Anda di halaman 1dari 4

Sejarah Sultan Banten Maulana Muhammad Shafiuddin Pada Tahun 1808-1832

Yasinta Uswatun Khasanah Ardiyanti (A92217093), Dian Chairudina (A92217063), M. Sufti


Ubaidillah (A92217118), Mustika Annisa Nurfitri (A02217028).

Pendahuluan

Rumusan Masalah

Sultan Banten XVII yang memiliki nama asli Maulana Mohammad Shafiuddin merupakan
cucu dari Sunan Gunung Djati dan putera dari sultan Muhammad Muhyiddin Zainussalihin.
Ia menggantikan Sultan Aliuddin II yang sempat diwakilkan oleh Sultan Wakil
Suramenggala karena dirasa ia belum cukup dewasa. Kekuasaan Banten lemah ditangannya
karena mendapat tekanan dari beberapa kekuatan global silih berganti memengaruhi
kesultanan banten. Pada tahun 1813 ketika Inggris memerintah Sultan Shafiuddin diasingkan
dan dipaksa turun takhta.

1. Bagaimana Biografi Sultan Banten XVII?


2. Bagaimana Sejarah Sultan Banten Maulana Muhammad Shafiuddin?
Tinjauan Pustaka
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Biografi Sultan Banten Maulana Muhammad Shafiuddin


2.2. Sejarah Kepemimpinan Sultan Banten Maulana Muhammad Shafiuddin
Sebelum Maulana Muhammad Shafiuddin memimpin Kerajaan Banten
dipimpin oleh Sultan Banten Aliyuddin II setelah itu diwakilkan oleh Sultan
Suramenggala dalam waktu satu tahun. Pada masa kepemimpinan Sultan Banten ke
IV mulai terjadi kolonialisme hingga kepemimpinan Sultan Banten ke XVII. Sejarah
kepemimpinan Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin dimulai ketika sultan
Aliyuddin II menentang sistem kerja paksa oleh Daendles , Pada saat itu ia dibuang di
Ambon oleh pasukan Belanda1 akhirnya ia mewariskan tahtanya pada Sultan Maulana
Muhammad Shafiuddin yang mana berasal dari garis keturunan permaisuri yang
bernama Ratu Aisiyah. Ia adalah sepupu dari Sultan Penuh Banten ke 15 dan 16. Ia
merupakan Sultan Penuh terakhir Banten yang berdaulat dari garis keturunan pewaris
tahta resmi Kesultanan Banten. Karena dirasa belum cukup dewasa untuk memimpin
Ia diwakilkan sementara oleh Sultan Suramenggala selama 1808-1809. Pangeran
Suramenggala datang dari Mangkubumi ke Pandeglang atas perintah landros
(semacam residen) Dekker kala itu untuk memeriksa kasus kematian Kapitan Hij.2 Ia
dipercaya mewakilkan Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin karena memiliki garis
keturunan darah biru. Sultan Suramenggala seringkali ditulis Sultan Banten ke 19
sebelumnya Sultan Penuh Banten ke 16 diurutkan sebagai Sultan Banten ke 18 dan
Sultan Penuh Banten ke 17 seringkali ditulis sebagai Sultan Banten ke 20. Seperti
tulisan pada Buku Perang, Dagang , Persahabatan : Surat-Surat Sultan Banten karya
Pudjiastuti ini Sultan Penuh Banten ke 17 ditulis sebagai Sultan Banten 20 dalam
silsilah Kesultanan Banten.3 Hal tersebut ditulis demikian karena ditambahkan adanya
perwakilan kepemimpinan seperti Pangeran Suramenggala yang mewakilkan
kepemimpinan Sultan Maulana Muhammad selama satu tahun.
Setelah Sultan Maulana Muhammad dewasa ia menikahi putri dari Sultan
Aliyuddin I yaitu Ratu Putri Fatimah binti Pangeran Ahmad bin sultan Aliyuddin I

1
Tubagus Nurfadhil Azmathkhan Al-Husaini, Sejarah Kesultanan Banten dari Masa ke Masa (Bag.3). 4 Mei
2017, diakses Pada 23 November 2019
2
Titik Pudjiastuti,Surat-Surat Sultan Banten. Wacana Vol.6 No.1 April 2004
3
Titik Pudjiastuti, Perang, Dagang , Persahabatan : Surat-Surat Sultan Banten. (Jakarta :Yayasan Obor
Indonesia,2007)
(Sultan Penuh Banten ke 13) sebagai penanda pengakuan dari keluarga ketrunan
Aliyuddin I atas hak dan sahnya Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin sebagai
pewaris tunggal Kesultanan Banten. Pada saat itu juga Sultan Maulana Muhammad
Shafiuddin resmi menjadi Sultan Banten. Rakyat merasa tidak puas terhadap Belanda
karena mereka merasa tersiksa sehingga mereka melakukan perlawanan, namun pihak
Belanda tidak kehilangan akal untuk melemahkan perlawanan mereka Banten dibagi
menjadi tiga daerah yang statusnya kini sama dengan Kabupaten yakni: Banten Hulu,
Banten Hilir, dan Anyer. Sultan Maulana Muhammad Shafiddin ditunjuk oleh
Belanda untuk memimpin Banten Hulu.
Pada tahun 1809 Pemerintah Hindia Belanda menghapus Kesultanan Banten
dan mengintegrasikan wilayahnya kedalam wilayah Hindia Belanda. Pada tahun yang
sama, wilayah Banten diotak-atik oleh penjajah Asing dengan pembagian wilayah-
wilayah yang meminimalisir kekuatan pengaruh Kesultanan Banten selain itu juga
memperlemah kekuatan perlawanan rakyat Banten yang pada saat itu terus melawan.
Ketika terjadi peralihan kekuasaan di Nusantara dari Belanda kepada Inggris ,
diakibatkan kekalahan Napoleon Perancis kepada Inggris. Pada tahun 1813 Gubernur
Thomas Stanford Rafles dari Inggris membagi wilayah Banten menjadi 4 kabupaten
yakni Banten Lor (Banten Utara yang kelak menjadi kabpaten Serang), Banten Kidul
(Banten Selatan yang kelak menjadi Kabupaten Caringin pada tahn 1907 masuk
kabupaten Pandeglang) , Banten Tengah (yang kelak menjadi Kabupaten
Pandeglang), dan Banten Kulon (Banten Barat yang kelak menjadi kabupaten Lebak).
Kemudian pada tahun 1816 kekuasaan Inggris dikembalikan pada Belanda.
Pada tahun 1832 perlawanan dilakukan terus menerus oleh rakyat Banten
kepada pemerintah Hindia Belanda, terutama semenjak ada bajak laut di Selat Sunda
rakyat semakin geram. Dari perlawanan tersebut pemerintah Belanda menganggap
bahwa Kesultanan ikut membantu rakyat melakukan perlawanan sehingga pada tahun
itu juga Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin dan keluarga dibuang di Surabaya
oleh Belanda dan tidak boleh kembali menginjakkan kakinya di Banten.

2.3. Sejarah Kedatangan Sultan Banten Maulana Muhammad Shafiuddin di


Surabaya
Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin diasingkan di Surabaya pada tahun
1832. Keluarganya yang kala itu memiliki uang ikut bersama Sultan, sedangkan yang
tidak memiliki uang menyingkir di Menes, Pandeglang. Ketika pengasingan Sultan
tidak membawa apa-apa. Sultan Shafiuddin beserta keluarga dan keturunanya tidak
diperbolehkan menginjakkan kakinya di Banten selama 1832-1945. Semua harta
bendanya termasuk mahkota dan permainan congklak yang terbuat dari emas dan
zamrud , dirampas oleh Belanda. Sementara itu Sultan Shafiuddin juga masih
diharuskan membayar pajak atas perkebunan kelapa miliknya yang ada di Banten.
Dalam pengasingan ini sultan Shafiuddin berbesanan dengan Bupati Surabaya kala
itu, R.A.A. Tjokronegoro IV (1863-1901) dimana putra mahkota Timoer menikah
dengan putri Bupati Surabaya.
Setelah Sultan Shafiuddin dianggap telah turun takhta Belanda mengangkat
Joyo Miharjo sebagai Sultan, Ia mengganti namanya menjadi Muhammad Rafiuddin.4
Namun hal itu tidak mendapat pengakuan dari pihak keluarga kesultanan. Dalam buku
karya Heriyanti Ongkhodharma Untoro yang berjudul Kapitalisme Pribumi Awal
Kesultanan Banten 1522-1684, mengatakan bahwa “Rafiuddin adalah sultan tanpa
kedaulatan penuh”. Sultan Bupati Muhammad Rafiuddin tidak memiliki hubungan
dengan Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin yang memang bukan penerus
pemegang pemerintahan dan juga bukan putra keturunan. Seperti yang sdah
dijelaskan diawal bahwa Sultan Shafiuddin merupakan pewaris tunggal Kesultanan
Banten. Sehingga menurut fakta tersebut Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin
yang dimakamkan di Sentono Boto Putih Surabaya adalah raja banten terakhir yang
meninggal dalam masa pengasingan.
Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin meninggal dunia pada tahun 1899
ketika usianya mencapai sekitar 96-97 tahun. Ia dimakamkan di Pesarean Agung
Sentono Botoputih (Pemakaman Keluarga Bupati Surabaya). Dalam nisannya tertulis
huruf arab yang terjemahannya : Ini kubur Sultan Banten Maulana Muhammad
Shafiuddin ketika lenyap almarhum pada malam senen 3 Rajab 1318 H atau 11
November 1899.5

4
Eddie Dipo,Sultan Banten Terakhir Shafiuddin atau Rafiuddin. 26 Juni 2015 (diakses pada 24 Nov 2019 pukul
5:38 AM)
5
http://fesbukbantennews.com/boto-putih-surabaya-makam-sultan-banten-ke-xvii-sultan-maulana-muhammad-
shafiuddin/

Anda mungkin juga menyukai