SRI SULTAN
HAMENGKUBUWONO IX
ANGGOTA:
ANNISA HILALRIAH
ARYANI FAZIRAH
CHINDY NURIAH ROSADI
JIHAN FARAH TS CH
SALAS MAHARDHIKA
RAJA YANG BERKORBAN UNTUK
BANGSA
Banyak orang yang masih mengenang peranan besar Sri Sultan Hamengkubuwono
IX, meskipun peristiwa perjuangan kemerdekaan telah jauh dilewati. Seorang sultan
yang hidup di alam pergerakan nasional untuk memperoleh kemerdekaan atas bangsa
dan negaranya. Tidak hanya rakyat Jawa atau Yogyakarta pada khususnya,
melainkan pemikiran beliau tentang keseluruhan rakyat pribumi nusantara
(Indonesia) yang begitu menderita akibat penjajahan oleh pihak kolonial. Penjajahan
merupakan tindakan yang tidak memanusiakan manusia, karena apa yang dilakukan
oleh penjajah sangat merugikan kaum terjajah, dan sebaliknya sangat
menguntungkan penjajah.
Nilai kepahlawanan yang ditunjukan oleh Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono IX
begitu terasa di masyarakat. Bahkan sebagai seorang pewaris tahta kerajaan (Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat), beliau tidak bersikap sombong dan mau bergaul dengan rakyat
jelata. Perjuangannya tidak hanya berhenti pada masa awal kemerdekaan, namun berlanjut
sampai mengisi kemerdekaan itu sendiri, bahkan sampai akhir hayat hidupnya diabdikan untuk
kepentingan bangsa dan negaranya (Indonesia). Inilah segi yang menarik dari pribadi Hamengku
Buwono IX yang begitu merakyat, walaupun dia adalah seorang raja.
Sifat yang dimiliki Hamengkubuwono IX ini mungkin dapat dilihat dari berbagai perjalanan
hidupnya, yakni mulai dari pola perlakuan ayahandanya (Hamengkubuwono VIII), pendidikan
yang diperoleh, kesadaran yang tinggi tentang makna Hamengku Buwono itu sendiri, hingga
tahta untuk rakyat.
Tatkala penobatan Dorodjatun sebagai Sultan, ada ucapan yang begitu istimewa dalam
bahasa Belanda: “Al ben ik Westers opgevoed, maar ik ben en blijf een Javaan” (Meskipun saya
memperoleh pendidikan Barat, namun saya tetap orang Jawa)
Begitu banyak sifat dan perilaku Hamengku Buwono IX yang dapat dijadikan teladan bagi
generasi penerus. Bahkan Presiden Soekarno ketika akan kembali ke Jakarta pada tanggal
28 Desember 1949, menulis sebuah kenangan khusus : “Djogjakarta menjadi termasjhur
oleh karena djiwa-kemerdekaannya. Hiduplah terus djiwa-kemerdekaan itu.”
MASA KECIL SRI SULTAN HAMENGKUBUWONO
IX
Sri Sultan Hamengku Buwono IX bernama kecil Gusti Raden Mas (GRM)
Dorodjatun dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 21 April 1912 jam 22.30 dari seorang
ibu yang bernama R.A Kustilah. Pemberian nama Dorodjatun oleh orang tuanya
diharapkan agar kelak memiliki derajat yang tinggi, dapat mengemban kedudukan yang
luhur, dan selalu memiliki budi pekerti yang baik walau memegang kekuasaan yang
besar. Lebih tepatnya, lahir di Kampung Sompilan, Jalan Ngasem 13 di kediaman Gusti
Pangeran Haryo Puruboyo (hitungan jawa: Sabtu Pahing, 25 Rabiulakir Tahun Jimakir
1842). R.A Kustilah sendiri adalah garwa padmi (permaisuri) dengan gelar Kanjeng
Raden Ayu (KRAy) Adipati Anom dari Gusti Pangeran Haryo Puruboyo (baca
Purboyo) yang kelak naik tahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.
Di Purubayan, Dorodjatun tinggal bersama saudara-saudaranya yang se-ayah berbeda
ibu dengan penuh kekeluargaan. Untuk masalah kehidupan dan pendidikan bagi putra-
putranya, Sultan Hamengku Buwono VIII memiliki pandangan yang berbeda dengan para
sultan pendahulunya. Tentu bukan hal yang biasa dalam lingkungan kerabat Keraton yang
masih memegang tradisi secara kuat untuk menitipkan putra-putra Sultan kepada
keluarga Belanda.
Sejak kecil Dorodjatun dan putra-putra Sultan Hamengku Buwono VIII yang lain
dititipkan kepada keluarga Belanda di Yogyakarta. Hal inilah yang terkadang
menimbulkan penafsiran berbeda, bahkan kerabat Keraton mengkhawatirkan kalau
nantinya akan bersikap menjadi “kebelanda-belandaan”. Pilihan Sultan Hamengku
Buwono VIII ini supaya putra-putranya hidup secara sederhana, tidak diistimewakan,
disiplin, dan agar berani dalam menempuh serta menghadapi tantangan hidup dengan
penuh perjuangan.
INTEGRASI KASULTANAN NGAYOGYAKARTA
HADININGRAT DENGAN RI