Anda di halaman 1dari 24

KELOMPOK 4

SRI SULTAN
HAMENGKUBUWONO IX
ANGGOTA:

ANNISA HILALRIAH
ARYANI FAZIRAH
CHINDY NURIAH ROSADI
JIHAN FARAH TS CH
SALAS MAHARDHIKA
RAJA YANG BERKORBAN UNTUK
BANGSA
Banyak orang yang masih mengenang peranan besar Sri Sultan Hamengkubuwono
IX, meskipun peristiwa perjuangan kemerdekaan telah jauh dilewati. Seorang sultan
yang hidup di alam pergerakan nasional untuk memperoleh kemerdekaan atas bangsa
dan negaranya. Tidak hanya rakyat Jawa atau Yogyakarta pada khususnya,
melainkan pemikiran beliau tentang keseluruhan rakyat pribumi nusantara
(Indonesia) yang begitu menderita akibat penjajahan oleh pihak kolonial. Penjajahan
merupakan tindakan yang tidak memanusiakan manusia, karena apa yang dilakukan
oleh penjajah sangat merugikan kaum terjajah, dan sebaliknya sangat
menguntungkan penjajah.
Nilai kepahlawanan yang ditunjukan oleh Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono IX
begitu terasa di masyarakat. Bahkan sebagai seorang pewaris tahta kerajaan (Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat), beliau tidak bersikap sombong dan mau bergaul dengan rakyat
jelata. Perjuangannya tidak hanya berhenti pada masa awal kemerdekaan, namun berlanjut
sampai mengisi kemerdekaan itu sendiri, bahkan sampai akhir hayat hidupnya diabdikan untuk
kepentingan bangsa dan negaranya (Indonesia). Inilah segi yang menarik dari pribadi Hamengku
Buwono IX yang begitu merakyat, walaupun dia adalah seorang raja.
Sifat yang dimiliki Hamengkubuwono IX ini mungkin dapat dilihat dari berbagai perjalanan
hidupnya, yakni mulai dari pola perlakuan ayahandanya (Hamengkubuwono VIII), pendidikan
yang diperoleh, kesadaran yang tinggi tentang makna Hamengku Buwono itu sendiri, hingga
tahta untuk rakyat.
Tatkala penobatan Dorodjatun sebagai Sultan, ada ucapan yang begitu istimewa dalam
bahasa Belanda: “Al ben ik Westers opgevoed, maar ik ben en blijf een Javaan” (Meskipun saya
memperoleh pendidikan Barat, namun saya tetap orang Jawa)
Begitu banyak sifat dan perilaku Hamengku Buwono IX yang dapat dijadikan teladan bagi
generasi penerus. Bahkan Presiden Soekarno ketika akan kembali ke Jakarta pada tanggal
28 Desember 1949, menulis sebuah kenangan khusus : “Djogjakarta menjadi termasjhur
oleh karena djiwa-kemerdekaannya. Hiduplah terus djiwa-kemerdekaan itu.”
MASA KECIL SRI SULTAN HAMENGKUBUWONO
IX
Sri Sultan Hamengku Buwono IX bernama kecil Gusti Raden Mas (GRM)
Dorodjatun dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 21 April 1912 jam 22.30 dari seorang
ibu yang bernama R.A Kustilah. Pemberian nama Dorodjatun oleh orang tuanya
diharapkan agar kelak memiliki derajat yang tinggi, dapat mengemban kedudukan yang
luhur, dan selalu memiliki budi pekerti yang baik walau memegang kekuasaan yang
besar. Lebih tepatnya, lahir di Kampung Sompilan, Jalan Ngasem 13 di kediaman Gusti
Pangeran Haryo Puruboyo (hitungan jawa: Sabtu Pahing, 25 Rabiulakir Tahun Jimakir
1842). R.A Kustilah sendiri adalah garwa padmi (permaisuri) dengan gelar Kanjeng
Raden Ayu (KRAy) Adipati Anom dari Gusti Pangeran Haryo Puruboyo (baca
Purboyo) yang kelak naik tahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.
Di Purubayan, Dorodjatun tinggal bersama saudara-saudaranya yang se-ayah berbeda
ibu dengan penuh kekeluargaan. Untuk masalah kehidupan dan pendidikan bagi putra-
putranya, Sultan Hamengku Buwono VIII memiliki pandangan yang berbeda dengan para
sultan pendahulunya. Tentu bukan hal yang biasa dalam lingkungan kerabat Keraton yang
masih memegang tradisi secara kuat untuk menitipkan putra-putra Sultan kepada
keluarga Belanda.
Sejak kecil Dorodjatun dan putra-putra Sultan Hamengku Buwono VIII yang lain
dititipkan kepada keluarga Belanda di Yogyakarta. Hal inilah yang terkadang
menimbulkan penafsiran berbeda, bahkan kerabat Keraton mengkhawatirkan kalau
nantinya akan bersikap menjadi “kebelanda-belandaan”. Pilihan Sultan Hamengku
Buwono VIII ini supaya putra-putranya hidup secara sederhana, tidak diistimewakan,
disiplin, dan agar berani dalam menempuh serta menghadapi tantangan hidup dengan
penuh perjuangan.
INTEGRASI KASULTANAN NGAYOGYAKARTA
HADININGRAT DENGAN RI

Sehari setelah proklamasi kemerdekaan yang dibacakan pada tanggal


17 Agustus 1945 oleh dwi-tunggal prolamator di Jakarta, Sultan Hamengku
Buwono IX mengirimkan telegram kepada Soekarno-Hatta ucapan selamat
atas terbangunnya Negara Republik Indonesia. Tanggal 20 Agustus 1945,
Sultan Hamengkubuwono IX kembali mengirimkan telegram yang kedua
berisi “sanggup berdiri di belakang pimpinan Paduka Yang Mulia”.
Pernyataan ini selalu diikuti oleh Paku Alam VIII, yang menunjukkan
betapa kedua tokoh ini menunjukan semangat revolusioner mendukung
kemerdekaan Indonesia.
“…baru tanggal 5 September saya berani berbicara atas nama rakyat di sini. Saya menyatakan demikian itu oleh
karena perhitungan saya, dus keyakinan saya bahwa suatu waktu Belanda akan datang di Yogya. Kalau itu
terjadi maka dengan pernyataan itu saya tidak bisa diadu domba dengan para intelektuil, para politisi, dan rakyat
di Yogyakarta ini. Itu perhitungan saya, untuk menyatakan bahwa Yogya itu adalah bagian dari pada Republik
Indonesia” (Disalin sesuai aslinya dari buku Biografi Pahlawan Nasional Sultan Hamengkubuwono IX)

Isi amanat yang diberikan oleh Sultan Sri Hamengkubuwono IX:


1. Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Republik
Indonesia.
2. Segala kekuasaan dalam negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan urusan pemerintahan berada di
tangan Hamengkubuwono IX.
3. Hubungan antara Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemerintah RI bersifat langsung dan
Sultan Hamengkubuwono IX bertanggung jawab kepada Presiden RI
Revolusi kemerdekaan secara empiris menggilas habis swapraja (dahulunya
kerajaan) di Indonesia. Kecuali Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman yang
mampu bertahan dan menunjukkan eksistensinya terhadap perubahan jaman, baik
konstelasi politik maupun sosial. Mengapa Kesultanan dan Kadipaten (selanjutnya
disebut Daerah Istimewa Yogyakarta) mampu eksis dan menjadi beteng pertahanan RI
dalam menghadapi serbuan kembali Belanda? Peranan tokoh kunci yakni Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII yang tanggap dan berpikiran ke
depan serta dukungan loyalitas rakyat Yogyakarta merupakan modal utama tegaknya
Yogyakarta. Secara eksplisit dwi tunggal ini meneguhkan kepemimpinan politik dan
kultural yang terbukti mampu berjalan seirama dengan tarikan nafas republik.
Meskipun berstatus Sultan, Hamengkubuwono IX dikenal pula sebagai pribadi yang demokratis dan
merakyat. Banyak kisah menarik yang terjadi dalam interaksi antara Sultan dan masyarakat
Yogyakarta. Cerita yang dikisahkan oleh SK Trimurti dan diolah dari buku “Takhta Untuk Rakyat”
Pingsan Gara-Gara Sultan
Kejadiannya berlangsung pada tahun 1946, ketika pemerintah Republik Indonesia pindah ke
Yogyakarta. Saat itu, SK Trimurti hendak pulang menuju ke rumahnya. Penasaran dengan
kerumunan orang di jalan, iapun singgah. Ternyata ada perempuan pedagang yang jatuh pingsan di
depan pasar.
Uniknya, yang membuat warga berkerumun bukanlah karena perempuan yang jatuh pingsan tadi,
melainkan penyebab mengapa perempuan tersebut jatuh pingsan.
 
Cerita berawal ketika perempuan pedagang beras ini memberhentikan sebuah jip untuk ikut
menumpang ke pasar Kranggan. Sesampainya di Pasar Kranggan, ia lalu meminta sopir jip untuk
menurunkan semua dagangannya. Setelah selesai dan bersiap untuk membayar jasa, sang sopir
dengan halus menolak pemberian itu. Dengan nada emosi, perempuan pedagang ini mengatakan
kepada sopir jip, apakah uang yang diberikannya kurang. Tetapi tanpa berkata apapun sopir tersebut
malah segera berlalu.
Seusai kejadian, seorang polisi datang menghampiri dan bertanya kepada si perempuan
pedagang : "Apakah mbakyu tahu, siapa sopir tadi?"
“Sopir ya sopir. Aku ndak perlu tahu namanya. Dasar sopir aneh," jawab perempuan
pedagang beras dengan nada emosi.
"Kalau mbakyu belum tahu, akan saya kasih tahu. Sopir tadi adalah Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, raja di Ngayogyakarta ini." jawab polisi.
  Seketika, perempuan pedagang beras tersebut jatuh pingsan setelah mengetahui kalau
sopir yang dimarahinya karena menolak menerima uang imbalan dan membantunya
menaikkan dan menurunkan beras dagangan, adalah rajanya sendiri! (Tahta Untuk Rakyat,
Atmakusumah (ed), 1982).
 
Kisah tersebut menggambarkan betapa Sultan Hamengkubuwono IX bukan saja
berpikir dan bertindak bagi utuhnya kesatuan bangsa. Dalam hal kecil, ia bahkan
melakukan perbuatan teladan berupa keharusan menyatunya seorang pemimpin dengan
rakyatnya.
SIKAP DAN PERILAKU YANG DAPAT KITA TELADANI
SEBAGAI GENERASI PENERUS BANGSA DARI SRI SULTAN
HAMENGKUBUWONO IX
Banyak sekali keteladanan yang diwariskan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX kepada bangsa Indonesia.
Bahkan Mohamad Roem (Atmakusumah, 1982:138) pernah berkata, “Bagaimana nasib Republik kalau Sri Sultan
tidak ada?”. Pertanyaan itu muncul karena betapa besar jasa Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam
memperjuangkan  kemerdekaan Republik Indonesia. Hal-hal yang dapat kita teladani dari seorang Sri Sultan
Hamengku Buwono IX yang bergelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono
Senopati Ingalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Kaping-IX, diantaranya:
a) Pemimpin yang meneguhkan jati diri
Sri Sultan Hamengkubuwono IX menyadari bahwa dia adalah raja di Kasultanan Yogyakarta dan sekaligus
juga sebagai generasi di jamannya. Raja yang terpola pikirnya, bukan hanya sebagai pewaris tahta kerajaan,
namun pandangannya yang jauh menatap ke depan akan makna kehidupan. Walaupun dia sejak kecil
mengenyam pendidikan Barat, namun Sultan tetap konsisten menjaga jati dirinya sebagai orang Timur. Dia tidak
kehilangan nilai-nilai keluhuran bangsa, dan tidak bersikap ke-Barat-Baratan. Hal ini terbukti dari ucapannya
ketika penobatan sebagai Raja Kasultanan Yogyakarta.
b) Tanpa Pamrih, Rela Berkorban Demi Bangsa
Saat ibukota Jakarta tidak kondusif lagi, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menawarkan kepada
Pemerintah untuk pindah ke Yogyakarta. Presiden dan rombongan tanggal 4 Januari 1946 tiba di
Yogyakarta dan disambut dengan kehangatan oleh Sultan serta masyarakat. Pemerintah saat itu tidak
memiliki apa-apa. Sultan tanpa diminta, dengan tanggap menyediakan fasilitas-fasilitas yang
diperlukan untuk kegiatan pemerintahan. Bahkan untuk menggaji seluruh pegawai kantor dan instansi
pemerintahan RI, Sultan membuka kas keuangan Kasultanan.
c) Rendah Hati (Andhap Asor)
Walaupun Sultan adalah seorang raja, dia selalu menunjukkan sikap rendah hatinya. Sultan tidak
pernah membedakan rakyat biasa maupun keturunan bangsawan, orang Jawa maupun orang luar Jawa,
bahkan orang yang senang maupun orang yang tidak senang dengan dirinya. Bahkan, Sultan sering
bersikap diam apabila terdapat perbedaan pendapat. Sikap diam inilah yang ternyata menyimpan hal
yang luar biasa dalam diri Sultan. Hal ini yang menjadikannya disegani oleh masyarakat.
d) Pergaulan yang Luas
Hubungan yang baik dengan pelbagai pihak, entah itu rakyat, pejabat pemerintahan, tokoh
bangsa lain menjadikan Sultan Hamengku Buwono IX optimis akan kelangsungan eksistensi
bangsa dan negara Indonesia. Rupanya Sultan Hamengku Buwono IX telah mempersiapkan
betul bahwa ke depan perjalanan bangsa akan menemui apa yang dinamakan ’globalisasi’.
Penguatan rasa nasionalisme penting agar sebagai bangsa yang berdaulat, kuat menghadapi
globalisasi ini. Bagaimana mengolah, mengelola pertemuan Barat dan Timur, agar Barat tidak
‘membunuh’ yang Timur.
Amerika Serikat juga mengakui kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono IX yang
tahtanya dipersembahkan untuk rakyat. Saat Ngarsa Dalem berpulang ke Rahmatullah,
Presiden AS Ronald Reagen menyatakan turut berduka cita, dan menyebutnya sebagai
pahlawan Republik Indonesia
e) Gigih Memperjuangkan Perdamaian
Perjuangan yang dilakukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX selalu bernafaskan
perdamaian. Pengambilan keputusan menyangkut negara selalu dipertimbangkan secara
matang-matang dan dengan kepala dingin. Dunia internasional mengakui peranan Sultan
dalam mewujudkan perdamaian di Kawasan Asia Tenggara sangat besar. Sulltan
memperoleh Kajima Peace Award (Penghargaan untuk usaha perdamaian internasional)
dari Kajima Institute of International Peace, Jepang. Kajima ini setara dengan Hadiah
Nobel, yang ditujukan untuk orang-orang Asia dan Afrika.
MENGENANG TOKOH LOKAL BANGKA
BELITUNG
Syaikh Abdurrahman Siddik
1857
Lahir
Dalam Pagar, Martapura
10 Maret 1930,
Meninggal
Sapat Indragiri Hilir
Dikenal karena Ulama
Agama Islam
Orang tua Datu Landak
• Syaikh Abdurrahman Siddik bin Haji Muhammad Afif bin Haji Anang Mahmud
bin Haji Jamaluddin bin Kyai Dipa Sinta Ahmad bin Fardi bin Jamaluddin bin
Ahmad Al-Banjari merupakan seorang ulama yang terkenal. Nama aslinya adalah
Abdurrahman, sedangkan Shiddiq (Siddik) adalah gelar kehormatan yang konon
diberikan oleh gurunya Sayyid Bakri Syatha, seorang ulama terkenal yang menulis kitab
fiqh terkenal I’anah al-Thalibin dan salah seorang guru yang mengajar di Masjid al-
Haram, Mekah, ketika Syaikh Abdurrahman Siddik menyelesaikan studinya di kota suci
tersebut.
• Dilihat dari keturunan ayahnya, ia masih termasuk keluarga sultan Banjar. Ibunya,
Safura binti Syaikh Haji Muhammad Arsyad bin Haji Muhammad As’ad, adalah cucu
Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, penulis kitab Sabilal-Muhtadin (Jalan Orang-
Orang yang Mendapat Petunjuk). Pada waktu berusia 2 bulan, Abdurrahman saat kecil
sudah di tinggal ibunya (meninggal dunia). Sehingga ia diasuh oleh adik ibunya (mak
ciknya) yaitu Sa’idah. Sa’idah adalah seorang wanita yang termasuk ‘alim pada masa
itu. Abdurrahman Siddik dididik oleh adik ibunya itu belajar mengaji al-Qur’an. Dalam
usia 8 tahun ia sudah khatam membaca al-Qur’an.
Dalam kitab Risalah Syajarah al-Arsyadiah, Syaikh Abdurrahman Siddik memiliki
sembilan isteri dan sejumlah anak. Diantara nama isteri dengan jumlah anaknya masing-
masing adalah sebagai berikut :
1. Nur Simah
2. Fatimah
3. Rahmah binti Haji Usman
4. Hajjah Salmah Amnati
5. Halimah binti Idris
6. Zulaikha
7. Hasanah binti Haji Muhammad Thayib
8. Aminah binti Muhammad Khalid
9. Fatimah binti Haji Muhammad Nasir
• Lebih kurang dua belas tahun Syaikh Abdurrahman Siddik bermukim di pulau
Bangka. Selama di pulau ini, ia pertama kali menetap di Muntok, tetapi kemudian
tinggal dibeberapa kota dan desa di Bangka dan di tempat-tempat tersebut ia
menikah. Setelah menetap di pulau Bangka, kemudian ia hijrah ke Sapat Dalam
Indragiri, Riau. Hampir dua puluh tujuh tahun ia menetap di daerah ini sampai ia
menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 4 Sya’ban 1358 Hijriah atau
bertepatan dengan tanggal 10 Maret 1939 Masehi dalam usia 82 tahun.
• Kemasyhuran Syaikh sebagai seorang ulama yang memiliki pengetahuan luas,
kharismatik dan mempunyai karya tulis yang monumental bagi semua kalangan
masyarakat pulau Bangka, sangat membawa berkah khususnya bagi para keturunan
dan dzuriatnya hingga saat ini. Sehingga menurut Syahrum, banyak orang
mengklaim masih dalam garis keturunannya padahal garis keturunan Syaikh telah
termaktub dalam kitab Syajarah al-Arsyadiyah karangannya.
• Almarhum dimakamkan di kampung Sapat Dalam Parit Hidayat, Indragiri Riau. Beliau berpulang ke
rahmatullah tanpa meninggalkan harta kekayaan, hanya satu-satunya yang diwariskan adalah ilmunya
seperti yang tercantum dalam beberapa karya-karyanya berupa buku-buku karangannya.

Riwayat Pendidikan Syaikh Abdurrahman Siddik


• Sejak berumur sekitar dua bulan Syaikh Abdurrahman Siddik kecil sudah ditinggal wafat oleh ibunya.
Abdurrahman kecil hanya diasuh dan dididik oleh bibinya (adik ibunya) yaitu Sa’idah. Tetapi
walaupun demikian ia dapat dikatakan sangat beruntung karena diasuh dan dibimbing oleh seorang
wanita yang terdidik dan cendikia seperti Sa’idah. Sa’idah dikenal sebagai seorang ‘alimah pada masa
itu, terutama di daerah Banjar. Ketika Abdurrahman berumur di bawah lima tahun ia telah belajar al-
Qur’an (biasa disebut mengaji) langsung dari bibinya, sehingga pada usia delapan tahun Abdurrahman
sudah dapat mengkhatamkan al-Qur’an.
• Abdurrahman dimasukkan oleh bibinya ke sebuah pesantren di Pagar Dalam, Martapura. Dan tanpa diketahui sebab
yang pasti ia keluar dari pesantren tersebut, setelah belajar kurang lebih selama dua tahun. Selanjutnya ia belajar dengan
pamannya yang bernama Abdurrahman Muda, yang diketahui pandai dalam bahasa Arab. Atas anjuran pamannya
tersebut kemudian Abdurrahman meneruskan proses belajarnya kepada salah seorang ulama terkemuka di Martapura
yang bernama Sa’id Wali. Dengan ulama ini dia belajar secara tekun dan giat selama kurang lebih empat tahun sehingga
boleh dikatakan sudah pandai membaca dan memahami “kitab-kitab kuning”.
• Kemudian Abdurrahman berkeinginan untuk memperdalam ilmu agama di Mekkah, tetapi tidak segera terwujud. Faktor
ekonomi agaknya menjadi hambatan ketika masyarakat Banjar mengalami tekanan sosial, ekonomi dan politik dari
kolonial Belanda. Maka, sebelum melanjutkan studinya ke Mekkah, Abdurrahman terlebih dahulu menuntut ilmu ke
Padang, Sumatera Barat. Padang, Sumatera Barat pada waktu itu sudah mulai maju dalam bidang pendidikan. Selama di
Padang Abdurrahman bekerja membantu pamannya Haji Muhammad As’ad sebagai tukang emas. Disamping itu, pada
waktu luang Abdurrahman belajar ilmu agama dengan beberapa ulama yang terkenal di kota Padang dan diantara
gurunya adalah H. Zainuddin
• Hasil dari proses pendidikannya, Syaikh Abdurrahman Siddik tergolong
sebagai seorang penulis produktif, selama bermukim di Bangka dan Indragiri
Riau, dia diperkirakan menulis tidak kurang dari 18 buku, yang meliputi
berbagai cabang ilmu agama Islam, seperti ilmu tauhid (teologi), tasawuf
(mistisime), fiqh, hadits, tata bahasa Arab, sejarah, pendidikan dan akhlak
(ajaran moral Islam). Disamping itu ia juga banyak mengeluarkan brosur-brosur
untuk kepentingan dakwah.
• Peran Keulamaannya di Pulau Bangka
• Awal kedatangannya ke pulau ini, tepatnya di Muntok tempat dimana ayahnya menetap. Di daerah ini sebelumnya,
ia meneruskan dengan mengajar kitab-kitab yang diajarkan oleh ayahnya. Ternyata, berkat pengalaman
mengajarnya di Mekah dan diskusi dengan para ulama di berbagai tempat ia dapat menjelaskan isi kitab dengan
baik dan menarik sehingga hal ini menyebabkan bertambahnya peserta pengajian.
• Tidak kurang dari dua belas tahun Syaikh Abdurrahman Siddik bermukim di pulau ini dan giat menjalankan
kegiatan dakwah dan pendidikan Islam. Selama di pulau ini ia pada mulanya menetap di Muntok (Bangka Barat)
tetapi kemudian tinggal di beberapa kota dan desa di Bangka. Ia mengunjungi sejumlah desa untuk memberikan
bimbingan dan pendidikan kepada masyarakat. Pusat pendidikan dan dakwahnya adalah masjid dan rumah
penduduk. Penekanan utama dakwahnya adalah pada pemurnian aqidah Islam atau tauhid, karena Islam
sebagaimana diketahui adalah merupakan agama (al-Diin), dengan sistemnya yang utuh, mengandung konsep yang
menyeluruh (the total concept] untuk mengarahkan keyakinan, iman serta perilaku manusia penganutnya untuk
memenuhi hakikat dan tujuan hidupnya, yaitu mengabdikan diri kepada Allah SWT semata. Prinsip pengabdian
kepada Allah semata itu, secara mendasar lahir dari ajaran yang sangat esensial dan fundamental sifatnya dalam
Islam, yaitu ajaran tauhid. Suatu monoteisme murni yang ketat dan tidak kenal kompromi.
• Konsekuensi ajaran tauhid yang seperti itu terhadap penganutnya adalah berupa
dorongan kuat, dengan mengerahkan semua potensinya, untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan yang telah dipikulkan kepadanya oleh Islam. Yang dimaksud
dengan ketentuan-ketentuan disini adalah kandungan ajaran Islam itu sendiri yang
mana setiap muslim dituntut untuk mengetahui dan memahaminya. Konsep tauhid yang
pertama kali diajarkannya ketika itu kepada masyarakat adalah sangat tepat sekali,
mengingat pada masa itu berkembang praktek-praktek takhayul dan syirik yang
bertentangan dengan ketauhidan. Melalui dakwah tersebut Syaikh Abdurrahman Siddik
bermaksud menyadarkan masyarakat tentang pentingnya jalan bertauhid kepada Allah.
Meskipun harus menghadapi berbagai rintangan dan tantangan dari berbagai pihak
termasuk dari guru-guru ilmu kebathinan, Syaikh tetap giat menjalankan dakwahnya.

Anda mungkin juga menyukai