama, Serat Wulangreh, Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Kalatidha, dan sebagainya.Macapat ini berkembang bersama dengan masuknya pengaruh Islam melalui para Sunan. Sehingga tidak heran jika karya- karya para pujangga waktu itu diwarnai dengan nilai-nilai Islam. Macapat menjadi salah satu media dakwah yang paling uatama para Ulama.
Tembang macapat ini memiliki sebelas macam. Kesemuanya melambangkan daur hidup manusia, sejak dalam kandungan hingga masuk dalam bungkus kain kematian. Macapat adalah karya sangat briliant dan aplikatif untuk bisa digunakan mengajarkan tata cara hidup kepada masyarakat.
Adapun kesebelas tembang macapat yang mengajarkan tata cara hidup manusia adalah sebagai berikut:
1. Maskumambang
Tembang ini melambangkan bayi yang masih ada dalam kandungan. Mas berarti jabang bayi yang belum diketahui apakah laki-laki atau perempuan karena masih kumambang, yaitu belum lahir, masih dalam kandungan.
Ini adalah masa awal persiapan manusia hidup di dunia. Dimana kedua orang tuanya sangat berperan terhadap kualitas dari si jabang bayi. Perilaku orang tua ketika sang bayi masih dalam kandungan, sedikit banyak membawa pengaruh kepada kualitas dan sifat sang anak.
2. Mijil
Mijil berarti kelahiran, yaitu lahirnya jabang bayi ke alam dunia. Yaitu ketika bayi dalam kondisi yang paling lemah sekaligus paling berkuasa, sehingga semua orang di sekitarnya harus mau melayani semua kebutuhannya. Disinilah tantangan orang tua. Mereka harus mampu menangkap atau sasmita dengan kemauan dan keadaan si bayi. Secara tidak sadar, pada masa inilah hubungan batin antara anak dan orang tua itu dibangun.
Dalam penafsiran yang lain yang lebih kontemporer, mijil dapat dimaknai pula sebagai lahirnya sebuah gagasan. Sehingga lahirnya gagasan cemerlang itu bukan akhir, melainkan permulaan, yaitu mula untuk merealisasikannya. Ini mengajarkan kita untuk tidak hanya bicara, namun juga melakukan apa yang kita bicarakan.
3. Kinanti
Berasal dari kata kanthi atau tuntun. Bermakna untuk bisa menghadapi dunia, seorang yang masih kecil harus dituntun, diajari dan dididik. Tentu tidak untuk menjadi seperti ayah maupun ibunya, namun menjadi dirinya sendiri yang memiliki satu garis edar kehidupannya sendiri.
Orang tua sebagai guru utama sang anak, harus mampu mengenalkan kepada anak-anaknya tentang hakekat rasa, benda-benda, dan peristiwa, bukan hanya sekedar mengenalkan nama-nama dan identitas. Diajarkanlah tentang dasar-dasar agama, moral dan ilmu pengetahuan. Pada masa-masa ini, orang tua, keluarga dan lingkungan sangat menentukan kuatnya pondasi agama, moral, dan ilmu serta ketahanan mental sang anak.
4. Sinom
Berarti masa enom atau muda. Masa muda adalah masa yang paling potensial untuk ngudi atau menuntut ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya untuk bekal di kesokan hari. Pada masa inilah ditanamkan cita-cita untuk bisa diraih dengan sungguh-sungguh.
Masa ini merupakan masa dimana anak muda ingin memuaskan rasa penasarannya, namun pertimbangan-pertimbangannya sering masih kurang matang. Sehingga peran orang tua yang paling utama selain memberikan dorongan adalah mengarahkan.
5. Asmarandana
Artinya, tumbuhnya rasa cinta atau asmara kepada lawan jenis, sebagai sebuah fitrah kemanusiaan yang dikaruniakan Sang Hyang Widi kepada setiap insan. Cinta yang dituntun dengan moral dan keimanan akan menjadi sebuah cahaya yang menerangi jalan keluar dari keruwetan hidup. Mampu menjadi penabur kemaslahatan dunia sekitarnya.
Asmara yang tumbuh dengan perawatan yang benar akan menghasilkan keselamatan, kehormatan, kemuliaan dan kebahagiaan. Namun jika asmara itu dibiarkan tumbuh liar, maka dia akan menjadi sebuah bumerang yang justru akan membuahkan keruwetan, kehinaan dan kenistaan, baik diri sendiri maupun orang-orang sekitarnya.
6. Gambuh
Berasal dari kata jumbuh atau sarujuk yang berarti bersatu. Dua insan yang telah sama-sama ditumbuhi asmara harus segera disatukan untuk membentuk satu keluarga. Karena dengan demikian akan menghindarkan dari berbagai godaan dan gangguan. Keluarga itu seperti sebuah serum yang mengendalikan dan mengarahkan arah tumbuhnya asmara itu, agar tetap dalam kerangka tatanan moral dan agama.
Masa ini sangat menentukan, karena sang anak yang kasmaran ini akan membuat sebuah keputusan besar dalam hidupnya. Jika dia salah untuk menentukan pilihan, atau kesusu (terburu-buru) dalam mempertimbangkan, atau keliru dalam menentukan tujuan, maka yang akan ditemui kemudian adalah kepedihan hidup.
7. Dandanggula
Menggambarkan kebahagian yang sangat. Dandanggula berarti tempat yang berisi gula. Bermakna tidak ada lain kecuali kebaikan. Oleh karena itulah tidak keliru jika Dandanggula ini menggambarkan kebahagiaan dan kegembiraan.
Dalam fase ini, sang anak telah menjadi orang tua. Semua yang diharapkan telah terwujud. Dari ketercukupan papan, pangan , sandang, keluarga dan momongan. Semua harapan terwujud. Gambaran masa tua pun menjadi sangat indah karena sudah direncanakan begitu rupa dalam kehangatan keluarga yang bersahaja.
8. Durmo
Bersal dari kata darma yang berarti memberi. Dengan perasaan ketercukupan maka akan tumbuh keinginan untuk berbagi kebahagian kepada sesama. Ini adalah tahap manusia menyempurnakan hidupnya. Ketika masih muda dan berjuang keras untuk hidup berkeluarga dan bahagia, dia selalu bergulat dengan persoalan yang menuntutnya selalu bersabar. Pada giliran semua sudah tercukupi, maka saatnya dia menyempurnakan dengan brsyukur kepada Gusti Allah Kang Maha Murah, melalui tindak berbagi, berderma kebaikan kepada sesama.
9. Pangkur
Berasal dari kata mungkur yang berarti berpaling atau menghindari kadunyan (keduniaan). Pada masa tua jika tidak mampu memalingkan diri dari hawa nafsu dan angkara murka, maka tindak lakunya akan bubrah, alias tidak jelas. Karena semakin dia tua, keinginannya akan semakin aneh- aneh, sehingga banyak menuntut kepada dunia diluarnya, karena energi yang dimilikinya sendiri sudah banyak berkurang. Ini akan berakibat merepotkan orang-orang yang ada disekitarnya, terutama anak-anak dan keluarganya. Disinilah mengapa kadang anak mantu tidak betah tinggal bersama dengan mertua.
Manusia dalam tahap ini harus berusaha memungkuri atau membelakangi kehidupan dunia. Obsesi- obsesi liarnya harus bisa ditaklukkan, dan berusaha memperbanyak amal budi untuk kehidupan berikutnya.
10. Megatruh
Dari kata megat ruh, atau terputus nyawanya. Inilah akhir periode perjuangan manusia. Batas akhir dia bisa menambah amal atau memperbanyak taubat.
Megatruh juga bisa dimaknai sebagai sebuah tingkatan makrifat tertinggi, yaitu mati sa jroning urip, kemudian menjadi khusnul khotimah di akhir kehidupannya. Sejatine iku ora ana, seng ana iku dudu.
Terputusnya ruh ini menjadi akhir sekaligus awal kehidupan. Akhir hidup di dunia dan awal kehidupan di alam yang baru. Jika terputus ruh, maka terputuslah semua pertalian dia dengan dunia, hanya tinggal iman, amal dan buah perbuatannyalah akan yang ia bawa serta. Semua sudah bersifat ruhani.
11. Pucung
Ini adalah tahap akhir kehidupan manusia, yaitu dibungkus dengan kain mori dipocong untuk kemudian dikuburkan. Pocong memberikan pelajaran kepada manusia-manusia yang masih hidup, bahwa semua di dunia yang dahulu di klaim menjadi miliknya, ternyata tidak ada yang dibawa pulang, kecuali secarik kain yang membungkus dirinya. Hanya amal dan ibadahnya saja yang akan menemaninya dalam kehidupan mendatang, dimana dia harus mempertanggungjawabkan semuanya. Lahir dengan tidak membawa apa-apa, maka meninggal pun dengan tidak membawa apa-apa.
Daur kehidupan seperti dalam tembang macapat itu pasti kita lalui. Dari dalam kandungan hingga mati berkalang tanah. Namun kondisi kita dalam setiap jenjang tidak mesti sama. Ada yang gembira ada yang sedih, ada yang ketercukupan ada yang kekurangan. Ada yang selamat, ada yang tersasar.
Setiap kita menginginkan kehidupan yang bahagia dunia dan akherat. Lahir dari rahim yang sehat, dididik dengan kasih sayang, masa mudanya terarah, pasangan hidupnya saleh dan solehah, keluarganya bahagia penuh kesetiaan, matinya khusnul khotimah.
Namun manusia hanya bisa berencana dan usaha. Barangkali ada saja bayi yang dikandung tetapi tidak diinginkan. Berkali-kali berusaha digugurkan. Sudah lahir diterlantarkan, tidak dituntun, tidak dididik. Ketika anak sudah menggelandang, menjelang muda mulai berbuat onar dan kejahatan. Begitu berhasrat asmara, malah merusak pagar ayu dengan paksa. Sudah tua malah menjadi penggoda pasangan orang lain. Matinyapun karena terlalu banyak minuman keras dan obat-obatan terlarang.
Bagaimanapun juga, perbedaan kondisi dan posisi itulah yang akan menjadikan roda kehidupan itu berjalan. Ada ide yang bergulir, ada rumusan teknis yang dirancang, ada pelaksana lapangan, ada pengawas, ada penilai dan ada pengguna. Semua memiliki satu pertalian. Kekosongan bukan suatu cela, namun itu adalah media bagi isi untuk memasukinya. Begitu Tuhan menata hidup dalam hukum-hukumnya yang tidak kasat mata namun berjalan begitu rapih.
Yang terpenting bukan kita menjadi seperti apa dalam setiap tahap kehidupan itu, namun seberapa besar usaha kita untuk selalu menjadi yang terbaik dalam setiap daur hidup kita. Tidak terkecuali jika yang terbaik yang bisa kita lakukan adalah tetap bertahan untuk tidak terjatuh dalam kemunduran.
Melalui sebelas tembang macapat itu, kita belajar kehidupan, bagaimana menjadi anak, bagaimana menjadi orang tua, dan lebih lagi bagaimana menjadi manusia. Berusahalah tetap berada dalam tingkat kesadaran dan kewaspadaan. R. Ng. Ranggawarsita, seorang pujangga Jawa, dalam karyanya Serat Kalatida, memperingatkan kepada kita semua,
//Amenangi jaman edan/ ewuh aya ing pambudi/ milu edan ora tahan/ yen tan melu anglakoni/ boya keduman melik/ kaliren wekasanipun/ ndilalah karsa Allah/ begja-begjane kang lali/ luwih begja kang eling lan waspada//
Peringatan Ranggawarsita tersebut tentu sangat relevan dengan perintah Allah dalam Al Quran kepada kita semua untuk selalu bersiaga, menjaga diri dan keluarga dari kerusakan hidup yang berbalas neraka.
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S. At Tahrim: 6).
Salah satu kemahiran seorang menaiki kendaraan adalah berkait dengan penguasaan medan jalan. Semakin sering dia melalui jalan itu, maka semakin mahir dia melaju kendaraannya. Dalam kehidupan, tidak harus kita hidup dan mati berkali-kali untuk bisa menjalani hidup ini dengan benar, tenang, dan gembira. Menimba sebanyak-banyaknya pengalaman dari siapapun dan apapun, adalah kunci bagi kita untuk semakin mengenal lebih dekat tentang hidup.
Akhirnya kita harus menyadari bahwa jiwa atau ruh kita, setidaknya akan melalui lima alam perpindahan, yiatu alam barzah, alam rahim, alam dunia, alam kubur dan alam akherat. Dengan demikian, kehidupan di dunia ini yang kita lalui dengan susah payah, hanyalah satu episode dari beberpa episode hidup kita. Namun satu episode itulah yang akan menentukan kondisi hidup kita pada episode-episode berikutnya. Baik kita berperilaku di dunia, maka baik pula penerimaan kita kelak. Karenaya, jangan pernah main-main dengan kehidupan dunia ini.
Semoga Allah SWT memberikan petunjuk kepada kita semua jalan-Nya yang lurus. Yaitu jalannya orang-orang yang dilimpahkan nikmat atas mereka, bukan jalannya orang-orang yang dibenci lagi berbuat dzalim. Amin.
Referensi:
Karsono H Saputra, 2005, Bahasa dan Sastra Jawa, Wedatama Widya Sastra, Jakarta.
Purwadi dkk, 2005, Ensiklopedi Kebudaya Jawa, Bina Media.
Ratnawati, 2002, Religiusitas dalam Sastra Jawa Modern, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Posted in budaya, Islam, refleksi, Sosial | Tagged hidup, jawa, makna, manusia | Leave a Comment