Anda di halaman 1dari 1

Masuknya Agama Islam di Kediri

Sejarah Islam di Jawa sementara ini dikatakan secara arkeologis adalah dimulai dari abad ke-13 khususnya di Jawa
dibuktikan dengan angka tahun yang tertera pada nisan Fatimah binti Maimun bin Hibatallah dengan angka tahun
475 H (1082 M). Realitas persebaran Islam dibawa oleh pengelana dan pedangang dari pelabuhan Siraf di Teluk
Persi. Pendapat Donald Maclain Campbell dalam bukunya Java, menyatakan bahwa orang-orang Arab muslim dan
Persi telah bekerja sama dalam mendirikan Kerajaan Majapahit.
Mereka juga bersekutu dalam mendirikan kerajaan Jenggala, Daha dan Singasari. Mereka telah memiliki
pemukiman. Pendapat tentang nisan Fatimah binti Maimun bin Hibatallah menunjukkan dinamika pelabuhan
internasional kerjaan Panjalu di daerah Kambang Putih dan Hujung Galuh sebagai pelabuhan dagang internasional.
Pembuktian secara artefaktual dapat ditunjukkan satu bukti namun sangat lemah yaitu adanya tulisan yang berupa
epitaph di makam Setono Gedong. Epitaf itu menyebutkan gelaran-gelaran yang dimakamkan di tempat itu.
Sumber lain berasal dari cerita masyarakat mengungkapkan bahwa di Setono Gedong adalah makam Syekh Wasil,
mungkin karena gelarnya yang menyebut pangeran Makkah, mungkin karena ada indikasi ia adalah orang Arab
pembawa Islam di tanah Panjalu atau Kediri. Masyarakat Kediri meyakini bahwa Syekh Wasil hidup bahkan menjadi
guru raja Jayabaya. Sumber dari cerita masyarakat perlu diperhatikan namun tidak dapat dijadikan landasan ilmiah.
Sumber tertulis berasal dari Ramalan Jayabaya Musasar (Awujud Tembang) memberikan penjelasan bahwa Islam
masuk ke Jawa jauh sebelum adanya walisongo. Bahkan bukti nyata tentang pemukiman di Leran, memberikan
informasi jelas bahwa pada abad ke 10-13 kekuasaan yang ada adalah Panjalu di Kediri dan Jenggala di Kahuripan
mempunyai pengaruh besar tehadap masyarakat internasional. Hal ini dipertegas tentang komunikasi perdagangan
di Pelabuhan Hujung Galuh dan Kambang Putih jauh sebelum masa Kediri sudah ada.
Bukti Islam sudah ada di komunitas di pusat Kerajaan Panjalu atau Kediri mendasari keyakinan masyarakat
memenang (pusat Kerajaan Kediri masa Jayabaya) mengadakan ritual yang disebut suroan sebagai indikasi
pewarisan sikritisme budaya Islam dan Hindu-Budha pada masa Jayabaya.

Anda mungkin juga menyukai