Anda di halaman 1dari 5

TUGAS MATA KULIAH METODE SEJARAH

Nama : Devi Yunita Sari


NPM : 20217370079
Kelas : 2n IPS
Judul : De Java Oorlog (Rangkuman Kronik Perang Jawa 1825 – 1830)
Penulis : Abdul Rohim
Penerbit : ANAK HEBAT INDONESIA, Yogyakarta
Tahun : 2022

Perang Diponegoro yang juga dikenal dengan sebutan Perang Jawa (Inggris:The Java
War, Belanda: De Java Oorlog) adalah perang besar dan berlangsung selama lima tahun
(1825-1830) di Pulau Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Perang ini merupakan
salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa
pendudukannya di Nusantara, melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal
Hendrik Merkus de Kock yang berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa di bawah
pimpinan Pangeran Diponegoro. Akibat perang ini, penduduk Jawa yang tewas mencapai
200.000 jiwa, sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan
7000 serdadu pribumi. Akhir perang menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa.
Pangeran Diponegoro merupakan pangeran dari Kesultanan Yogyakarta. Lahir
tanggal 11 November 1785, nama aslinya adalah Raden Mas Mustahar yang kemudian
diganti menjadi Raden Mas Antawirya seiring usia sesuai tradisi keraton. Raden Mas
Antawirya adalah putra dari Raden Mas Suraja atau yang nantinya bertakhta dengan gelar
Sultan HB III.
Diponegoro lahir dari ibu yang merupakan seorang selir (garwa ampeyan), bernama
R.A. Mangkarawati, dari Pacitan. Pangeran Diponegoro sewaktu dilahirkan bernama Bendara
Raden Mas Mustahar, kemudian diubah menjadi Bendara Raden Mas Antawirya. Nama
Islamnya adalah Abdul Hamid. Setelah ayahnya naik takhta, Bendara Raden Mas Antawirya
diwisuda sebagai pangeran dengan nama Bendara Pangeran Harya Dipanegara.
Ketika dewasa, Pangeran Diponegoro menolak keinginan sang ayah untuk menjadi
raja. Ia sendiri beralasan bahwa posisi ibunya yang bukan sebagai istri permaisuri, membuat
dirinya merasa tidak layak untuk menduduki jabatan tersebut. Pangeran Diponegoro dikenal
sebagai pribadi yang cerdas, banyak membaca, dan ahli di bidang hukum Islam-Jawa. Dia
juga lebih tertarik pada masalah-masalah keagamaan ketimbang masalah pemerintahan
keraton dan membaur dengan rakyat. Sang Pangeran juga lebih memilih tinggal di Tegalrejo,
berdekatan dengan tempat tinggal eyang buyut putrinya, yakni Gusti Kangjeng Ratu
Tegalrejo, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, daripada tinggal di keraton.
Perang Diponegoro atau Perang Jawa diawali dari keputusan dan tindakan Hindia
Belanda yang memasang patok-patok di atas lahan milik Diponegoro di Desa Tegalrejo.
Tindakan tersebut ditambah beberapa kelakuan Hindia Belanda yang tidak menghargai adat
istiadat setempat dan eksploitasi berlebihan terhadap rakyat dengan pajak tinggi, membuat
Pangeran Diponegoro semakin muak hingga mencetuskan sikap perlawanan sang Pangeran.
Pasukan Pangeran Diponegoro dibagi menjadi beberapa batalyon yang diberi nama
berbeda-beda, seperti Turkiya, Arkiya, dan lain sebagainya. Setiap batalyon dibekali dengan
senjata api dan peluru-peluru yang dibuat di hutan.Pangeran Diponegoro bersama para
panglimanya menerapkan strategi perang gerilya yang selalu berpindah-pindah. Markasnya di
Selarong sering kali kosong ketika pasukan Belanda menyerang lokasi tersebut. Sang
Pangeran dan pasukannya baru kembali ke Selarong setelah pasukan Belanda pergi
meninggalkan Selarong.
Pusat pertahanan pasukan Diponegoro kemudian dipindahkan dari Selarang ke Daksa.
Sang Pangeran juga dinobatkan menjadi kepala negara bergelar "Sultan Abdulhamid
Herucakra Amirulmukminin Sayidin Panatagama Kalifatullah Tanah Jawa", dengan pusat
negara berada di Plered, dengan pertahanan yang kuat. Sistem pertahanan daerah Plered
dipercayakan penanganannya kepada Kerta Pengalasan.
Kuatnya pertahanan di Plered dibuktikan dengan gagalnya serangan besar-besaran
pasukan Hindia Belanda pada tanggal 9 Juni 1826. Setelah penyerangan tersebut, sang
Pangeran mengganti posisi Kerta Pengalasan dengan Ali Basha Prawiradirja dan
Prawirakusumah, keduanya masih berusia 16 tahun. Setelah itu, masih di bulan dan tahun
yang sama, pasukan Hindia Belanda menyerang markas Diponegoro di Daksa, tetapi sudah
dikosongkan. Ketika pasukan Hindia Belanda kembali dari Daksa menuju Yogyakarta,
pasukan Diponegoro menyergap dan membinasakan seluruh pasukan dan menghilang dari
Daksa.
Pada Oktober 1826, pasukan Diponegoro menyerang pasukan Hindia Belanda di
Gawok dan mendapat kemenangan. Namun, sang Pangeran terluka dan terpaksa harus
ditandu ke lereng Gunung Merapi. Pada 17 November 1826, sang Pangeran bertolak ke
Pengasih (sebelah barat Yogyakarta) untuk menyerang pasukan Hindia Belanda. Di lokasi
ini, sang Pangeran mendirikan keraton di Sambirata sebagai pusat negara baru. Pasukan
Belanda sempat menyerang Sambirata, tetapi Diponegoro berhasil meloloskan diri. Perang
sempat berhenti akibat gencatan senjata pada 10 Oktober 1827, namun perundingan tidak
menemui kesepakatan apa pun.
Berkat dukungan dan simpatik rakyat, pasukan Pangeran Diponegoro dapat dengan
mudah memindah-mindahkan markasnya dan mendapat pasokan logistik. Selain itu, pasukan
Diponegoro dikenal sangat cepat dan lincah berkat semangat perang Sabilillah. Akibatnya,
Hindia Belanda banyak mengirimkan jenderal, kolonel dan mayor ke Pulau Jawa, seperti
Jenderal De Kock, Jenderal Van Geen, Jenderal Holsman, dan Jenderal Bisschof.
Para senopati menggunakan strategi dengan menjadikan kondisi alam sebagai
"senjata" dan tameng yang tak terkalahkan. Hal ini dilakukan dengan melakukan serangan-
serangan besar-besaran pada saat bulan-bulan penghujan. Hujan tropis yang deras tersebut
sering kali membuat gerak dari pasukan Hindia Belanda terhambat, sehingga para gubernur
Hindia Belanda akan melakukan berbagai usaha untuk melakukan gencatan senjata dan
berunding. Ancaman lainnya datang dari penyakit malaria, disentri, dan sebagainya, yang
menjadi “musuh yang tak tampak” bagi pasukan Hindia Belanda sehingga sering kali
melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan. Ketika gencatan
senjata terjadi, Belanda lantas memanfaatkan situasi dengan mengkonsolidasikan pasukannya
dan menyebarkan mata-mata serta provokator di desa-desa dan kota kemudian menghasut,
memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin
perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando pangeran Diponegoro. Namun, pejuang
pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
ANALISIS BUKU
“DE JAVA OORLOG (RANGKUMAN KRONIK PERANG JAWA 1825 – 1830)”

Dari buku yang saya baca yaitu De Java Oorlog, dapat diketahui bahwa buku tersebut
dikembangkan dengan historiografi tradisional. Historiografi sendiri adalah kajian mengenai
metode sejarawan dalam pengembangan sejarah sebagai disiplin ilmiah. Bentuknya berupa
setiap karya sejarah mengenai topik tertentu. Historiografi tentang topik khusus melingkupi
cara kerja sejarawan dalam mengkaji topik tersebut dengan menggunakan sumber, teknik,
dan pendekatan teoretis tertentu. Historiografi merupakan penulisan hasil penelitian dari
susunan kejadian masa lampau. Penyusunan historiografi dilakukan dengan memberikan
imajinasi terhadap kejadian masa lampau. Tiap kejadian dibentuk melalui pengolahan data
yang telah diperoleh sebelumnya. Historiografi disusun dalam bentuk serialisasi dengan
pendekatan kronologi, kausalitas dan imajinasi. Keteraturan penulisan sejarah peristiwa-
peristiwa ditentukan oleh pendekatan kronologis. Dalam ilmu sejarah, urutan kronologi
sangat penting dalam menjelaskan perubahan sosial. Kajian sejarah secara menyeluruh
melibatkan kajian filosofis dan kajian historiografi. Kajian filosofis berkaitan dengan situasi
masa lalu. Penjelasan mengenai masa lalu disampaikan melalui berbagai jenis tulisan yang
memberikan gambaran mengenai peristiwa-peristiwa masa lalu. Sedangkan kajian
historiografis berupa keterlibatan para sejarawan dalam berbagai kajian masa lalu tersebut.
Historiografi tradisional merupakan penulisan sejarah yang umumnya dilakukan oleh
para sastrawan atau pujangga keraton dan bangsawan kerajaan. Sedangkan dari segi
karakteristiknya, historiografi tradisional bersifat kultural dan politis, serta belum
menggunakan metode ilmiah dalam penyusunannya, sehingga unsur subjektivitasnya tinggi.
Ciri-ciri historiografi tradisional :
1. Sudut pandang penulisannya berbentuk Istanasentris
2. Tujuan penulisannya sebagai alat legitimasi raja
3. Terdapat rasa anakronis atau ketidakpastian keterangan waktu
4. Banyak mengandung unsur mitos
5. Bersifat Regio-sentris atau kaya akan unsur kedaerahan
Sumber sejarah yang digunakan pada buku de java oorlog merupakan sumber
sekunder. Sumber sekunder merupakan tulisan mengenai sejarah yang sesuai dengan bukti-
bukti dari sumber primer. Bentuk sumber sekunder dapat berupa tulisan pada buku sejarah
yang mengacu kepada buku harian atau arsip surat kabar. Sumber sekunder merujuk pada
karya sejarah yang ditulis sesuai sumber-sumber primer dan merujuk pula pada sumber-
sumber sekunder lainnya. Sebagian besar tulisan ilmiah yang diterbitkan pada masa sekarang
adalah sumber sekunder. Sumber sekunder yang ideal memuat laporan peristiwa di masa
lampau. Peristiwa yang disampaikan telah mengalami generalisasi, analisis, sintesis,
interpretasi, dan evaluasi terlebih dahulu.

Anda mungkin juga menyukai