Anda di halaman 1dari 5

NAMA :

KELAS : X IPA I

SEJARAH KERAJAAN RIAU-LINGGA


KEPULAUAN RIAU

Kerajaan Riau Lingga adalah sebuah kerajaan Islam di Indonesia yang


pernah berdiri dari sekitar tahun 1828 M hingga 1911 M. Kerajaan ini mencapai
puncak keemasannya pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul
Alamsyah ll Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke lV, memerintah dari tahun
1857 hingga 1883 M. Wilayahnya meliputi Provinsi Kepulauan Riau sekarang,
tetapi tidak termasuk Provinsi Riau yang didominasi oleh Kerajaan Siak yang
sebelumnya telah memisahkan diri dari Kerajaan Johor-Riau.

Kerajaan Riau Lingga memiliki peran penting dalam perkembangan bahasa


Melayu hingga menjadi bentuknya sekarang sebagai bahasa Indonesia. Pada
masa Kerajaan Riau Lingga, bahasa Melayu menjadi bahasa standar yang sejajar
dengan bahasa-bahasa besar lain di dunia, yang kaya dengan sastra dan
memiliki kamus ekabahasa. Tokoh besar di belakang perkembangan pesat
bahasa Melayu ini adalah Raja Ali Haji, seorang pujangga dan sejarawan
keturunan Melayu-Bugis. Sebelumnya Riau Lingga merupakan wilayah dari
Kerajaan Johor-Riau atau juga dikenal Kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga yang
berdiri sekitar tahun 1528 - 1824 M yang merupakan penerusan dari Kerajaan
Malaka, terbentuknya Kerajaan Riau Lingga diakibatkan perebutan kekuasaan
antara kedua putra Raja Johor-Riau dan pengaruh Belanda-Inggris, pada tahun
1824 Belanda dan Inggris menyetujui Perjanjian Traktat London, yang isinya
bahwa semenanjung Malaya merupakan dalam pengaruh Inggris dan Sumatra
serta pulau-pulau disekitarnya merupakan dalam pengaruh Belanda. Hal ini
memperparah situasi Kerajaan Johor-Riau, dan akhirnya pada tahun 1824
Kerajaan Johor-Riau terbagi menjadi 2 Kerajaan, Kerajaan Johor dengan raja
pertamanya Tengku Hussain bergelar Sultan Hussain Syah (1819-1835) putra
tertua Sultan Mahmud Syah lll Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga
ke XVl (1761-1812), sedangkan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah Yang
Dipertuan besar Johor Pahang Riau Lingga ke XVll yang merupakan adik Tengku
Hussain, menjadi Sultan pertama Kerajaan Riau Lingga bergelar Sultan Abdul
Rahman Muazzam Syah Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke l (1812-1832).

Sesudah Malaka sebagai ibu kota kerajaan Malaka diserang pasukan


Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque pada tanggal 10 Agustus
1511 dan berhasil direbut pada 24 Agustus 1511, Sultan Mahmud Syah (Sultan
terakhir Malaka dan Sultan pertama Johor-Riau) beserta pengikutnya melarikan
diri ke Johor, kemudian ke Bintan dan mendirikan ibukota baru. Tetapi pada
tahun 1526 Portugis berhasil membumihanguskan Bintan, dan Sultan Mahmud
Syah kemudian mundur ke Kampar, tempat dia wafat dua tahun kemudian dan
digelar Marhum Kampar, kemudian digantikan oleh putranya bergelar Sultan
Alauddin Riayat Syah II sebagai Sultan Johor-Riau ke ll. Putra Sultan Mahmud
Syah yang lainnya Muzaffar Syah, kemudian menjadi Sultan Perak.

Pada puncak kejayaannya Kesultanan Johor-Riau mencakup wilayah Johor


sekarang, Pahang, Selangor, Singapura, Kepulauan Riau, dan daerah-daerah di
Sumatera seperti Riau Daratan dan Jambi. Kerajaan Johor-Riau mulai
mengalami kemunduran pada tahun 1812 setelah wafatnya Sultan Mahmud
Syah lll Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVl, hal ini
disebabkan oleh perebutan kekuasaan antara dua putra sultan, Yaitu Tengku
Hussain/ Tengku Long dan Tengku Abdul Rahman. Ketika putra tertua Sultan
Mahmud Syah lll yaitu Tengku Hussain/Tengku Long sedang berada di Pahang,
dengan tidak diduga pada tanggal 12 januari 1812 Sultan Mahmud Syah lll
mangkat. Menurut adat istiadat di Istana, seseorang pangeran Raja hanya bisa
menjadi Sultan sekiranya dia berada di samping Sultan ketika mangkat, oleh
karena itu Tengku Abdul Rahman dilantik menjadi Yang Dipertuan Besar Johor-
Pahang-Riau-Lingga ke XVll meneruskan Sultan Mahmud Syah lll menggantikan
saudara tertuanya Tengku Hussain/Tengku Long yang ketika Sultan Mahmud
Syah mangkat dan dimakamkan di Daik Lingga, Tengku Hussain masih berada
di Pahang. Sekembalinya Tengku Hussain dari Pahang menuntut haknya sebagai
putra tertua untuk menjadi Sultan menggantikan Sultan Mahmud Syah lll.
Tengku Hussain merasa lebih berhak menjadi Sultan, daripada adiknya Tengku
Abdul Rahman. Sebelum meninggal Sultan Mahmud Syah lll pernah berwasiat,
yaitu menunjuk Tengku Hussain/Tengku Long sebagai Sultan Johor-Riau dan
Tengku Abdul Rahman, agar berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah
Haji.
Berdasarkan wasiat Sultan mahmud Syah lll, Tengku Hussain tetap
menuntut haknya. Sedangkan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah tetap
mengikuti adat dan istiadat Pelantikan Sultan. Pengganti Sultan, yaitu Tengku
Hussain harus hadir ketika upacara pemakaman dijalankan, lagipula tidak boleh
ditangguhkan lebih lama lagi, namun Tengku Hussain masih tidak ada di
tempat, oleh karena itu Tengku Abdul Rahman dilantik menjadi pengganti
Sultan Mahmud Syah lll.

Dalam sengketa yang timbul, Inggris mendukung putra tertua Tengku


Hussain, sedangkan Belanda mendukung Sultan Abdul Rahman. Traktat London
yang telah disepakati Belanda-Inggris pada tahun 1824, yang menyatakan
bahwa Semenanjung Malaya dibawah pengaruh Inggris dan Sumatera dibawah
pengaruh Belanda, hal ini mengakibatkan Kerajaan Johor-Riau terpecah menjadi
dua, yaitu Johor berada di bawah pengaruh Inggris dan Tengku Hussain sebagai
Sultan pertama Kerajaan Johor bergelar Sultan Hussain Syah (1819-1835) dan
berkedudukan di Singapura, sedangkan Riau Lingga berada di dalam pengaruh
Belanda, dan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ditabalkan menjadi Sultan
Kerajaan Riau Lingga dengan gelar Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah Yang
Dipertuan Besar Riau Lingga ke I, dan berkedudukan di Daik Lingga.

Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah ll adalah putra almarhum Sultan Abdul


Rahman Muazzam Syah dengan permaisurinya Cek Nora (keturunan Belanda).
Memerintah di Daik Lingga pada tahun 1857 hingga 1883. Pada masa
pemerintahannya Kerajaan Riau Lingga mencapai puncak kejayaannya, Yang
Dipertuan Muda saat itu adalah Yamtuan lX Raja Haji Abdullah (1857-1858).
Memerintah di pulau Penyengat. Dilantik oleh Sultan Sulaiman Badrul Alam
Syah ll /Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke lV, dan Yamtuan X Raja
Muhammad Yusuf Al-Ahmadi (1858-1899) juga Memerintah di pulau Penyengat,
digelar Marhum Damnah, mangkat di Daik Lingga dan pada masa pemerintahan
Tengku Embung Fatimah (1883-1885) menggantikan Sultan Sulaiman Badrul
Alam Syah ll, Daik Lingga semakin berkembang pesat menjadi pusat
perdagangan dan pemerintahan dengan banyaknya pendatang-pendatang dari
Sulawesi, Kalimantan, Siak, Pahang, Bangka, Belitung, Cina, Padang dan
sebagainya ke Daik. Keadaan ini menyebabkan Belanda kuatir jika Kerajaan
Riau Lingga menyusun kekuatan baru untuk menantang Belanda, oleh karena
itu Belanda menetapkan Asisten Residen di Tanjung Buton.
Pada tanggal 18 Mei 1905 Belanda membuat perjanjian baru yang antara
lain berisikan bahwa Belanda membatasi kekuasaan Kerajaan Riau Lingga dan
mewajibkan Bendera Belanda harus dipasangkan lebih tinggi daripada Bendera
Kerajaan Riau Lingga. Perjanjian ini dibuat Karena Sultan Abdul Rahman
Muazzam Syah ll Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke Vl (1885-1911) saat itu
terang-terangan menantang Belanda.

Belanda memaksa Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll untuk


menandatangani perjanjian tersebut, tetapi atas mufakat pembesar-pembesar
Kerajaan seperti Engku Kelana, Raja Ali, Raja Hitam dan beberapa kerabat
Sultan, maka Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll menolak menandatangani
perjanjian tersebut. Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll membuat persiapan
dengan membentuk Pasukan dibawah pimpinan Putra Mahkota, yaitu Tengku
Umar/Tengku Besar. Sikap tegas Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll dan
pembesar Kerajaan menantang Belanda menimbulkan amarah Belanda, maka
pada bulan Febuari 1911, kapal-kapal Belanda mendekati pulau Penyengat pada
pagi hari dan menurunkan ratusan orang serdadu untuk mengepung Istana dan
datang Kontlir H.N Voematra dari Tanjung Pinang mengumumkan pemakzulan
Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll. Atas pertimbangan agar tidak
terbunuhnya rakyat di pulau Penyengat, maka Sultan Abdul Rahman Syah ll
beserta pembesar-pembesar Kerajaan Riau Lingga tidak melakukan perlawanan.
Dengan demikian berakhirlah Kerajaan Riau Lingga dan dimulailah kekuasaan
Belanda di Riau Lingga. Pada tahun 1913 Belanda resmi memerintah langsung
di Riau Lingga.

Anda mungkin juga menyukai