Anda di halaman 1dari 8

PERGANTIAN KEKUASAAN KESULTANAN JOHOR DI ABAD KE-17 SAMPAI KE-18

Kesultanan Johor merupakan kesultanan yang awal mulanya di bentuk oleh Sultan Alaudin
Riayat Syah II salah satu anak dari Sultan Malaka yang bernama Sultan Mahmud Syah.
Sebelum berdiri, wilayah Johor merupakan bagian dari Kesultanan Malaka. Kesultanan Malaka
jatuh karena penaklukan Portugis pada 1511. Pada tahun 1528, Kesultanan Johor di bangun,
Johor menganggap wilayah Johor, Pahang, Selangor, Singapura, Kepulauan Riau serta daerah-
daerah di Sumatra seperti Deli, Siak, Rokan, Indragiri, Batu Bara, dan Jambi sebagai wilayah
kekuasaanya.

Kesultanan Johor mewarisi seluruh tata dan sistem Kesultanan Malaka seperti aturan
pemerintahan, kehidupan sosial budaya masyarakatnya, perekonomian, perdagangan, serta
agama. Kehidupan perekonomian dan perdagangan tak luput dari perdagangan jalur laut.
Kesultanan Johor dibagi tiga wangsa, yaitu Wangsa Johor-Malaka, Wangsa Bendahara dan
Wangsa Temanggung. Selain itu, kehidupan politik dan pemerintahan Kesultanan Johor
seringkali mengalami gejolak dalam masa berdirinya.

Dimulai pada abad ke-17 dimana terjadi Perang Segi Tiga, perang ini terjadi antara Portugis,
Aceh dan Johor. Perang ini terjadi karena perebutan jalur pelayaran di Selat Malaka serta Aceh
yang merasa dikhianati oleh Johor karena Johor saat itu menandatangani perjanjian damai
dengan Portugis dan Belanda. Saat itu pemimpin Kesultanan Aceh ialah Sultan Iskandar Muda.
Pada tahun 1613, ia berhasil menaklukan Kesultanan Johor, Sultan Johor beserta seluruh
kerabatnya dibawa dan ditawan di Aceh. Sultan Alaudin Riayat Syah III dieksekusi mati oleh
Sultan Iskandar Muda. Sultan Alaudin Riayat Shah III mangkat di Aceh pada tahun 1617.

Tahun 1613 sampai 1615 merupakan masa peralihan pemerintahan Kesultanan Johor karena
telah ditaklukan oleh Aceh. Di tahun 1615, Kesultanan Johor dipimpin oleh Sultan Abdullah
Ma’ayat Syah. Beliau juga dikenal dengan beberapa panggilan seperti panggilan Raja Abdullah,
Raja Bongsu, Raja Di Hilir, Yang Di Pertuan Hilir, dan Raja Seberang. Setelah menaiki tahta Ia
memakai gelar Sultan Abdullah Ma'ayat Syah. Sultan Johor yang ke-7 ini memipin Johor dari
1615-1623 dan Ia mangkat dan dimakamkan di Batu Sawar, Kota Tinggi, Johor. Ia merupakan
putra dari Sultan Muzaffar Syah II dan diangkat oleh Sultan Iskandar Muda, Aceh sebagai Sultan
Johor untuk menggantikan Sultan Alauddin Riayat Syah III, yaitu Sultan Johor ke-6 yang
dijatuhi hukuman mati oleh Sultan Iskandar Muda saat Aceh menaklukan Johor pada tahun 1615.

Pada tahun 1613, Aceh di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda menyerang dan
mengalahkan Johor. Raja Abdullah pun ikut ditawan bersama Sultan Alauddin Riayat Syah III ke
Aceh ia adalah sepupu dari Sultan Allaudin Riayat Syah III. Semasa di Aceh, Raja Abdullah
telah dijodohkan dan dinikahkan dengan adik perempuan Sultan Iskandar Muda. Kemudian Raja
Abdullah dipulangkan ke Johor dengan pengawasan pasukan Aceh. Raja Abdullah memimpin
Kesultanan Johor dibawah Kekuasaan Aceh.

Pada tahun 1618, Sultan Abdullah Ma'ayat Syah pindah ke Lingga atau Daik dengan meminta
bantuan Belanda untuk melawan Aceh. Kemudian Sultan Abdullah Ma'ayat Syah menceraikan
istrinya yang tak lain adalah adik Sultan Aceh Iskandar Muda. Kejadian ini membuat marah
Sultan Iskandar Muda, kerana adik yang dicintainya diceraikan oleh Sultan Abdullah. Sultan
Iskandar Muda memerintahkan pasukannya untuk menghancurkan Batu Sawar, ibukota Kerajaan
Johor Lama dan menyerang Pulau Lingga untuk memburu Raja Bujang yaitu anak Sultan
Alauddin Riayat Shah III pada tahun 1623. Sultan Abdullah Ma'ayat Syah melarikan diri
bersama Raja Bujang ke Pulau Tambelan. 1623 mangkat di Pulau Tambelan disebut "Marhum
Pulau Tambelan".

Setelah itu pada tahun 1623 Raja Bujang menggantikan posisi Sultan Abdullah Ma'ayat Syah
sebagai Sultan di Johor. Ia memiliki gelar Sultan Abdul Jalil Shah III. Raja Bujang merupakan
anak dari Sultan Alauddin Riayat Shah III. Pada tahun 1629, ancaman Aceh berkurangan kerana
kekalahannya melawan serangan Portugis. Johor dan Belanda berhasil menaklukan Aceh pada 14
Januari 1640. Belanda berjaya menaklukan Aceh pada 1641, Saat itu Sultan Aceh, Sultan
Iskandar Muda mangkat pada 1636 dan Sultan Iskandar Thani mangkat pada 1641 dan Aceh
kemudian dipimpin oleh Raja Perempuan yaitu Ratu Sultanah Tajul Alam.

Pada 1641, Sultan Abdul Jalil Shah III datang ke tanah besar Johor yaitu pusat pemerintahan di
Makam Tauhid. Selama dua tahun Sultan Abdul Jalil Shah III di Makam Tauhid sebelum ia
pindah menyeberangi Sungai Damar ke Pasir Raja yang juga dikenali sebagai Batu Sawar pada
Oktober 1642. Sultan Abdul Jalil Shah III tinggal di Pasir Raja hingga 1673 sebelum
bermusuhan dengan Jambi dan akhirnya terjadi sebuah letusan peperangan antara Jambi dengan
Johor. Sultan Abdul Jalil Shah III melarikan diri ke Pahang dan bersemayam di Pahang selama
empat tahun dan mangkat di Kuala Pahang lalu disebut "Marhum Mangkat di Pahang atau
Marhum Besar".

Perang Jambi-Johor terjadi karena adanya perselisihan diantara kedua belah pihak yang
memperebutkan Kawasan Tungkal. Orang Johor menghasut Orang Tungkal untuk memberontak
kepada Kerajaan Jambi. Hal ini tentu membuat Jambi marah awalnya ketegangan ini diatasi
dengan jalan perdamaian. Namun perselisihan kembali Meletus karena kedua belah pihak yang
saling menghina kedaulatan satu sama lain. Akibat perang ini, pemerintahan Johor sempat
melemah, Sultan Abdul Jalil Syah III melarikan diri ke Pahang dan Ia mangkat pada tahun 1677.
Pada tahun 1673 sampai 1677 merupakan masa peralihan Kesultanan Johor karena Johor telah
ditakhlukan oleh Jambi.

Selanjutnya, kekuasaan berpindah kepada anak dari Raja Pahang. Pada tahun 1677, Johor
dipimpin oleh Sultan Ibrahim Syah. Pada 1678, Laksamana Tun Abdul Jamil mengajak Sultan
Ibrahim Syah pindah dari Pahang ke Riau. Sultan Ibrahim Syah mencoba untuk membangun
kembali Kota Johor Lama tetapi tidak terlaksanakan. Sultan Ibrahim Syah mangkat di Pulau
Riau pada 16 Februari 1685.

Pada tahun 1685 kekuasaan akhirnya di ambil alih oleh cucu dari sultan pertama Kesultanan
Johor. Sultan Mahmud Syah II saat dinobatkan menjadi pemimpin baru berusia 10 tahun. Pada
saat masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah II, urusan pemerintahannya dijalankan
oleh Bendahara. Pusat pemerintahan berada di Kota Tinggi, dan Johor Lama dijadikan istana
hinggap. Di sinilah Temenggung menjaga Kota Johor Lama. Pada masa pemerintahannya, Sultan
Mahmud Syah II dikenal karena sifatnya yang buruk, ia memerintah dengan kejam dan bengis. Ia
suka membunuh sesuka hati dan memiliki orientasi seksual kepada laki-laki.

Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah II dikenal juga dengan Sultan Mahmud Mangkat
Dijulang. Nama ini diambil dari peristiwa terbunuhnya istri seorang Laksamana Bentan bernama
Megat Sri Rama oleh Sultan Mahmud Syah II. Kematiannya terjadi karena saat istri Laksamana
Bentan yang sedang hamil mengidamkan buah Nangka. Sultan Mahmud Syah II yang tidak
percaya ia membelah perut Dang Anum untuk mengetahui apakah benar ada bayi dalam
perutnya, hal itu tentu saja membuat Dang Anum tewas.
Kematian Dang Anum membuat Laksamana Bentan dendam kepada Sultan Mahmud Syah II, ia
merencanakan pelengseran kekuasaan terhadap Raja. Saat akan diadakan sholat jumaat, Megat
Sri Rama menikam Sultan Mahmud Syah II, dimana sebelum meninggal ia mengutuk kepada
Megat Sri Rama bahwa ketujuh keturunannya tidak di perbolehkan menginjak Tanah Johor,
apabila ada keturunannya menginjakkan kakinya di Tanah Johor maka akan meninggal . Sultan
Mahmud Syah II mangkat pada umur 24 tepatnya pada tahun 1699. Ia merupakan keturunan
terakhir dari Dinasti Johor-Malaka.

Setelah terjadi kekosongan kekuasaan, seorang Bendahara Kesultanan Johor menaikki tahta,
yaitu Sultan Abdul Jalil IV, ia merupakan Sultan Johor yang memerintah dari 3
September 1699 hingga 1720. Sultan Abdul Jalil IV merupakan Sultan pertama dari
keturunan Bendahara. Ia adalah anak dari Tun Habib Abdul Majid yaitu Bendahara dari Sultan
Mahmud Syah II, ia juga merupakan sepupu dari Sultan Mahmud Syah II.

Setelah bergelar Sultan Abdul Jalil IV, ia mengganti pusat pemerintahan ke Panchor pada tahun
1700. Pada tahun 1702, istana di Bukit Tukul terbakar. Pada tahun 1708, Sultan Abdul Jalil IV
pindah ke Riau dan menjadikan pusat pemerintahan kerajaan Johor. Pada tahun 1716, Sultan
Abdul Jalil IV pindah ke tanah besar Johor dan tinggal di Panchor. Sultan Abdul Jalil IV
mempunyai istana di Makam Tauhid dan Johor Lama. Kota Johor Lama diperbaiki dan diberi
nama "Kota Lama". Saat masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil IV, keadaan agak rusuh karena
pembesar-pembesar kerajaan bersikap serakah, berkhianat dan iri, ini memberi peluang
kepada Raja Kecil atau Sultan Abdul Jalil Rahmat Shah untuk menyerang Johor.

Pada tahun 1699 setelah kematian Sultan Mahmud Syah II, terdapat seorang penuntut tahta
sultan yang bergelar Raja Kecil mengaku bahwa ialah anak Sultan Mahmud Shah II yang pada
masa kecil dilarikan ke Pagaruyung. Anak perempuan dari salah satu pembesar di pemerintahan
itu telah diperisteri oleh Sultan Mahmud II lalu lahirlah Raja Kecil ini. Oleh kerana situasi yang
sedang haru biru dalam istana gara-gara perilaku ganjil sultan maka pembesar itu
menyelamatkan cucunya (Raja Kecil). Kemudian Raja Kecil ini diberi gelar Sultan Abdul Jalil
Rahmat Syah dan memerintah Johor antara tahun 1718 sampai 1722.

Pada tahun 1717, Raja Kecil dan tentara dari Siak Minangkabau menyerang Johor. Raja Kecil
melantik dirinya sendiri sebagai Sultan Johor dan bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah,
tetapi Raja Kecil masih membiarkan Sultan Abdul Jalil IV menetap di Johor tetapi tidak ada
kuasa untuk memerintah dan diberi jabatan Bendahara. Kemenangan Raja Kecil adalah atas
bantuan pembesar Johor sendiri terutama pembesar berketurunan dari Orang Laut kerana yakin
Raja Kecil adalah pewaris sedarah Sultan Mahmud Syah II.

Tidak berhenti disitu, saat Raja Kecil mencoba merebut tahta, ia meminta bantuan kepada orang-
orang Bugis dan menjanjikan imbalan apabila mereka menang, orang Bugis akan menjadi Yang
Dipertuan Muda Johor. Tetapi karena Raja Kecil menganggap bantuan yang di janjikan orang
Bugis lama, ia melancarkan aksinya dengan pasukan Minangkabau dari Siak. Setelah berhasil
menduduki tahta, orang Bugis dating dan menangih janji untuk dilantik menjadi Yang
Dipertuuan Muda Johor.

Namun, Raja Kecil merasa bahwa mereka tidak membantu sebagaimana yang ia minta. Hal ini
membuat sakit hati Orang Bugis dan dimanfaatkan oleh Abdul Jalil untuk bekerja sama
melemahkan kekuasaan Raja Kecil. Akhirnya, pada tahun 1722 Raja Kecil terpaksa meletakkan
kekuasannya dan anak Bendahara Abdul Jalil yang bernama Raja Sulaiman menaikki tahta.
Namun dalam pemerintahannya, ia seperti raja boneka, karena pada saat itu yang memegang
kekuasaan ialah Daeng Marewah sebagai Yang Dipertuan Muda Johor. Raja Sulaiman diberi
gelar Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah  dinobatkan menjadi Raja di Kesultanan Johor pada
tahun 1722.

Antara tahun 1722 sampai 1746, tahta Kesultanan Johor diperebutkan oleh Raja Kecil dan Raja
Sulaiman. Pada tahun 1767, Raja Ismail, telah menjadi duplikasi dari Raja Kecil, didukung oleh
Orang Laut, muncul sebagai Raja Laut, menguasai perairan timur Sumatra sampai ke Lautan
Cina Selatan, membangun kekuatan di gugusan Pulau Tujuh, Sultan Siak mewarisi seluruh
wilayah Kesultanan Johor terutama selepas meninggalnya Raja Sulaiman, kemudian kedudukan
Yang Dipertuan Muda diambil alih oleh Raja Ismail dan memaksa mereka pindah ke Selangor.

Kemudian pada 1760-1761, Sultan Abdul Jalil V Muazzam Shah atau Raja Ahmad atau Tengku
Abdul Jalil V yang tak lain merupakan anak dari Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah naik tahta
di Kesultanan Johor. Raja Abdul Jalil V dikenal juga dengan gelar Raja di Baroh dan ia
dikatakan menetap di Kuala Selangor. Raja Abdul Jalil V menikah dengan Tengku Puteh anak
dari Daeng Chelak, yang tak lain berasal dari suku Bugis.
Setelah menikah mereka dikurniai dua orang anak bernama Raja atau Tengku Ahmad dan Raja
atau Tengku Mahmud. Tengku Ahmad juga dikenal sebagai Tengku Tengah. Raja Abdul Jalil V
juga berkaitan dengan konflik daerah-daerah orang Minangkabau di Rembau, Johol, Sungai
Ujong dan Jelebu. Daerah-daerah tersebut diketahui tidak lagi ingin bernaung di bawah
kekuasaan Kesultanan Johor dan akhirnya dimerdekakan oleh Sultan Johor. Sultan Abdul Jalil V
Muazzam Syah mangkat pada bulan Januari 1761 dan dimakamkan di Batangan, Riau
berhampiran makam ayahanya.

Kemudian setelah kemangkatannya, Kesultanan Johor diambil alih oleh Sultan Ahmad Riayat
Syah, dilantik pada 1761 untuk menggantikan ayahanya. Ketika itu beliau baru berusia sembilan
tahun. Kekuasaan pemerintahannya dipegang oleh Yang Dipertuan Muda Daeng Kemboja. Pada
tahun 1761, salah satu utusan dari pihak Belanda mendatangi Kesultanan Johor untuk menuntut
uang ganti rugi perang sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Sultan Sulaiman dahulu.

Yang Dipertuan Muda Daeng Kemboja pun sanggup membayar ganti rugi tersebut dan hal ini
memperkuat lagi kekuasaan Yang Dipertuan Muda Daeng Kemboja. Sultan Ahmad Riayat Syah
mangkat di Riau dalam usia yang masih muda dan dipercaya bahwa ia diracun dan disebut
"Marhum Tengah". Sultan Ahmad Riayat Syah bersemayam di Kampung Bulang, Riau. Ia
digantikan oleh adiknya, yaitu Raja Mahmud yang baru berusia setahun dan memiliki
gelar Sultan Mahmud Syah III.

Semasa pemerintahan Sultan Mahmud III, keadaan daerah taklukannya yaitu di Riau-Johor-
Lingga-Pahang tidak aman kerana terdapat masalah perebutan kekuasaan antara Melayu dan
Bugis. Pergolakan politik yang hebat tersebut pada akhirnya melibatkan pihak Belanda. Dalam
satu pertempuran antara Belanda dengan angkatan lanun dari Tempasok, Sultan Mahmud pura-
pura membantu Belanda tetapi meriam yang digunakan untuk menyerang lanun tidak berpeluru.
Akhirnya Belanda menyerah kalah di Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau dan terpaksa
meninggalkan Tanjung Pinang tanpa membawa satu barang pun kembali ke daerah Melaka.

Oleh kerana khawatir Belanda datang lagi untuk menyerang balik, maka Sultan Mahmud beserta
pembesar-pembesarnya pun ikut berangkat meninggalkan Kepulauaan Riau tepatnya Kota
Tanjung Pinang menuju Pulau Lingga di Daik. Sultan memerintahkan agar pusat pemerintahan
baru dibangun di tempat baru tersebut. Sejumlah 200 perahu mengiringi Sultan ke Pulau Lingga.
Sementara itu, Bendahara Abdul Majid yang ketika itu berada di Kepulauan Riau Kota Tanjung
Pinang meninggalkan tempat itu bersama 150 buah perahu, pulang ke Pahang. Setelah itu,
banyak orang-orang Melayu meninggalkan Riau
menuju Bulang, Selangor, Terengganu, Kalimantan dan pulau-pulau lain di daerah Riau,
Sumatera. Yang tinggal disana hanyalah orang-orang Cina yang bekerja di ladang gambir dan
lada hitam. Kebanyakan ladang yang ditinggalkan oleh merupakan lading milik orang-orang
Melayu dan orang-orang Bugis kemudian diambil alih oleh orang-orang Cina. Sejak saat itu
orang Cina yang tinggal di pulau itu semakin ramai karena pulaunya ditinggalkan oleh tuannya.

Tidak lama kemudian orang Belanda datang kembali ke Kota Tanjung Pinang untuk
memperkuatkan pertahanan mereka. Kompeni Belanda menempatkan 312 orang tenteranya.
Belanda berpendapat bahwa apabila mereka tidak menguasai Kepulauan Riau tepatnya Kota
Tanjung Pinang, kedudukan mereka akan terancam, diambah pada ketika itu Inggris telah
membuka Pulau Pinang pada 1786. Pada tahun 1795, Inggris yang menguasai dan memerintah
Malaka, bagi pihak Belanda semasa Perang Napoleon telah mengembalikan semua wilayah
taklukan Sultan Mahmud seperti Riau, Johor dan Pahang kepadanya.

Sultan Mahmud membuka Lingga dan menjadikannya pusat pemerintahan Riau-Johor-Lingga-


Pahang. Namun akhirnya dengan campur tangan penjajah dan musuh-musuh politik dalam
pemerintahannya sendiri maka akhirnya pusat kesultanan di Lingga mengecil, untuk wilayah
Riau sampai Lingga merupakan daerah di bawah naungan kuasa Belanda, sedangkan wilayah
Joho sampai Pahang merupakan wilayah yang bernaung di bawah kekuasaan Inggris. Akibat dari
perpecahan itu juga, pengaturan pemerintahan kerajaan Riau-Johor-Lingga dibagi menjadi tiga
bagian juga dan diperintah oleh pemerintah yang berlainan, yaitu Singapura oleh Temenggung,
Riau oleh Yang Dipertuan Muda dan Lingga oleh Sultan.

Dari awal pemerintahan Kesultanan Johor dari abad ke-17 sampai ke-18 ini seringkali mendapat
gejolak baik serangan dari luar seperti pemberontakan kerajaan-kerajaan bawahan maupun
kerajaan tetangga dan campur tangan bangsa asing, maupun dari dalam seperti perilaku tercela
dari keluarga kesultanan maupun perilaku buruk dari para pembesar di tatanan pemerintahan
Kesultanan Johor. Bahkan Kesultanan Johor sendiri beberapa kali pernah runtuh, namun
dibangun kembali hingga membaik.

Gejolak kehidupan pemerintahan dalam Kesultanan Johor tidak berhenti sampai abad ke-18. Hal
ini terjadi pula di abad selanjutnya. Namun meskipun demikian, hal ini tidk membuat Kesultanan
Johor rutuh begitu saja. Akhir dari masa Kesultanan Johor adalah saat dimana ia masuk menjadi
bagian dari Malaysia.

Daftar Pustaka

1. R. O. Winstedt (1992), ‘he History of Johore (1365-1941), The Malaysian Branch of


the Royal Asiatic Society’. ISBN 9839961462
2. Thukiman, Kassim (2011), ‘Sejarah Johor Dalam Pelbagai Perspektif’. ISBN
9789835212932

Anda mungkin juga menyukai